BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Ryff dan Keyes (1995) menyatakan pula bahwa psychological wellbeing adalah suatu kondisi psikologi individu yang sehat, ditandai dengan terdapat kondisi psikologi positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Gambaran tentang karakteristik individu yang memiliki psychological well-being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, dan pandangan Johada tentang tentang kriteria positif individu yang bermental sehat (dalam Ryff, 1989). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah kondisi psikologis yang sehat, ditandai dengan berfungsinya aspek- aspek psikologi positif. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada definisi psychological well-being yang dinyatakan oleh Ryff dan Keyes (1995). Ryff (dalam Compton, 2005) memperoleh definisi ini berdasarkan proses integrasi dari teori klasik kesehatan mental dengan menambahkan hasil penelitian terbaru dari bidang perkembangan, 11

2 12 klinis dan psikologi kepribadian, sehingga definisi tersebut dapat mencakup pengertian psychological well-being. Di samping itu, penulis melihat bahwa definisi ini merupakan definisi yang jelas dan mudah dimegerti, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Oleh karena itu, psychological well-being merupakan suatu gambaran kesehatan psikologis individu yang merujuk pada pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. 2. Teori Psychological well-being Psychological well-being merujuk pada kualitas fungsi dan pengalaman hidup yang optimal (Onraet, Hiel, & Dhont, 2013) serta aktualisasi potensi individu dalam menjalani kehidupan (Onraet et al., 2013). Di samping itu, psychological well-being diindikatorkan dengan keberadaan kebahagiaan dan kepuasan (Ryff, 1989), sehingga psychological well-being kerap kali dikaitkan dengan munculnya dampak positif (Greenglass & Fiksenbaum, 2009). Bradburn (dalam Salami, 2011) mendukung pernyataan ini dengan menyatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being akan memiliki dampak positif yang lebih tinggi dari pada dampak negatif. Bahkan keberadaan psychological well-being dapat berdampak pada terbentuknya mental yang sehat (Edwards, 2006). Individu dengan psychological well-being yang tinggi dapat mengatur tekanan sehari- hari (Arunya & John, 2005), memiliki angka kematian yang rendah (Chida & Steptoe, 2008), percaya diri dalam menghadapi tantangan dan dapat memberi respon pada peristiwa dalam kehidupan dengan baik (Andrews, 2001).

3 13 Sebaliknya, individu dengan psychological well-being yang rendah rentan mengalami depresi (Michael et al., 2006), sehingga cenderung memiliki angka kematian lebih tinggi (Iwasa, 2006) bahkan ada individu yang memiliki kecenderungan melakukan bunuh diri (Awata dalam Momtaz et al., 2011). 3. Dimensi Psychological well-being Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being terdiri dari 6 dimensi, yaitu: a. Penerimaan Diri (Self- Acceptance) Penerimaan diri didefinisikan sebagai sebuah ciri utama dari kesehatan mental seperti karakteristik aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang memiliki sikap positif terhadap dirinya, mau mengakui dan menerima beberapa aspek diri, termasuk kualitas baik maupun yang buruk, dan berpikiran positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sedangkan individu yang tidak memiliki penerimaan diri adalah individu yang merasa tidak puas pada keadaan dirinya, merasa kecewa pada beberapa hal yang telah terjadi dalam hidup. Individu tersebut juga dapat merasa bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu dan mempunyai harapan untuk menjadi pribadi yang berbeda. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain adalah individu yang memiliki kehangatan, kepuasan, kepercayaan pada hubungan dengan orang lain, rasa empati,

