BAB 6 Kebijakan Fiskal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 6 Kebijakan Fiskal"

Transkripsi

1 BAB 6 Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal 217 diarahkan untuk mendukung upaya mempercepat pemulihan ekonomi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Strategi ditempuh dengan menyeimbangkan kebutuhan stimulus jangka pendek dan jangka panjang, dengan tetap menjaga prospek kesinambungan fiskal. LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA

2 Kebijakan fiskal 217 diarahkan untuk mendukung upaya mempercepat pemulihan ekonomi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Dalam kaitan ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 217 ditempuh dengan menyeimbangkan kebutuhan stimulus jangka pendek dan jangka panjang serta tetap menjaga ketahanan fiskal. Dari sisi pendapatan, Pemerintah terus mengoptimalkan potensi penerimaan pajak melalui perluasan basis data wajib pajak dan peningkatan kepatuhan pajak sehingga realisasi pajak 217 lebih baik dibandingkan dengan kinerja tahun 216. Peningkatan penerimaan 217 juga ditopang oleh dampak positif kenaikan harga komoditas, termasuk harga minyak dan gas (migas). Namun demikian, tantangan penerimaan, khususnya penerimaan pajak masih mengemuka tercermin pada rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) yang berada dalam tren menurun. Dari sisi belanja, Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas belanja yang disertai dengan strategi menyeimbangkan stimulus jangka pendek dan jangka panjang. Strategi ditempuh dengan melakukan efisiensi belanja barang nonprioritas dan pengurangan belanja subsidi energi, namun dibarengi dengan peningkatan belanja bantuan sosial (bansos) dan infrastruktur. Secara keseluruhan, strategi yang ditempuh dapat menjaga defisit fiskal 217 pada level yang sehat yakni 2,5% dari PDB serta rasio utang pemerintah yang masih berada pada level aman yakni 29,2%. Arah kebijakan fiskal daerah 217 sejalan dengan kebijakan fiskal pemerintah pusat yakni untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Strategi kebijakan ditempuh dengan meningkatkan kemandirian sumber pendanaan daerah yang dibarengi dengan mengarahkan penyaluran belanja pada sektor yang produktif guna memperkuat peran daerah pada pembangunan infrastruktur. Peran daerah untuk meningkatkan stimulus juga ditopang oleh Pemerintah Pusat dengan menaikkan alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Penggunaan dana transfer tersebut telah diatur agar pemanfaatan untuk pembangunan daerah berjalan optimal, termasuk melalui pembangunan infrastruktur Dinamika Fiskal Perkembangan perekonomian global dan domestik memengaruhi dinamika penyusunan kebijakan dan realisasi fiskal pemerintah pusat tahun 217. APBN 217 yang ditetapkan pada November 216 dibangun atas dasar asumsi pertumbuhan ekonomi 217 yang meningkat menjadi 5,3%, dari realisasi 216 sebesar 5,%. Asumsi pertumbuhan ekonomi yang meningkat kemudian memengaruhi asumsi inflasi yang diperkirakan juga naik menjadi 4,7%. Namun, dinamika perekonomian mendorong terjadinya perubahan beberapa asumsi makroekonomi tersebut (Tabel 6.1). Perkembangan ini memberikan tantangan bagi pengelolaan fiskal sebagaimana tercermin pada capaian keuangan pemerintah sampai dengan pertengahan 217 yang belum sesuai harapan. Merespons perkembangan dan tantangan perekonomian tersebut, Pemerintah melakukan penyesuaian anggaran sebagaimana tertuang dalam APBN Perubahan (APBNP) 217. Strategi kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada awal tahun tercermin pada postur APBN 217. Penerimaan dalam negeri dalam APBN 217 ditargetkan sebesar Rp1.75,3 triliun, meningkat 12,5% dibandingkan dengan realisasi 216. Sementara itu, belanja negara dianggarkan sebesar Tabel 6.1. Asumsi dan Realisasi Variabel Makroekonomi APBN Asumsi Makro APBN APBNP Realisasi APBN APBNP Realisasi Pertumbuhan ekonomi (persen, yoy) 5,3 5,2 5, 5,3 5,2 5,1 Inflasi (persen, yoy) 4,7 4, 3, 4,7 4,3 3,6 Nilai tukar (rupiah terhadap dolar AS) Rata-rata suku bunga SPN 3 bulan (persen per tahun) 5,5 5,5 5,7 5,5 5,2 5,7 Harga minyak internasional-icp (dolar AS per barel) ,3 Lifting minyak Indonesia (ribu barel per hari) Lifting gas Indonesia (ribu barel setara minyak per hari) Sumber: Kementerian Keuangan 92 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

3 Rp2.8,5 triliun, meningkat 11% dibandingkan dengan realisasi 216 (Tabel 6.2). Secara keseluruhan, berbagai perkiraan ini membuat defisit APBN 217 mencapai sekitar 2,5% PDB, sama dengan defisit tahun sebelumnya sebesar 2,5%. Pembiayaan defisit APBN 217 antara lain ditargetkan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) neto yang mencapai Rp4 triliun, sedikit lebih rendah dari realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp47,3 triliun Grafik terhadap APBN Penerimaan Pajak Triwulan I dan Semester I Dalam perkembangannya, kondisi perekonomian sampai menjelang pertengahan 217 terindikasi tidak sepenuhnya sejalan dengan asumsi APBN 217 sehingga berisiko mengganggu arah kebijakan fiskal 217. Realisasi penerimaan pajak triwulan I 217 terlihat belum sekuat perkiraan karena pajak baru mencapai sebesar 15,8% terhadap target APBN 217. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pola pajak triwulan I tahun-tahun sebelumnya, kecuali 216 (Grafik 6.1). 1 Realisasi pajak yang tidak sesuai harapan perlu menjadi perhatian karena berpotensi mengganggu ketahanan fiskal dan sekaligus mengurangi potensi stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Perkembangan ekonomi dan realisasi pajak hingga triwulan I 217 yang tidak sesuai harapan mendorong Pemerintah menyesuaikan asumsi makroekonomi dalam penyusunan anggaran. Pemerintah mengubah asumsi yang dituangkan dalam APBNP 217, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah yakni menjadi 5,2%. Asumsi inflasi juga lebih rendah menjadi 4,3% yang antara lain dipengaruhi asumsi nilai tukar yang juga lebih kuat menjadi Rp13.4. Asumsi harga minyak dunia juga menjadi lebih rendah yaitu 48 dolar AS/barel, sedangkan asumsi lifting migas tidak berubah Triwulan I Semester I keseluruhan, penyesuaian tersebut mengakibatkan target penerimaan pajak pada APBNP 217 turun sebesar Rp26,1 triliun menjadi Rp1.472,7 triliun. Pemerintah juga menyesuaikan komponen belanja negara dengan melakukan efisiensi belanja barang kementerian dan lembaga (K/L) dan menambahkan alokasi untuk program prioritas nasional. Anggaran bansos ditingkatkan sejalan dengan percepatan penyaluran program keluarga harapan (PKH). Selain itu, belanja modal juga ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan percepatan proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Secara keseluruhan, alokasi belanja negara meningkat Rp52,8 triliun menjadi Rp2.133,3 triliun (Tabel 6.2). Penurunan target penerimaan yang diikuti dengan kenaikan target belanja berakibat pada kenaikan defisit fiskal menjadi 2,9% terhadap PDB. Pelebaran defisit direncanakan dibiayai melalui tambahan penerbitan surat berharga negara (SBN) neto menjadi Rp467,3 triliun. Perubahan asumsi tersebut mendorong Pemerintah menyesuaikan postur fiskal yang dituangkan dalam APBNP 217. Perubahan asumsi harga minyak dunia berdampak pada kenaikan penerimaan baik pajak dan nonpajak yang bersumber dari migas. Namun, pemerintah juga melakukan penyesuaian pada komponen penerimaan pajak di luar migas antara lain pajak penghasilan (PPh) nonmigas, pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak bumi dan bangunan (PBB) menjadi lebih rendah dari APBN 217. Secara 1 Pada 216, adanya program pengampunan pajak yang dimulai sejak bulan Juli berdampak pada capaian penerimaan pajak terhadap APBN hingga triwulan I 216 yang tercatat cukup rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan capaian triwulan I tahun-tahun sebelumnya. Dalam realisasinya, strategi pengelolaan fiskal 217 yang ditempuh menghasilkan kinerja APBN yang lebih baik. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan penerimaan dan belanja 217 yang meningkat dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya, serta defisit fiskal yang terjaga di bawah 3% PDB. Penerimaan pada 217 tumbuh 7,%, lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi 216 yang tumbuh 3,2%. Perkembangan ini terutama didorong oleh penerimaan dari migas dan sumber daya alam, sedangkan penerimaan di luar migas khususnya pajak penghasilan masih belum optimal. Belanja pada 217 tumbuh 7,4%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan belanja 216 sebesar 3,2%. Tingkat penyerapan belanja terhadap LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 93

4 Tabel 6.2. Pendapatan dan Belanja Negara Rincian A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak APBNP 216 Triliun rupiah Triliun rupiah PDB Realisasi 216 Pertumbuhan (persen, yoy) APBNP APBN 217 Triliun rupiah APBNP 217 Triliun rupiah Triliun rupiah Realisasi 217 PDB Pertumbuhan (persen, yoy) APBNP 1.786, ,2 12,5 3,2 87,1 1.75, , ,2 12,3 7, 95, , ,3 12,5 3,4 86, , , 1.655,5 12,2 7, 95, , ,3 1,4 3,6 83, , , ,6 9,9 4,5 91,2 245,1 262, 2,1 2,5 16,9 25, 26,2 311,9 2,3 19, 119,9 II. Hibah 2, 9,,1-24,9 449,4 1,4 3,1 9,7,1 7,8 38,7 B. Belanja Negara 2.82, ,3 15, 3,2 89,5 2.8, ,3 2.2,8 14,8 7,4 93,9 I. Belanja Pemerintah Pusat 1.36, ,1 9,3-2,5 88, , , 1.26,8 9,3 9,2 92,2 1. Belanja Pegawai 342,4 35,1 2,5 8,5 89,1 343,3 34,4 312,7 2,3 2,5 91,9 2. Belanja Barang 34,2 259,6 2,1 11,3 85,4 296,6 318,8 29,6 2,1 11,9 91,1 3. Belanja Modal 26,6 169,5 1,4-21,3 82, 194,3 26,2 25,2 1,5 21,1 99,5 4. Pembayaran bunga pajak 191,2 182,8 1,5 17,1 95,6 221,2 219,2 216,6 1,6 18,5 98,8 5. Subsidi 177,8 174,2 1,4-6,3 98, 16,1 168,9 166,4 1,2-4,5 98,5 6. Belanja Hibah 8,5 7,1,1 67,3 83,9 2,2 5,5 5,4, -23,6 99, 7. Bantuan Sosial 53,4 49,6,4-48,9 92,9 57, 58,1 55,3,4 11,5 95,2 8. Belanja Lain-lain 22,5 6,, -4,1 26,8 41, 49,9 8,7,1 44,2 17,4 II. Transfer ke Daerah dan Dana Desa 776,3 71,3 5,7 14, 91,5 764,9 766,3 742, 5,5 4,5 96,8 1. Transfer ke Daerah 729,3 663,6 5,3 1,2 91, 74,9 76,3 682,2 5, 2,8 96,6 2. Dana Desa 47, 46,7,4 124,8 99,3 6, 6, 59,8,4 28, 99,6 C. Keseimbangan Primer -15,5-125,3-1, -12,1 118,7-19, -178, -121,1 -,9-3,4 68, D. Surplus/Defisit Anggaran -296,7-38, -2,5 3,2 13,8-33,2-397,2-337,6-2,5 9,6 85, E. Pembiayaan 296,7 334,5 2,7 3,5 112,7 33,2 397,2 362,2 2,7 8,3 91,2 Sumber: Kementerian Keuangan APBNP juga meningkat yakni dari 89,5% pada 216 menjadi sebesar 93,9% pada 217. Akselerasi belanja mulai tampak pada triwulan III 217 setelah penetapan APBNP 217, baik pada belanja konsumsi maupun investasi pemerintah. Belanja konsumsi pemerintah meningkat didorong oleh penyaluran bansos yang tumbuh 11,5%. Sementara itu, belanja investasi juga naik signifikan seiring dengan pertumbuhan belanja infrastruktur yang mencapai 44,3%. Secara keseluruhan, defisit fiskal 217 terjaga pada level yang aman yakni sebesar 2,5% PDB, dengan rasio utang pemerintah yang juga berada pada level yang sehat yakni sebesar 29,2% PDB Pendapatan Negara Kinerja pendapatan negara tahun 217 tercatat lebih baik dari capaian tahun 216 ditopang oleh kenaikan pertumbuhan penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan dalam negeri tercatat sebesar Rp1.655,5 triliun, atau tumbuh sebesar 7,% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan tahun 216. Peningkatan penerimaan ditopang oleh kenaikan harga migas dan komoditas lain. Selain itu, pemulihan ekonomi domestik yang menguat pada paruh kedua 217 juga mendukung penerimaan pajak, terutama PPN. Perkembangan penerimaan tidak terlepas dari program pengampunan pajak sehingga meningkatkan basis data 94 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

5 pajak dan tingkat kepatuhan pajak baik wajib pajak (WP) badan maupun orang pribadi. Peningkatan penerimaan pajak 217 terutama bersumber dari kenaikan PPh migas, PPN, cukai, dan pajak perdagangan internasional (Grafik 6.2). Pertumbuhan PPh migas 217 yang tinggi didorong oleh kenaikan harga minyak dunia. Peningkatan kinerja PPN ditopang oleh perbaikan kinerja industri dalam negeri dan impor. Penerimaan cukai yang cukup tinggi yakni mencapai sebesar Rp153,3 triliun terutama bersumber dari penerimaan cukai rokok. Sementara itu, pertumbuhan pajak perdagangan internasional didorong oleh perbaikan penerimaan bea masuk dan bea keluar, termasuk kontribusi positif dari penegakan kepatuhan atas peraturan yang membatasi bea masuk atas barang bawaan penumpang. 2 Tingginya penerimaan pajak perdagangan internasional tahun 217 juga merupakan dampak positif dari peraturan mengenai penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar. 3 Kenaikan PPh migas, PPN, cukai, dan pajak perdagangan internasional tersebut dapat meminimalkan dampak penurunan kinerja komponen pajak lain, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak penghasilan nonmigas. Pertumbuhan PBB yang lebih rendah tidak terlepas dari dampak kebijakan kemudahan penerbitan dana investasi real estate (DIRE) dan perubahan aturan penggunaan lahan hutan. 4,5 Adapun penurunan kinerja pajak penghasilan nonmigas 217 lebih disebabkan faktor base effect dari program pengampunan pajak pada tahun lalu. Pada 216, tingginya penerimaan PPh nonmigas didorong oleh penerimaan dari program pengampunan pajak tahap I dan II yang cukup signifikan sebesar Rp114 triliun. Sementara pada 217, program pengampunan pajak tahap III yang berakhir pada Maret 217 menghasilkan dana tebusan sebesar Rp21 triliun. Dengan demikian, jumlah keseluruhan dana program pengampunan pajak yang diterima dari tahap I hingga tahap III tercatat sebesar Rp135 triliun (Tabel 6.3). Apabila penerimaan dana program pengampunan pajak dikeluarkan dari perhitungan penerimaan PPh nonmigas pada 216 dan 217, kinerja PPh nonmigas pada 217 tercatat lebih baik dan tumbuh positif di atas pertumbuhan tahun 216 (Grafik 6.3). Perkembangan positif pada 217 terlihat dari kenaikan jumlah wajib pajak yang terdaftar dan yang melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Kondisi ini tidak terlepas dari dampak positif program pengampunan pajak. Selain meningkatkan basis data pajak, program pengampunan pajak juga berdampak pada kenaikan tingkat kepatuhan wajib pajak. Tingkat penyampaian SPT Pajak meningkat dari 62,3% menjadi 71% pada 217. Meskipun demikian, peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp36 juta per tahun menjadi Grafik Pertumbuhan Komponen Penerimaan Pajak Grafik Pertumbuhan PPh Nonmigas, yoy, yoy PPh Migas PPh Nonmigas PPN PBB Cukai Pajak Perdagangan Internasional PPh Nonmigas PPh Nonmigas di Luar Program Pengampunan Pajak Pertumbuhan PPh Nonmigas (skala kanan) Pertumbuhan PPh Nonmigas di Luar Pengampunan Pajak (skala kanan) -1 2 PMK Nomor 188/PMK.4/21 tentang Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman. 3 PMK Nomor 13/PMK.1/217 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. 4 Paket Kebijakan Ekonomi XI berupa fasilitas PPh dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yaitu berupa pemotongan tarif hingga,5% dari tarif normal 5% kepada perusahaan yang menerbitkan DIRE. 5 PP Nomor 15 Tahun 215 tanggal 22 Desember 215 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 95

6 Tabel 6.3. Perkembangan Program Pengampunan Pajak Miliar rupiah No. Keterangan Juli 216 Periode I Periode II Periode III Kumulatif Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Maret Periode I, Kumulatif Kumulatif Kumulatif II dan III Uang Tebusan Pengampunan Pajak Penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan Pembayaran Tunggakan Pajak 13, , , ,2 734,5 1.15, , ,3 449,8 1.11, , , ,5,5 65,7 287,9 354,1 44,9 84,1 256,2 385,2 32,6 11,7 964,8 1.9, ,5 986, ,1 941, 3.64,8,, 6.911, ,1 58,3 813, , 8.981, ,1 4. Jumlah 1.117,5 6.19, 9.19, ,1 779,4 1.99, , ,7 99, , 18.56, , ,1 Sumber: Kementerian Keuangan Rp54 juta per tahun yang berlaku mulai Juli 216, berdampak pada turunnya jumlah wajib pajak yang wajib melaporkan SPT. Jumlah wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT turun dari 2,2 juta pada 216 menjadi 16,6 juta pada 217 (Tabel 6.4). Kinerja penerimaan negara yang positif juga didukung oleh tingginya penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang didorong oleh peningkatan harga minyak dan komoditas (Grafik 6.4). Realisasi PNBP tercatat sebesar Rp311,9 triliun, jauh di atas target APBNP 217 sebesar Rp26,2 triliun. PNBP 217 tercatat tumbuh sebesar 19%, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan 216 sebesar 2,5%. Perkembangan ini terutama dipengaruhi oleh PNBP berbasis sumber daya alam yang tumbuh kuat sebesar 72,3% didorong tren kenaikan harga minyak dan komoditas pada paruh kedua 217. Kenaikan harga komoditas tersebut juga berkontribusi pada membaiknya kinerja BUMN pada 217 dan berkontribusi pada kenaikan PNBP dari komponen bagian laba BUMN. Tabel 6.4. Jumlah Wajib Pajak dan Tingkat Kepatuhan Juta Kenaikan juga terjadi pada PNBP pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) seiring dengan peningkatan efisiensi dan layanan BLU. Sementara itu, kinerja PNBP lainnya tercatat lebih rendah dibandingkan dengan capaian 216 yang disebabkan faktor base effect penerimaan sisa surplus Bank Indonesia pada 216 dan lebih rendahnya penerimaan premi obligasi 217. Turunnya pendapatan dari premi obligasi 217 tersebut disebabkan yield dari penerbitan seri benchmark SBN 217 yang cenderung bergerak di sekitar yield pasar. Di tengah perkembangan positif kenaikan pendapatan negara 217, tantangan untuk peningkatan penerimaan pajak masih mengemuka. Hal ini tercermin dari rasio pajak terhadap PDB pada 217 yang masih menurun menjadi 9,9% dari tahun sebelumnya sebesar 1,4% (Grafik 6.5). Kondisi ini menunjukkan peran pajak Grafik 6.4., yoy Pertumbuhan Komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak Keterangan WP Terdaftar 22,3 24,8 28, 3,6 33,3 32,8 36, WP Terdaftar Wajib SPT SPT Tahunan PPh Rasio Kepatuhan (%) 17,7 17,7 17,7 18,4 18,2 2,2 16,6 8,2 9,2 1, 1,9 11, 12,6 11,8 46,2 52,3 56,2 59,1 6,4 62,3 71, PNBP SDA Bagian Laba BUMN PNBP Lainnya Pendapatan BLU Sumber: Kementerian Keuangan 96 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

7 Grafik 6.5. Grafik 6.5. Pertumbuhan Penerimaan dan Rasio Pajak Grafik 6.6. Lorem Pertumbuhan Ipsum Belanja Negara 1.4, PDB 16 25, yoy Penerimaan Pajak Rasio Pajak (skala kanan) Belanja Negara Pertumbuhan Belanja Negara (skala kanan) sebagai sumber permanen penerimaan fiskal dalam pembiayaan ekonomi perlu terus ditingkatkan. Hal tersebut semakin perlu mendapat perhatian karena berisiko mengganggu prospek kesinambungan fiskal Belanja Negara Berbagai strategi belanja fiskal ditempuh guna mengoptimalkan peran Pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi. Strategi dilakukan melalui peningkatan kualitas belanja, dengan tetap menjaga keseimbangan stimulus fiskal jangka pendek dan jangka panjang. Pemerintah melakukan berbagai upaya peningkatan kualitas belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Upaya tersebut ditempuh melalui optimalisasi alokasi subsidi energi dan efisiensi belanja barang, sehingga memberikan ruang pada peningkatan alokasi belanja untuk fungsi perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur. Dengan strategi tersebut, kinerja belanja pemerintah pada 217 tercatat lebih baik dari capaian tahun 216. Realisasi belanja negara pada 217 mencapai Rp2.2,8 triliun, meningkat 7,4% dibandingkan dengan realisasi 216 (Grafik 6.6). Peningkatan ini disertai dengan penyerapan belanja 217 yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi 216, sehingga realisasi belanja negara terhadap target APBNP juga lebih tinggi. Kondisi ini terlihat pada belanja pemerintah pusat maupun TKDD yang masing-masing tumbuh 9,2% dan 4,5% pada 217 (Grafik 6.7). Salah satu strategi pemerintah untuk mengoptimalkan stimulus belanja jangka pendek ditempuh melalui peningkatan dan perbaikan distribusi subsidi energi. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi dampak peningkatan jumlah subsidi energi yang disebabkan penyesuaian pada parameter subsidi energi, serta diimbangi dengan upaya perbaikan pada penyaluran subsidi. Pada subsidi BBM, peningkatan subsidi dilakukan seiring dengan peninjauan ulang dan penundaan rencana pembatasan LPG tabung 3 kilogram. Pada subsidi listrik, peningkatan subsidi direalokasikan untuk pelanggan listrik berdaya 45 VA. Sementara itu, penyaluran subsidi listrik 9 VA diperbaiki dengan menghapus keluarga dalam kelompok yang mampu dari daftar penerima subsidi sehingga subsidi hanya diberikan kepada keluarga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Grafik 6.7. Lorem Penyerapan Ipsum Belanja Negara, yoy TKDD Belanja Pemerintah Pusat Pertumbuhan Belanja Pemerintah Pusat (skala kanan) Pertumbuhan TKDD (skala kanan) LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 97

8 Strategi lain yang ditempuh pemerintah dalam memaksimalkan stimulus jangka pendek ialah meningkatkan efisiensi belanja barang. Kebijakan efisiensi belanja barang dilakukan dengan mengacu pada realisasi 216. Efisiensi dilakukan pada belanja operasional dan nonprioritas seperti perjalanan dinas dan paket pertemuan. Efisiensi tersebut selanjutnya memberikan ruang kepada Pemerintah untuk menambahkan alokasi belanja barang dengan memperhatikan urgensi program prioritas nasional, seperti percepatan program sertifikasi tanah, pelaksanaan Asian Games 218, persiapan Pilkada serentak 218, dan Pilpres 219. Strategi memaksimalkan stimulus jangka pendek juga diwujudkan melalui peningkatan alokasi anggaran, kualitas, dan efektivitas program perlindungan sosial. Alokasi belanja fungsi perlindungan sosial tahun 217 meningkat menjadi 7,9% belanja negara dari realisasi tahun 216 sebesar 7,4% (Grafik 6.8). Kenaikan ini berkaitan dengan strategi kebijakan perlindungan sosial yang ditempuh Pemerintah antara lain melalui Program Rehabilitasi Sosial, Program Perlindungan dan Jaminan Sosial, dan Program Pemberdayaan Sosial. Dalam rangka meningkatkan kualitas program perlindungan sosial, Pemerintah memperbaiki kualitas data penerima manfaat dari bantuan tunai bersyarat yaitu PKH dan penerima subsidi pangan yaitu beras sejahtera (Rastra). Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas perlindungan sosial, Pemerintah melakukan sinergi antarprogram perlindungan sosial dengan mengalihkan sebagian subsidi Rastra menjadi bantuan pangan dengan mekanisme nontunai di 44 kota besar di Indonesia. Stimulus jangka pendek yang sekaligus diarahkan untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan jangka panjang ditempuh Pemerintah melalui pemenuhan anggaran pendidikan dan kesehatan. Untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan, alokasi anggaran pendidikan dijaga sebesar 2% dari belanja negara, baik pada belanja pemerintah pusat maupun daerah. Jumlah anggaran pendidikan 217 naik sebesar 13%, atau setara dengan 2,9% dari belanja negara (Grafik 6.9). Kenaikan tersebut antara lain dialokasikan untuk tambahan tunjangan profesi guru pada Kementerian Agama dalam rangka peningkatan kualitas guru. Pemerintah juga memelihara anggaran kesehatan sebesar 5% dari belanja negara. Pada belanja pemerintah pusat, anggaran kesehatan diberikan antara lain kepada Kementerian Kesehatan untuk pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui penyaluran kartu Indonesia sehat (KIS). Sementara pada transfer ke daerah, alokasi untuk anggaran kesehatan disalurkan melalui dana alokasi khusus (DAK) kesehatan dan keluarga berencana, bantuan operasional kesehatan, dan bantuan operasional keluarga berencana (Grafik 6.1). Stimulus untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dilakukan melalui kebijakan belanja modal yang produktif dan meningkatkan keterlibatan daerah dalam pembangunan infrastruktur. Pada belanja pemerintah pusat, realisasi belanja modal meningkat 21,1% ditopang oleh dampak positif berlanjutnya reformasi fiskal berupa pengalihan belanja subsidi energi ke belanja infrastruktur. Grafik 6.8. Belanja Fungsi Perlindungan Sosial Grafik 6.9. Realisasi Anggaran Pendidikan 18 8, 45 22, ,8 7,6 7,4 7,2 7, 6,8 6,6 6,4 6, ,5 21, 2,5 2, 19,5 19, * 6, * 18,5 Realisasi Fungsi Perlindungan Sosial terhadap Belanja (skala kanan) Realisasi Anggaran Pendidikan terhadap Belanja (skala kanan) Keterangan: *APBNP 217 Keterangan: *APBNP BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

9 Strategi tersebut didukung peningkatan peran Pemerintah Daerah dalam pembangunan infrastruktur yang juga meningkat. Strategi juga dilakukan dengan peningkatan DAK fisik dan penetapan kewajiban pengalokasian dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi umum (DAU) minimal 25% dari total DBH dan DAU untuk infrastruktur. Mengingat besarnya kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur di tengah keterbatasan kemampuan APBN, maka pembangunan infrastruktur prioritas juga melibatkan pendanaan di luar APBN melalui dukungan pembiayaan investasi. Seluruh hal tersebut pada gilirannya meningkatkan pangsa anggaran infrastruktur terhadap belanja negara dari 14,4% pada 216 menjadi 19,4% pada 217 (Grafik 6.11). Peran daerah dalam mendukung stimulus fiskal juga cukup baik meskipun masih perlu dioptimalkan. Realisasi TKDD tercatat Rp742 triliun, atau meningkat 4,5% dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan 217 tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 216 yakni 14%. Pertumbuhan TKDD yang melambat antara lain disebabkan tertahannya sebagian DBH dan melambatnya penyaluran DAK fisik seiring perubahan nomenklatur terkait DAK fisik yang mewajibkan penyaluran DAK fisik berdasarkan proposal. Sementara itu, DAK nonfisik dan dana desa tumbuh tinggi masing-masing sebesar 19% dan 28% pada 217 seiring dengan peningkatan anggaran perlindungan sosial yang sebagian disalurkan melalui daerah serta pemberdayaan dan penguatan fungsi desa Grafik Rasio Subsidi, Anggaran Infrastruktur, dan Anggaran Perlindungan Sosial Grafik terhadap Belanja Negara terhadap Belanja Negara * Pangsa Subsidi Energi Pangsa Perlindungan Sosial 6.4. Pembiayaan Defisit Pangsa Infrastruktur Keterangan: *APBNP 217 (Perlindungan Sosial dan Infrastruktur) Kinerja pendapatan negara yang meningkat dan belanja yang terkendali mendorong defisit fiskal 217 masih tetap terjaga pada level yang sehat. Defisit APBNP 217 tercatat sebesar Rp337,6 triliun, atau 2,5% dari PDB. Defisit ini masih di bawah defisit pada target APBNP 217 sebesar 2,9% PDB, dan masih dalam level aman dan sehat untuk menjaga kesinambungan fiskal. Kondisi fiskal yang sehat juga didukung dengan penurunan defisit keseimbangan primer APBNP 217 menjadi sebesar,9% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada 216 sebesar 1,% dari PDB (Grafik 6.12). Grafik 6.1. Lorem Realisasi IpsumAnggaran Kesehatan Grafik Defisit Fiskal dan Keseimbangan Primer * Realisasi Anggaran Kesehatan terhadap Belanja (skala kanan) PDB Defisit Fiskal Keseimbangan Primer Keterangan: *APBNP 217 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 99

10 Pemenuhan defisit APBNP dilakukan melalui strategi penerbitan SBN dan pinjaman luar negeri. Pada 217, keseluruhan penerbitan SBN bruto pada 217 baik rupiah dan valas mencapai sebesar Rp78,9 triliun, sedangkan penerbitan secara neto mencapai Rp463,8 triliun. Sementara itu, penarikan pinjaman luar negeri bruto pada 217 tercatat sebesar Rp52,8 triliun, sedikit lebih rendah dari kondisi 216 yang sebesar Rp54,3 triliun Grafik Rasio Utang Pemerintah Beberapa Negara PDB Strategi penerbitan SBN dibagi berdasarkan denominasi, waktu (timing), dan jangka waktu (tenor). Dari segi denominasi mata uang, selain dalam rupiah, penerbitan SBN juga dilakukan dalam valuta asing dolar AS, euro, dan yen. Strategi ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas pasar uang dan likuiditas dalam negeri. Dari sisi waktu, penerbitan SBN valas tersebut telah dimulai sejak awal tahun dengan penerbitan senilai 3 miliar dolar AS atau setara dengan Rp4 triliun. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan belanja pada awal tahun dan meminimalkan dampak terhadap stabilitas pasar dalam negeri. Berdasarkan jangka waktu, penerbitan SBN dilakukan dalam tenor yang berbedabeda mulai dari 3 tahun, 5 tahun, hingga 15 tahun. Langkah ini ditempuh untuk meningkatkan kedalaman pasar dan membagi risiko jatuh tempo SBN. Perkembangan pembiayaan melalui SBN dan pinjaman luar negeri secara keseluruhan dapat menjaga posisi utang pemerintah dalam level yang sehat. Rasio utang pemerintah pada 217 dapat dijaga pada level yang rendah dan koridor yang aman sebesar 29,2% PDB, tidak berbeda jauh dengan level 216 sebesar 27,8% PDB. Utang pemerintah bersumber dari SBN yang mencapai Indonesia India Malaysia Filipina Thailand Vietnam Sumber: IMF, diolah 23,1% PDB, sedangkan sisanya berasal dari pinjaman luar negeri (Grafik 6.13). Rasio ini masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina (Grafik 6.14). Berdasarkan jenis mata uang, posisi utang pemerintah didominasi oleh mata uang rupiah dengan kecenderungan utang dalam rupiah yang meningkat. Pada 217, pangsa utang dalam rupiah naik menjadi sebesar 59% dibandingkan dengan kondisi tahun 216 sebesar 57% (Grafik 6.15). Posisi utang dalam valuta asing didominasi oleh lebih dari 7% dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Sementara itu, berdasarkan mata uang, posisi SBN dalam valuta asing menunjukkan peningkatan sejak 215 (Grafik 6.16) Grafik Komposisi Utang Pemerintah terhadap PDB PDB Grafik Posisi Utang Pemerintah Berdasarkan Mata Uang, pangsa SBN Pinjaman Luar Negeri Total Utang Rupiah Dolar AS Yen Jepang Euro Uang Kertas Emas Lainnya 1 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

11 Grafik Posisi SBN Berdasarkan Mata Uang, pangsa Grafik Perbandingan antara Alokasi Anggaran Grafik 6.17 Judul Belanja Kementerian/Lembaga dan Dana Transfer SBN Rupiah SBN Valas 1 21* 24** Belanja K/L Dana Transfer Keterangan: *Implementasi UU 25/1999 **Implementasi UU 33/ Fiskal Daerah Arah kebijakan fiskal daerah secara umum sejalan dengan arah kebijakan fiskal pusat yakni untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi, khususnya perekonomian di masing-masing daerah. Kebijakan tersebut ditempuh melalui strategi mengoptimalkan berbagai sumber penerimaan baik dari Pemerintah Pusat maupun pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu, strategi pengeluaran dilakukan dengan mengawal realisasi penyaluran TKDD. Penguatan peran fiskal daerah didukung oleh komitmen Pemerintah melalui peningkatan alokasi dana transfer ke daerah yang signifikan sejak implementasi otonomi daerah. Alokasi transfer ke daerah dalam APBN meningkat signifikan dibandingkan dengan kondisi 21 sehingga dalam beberapa tahun terakhir mengimbangi anggaran Kementerian/Lembaga (Grafik 6.17). Berdasarkan wilayahnya, peningkatan dana transfer terbesar disalurkan ke Sumatera, Jawa, dan Balinusra terutama di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, dana transfer ke Kalimantan menurun yang terkait dengan turunnya penerimaan DBH. pendapatan, anggaran belanja juga meningkat,4% menjadi Rp1.98,7 triliun (Tabel 6.5). Lebih tingginya peningkatan anggaran pendapatan dibandingkan dengan peningkatan anggaran belanja menyebabkan besaran defisit APBD di sebagian daerah menjadi lebih kecil. Defisit pembiayaan pada 217 secara konsolidasi tercatat Rp47,3 triliun, lebih rendah dibandingkan defisit tahun 216 yang tercatat Rp6,8 triliun. Sama halnya dengan tahun 216, pembiayaan defisit pada tahun 217 juga masih bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun anggaran sebelumnya yang secara agregat sebesar Rp55,5 triliun (Tabel 6.6). 6 Berdasarkan wilayah, peningkatan APBD 217 tidak merata di seluruh wilayah. Peningkatan anggaran pendapatan APBD 217 terjadi di sebagian besar daerah di Jawa, Sumatera, dan Balinusra. Peningkatan tertinggi terutama di Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Bali yang merupakan daerah tujuan wisata utama. Sementara itu, pendapatan di sejumlah daerah di Kalimantan dan Sulawesi mengalami penurunan. Penurunan terjadi terutama pada daerah yang perekonomiannya berbasis pertambangan dan pertanian seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Barat (Grafik 6.18). Seiring dengan peningkatan dana transfer ke daerah, postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) konsolidasi tahun 217 menunjukkan peningkatan baik dari sisi pendapatan dan belanja. Dari sisi pendapatan, anggaran pendapatan meningkat 1,7% dibandingkan dengan anggaran pendapatan tahun sebelumnya menjadi Rp1.51,3 triliun. Sejalan dengan peningkatan anggaran Berdasarkan sumber pendapatan, dana perimbangan masih memiliki proporsi yang dominan terhadap anggaran pendapatan. Pangsa dana perimbangan 6 SiLPA (dengan huruf i kecil) adalah sisa lebih perhitungan anggaran yaitu selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode anggaran. Sementara SILPA (dengan huruf I besar) adalah sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan, yaitu selisih antara surplus/defisit dengan pembiayaan neto. LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 11

12 Tabel 6.5. Postur APBD Konsolidasi Tahun Uraian 216* 217** 1. Pendapatan 1.34, 1.51,3 1.1 Pendapatan Asli Daerah 229,4 243, Pajak Daerah 16,2 168, Retribusi Daerah 11,8 11, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 7,6 7, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 49,9 54,8 1.2 Transfer 736,7 736, Dana Perimbangan 628,2 664, Dana Bagi Hasil 1,4 85, Dana Alokasi Umum 384,8 49, Dana Alokasi Khusus 143, 17, Otonomi Khusus dan Penyesuaian 18,5 71,9 1.3 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 67,9 71, Transfer antar Pemda 47,5 46, Dana Darurat,2, Hibah 4,5 4, Pendapatan Lainnya 15,7 2,7 2. Belanja 1.94,7 1.98,7 2.1 Belanja Pegawai 42,9 45, 2.2 Belanja Barang dan Jasa 223,9 233,9 2.3 Belanja Modal 25,9 221,7 2.4 Belanja Bansos dan Hibah 67,4 72, Belanja Bantuan Sosial 7,3 7, Belanja Hibah 6,1 65,1 2.5 Belanja Transfer 144,6 158,5 2.6 Belanja Lainnya 5, 7, Belanja Bunga,3, Belanja Subsidi 2,4 3, Belanja Tidak Terduga 2,3 2, Belanja Lainnya Surplus (Defisit) -6,8-47,3 Keterangan: *Angka agregat APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi yang tersedia di Kementerian Keuangan per Mei 216 ** Angka agregat APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi yang tersedia di Kementerian Keuangan per Mei 217 terhadap anggaran pendapatan 217 sebesar 63,2%, meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 6,8%. Komposisi dana perimbangan terhadap anggaran pendapatan paling rendah utamanya di wilayah Jawa dan beberapa daerah di Sumatera, seperti Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Sementara sebagian besar daerah Sumatera, Sulawesi, Mapua, Balinusra (selain Bali), dan Kalimantan (selain Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan) menunjukkan komposisi dana perimbangan yang melebihi 75% dari total pendapatan. Dari komponen dana perimbangan, DAK pada APBD 217 meningkat sejalan arah kebijakan pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas belanja di daerah. 12 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

13 Tabel 6.6. Perkembangan Surplus, Defisit dan SiLPA Daerah Wilayah Realisasi Defisit SiLPA Defisit APBD SiLPA Sumatera -13,7 16,2-9,7 11,9 Jawa -26,7 36,6-21,3 27,3 Kalimantan -1,3 11,8-6,2 5,8 Balinusra -2,6 3,2-3,7 3,8 Sulawesi -3,7 3,6-3,3 3,3 Mapua -3,8 4, -3, 3,5 DAK meningkat sebesar 19,1% didorong penerapan kebijakan reformulasi Dana Transfer Khusus. Peningkatan kualitas belanja dilakukan melalui pangsa pengalokasian yang lebih besar pada DAK fisik untuk pembangunan infrastruktur, dan pengalokasian DAK nonfisik untuk peningkatan pelayanan publik. Khusus untuk pengalokasian DAK fisik, Pemerintah Pusat juga mempertimbangkan usulan Pemerintah Daerah. Selain DAK fisik dan Nonfisik, Pemerintah Pusat juga mengalokasikan DAK fisik afirmasi untuk pembangunan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan transmigrasi. Terkait dengan mekanisme penyaluran DAK, penyaluran DAK tersebut berbasiskan kinerja penyerapan dana serta pencapaian output di daerah. Kenaikan DAK dalam APBD 217 terjadi di sebagian besar daerah, dengan kenaikan tertinggi dan melebihi 5% terjadi di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Komponen lain dana perimbangan yakni DAU juga meningkat untuk memperkuat kinerja pemerintah daerah Grafik Judul Perkembangan Anggaran Pendapatan Menurut Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Balinusra Sulawesi Mapua Namun, peningkatan DAU cenderung terbatas karena dipengaruhi dampak penerapan kebijakan penyesuaian alokasi mengikuti dinamika pendapatan pemerintah serta pembatasan belanja yang kurang produktif. DAU dalam APBD 217 tercatat hanya meningkat sebesar 6,3% dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya. Penerapan kebijakan pagu DAU yang lebih fleskibel berpengaruh kepada besaran DAU di setiap daerah. Dalam hal ini, realisasi penyaluran DAU disesuaikan dengan naik turunnya penerimaan dalam negeri neto. Kenaikan DAU yang terbatas juga dipengaruhi oleh kebijakan pembatasan besaran belanja gaji pegawai negeri sipil daerah yang menjadi komponen alokasi dasar perhitungan DAU. Penggunaan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai salah satu komponen dana perimbangan juga diperluas untuk mendukung kebutuhan dan prioritas daerah. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang Undang No.18 tahun 216 tentang APBN 217, yaitu Pemerintah memperluas penggunaan DBH untuk memacu kegiatan ekonomi daerah. Perluasan tersebut antara lain pada penggunaan DBH cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 5% dan tambahan sumber daya alam (SDA) migas sebesar,5% yang dapat digunakan untuk kegiatan sesuai prioritas dan kebutuhan daerah penghasil. Berbeda dengan komponen lain, di tengah kebijakan perluasan penggunaan tersebut, peran DBH pada APBD 217 menurun akibat penurunan penerimaan SDA pertambangan migas dan nonmigas. Pangsa DBH terhadap belanja APBD menurun sebesar 15,3% dibandingkan dengan pangsa tahun sebelumnya, sebagai akibat penurunan lifting produksi migas dan masih belum cukup kuatnya kinerja pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Penurunan terbesar DBH terutama terjadi di daerah-daerah utama penghasil migas, seperti Aceh, LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 13

14 Riau, dan Kalimantan Timur, serta penghasil tambang minerba utama di Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Papua. Penurunan DBH juga terkait dengan kebijakan penyesuaian pembagian DBH reguler yang mengacu pada dinamika pencapaian penerimaan Pajak dan PNBP. Secara keseluruhan, peningkatan dana transfer daerah meningkatkan kapasitas fiskal daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Peningkatan tersebut terukur dari angka indeks kapasitas fiskal (IKF) yang lebih tinggi dibandingkan dengan IKF dua tahun sebelumnya (Tabel 6.7). Beberapa wilayah mengalami pergeseran kapasitas fiskal yang lebih baik, seperti Jawa dari tinggi menjadi sangat tinggi, kemudian Balinusra dari rendah menjadi sedang. Adapun daerah yang IKF-nya meningkat signifikan yaitu Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Berbeda dengan wilayah-wilayah tersebut, beberapa wilayah mengalami penurunan kapasitas fiskal yaitu Sumatera dan Kalimantan terkait penerimaan DBH yang menurun. Kapasitas fiskal yang lebih baik didukung oleh kemandirian fiskal yang meningkat melalui kenaikan pendapatan asli daerah (PAD). Kenaikan PAD pada 217 menopang APBD lebih berimbang, dengan peningkatan 5,9% terutama bersumber dari peningkatan pajak daerah dan pendapatan lain-lain yang sah. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari langkah Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak daerah. Dilihat dari komposisinya, pangsa PAD terhadap total anggaran pendapatan pada 217 meningkat menjadi 23,1%, lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja tahun sebelumnya sebesar 22,2%. Wilayah Jawa memiliki pangsa PAD terbesar terhadap total anggaran pendapatan Tabel 6.7. Indeks Kapasitas Fiskal Wilayah dibandingkan dengan pangsa wilayah lainnya (Grafik 6.19). Peningkatan PAD terlihat di sebagian besar wilayah. Peningkatan PAD tertinggi terjadi di Jawa, terutama di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Banten didorong oleh tingginya kegiatan aktivitas bisnis perdagangan, pariwisata, dan komersil penerbangan. Peningkatan PAD di Sumatera juga cukup tinggi, terutama di Bengkulu, Kepulauan Riau, Lampung, dan Bangka Belitung. Di wilayah Indonesia Timur, peningkatan PAD relatif moderat, meskipun beberapa provinsi mampu mencatatkan peningkatan yang tinggi, ditopang oleh aktivitas ekonomi yang meningkat. Peningkatan tertinggi terjadi di Sulawesi Tenggara didorong oleh perkembangan kawasan industri di Sulawesi Tenggara. Di Maluku Utara, peningkatan PAD didorong tingginya aktivitas ekonomi di industri pengolahan tambang dan sektor perikanan. Kinerja pariwisata yang masih tinggi mendorong peningkatan PAD di Bali dan Nusa Tenggara Barat (Grafik 6.2). Pendapatan daerah yang meningkat mendukung kenaikan belanja yang lebih produktif. Kenaikan belanja daerah yang produktif terutama bersumber dari pendapatan daerah yang bersumber dari dana transfer. Hal ini sejalan dengan upaya Pemerintah Pusat untuk memperkuat efektivitas penggunaan dana transfer umum (DAU dan DBH) dalam mendorong kinerja ekonomi daerah dengan menerapkan kebijakan penggunaan minimal 25% untuk belanja infrastruktur layanan dasar publik (Tabel 6.8). Alokasi untuk belanja ke arah yang lebih produktif terindikasi dari pangsa belanja barang Grafik Lorem IpsumKomposisi Pendapatan dalam APBD Menurut Wilayah WILAYAH IKF Kategori IKF Kategori Sumatera,84 sedang,77 sedang Jawa 1,35 tinggi 2,74 Kalimantan 2,26 sangat tinggi sangat tinggi 1,98 tinggi Balinusra,42 rendah,5 sedang Sulawesi,76 sedang,77 sedang Mapua 1,26 tinggi 1,45 tinggi Sumber: Kementerian Keuangan dan BPS, diolah Sumatera Jawa Kalimantan Balinusra Sulawesi Mapua PAD Dana Perimbangan Lain-lain pendapatan daerah yang sah 14 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

15 Grafik 6.2. Lorem Perkembangan Ipsum PAD Menurut Wilayah Grafik Lorem IpsumKomposisi Belanja APBD Triliun Sumatera Jawa Kalimantan Balinusra Sulawesi Mapua Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja Transfer Belanja Lainnya dan jasa serta belanja modal terhadap total belanja tetap terjaga dilevel tinggi (Grafik 6.21). Pangsa belanja barang dan jasa dan belanja modal masing-masing berada di atas 2% terhadap total belanja. Alokasi pangsa belanja produktif yang cukup tinggi tercatat di sebagian besar wilayah. Mapua memiliki pangsa terbesar di kisaran 47%, lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa wilayah lainnya didorong pembangunan infrastruktur pendukung logistik dan fokus Pemerintah Daerah pada pengurangan kemiskinan. Belanja produktif di Sumatera, Sulawesi, dan Balinusra juga cukup tinggi di kisaran 4% (Grafik Pembangunan infrastruktur jalan, fasilitas umum menjelang Asian Games 218, pembangunan kawasan industri, serta fasilitas umum pariwisata mendominasi penggunaan belanja di ketiga daerah tersebut. Percepatan pembangunan infrastruktur di daerah juga didukung oleh peningkatan alokasi belanja modal di beberapa daerah. Hal ini mengindikasikan adanya partisipasi penggunaan dana APBD untuk mendukung percepatan pembangunan proyek infrastruktur strategis Pemerintah di daerah. Daerah-daerah yang menunjukkan peningkatan alokasi belanja modal pada APBD 217 adalah Sumatera Utara, Lampung, Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Stimulus fiskal di daerah yang mengutamakan peningkatan kualitas belanja yang lebih produktif juga No. Tabel 6.8. Pengendalian Transfer ke Daerah dan Dana Desa Alokasi Belanja 1 Pendidikan 2 Kesehatan 3 Infrastruktur Daerah 4 Dana Desa 5 Iuran Jaminan Kesehatan Pengaturan Minimal 2% dari APBD Minimal 1% dari APBD Minimal 25% dari Dana Transfer Umum (DTU) Minimal 1% dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) Sebesar 3% dari gaji dan upah per bulan Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, diolah Keterangan UU No. 2 Tahun 23 tentang Sistem Pendidikan Nasional UU No. 36 Tahun 29 tentang Kesehatan UU No. 18 Tahun 216 tentang APBN Tahun Anggaran 217 UU No. 6 Tahun 214 tentang Desa Perpres No. 19 Tahun 216 tentang Jaminan Kesehatan Grafik Xxx Komposisi Belanja APBD Menurut Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Balinusra Sulawesi Mapua Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal Belanja Transfer Belanja Lainnya LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 15

16 terlihat pada alokasi belanja pegawai yang tidak banyak mengalami peningkatan. Alokasi belanja pegawai pada APBD 217 hanya meningkat,5%. Meskipun pangsa belanja pegawai terhadap belanja APBD 217 cukup tinggi yakni sebesar 36,9%, alokasinya tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya. Komposisi tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan total pangsa belanja modal, belanja barang dan jasa, serta belanja transfer. Selain itu, alokasi belanja pegawai yang tetap juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan pengalihan urusan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi maupun dengan Pemerintah Pusat. Dalam rangka mendukung peningkatan ekonomi daerah, Pemerintah Pusat juga meningkatkan alokasi belanja kementerian/lembaga di daerah serta dana desa. Rata-rata pagu belanja kementerian/lembaga di daerah meningkat 4,6% dibandingkan dengan pagu tahun 216, dengan peningkatan terbesar di wilayah Jawa. Selain pagu yang meningkat, realisasi belanja kementerian/ lembaga di daerah juga meningkat dari 85,5% pada 216 menjadi 91,% pada 217 (Grafik 6.23). Dalam rangka menggerakkan ekonomi daerah, Pemerintah Pusat meningkatkan alokasi dana desa yang penggunaannya diprioritaskan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Alokasi dana desa pada 217 mencapai Rp6 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi pada tahun sebelumnya sebesar Rp47 triliun. Peningkatan ini dilakukan secara bertahap untuk memenuhi UU No.6 tahun 214 tentang Desa, yang mengamanatkan dana desa ditetapkan sebesar 1% dari total dana transfer ke daerah. Implementasi dana desa diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur konektivitas yang pada gilirannya dapat berdampak pada perbaikan ekonomi dan stabilitas harga di daerah. Penyaluran dana desa pada 217 tersebar di desa, dengan alokasi terbesar untuk desa di Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Jawa Barat, Papua, dan Sumatera Utara (Grafik 6.24). Untuk mempercepat kontribusi stimulus fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, Pemerintah mengambil langkah untuk mempercepat mekanisme penyaluran anggaran. Dalam kaitan ini, Pemerintah menempuh kebijakan percepatan penyaluran dana desa dan DAK fisik melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang berada di seluruh Indonesia. Kebijakan dilakukan untuk mendekatkan pelayanan dan meningkatkan efisiensi koordinasi serta konsultasi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Di samping itu, untuk mempermudah pemantauan, penyaluran dana desa dan DAK dilakukan secara bertahap. Untuk dana desa, penyaluran dilaksanakan dua tahap, sementara untuk penyaluran DAK dilakukan secara triwulanan. Terkait dengan penyaluran DAK, Pemerintah Daerah disyaratkan melaporkan realisasi penyerapan periode sebelumnya. Upaya meningkatkan realisasi belanja daerah juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5/PMK.7/217 tentang pengelolaan TKDD. Sampai dengan triwulan IV 217, secara agregat realisasi belanja APBD mencapai 81,1%, lebih tinggi dibandingkan dengan belanja periode yang sama tahun Grafik Xxx Belanja APBD Menurut Wilayah DKI Jatim Jabar Jateng Sumut Sulsel Papua Sumsel Aceh Sumbar Banten DIY Kalbar NTT Sulut Bali Lampung Kalsel Kaltim NTB Maluku Sulteng Pabar Sultra Riau Kepri Jambi Kalteng Malut Bengkulu Gto Sulbar Kaltara Kep.Bangka Pagu 216 Pagu 217 Realisasi Terhadap Pagu 217 (skala kanan) Realisasi Terhadap Pagu 216 (skala kanan) 16 BAB 6 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217

17 Grafik Xxx Penyaluran Dana Desa Menurut Wilayah Kepri Babel DIY Kaltara Sulbar Gorontalo Bali Kaltim Sumbar Malut NTB Maluku Banten Bengkulu Jambi Kalteng Sulut Riau Papua Barat Kalsel Sulteng Sultra Kalbar Sulsel Lampung Sumsel NTT Sumut Papua Jabar Aceh Jatim Jateng lalu sebesar 67,2%. 7,8 Realisasi belanja terbesar terjadi di wilayah Sulawesi yang mencapai 83,7%, terutama di Gorontalo. Sementara itu, realisasi belanja terbesar kedua terjadi di wilayah Jawa yang mencapai 82,6%, dengan penyerapan tertinggi terjadi di Yogyakarta (Gambar 6.1). Dalam tataran implementasi, penerapan peraturan tersebut mampu mendorong peningkatan realisasi TKDD. Realisasi penyaluran TKDD menunjukkan percepatan dan berdampak positif dalam menopang pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah. Realisasi penyaluran TKDD 217 mencapai 96,8%, lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 91,5%. Selain itu, secara nominal realisasi penyaluran dana desa pada 217 juga lebih tinggi mencapai Rp59,8 triliun, dibandingkan dengan realisasi periode sebelumnya sebesar Rp46,7 triliun. Indikasi dampak kebijakan penyaluran TKDD (DAK fisik dan dana desa) yang bertahap secara triwulanan Gambar 6.1. Penyerapan Belanja Pemerintah Daerah 217 Grafik 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah 216 ACEH 8,5 Sumatera: 8,6 (66,9) Kalimantan: 77,7 (66,6) Sulawesi: 83,7 (68,5) Agregat Daerah: 81,1 (67,2) SUMBAR 83,3 SUMUT 72,5 KEP. RIAU RIAU 82,2 81,6 KALBAR 89 BENGKULU 87,7 JAMBI 82,9 SUMSEL 82,3 LAMPUNG 81,1 DKI JAKARTA 82,9 JATENG 8,4 BANTEN 71,6 JABAR 84,6 Jawa: 82,6 (67,8) KEP. BABEL 86,9 DIY 89,7 KALTENG 77,1 KALSEL 69,2 JATIM 84,7 KALTIMRA 76,4 SULTENG 83,8 BALI 8,7 SULBAR 83,8 SULSEL 82,4 NTB 85,8 SULUT GORONTALO 84,2 9,2 MALUT 85,6 NTT 66,1 SULTRA 83,1 Balinusra: 76,9 (64,) MALUKU 75,4 PAPBAR 43,5 Mapua: 68,9 (65,1) PAPUA 47,2 APBD >_ 9% 8% APBD < 9% >_ >_ 7% APBD < 8% Sumber: TEPRA per akhir Januari 218 Keterangan: Angka dalam kurung adalah realisasi Triwulan IV 216 APBD < 7% 7 Berdasarkan data realisasi APBD Triwulan IV 217 dari Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran (TEPRA) per akhir Januari Berdasarkan data realisasi APBD Triwulan IV 216 dari TEPRA per Januari 217. Untuk angka realisasi APBD 216 dari Kementerian Keuangan tersedia per 6 Oktober 217 di laman LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 217 BAB 6 17

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI 1 DASAR HUKUM Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun 2016 (1) Ketentuan mengenai penyaluran anggaran

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI DISAMPAIKAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN DALAM SOSIALISASI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA Disampaikan oleh: Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Dr. Ahmad Yani, S.H., Akt., M.M., CA. MUSRENBANG

Lebih terperinci

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017 INFOGRAFIS REALISASI s.d. 31 Mei 2017 FSDFSDFGSGSGSGSGSFGSF- DGSFGSFGSFGSGSG Realisasi Pelaksanaan INFOGRAFIS (s.d. Mei 2017) Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro Lifting Minyak (ribu barel per hari) 5,1

Lebih terperinci

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2015 Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2015 Indikator a. Pertumbuhan ekonomi (%, yoy) 5,7 4,7 *) b. Inflasi (%, yoy) 5,0 3,35

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Penetapan KUPA Kebijakan Umum Perubahan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Kompleks Kepatihan Danurejan Yogyakarta (0274)

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 Jakarta, 10 Juni 2014 Kunjungan FEB UNILA Outline 1. Peran dan Fungsi APBN 2. Proses Penyusunan APBN 3. APBN

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017 DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS April 2017 2 Data Sosial Ekonomi Strategis April 2017 Ringkasan Indikator Strategis Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Perdagangan Internasional Kemiskinan & Rasio Gini Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak No.44, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. APBN. Tahun 2015. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5669) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3

Lebih terperinci

No koma dua persen). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan meningkatkan kredibilitas kebijakan fiskal, menjaga stabilitas ekonomi ma

No koma dua persen). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan meningkatkan kredibilitas kebijakan fiskal, menjaga stabilitas ekonomi ma TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6111 KEUANGAN. APBN. Tahun 2017. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 186) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEUANGAN. APBN. Tahun 2015. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 44) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis

Deskripsi dan Analisis 1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

RINGKASAN APBN TAHUN 2017 RINGKASAN APBN TAHUN 2017 1. Pendahuluan Tahun 2017 merupakan tahun ketiga Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mewujudkan sembilan agenda priroritas (Nawacita)

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017 INFOGRAFIS REALISASI s.d. 28 April 2017 FSDFSDFGSGSGSGSGSFGSF- DGSFGSFGSFGSGSG Realisasi Pelaksanaan INFOGRAFIS (s.d. April 2017) Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro Lifting Minyak (ribu barel per hari)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017 INFOGRAFIS REALISASI s.d. 31 Maret 2017 Realisasi Pelaksanaan INFOGRAFIS (s.d. Maret 2017) Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro Lifting Minyak (ribu barel per hari) 5,1 5,01 4,0 3,61 5,3 5,2 13.300 13.348

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

Peranan Sektor Migas sebagai Sumber Pendapatan APBN dan APBD. Disampaikan pada Diskusi Publik IESR Jakarta, 23 September 2015

Peranan Sektor Migas sebagai Sumber Pendapatan APBN dan APBD. Disampaikan pada Diskusi Publik IESR Jakarta, 23 September 2015 Peranan Sektor Migas sebagai Sumber Pendapatan APBN dan APBD Disampaikan pada Diskusi Publik IESR Jakarta, 23 September 2015 2 Outline 1. Perkembangan Lifting Migas, dan Cost Recovery 2. Perkembangan Harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Boks... ix

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Boks... ix Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Boks... ix BAGIAN I RINGKASAN RAPBN PERUBAHAN TAHUN 2017 1 Pendahuluan... 2 Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Lebih terperinci

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan LAMPIRAN BAB II. Inflasi PERKEMBANGAN TINGKAT INFLASI Prov/Kab/Kota Tingkat Inflasi (%) Keterangan Prov Maret 0 (YoY) Kabupaten Maret 0 (bulanan)

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA GEDUNG DJUANDA I, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR I, JAKARTA 10710, KOTAK POS 21 TELEPON (021) 3449230 (20 saluran) FAKSIMILE (021) 3500847; SITUS www.kemenkeu.go.id KETERANGAN

Lebih terperinci

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5907 KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun 2016. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 146). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

REALISASI SEMENTARA APBNP

REALISASI SEMENTARA APBNP I. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH REALISASI SEMENTARA 1 Dalam tahun, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.014,0 triliun (16,0 persen dari PDB). Pencapaian ini lebih tinggi Rp21,6 triliun (2,2

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012 REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012 Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Pada APBN-P tahun 2012 volume belanja negara ditetapkan sebesar Rp1.548,3 triliun, atau meningkat Rp112,9 triliun (7,9

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAANN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJAA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGAR RAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel...

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengeluaran Pemerintah memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi dari penerimaan negara

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015

PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015 PEMANTAUAN CAPAIAN PROGRAM & KEGIATAN KEMENKES TA 2015 OLEH: BIRO PERENCANAAN & ANGGARAN JAKARTA, 7 DESEMBER 2015 Penilaian Status Capaian Pelaksanaan Kegiatan/ Program Menurut e-monev DJA CAPAIAN KINERJA

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017 PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017 PELAKSANAAN PENYALURAN 1. Penyaluran melalui KPPN dilaksanakan berdasarkan PMK nomor 112/PMK.07/2017 tentang Perubahan PMK nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL Triwulan IV - 2016 Harga Properti Residensial pada Triwulan IV-2016 Meningkat Indeks Harga Properti Residensial pada triwulan IV-2016 tumbuh sebesar 0,37% (qtq), sedikit

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELAN NJA NEGAR RA TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.142, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun anggaran 2014. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5547) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UMKM & Prospek Ekonomi 2006

UMKM & Prospek Ekonomi 2006 UMKM & Prospek Ekonomi 2006 Oleh : B.S. Kusmuljono Ketua Komite Nasional Pemberdayaan Keuangan Mikro Indonesia (Komnas PKMI) Komisaris BRI Disampaikan pada : Dialog Ekonomi 2005 & Prospek Ekonomi Indonesia

Lebih terperinci

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 - Direktur Otonomi Daerah Bappenas - Temu Triwulanan II 11 April 2017 1 11 April 11-21 April (7 hari kerja) 26 April 27-28 April 2-3 Mei 4-5 Mei 8-9 Mei Rakorbangpus

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) No. 63, 2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN 2008. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DALAM RAPBNP 2011

OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DALAM RAPBNP 2011 OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DALAM RAPBNP 2011 Pendahuluan Perkembangan pada perekonomian domestik dan eksternal menyebabkan perkembangan ekonomi makro tidak sesuai lagi dengan asumsi yang digunakan

Lebih terperinci

I. UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN

I. UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2017 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2017 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK 07 November 2016 Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Tengah (Produk Domestik Regional Bruto) Indeks Tendensi Konsumen 7 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK Pertumbuhan

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia Terkini

Kondisi Perekonomian Indonesia Terkini Kondisi Perekonomian Indonesia Terkini Disampaikan oleh: Parjiono, Ph.D Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Surabaya, 16 Agustus 2017 Kuliah Umum Fakultas Ekonomi

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent No.233, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. APBN. Tahun 2018. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6138) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015 No. 30/05/17/V, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan I-2015 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Triwulan I-2015 di Provinsi

Lebih terperinci

RANCANGANRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2015

RANCANGANRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2015 RANCANGANRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN

DATA POKOK APBN DATA POKOK - DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan...... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : dan.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1994/1995.........

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2014 REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2014 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2014 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... vi Daftar

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1278, 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN. Anggaran. Transfer. Daerah. Pengalokasian. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145/PMK.07/2013 TENTANG PENGALOKASIAN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017 PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN 23 Oktober 2017 1 Minyak Solar 48 (Gas oil) Bensin (Gasoline) min.ron 88 Rp.7 Ribu Rp.100 Ribu 59 2 Progress dan Roadmap BBM Satu Harga Kronologis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JUNI 2001

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JUNI 2001 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JUNI 2001 Kondisi ekonomi makro bulan Juni 2001 tidak mengalami perbaikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kepercayaan masyarakat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3. 1. Arah Kebijakan Ekonomi 3.1.1. Kondisi Ekonomi Tahun 2014 dan Perkiraan Tahun 2015 Peningkatan dan perbaikan kondisi ekonomi

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.146, 2016 KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun 2016. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5907) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg No.108, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun Anggaran 2012. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5426) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

Rincian Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2008 adalah sebagai berikut

Rincian Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2008 adalah sebagai berikut PENJELASAN A T A S RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008

Lebih terperinci

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah) Tabel 1a 2004 dan -P 2004 Keterangan -P ( (3) (4) (5) A. Pendapatan Negara dan Hibah 349.933,7 17,5 403.769,6 20,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 349.299,5 17,5 403.031,8 20,3 1. Penerimaan Perpajakan 272.175,1

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR

M E T A D A T A INFORMASI DASAR M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Operasi Keuangan Pemerintah Pusat 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 4 Contact : Divisi

Lebih terperinci