KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN

2

3 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013

4

5 KATA PENGANTAR Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah pada tahun 2001, porsi dana APBN yang telah dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Alokasi dana yang besar tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Tantangan utama yang dihadapi daerah dalam melaksanakan tugas tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan pelayanan publik yang optimal. Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola dana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang sangat besar. Pengelolaan APBD harus mengacu pada upaya pencapaian visi dan misi daerah yang sesuai dengan prioritas nasional, dimana sumbersumber pendapatan APBD harus dibelanjakan sesuai dengan prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai sumber daya yang tersedia baik yang didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah. Kemampuan daerah dalam mengelola APBD mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Keterbukaan informasi publik yang didukung oleh semakin kritisnya masyarakat, menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengelola keuangan daerah dengan semakin baik, yaitu dengan semakin meningkatkan porsi alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa untuk pemeliharaan infrastruktur pada struktur APBD dengan memprioritaskan pada ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, serta semakin tingginya realisasi penyerapan APBD guna mendorong peningkatan perekonomian daerah. Di samping itu, pengelolaan keuangan daerah, harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. Kata Pengantar iii

6 Untuk mewujudkannya, diperlukan pendekatan prestasi kerja dalam penyusunan APBD, setiap alokasi pendanaan yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan ini merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dengan konsep manajemen kinerja, khususnya untuk mengukur tingkat keberhasilan program atau aktivitas pada pemerintah yang ditujukan dalam rangka mencapai hasil yang dapat memenuhi kebutuhan stakeholders. Beberapa hal yang disorot dalam kajian ini antara lain adalah kinerja pengelolaan keuangan daerah dilihat dari sisi kesesuaian realisasi dengan perencanaan, konsistensi pelaksanaan anggaran untuk merealisasikan program/ kegiatan, serta dampak pelaksanaan APBD terhadap perekonomian regional. Dalam konteks itulah, buku ini disusun untuk menyajikan analisis atas realisasi APBD seluruh daerah dan diharapkan dapat memberikan potret yang informatif dan akurat mengenai hasil dari pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah pada tahun Buku Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini akan memberikan gambaran tentang hasil analisis realisasi APBD 2013 yang meliputi gambaran umum realisasi APBD 2013, analisis realisasi pendapatan daerah, analisis realisasi belanja daerah, analisis realisasi surplus/defisit dan pembiayaan daerah, dan analisis implikasi realisasi APBD TA 2013 terhadap perekonomian daerah. Kami mengharapkan agar buku Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Jakarta, Desember 2014 Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Adijanto iv ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

7 Daftar Isi KATA PENGANTAR...iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii RINGKASAN EKSEKUTIF... xi BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah Komposisi Pendapatan Daerah Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah...24 BAB III REALISASI BELANJA DAERAH Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah Komposisi Realisasi Belanja Daerah Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional Realisasi Belanja Daerah Per Kapita Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita...41 BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH Surplus/Defisit Pembiayaan Daerah SiLPA Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah...54 BAB V IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013 TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH UCAPAN TERIMA KASIH Daftar Isi v

8 Daftar TABEL Tabel 1.1 Realisasi APBD Tahun Anggaran Tabel 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran Tabel 3.1 Tabel 4.1 Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi Tahun Anggaran Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah...47 Tabel 4.2 Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA TABEL 5.1 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA TAHUN TABEL 5.2 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT...61 TABEL 5.3 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA...63 vi ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

9 Daftar grafik Grafik 1.1 Grafik 1.2 Grafik 1.3 Grafik 1.4 Grafik 1.5 Grafik 1.6 Grafik 2.1 Grafik.2.2 Grafik.2.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun Anggaran Pelampauan Pendapatan APBD...7 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun Anggaran Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan APBD Konsolidasi Nasional Tahun Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional TA Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan Provinsi...20 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota...21 Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA Grafik 2.5 Grafik 2.6 Grafik 2.7 Grafik 2.8 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis Pendapatan TA Perkembangan Jumlah Daerah yang Mengelola BPHTB dan PPB-P Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Secara Nasional TA Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Agregat Kabupaten/Kota TA Daftar Grafik vii

10 Grafik 2.9 Grafik 3.1 Grafik 3.2 Grafik 3.3 Grafik 3.4 Grafik 3.5 Grafik 3.6 Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB Terhadap Total Pajak Daerah Secara Nasional TA Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah APBD Tahun Anggaran Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional Tahun Anggaran Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi Tahun Anggaran Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran Tren Realisasi Belanja daerah Nasional...37 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional...38 Grafik 3.7 Realisasi Belanja Daerah Per Kapita Tahun Anggaran Grafik 3.8 Grafik 4.1 Grafik 4.2. Grafik 4.3 Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita Tahun Anggaran Perbandingan Suplus/Defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD Tren kabupaten/kota yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD...46 Tren Provinsi yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD...46 Grafik 4.4 Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA Grafik 4.5 Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA Grafik 4.6 Grafik 4.7 Grafik 4.8 Grafik 4.9 Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi...51 Tren SILPA Tahun Berkenaan...52 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman Kab/Kota...55 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman Provinsi...55 viii ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

11 Grafik 4.10 Jumlah Kab/kota yang melakukan Pinjaman Daerah...55 Grafik 4.11 Jumlah Provinsi yang melakukan Pinjaman Daerah...55 Grafik 5.1 Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional...60 Daftar Grafik ix

12 x ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

13 RINGKASAN EKSEKUTIF Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih rendah dibandingkan anggarannya. Selisih negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. Terjadinya surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total pendapatan dan kemudian Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,63 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. Realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09 triliun. Ringkasan Eksekutif xi

14 Realisasi Belanja Pegawai atau yang biasa disebut sebagai Gaji PNS tidak terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik. Rata-rata realisasi belanja daerah per kapita adalah sebesar Rp ,00. Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi memperlihatkan bahwa belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar Rp ,00, sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp ,00. Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013 realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55% (Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun), dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87% xii ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

15 (Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja Modal meningkat kembali sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun). Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata kenaikan realisasi Belanja Modal berdasarkan harga konstan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga yang berlaku. Pada tahun nilai surplus per Kabupaten/Kota secara rata-rata mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun Realisasi total penerimaan pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp 101,01 triliun atau terealisasi 151,2% dari yang dianggarkan. Komponen SiLPA tahun sebelumnya merupakan sumber pembiayaan yang paling besar, yaitu Rp97,45 triliun atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99 triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan. Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar Rp7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. Realisasi SILPA Tahun Berkenaan (harga berlaku) tahun 2013 sebesar Rp99,3 triliun atau mengalami peningkatan 2,3% dari tahun Namun jika dilihat dari harga konstan, SILPA Tahun Berkenaan tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 1,9% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2013, masih terdapat beberapa daerah yang mengalami SILPA Tahun Berkenaan negatif (SIKPA). Untuk menutup nilai SIKPA Tahun Berkenaan tersebut, daerah melakukan penundaan pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga (PFK). Ringkasan Eksekutif xiii

16 Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada tahun , untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Pada tahun 2013, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp ,00/ jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp /jiwa. Selain itu, ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian, apabila ditinjau dari tingkat dispersinya, maka pada periode membaik diindikasikan dengan perubahan standar deviasi yang menurun bila dibandingkan periode xiv ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

17 BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD Berdasarkan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah sebagai entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Laporan Keuangan Pemerintah yang disajikan setidak-tidaknya terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah mengatur urusan pemerintah pusat dengan kewenangan pemerintah daerah dengan jelas, sehingga dalam melaksanakan urusannya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sesuai dengan track-nya. Dalam tahun 2014, kedua peraturan perudangan tersebut telah disempurnakan menjadi satu pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya terdapat pengaturan pembagian urusan yang dijadikan sebagai lampiran tidak terpisahkan dari UU No. 23 Tahun 2014 tersebut. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan implikasi dimana pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan sesuai dengan urusannya, wajib menyampaikan pertanggungjawabannya secara terpisah dengan pemerintah pusat. Hal ini sebagai bentuk dampak perubahan tata pemerintahan yang sudah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dalam mengatur sendiri daerahnya melalui otonomi daerah. Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 1

18 Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), salah satu bentuk laporan keuangan yang disusun adalah Laporan Realisasi atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan melalui Perda, setelah sebelumnya diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan realisasi ini merupakan salah satu alat ukur untuk melihat implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Besarnya realisasi anggaran dan jenis belanjanya mengindikasikan besarnya komitmen dan keseriusan suatu pemerintahan daerah pada aspek-aspek yang menjadi prioritas daerah. Dalam gambaran umum realisasi APBD Tahun Anggaran (TA) 2013, akan dilihat realisasi dari 524 daerah, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 kota. Secara ringkas buku ini akan membahas tentang perbandingan realisasi APBD TA 2013 dengan anggarannya dan perbandingan data realisasi APBD TA 2013 dengan realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaannya. Selain itu akan disajikan analisis tentang beberapa indikator kinerja keuangan maupun implikasinya terhadap indikator perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Potret mengenai Realisasi APBD TA 2013 secara agregat nasional, seluruh provinsi, kabupaten, dan kota bisa dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 Mata Anggaran Realisasi (Dalam Milyar Rupiah) Nasional (Konsolidasi) Provinsi Kabupaten/ Kota Pendapatan , , ,56 PAD , , ,93 Dana Perimbangan , , ,83 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah , , ,80 2 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

19 Mata Anggaran Realisasi (Dalam Milyar Rupiah) Nasional (Konsolidasi) Provinsi Kabupaten/ Kota Belanja , , ,74 Belanja Pegawai , , ,76 Belanja Barang dan jasa , , ,44 Belanja Modal , , ,30 Belanja Lain-lain , , ,24 Surplus/Defisit , , ,82 Pembiayaan Netto , , ,26 Penerimaan Pembiayaan , , ,41 Pengeluaran Pembiayaan , , ,14 Silpa Tahun Berkenaan , , ,08 Sumber: DJPK (data diolah) *) Konsolidasi APBD adalah proses penggabungan APBD Kab/kota dengan provinsi dengan menghilangkan reciprocal account, hal tersebut dilakukan supaya tidak ada penghitungan ganda antara transfer provinsi ke kab/kota dengan pendapatan kab/kota, dengan menghilangkan reciprocal account besaran pendapatan dan belanja secara total lebih kecil namun besaran surplus/defisit tetap. Tabel 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 Persentase Mata Anggaran Nasional (Konsolidasi) Provinsi Kabupaten/ Kota Pendapatan 107,15% 103,93% 107,35% PAD 112,49% 109,63% 118,01% Dana Perimbangan 102,20% 102,83% 102,10% Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 3

20 Persentase Mata Anggaran Nasional (Konsolidasi) Provinsi Kabupaten/ Kota Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 124,57% 93,24% 128,79% Belanja 97,47% 95,26% 97,88% Belanja Pegawai 96,96% 93,42% 97,49% Belanja Barang dan jasa 97,61% 94,26% 99,36% Belanja Modal 92,76% 84,73% 95,37% Belanja Lain-lain 108,46% 102,47% 105,71% Surplus/Defisit -18,92% -19,98% -18,52% Pembiayaan Netto 162,40% 170,64% 159,29% Penerimaan Pembiayaan 151,17% 147,70% 152,79% Pengeluaran Pembiayaan 99,91% 92,94% 107,57% Sumber: DJPK (data diolah) 1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional Gambaran mengenai tingkat penyerapan APBD 2013 secara nasional dengan perbandingannya terhadap APBD dapat dilihat pada grafik ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

21 Grafik 1.1 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun Anggaran 2013 (Angka Dalam Milyar Rupiah) Sumber: DJPK (data diolah) Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih rendah dibandingkan anggarannya. Selisih negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. Terjadinya surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. Pada tahun 2013, realisasi pendapatan lebih tinggi Rp46,72 triliun dan realisasi belanja daerah lebih rendah Rp17,94 triliun dari anggarannya. Pada tahun 2013, faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah di mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 37,51% dari total pelampauan pendapatan, dan kemudian Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 5

22 pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%. Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah yang belum diakomodir pada saat penyusunan anggaran, sehingga pada realisasinya, total pelampauan dari pos ini mencapai sebesar Rp19,65 triliun. Pelampauan PAD terutama disumbang oleh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan total pelampauan mencapai Rp17,53 triliun. Pelampauan Dana Perimbangan terutama didominasi oleh pos Dana Bagi Hasil (DBH), baik dana bagi hasil dari pajak maupun sumber daya alam yang pelampauannya mencapai 91,29% dari total pelampauan dana perimbangan atau sekitar Rp8,72 triliun. Pelampauan pendapatan daerah di dalam APBD pada pos PAD dan Dana Perimbangan khususnya DBH utamanya disebabkan oleh penganggaran di daerah yang lebih konservatif dimana daerah cenderung menganggarkan dengan menggunakan batas bawah target sebagai ukuran pencapaian penerimaan. Sementara pelampauan PAD lebih banyak dipengaruhi oleh pelampauan pajak daerah, yang mencapai 72,78% dari total pelampauan PAD. Jika dilihat lebih rinci, porsi pelampauan pendapatan daerah melalui Pajak Daerah lebih banyak disumbang oleh pajak daerah provinsi sebesar Rp7,93 triliun, sementara porsi pajak daerah kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan pajak daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun terakhir merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah membuka keran penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkotaan dan pedesaan. 6 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

23 Grafik 1.2 Pelampauan Pendapatan APBD Sumber: DJPK (data diolah) Sementara itu, pada sektor belanja secara umum tidak terjadi pelampauan. Hal ini cukup mendasar, di mana di dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Tata Kelola Keuangan Daerah, pada Pasal 54 diatur bahwa Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dilarang melakukan pengeluaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD. Hal ini membatasi penggunaan anggaran belanja jika tidak sesuai dengan tujuan anggaran, sehingga pada sektor belanja terdapat sekitar Rp17,94 triliun (secara agregat dan setelah dikonsolidasi) yang tidak terserap sesuai dengan anggaran. Angka realisasi belanja yang tidak terserap cukup besar pada agregat provinsi (Rp10,1 triliun), namun jumlah belanja yang tidak terealisasi di kabupaten/kota bahkan lebih besar (Rp11,1 triliun). Besarnya angka realisasi belanja daerah pada agregat provinsi disebabkan oleh tidak terealisasinya belanja pada Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp7,27 triliun atau sekitar 15,96% dari total anggarannya. Secara umum, besarnya jumlah realisasi belanja yang masih belum terserap menunjukkan bahwa daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan yang berasal dari transfer ke daerah maupun peningkatan penerimaan pajak daerah, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa daerah belum mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut. Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 7

24 Kondisi tersebut di atas patut mendapat perhatian serius baik dari pusat maupun daerah sendiri. Harus diakui bahwa pendapatan APBD masih sangat bergantung kepada transfer dari pusat, sehingga informasi yang relatif cepat dan akurat atas besaran transfer yang dialokasikan ke daerah akan menjadi kunci bagi kecepatan dan keakurasian perencanaan anggaran di daerah. Hal ini sudah diupayakan lebih baik dari tahun ke tahun. Pekerjaan rumah yang masih harus terus dibenahi oleh pemerintah pusat adalah memperbaiki kualitas perencanaan alokasi DBH, mengingat hal ini membutuhkan kerja sama dengan berbagai kementerian/lembaga yang terkait dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan ke daerah. Di sisi lain, daerah juga perlu secara serius memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan di daerahnya dan memperbaiki kualitas belanjanya, sehingga dapat fokus pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan sekedar penyerapan belanja untuk keperluan aparatur Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi Pola realisasi APBD provinsi hampir sama dengan pola realisasi APBD secara agregat nasional, di mana terdapat surplus pada realisasi anggarannya. APBD agregat provinsi yang semula dianggarkan defisit Rp14,91 triliun, pada realisasinya menjadi surplus mencapai hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu, pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih tinggi Rp10,61 triliun, sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan untuk agregat pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun. 8 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

25 Grafik 1.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013 Sumber: DJPK (data diolah) Berdasarkan grafik 1.3, pelampauan pendapatan agregat provinsi lebih banyak diakibatkan oleh adanya pelampauan PAD, utamanya dari pajak daerah yaitu dengan kontribusi terhadap pelampauan PAD hingga 89,02%. Sebagai konsekuensi pelampauan target pajak daerah tersebut, maka secara otomatis juga terjadi pelampauan dana bagi hasil provinsi ke kabupaten/kota sebagai dampak dari penerusan pelampauan dana bagi hasil yang didapat di provinsi. Sementara itu, porsi pelampauan Dana Perimbangan karena peningkatan realisasi Dana Bagi Hasil adalah 99,58% atau sebesar 1,77 triliun. Hal ini memberikan sinyal kepada Pemerintah Pusat, sebagai pihak yang berperan besar dalam menentukan anggaran alokasi Dana Bagi Hasil di daerah setiap tahunnya, agar dapat menemukan pendekatan yang lebih baik dalam memprediksi pendapatan bagi hasil di tahun anggaran yang bersangkutan. Pada realisasi belanja agregat provinsi, dapat diketahui bahwa pola realisasi belanja agregat provinsi menunjukkan defisit persis sama dengan realisasi APBD secara nasional. Pada tahun 2013 total belanja agregat provinsi yang Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 9

26 tidak terserap mencapai 4,74% atau Rp10,1 triliun dari total belanja yang tidak terserap dari anggaran belanja. Angka ini didominasi oleh angka realisasi belanja modal yang tidak terealisasi yang mencapai sebesar Rp6,58 triliun atau 65,20% dari total realisasi belanja yang tidak terserap. Pos belanja lain yang cukup besar yang tidak terserap masing-masing adalah Pos Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa sebesar Rp4,07 triliun atau sebesar 40,28 % dan Pos Belanja Hibah sebesar Rp482 miliar atau 4,78% dari total yang tidak terserap pada anggaran belanja. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya provinsi untuk menggenjot belanja publik guna menyesuaikan dengan pendapatan yang melebihi anggarannya masih rendah dan terkesan kurang terencana, karena besarnya dana yang dialokasikan untuk belanja bantuan keuangan ke daerah lain serta untuk belanja hibah, yang seyogyanya dapat digunakan untuk belanja yang lebih menyentuh sektor publik Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota Grafik 1.4 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013 Sumber: DJPK (data diolah) 10 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

27 Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang hampir sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan realisasi pendapatan dan tidak tercapainya realisasi belanja. Pelampauan realisasi pendapatan mencapai Rp35,66 triliun dimana sekitar Rp19,27 triliun (54,03%) berasal dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, kemudian sekitar Rp8,62 triliun (24,17%) dari Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, komposisi pelampauan pendapatan dari Dana Perimbangan sebesar Rp7,77 triliun (21,79%) dari total pelampauan pendapatan, didominasi oleh DBH yang ditransfer baik oleh pusat maupun provinsi. Pada sektor belanja, realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 tidak terserap sebesar Rp11,12 triliun. Realisasi belanja yang tidak terserap tersebut paling besar disumbang oleh tidak terealisasinya belanja pegawai sebesar Rp6,46 triliun dan belanja modal yang sebesar Rp6,15 triliun, kemudian diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar Rp622 miliar. Sementara itu, total agregat belanja kabupaten/kota menjadi lebih besar karena pelampauan realisasi Belanja Lain-lain sebesar Rp2,11 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja modal masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada pelampauan pendapatan, namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak serta merta turut meningkat karena tidak diikuti oleh penggunaan pendapatan tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota masing-masing. Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 11

28 1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun Grafik 1.5 Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan APBD Konsolidasi Nasional Tahun Sumber: DJPK (data diolah) Tren realisasi APBD dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada grafik 1.5 di atas menunjukkan tren realisasi pendapatan yang selalu berada di atas 100%, dimana selama 5 tahun terakhir realisasi pendapatan APBD nasional selalu melebihi anggaran pendapatan itu sendiri. Bahkan terdapat tren peningkatan jumlah nominal pelampauan realisasi pendapatan dari tahun ke tahun, sekalipun terjadi penurunan pada tahun 2012 dan 2013, tetapi secara agregat dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan pendapatan pada kurun waktu 5 tahun terakhir. Tren realisasi belanja juga memiliki kecenderungan dimana realisasi belanja APBD secara nasional hampir mencapai anggarannya, sebagaimana terlihat pada garis merah pada Grafik 1.5, di mana realisasi belanja APBD nasional pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada tahun 2013 mencapai 97,47%, bahkan sempat melampaui anggarannya pada tahun 2011 dengan capaian 100,71%. 12 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

29 Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun realisasi pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, atau satu setengah kali dari yang anggarannya. Grafik 1.6 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun Sumber: DJPK (data diolah) Perbedaan defisit/surplus dalam anggaran dengan realisasi memberikan gambaran tingkat akurasi perencanaan daerah dalam penganggaran pendapatan dan belanja daerah, baik dari sisi pendapatan ataupun belanja. Semakin besar gap anggaran dan realisasi surplus/defisit, hal ini menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang kurang tersusun dengan baik. Grafik 1.6 menyajikan pergerakan gap antara surplus/defisit antara anggaran dengan realisasi yang semakin besar. Pada tahun 2009, APBD dianggarkan defisit sebesar Rp47,96 triliun dan realisasi APBD juga terjadi defisit sebesar Rp11,46 triliun, dengan kata lain terdapat gap atau selisih sebesar Rp36,51 triliun. Secara visual, selisih tersebut terlihat semakin besar, hingga pada tahun 2013 gap tersebut mencapai Rp64,67 triliun. Gap tahun 2013 sebagian besar berasal dari pelampauan realisasi pendapatan yang lebih besar dari anggaran sebesar Rp46,72 triliun, yang secara terperinci angka tersebut 42,05% berasal dari pelampuan Lain-lain Pendapatan yang Sah dan sebesar 37,51% berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 13

30 14 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

31 BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menuntut pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber pendapatan yang dimiliki secara baik dan maksimal. Terdapat dua sumber utama pendapatan daerah, yaitu dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi dan pendapatan asli daerah (PAD). Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi (pemerintah pusat dan/atau provinsi) mempunyai proporsi yang lebih besar daripada PAD, yang sebagian besar berasal dari pajak daerah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sistem desentralisasi di Indonesia yang lebih menganut expenditure assignment. Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi terbagi menjadi dua, yaitu dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, dan dana transfer dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten dan kota. Dari tahun ke tahun, dana yang ditransfer menunjukkan tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dana tersebut ditujukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal secara horisontal dan vertikal, membantu pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, dan tujuan khusus lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Dalam bab ini, jenis dana transfer yang dibahas adalah dana transfer dari pemerintah pusat. Sumber pendanaan kedua adalah PAD, yang terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah merupakan komponen utama dan menyumbang proporsi terbesar dalam PAD. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat empat jenis pajak yang dapat dipungut langsung oleh pemerintah provinsi dan tujuh jenis pajak yang menjadi kewenangan kabupaten dan kota. Terdapat beberapa jenis pajak baru yang diserahkan kepada daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 15

32 Pedesaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. Penyerahan keempat jenis pajak baru tersebut diharapkan menjadi sumber pendapatan daerah yang baru dan mampu meningkatkan nilai pendapatan asli daerah. Berbeda dengan pemberian dana transfer, penyerahan kewenangan kepada daerah untuk memungut beberapa jenis pajak merupakan bentuk pelaksanaan revenue assignment. Untuk melihat peranan kedua sumber pendanaan tersebut dalam APBD, berikut disajikan analisis realisasi pendapatan APBD Tahun Dalam analisis ini, diberikan gambaran realisasi komponen-komponen utama pendapatan APBD dan perbandingan dengan realisasi pendapatan empat tahun terakhir. Analisis komposisi dari realisasi pendapatan APBD bertujuan untuk menunjukkan peranan dari masing-masing komponen pendapatan APBD di Indonesia dengan melihat komposisi dari pendapatan total secara agregat nasional, agregat provinsi, dan agregat kabupaten/kota. Secara khusus, analisis ini juga membahas perbandingan antara total Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap total Pendapatan Daerah secara agregat nasional dan agregat kabupaten/kota Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1 menyajikan perbandingan antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada pos PAD, pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta secara total pendapatan. 16 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

33 Grafik 2.1 Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional TA 2013 Sumber: DJPK (data diolah) Pelampauan realisasi terhadap anggaran terjadi pada masing-masing komponen pendapatan. Pelampauan pendapatan daerah yang terbesar pada tahun 2013 berasal dari komponen Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar Rp19.65 triliun atau terealisasi sebesar 124,57% (pagu anggaran Rp79,97 triliun sedangkan realisasinya Rp99,62 triliun), diikuti oleh pelampauan PAD Rp17,527 triliun atau terealisasi sebesar 112,49% (pagu anggaran Rp140,328 triliun sedangkan realisasi Rp157,856 triliun), dan pelampauan Dana Perimbangan Rp9,55 triliun atau terealisasi sebesar 102,2% (pagu anggaran Rp433,21 triliun sedangkan realisasi Rp442,76 triliun). Sejak tahun 2012, Pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah merupakan pos dengan selisih realisasi terbesar secara persentase. Pelampauan komponen Lain-lain Pendapatan Yang Sah didominasi oleh pos Dana Penyesuaian yang mencapai Rp12,877 triliun (17,94% dari anggaran). Hal ini disebabkan karena informasi mengenai alokasi Tunjangan Profesi Guru baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari Pos lain yang tingkat pelampauannya cukup tinggi yaitu pos Lain-Lain dengan kenaikan sebesar Rp8,276 triliun (realisasi hingga sebesar 4 kali anggarannya). Penerimaan Dana Darurat yang semula tidak dianggarkan, terjadi realisasi sebesar Rp185,23 miliar. Sementara itu, penerimaan Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 17

34 dari pos Hibah pada saat realisasi justru mengalami penurunan dibandingkan anggarannya sebesar Rp1,69 triliun. Pelampauan realisasi pendapatan pada komponen PAD masih didominasi oleh pelampauan Pajak Daerah dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah pada tahun 2013 terealisasi Rp115,28 triliun atau lebih tinggi Rp12,76 triliun (12,44%) dibandingkan anggarannya. Melampauinya realisasi penerimaan pajak daerah dibandingkan dengan target pendapatan dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah pada tahun 2013 terdapat beberapa daerah yang mulai memungut PBB-P2 secara langsung dan kinerja pemungutan pajak daerah lainnya yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, pos Lain-Lain PAD yang sah terealisasi lebih tinggi Rp5,586 triliun lebih tinggi atau sebesar 126% dibandingkan anggarannya. Lain-Lain PAD yang Sah salah satunya diperoleh dari penerimaan bunga dari simpanan daerah di bank umum daerah. Retribusi Daerah justru dianggarkan terlalu optimis oleh daerah, yang semula dianggarkan Rp10,5 triliun hanya dapat direalisasikan sebesar Rp9,8 triliun (lebih rendah Rp694 miliar atau terealisasi 93,39% dibandingkan anggarannya). Untuk Dana Perimbangan, pelampauan terjadi pada pos Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp8,72 triliun. Lebih tingginya realisasi DBH dibandingkan dengan anggaran karena jumlah DBH yang akan diterima oleh daerah baru diketahui ketika sebagian besar daerah telah menetapkan APBD sehingga nilai yang ditetapkan dalam APBD merupakan nilai proyeksi berdasarkan nilai DBH tahun sebelumnya. Faktor lain yang menyebabkan realisasi DBH lebih besar dibandingkan dengan anggarannya adalah ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa DBH ditransfer berdasarkan nilai realisasi yang diterima oleh pemerintah pusat. Berbeda dengan pos Dana Bagi Hasil, realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) hampir sama dengan jumlah yang dianggarkan, selisih yang terjadi hanya di bawah 1% dibandingkan dengan anggaran. Realisasi DAU lebih tinggi Rp1,04 triliun daripada yang telah dianggarkan oleh daerah, sebaliknya DAK dianggarkan terlalu tinggi Rp205 miliar. Hal ini disebabkan karena nilai alokasi DAU dan DAK yang diterima oleh daerah bersifat tetap (tidak 18 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

35 berubah walau terdapat APBN Perubahan) dan informasi jumlah DAU dan DAK yang diterima dapat diperoleh oleh pemerintah daerah sebelum APBD ditetapkan. Variasi yang relatif kecil ini juga sejalan dengan hasil analisis pada Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2013 yang menguji hubungan variasi nilai alokasi DBH, DAU, dan DAK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan ditetapkan dalam APBD dengan pengumuman informasi alokasi oleh pemerintah pusat. Informasi DBH tahun 2013 baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari 2013, sedangkan besaran DAU dan DAK yang diterima diketahui oleh masingmasing daerah setelah rapat paripurna penetapan APBN 2013 dilaksanakan. Analisis yang dilakukan dengan melihat perbedaan besaran alokasi pada Perpres DAU dan PMK Alokasi DAK dan DBH dengan besarnya pos dana tersebut pada APBD. Deviasi akan bernilai positif apabila daerah menganggarkan penerimaannya pada APBD lebih besar daripada alokasi pada PMK Alokasi dan akan bernilai negatif apabila alokasi pada APBD lebih kecil daripada alokasi pada PMK Alokasi. Deviasi/perbedaan terbesar terdapat pada alokasi Dana Bagi Hasil yang mencapai 167,28% untuk deviasi negatif dan 100% untuk deviasi positif. Di sisi lain, deviasi atas alokasi DAK dan DAU cenderung kecil. Meskipun masih ada daerah dengan deviasi negatif 100%, jumlah tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan daerah yang memiliki deviasi 0% dan hanya 3 daerah yang memiliki deviasi positif dengan nilai deviasi positif tertinggi sebesar 3,5%. Deviasi positif tertinggi yang terjadi pada alokasi DAU adalah sebesar 6,37% dan deviasi negatif tertinggi sebesar 23,7%. Dengan kondisi ini, perbedaan antara anggaran dan realisasi Dana Perimbangan di APBD tidak terlalu signifikan Komposisi Pendapatan Daerah Berdasarkan data yang disajikan pada poin A, tampak bahwa Dana Perimbangan merupakan komponen pendapatan terbesar bagi daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah Pusat untuk mendanai belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi pendapatan daerah secara nasional, provinsi, dan agregat kabupaten/kota. Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 19

36 Grafik.2.2 Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan Provinsi (dalam triliun Rupiah dan persentase) Sumber: DJPK (data diolah) Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total pendapatan dan kemudian Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. Nilai Lain-Lain Pendapatan Yang Sah untuk agregat nasional merupakan nilai hasil konsolidasi setelah dikurangi pendapatan Transfer dari Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya sebesar Rp26,7 triliun. Berbeda dengan nasional, komposisi pendapatan untuk provinsi yang terbesar berasal dari PAD yaitu sebesar 49,25%, meningkat apabila dibandingkan realisasi tahun Proporsi PAD pada tingkat provinsi cukup signifikan karena basis pajak provinsi yang cukup besar sehingga penerimaan dari pajak daerah memberikan kontribusi yang besar bagi APBD. Proporsi Dana Perimbangan yang diterima oleh provinsi hanya sebesar 31,34%, sedangkan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih didominasi oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus. 20 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

37 Grafik.2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota (dalam triliun Rupiah dan persentase) Sumber: DJPK (data diolah) Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah PAD sebesar Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan APBD kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota sangat didominasi oleh penerimaan dari Dana Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan komponen terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah memiliki kontribusi sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan terbesar komponen ini berasal dari transfer Dana Penyesuaian dari Pemerintah Pusat. Sementara itu Pendapatan Asli Daerah hanya memberikan kontribusi terhadap APBD sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami kenaikan sebesar Rp10 triliun dibandingkan tahun Dari keseluruhan komponen PAD, Pajak Daerah memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun (51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5 triliun (29%). Bagi kabupaten/kota penerimaan Lain-Lain PAD ternyata juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi APBD. Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 21

38 Berdasarkan komposisi di atas, dapat disampaikan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya, pemerintah provinsi yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk menentukan pajak daerahnya dapat memperoleh realisasi penerimaan pajak daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang nilainya cukup signifikan. Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan Bunga. Kondisi ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang dimiliki daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana idle di perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Tren realisasi pendapatan daerah nasional dapat dilihat pada Grafik 2.4. Grafik tersebut menunjukkan pola realisasi pendapatan daerah dari tahun menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan dengan harga konstan tahun 2000 dan memperhitungkan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun , sedangkan pendekatan dengan harga berlaku tidak memperhitungkan faktor perubah harga pada tahun Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA ,00 700,00 600,00 500,00 400,00 300,00 200,00 100,00 0, Pendapatan 378,20 433,60 527,73 624,50 700,24 PAD 67,57 81,15 109,24 131,81 157,86 Pendapatan PAD Sumber: DJPK (data diolah) Realisasi pendapatan dengan pendekatan harga berlaku menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun , dengan peningkatan tertinggi 22 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

39 pada tahun Jika tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran Rp378,20 triliun, maka pada tahun 2013 realisasi pendapatan hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun dengan pendekatan harga konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai realisasi antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun. Grafik 2.5 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis Pendapatan TA Triliun Rupiah Triliun Rupiah Sumber: DJPK (data diolah) Tren peningkatan juga terlihat untuk realisasi jenis pendapatan PAD dengan pendekatan harga berlaku. Walaupun peningkatan terbesar pada tahun 2010 ke 2011 yaitu sebesar 34,6% atau sebesar Rp28,09 triliun, peningkatan yang terjadi dari tahun 2012 ke tahun 2013 juga cukup besar, yaitu Rp26,04 triliun. Sementara itu berdasarkan harga konstan, jenis pendapatan PAD juga mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar 14,73% atau Rp6,35 triliun. Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga berlaku, realisasi Dana Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingga 2013, dari sebesar Rp281,29 triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64% (Rp60,83 triliun), kenaikan di tahun 2013 tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14% (Rp37,07 triliun). Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 23

40 Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan meskipun secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar 12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun). Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku maupun harga konstan. Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013 sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya pada tahun 2012 sebesar 13,07% (Rp3,29 triliun) dan pada tahun 2013 sebesar 9,72% (Rp2,76 triliun). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah baik secara keseluruhan maupun per jenis pendapatan mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan realisasi pendapatan secara riil dari tahun 2009 hingga Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Rasio pajak daerah terhadap total pendapatan daerah menggambarkan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak di daerah terhadap total pendapatan daerah selama satu periode anggaran. Rasio ini menunjukkan bagaimana komposisi penerimaan dari sektor pajak daerah terhadap pendapatan yang dapat dihasilkan oleh daerah. Dengan telah diterapkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah telah diberikan kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan kebijakan diskresi penetapan tarif pajak. 24 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Billions RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN B A B III 1 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Daerah Tahun 2010-2015 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Data realisasi keuangan daerah Kabupaten Rembang

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I 1 KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pengelolaan APBD. Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh penyerapan

Lebih terperinci

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016 BAB V ANALISIS APBD 5.1. Pendapatan Daerah Sebagai daerah pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), kondisi keuangan daerah Provinsi Kaltara tergolong belum stabil terutama pada tahun 2013. Sumber

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU BAB V ANALISIS APBD 5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 5.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Jl. Dr. Wahidin No.1 Gedung Sutikno Slamet Lantai 19, Jakarta 10710

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis

Deskripsi dan Analisis 1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - 1 LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 TRIWULAN III KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Dalam upaya reformasi pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah menerbitkan paket peraturan perundang undangan bidang pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus) 1 ii Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus) RINGKASAN EKSEKUTIF 1. SILPA daerah yang besar merupakan indikasi

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN - 61 - BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Dasar yuridis pengelolaan keuangan Pemerintah Kota Tasikmalaya mengacu pada batasan pengelolaan keuangan daerah yang tercantum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004, terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah. BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pengelolaan keuangan daerah merupakan sub-sistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH Profil APBD TA 2012 Pendahuluan Dalam kerangka desentralisasi fiskal, pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada

Lebih terperinci

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Ratarata % Dalam milyar rupiah. Jenis Pendapatan

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Ratarata % Dalam milyar rupiah. Jenis Pendapatan RINGKASAN I. PENDAPATAN DAERAH Untuk tahun 27-211, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 17% dan Lain-lain pendapatan hanya 1% (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan (Daper) mencapai

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN RINGKASAN EKSEKUTIF Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya,

Lebih terperinci

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH 1 Persentase Realisasi Belanja Tahun 2011-2015 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 2011 2012 2013 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB V PENDANAAN DAERAH BAB V PENDANAAN DAERAH Dampak dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Lebih terperinci

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Drs. Bambang Wisnu Handoyo DPPKA DIY

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Drs. Bambang Wisnu Handoyo DPPKA DIY PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Drs. Bambang Wisnu Handoyo DPPKA DIY KEUANGAN DAERAH Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU Pemerintah Kabupaten gresik dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN ` BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah merupakan komponen penting dalam perencanaan pembangunan, sehingga analisis mengenai kondisi dan proyeksi keuangan

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah tidak terlepas dari batasan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana

Lebih terperinci

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I 1 laporan monitoring realisasi APBD dan dana idle Tahun 2013 Triwulan I RINGKASAN EKSEKUTIF Estimasi realisasi belanja daerah triwulan I Tahun 2013 merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah RINGKASAN I. PENDAPATAN DAERAH Untuk tahun 2007-2011, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 18% dan Lain-lain pendapatan hanya 1 (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan\ (Daper) mencapai

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di Kota Malang serta tantangan-tantangan riil yang di hadapi dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi,

Lebih terperinci

Frequently Asked Questions (FAQ)

Frequently Asked Questions (FAQ) Frequently Asked Questions (FAQ) Subdit Evaluasi Keuangan Daerah No Seksi Pertanyaan Jawaban I Evaluasi Pendapatan dan Belanja Daerah 1. Bagaimana gambaran umum pendapatan daerah dalam APBD 2017? Komposisi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Revenue & Expenditure

Revenue & Expenditure Pengenalan tentang Keuangan Daerah Revenue & Expenditure Syukriy Abdullah Penger5an Keuangan Daerah Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Pendapatan Daerah Secara umum, pendapatan daerah terdiri dari tiga jenis yaitu pendapatan asli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN Abstract Saldo Anggaran Lebih yang berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran dari Tahun Anggaran yang lalu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

Frequently Asked Questions (FAQ)

Frequently Asked Questions (FAQ) Frequently Asked Questions (FAQ) Subdit Evaluasi Keuangan Daerah No Pertanyaan Jawaban 1. 2. 3. Bagaimana gambaran umum pendapatan daerah dalam APBD 2017? Bagaimana gambaran umum belanja daerah dalam APBD

Lebih terperinci

Bab-3 Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

Bab-3 Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan Bab-3 Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Bungo tidak terlepas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman BAB III PENUTUP... 13

DAFTAR ISI. Halaman BAB III PENUTUP... 13 DAFTAR ISI Halaman BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBK... 1 1.2. Tujuan Penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBK... 2 1.3. Dasar Hukum Penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN CAPAIAN KINERJA Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan 2009-2013 Pengelolaan keuangan daerah yang mencakup penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN PURWOREJO TAHUN ANGGARAN 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN PURWOREJO TAHUN ANGGARAN 2013 B U P A T I P U R W O R E J O PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN PURWOREJO TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I Summary Secara kumulatif realisasi pendapatan ABPD Provinsi, Kabupaten dan Kota pada triwulan I adalah 25,2% dari total anggaran pendapatan, sedangkan realisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan BAB I PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang Sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan Indonesia sejak tahun 2004 mengharuskan pemerintah untuk menyerahkan beberapa urusan untuk diselesaikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

III BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

III BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN III BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Dalam melaksanakan pembangunan, setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah sesuai dengan kewenangannya sebagai satu

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Bab ini menyajikan gambaran hasil pengolahan data dan analisis terhadap pengelolaan keuangan daerah yakni semua hak dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

PROFIL KEUANGAN DAERAH

PROFIL KEUANGAN DAERAH 1 PROFIL KEUANGAN DAERAH Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang adalah menyelenggarakan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Purworejo. Adapun yang menjadi fokus adalah kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

PECAPP. Revenue & Expenditure. Pengenalan tentang Keuangan Daerah. Syukriy Abdullah

PECAPP. Revenue & Expenditure. Pengenalan tentang Keuangan Daerah. Syukriy Abdullah Pengenalan tentang Keuangan Daerah A-PDF Watermark DEMO: Purchase from www.a-pdf.com to remove the watermark Revenue & Expenditure Syukriy Abdullah Pengertian Keuangan Daerah Keuangan Daerah adalah semua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah terus-menerus menjadi prioritas pemerintah. Menurut Mardiasmo (2002, p.16) instansi sektor

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2015 2015 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN Dgchuank.blogspot.com I. PENDAHULUAN Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan yang proporsional, demokratis, adil,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, Indonesia menganut pada asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dalam

Lebih terperinci