4 14 afeksi dan kelekatan. Selain itu, individu dapat memahami arti memberi dan menerima di dalam suatu hubungan antar manusia. Sedangkan, individu yang tidak memiliki hubungan positif dengan orang lain adalah individu yang mempunyai sedikit kedekatan dan rasa percaya pada suatu hubungan dengan orang lain. Individu tersebut juga menemukan kesulitan dalam memiliki kehangatan, keterbukaan dan keterkaitan dengan orang lain. Di samping itu, individu tersebut terisolasi dan merasa frustasi dalam menjalin suatu hubungan interpersonal. Individu tersebut bahkan tidak bersedia melakukan kompromi atau diskusi guna mempertahankan hubungan dengan orang lain. c. Otonomi (Autonomy) Individu yang memiliki otonomi adalah individu yang mandiri, mampu mengatur perilaku dan dapat mengevaluasi dirinya sesuai standar pribadi. Sedangkan, individu yang tidak memiliki otonomi adalah individu yang berkaitan pada ekspektasi, harapan, evaluasi atau penilaian orang lain, sehingga individu mengandalkan penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting. Di samping itu, individu berpikir dan melakukan suatu tindakan berdasarkan tekanan- tekanan sosial. d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Penguasaan lingkungan dimiliki oleh individu yang mempunyai rasa penguasaan dan kompetisi dalam mengelola lingkungan. Individu ini pun mampu mengontrol hal- hal yang berasal dari aktifitas luar, menggunakan kesempatan dengan efektif, serta memilih atau menciptakan suatu konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.

5 15 Sedangkan individu yang tidak memiliki penguasaan lingkungan adalah individu yang mempunyai kesulitan dalam mengatur kegiatannya sehari- hari. Selain itu, individu tersebut tidak dapat mengubah atau mengembangkan konteks di sekitarnya, tidak menyadari kesempatan yang ada di sekitarnya, serta tidak berminat mengontrol dunia luar. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Individu yang memiliki tujuan dan rasa untuk mengarahkan kehidupan serta merasakan makna dari masa sekarang dan masa lalu adalah individu yang mempunyai tujuan, arah atau sasaran hidup. Selain itu, Individu tersebut memiliki kepercayaan atau keyakinan pada tujuan hidup yang dia tentukan. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan hidup adalah individu yang kurang memiliki makna, arah dan tujuan hidup. Di samping itu, individu tersebut tidak dapat melihat makna dari masa lalu serta tidak memiliki gambaran atau keyakinan pada yang memberi makna hidup. f. Perkembangan Pribadi (Personal Growth) Individu yang memiliki rasa untuk terus berkembang, melihat dirinya sebagai suatu pertumbuhan dan perkembangan serta terbuka dengan pengalaman baru adalah individu yang memiliki perkembangan pribadi. Di samping itu individu tersebut sadar akan kemampuan atau potensi diri, mampu melihat peningkatan perilaku dirinya dari waktu ke waktu, serta dapat melakukan perubahan dengan efektif sesuai perkembangan pengetahuan. Di lain pihak, individu yang tidak mengalami perkembangan pribadi yaitu individu yang tidak mengalami peningkatan dari

6 16 waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak dapat mengembangkan sikap atau perilaku baru. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada enam dimensi psychological well-being yang dinyatakan oleh Ryff (1989), sebab dimensi- dimensi tersebut dapat menjelaskan fenomena psychological well-being pada mahasiswa dengan baik. Selain itu, sejauh penelusuran penulis, enam dimensi yang dinyatakan oleh Ryff (1989) telah digunakan dalam banyak penelitian secara luas hingga masa kini. 4. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Psychological well-being a. Faktor Demografis Faktor demografis mencakup beberapa area seperti, usia, jenis kelamin, budaya dan status ekonomi. Ryff (1989) menyatakan bahwa faktor- faktor demografis seperti perbedaan usia, jenis kelamin dan budaya memiliki kontribusi yang bervariasi terhadap psychological well-being. Bakare (2013) menyatakan bahwa psychological well-being dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Pada faktor jenis kelamin, diketahui bahwa perempuan memiliki psychological well-being yang lebih baik (Eme dalam Bakare, 2013). Jika ditinjau berdasarkan faktor usia, individu yang lebih tua memiliki psychological well-being yang lebih tinggi hingga pada usia tertentu (Isaacowitz & Smith, dalam Bakare, 2013). Selain itu faktor budaya (Grossi, Blessi, Sacco & Buscema, 2012) dan faktor status ekonomi (Bakare, 2013) turut berefek pada psychological well-being. b. Kesehatan Fisik

7 17 Grossi et al. (2012) menyatakan bahwa kesehatan fisik turut berpengaruh pada psychological well-being. Kesehatan fisik memainkan peranan penting dalam mendeterminasi distress maupun psychological well-being. Di samping itu, dinyatakan bahwa psychological well-being memiliki koneksi dengan ketiadaan penyakit (Grossi et al., 2012). c. Pendidikan Tingkat pendidikan turut mempengaruhi psychological wellbeing. Ketika individu menempuh pendidikan pada level atau tingkatan yang lebih tinggi, individu akan mempunyai informasi yang lebih baik. Kemudian, individu akan memiliki kesadaran yang lebih baik dalam membuat suatu pilihan. Hal ini berdampak pada determinasi diri dan perilaku memelihara kesehatan. Sehingga berdampak pada munculnya psychological well-being (Grossi et al., 2012). d. Agama dan Spiritualitas Ivtzan, Chan, Gardner, & Prashar (2013) menyatakan bahwa agama dan spiritualitas memiliki pengaruh pada psychological well-being. Terdapat hubungan positif yang kuat diantaranya, sebab psychological well-being dapat tercipta ketika ada pengembangan spiritual (Hafeez & Rafique, 2013). e. Dukungan sosial Dukungan sosial adalah kesadaran individu akan lingkungan dan hubungan interpersonal yang menawarkan sumber kelekatan, integrasi sosial, kesempatan untuk pemeliharaan atau pengasuhan, penghiburan diri sebagai seorang pribadi yang berada di dalam pencapaian peran serta bantuan dan bimbingan

8 18 yang menyediakan informasi, emosi dan bantuan material (Weinert & Brandt, dalam Zabalegui et al., 2011). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Darbyshire dan Kroese (2012) didapati bahwa ketika dukungan sosial ditingkatkan, psychological well-being akan turut meningkat. f. Pengalaman emosi Pengalaman emosi seperti rasa senang dapat meningkatkan psychological well-being daripada emosi negatif seperti rasa sedih (Adler & Hersfield, 2012). g. Kepribadian Ciri-ciri kepribadian menggambarkan kecenderungan individu pada sebuah pola perilaku dan pemikiran yang stabil, bukan berdasarkan baik atau buruknya (Schmutte & Ryff dalam Salami, 2011). Penelitian yang dilaksanakan oleh Salami (2011) menunjukan bahwa faktor kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological well-being. h. Makna Hidup Menurut Ryff (1989) makna hidup, sebagai pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap tercapainya psychological well-being. Salah satu pengalaman hidup yang dapat memberikan kontribusi tersebut adalah pengalaman memaafkan orang lain dalam kehidupan sosialnya, dimana terdapat pemulihan hubungan interpersonal. i. Locus of Control

9 19 Locus of control dibagi dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Bakare (2012) menyatakan bahwa locus of control, yaitu internal locus of control dan external locus of control turut mempengaruhi psychological well-being. Individu dengan internal locus of control lebih cenderung memiliki psychological well-being daripada individu yang berorientasi pada external locus of control (Bakare, 2012). Selain itu, banyak teori- teori lain yang menonjolkan hubungan antara internal locus of control dan external locus of control dengan psychological well-being (Spector et al., 2002). Oleh karena itu, locus of control (internal locus of control dan external locus of control) merupakan salah satu elemen penting dalam melihat psychological well-being dalam diri individu (Ganster & Fusilier dalam Spector et al., 2002). B. Locus of Control 1. Definisi Locus of Control Tiap individu memiliki perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan dimana tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada mereka, apakah pada diri mereka sendiri atau pada hal- hal yang berada di luar diri mereka. Konsep keyakinan ini disebut dengan locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, locus of control merupakan konsep keyakinan sejauh mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins & Judge, 2007 dan Robbins & Coulter, 2012). Levenson (1981) menyatakan pula bahwa locus of control merupakan suatu harapan yang digeneralisasikan untuk mempersepsikan penguat sebagai kesatuan dari perilaku dirinya

10 20 sendiri (internal locus of control) atau sebagai hasil dari kekuatan yang berada di luar kendali, seperti nasib, kebetulan, atau kekuatan lain (external locus of control). Hal tersebut seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Rotter (1966) bahwa locus of control dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control. Oleh karena itu, locus of control merupakan perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada diri mereka, apakah sebagai kesatuan dari perilakunya sendiri atau sebagai hasil dari kekuatan diluar kendali, seperti kebetulan, nasib atau kekuatan yang lain. Pada penelitian ini, penulis akan mengacu pada definisi locus of control yang diungkapkan oleh Rotter (1966). Walaupun definisi ini telah lama diungkapkan, definisi ini masih terus digunakan dalam berbagai penelitian secara luas hingga sekarang, sehingga definisi tersebut masih relevan untuk digunakan pada penelitian ini. Di samping itu, penulis merasa bahwa definisi locus of control tersebut dapat menjelaskan internal locus of control dan external locus of control dengan baik, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. 2. Teori Locus of Control Locus of control dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Terdapat perbedaan pada individu yang memiliki orientasi keyakinan pada internal locus of control dengan individu yang memiliki orientasi keyakinan pada external locus of control. Individu dengan internal locus of control percaya bahwa diri mereka sendiri yang menguasai nasib mereka sendiri (Kreitner & Kinicki, 1995) dan bertanggung

11 21 jawab pada segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka (Rotter, 1966). Hal ini menyebabkan mereka dapat mengambil tanggung jawab dan percaya pada standar pribadi mengenai apa yang benar dan apa yang salah guna memandu perilaku mereka (Robbins & Coulter, 2012). Sebaliknya, individu yang memiliki orientasi keyakinan pada external locus of control percaya bahwa keberuntungan, nasib dan kekuatan orang lain merupakan hal- hal yang mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupan mereka (Rotter, 1966). Oleh karena itu, individu tersebut cenderung bergantung pada faktor kekuatan dari luar dan tidak mengandalkan kemampuan pribadi dalam menangani konsekuensi perbuatan dan perilaku yang mereka lakukan. (Robbins & Coulter, 2012). 3. Dimensi Locus of Control Rotter (1966) membagi locus of control ke dalam dua dimensi, yaitu: a. Internal Locus of Control Ketika individu memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas konsekuensi perilaku mereka, mereka adalah individu yang memiliki konsep internal locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu yang berorientasi pada internal locus of control adalah individu yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka (Robbins & Judge, 2012), nasib dan tujuan hidup mereka sendiri (Robbins & Coulter), serta kejadian dan konsekuensi yang berdampak pada kehidupan mereka (Kreitner & Kinicki, 1995). Oleh karena itu, internal locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab

12 22 terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah diri sendiri. b. External Locus of Control Ketika individu menafsirkan bahwa konsekuensi atau akibat dari perilaku mereka tersebut dikontrol oleh keberuntungan, nasib, atau kekuatan orang lain, individu tersebut memiliki memiliki konsep external locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu dengan orientasi keyakinan external locus of control merupakan individu yang percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka adalah karena keberuntungan atau kesempatan (Robbins & Judge, 2007 dan Robbins & Coulter, 2012). Kreitner & Kinicki (1995) memberi pernyataan pula bahwa external locus of control dimiliki oleh individu yang percaya bahwa kinerja mereka adalah hasil dari keadaan yang berada di luar kontrol mereka, seperti faktor lingkungan, keberuntungan atau nasib. Oleh karena itu, external locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah keberuntungan, kesempatan, nasib atau kekuatan orang lain. Setelah itu, Levenson (1981) mengembangkan dimensi locus of control yang telah dinyatakan oleh Rotter (1981), yaitu: a. Internality Internality (I) ditandai dengan keyakinan bahwa peristiwa yang mereka alami terutama dikendalikan oleh kemampuan dan

13 23 usaha mereka sendiri. Internality merupakan dimensi yang menyatakan Internal locus of control. b. Powerful Others Powerful others merupakan kecenderungan individu berperilaku dan berpikir bahwa ada orang lain di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa dalam mengontrol kehidupan dirinya. Powerful others merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control. c. Chance Sedangkan chance (C) merupakan fokus individu pada persepsi individu mengenai suatu kendali yang memberikan peluang karena takdir, nasib, atau kesempatan. Chance merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control. Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan dimensi internality sebagai dimensi yang menyatakan internal locus of control dan dimensi powerful others serta chance sebagai dimensi yang menyatakan external locus of control (Levenson, 1981) sebagai panduan dalam mengukur internal locus of control dan external locus of control. Dimensi tersebut merupakan modifikasi dan pengembangan dari dimensi yang telah dinyatakan oleh Rotter (1966), sehingga sesuai dengan definisi yang diacu dalam penelitian ini. C. Perbedaan Psychological well-being ditinjau dari Internal Locus of Control dan External Locus of Control Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan bangsa, sesuai dengan pembukaan Undang- undang Dasar 1945 alinea ke- 4. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehingga pendidikan dilaksanakan hingga tingkat

14 24 pendidikan tinggi. Calon- calon SDM yang menempuh pendidikan di pendidikan tinggi disebut dengan nama mahasiswa. Namun, tidak mudah membentuk mahasiswa menjadi SDM yang berkualitas. Banyak tekanan yang dapat menjadi hambatan, salah satunya adalah tekanan psikologis. Tekanan psikologis tersebut dapat disebabkan oleh perubahan geografis, kerasnya akademisi, lingkungan interpersonal yang baru serta beberapa tekanan lainnya. Bila mahasiswa tak dapat menyesuaikan diri dengan tekanan tersebut, kondisi piskologis mereka akan memburuk (Michael et al., 2006). Hal ini dapat mengarah pada menurunnya tingkat psychological well-being pada diri mahasiswa terkait. Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi psychological well-being, salah satunya adalah locus of control (April, Dharani, & Peters, 2012). Bakare (2012) menyatakan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control. Locus of control merupakan perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan dimana tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada mereka, apakah pada diri mereka sendiri atau pada hal- hal yang berada di luar diri mereka (Rotter, 1966). Locus of Control dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu internal locus of control dan external locus of control Rotter (1966). Levenson (1981) mengembangkan dan memodifikasi cara mengukur LOC, yaitu internality (I) guna mengukur internal locus of control, serta powerful others (P) dan chance (C) guna mengukur external locus of control. Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control percaya pada kemampuan yang mereka miliki dalam mencapai suatu

15 25 tujuan (Klein & Wasserstein, dalam April, Charani & Peters, 2012) dan dalam merubah lingkungan dimana mereka berada (Andrisani & Nestel, dalam April et al., 2012). Mereka juga percaya bahwa kerja keras dan kemampuan pribadi membawa dampak yang positif (Carrim et al., dalam April et al., 2012). Hal ini menyebabkan individu tersebut tidak mudah mengalami tekanan (Llyoyd & Hastings, 2009), karena mereka dapat menyesuaikan diri dengan tekanan yang mereka dapatkan (Roddenberry & Renk, 2010). Mereka bahkan memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan yang muncul (Bakare, 2012). Hal senada turut terjadi pada mahasiswa, dimana mahasiswa yang berorientasi pada internal locus of control tidak mudah mengalami kecemasan (Sandler & Lakey, dalam Llyoyd & Hastings, 2009). Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa mahasiswa yang memiliki orientasi pada internal locus of control memiliki kondisi psikologi yang positif. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa internal locus of control cenderung terkait dengan munculnya keadaan psikologis yang positif (Lloyd & Hastings, 2009). Kondisi psikologis yang positif membawa mahasiswa kepada keadaan psikologis yang sehat, sehingga mereka memiliki psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki orientasi pada external locus of control cenderung mengalami kecemasan (Sandler & Lakey, dalam Lloyd & Hastings, 2009). Terdapat pula penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara depresi dengan external locus of control (Benassi, Sweeney, & Dufour, dalam Lloyd & Hastings, 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa individu dengan external locus of control cenderung mengalami distress (Holder & Levi, dalam April et al., 2012), rentan terhadap depresi (Ganellen & Blaney, dalam April et al., 2012) dan mempunyai respon yang buruk pada antidepresan (Reynaert et

16 26 al., dalam April et al., 2012). Individu tersebut bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri (Marks,dalam April et al., 2012). Dapat dilihat bahwa individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki kondisi psikologis yang positif. Ketika tidak memiliki kondisi psikologis yang positif, individu tersebut cenderung tidak memiliki psychological well-being (Barnett & Marshall, dalam Noor, 1995). Berdasarkan hal- hal tersebut, penulis melihat bahwa terdapat perbedaan psychological well-being ketika ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control. Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control cenderung memiliki psychological wellbeing. Sebaliknya, individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki psychological well-being. Hal ini turut dinyatakan oleh Lee (2004) bahwa semakin internal orientasi locus of control semakin tinggi psychological well-being pada individu, begitupun sebaliknya. Lloyd dan Hastings (2009) menyatakan pula bahwa individu yang berorientasi pada internal locus of control cenderung memiliki psychological well-being. Sebaliknya, individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki psychological wellbeing (Lloyd & Hastings, 2009). D. Hipotesis Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah penulis kemukakan, maka dibuat suatu hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Hipotesis Empirik Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus

17 27 of control. Mahasiswa yang berorientasi pada internal locus of control memiliki psychological well-being yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang berorientasi pada external locus of control. 2. Hipotesis Statistik H 0 : µ1 = µ2 Yang artinya tidak terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control H 1 : µ1 µ2 Yang artinya terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel- variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Tergantung : Psychological well-being 2. Variabel Bebas : Locus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Locus Of Control 2.1.1. Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 11 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Psychological Well-Being 1. Konsep Psychological Well-Being Psychological well-being (kesejahteraan psikologi) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (PWB) PADA LANSIA DI GKJ PURBALINGGA

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (PWB) PADA LANSIA DI GKJ PURBALINGGA HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (PWB) PADA LANSIA DI GKJ PURBALINGGA OLEH YOSUA HELGA RIANDANA 802010078 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU Program Studi PG-PAUD FKIP Universitas Riau email: pakzul_n@yahoo.co.id ABSTRAK Kesejahteraan guru secara umum sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah menuntaskan wajib belajar 12 tahun yang berakhir pada jenjang pendidikan menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri merupakan istilah yang digunakan para psikolog, dimana sebelumnya konsep ini merupakan konsep biologis yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Prokrastinasi Akademik 2.1.1 Pengertian Prokrastinasi Akademik Lay (1992) mendefisikan prokrastinasi akademik merupakan penundaan tugas yang seharunya bisa dikerjakan sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi, Sampel, dan Lokasi Penelitian 1. Populasi dan Sampel penelitian Sampel penelitian adalah orang tua anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut bersekolah di kelas satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan tinjauan kepustakaan dalam penelitian mengenai PWB beserta aspek-aspeknya dan faktor-faktor yang memengaruhi dan bagaimana hubungan PWB dengan faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Psychological Well-Being 2. Variabel tergantung : Komitmen Organisasional B. Definisi Operasional 1. Komitmen Organisasional

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan pengertian dari Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 246-6448 Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung 1 Rahmadina Haturahim, 2 Lilim Halimah 1,2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus of Control Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang menjelaskan bahwa individu berperilaku dipengaruhi ekspektasi mengenai dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini dapat terwujud dengan adanya partisipasi dan dukungan perangkat yang baik. Salah satu perangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas perkembangan pada remaja salah satunya adalah mencapai kematangan hubungan sosial dengan teman sebaya baik pria, wanita, orang tua atau masyarakat. Dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis merupakan sebuah konsep yang membahas tentang psikologi positif (Ryff, 1989). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu komponen yang dapat membantu perkembangan diri individu adalah pendidikan. Melalui pendidikan individu diharapkan bisa mengarahkan dirinya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11 MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 11 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan mengambil metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan mengambil metode 56 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA

HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA Nellafrisca Noviasari dan Agoes Dariyo Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ABSTRAKSI Tujuan penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PUSAT KENDALI (LOCUS OF CONTROL) DENGAN PERILAKU SEKSUAL

HUBUNGAN ANTARA PUSAT KENDALI (LOCUS OF CONTROL) DENGAN PERILAKU SEKSUAL A. Latar Belakang Penelitian B. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Salah satu tahapan perkembangan yang dialami individu adalah masa remaja. Desmita (2012: 189) mengemukakan remaja dikenal dengan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif dengan pendekatan 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif dengan pendekatan korelasional dengan menggunakan teknik analisa regresi berganda ( multiple regresion).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan setiap manusia tidak terlepas dari berbagai aktifitas. Salah satu aktivitas tersebut diwujudkan dengan bekerja. Pada dasarnya manusia bekerja untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki konsep ideal dalam hidupnya, salah satunya menurut Gavin dan Mason (2004) adalah kesejahteraan. Dewasa ini, kesejahteraan tidak hanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki keluarga yang harmonis adalah harapan setiap orang. Hal tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dari tekanan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi)

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi) RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi) Ros Mayasari Abstrak: Psikologi menjelaskan kebahagiaan dengan dua pendekatan yang berbeda yaitu tercapainya kepuasaan hidup

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Niat Berwirausaha Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan seseorang tentunya tidak akan pernah lepas dari peranan orang tua karena orang tua merupakan tumpuan pertama anak dalam memahami dunia. Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci