BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja, karakteristik remaja, tugas-tugas perkembangan remaja, perilaku seksual pada remaja, pernikahan dini, penyebab pernikahan dini 2.1. Psychological Well-Being Sejak tahun 1969, penelitian mengenai psychological well-being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan suatu kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh individu yang mencakup evaluasi dan penerimaan diri pada berbagai aspek kehidupan tidak hanya berupa aspek positif namun juga aspek negative. Individu mampu menerima dan mengenali keadaan, memliki hubungan yang hangat dengan orang lain. Berusaha untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu. Ryff menyebutkan bahwa mental health tidak hanya sebagai ketiadaan mental illness. Positive mental health, termasuk didalamnya psychological well-being, merupakan perasaan yang sehat tentang diri sendiri (Ryff & Singer, 1998 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Diener (2000) mengatakan bahwa perasaan well-being atau happiness merupakan evaluasi personal seseorang terhadap hidupnya sendiri (dalam Papalia, Olds & 10

2 Feldman, 2004). Psychological well-being juga mempunyai enam dimensi seperti yang disebutkan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri (Self- Acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relations with Others), otonomi (Autonomy), dapat menguasasi lingkungan (Environmental Mastery), memiliki tujuan dalam hidup (Purpose in Life) dan adanya pertumbuhan personal (Personal Growth). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa psychological wellbeing merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan personal Dimensi-dimensi Psychological Well-Being Menurut Ryff (1989) terdapat enam dimensi dari psychological wellbeing, yaitu: a. Penerimaan diri (Self-Acceptance) Self-acceptance yang merupakan ciri sentral dari konsep kesehatan mental dan juga karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya, baik dari segi positif maupun negatif Jahoda (dalam, Fransisca, 2009). Dengan cara menerima diri apa adanya maka seseorang dimungkinkan untuk bersikap 11

3 positif terhadap diri sendiri. Sikap positif selanjutnya akan meningkatkan toleransi seseorang akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan termasuk keterbatasan diri tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam. Hasil penelitian Allport (dalam Angelina, 2011) mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan kualitas yang penting bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak dewasa kepribadiannya akan bertindak seperti anak kecil dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Mereka akan bereaksi seperti temper tantrum, sering mengeluh, menyalahkan orang lain atau situasi dan sering menyesali diri. Sebaliknya orang yang matang akan berusaha mengolah frustasi yang dialami dan tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain. Seseorang dengan pribadi yang matang dapat menunggu waktu yang tepat, jika situasi tidak memungkinkan, menyerah akan jadi jalan yang diambil. Ryff (1989) mengatakan bahwa seseorang dengan psychological wellbeing yang baik akan cenderung bersikap positif terhadap kehidupan yang telah dijalani. Individu dapat dikatakan memiliki taraf psychological well-being dalam dimensi penerimaan diri bila ia: a) Mengakui dan menerima berbagai aspek dirinya (baik yang positif maupun negatif). b) Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri. 12

4 c) Merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani sekarang. b. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relations with Others) Beberapa kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989). Individu yang memiliki hubungan positif dengan sesamanya diharapkan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, mampu berempati, berafeksi dan membina kedekatan dan memahami perlunya memberi dan menerima dalam membina hubungan dengan orang lain. Individu yang matang akan mengembangkan minat untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar dirinya. Seseorang yang matang memiliki partisipasi otentik pada berbagai area kehidupan manusia Allport (dalam Angelina, 2011). Dalam hal ini Ryff (1989) juga menyebutkan adanya kepedulian akan kesejahteraan orang lain sebagai aspek penting dalam melihat psychological well-being seseorang. Hal ini dapat diungkapkan misalnya dalam bentuk kegiatan sosial ataupun pengembangan 13

5 hobi dalam kelompok. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sesama manusia dan diri sendiri. Maslow juga mengatakan bahwa orang yang teraktualisasi adalah yang memiliki kemampuan kuat untuk berempati dan membina hubungan afektif dengan manusia lain, dan mampu menjalin persahabatan dari Maslow (Farnsisca, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa taraf psychological wellbeing seseorang dalam dimensi kemampuan menjalin relasi dengan orang lain dapat dilihat dari sejauhmana ia: a. Memiliki hubungan hangat, memuaskan, saling percaya dengan manusia lain. b. Memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia lain. c. Mampu membina hubungan yang empatis, efektif, dan intim yang kuat dengan manusia lain. d. Saling memberi dan menerima dalam hubungan dengan manusia lain. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi-dimensi otonomi meliputi kualitas-kualitas seperti penentuan diri (self-determination), kemandirian, pengendalian perilaku dalam diri, dan peran locus internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989). Dengan kata lain, dimensi ini melihat kemandirian setiap individu dalam memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas dari tekanan pihak 14

6 manapun. Orang yang dikatakan otonom adalah orang yang mandiri dan dapat membuat keputusan sendiri, dapat menolak tekanan dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari dalam diri, mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi dan sejauh mana individu mempertahankan rasa hormat terhadap dirinya. Juga mencakup kemampuan untuk membedakan antara aspek-aspek yang ingin diterima dan yang tidak ingin diterima Jahoda (dalam Fransisca, 2009). Jadi dalam kehidupan sehari-hari orang yang otonom mampu memutuskan situasi dimana ia akan konform atau tidak konform. individu mempunyai kepercayaan terhadap pengalaman sendiri sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan pendapat orang lain, tetapi ia sendiri yang memutuskan keputusan akhir. Ryff (dalam Angelina, 2011) sependapat dengan pernyataan Rogers bahwa individu yang otonom memiliki pusat pengendalian internal dalam bertindak. Individu yang memiliki kepercayaan penuh terhadap pengalamannya sendiri sebagai sumber informasi yang valid dalam memutuskan apa yang harus atau tidak harus mereka lakukan. Sedangkan orang yang tidak 15

7 otonom adalah orang yang sangat peduli dengan harapan dan evaluasi orang lain terhadap dirinya, menggantungkan diri pada penilaian orang lain dalam mengambil keputusan, serta konform terhadap tekanan sosial untuk bertingkah laku dan berpikir dengan cara tertentu. Jadi taraf psychological well-being individu dalam dimensi otonomi tercermin dari sejauh mana individu tersebut: a. Mampu mengarahkan diri dan bersikap mandiri. b. Memiliki kemampuan dalam menentukan tujuan dalam berperilaku c. Mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu. d. Penguasaan Lingkungan (Environment Mastery) Individu mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan diluar dirinya, mengkontrol dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dan kesempatan di lingkungan Ryff (1989) dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengaturnya sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Individu dikatakan mampu menguasai lingkungannya adalah orang yang memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal 16

8 yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan secara efektif, serta mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai dirinya. Sebaliknya, orang yang dikatakan tidak memiliki penguasaan terhadap lingkungannya adalah orang yang mengalami kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan lingkungannya, serta kurang memiliki kendali terhadap dunia eksternalnya. Taraf psychological well-being individu dalam dimensi penguasaan lingkungan dapat tercermin dari sejauh mana ia: a. Mampu mengelola dan mengontrol berbagai aktifitas eksternalnya. b. Mampu memanfaatkan secara efektif setiap kesempatan yang ada. c. Mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. d. Memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan. e. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life) Individu yang telah memasuki dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa 17

9 bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Sebaiknya, orang yang dikatakan tidak memiliki tujuan hidup ditandai dengan karakteristik seperti: kurang memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau, tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup. Rogers (dalam Fransisca, 2011) menyebutkan adanya hidup yang berrmakna sebagai tujuan hidup dari pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Setiap saat dalam hidup seringkali adalah sesuatu yang baru, tidak dapat diramalkan, memiliki makna tersendiri dan unik. Individu bersikap terbuka terhadap pengalaman- pengalamannya, individu akan merasa hidup lebih bermakna. Perasaan seperti itu akan membuat hidup lebih terarah dan tidak terjerat pada pengalaman masa lampau. Jadi dapat disimpulkan, taraf psychological well-being seseorang dalam dimensi keterarahan hidup tercermin dari sejauh mana ia: a. Memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup. b. Memiliki makna terhadap hidup sekarang dan masa lalu. f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi 18

10 yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Ryff (1989) mengatakan optimal psychological functioning sebagai suatu tedensi pengembangan potensi, untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Beberapa ahli menyebutnya sebagai aktualisasi diri, realisasi diri atau pertumbuhan. Maslow mengatakan bahwa manusia tidak pernah berada dalam kondisi statis, namun selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang berbeda Maslow (Fransisca, 2009). Secara umum Ryff (Fransisca, 2009) mengartikan realisasi diri atau aktualisasi diri sebagai sejauh mana seseorang merealisasikan potensinya melalui kegiatan nyata yang terus menerus. Sedangkan orang yang tahap dimensi pertumbuhan pribadinya merasa bahwa dirinya mengalami stagnasi, kurang merasa berkembang dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk membentuk sikap atau perilaku yang baru. 19

11 Dengan demikian taraf psychological well-being dalam dimensi pertumbuhan pribadi dapat tercermin dari sejauh mana seseorang: a. Memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan. b. Terbuka terhadap pengalaman. c. Merealisasikan potensi yang dimiliki. d. Menyadari potensi, kemajuan diri dan tingkah laku setiap saat. e. Pemahaman diri dan efektifitas hidup yang semakin baik Faktor-faktor Psychological Well-Being Faktor Demografis Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan Ryff dan Singer (dalam Ryan & Deci 2011) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang. a. Usia Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) yang bertujuan melihat pengaruh usia pada kesejahteraan psikologis terhadap responden usia dewasa muda (18-29 tahun), dewasa madya (30-20

12 64), dan lanjut usia (65 tahun ke atas) menunjukkan hasil sebagai berikut (Fransisca, 2009). Beberapa aspek dari kesejahteraan psikologis seperti penguasaan lingkungan dan otonomi, menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia, khususnya dari usia dewasa muda ke dewasa madya. Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun khususnya dari dewasa madya ke lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bila ditinjau berdasarkan usia. b. Jenis Kelamin Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) menunjukkan bahwa dibandingkan pria, wanita dari segala usia menilai dirinya lebih tinggi dalam hal memiliki hubungan positif dengan orang lain dan juga pada dimensi pertumbuhan diri, hal ini didukung oleh pendapat Gray (dalam Fransisca, 2009) yang mengemukakan bahwa wanita lebih menaruh perhatian pada kehidupan bersama dan berbagi perasaan atau makna diri wanita banyak didominasi oleh kualitas hubungannya dengan orang lain. Sedangkan empat aspek lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. 21

13 c. Status Sosial Ekonomi Hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis lebih tinggi pada individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, baik pada wanita ataupun pria. Selanjutnya individu yang mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. d. Budaya Hasil penelitian Ryff & Singer (1996) dengan memperhitungkan latar belakang budaya menunjukkan, bahwa secara umum orang Amerika yang cenderung individualistic independent lebih mudah melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan orang Korea yang dianggap lebih bersifat kolektivistik. (Fransisca, 2009). Responden Korea Selatan menilai tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan menilai diri rendah pada penerimaan dan pertumbuhan diri. Responden Amerika menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi khususnya pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah pada dimensi otonomi. 22

14 Locus of Control Mengarah kepada pandangan setiap orang terhadap sumber dari apa yang didapatkannya. Menurut Robinson (dalam Fransisca, 2009), locus of control dapat memberikan peramalan terhadap wellbeing seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki taraf psychological well-being yang lebih tinggi daripada individu dengan locus of control eksternal Dukungan Sosial Dalam istilah sederhana sosial ada ketika kita percaya bahwa orang lain peduli, menerima kita dan menyediakan bantuan jika dibutuhkan serta kita merasa puas dengan hubungan yang kita miliki. Dukungan sosial meliputi afek positif (kekaguman,penghargaan, kesukaan, cinta), afirmasi (persetujuan dengan atau menyatakan kecocokan beberapa perilaku atau pernyataan), dan bantuan (beberapa bentuk bantuan) (Kahn, Wethington, dan Ingersoll-Dayton, dalam Angelina, 2011). Yali dan Lobel (2002) mengatakan bahwa wanita dengan dukungan sosial yang rendah akan mengalami distress yang lebih besar ketika menghadapi maslah. Robinson (dalam Fransisca, 2009) juga menemukan bahwa orang-orang yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial dari orang lain yang sangat berarti dalam hidup kita tidak hanya memiliki manfaat langsung bagi well- being tetapi juga 23

15 penghalang bagi seseorang dari efek peristiwa menyakitkan dalam hidup seperti tidak bekerja, kecelakaan, sakit (House, dkk., 1988 dalam Fransisca, 2009) Pemberian Arti Terhadap Hidup Psychological well-being berkaitan erat dengan pemberian arti terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dianggap penting. Menurut Ryff (Fransisca, 2009), pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological well being. Pengalaman tersebut mencakup berbagai hal dan berbagai periode kehidupan yang dialami oleh individu. Pengalaman hidup tersebut dapat berupa pengalaman religius, pengalaman pernah abuse, dan lain-lain. Pengalaman hidup yang dialami tergantung dari cara individu mengevaluasi atau mempersepsi peristiwa hidup yang dialaminya sebagai positif, negatif, atau netral. Jika individu mengevaluasi peristiwa yang dialaminya sebagai sesuatu yang positif maka diperkirakan individu tersebut akan memandangnya sebagai pengalaman hidup yang positif sehingga membuat kesejahteraan psikologisnya baik Remaja Definisi Remaja Papalia, Olds & Fieldman (2009), remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak- kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial. 24

16 Menurut Daradjat, (1970) masa remaja merupakan masa yang rentan dalam perkembangan psikologisnya. Pada masa ini kondisi psikis remaja sangat labil. Hal tersebut disebabkan karena pada masa remaja terjadi pergolakan berbagai macam perasaan atau emosi yang terkadang satu dengan yang lain saling bertentangan. Akibatnya remaja menjadi terombang-ambing. Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja adalah proses transformasi dari anak- anak menuju dewasa yang diikuti dengan perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Pada masa ini remaja bisanya masih labil, sehingga mereka belum bisa mengontrol perasaan maupun emosi yang ada dalam dirinya Karakteristik Remaja Karakteristik remaja menurut Ali dan Asrori (2008), menunjukan sejumlah sikap yang sering ditunjukan oleh remaja adalah sebagai berikut: a. Kegelisahan yang artinya, remaja ingin mendapat pengalaman sebanyak- banyaknya, tetapi disisi lain mereka merasa belum mampu melakukan berbagai hal dengan baik sehingga tidak berani mengambil tindakan sehingga mencari pengalaman langsung dari sumbernya. Tarik menarik antara keinginan yang tinggi dan kemampuan yang belum memadai membuat remaja gelisah. b. Pertentangan, dimana remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari oarangtua dan perasaan belum mampu 25

17 untuk mandiri. Oleh karena itu, sering munculnya pertentangan antara orangtua dan anak. c. Keinginan mencoba segala sesuatu adalah fase dimana remaja memiliki rasa ingin tau yang tinggi (high curiosity) atau ingin membuktikan bahwa dirinya mampu berbuat seperti apa yang dilakukan orang dewasa. Rasa ingin tau yang tinggi dapat membawa remaja kedalam hal positif dan negatif. Oleh karena itu, peran orangtua diperlukan untuk membimbing anak mereka agar tidak terjerumus pada hal negatif Tugas- Tugas Perkembangan Remaja Tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu, dan apabila berhasil mencapainya akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas perkembangan selanjutnya, tetapi jika gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan dan mengalami kesulitan kesulitan dalam menuntaskan tugas berikutnya. Adapun yang menjadi sumber daripada tugas-tugas perkembangan tersebut adalah: kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai dan aspirasi individu. Tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut: a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya. b. Mencapai peranan sosial sebagai pria atau wanita. c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif. 26

18 d. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya. e. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi. f. Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan). g. Belajar merencanakan hidup berkeluarga. h. Mengembangkan keterampilan intelektual. i. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial j. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam bertingkah laku Tugas-tugas dalam perkembangan mempunyai tiga macam tujuan yang sangat berguna. Pertama, sebagai petunjuk individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu. Kedua, dalam memberi motivasi kepada tiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan dari mereka oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupan mereka. Dan akhirnya, menunjukkan kepada setiap individu tentang apa yang mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka kalau sampai pada tingkat perkembangan Perilaku Seksual Pada Remaja Pada masa remajalah orientasi seksual menjadi isu penting, remaja dapat mengenali orientasi seksual diri sendiri, menerima dorongan seksual dan membentuk kedekatan romantis dari pencapaian identitas seksual. (Papalia, 2009). 27

19 Hurlock (1973), berpendapat terjadi karena saat seseorang memasuki masa remaja, mulai muncul dorongan seksual dalam dirinya dan muncul pula minat mereka dalam membina hubungan social yang terfokus pada lawan jenis. Santrock (2003), berpendapat perilaku seksual remaja biasanya cenderung meningkat atau progresif. Biasanya diawali dengan necking (berciuman sampai ke dada), kemudia diikuti dengan petting (saling menempelkan alat kelamin) dan diakhiri dengan hubungan intim. Perilaku seksual pada remaja mengakibatkan salah satunya adalah kehamilan pada remaja yang akan dijabarkan sebagai berikut: a. Sifat dasar kehamilan pada remaja adalah suatu masalah yang kompleks yang merangsang berbagai isu sensitif seperti pertentangan mengenai hak aborsi, alat kontrasepsi dan pertanyaan mengenai apakah remaja telah memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan hal tersebut. Pada awalnya kehamilan remaja dialami akibat seks pra-nikah, angka kehamilan cukup tinggi, tetapi saat ini kehamilan pada remaja dikuti dengan tingginya angka menikah muda di usia tahun. b. Konsekuensi Kehamilan pada Remaja adalah resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Bayi yang dilahirkan ibu remaja beratnya cenderung lebih rendah dan menyebabkan kematian bayi. Selain itu, remaja yang hamil diusia muda cenderung tidak melanjutkan sekolah dan memiliki gaji rendah. 28

20 c. Faktor kognitif dalam kehamilan remaja biasanya terjebak dalam dunia mental yang terpisah dari kenyataan. Artinya, remaja remaja merasa bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada dirinya. Tetapi pada kenyataannya, remaja belum mampu untuk menghadapi konsekuensi yang terjadi. Biasanya, mereka cenderung tidak tahu apa yang harus dilakukan. d. Remaja sebagai orangtua biasanya memiliki berbagai kasus seperti, anak anak yang dilahirkan dari ibu remaja tidak dapat mengerjakan tes intelegensi sebaik anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang berusia 20 tahun keatas. Kasus lain, ibu yang masih remaja mulai membenci anak yang mereka lahirkan pada tahun pertama. Sehingga anak tersebut tidak bisa berbicara sampai berusia 2 tahun. Ibu yang masih remaja sadar bahwa keterlambatan perkembangan anak mereka merupakan kesalahan mereka. Disaat ibu atau orangtua lainnya senang memiliki anak, namun tidak dengan orang tua remaja karena mereka harus menjaga anak- anak mereka sehingga membuat mereka tidak bisa keluar untuk berkencan, dan harapan positif yang sebelumnya mereka miliki menjadi hambar. 2.3.Pernikahan Dini Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2010) Kementerian Kesehatan, bahwa kelompok umur perkawinan pertama menunjukkan bahwa terdapat perkawinan pada usia muda tahun (46,7%). Dengan demikian angka perkawinan dibawah umur menurut 29

21 standar kementerian kesehatan masih cukup tinggi. Dari tahun ke tahun angka pernikahan usia dini di Indonesia selalu meningkat Penyebab Pernikahan dini Penyebab pernikahan dini seperti yang dilansir (BKKBN, 2012) sebagai berikut: a. Pendidikan Rendah Biasanya faktor pendidikan menjadi salah satu seseorang untuk melakukan pernikahan dini. Biasanya seseorang yang melakukan pernikahan dini adalah orang- orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. b. Kebutuhan Ekonomi Tuntutan ekonomi keluarga membuat sebagian orangtua menikahkan anaknya di usia muda. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban finansial keluarga. c. Kultur Menikah Muda Faktor budaya menjadi salah satu penyebab terjadinya perbikahan dini. Di beberapa daerah seseorang yang telah memasuki usia tertentu diwajibkan untuk menikah, dan hal tersebut telah terjadi turun menurun. d. Pernikahan yang Diatur Pernikahan yang telah diatur diartikan sebagai perjodohan yang dilakukan orangtua pada anaknya. Orangtua biasanya menjodohkan anak mereka, ketika usia anak mereka dirasa sudah cukup untuk menikah. 30

22 e. Seks Bebas Remaja Faktor penyebab pernikahan dini selanjutnya adalah akibat dari seks bebas yang dilakukan oleh remaja. Seks bebas berimbas pada kehamilan di luar nikah. Orangtua biasanya menikahkan anak mereka yang hamil di luar nikah untuk menutupi rasa malu atau aib keluarga. 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan pengertian dari Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, HIPOTESIS A. Pola Asuh 1. Definisi Pola Asuh Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2007) menyatakan bahwa para orangtua tidak boleh menghukum dan mengucilkan anak, tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel- variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Tergantung : Psychological well-being 2. Variabel Bebas : Locus

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Arikunto (2006:12), mengatakan bahwa penelitian kuantitatif adalah pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Arikunto (2006:12), mengatakan bahwa penelitian kuantitatif adalah pendekatan BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang dilakukan ini dapat dikatakan sebagai penelitian kuantitatif. Arikunto (2006:12), mengatakan bahwa penelitian kuantitatif adalah pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, dan agama, kognitif dan sosial

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan khusus dapat dialami oleh setiap individu. Menurut Riset

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi, Sampel, dan Lokasi Penelitian 1. Populasi dan Sampel penelitian Sampel penelitian adalah orang tua anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut bersekolah di kelas satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka pernikahan dini di Indonesia terus meningkat setiap tahunya. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN (2012), menyatakan bahwa angka pernikahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perubahan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini khususnya bagi remaja merupakan suatu gejala yang dianggap normal, sehingga dampak langsung terhadap perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah psychological well

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah psychological well 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah psychological well being dari Caroll D. Ryff (1989). Alasan menggunakan teori ini adalah bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa:

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja Menurut Havighurst (dalam Syaodih. 2009.: 161) mengatakan bahwa: Definisi tugas perkembangan adalah suatu tugas yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Ayah 1. Definisi Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas dan membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 19 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Skizofrenia 1. Definisi Skizofrenia Cameron (dalam Gabbard, 1994) menyatakan bahwa Skizofrenia adalah serangkaian reaksi Skizofrenik, yang bersifat regresif sebagai usaha untuk

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Alat Ukur

LAMPIRAN A. Alat Ukur LAMPIRAN A Alat Ukur A1. Kuesioner PWB Petunjuk pengisian : Di balik halaman ini terdapat sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan apa yang Saudara rasakan terhadap diri sendiri dan kehidupan Saudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan sensus penduduk terbaru yang dilaksanakan pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci