BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)"

Transkripsi

1 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan Psikologis dengan memadukan teori perkembangan manusia, teori-teori klinis mengenai pertumbuhan diri dan literatur-literatur kesehatan mental. Secara lebih khusus, teori perkembangan yang digunakan adalah teori psikososial dari Erikson, teori perkembangan menurut Buhler, dan teori Neugarten mengenai perkembangan kepribadian. Teori-teori klinis yang turut dijadikan dasar adalah teori Maslow mengenai aktualisasi diri, teori Rogers mengenai individu yang berfungsi sepenuhnya, teori kematangan dari Allport, dan teori Jung mengenai proses individuasi. Literatur kesehatan mental yang digunakan adalah konsep Jahoda mengenai kesehatan mental dan keberfungsian positif dari Birren dan Renner (Lianawati, 2008). Campbell (dalam Rini 2008) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya baik evaluasi secara kognitif maupun evaluasi secara emosi. Evaluasi secara koginitif, kesejahteraan adalah sebuah bentuk kepuasan dalam hidup, sementara sebagai hasil dari evaluasi emosi yaitu berupa affect atau perasaan senang.

2 2 Lawton (dalam Rini, 2008) menjabarkan kesejahteraan psikologis sebagai suatu skema yang terbentuk mengenai hidup yang berkualitas sebagai hasil dari evaluasi terhadap aspek aspek yang ada pada hidupnya yang dianggap baik atau memuaskan, sementara itu Okun dan Stock (dalam Rini, 2008) juga memperkaya pengertian kesejahteraan psikologis sebagai perasaan bahagia dan kepuasan yang secara subjektif dialami atau dirasakan oleh seseorang. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis secara umum dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepuasan terhadap aspek-aspek hidup sehingga mendatangkan atau menimbulkan perasaan bahagia dan perasaan damai pada hidup seseorang, namun standar kepuasan pada setiap orang berbeda sehingga hal ini bersifat subjektif. 2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (1989) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. a. Penerimaan diri (self-acceptance) Dimensi ini merupakan suatu bagian yang sentral dari kesehatan mental. Ryff menyimpulkan bahwa penerimaan diri mengandung arti sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini adalah mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif

3 3 maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya. b. Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with others) Didasarkan pada berbagai teori, Ryff mendefinisikan dimensi hubungan yang positif dengan orang lain sebagai dimensi yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang hangat, saling mempercayai, dan saling mempedulikan kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain. Menurut Ryff, kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang positif ini juga dicirikan oleh adanya empati, afeksi, dan keakraban, serta adanya pemahaman untuk saling memberi dan menerima. c. Otonomi (Autonomy) Ryff menyimpulkan pribadi yang otonom adalah pribadi yang mandiri, yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Individu ini memiliki internal locus of evaluation, yakni tidak mencari persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan standar personal. Oleh karena itu, ia tidak memikirkan harapan-harapan dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang otonom juga tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting. Individu ini tidak menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk tertentu.

4 4 d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Dimensi ini menggambarkan adanya suatu perasaan kompeten dan penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar diri, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas serta mampu mengendalikannya. Menurut Ryff, orang yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu seperti ini mampu mengendalikan kegiatan-kegiatannya yang kompleks sekalipun. Ia juga dapat menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif, dan mampu memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi jiwanya. e. Tujuan hidup (purpose in life) Ryff menyimpulkan orang yang memiliki tujuan hidup adalah orang yang memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hidupnya. Ia memiliki keyakinan dan pandangan tertentu yang dapat memberikan arah dalam hidupnya. Selain itu, individu ini juga menganggap bahwa hidupnya itu bermakna dan berarti, baik di masa lalu, kini, maupun yang akan datang. Individu ini memiliki perasaan menyatu, seimbang, dan terintegrasinya bagian-bagian diri. f. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Suatu pertumbuhan yang optimal tidak hanya berarti bahwa seseorang dapat mencapai kualitas-kualitas yang telah disebutkan

5 5 sebelumnya, tetapi juga membutuhkan suatu perkembangan dari potensipotensi seseorang secara berkesinambungan. Kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam hidup membutuhkan adanya perubahan yang terus berlangsung dalam diri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis dapat digambarkan dari suatu sikap yang mampu mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif ataupun negatif, mampu menjalin hubungan yang hangat, saling mempercayai, dan saling mempedulikan kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain, tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting serta mampu mandiri dan dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal diluar diri dan mampu berpartisipasi dalam berbagai aktivitas serta mampu mengendalikannya, memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hidupnya, serta menganggap bahwa hidupnya bermakna dan berarti, baik di masa lalu, kini, maupun yang akan datang. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Mirowsky & Ross (dalam Ryan & Deci 2001) menjelaskan kondisi yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis (Psychological Well Being) seseorang adalah : kemampuan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, anak, kehidupan masa kecil seseorang, serta kesehatan fisik. Sementara itu Schmutte

6 6 & Ryff (dalam Ryan & Deci 2001) mempeajari hubungan antara factor kepribadian dengan kesejahteraan psikologis, hasil penelitian mereka menunjukan bahwa extroversion, consceintiousness dan low neuroticism memiliki hubungan dengan kesejahteaan psikologis, terutama penerimaan diri, penguasaan lingkungan, serta tujuan hidup, keterbukaan terhadap pengalaman berhubungan dengan pertumbuhan pribadi. Agreeableness dan extraversions berkaitan dengan hubungan positif dengan orang lain dan low neuroticism berkaitan dengan kemandirian. Dijelaskan pula oleh Bhogel & Prakash (dalam wahyuni 2001) yang menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu : 1. Personal control, yaitu kemampuan seseorang dalam mengontrol segala emosi dan dorongan yang muncul dati dalam diri. 2. Self Esteem atau harga diri, yaitu memiliki harga diri yang seimbang. 3. Positive Affect, perasaan atau emosi yang positif (kesenangan atau kegembiraan). 4. Manage Tension, yaitu kemampuan untuk mengatur ketegangan yang keluar dari dalam diri, misalnya kemarahan atau kebahagiaan, sehingga tidak muncul secara berlebihan. 5. Positive thinking, yaitu berfikir positif dalam menghadapi peristiwa, suasana, atau individu baru.

7 7 6. Ide & Feeling yang efisien, yaitu mengeluarkan ide dan perasaan yang tepat dan sesuai dengan konteks serta tidak berlebihan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah : kepribadian, kehidupan masa kecil seseorang dan factor-faktor external meliputi kemampuan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, anak, kesehatan fisik serta lingkungan social. Sedangkan pendapat lain menjelaskan ada enam faktor penting yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada seseorang, yaitu Personal control, Self Esteem atau harga diri, Positive Affect, Manage Tension, Positive thinking, dan Ide & Feeling yang efisien. namun karena kesejahteraan psikologis ini sifatnya subjektif, maka pencapaian kesejahteraan psikologis antara individu satu dengan yang lainnya berbeda dan beragam. 4. Kriteria Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Meninjau kembali teori klasik tentang kesehatan mental dan menambahkan penelitian dari perkembangan, klinis dan psikologi kepribadian Ryff (1989) menjelaskan ada enam kriteria Well Being yang dinamakan Psychological Well Being : 1. Penerimaan diri a. evaluasi diri yang positif, b. kemampuan menghargai diri sendiri, dan c. kemampuan menerima aspek positif maupun negatif diri sendiri.

8 8 2. Hubungan yang positif dengan orang lain a. hubungan yang dekat, hangat dengan orang lain, b. memperhatikan kesejahteraan orang lain, c. berempati dan mengasihi orang lain. 3. Kemandirian a. kebebasan menentukan pilihan, b. kemampuan bertahan terhadap tekanan sosial, c. kemampuan mengendalikan diri. 4. Penguasaan lingkungan a. kemampuan menguasai dan berkompetisi di lingkungan, b. kemampuan memilih hal-hal yang baik untuk mencapai tujuan. 5. Tujuan hidup a. memiliki tujuan dan makna hidup, b. memiliki arah dan tujuan dalam hidup. 6. Perkembangan kepribadian a. kemampuan membangun dan mengembangkan potensi diri, b. perubahan yang terjadi sebagai bukti pengembangan diri, dan c. keterbukaan pada hal baru. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) diantaranya adalah Penerimaan diri yaitu individu harus mampu menerima dirinya apa adanya, hubungan yang positif dengan orang lain ialah mampu berhubungan baik dengan lingkungan keluarga ataupun lingkungan social serta mampu berempati, kebebasan yaitu

9 9 mempunyai kemandirian untuk membuat keputusan, penguasaan lingkungan yaitu mampu berkompetisi dengan lingkungan, tujuan hidup yaitu memiliki tujuan dan makna hidup serta memiliki tujuan dalam hidup dan perkembangan kepribadian yaitu kemampuan seseorang dalam mengembangkan potensi diri dan terbuka dengan hal baru. B. Wanita yang Berperan Sebagai Orang Tua Tunggal (Single Parent) karena perceraian. 1. Pengertian wanita Wanita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wanita yang hidup pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999) dewasa awal termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition), mereka yang tergolong dewasa awal ialah mereka yang berusia tahun. Levinson (dalam santrock 1999) membedakan masa dewasa awal yang terbagi dalam tiga periode yaitu Periode pertama : pengenalan dengan dunia orang dewasa, berusaha membentuk struktur kehidupan (22 28 tahun). Periode kedua : pilihan struktur kehidupan lebih tetap dan stabil (28 32 tahun). Periode ketiga : fase kemantapan, menemukan tempatnya di masyarakat (32 40 tahun) dan dalam penelitian ini informan berusia tahun yang artinya bahwa informan masuk dalam masa dewasa awal periode ke tiga yaitu fase kemantapan, menemukan tempatnya di masyarakat.

10 10 2. Orang Tua Tunggal (Single Parent ) Menurut Suryasoemirat (2007) orang tua tunggal atau single parent adalah keluarga yang hanya dengan satu atau sendirian orang tua (ayah saja atau ibu saja) dan memiliki anak yang harus diasuh. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu : perceraian, kematian pasangan, hamil di luar nikah, atau karena pasangan yang sedang bepergian jauh dalam jangka waktu yang lama. Pengasuhan oleh orang tua tunggal atau sering disebut single parent merupakan salah satu fenomena yang banyak dijumpai dalam masyarakat pada zaman sekarang ini. Fenomena ini tercatat telah meningkat dari 13 % di tahun 1970 menjadi 26 % di tahun menurut data tersebut, diperkirakan 1 dari 5 anak di Amerika mengalami sebagian masa kanak-kanaknya dalam keluarga dengan orang tua tunggal Anonim (dalam Zein 2008). Rahmi (dalam suryasoemirat 2007) menyatakan bahwa perempuan sanggup untuk tidak menikah lagi seraya mendidik anaknya sampai berhasil. Tetapi dalam kehidupan perempuan itu sendiri mengalami banyak permasalahan yang dipendam. Rahmi juga mengatakan bahwa secara biologis perempuan juga dapat bertahan, karena mempunyai banyak aktivitas sehingga energinya terkuras. Sementara laki-laki jika telah terpaku masalah seks cenderung tidak dapat memikirkan hal lain. Oleh karena itu jarang laki-laki yang mampu bertahan menjadi orang tua tunggal. Ditambah lagi dengan budaya yang cenderung lebih mendidik anak laki-laki menjadikan

