BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being, aspek-aspek psychological well-being, pengertian ibu, pengertian status bekerja ibu, pengertian ibu rumah tangga, pengertian ibu bekerja, dan perbedaan tingkat psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja. A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Waterman (dalam Singh, dkk, 2012) menjelaskan well-being dalam dua pandangan yaitu pandangan hedonic dan eudemonic. Pandangan hedonic menekankan kepada pencapaian kebahagiaan dan menghindari sesuatu yang menyakitkan. Pandangan eudemonic lebih menekankan pada kehidupan yang bermakna, pencapaian pemenuhan diri, dan sejauhmana seseorang mampu berfungsi secara penuh (Ryan dan Deci, dalam Singh, dkk, 2012). Menurut Diaz, Rodriguez-Carvajal, dan Blanco (dalam Singh, dkk, 2012) bahwa pengertian psychological well-being lebih menekankan pada pandangan eudemonic yaitu keberfungsian positif individu yang ditandai dengan adanya kemampuan individu untuk terus mengembangkan keterampilan dan pertumbuhan pribadi Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) psychological well-being merupakan konsep kriteria kesehatan mental. Individu yang dapat mencapai psychological well-being ditandai dengan adanya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki banyak tujuan yang dapat membuat 10

2 11 hidup menjadi bermakna, serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri secara optimal. Pendapat lainnya dari Bradburn (dalam Singh, dkk, 2012) bahwa psychological well-being sebagai kebahagiaan, yakni kebahagiaan merupakan hasil kesejahteraan psikologis yang tercapai dengan adanya keseimbangan antara hal positif dan negatif. Berdasarkan pemaparan beberapa teori di atas, maka dapat disimpulkan psychological well-being adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya kebahagiaan, mampu tumbuh dan berkembang, serta menunjukkan potensinya secara optimal, yang dapat diketahui dari adanya sikap penerimaan diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, memiliki tujuan hidup, serta pertumbuhan pribadi. 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being Faktor Faktor yang memengaruhi psychological well-being antara lain : a. Usia Ryff dan Keyes (dalam Snyder & Lopez, 2005) menjelaskan perbedaan usia akan mempengaruhi dimensi-dimensi dari psychological well-being. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes menunjukkan pada usia dewasa muda hingga dewasa akhir mengalami peningkatan dalam dimensi otonomi dan juga penguasaan lingkungan. Dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan pada periode usia dewasa muda sampai dewasa akhir. Dimensi penerimaan diri menunjukkan adanya perbedaan yang sangat kecil dalam variasi usia, hal ini sama seperti dimensi hubungan positif dengan orang lain (khusus untuk perempuan).

3 12 b. Jenis Kelamin Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat perbedaan well-being pada jenis kelamin yang berbeda. Perempuan menunjukkan adanya profil yang lebih positif dibandingkan dengan laki-laki dalam hal well-being. Untuk dimensi interpersonal yaitu hubungan positif dengan orang lain, perempuan selalu menunjukkan skor signifikan lebih tinggi daripada laki-laki (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2005). Dalam beberapa penelitian, perempuan juga menunjukkan profil yang lebih tinggi dalam hal pertumbuhan pribadi dibandingkan laki-laki (Ryff & Singer, dalam Snyder & Lopez, 2005). c. Status Sosial Ekonomi Faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being adalah situasi status sosial ekonomi, yang juga mencakup beberapa kondisi objektif antara lain seperti bagaimana akses keperumahan, sistem kesehatan, pekerjaan, dan aktivitas rekreasi (Diener dalam Singh, dkk, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (dalam Singh, dkk, 2012) tentang dampak tingkat ekonomi pada tingkat well-being menunjukkan hubungan yang kuat yakni tingkat sosial ekonomi mempengaruhi dimensi penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, dan juga pada tujuan hidup. Hasil beberapa penelitian menunjukkan orang dengan tingkat ekonomi rendah yang ditentukan baik dari karakteristik pendidikan dan aktivitas pekerjaan yang dilakukan memiliki tingkat psychological well-being yang juga lebih rendah. Terkait dengan kesejahteraan pada perempuan, ditemukan hubungan yang kuat pada tingkat well-being perempuan dengan kepuasan akan pekerjaan dan kepuasan akan kehidupan (dalam Singh, dkk, 2012).

4 13 d. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberikan dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi. Budaya timur (kolektivisme) memiliki skor tinggi dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain. e. Dukungan sosial Dukungan sosial berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang dipersepsikan, diterima individu dan berasal dari banyak sumber, seperti dari pasangan hidup, teman, rekan kerja, dokter atau organisasi masyarakat (Cobb; Gentry & Kobasa; Wallston; Alagha, DeVellis & De Vellis; Wills, dalam Sarafino & Smith, 1990). Pada kenyataannya, banyak penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir telah menemukan bahwa isolasi sosial, kesepian, dan kehilangan dukungan sosial berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit atau mengurangi harapan hidup (Berkman, Davis, Morris and Graus, dalam Singh, dkk, 2012). Tidak adanya dukungan sosial akan mengakibatkan kesepian. Kesepian dapat memiliki efek negatif pada psychological well-being (Green & Shellenberger, Brannon & Feist, dalam Compton, 2005). f. Religiusitas Religiusitas dapat mempengaruhi well-being. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Pargament dan Zinnabaur (dalam Snyder & Lopez, 2005), bahwa baik agama dan spiritualistas dapat dikatakan sebagai individu dan sosial, serta keduanya memiliki kapasitas untuk dapat mendorong atau menghambat well-being. Selain itu, Pargament, Smith, Koenig dan Perez, Emmons (dalam Compton, 2005) juga mengungkapkan bahwa ketaatan pada agama atau melakukan aktivitas keagamaan

5 14 mempengaruhi well-being atau kesehatan mental dan juga fisik karena dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu religiusitas memberikan dukungan sosial, mendukung gaya hidup yang sehat, meningkatkan integrasi kepribadian, meningkatkan generatifitas, memberikan strategi coping yang unik, dan memberikan rasa kebermaknaan dan tujuan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi psychological well-being adalah usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, budaya, dukungan sosial, dan religiusitas. 3. Aspek-Aspek Psychological Well-Being Carol Ryff (dalam Singh, dkk, 2012) mengembangkan sebuah model yang mencakup enam dimensi dari psychological well-being. Keenam dimensi atau aspek psychological well-being tersebut antara lain: a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Aspek ini merupakan bagian penting dari kesejahteraan dan berpusat pada penilaian positif dari seseorang akan dirinya sendiri. Hal ini tidak menunjukkan kecintaan pada diri sendiri, tetapi sebaliknya membangun harga diri yang mampu menerima diri baik yang mencakup aspek positif dan juga negatif (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Penerimaan diri ini dibangun dengan penilaian diri sendiri yang jujur yaitu individu menyadari kegagalan pribadi dan keterbatasan di masa lalu, namun tetap dapat menerima dan mencintai dirinya. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang menunjukkan sikap positif terhadap diri, mampu mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya termasuk kualitas yang baik maupun buruk, serta memiliki perasaan yang positif tentang kehidupan masa lalu. Individu yang rendah dalam aspek ini merasa tidak puas dengan diri, kecewa atau tidak nyaman dengan apa yang

6 15 sudah terjadi dalam kehidupan masa lalunya, bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu, berharap ingin berbeda dari diri yang sekarang (Papalia, dkk, 2009). b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relationships with Others) Aspek ini mencakup adanya daya tahan, kesenangan dan kegembiraan yang datang dari adanya hubungan dekat dengan orang lain, serta dari intimasi dan cinta (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Teori tentang tahap perkembangan dewasa juga menekankan tentang hubungan dekat dengan orang lain (intimacy) dan perhatian terhadap orang lain (generativity). Definisi kesejahteraan psikologis menekankan pada memiliki hubungan positif dengan orang lain (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang mampu untuk membangun hubungan yang saling percaya dan puas, dengan orang lain, hangat, peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami hubungan manusia yang memberi dan menerima. Individu yang rendah dalam aspek ini memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap kesejahteraan orang lain. Individu merasa terasing dan frustrasi dalam hubungan sosialnya, tidak bersedia membuat komitmen untuk memelihara ikatan yang penting dengan orang lain (Papalia, dkk, 2009). c. Otonomi (Autonomy) Aspek ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengejar pendirian dan keyakinan sendiri, bahkan jika itu melawan dogma yang diterima dan kebijaksanaan yang lazim telah berlaku. Aspek ini juga mengacu pada kemampuan untuk melakukan segala sesuatu sendiri jika diperlukan dan hidup mandiri (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Teori tentang aktualisasi diri dan perwujudan diri

7 16 dijelaskan sebagai fungsi dari otonomi. Pada studi tersebut dijelaskan bahwa konsep dari fungsi optimal individu adalah seseorang dengan penilaian dari dalam, yang terutama tidak tertarik akan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya, tetapi mengevalusi diri sendiri sesuai dengan standar pribadi (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu yang memiliki otonomi tinggi ialah memiliki pengaturan diri dan mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan caracara tertentu, dan mengatur perilakunya dari dalam. Individu mampu mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Individu yang rendah dalam aspek ini cenderung khawatir mengenai pengharapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain sebelum membuat suatu keputusan yang penting, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang dipengaruhi oleh tekanan sosial (Papalia, dkk, 2009). d. Penguasaan Lingkungan (Envinronmental Mastery) Aspek ini adalah bagian penting dalam kesejahteraan dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh individu di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan kematangan individu tersebut. Kemampuan ini membutuhkan keterampilan menciptakan dan mendukung lingkungan yang menguntungkan bagi individu (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Kemampuan dari individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang tepat untuk keadaan mentalnya. Kemampuan ini dijelaskan sebagai karakteristik dari kesehatan mental. Menurut teori life-span, kemampuan menguasai lingkungan membutuhkan kemampuan dalam mengelola dan mengendalikan lingkungan yang kompleks. Perspektif ini menekankan pada kebutuhan untuk bergerak maju yang diwujudkan dengan kegiatan fisik dan mental (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012).

8 17 Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini mempunyai kemampuan dalam menguasai dan berkompetensi dalam lingkungan, menggunakan kesempatan di lingkungan sekitarnya dengan efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Individu yang rendah dalam aspek ini kesulitan mengelola urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau memperbaiki konteks di lingkungan sekitarnya, tidak sadar akan peluang di lingkungan sekitarnya, kurangnya kesadaran akan kendali atas dunia eksternal (Papalia, dkk, 2009). e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Aspek ini mengacu pada kemampuan individu untuk menemukan makna dan petunjuk dalam peristiwa atau kejadian yang dialami, memiliki niat dan juga sekumpulan tujuan di dalam hidupnya. Definisi dari kedewasaan menekankan pada kemampuan seseorang untuk memahami tujuan hidup dan kesadaran akan arah atau tujuan serta intensionalitas. Individu yang berfungsi positif, digambarkan dengan memiliki tujuan, niat dan kesadaran akan arah. Kondisi ini akan membantu individu untuk dapat memberikan makna pada hidupnya (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu dengan skor tinggi adalah yang memiliki tujuan hidup dan kesadaran akan arah (directedness); merasa ada makna dalam kehidupan sekarang dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup. Individu yang rendah dalam aspek ini menunjukkan kurangnya perasaan kebermaknaan dalam hidup, memiliki sedikit tujuan atau sasaran, kurangnya kesadaran akan arah, tidak memiliki tujuan dalam kehidupan masa lalu, dan tidak memiliki sikap atau keyakinan yang memberikan makna hidup (Papalia, dkk, 2009)

9 18 f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Aspek ini meliputi kemampuan individu untuk merealisasikan potensi dan bakatnya dan mengembangkan sumber-sumber baru. Hal ini meliputi kemampuan seseorang untuk menggali kekuatan dari dalam diri terutama saat menghadapi kesulitan. Terbuka akan pengalaman baru juga merupakan karakteristik dari fungsi optimal individu. Teori life-span development juga menekankan tentang pentingnya terus tumbuh dan menangani tugas-tugas baru atau tantangan dalam berbagai kehidupan seseorang. (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ialah mereka yang memiliki perasaan berkembang secara berkesinambungan, melihat diri sebagai diri yang berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi sendiri, melihat perbaikan di dalam diri dan perilaku sepanjang waktu, dan mau berubah untuk meningkatkan pengetahuan diri dan keefektifan. Individu yang rendah dalam aspek ini memiliki perasaan kemandekan pribadi, kurang kesadaran akan perbaikan atau perluasan sepanjang waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dalam kehidupan, merasa tidak mampu dalam mengembangkan berbagai sikap atau perilaku yang baru (Papalia, dkk, 2009). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek psychological well-being adalah penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. B. Status Bekerja Ibu 1. Pengertian Ibu Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), ibu diartikan sebagai perempuan yang telah melahirkan seseorang,

10 19 panggilan yang umum yang diberikan kepada perempuan, baik yang telah bersuami atau yang belum bersuami. Pendapat lainnya dari Gunarsa dan Gunarsa (2008) ibu adalah tokoh yang mendidik anak-anaknya, yang memelihara perkembangan anak-anaknya, mempengaruhi aktivitas-aktivitas anak di luar rumah, dan sosok yang akan melakukan apa saja untuk anaknya, serta dapat memenuhi kebutuhan fisik anak-anaknya. Berdasarkan beberapa pengertian ibu yang telah dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ibu merupakan perempuan yang telah melahirkan, baik yang telah bersuami atau belum, berperan dalam mengatur rumah tangga dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya. 2. Pengertian Status Bekerja Ibu Menurut Soerjono (Lubis, 2013), status sosial atau kedudukan adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak, serta kewajiban-kewajibannya. Pendapat serupa diungkapkan oleh Taylor, Peplau, dan Sears (2009) yakni status sosial mengacu pada tingkat atau kedudukan seseorang dalam kelompok, berdasarkan pada karakteristik seperti usia, gender, atau posisi dalam bisnis. Berdasarkan beberapa pemaparan teori di atas, maka dapat disimpulkan status bekerja ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan atau kedudukan ibu yakni sebagai ibu rumah tangga atau sebagai ibu bekerja. a. Pengertian Ibu Rumah Tangga Ibu rumah tangga menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah perempuan yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga (tidak bekerja di kantor). Menurut Kartono (1992), ibu rumah tangga adalah individu dalam keluarga yang

11 20 berperan dalam kegiatan melayani, seperti mendidik, mengatur, mengurus untuk dinikmati orang lain atau bersama-sama untuk dinikmati orang lain. Berdasarkan beberapa pemaparan teori di atas, dapat disimpulkan ibu rumah tangga adalah perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah untuk melakukan kegiatan rumah tangga termasuk memelihara, mendidik, dan mengasuh anak-anak tanpa terikat pekerjaan di luar kegiatan rumah tangga. b. Pengertian Ibu Bekerja Menurut Matlin (2012), perempuan bekerja adalah perempuan yang bekerja untuk mendapatkan gaji atau berwiraswasta. Pendapat lainnya yakni dari Subhan (2004) perempuan karir atau ibu bekerja adalah diartikan sebagai seorang perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan profesi, seperti kegiatan usaha atau perkantoran. Dapat disimpulkan ibu bekerja adalah seorang perempuan, yang melakukan kegiatan secara teratur, yang selain mengurus rumah tangga juga memiliki tanggung jawab atau terikat dengan pekerjaan di luar kegiatan rumah tangga, baik bekerja di instasi negeri, swasta, atau kegiatan wiraswasta untuk memperoleh penghasilan sendiri. C. Ibu Rumah Tangga dan Ibu Bekerja di Kabupaten Gianyar Kabupaten Gianyar merupakan bagian dari 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Kabupaten Gianyar memiliki budaya patrilineal, yakni garis keturunan berasal dari pihak ayah. Pada keluarga besar patrilineal, ayah memiliki status yang lebih tinggi dengan peran dan otoritas yang lebih besar dalam budaya keluarga. Anak laki-laki adalah keturunan yang lebih diutamakan dari pada anak perempuan dalam kehidupan keluarga, sehingga terdapat perbedaan peran dan tanggung jawab (dalam Panetje, 1986). Pada budaya di Bali, tugas laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda dalam kegiatan keagamaan, namun

12 21 kenyataannya perempuan lebih banyak menyiapkan sarana dan sesajen untuk upacara keagamaan. Kabupaten Gianyar merupakan kabupaten yang kaya akan nilai-nilai adat istiadat (Atmaja & Virnayanthi, 2010). Adat istiadat mengambarkan tentang kumpulan aturan, tindakan, atau ketentuan yang sudah lama ada dan merupakan suatu kebiasaan. Adat istiadat pada suatu daerah diatur dalam awig-awig. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang harmonis di masyarakat (Surpha, 2002). Awig-awig tidak hanya melingkupi hak dan kewajiban masyarakat, namun juga sanksi-sanksi adat, baik sanksi denda atau psikologis (Surpha, 2002). Adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Kaputen Gianyar ialah terkait upacara keagamaan. Upacara keagamaan membutuhkan banten atau sesajen. Tanpa adanya sesajen, maka suatu upacara keagamaan tidak akan dapat dilaksanakan. Para ibu memiliki tugas untuk membuat sesajen tersebut (Suryani, 2003). Adat istiadat yang lainnya ialah adanya kegiatan ngayah. Ngayah ialah melakukan kegiatan secara gotong royong tanpa pamrih. Ngayah biasanya dilakukan ketika ada upacara atau aktivitas di pura atau fasilitas umum milik masyarakat. Pembuatan sesajen, mempersembahkan sesajen dan kegiatan ngayah merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh perempuan di Kabupaten Gianyar. Apabila tidak dilaksanakan maka akan mendapatkan sanksi adat. Sanksi adat ada yang berbentuk denda dan sebagaian besar bersifat psikologis, misalnya disisihkan dalam masyarakat, tidak diajak bicara, atau tidak diikutsertakan dalam kegiatan masyarakat (Surpha, 2002). Maka perempuan yang sudah menikah, tidak hanya menjalan peran domestik seperti kegiatan

13 22 mengurus rumah tangga, menjaga anak dan mendampingi suami, namun juga melaksanakan peran dalam adat seperti pembuatan banten dan wajib mengikuti ngayah. Perempuan yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga di Kabupaten Gianyar akan fokus menjalan kedua peran yaitu peran dalam keluarga dan peran dalam adat. Adanya adat istiadat seperti membuat sesajen dan ngayah, tidak menjadi penghalang bagi para perempuan di Kabupaten Gianyar untuk memiliki pekerjaan di luar kegiatan domestik. Jumlah perempuan bekerja di Kabupaten Gianyar sebanyak orang. Jumlah perempuan bekerja tertinggi berada di Kota Denpasar dengan jumlah orang, diikuti dengan Kabupaten Buleleng dengan jumlah orang, Kabupaten Badung dengan jumlah orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2011). Meskipun jumlah perempuan bekerja tertinggi berada di Kota Denpasar, namun Kabupaten Gianyar memiliki jumlah penduduk pendatang perempuan yang tergolong sedikit dengan jumlah penduduk pendatang adalah orang. Jumlah tersebut sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan Kota Denpasar yang memiliki jumlah penduduk pendatang perempuan orang dan juga Kabupaten Badung orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2010). Semakin sedikit jumlah penduduk pendatang maka semakin cenderung proporsi tenaga kerja di wilayah bersangkutan adalah tenaga kerja asli wilayah tersebut. Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun di Kabupaten Gianyar memiliki adat istiadat yang mengikat perempuan memiliki peran dalam rumah tangga dan juga adat, namun jumlah penduduk perempuan di Kabupaten Gianyar yang bekerja tergolong tinggi. Perempuan yang memiliki peran sebagai ibu bekerja tidak hanya menjalankan tugas rumah tangga dan pekerjaan, namun juga kewajiban dalam adat. Kewajiban tersebut seperti melaksanakan upacara keagamaan yang meliputi pembuatan banten, dan ngayah. Maka ibu bekerja memiliki 3 peran (Handayani & Sugiarti, 2008). Peran tersebut yakni

14 23 peran domestik, peran publik, dan peran sosial. Ibu bekerja dituntut untuk mampu menjalankan ketiga peran yaitu peran dalam rumah tangga, pekerjaan dan kewajiban dalam ucapara keagamaan. D. Dinamika Antar Variabel Psychological well-being adalah kesejahteraan psikologis tertinggi yang dapat dicapai oleh individu. Individu yang dapat mencapai psychological well-being ditandai dalam enam dimensi atau aspek antara lain adanya penerimaan akan diri sendiri baik aspek positif maupun aspek negatif, individu mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain seperti hangat, puas, peduli, dan saling percaya dengan orang lain, individu mampu mandiri dan melakukan tindakan dan evaluasi berdasarkan standar pribadi, individu memiliki kemampuan untuk menguasai atau mengelola lingkungan dan juga memilih dan menggunakan kesempatan yang ada di lingkungan dengan efektif, individu juga memiliki tujuan dan arah yang jelas dalam kehidupannya, serta memiliki pertumbuhan pribadi yang baik yaitu memiliki perasaan perkembangan yang berkesinambungan (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2005). Pencapaian psychological well-being akan berbeda pada setiap individu, begitu juga pada kaum perempuan. Perempuan dalam keluarga memiliki peran tertentu, yakni sebagai ibu rumah tangga atau sebagai ibu bekerja. Ibu rumah tangga di Kabupaten Gianyar tidak hanya memiliki peran domestik yakni mengurus rumah tangga, mendampingi suami, mengatur perekonomian keluarga dan mengasuh anak, tetapi juga memiliki peran sosial di adat. Peran tersebut berkaitan dengan upacara keagamaan seperti membuat sesajen, mempersembahkan sesajen, dan ngayah. Ibu bekerja di Kabupaten Gianyar memiliki tiga peran yakni peran domestik, peran publik, dan peran sosial. Ibu bekerja dituntut untuk

15 24 mampu mengatur waktu untuk mengerjakan tugas rumah tangga, tugas dalam pekerjaan, dan kewajiban dalam ucapara keagamaan. Adapun perbedaan tugas dan tanggung jawab antara ibu rumah tangga dan ibu bekerja akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain sehingga akan berdampak juga pada pencapaian psychological well-being pada individu yang bersangkutan. Pencapaian psychological well-being oleh individu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dukungan sosial, budaya dan religiusitas. Diener (dalam Singh, dkk, 2012) mengungkapkan salah satu status sosial ekonomi yang mempengaruhi psychological well-being adalah pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ananda (2013), menunjukkan ibu rumah tangga memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan ibu bekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ibu rumah tangga kurang memberikan penghargaan terhadap diri sendiri atas kegiatan atau peran yang dijalankan. Hal serupa diungkapkan oleh Frieze (1978) ibu rumah tangga cenderung memandang rendah dirinya sendiri, karena pekerjaan ibu rumah tangga diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak memerlukan kemampuan khusus. Kurangnya penghargaan terhadap diri sendiri pada ibu rumah tangga akan berdampak pada tingkat psychological well-being. Menurut Ryff (Singh, dkk, 2012) individu yang memiliki psychological well-being adalah individu yang mampu menunjukkan penghargaan terhadap diri sendiri dengan menerima segala aspek negatif dan positif. Menurut Singh, Mohan, & Anasseri (2012) mengungkapkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kesejahteraan dengan pekerjaan yang dimiliki oleh perempuan. Ibu bekerja cenderung dapat memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan ibu rumah tangga. Perempuan yang bekerja dapat berkontribusi pada penghasilan keluarga sehingga membuat perempuan lebih mandiri, mengurangi tekanan

16 25 antara suami dan istri, serta harga diri yang lebih meningkat (Gilbert dalam Papalia, dkk, 2009). Hal yang serupa diungkapkan oleh Santrock (2002) bahwa ibu yang bekerja memiliki sejumlah keuntungan antara lain yaitu dalam hal keuangan, pernikahan dengan karir ganda dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri dan meningkatkan rasa harga diri bagi ibu. Hal ini menunjukkan bahwa ibu bekerja dapat memiliki tingkat otonomi dan harga diri yang tinggi. Menurut pendapat dari Ryff (Singh, dkk, 2012) individu yang mencapai psychological well-being ditandai dengan adanya otonomi dan juga penerimaan diri. Berdasarkan tinjauan terhadap dinamika kedua variabel dalam penelitian ini, maka dapat diasumsikan adanya perbedaan psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja. Status Bekerja Ibu Ibu Rumah Tangga Ibu Bekerja Psychological Well-Being a. Penerimaan Diri b. Hubungan Positif dengan Orang Lain c. Otonomi d. Penguasaan Lingkungan e. Tujuan Hidup f. Pertumbuhan Pribadi Psychological Well-Being a. Penerimaan Diri b. Hubungan Positif dengan Orang Lain c. Otonomi d. Penguasaan Lingkungan e. Tujuan Hidup f. Pertumbuhan Pribadi Keterangan gambar: : Variabel penelitian : Dimensi variabel : garis pengaruh yang akan diteliti Gambar 1. Diagram Psychological Well-Being pada Ibu Rumah Tangga dengan Ibu Bekerja

17 26 E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha : Terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja di Kabupaten Gianyar. H0 : Tidak terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja di Kabupaten Gianyar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (kesejahteraan psikologis) merupakan suatu kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Saat ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan melewati berbagai tahapan perkembangan yang berbeda dalam hidupnya. Tahapan perkembangan yang terakhir dalam hidup manusia adalah masa lansia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PEREMPUAN BEKERJA DENGAN STATUS MENIKAH DAN BELUM MENIKAH

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PEREMPUAN BEKERJA DENGAN STATUS MENIKAH DAN BELUM MENIKAH PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PEREMPUAN BEKERJA DENGAN STATUS MENIKAH DAN BELUM MENIKAH Ferny Santje Lakoy Fakultas Psikologi Universitas INDONUSA Esa Unggul, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebon Jeruk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Santrock, orang yang telah lanjut usia dimulai ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun. Seringkali usia yang telah lanjut dianggap sebagai masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Flow 2.1.1 Definisi Flow Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan kesuksesan dalam kegiatan terlihat mudah, walaupun banyak energi fisik dan mental yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis atau melakukan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dari bagian awal penelitian ini dijelaskan mengenai pembahasan yang hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling pada pasangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran 5.1 Simpulan Pada penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecemasan state dengan psychological well being pada isteri TNI Angkatan Darat yang suaminya bertugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhlik hidup ciptaan Allah SWT. Allah SWT tidak menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup ciptaan Allah yang lain adalah

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya, karena manusia memiliki akal budi dan dapat berpikir. Seiring berjalannya waktu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu utama bagi individu yang ada pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut Erikson,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL

KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya, ilmu psikologi lebih menekankan kepada aspek pemecahan masalah yang dialami individu dan cenderung lebih memusatkan perhatian kepada sisi negatif perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik secara fisik maupun psikologis. Namun kenyataanya, tuntutan tugas dan profesi dalam pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum revolusi industri, yang bertanggung jawab mencari uang untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga adalah laki-laki, sedangkan seorang perempuan dewasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Psychological Well-Being 2. Variabel tergantung : Komitmen Organisasional B. Definisi Operasional 1. Komitmen Organisasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN.. Abstrak Penelitian ini berjudul studi kasus mengenai profil Psychological Well- Being pada anak yatim piatu di Panti Asuhan Putra X Bandung. Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 246-6448 Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung 1 Rahmadina Haturahim, 2 Lilim Halimah 1,2

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Empty Nest 1. Definisi Empty Nest Salah satu fase perkembangan yang akan terlewati sejalan dengan proses pertambahan usia adalah middle age atau biasa disebut dewasa madya, terentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Bicara konflik bisa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkat menjadi 80 juta jiwa (Menkokesra). Data statistik tersebut

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkat menjadi 80 juta jiwa (Menkokesra). Data statistik tersebut BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini, populasi manusia lanjut usia (selanjutnya disebut lansia ) diprediksikan akan semakin meningkat. Berdasarkan data statistik tahun 2010, jumlah lansia di

Lebih terperinci