11 11 kebutuhannya selalu dipenuhi dan tidak mandiri, sehingga jika tidak ada perempuan maka laki-laki akan kebingungan. Jarangnya laki-laki mampu menjadi orang tua tunggal disebabkan oleh kurangnya rasa tanggung jawab. Merasa tidak peduli dengan permasalahan yang terjadi di sekitarnya, sehingga laki-laki tidak mampu menanggung permasalah itu sendiri. Berbeda jika laki-laki yang sudah terbiasa dididik untuk melakukan pekerjaan rumah dan mandiri, maka laki-laki tersebut cenderung lebih memiliki empati, dan ketika tidak ada pasangan maka masih dapat mengatasi masalah (Khairina, 2007). Menurut Murdiana (dalam Suryasoemirat, 2007) sesempurna apapun seorang perempuan atau laki-laki, dia tidak akan bisa tampil dalam dua karakter di hadapan anaknya. Ibu memerankan sosok ayah, atau sebaliknya ayah memerankan sosok ibu, demi memberi kepuasan batin pada anak. Parmata (2006) menyatakan bahwa berperan sebagai orang tua tunggal sangat berat. Ketika suami pergi, bercerai atau meninggal, semua beban secara tiba-tiba terkumpul di pundak perempuan. Tanggung jawab materi, tugas mendidik anak, dan beban dari lingkungan yang memberikan stigma negatif seorang janda, terutama janda muda yang punya daya tarik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan yang berperan sebagai orang tua tunggal (Single Parent) sangat berat, karena disamping harus bertanggung jawab secara materil, juga harus bertanggung jawab secara psikoligis memikirkan pendidikan, pengasuhan dan masa depan

12 12 anak, juga harus memikirkan kehidupan dan masa depan pribadi dirinya sendiri, untuk itu perlu manajemen keluarga yang tepat untuk dapat mencapai kesjahteraan psikologis. C. Perceraian a. Pengertian Perceraian Dalam kehidupan berumah tangga ada kalanya terjadi masalah yang tidak dapat diatasi dan kemudian menyebabkan terjadinya perceraian. Kata cerai sendiri dalam istilah umum menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (1991) adalah berpisahnya suami dan istri sehingga tidak kembali utuh dalam satu ikatan perkawinan. Krantzer (dalam Endah, 2005) menjelaskan bahwa perceraian merupakan berakhirnya hubungan antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai suami istri. Sedangkan menurut Scanzoni (dalam Endah, 2005) perceraian adalah akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan, dimana pasangan suami istri kemudian berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Dalam pasal 38 UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan diterangkan bahwa perkawinan dapat putus karena 3 hal, yakni : kematian, perceraian dan putusan Pengadilan Agama. b. Sebab-Sebab Perceraian Menurut Hurlock (1999) ada berbagai kondisi yang mempengaruhi

13 13 stabilitas perkawinan yang dapat dan sering menjadi sebab terjadinya perceraian. Sebab-sebab tersebut yaitu : 1. Jumlah Anak Lebih banyak perceraian terjadi karena pasangan tidakn memiliki anak atau hanya mempunyai beberapa anak. 2. Kelas Sosial Kasus meninggalkan keluarga lebih banyak terjadi pada kelompok masyarakat kelas rendah, sedang perceraian banyak terjadi pada kelompok sosial menengah ke atas dan kelompok atas. 3. Kemiripan Latar Belakang Perceraian lebih banyak terjadi antara pasangan yang mempunyai latar belakang kebudayaan, suku, bangsa, agama dan sosial ekonomi yang berbeda. Diantara sekian penyebab, perbedaan agama merupakan penyebab utama perceraian. 4. Saat Menikah Tingkat perceraian yang sangat tinggi khususnya terjadi pada orang yang menikah terlalu dini atau sebelum mempunyai pekerjaan yang mantap dan ekonominya belum kuat. Ada tiga alasan yang mendukung alasan tersebut. Pertama, orang muda tahu bahwa ia masih bisa kawin lagi; kedua, orang yang buru-buru menikah nampaknya akan menghadapi masalah keuangan sehingga proses penyesuaian perkawinan menjadi sulit; ketga, orang

14 14 muda sering memiliki konsep perkawinan yang romantis tetapi ruwet sehingga menimbulkan kekecewaan yang tidak dapat dihindarkan. 5. Alasan Untuk Menikah Orang yang terpaksa menikah karena pasagan wanitanya telah mengandung kemungkinan untuk bercerai jauh lebih besar daripada pernikahan biasa. 6. Saat Pasangan Menjadi Orang Tua Makin pendek jarak interval antara saat menikah dan lahirnya seorang anak pertama makin tinggi tingkat perceraian. Pasangan yang terlalu cepat menjadi orang tua tidak mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi berkeluarga, sehingga menyebabkan penyesuaiannya terhadap kedudukan mereka sebagai orangtua sulit. 7. Status Ekonomi Makin rendah status ekonomi keluarga makin besar kemungkinan terjadinya perceraian atau salah satunya meninggalkan keluarga. Pendapat ini berlaku untuk pasangan dalam segala usia. 8. Model Pasangan sebagai Orang Tua Keberhasilan dan kegagalan perkawinan selalu ada dalam keluarga. Anak-anak dari keluarga bahagia, kecil kemungkinannya untuk ditinggal cerai daripada keluarga yang tidak bahagia.

15 15 9. Posisi Umum Masa Kecil Keluarga Satu-satunya pria dalam keluarga mempunya kemungkinan bercerai sangat besar, sedang satu-satunya wanita dalam keluarga mempunyai kemungkinan bercerai kecil. Hal inidapat mendukung fakta bahwa laki-laki tipe tersebut cenderung merusak, sedang wanita tipe tersebut belajar untuk memahami tanggung jawab. Anak pertama lai-laki juga mau memahami tanggung jawab ketika dia masih muda dan kecil kemungkinannya untuk bercerai. Anak pertama wanita yang biasanya dengan keras ingin menaklukkan adik-adiknya mempunyai tingkat kemungkinan perceraian yang lebih tinggi. 10. Mempertahankan Identitas Orang dewasa yang dapat merawat identitasnya setelah menikah dan yang mempunyai kesempatan untuk memperbaharui diri, lebih kecil kemungkinannya untuk bercerai daripada mereka yang kehidupan dirinya sangat dipengaruhi oleh keluarga. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan buruknya penyesuaian perkawinan, tetapi kondisi tersebut bukan penyebab yang sesungguhnya dari perceraian. Bagi orang-orang tertentu yang tidak pandai dalam menyesuaikan diri akan lebih mudah terjadi perceraian.

16 16 c. Masalah Umum yang dihadapi Wanita yang Bercerai Hurlock (1999) menjelaskan banyak permasalahan yang terjadi sebagai dampak yang harus dihadapi oleh wanita karena perceraian. Diantaranya adalah : 1. Masalah ekonomi Beberapa janda mempunyai situasi keuangan yang lebih baik daripada waktu mereka masih hidup berkeluarga, teteapi mereka ini merupakan perkecualian, karena diluar kenyataan umum. Janda menemukan dirinya dalam lingkungan ekonomi yang jauh berkurang pada waktu pendapatan suaminya karena suatu sebab terhenti. Karena inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima janda secara turun-menurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun seorang janda memulai untuk bekerja diusia dewasa tengah, biasanya dia tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasa dilakukan. 2. Masalah sosial Karena kehidupan sosial diantara orang yang berusia dewasa tengah adalah sama dengan kehidupan orang dewasa muda, yaitu berorientasi pada pasangan. Seorang janda akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat untuk menikah, kecuali hal itu terjadi karena ada undangan dari para janda untuk bergabung dalam kegiatan social dan untuk berpasangan dengan mereka. Kegiatan seorang janda pada umumnya adalah berkisar di antara

17 17 kegiatan yang berhubungan dengan wanita-wanita lain. Apabila kemampuan ekonominya rendah, seorang janda tidak dapat berpertisipasi dalam berbagai kegiatan social yang ada dalam masyarakat. Contohnya, perkumpulanperkumpulan sosial. 3. Masalah keluarga Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang janda harus memerankan peran ganda yaitu berperan sebagai ayah dan ibu dan harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. Masalah ini telah dijelaskan dalam uraian terdahulu. Disamping itu janda juga sering menghadapi masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga dari pihak suami, khususnya anggota yang tidak menyenanginya menjadi istri dari suaminya. 4. Masalah psikologis Baik pria maupun wanita cenderung merasa tidak menentu dan identitasnya kabur setelah terjadi perceraian. Khusus untuk masalah identitas, wanita biasanya lebih parah kondisinya karena biasanya sebelum cerai identitasnya sangat tergantung pada suaminya. 5. Masalah emosional Hanya beberapa saja pria dan wanita yang merasa bebas dan tidak memikirkan masalah apapun setelah mereka cerai, banyak juga yang merasa terbebas dari ketegangan mental dan ketidakmenentuan perasaan yang disebabkan oleh pernikahan yang tidak bahagia. Setelah perceraian banyak

18 18 wanita yang perasaannya dipenuhi oleh rasa bersalah, marah-marah, benci, dendam dan cemas tentang hari depannya, sehingga mengakibatkan perubahan kepribadian. 6. Masalah praktis Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami dalam hal membetulkan peralatan rumah tangga yang rusak, memangkas rumput dihalaman, membersihkan salju dan sebagainya menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihadapi oleh seorang janda, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang dia mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Karena itu mau tidak mau dia harus mengupah orang luar, yang dengan demikian berarti menambah ketegangan terhadap ketegangan yang sudah ada yang disebabkan oleh pendapatan yang terbatas. 7. Masalah seksual Karena keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia dewasa tengah, janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam tahuntahun perkawinannya, sekarang dia merasa frustasi dan tidak terpakai. Beberapa janda mencoba mengatasi kebutuhan seksual ini dengan melakukan hubungan gelap dengan pria bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa nikah atau dengan menikah lagi. Sedang sebagian lagi tetap tenggelam dalam perasaan frustasi, atau melakukan masturbasi.

19 19 8. Masalah tempat tinggal Dimana seorang janda akan tinggal, biasanya bergantung pada dua kondisi. Pertama, ststus ekonominya, dan kedua apakah dia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Kebanyakan janda terpaksa harus merelakan rumahnya karena kondisi ekonominya tidak memungkinkan untuk merawatnya. Dalam kasus seperti ini mereka harus pindah kebagian rumah yang lebih kecil. Dari beberapa permasalahan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setelah bercerai, perempuan mengalami beberapa kesulitan dalam menjalani kehidupannya. Antara lain Masalah social, Masalah ekonomi, Masalah keluarga, Masalah psikologis, Masalah emosional, Masalah praktis, Masalah seksual, Masalah tempat tinggal untuk itu menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang Kesehajteraan Psikologis (Psychological Well Being) pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal (single parent) karena perceraian. D. Kesejahteraan Psikologis pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal (single parent) karena perceraian. Freud (dalam Lianawati, 2008) pelopor Psikoanalisa yang teorinya dijadikan pijakan dalam psikologi sering melabel perempuan sebagai pribadi yang sakit dan sulit disembuhkan dengan terapi sekalipun. Sekian lama dunia psikologi menerima pandangan Freud, bahkan pengikutnya Helene Deutsch (dalam Lianawati, 2008) menambahkan, perempuan adalah pribadi masokis yang senang dengan penderitaan dan bahkan berusaha mencari penderitaan,

20 20 dengan pandangan seperti ini, upaya untuk membuat kehidupan perempuan menjadi lebih baik secara psikologis pun tidak pernah terpikirkan. Namun Ryff tidak melihat perempuan sebagai pribadi masokis seperti yang dikatakan Deutsch, perempuan dalam pandangan Ryff tidak mencari penderitaan dan selanjutnya pasif menikmati penderitaan itu. Dengan konsepnya mengenai reinterpretasi, Ryff justru melihat perempuan sebagai pribadi sejahtera yang mampu mengendalikan lingkungannya dan mampu melakukan sesuatu yang bermakna dalam tekanan sekalipun (Lianawati, 2008). Kesejahteraan menurut Ryff bukan ditentukan oleh seberapa menyenangkan peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang. Peristiwa negatif yang dialami seseorang tidak serta merta membuatnya tidak sejahtera. Ryff memberikan istilah re-interpretasi, yaitu bahwa manusia dapat melakukan interpretasi ulang (re-interpretasi) terhadap kondisi dan pengalaman hidupnya. Jadi dalam tekanan budaya yang melingkupi hidup perempuan saat ini, tetap terbuka peluang bagi perempuan untuk menjadi sejahtera. Beauvoir meyakini perempuan dapat dan bahkan perlu menunjukkan eksistensinya meskipun dalam budaya yang menekan. Untuk dapat melakukannya, perempuan dapat menentukan caranya masing-masing. Beauvoir (dalam Lianawati, 2008) menyatakan bahwa perempuan selalu dalam proses menjadi. Dalam proses ini pengalaman perempuan akan sangat subjektif karena melibatkan pilihan-pilihan personal.

21 21 Perempuan berhak memutuskan cara terbaik untuk dapat menjadi sejahtera tanpa mengikatkan diri pada tuntutan masyarakat. Dalam kondisi perempuan tidak dapat memilih sekalipun, konsep kesejahteraan Ryff tetap membuka peluang bagi perempuan untuk dapat menjadi sejahtera (Lianawati, 2008). Hurlock (1999) menjelaskan masalah yang dihadapi oleh wanita saat menjalankan peran sebagai orang tua tunggal karena perceraian antara lain yaitu masalah sosial dan ekonomi. Masalah sosial yang dihadapi wanita saat berperan sebagai orang tua tunggal lebih sulit diatasi dari pada laki-laki karena wanita yang diceraikan bukan hanya dikucilkan dari kegiatan sosial tetapi lebih buruk lagi, wanita tersebut sering kali kehilangan teman lamanya, karena teman-temannya yang mengucilkannya dan memboikotnya atau mendukung bekas suaminya, dan masalah lain yang timbul saat berperan sebagai orang tua tunggal karena perceraian adalah masalah ekonomi, dimana apabila seorang wanita single parent tidak mempunyai keterampilan yang banyak diperlukan perusahaan mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, hal tersebut dapat dan biasanya mempunyai efek yang merusak bagi wanita. Secara psikis perempuan lebih sensitif daripada laki-laki. Di sisi yang lain dialah satu-satunya sosok yang dapat membantu laki-laki karena kemampuannya dalam memenuhi segala keinginan laki-laki, sekalipun terkadang harus menanggung derita. Perempuan secara fitrah adalah obyek

22 22 yang dicari, bukan subyek pencari. Bagaikan tanaman, perasaan perempuan akan cepat layu meskipun hanya terkena sentuhan. Apabila datang pengganti yang lebih muda dan lebih terhormat serta dapat menjadikannya tersanjung pun belum tentu dapat mendorongnya untuk mau menempuh hidup berumah tangga lagi Makki (dalam Zein, 2008). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa banyak anggapan mengenai perempuan adalah individu yang kurang mampu untuk mencapai kesejahteraan psikologis, namun dengan konsep mengenai kesejahteraan psikologis yang dibangun Ryff, perempuan mampu menjadi sejahtera secara psikologis dengan menerima diri, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, memiliki tujuan hidup, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Selain itu juga dengan konsepnya mengenai re-interpretasi terhadap kondisi dan pengalaman hidupnya, perempuan sebagai pribadi sejahtera yang mampu mengendalikan lingkungannya dan mampu melakukan sesuatu yang bermakna dalam tekanan sekalipun, untuk dapat melakukannya perempuan dapat menentukan caranya masing-masing. Bagi seorang perempuan perubahan status dari seorang istri menjadi seorang janda khususnya karena perceraian, tidaklah mudah sehingga saat berperan menjadi orang tua tunggal perempuan mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitasnya. Namun dalam kondisi perempuan tidak dapat memilih sekalipun, konsep kesejahteraan Ryff tetap membuka peluang bagi perempuan untuk dapat menjadi sejahtera dengan mengenali dan menonjolkan kelebihan-kelebihannya.

23 23 E. Proses Pencapaian Kesejahteraan Psikologis PERCERAIAN PERAN WANITA SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL MASALAH YANG MUNCUL SETELAH MENJADI ORANG TUA TUNGGAL GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GAMBARAN KETIDAKSEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya 2. Mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain 3. Memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial 4. Mampu mengontrol lingkungan eksternal 5. Memiliki arti dalam hidup, dan 6. Mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu. 1. Anxiety atau kecemasan 2. Disabilities atau perasaan tidak mampu 3. Depresi 4. Self esteem yang rendah 5. Menyendiri 6. Ketidakpuasan terhadap keluarga, dan 7. Kekhawatiran yang besar terhadap hubungan sosial.

24 24

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal ini di jelaskan dalam Al-Qur an : Kami telah menjadikan kalian berpasang-pasangan (QS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis maupun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Sudah menjadi fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta mencari pasangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti mempunyai harapan-harapan dalam hidupnya dan terlebih pada pasangan suami istri yang normal, mereka mempunyai harapan agar kehidupan mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah mahkluk sosial dan mahkluk pribadi. Manusia sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka pernikahan dini di Indonesia terus meningkat setiap tahunya. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN (2012), menyatakan bahwa angka pernikahan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Definisi Psychological Well Being

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Definisi Psychological Well Being BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological Well Being a. Definisi Psychological Well Being Psychological well being merupakan konsep yang berakar dari Psikologi positif, belum ada konsep yang ajeg terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi reproduksi dan memberikan perlindungan kepada anggota keluarga dalam masyarakat. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hidup manusia dialami dalam berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya. Tapi anak sudah besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain menimbulkan sikap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri kehidupan. Komitmen laki-laki dan perempuan untuk menjalani sebagian kecil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menikah merupakan salah satu tujuan hidup bagi setiap orang. Usia dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan seseorang tentunya tidak akan pernah lepas dari peranan orang tua karena orang tua merupakan tumpuan pertama anak dalam memahami dunia. Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuatan seseorang dalam menghadapi kehidupan di dunia ini berawal dari keluarga. Keluarga merupakan masyarakat terkecil yang sangat penting dalam membentuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik sehat secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki keluarga yang harmonis adalah harapan setiap orang. Hal tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dari tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bukan merupakan hal yang tabu ketika terdapat fenomena pernikahan dini yang masih terjadi dewasa ini, pernikahan dini yang awal mulanya terjadi karena proses kultural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, individu dituntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap pasangan suami istri, akan tetapi untuk mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Untuk membangun keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan memiliki rasa kesedihan. Kebahagiaan memiliki tujuan penting di dalam kehidupan manusia. Setiap individu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Noorfi Kisworowati F 100 050 234

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan dengan berbagai konteks komunikasi yang berbeda-beda. Salah satu konteks komunikasi yang paling sering dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum revolusi industri, yang bertanggung jawab mencari uang untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga adalah laki-laki, sedangkan seorang perempuan dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci