DADANG SUHERMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DADANG SUHERMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Transkripsi

1 PENENTUAN SUHU KRITIS ATAS PADA SAPI PERAH DARA FRIES HOLLAND BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN PAKAN MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK DADANG SUHERMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Agustus 2013 Dadang Suherman NIM D

4 RINGKASAN DADANG SUHERMAN. Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network. Dibimbing oleh BAGUS P PURWANTO, WASMEN MANALU dan IDAT G PERMANA. Lingkungan iklim mikro merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi peternak dalam pengembangan ternak sapi perah di Indonesia adalah cekaman panas. Kondisi iklim di Indonesia bersifat panas sepanjang tahun, sekitar suhu udara 29 0 C selama 6 jam yang disebabkan radiasi matahari dan kelembaban udara yang sangat intensif. Cekaman panas di alam bersifat kronis, cuaca panas hanya sedikit berkurang pada malam hari, dan terjadi peningkatan yang besar akibat kombinasi suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis yang dapat menurunkan performa produksi ternak. Beberapa penelitian telah dilakukan di Indonesia seperti modifikasi lingkungan fisik (naungan dan pendinginan), manajemen pemberian pakan dan peningkatan manajemen nutrisi untuk meminimalkan efek cekaman panas terhadap respon fisiologis berupa suhu kulit, suhu rektal, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan. Akan tetapi, strategi manajemn pakan untuk menentukan dan menimimalkan cekaman panas pada suhu kritis belum dilakukan secara menyeluruh. Penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis cukup intensif dilakukan di daerah subtropis. Namun demikian, penentuan suhu kritis pada sapi dara FH yang dipelihara di daerah tropis seperti Indonesia belum dilakukan secara intensif. Begitu juga, penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan melalui simulasi Artificial Neural Network belum dilakukan secara intensif. Penelitian pertama dilakukan pada peternakan sapi perah rakyat di Kebon Pedes Bogor sebagai daerah dataran sedang ( dpl) dan peternakan sapi perah rakyat di Pondok Rangon Jakarta sebagai dataran rendah ( dpl) dari bulan Januari hingga Februari Tujuan penelitian ini untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan di dua daerah berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan untuk masing-masing daerah pada penelitian ini. Ternak dipelihara selama 14 hari dengan diberikan pakan pada pagi hari pukul dan sore hari pukul 15.00, rasio pemberian rumput dan konsentrat setiap hari antara 60:40 Pengambilan data dilakukan setiap jam dari pukul hingga pukul selama 14 hari selama kurun waktu dua bulan. Peubah yang diukur meliputi parameter rata-rata iklim dalam kandang (suhu udara, kelembaban udara, THI, dan kecepatan angin), parameter respon fisiologis (suhu kulit, suhu rektal, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi respirasi). Rancangan yang digunakan adalah pengamatan secara langsung pada ternak. Penentuan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network). Penelitian kedua dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian IPT perah, Fapet, IPB dari bulan Maret hingga Juni Tujuan penelitian ini untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen waktu pemberian pakan dan kualitas pemberian

5 konsentrat dengan kandungan TDN berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakukan yang digunakan merupakan kombinasi dari waktu pemberian pakan (pukul dan 18.00), (pukul dan 16.00), dan level TDN konsentrat (70 %, 75 %, 75 % mengandung minyak kelapa 3.5 %). Ternak diberikan pakan dua kali setiap hari dengan rumput gajah dan konsentrat. Penelitian dilakukan selama enam periode dan setiap periode selama 14 hari dari.pukul hingga pukul Parameter yang diukur meliputi parameter unsur cuaca (suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan radiasi matahari), parameter respon fisiologis (suhu kulit, suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi respirasi), konsumsi pakan, kecepatan konsumsi pakan, kecepatan mengunyah, dan pertambahan bobot badan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin 6x6. Analisis penentuan suhu kritis pada sapi dara FH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen waktu pemberian pakan dan kualitas pemberian konsentrat dengan kandungan TDN berbeda disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network). Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa model simulasi ANN dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH dengan indikator suhu permukaan kulit, suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi respirasi pada berbeda level suhu dan kelembaban udara di daerah Bogor dan Jakarta. Sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 26 0 C dengan kelembaban udara 86% dan di daerah Jakarta pada suhu udara 26 0 C dengan kelembaban udara 88%, yang dicirikan dengan meningkatnya suhu rektal, sedangkan sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara 31 0 C dengan kelembaban udara 86 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara C dengan kelembaban udara 88 %, yang dicirikan meningkatnya suhu kulit. Suhu rektal sapi dara FH lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara dibanding suhu kulit baik di daerah Bogor maupun Jakarta. Sapi dara FH mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara C dengan kelembaban udara 78 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara C dengan kelembaban udara 78%, yang dicirikan dengan meningkatnya frekuensi respirasi, sedangkan sapi dara FH mulai mengalami suhu kritis di daerah Bogor pada suhu udara C dengan kelembaban udara 78 % dan di daerah Jakarta pada suhu udara C dengan kelembaban udara 88 %, yang dicirikan meningkatnya denyut jantung. Frekuensi respirasi sapi dara FH lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara dibanding denyut jantung baik di daerah Bogor maupun Jakarta. Hasil peneltian didapatkan bahwa respon fisiologis lebih rendah pada sapi dara FH yang diberi pakan pukul 05 dan dibanding yang diberi pakan pukul dan Model penerapan ANN dapat digunakan untuk memprediksi respon fisiologis sapi dara FH dengan input suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis yang diberi pakan pukul dan dan pukul dan dengan pemberian konsentrat TDN 70 %, 75 %, dan TDN 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5 %. Suhu kritis pada sapi dara FH terjadi pergeseran semakin meningkat yang diberi pakan pukul dan dibanding yang diberi pakan pukul dan 16.00, begitu juga dengan pemberian konsentrat TDN 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5 % dibanding pemberian konsentrat TDN 75 %. Suhu rektal dan Frekuensi respirasi

6 sapi dara FH lebih sensitif terkena cekaman akibat perubahan suhu dan kelembaban udara dibanding suhu permukaan kulit dan denyut jantung, baik yang diberi pakan pukul dan maupun yang diberi pakan pukul dan dengan pemberian konsentrat TDN 70 %, 75 %, dan 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5 %. Kesimpulan dari penelitian ini dapat memprediksi penentuan suhu kritis pada sapi dara FH dengan manajemen waktu pemberian pakan dan pemberian pakan TDN yang berbeda. Penentuan suhu kritis dari sapi perah dara dapat dilakukan dengan pengaturan waktu pemberian pakan dan pemberian pakan dengan energi yang mudah dicerna. Begitu juga dalam penentuan suhu kritis dari sapi perah dara perlu memperhatikan daerah dataran rendah dan sedang. Kata kunci: ANN, minyak kelapa, respon fisiologis, suhu kritis atas, TDN, waktu pemberian

7 SUMMARY DADANG SUHERMAN. Upper critical temperature of Fries Holland heifers based on physiological responseses for feeding management using Artificial Neural Network simulation. Supervised by BAGUS P PURWANTO, IDAT G PERMANA and WASMEN MANALU. The management strategy was carried out by predicting the heifer critical temperature determination based on physiological response on feeding management trough ANN simulation. The purpose of this research was to determined the critical temperature for FH heifer based on physiological response with on different feeding time which was fed concentrate that contains different TDN. The objective of the present study is to evaluate physiological responses of dairy heifer to feeding time when fed concentrate differences in TDN content. Six dairy heifers were randomly allocated to 1 of 6 treatments: two feeding times (5 am/6 pm or 8 am/4 pm) of concentrate with 70 % or 75 % of concentrate unsupplemented or supplemented with 3.5 % coconut oil, in each of 6 periods of 14 d each in 6 x 6 Latin square design. The environmental conditions (air temperature, relatitive humidity, temperature humidity index, radiation, and wind velocity) and animals responses (rectal temperature, skin temperature, body temperature, heart rate, respiration rate, feed consumption, feed comsumption rate, chewing rate, and average daily gain) were then measured. The environmental condition were measured daily at 1 h intervals from 5 am to 8 pm. The animals responses were measured at the 4 th, 8 th, 12 th, 14 th, day of each periode at 1 h intervals from 5 am to 8pm, Tukey s test and LSD were used for statististical analysis among treatments. The heifer critical temperature determination with physiological response indicator on feeding management was simulated by using Artificial Neural Networks (ANN) analysis. Artificial Neural Network (ANN) simulation for industrial engineering is used to define critical temperature of Fries Holland (FH) heifer based on physiological responses on models to predict rectal temperature, skin temperature, heart rate and respiratory rate, using ambient temperature and humidity inputs. The research was conducted using six dairy cattle in Bogor and Jakarta. The heifers were fed 6 am and 3 pm daily. The environmental condition (Ta, Rh, THI, and Va) and physiological responses (rectal temperature, skin temperature, heart rate, and respiration rate) were then measured for 14 days in two months at 1 h intervals started from 5 am to 8 pm. By using this ANN simulation. The critical temperature for FH heifer were defined, from rectal temperature at Ta 26 0 C and Rh 86 % at Bogor, and at Ta 26 0 C and Rh 88 % at Jakarta, from skin temperature at Ta 31 0 C and Rh 86 % at Bogor, and at Ta C and Rh 88 % at Jakarta, from heart rate at Ta C and Rh 78 % at Bogor, and at Ta C and Rh 88 % in Jakarta, from respiratory rate at Ta C and Rh 78 % at Bogor, and Ta C and Rh 78 % at Jakarta. The result of this research was physiological response was lower in FH heifers which was fed at am and pm compared to the heifers which was fed at am and pm. The critical temperature on FH heifer was increased on heifers which was fed at am and pm compared to the heifers which was fed at am and pm, and also with the feeding of

8 TDN 75 % concentrate that contains 3.5 % coconut oil compared with the feeding of TDN 75% concentrate. The rectal temperature and respiration frequency of FH heifers was more sensitive exposed to stress which was caused by temperature and humidity changes compared to skin temperature and heart rate, both on the heifers which was fed at am and pm and at and pm with the feeding of TDN concentrate 70 %, 75 %, and 75 % that contains 3.5 % coconut oil. The physiological responses were significantly lower on cattle which fed at 5 am and 6 pm than 8 am and 4 pm also for cattle which fed concentrate contained 3.5 % coconut oil than not containing that with the same TDN (75 %). Chewing velocity was higher on cattle fed concentrate containing 3.5 % coconut oil than without coconut oil. Average daily gain were higher on cattle fed 5 am and 6 pm than 8 am and 4 pm or fed with concentrate containing 3.5 % coconut oil than without coconut oil. The conclusion of this research can predict the critical temperature determination for FH heifers with different feeding time management and also different TDN feeding. The heat stress of dairy heifer could be reduced with managemen feeding time and feeding with easily digestible nutrient. Key word: ANN, coconut oil, feeding time, high critical temperature, physiological responses, coconut oil, TDN

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 PENENTUAN SUHU KRITIS ATAS PADA SAPI PERAH DARA FRIES HOLLAND BERDASARKAN RESPON FISIOLOGI DENGAN MANAJEMEN PAKAN MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK DADANG SUHERMAN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Prof Dr Toto Toharnat, MSc Prof Dr Ir Win Nugroho, MSc Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc.Agr Dr Ahmad Fakih

13 Judul Disertasi Nama NIM : Penentuan Suhu Kritis Atas Pada Sapi Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network : Dadang Suherman : D Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr Ketua Prof Wasmen Manalu, Phd Anggota Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Muladno, MSA Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian : 26 Agustus 2013 Tanggal Lulus :

14 Judui Disertasi Nama NIM : Penentuan Suhu Kritis Atas Pada Sapi Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisioiogis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network : Dadang Suherman : D Disetujui oleh Komisi Pembimbing s Priyo Purwanto, MAgr Ketua ~ ~- Prof Wasmen Manalu, Phd " Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Petemakan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Muiadno, MSA Tanggal Ujian : 26 Agustus Tanggal Lulus : 03 _5.EL2Ull -

15 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai Juli 2011 ini ialah penentuan suhu kritis, dengan judul Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus P. Purwanto, MAgr, Prof Wasmen Manalu, Phd, dan Dr Ir Idat G. Permana, MScAgr selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Toto Toharnat, MSc dan Prof Dr Ir Win Nugroho, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr Rudi Afnan, SPt,MScAgr dan Dr Ahmad Fakih selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, serta Sirojudin Spt yang telah membantu penelitian dan pengolah data, Di samping itu, penghargaan sampaikan kepada Adi Rahman Spt, MSi, yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data, serta Ketua Program Studi S3 IPTP dan staf Laboratorium Lapang Kandang Produksi Ternak Perah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, isteri, anak-anak, dan seluruh keluarga besar Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai bahan pelajaran penulis untuk kegiatan dan atau penelitian selanjutnya. Bogor, Agustus 2013 Dadang Suherman

16 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xviii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 Ruang Lingkup Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Lingkungan Sapi Perah 4 Produksi Panas 5 Suhu dan Kelembaban Udara 10 Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro 12 Respon Fisiologis 13 Manajemen Pakan 17 Konsumsi Pakan 20 Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) 22 3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK BERBEDA DAERAH 24 Pendahuluan 24 Bahan dan Metode 25 Hasil dan Pembahasan 30 Simpulan 43 4 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN DAN KONSENTRAT DENGAN KANDUNGAN TDN BERBEDA 44 Pendahuluan 44 Materi dan Metode 46 Hasil dan Pembahasan 53 Simpulan 84 5 PEMBAHASAN UMUM 85 6 SIMPULAN DAN SARAN 88 DAFTAR PUSTAKA 89 LAMPIRAN 97 xiv xvi

17 DAFTAR TABEL 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH 5 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta konsumsi air dengan meningkatnya temperature lingkungan 11 3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH 15 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda 16 5 Perbandingan konsumsi pakan, air minum, produsi susu, dan bobot badan pada suhu 18 0 C dan suhu 30 0 C 22 6 Struktur Artificial Neural Network (ANN) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian 28 7 Rataan konsumsi BK, TDN, dan PK pakan sapi dara selama penelitian 32 8 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp 1 ), suhu kulit (Yp 2 ), frekuensi respirasi (Yp 3 ) dan denyut jantung (Yp 4 ) pada daerah Bogor 38 9 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp 1 ), suhu kulit (Yp 2 ), frekuensi respirasi (Yp 3 ) dan denyut jantung (Yp 4 ) pada daerah Jakarta Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) di Bogor dan Jakarta Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) di Bogor dan Jakarta Komposisi dan kandungan pakan penelitian (% asfeed) Skema perlakuan penelitian dengan Rancangan Bujur Sangkar Latin Struktur Artificial Neural Network (ANN) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian Rataan suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan radiasi matahari selama Maret-Juni

18 18 Rataan konsumsi BK, TDN, protein ransum, dan PBB sapi perah dara selama perlakuan Rataan suhu rektal ternak pada siang hari ( 0 C) Rataan suhu permukaan kulit ternak pada siang hari ( 0 C) Rataan suhu tubuh ternak pada siang hari ( 0 C) Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit) Rataan frekuensi respirasi ternak pada siang hari (kali/menit) Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp 1 ) dan suhu kulit (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN berbeda Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk frekuensi respirasi (Yp 1 ) dan denyut jantung (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN berbeda Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Yp 1 ) dan suhu kulit (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN berbeda Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk frekuensi respirasi (Yp 1 ) dan denyut jantung (Yp 2 ) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN berbeda Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai mengalami suhu kritis dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu

19 kulit (Ts) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai mengalami suhu kritis dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai mengalami suhu kritis dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi dara PFH mulai mengalami suhu kritis dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul dengan pemberian konsentrat TDN yang berbeda Rataan kecepatan konsumsi pakan (gram/menit) Rataan kecepatan mengunyah (kali/menit) 84 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan 6 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas 14 3 Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses 23 4 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara PFH pada suhu dan kelembaban udara berbeda 28 5 Rataan fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks suhu kelembaban (THI), dan kecepatan angin (Va) selama Januari-Februari 2011 di Bogor dan Jakarta 31 6 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta 33 7 Rataan fluktuasi suhu permukaan kulit (Ts) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta 34 8 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta 35 9 Rataan fluktuasi denyut jantung (Hr) sapi dara PFH tiap jam

20 dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta Rataan fluktuasi frekuensi respirasi(ts) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara PFH pada suhu dan kelembaban udara berbeda Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (a) Suhu udara, dan (b) kelembaban udara, dan (c) indeks suhu kelembaban (THI) lokasi penelitian Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (d) kecepatan angin dan (e) radiasi matahari lokasipenelitian Fluktuasi rataan suhu rektal pada berbagai perlakuan Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi pakan pukul & 18.0 IB dan & WIB Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak pada berbagai perlakuan Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi pakan Pukul &18.00 WIB dan & WIB Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak pada berbagai perlakuan Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi pakan Pukul &18.00 WIB dan & WIB Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% Fluktuasi rataan denyut jantung ternak pada berbagai perlakuan Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi pakan Pukul &18.00 WIB dan & WIB Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak pada berbagai perlakuan 68

21 27 Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi pakan pukul &18.00 WIB dan & WIB Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, perlakuan konsentrat TDN 75%, dan penggunaan minyak kelapa 3,5% dalam konsentrat TDN 75% 70 DAFTAR LAMPIRAN 1 Pemberian hijauan (pagi/sore) setiap periode berdasarkan perlakuan (kg/pemberian (pagi/sore)/hari) 97 2 Pemberian konsentrat (pagi/sore) setiap periode berdasarkan perlakuan (kg/pemberian (pagi/sore)/hari) 97 3 Rataan unsur cuaca kandang selama enam periode 98 4 Rataan suhu rektal tiap jam selama enam periode ( 0 C) 98 5 Rataan suhu permukaan kulit tiap jam selama enam periode ( 0 C) 99 6 Rataan suhu tubuh tiap jam selama enam periode ( 0 C) 99 7 Rataan denyut jantung tiap jam selama enam periode (kali/menit) Rataan frekuensi respirasi tiap jam selama enam periode (kali/menit) Rataan hasil pengukuran suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi sapi dara PFH di lokasi Bogor Rataan hasil pengukuran suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan Frekuensi respirasi sapi dara PFH di lokasi Jakarta Data output dan input untuk proses iterasi ANN di lokasi Bogor Data output dan input untuk proses iterasi ANN di lokasi Jakarta Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di lokasi Bogor Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di lokasi Jakarta 113

22 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penampilan produksi sapi perah sangat dipengaruhi lingkungan (klimatologis, nutrisional, manajerial) dan hereditas, karena produksi ternak tersebut merupakan manifestasi dan interaksi antara hereditas dengan lingkungan. Rendahnya produksi erat kaitannya dengan rendahnya mutu pakan dan manajemen pakan serta kurang optimalnya penanganan klimatologis. Menurut Haenlein (2008), nilai heritability produksi adalah 0.25, maka diindikasikan bahwa produksi dipengaruhi oleh faktor genetik sebesar 25 %, dan 75 % lainnya ditentukan lingkungan, di antaranya suhu dan kelembaban udara dalam kandang serta manajemen pakan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi pada sapi perah FH masih dapat dioptimalkan melalui penentuan suhu dan kelembaban udara dalam kandang dan manajemen pakan. Dengan kata lain, produksi sapi perah Fries Holland (FH) di Indonesia dapat ditingkatkan mendekati produksi berasal dari Belanda beriklim subtropis. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah. Keunggulan genetik seekor sapi perah tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro (Esmay 1986). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Gebremedhin 1985; Purwanto et al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan. Laporan Intergovemmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan tahun 2001, menyimpulkan bahwa peningkatan temperatur udara global sejak tahun 1860 sampai dengan tahun 2000 sebesar C, sehingga temperatur kritis rendah meningkat dari 20 0 C menjadi 30 0 C, begitu juga termonetral berubah dari 30 0 C menjadi 45 0 C. Pemanasan global tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia dan ternak berbasis pertanian yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfir (FAO 2006). IPCC memprediksi peningkatan rata-rata temperatur global antara tahun 1990 dan 2100 sebesar C. Saat ini pemanasan global merupakan salah satu ancaman dalam usaha peternakan, yang diakibatkan adanya gangguan iklim berupa perubahan cuaca yang tidak pasti, perubahan suhu dan kelembaban udara serta curah hujan meningkat. Hal tersebut mengakibatkan perencanaan budidaya dan produksi peternakan tidak pasti, sehingga produktivitas rendah, peningkatan penyakit, dan perubahan pola pemeliharan peternakan. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Peningkatan performa sapi perah agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen suhu lingkungan dan manajemen

23 2 pakan, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman pada pada tubuh ternak (Nardone et al. 2010). Pada daerah pengembangan sapi perah Fries Holland (FH) di daerah tropis, suhu lingkungan siang hari mencapai 29 0 C selama lebih dari 6 jam. Sapi perah tersebut mengalami cekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal tidak tercapai. Dalam keadaan cekaman panas pada suhu kritis diperlukan energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan, dan hal ini dapat menyebabkan produksi menurun. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan di daerah tropis pada dataran tinggi dan sedang, untuk meningkatkan produktivitasnya. Kombinasi suhu dan kelembaban udara merupakan faktor-faktor penentu dalam menentukan suhu kritis pada sapi perah. Suhu lingkungan ideal bagi sapi perah FH di daerah subtropis berkisar antara C, dan suhu kritis 27 0 C. Hasil penelitian Sudono et al. (2003) di daerah tropis memperlihatkan produksi tidak berbeda dengan di daerah subtropis, apabila suhu lingkungan sekitar C dan kelembaban udara sekitar 55 %, serta penampilan produksi masih cukup baik bila suhu lingkungan meningkat sampai C, dan suhu kritis sekitar 27 0 C memperlihatkan penampilan produksi semakin menurun. Beberapa upaya dilakukan peternak dan pakar lingkungan peternakan untuk mengurangi cekaman panas pada sapi perah dengan memberikan naungan dalam bentuk kandang, pemberian kipas angin, pemberian shelter di sekitar kandang, waktu dan kualitas pemberian pakan, dan pemberian minum dengan air dingin. Upaya ini belum dapat menjawab seberapa besar dapat mereduksi cekaman panas sapi perah akibat suhu dan kelembaban udara baik berasal dari lingkungan maupun dalam kandang tanpa adanya pengukuran perubahan suhu dan kelembaban udara terhadap respon fisiologis dan korelasinya, agar besaran cekaman panas yang diterima ternak dapat diketahuinya. Korelasi suhu dan kelembaban udara dengan respon fisiologis ternak akan membentuk suatu formula yang diharapkan dapat memprediksi kondisi respon fisiologis pada suatu keadaan suhu dan kelembaban udara tertentu. Pemecahan analisis dan pola hubungan antara kondisi lingkungan mikro dalam kandang dengan respon fisiologis ternak dan manajemen pakan biasanya dilakukan dengan analisis metode regresi, namun metode regresi mempunyai kelemahan tidak adanya umpan balik. Untuk mengatasi kelemahan analisis tersebut, untuk pertama kalinya dalam bidang fisiologi lingkungan ternak dicoba penggunaan Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang dapat memberikan umpan balik. Metode ANN lebih akurat dibandingkan metode regresi, karena memperhatikan aspek umpan balik sehingga perhitungannya dilakukan secara berulang (iterasi). ANN merupakan jaringan dari sekelompok unit pemprosesan kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan syaraf manusia, sistem adaptif yang dapat mengubah strukturnya untuk memecahkan masalah berdasarkan informasi baik eksternal maupun internal yang mengalir melalui jaringan. Salah satu sistem pemprosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinopsisnya. ANN mampu melakukan pengenalan kegiatan

24 berbasis data masa lalu yang akan dipelajari oleh jaringan syaraf tiruan, sehingga mempunyai kemampuan untuk memberikan keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari. Analisis ANN pertama kali dicoba dan dipelajari penerapannya di bidang fisiologi lingkungan ternak, yaitu untuk menentukan suhu kritis pada sapi dara FH berdasarkan respon fisiologis dan manajemen pakan. Teori lahirnya sistem jaringan syaraf tiruan muncul terutama dari disiplin ilmu teknik, neuro science, computer, matematika, fisika, dan psikologi. Disiplin ilmu-ilmu tersebut bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan (Kusumadewi 2003). Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron dan diorganisasikan sebagai jaringan syaraf manusia. Jaringan Syaraf Tiruan dibentuk untuk memecahkan suatu masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran (Eliyani 2005). Penentuan formula suhu kritis dari korelasi suhu dan kelembaban udara dengan respon fisiologis sapi perah FH dan manajemen pakan dicoba menggunakan ANN. ANN memiliki kemampuan dalam memprediksi data yang akan datang dengan pola data yang sudah ada sebelumnya, melalui proses training data dengan iterasi tertentu, sampai menghasilkan tingkat error yang diinginkan. Data respon fisiologis ternak berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi pada suhu dan kelembaban udara tertentu akan dijadikan input dalam ANN, dan output-nya berupa suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung, dan frekuensi respirasi sapi perah FH pada berbagai suhu dan kelembaban udara yang diinginkan. Hasil prediksi dari simulasi menggunakan ANN diharapkan dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis dan cekaman panas berdasarkan respon fisiologis pada sapi dara Fries Holland di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda dan manajemen pakan. 3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda. 2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda. 3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Menyusun serta penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya. Manfaat Penelitian 1. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan dataran berbeda. 2. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda.

25 4 3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan untuk pengembangan peningkatan produksinya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda. 2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda. 3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya. 2 TINJAUAN PUSTAKA Lingkungan Sapi Perah Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi, sedangkan di daerah tropis sekitar kg per laktasi. Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan. Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi

26 produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan produksi (Esmay 1986). Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0 0 C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey adalah C, Brown Swiss adalah C, dan Brahman adalah 38 0 C (Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0 C, Brown Swiss dan Jerseys adalah C, dan untuk Brahman adalah 32 0 C. Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal bagi sapi perah Eropa berkisar antara C, sehingga sapi perah dapat berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0 C. Selengkapnya pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel 1 Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH ( 0 C) Peneliti Suhu ideal Suhu kritis Schmidt (1972) McDowell (1972) Sutardi (1981) Yousef (1985) Sudono (2003) Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu sekitar C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai C (Sudono et al. 2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari permukaan laut. 5 Produksi Panas Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat). Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang. Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu

27 6 nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui feses dan urin (McDowell 1972). Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan. Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 o C dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schutz et al. 2008). Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5 o C dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005). Bangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan panas dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan panas dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas konduksi terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan keluar bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah. Perpindahan panas

28 dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999). Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya. Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap, pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya. Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH, tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya, bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986). Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban, konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson dan Walker 1983). Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi maupun konduksi (Wathes dan Charles 1994), mengakibatkan adanya distribusi suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi besarnya radiasi matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Pindah panas pada bahan bangunan kandang dipengaruhi konduktivitas bahan, tebal bahan dan 7

29 8 waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin, waktu dan luasan daerah konveksi. Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang. Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid dynamics atau CFD (Versteeg dan Malalasekera 1995). Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu, kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban (Esmay 1986). Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan temperatur di luar dan di dalam kandang. Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura 1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan, karena dipengaruhi temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah dikendalikan. Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan tekanan pada lokasi berbeda menghasilkan distribusi tekanan pada bangunan. Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi dari koefisien tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan terjadi aliran udara masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari bangunan (outflow). Efek turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi secara kontinyu menghasilkan fluktuasi tekanan. Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar kandang (Bockett dan Albright 1987). Konveksi panas dari atap dan material penyusun kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan menurunkan kerapatan udara dalam kandang sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan udara di dalam dan di

30 luar kandang yang pada akhirnya terjadi aliran udara keluar masuk kandang melalui bukaan. Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada bukaan kandang yang tidak terjadi aliran udara, karena tekanan udara di dalam dan di luar kandang besarnya sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral. Posisi bidang tekanan netral memberikan gambaran bukaan yang berfungsi sebagai saluran masuk dan saluran keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang tekanan netral, tekanan udara luar lebih tinggi daripada tekanan udara di dalam kandang sehingga terjadi aliran udara masuk ke dalam kandang. Pada bagian di atas bidang tekanan netral, tekanan udara di dalam lebih tinggi dari tekanan udara di luar, sehingga terjadi aliran udara keluar (Brockett dan Albright 1987). Daya tahan panas (heat tolerance) ternak sebagai manifestasi adaptasi, merupakan kemampuan tubuh ternak untuk mempertahankan diri dari serangan panas tanpa menderita akibat dari pengaruh tidak menguntungkan (Soeharsono 2008). Prinsip dasar pengukuran daya tahan panas seekor ternak ialah tingkat perubahan suhu tubuh ternak tersebut, sebab pada umumnya perubahan-perubahan fungsi fisiologis organ lainnya hanya usaha tubuh agar suhu tubuh tidak terus naik. Ternak yang mudah naik suhu tubuhnya akibat meningkatnya suhu lingkungan, dikatakan bahwa ternak tersebut rendah daya tahan panasnya. Salah satu cara digunakan untuk mengukur toleransi panas, dengan melihat tinggi rendahnya reaksi organ yang dianggap paling mudah berubah, akibat perubahan suhu lingkungan, yaitu organ pernapasan dan pengaturan suhu tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan panas seekor ternak, yaitu bangsa, jenis kelamin, dan kondisi tubuh ternak. Sapi potong mempunyai daya tahan panas lebih tinggi daripada sapi perah. Ternak yang mempunyai volume tubuh lebih besar lebih rendah daya tahan panasnya dibanding dengan yang kurus (Soeharsono 2008). Hal ini erat kaitannya dengan luas permukaan tubuh ternak tersebut, yang menunjukkan bahwa semakin kecil ternak maka luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar, sehingga lebih banyak panas yang diradiasikan dari dalam tubuh. Begitu juga ternak muda lebih rendah daya tahan panasnya daripada ternak tua (Soeharsono 2008). Hal tersebut disebabkan organ berkaitan dengan pembuangan panas pada ternak dewasa sudah lebih berkembang fungsinya daripada organ-organ tubuh ternak muda. Pengukuran daya tahan panas seekor ternak dapat digunakan dua cara, yaitu (1) metode Iberia dengan menggunakan parameter suhu tubuh dan diukur dalam 0 F, (2) metode Benezra dengan parameter suhu tubuh ( 0 C) dan frekuensi pernapasan. Rumus yang digunakan Benezra atau dikenal dengan Benezra Coefficient (BC) sebagai berikut: 9 BC = Benezra Coefficient RT = Rectal Temperature NR = Number of Respiratory Rate 38,33 = Temperatur normal sapi (standard temperature) 23 = Frekuensi pernapasan normal (standar respiratory rate) Selanjutnya Soeharsono (2008) menggantinya dengan IA yakni singkatan dari Indeks of Adaptability. Dengan demikian rumus tersebut menjadi

31 10 RT1 = suhu tubuh siang hari RT 0 = suhu tubuh pagi hari NR1 = frekuensi pernapasan siang hari NR0 = frekuensi pernapasan pagi hari Menurut perhitungan dengan cara tersebut, toleransi panas optimal, bila nilai IA = 2. Semakin tinggi nilai IA, semakin rendah toleransi panas ternak. Suhu dan Kelembaban Udara Faktor-faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi (Rahardja 2007). Suhu lingkungan naik sampai 27 o C, bagi sapi FH sedang laktasi mengebabkan produksi susu menurun. Penurunan produksi tersebut disebabkan rendahnya napsu makan. Dengan adanya pemanasan global di masa sekarang sangat mempengaruhi naik dan turunnya produksi susu secara drastis, sehingga dapat merugikan peternak. Sapi perah berada pada suhu lingkungan tergolong tinggi dan diberikan pakan, maka berusaha meningkatkan pengeluaran panas serta efek kalorigenik pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas, yang akhirnya dapat menurunkan produksi susu. Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah FH serta PFH pada suhu lingkungan naik di atas normal, yaitu lebih dari 30 0 C, termasuk lingkungan suhu kritis. Suhu tinggi memaksa sapi tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang, sehinga produksi susu menurun (Rahardja 2007). Stress panas terjadi apabila suhu lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas zona termonetral. Pada kondisi tersebut, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Efek stress panas akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan masa laktasi pada sapi perah, serta termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu, dan komposisi susu (Bond dan McDowell 2008). Kelembaban merupakan jumlah air dalam udara. Fungsi kelembaban udara sangat penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Lebih lanjut bahwa kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas serta akhirnya dapat mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje 2003). Kemampuan berproduksi sapi perah FH menurut beberapa penelitian menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur lingkungan. Seperti halnya penelitian pengaruh stress panas terhadap konsumsi bahan kering, produksi susu, dan konsumsi air yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.

32 Suhu efektif adalah suhu dimanfaatkan ternak untuk kehidupannya yang dipengaruhi suhu dan kelembaban udara (Rh), radiasi matahari dan kecepatan angin (West 1994). Suhu efektif dapat memperlihatkan tingkat kenyamanan dan stress bagi sapi perah. Hubungan suhu efektif dengan paremeter iklim mikro ditunjukkan pada beberapa persamaan berikut (Yamamoto 1983): (1) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan bola kering, (2) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu tubuh sapi) dan kecepatan angin, (3) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu pernafasan) dan kecepatan angin, (4) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering dan radiasi matahari, (5) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan suhu udara lingkungan. Tabel 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan Temperatur ( o C) Perkiraan Konsumsi dan produksi Bahan kering (lb) Produksi Susu (lb) Air (Galon) Sumber : Pennington dan VanDevender (2004) Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1986). McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa berkisar o C (McDowell 1972); 4 25 o C (Yousef 1985), 5 25 o C (Jones dan Stallings 1999). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum dengan maksimum (Gambar 1). Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi tingkat stres sapi perah. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72. Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72 THI 79), stres sedang (80 THI 89) dan stres berat ( 90 THI 97) (Wierema 1990). Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH. Denyut jantung sapi FH sehat pada daerah nyaman (suhu tubuh 38,6 o C) adalah kali/menit dengan frekuensi pernafasan kali/menit (Ensminger 1971). Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung, merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas diterima ke dalam organ-organ lebih dingin (Anderson 1983). 11

33 12 Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro Pemecahan masalah untuk mengatasi suhu lingkungan tinggi dengan cara menurunkan suhu udara di sekitar sapi perah, melalui modifikasi lingkungan mikro dalam kandang. Hal ini bisa ditempuh dengan cara pemberian naungan, pemilihan bahan atap, tinggi atap, alas bahan lantai, pendingin udara (air condioning), pendinginan melalui penguapan (evaporative cooling), dan kipas angin (electric fan). Upaya menggunakan pendinginan tersebut sudah pasti memerlukan tambahan biaya tidak sedikit, maka untuk peternakan sapi perah rakyat di Indonesia belum bisa dilaksanakan (Sudono et al. 2003). Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara secara ekstensif pada kondisi suhu lingkungan panas adalah karena intensitas matahari yang tinggi (McDOwell 1972; Mount 1979). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku ternak, merumput dilakukan malam hari dan siang harinya lebih banyak digunakan untuk berteduh (Ingram dan Dauncey 1985). Pengaruh intensitas matahari yang tinggi juga terjadi pada pemeliharaan ternak secara intensif, karena pengaruh panas radiasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang (Esmay 1986; Hahn 1985). Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi digembalakan (Gebremedhin 1985). Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan menggunakan naungan, untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran (Roman-Ponce et al. 1977; Esmay 1986) atau kombinasi naungan dengan sistem pendinginan lain (Armstrong 1997; Igono et al. 1987). Berdasarkan hal tersebutr Yamamoto et el. (1994) menekankan pentingnya pengetahuan tentang peranan naungan dalam termoregulasi sapi perah di daerah berudara panas dalam manajemen sapi perah. Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung dari sinar matahari dalam pembuatan kandang sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang mampu memantulkan dan menyerap radiasi langsung, sehingga dapat mengurangi penghantaran panas ke dalam kandang. Semua bahan akan memantulkan, meneruskan dan menyerap radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang dengan proporsi berbeda-beda, tergantung pada jenis bahan. Perbedaan ini disebabkan berbedanya suhu absolut bahan, sifat fisik dan kimiawi bahan serta daya hantar energi panas (bahang) dan panjang gelombang radiasi matahari (Charles 1981). Hahn (1985) menyatakan bahwa bahan atap rumput kering atau jerami paling efektif menahan radiasi matahari yang terpancar langsung, sedangkan bahan padat kurang efektif kecuali kalau dicat putih. Demikian pula, bahan atap dari bilah-bilah kayu yang disusun tidak rapat kurang efektif untuk menahan radiasi matahari. Radiasi matahari yang diabsorbsi bahan akan diubah menjadi bahang, kemudian dihantar ke bagian lebih dingin atau dipancarkan kembali sebagai radiasi gelombang panjang. Kemampuan menghantar bahang (konduktivitas) masing-masing bahan dari terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah asbes, beton, baja, seng, dan alumunium (Charles 1981). Bahan tipis seperti kebanyakan logam mempunyai koefisienan konduksi yang besar, sehingga suhu di atas dan di bawah bahan hampir sama (Esmay 1978). Hasil penelitian Santoso (1996)

34 memperlihatkan bahwa lingkungan mikro di dalam kandang beratap rumbia dengan ketinggian 2 meter paling nyaman dibandingkan dengan lingkungan mikro di dalam kandang dengan atap ketinggian 2 meter, serta kandang dengan atap rumbia dan genteng ketinggian 3 meter pada siang hari. Konduktivitas bahang bahan dipengaruhi jenis dan ketebalan bahan (Whates 1981). Semakin tinggi suhu di bagian bawah bahan atap, semakin tinggi pula suhu di dalam kandang. Hal ini disebabkan penyebaran bahang lebih cepat pada bahan tersebut, baik secara konduksi, konveksi maupun radiasi. Kandang beratap rumbia dan genteng ketinggian 2 meter menyebabkan respon termoregulasi sapi-sapi di dalamnya lebih rendah, pertambahan bobot badan serta efisiensi pakan lebih tinggi dibanding dengan sapi-sapi yang tidak di dalam kandang beratap rumbia dan genteng 3 meter (Santoso 1996). Berkaitan dengan hantaran bahang dan konduksi, yang perlu diperhatikan adalah konduktivitas dan kapasitas bahang tersebut. Perbandingan antara konduktivitas dan kapasitas bahang merupakan daya difusivitas bahan yang mencerminkan kemampuan bahan untuk melakukan difusi bahang ke lingkungan sekitarnya (Mount 1979). Whates (1981) menyatakan kapasitas bahang dari bahan tergantung pada kadar air bahan. Makin tinggi kadar air bahan, kapasitas bahangnya makin tinggi. Santoso (1996) melaporkan bahwa tidak terjadi perbedaan respon termoregulasi, konsumsi pakan, dan air minum dalam kandang beratap rumbia dengan genteng pada ketinggian atap sama. Selain memilih bahan atap berkonduktivitas rendah, usaha lain yang ditempuh untuk memanipulasi lingkungan mikro di dalam kandang adalah dengan memperbesar ukuran kandang. Salah satu caranya adalah dengan meninggikan atap kandang, sehingga volume udara dan aliran udara masuk ke dalam kandang lebih besar dan pergantian udara lebih cepat (Carpenter 1981). Pengaruh ditimbulkan dari keadaan tersebut adalah terjadinya penurunan suhu di dalam kandang. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa cekaman panas di dalam kandang berkurang, di samping itu terjadi pelepasan panas dari tubuh ternak melalui kulit (sweating) berjalan lebih baik. Daerah-daerah yang cerah dengan sinar matahari penuh, tinggi atap kandang sebaiknya antara 3.6 dan 4.2 m dan untuk daerah berawan, ketinggian atap kandang antara 2,1 dan 2,7 m lebih efektif membatasi difusi radiasi matahari yang diterima ternak di dalam kandang (Hahn 1985). Ketinggian atap antara 2 dan 3 m untuk daerah tropis basah dan antara 4 dan 5 m untuk daerah beriklim panas kering (McDowell 1972), antara 3 dan 4 m untuk daerah semi arid (Wiersma et al. 1984; Marai dan Forbes 1989). Sastry dan Thomas (1980) menyarankan pengaturan ketinggian atap kandang sapi perah untuk daerah panas dengan curah hujan sedang sampai curah hujan tinggi adalah 175 cm, yang diukur dari sisi atap terendah ke lantai. 13 Respon Fisiologis Semua ternak termasuk homoitherm, dalam keadaan sehat mempunyai suhu tubuh praktis konstan. Untuk pengaturan suhu tubuh, terdapat pusat pengatur suhu yang terletak di bagian anterior hipotalamus, yakni di daerah supraoptik dan preoptik yang mudah dirangsang bila suhu tubuh naik. Begitu juga, pusat

35 14 pengaturan suhu di daerah posterior hipotalamus sangat mudah dirangsang, apabila suhu tubuh menurun. Kedua pusat yang masing-masing terletak di hipotalamus anterior dan posterior ini merupakan pusat suhu yang berlawanan, artinya bila satu aktif maka lainnya dengan sendirinya menjadi pasif. Pengaturan suhu tubuh bergantung pada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas ke lingkungan. Hensel (1981) mengemukakan bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya terjadi bila ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Alfarez-Rodriguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas secara evaporasi dengan panting dan sweting. Evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba, dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi (Schutz et al. 2008). Pada saat istirahat, ternak lebih toleransi pada suhu tinggi. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Pada ternak lebih aktif, maka lebih banyak energi dikeluarkan untuk aktivitasnya dan faktor ekstrinsik berupa temperatur yang paling besar mempengaruhi metabolisme (Tyler dan Enseminger 2006). Homeotermi adalah hasil dari keseimbangan antara produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2), serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi panas yaitu ukuran tubuh, spesies dan bangsa, lingkungan, pakan, dan air. Dipengaruhi oleh: Luas permukaan tubuh Penutup tubuh Pertukaran air Aliran darah Lingkungan : Suhu Kecepatan angin Kelembaban Dipengaruhi oleh: Hormon kalorigenik Produksi : susu daging wool aktivitas otot kebutuhan pokok Sumber : Makanan Cadangan tubuh Permentasi rumen/sekum Lingkungan Sensible Radiasi Konveksi Konduksi Non sensibel Evaporasi Evaporasi -respirasi -kulit Pelepasan panas Pelepasan panas Hipotermia Hipertermia Normal Suhu tubuh, 0 C Gambar 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas

36 Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh sapi pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Temperatur rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, frekuensi respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar (Weeth et al. 2008). Suhu tubuh diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada ternak, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan suhu tubuh. Suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar C (Kelly 1984). Pelepasan panas dari tubuh akan tergantung pada sistem pengendalian panas tubuh sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan faktor iklim sekitarnya. Kisaran suhu lingkungan pada kondisi tropis, umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran suhu lingkungan yang serasi bagi ternak. Kenaikan suhu lingkungan akan diikuti oleh peningkatan suhu tubuh, yang akan menyebabkan terganggunya keseimbangan panas tubuh (Sudarmoyo 1988). Perubahanperubahan fisiologis pada tubuh sapi FH yang menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 3. Pengaruh cekaman panas terhadap respon fisiologis sapi perah sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung. Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan sapi FH Parameter Sumber Suhu lingkungan 15 Suhu rektal ( o C) 1 2 Denyut jantung (kali per menit) 1 2 Netral Cekaman Pernapasan (kali per menit) Sumber : 1) Kibler (1962). Sapi FH dengan suhu netral 21.6 o C dan suhu cekaman 32.2 o C. 2) Purwanto (1993a). Sapi FH dengan suhu netral 15 o C dan suhu cekaman 30 o C. Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat mengatur kelembaban dan suhu udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak kali/menit. Mekanisme respirasi dikontrol

37 16 oleh medulla yang sensitif terhadap CO 2 pada tekanan darah. Jika tekanan darah meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, suhu lingkungan dan kelembaban relatif tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984). Respon pernafasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi perah untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak. Frekuensi pernafasan dan denyut jantung akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu lingkungan. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin, sedangkan pernafasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang panas atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Apabila kedua respons tersebut tidak berhasil menghilangkan atau mengurangi tambahan panas dari luar tubuh, maka akan berakibat terhadap peningkatan suhu organ tubuh (Anderson 1983). Selain itu, mekanisme pengurangan beban panas terutama ditempuh melalui permukaan tubuh dengan cara pengeluaran keringat dan sebagian lagi melalui pengeluaran urin (Tabel 4). Roman-Ponce et al. (1982) mengemukakan bahwa sapi perah yang ditempatkan pada kandang sebagai pelindung dari sengatan matahari pada suhu lingkungan 28.4 o C menghasilkan suhu tubuh 38.9 o C, dan sapi-sapi tanpa kandang pelindung pada suhu lingkungan 36.7 o C diperoleh suhu tubuh 39.4 o C. Wolfenson et al. (1988) mengemukakan bahwa pendinginan tubuh dengan pembasahan dan hembusan angin terhadap sapi perah Israel-Holstein pada musim panas pada suhu lingkungan 31 o C, suhu tubuhnya meningkat 0.2 o C, dari suhu tubuh 38.7 o C menjadi 38.9 o C. Sapi-sapi tanpa perlakuan pendinginan, suhu tubuhnya meningkat 0.5 o C, dari suhu tubuh 38.7 o C menjadi 39.2 o C. Tabel 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda Parameter Suhu 18 o C 30 o C Konsumsi minum (kg/hari) Volume urine (kg/hr) Evaporasi melalui (g m -2 hari -1 ) a. permukaan tubuh b. respirasi Sumber : McDowell (1972) Upaya untuk mengatasi cekaman panas pada sapi perah, di antaranya melalui perbaikan sistem perkandangan dan pendinginan tubuh. Gomila et al. (1976) menjelaskan bahwa rataan frekuensi pernafasan sapi Fries Holland dan Guernsey yang mendapatkan perlakuan pendinginan tubuh pada suhu lingkungan

38 o C adalah 64.7 kali per menit, sedangkan pada sapi tanpa pendinginan tubuh adalah 76.5 kali per menit. Jantung merupakan struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut, dan siklusnya adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung pada ternak normal, yaitu spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, ransangan, tahap laktasi, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Denyut jantung normal pada sapi dewasa kali/menit dan pada pedet kali/menit. Perubahan dalam kardiovaskular terjadi hampir pada setiap perubahan kondisi lingkungan sekitar ternak (Soeharsono 2008). Bila thermostat yang terdapat pada hipothalamus posterior didinginkan, maka akan timbul vasokontriksi di seluruh tubuh. Terjadinya vasokontriksi ini ternyata mencegah sistem radiator dalam pengeluaran panas. Secara umum, kerja dari pusat panas ini, apabila keadaan cuaca dingin, mula-mula thermoreceptor yang terdapat dalam sistem di permukaan tubuh menderita terlebih dahulu. Dalam hal ini, darah yang terdapat di periferi menerima rangsangan tersebut dan membawanya ke seluruh tubuh. Suhu yang disebarkan tersebut sampai di pusat pengaturan suhu. Pusat ini sangat sensitif terhadap setiap perubahan suhu darah. Sewaktu suhu darah menurun, terjadi suatu reaksi tertahan, sehingga semua pembuluh darah di periferi mengecil karena kerja hormon. Reaksi kardiovaskuler terhadap perubahan suhu lingkungan terjadi adanya penyempitan (kontriksi) dan pembesaran (dilatasi) pembuluh darah. Hal ini terjadi sebagai manifestasi kerja pusat pengatur suhu yang terletak di dalam hipotalamus (Soeharsono 2008). Denyut nadi merupakan manifestasi denyut jantung, yang secara normal keduanya mempunyai ritme yang bersamaan. Denyut nadi meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan, tetapi ada pula denyut nadi yang menurun dengan meningkatnya suhu lingkungan. Soeharsono (2008) mengemukakan dari hasil penelitiannya pada sapi perah Fries Holland, bahwa pada suhu lingkungan 28.3 o C, frekuensi denyut nadi 72.3 kali per menit dan pada suhu lingkungan 30.2 o C naik menjadi 76.6 kali per menit. Seath dan Miller (2008), perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap denyut jantung, dengan nilai korelasi kurang dari Manajemen Pakan Manajemen pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Pemberian pakan pada sapi perah hendaknya memperhatikan dua hal, yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Pada sapi dara, pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan berat badan (PBB). Manajemen pemberian pakan kepada ternak, terutama berdasarkan waktu dan jumlah pemberian pakan, dan kualitas pakan. Tiga hal tersebut, perlu diperhatikan mengenai jumlah dan kualitas pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar, dan energi (TDN), karena komposisi tersebut berperan penting untuk kelangsungan hidup dan produksi sapi dara.

39 18 Pemberian pakan pada sapi perah yang ideal ditinjau dari segi respon fisiologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Pakan yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai produksi tinggi. Begitu juga, bila sapi perah hanya diberikan konsentrat, produksi akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan terjadinya gangguan pencernaan. Pemberian pakan hijauan dan konsentrat pada sapi perah merupakan makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar pemberian pakan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum dapat memenuhi zat-zat makanan dibutuhkan sapi perah. Dalam formulasi ransum, kebutuhan air tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang laktasi, harus selalu cukup tersedia (Siregar 1992). Berkenaan hubungan antara waktu, jumlah, dan konsumsi pakan dengan faktor iklim terutama suhu lingkungan perlu diperhatikan. Purwanto et al. (1993) mengemukakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan air minum (water intake), efisiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air sumber makanan di wilayah tersebut. Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak, baik berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Albright (1992) mengemukakan bahwa palatabilitas memiliki pengaruh besar terhadap konsumsi pakan pada ruminansia dan sensor terhadap rasa sangat berkembang pada ternak sapi. Chiy dan Philips (1999) melaporkan hasil penelitian, konsentrat yang manis, dengan kadar karbohidrat larut air yang sama (198g/kg bk), dikonsumsi ternak lebih cepat dibanding konsentrat yang asin dan pahit tanpa bahan aditif lain. Fungsi fisiologis daripada pakan adalah menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaharui jaringan tubuh aus terpakai, mengatur kelestarian proses-proses dalam tubuh dan kondisi lingkungan dalam tubuh, dan menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses dalam tubuh. Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Sapi dara sedang tumbuh memerlukan ekstra energi untuk jaringan tubuhnya selama pertumbuhan dari anak hingga menjadi ternak dewasa (Etgen 1987; Lawrence dan Fowler 2002). Kandungan pakan dapat berfungsi baik bagi tubuh sebagai sumber energi adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Bahan-bahan pakan tersebut memiliki karakter nutrisi dan efek berbeda-beda terhadap kondisi fisiologis ternak. Makanan berserat menghasilkan panas paling tinggi dalam proses pencernaannya, selanjutnya diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul lemak. Lemak memiliki kadar energi paling tinggi, akan tetapi lemak menghasilkan panas terbuang (heat increament) relatif lebih rendah dibanding protein dan karbohidrat (Parakkasi 1995). Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi energi.

40 Zat pakan yang memiliki kandungan kalori tinggi dan heat increament rendah seperti lemak sangat sesuai diberikan bila ada cekaman panas. Kebutuhan pakan pada makhluk hidup berbeda-beda sesuai dengan karakter fisiologisnya, diantaranya bergantung pada tingkat stress terhadap cekaman panas dan fase pertmbuhan. Pada ruminan, seperti sapi perah, hasil fermentasi karbohidrat berupa VFA (volatile fatty acid) diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit bagian dari VFA yang termetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi 1995). VFA merupakan sumber energi utama pada ruminansia. Lemak pakan dalam rumen ruminansia dewasa mengalami proses hidrolisis, fermentasi gliserol dan galaktosa, dan hidrogenasi asam lemak tak jenuh oleh mikroorganisme rumen. Hidrolisis lemak pada anak sapi sangat terbatas kesanggupannya, sehingga banyak di antara lemak tersebut harus diserap secara langsung masuk ke dalam saluran limfe (Parakkasi 1995). Kandungan energi pakan harus dimodifikasi selama suhu tinggi. Rao et al. (2002) melaporkan bahwa konsentrasi energi harus ditingkatkan 10 % selama stress panas dan konsentrasi nutrisi lain juga ditingkatkan 25 %. Konsentrasi energi (DE atau TDN) yang baik lebih tinggi pada pakan disuplementasi lemak dibanding tidak disuplementasi. Sapi diberi pakan dengan lemak dengan suplementasi sebanyak 1.2 Mkal/hari, energinya lebih banyak tercerna dibandingkan tidak disuplementasi lemak (Weiss dan Wyatt 2004). Energi metabolis sesuai dengan karakter metabolisme hewan dan juga bergantung pada panas, aktivitas, dan pertumbuhan (Lawrence dan Fowler 2002). Aktifitas dapat meningkatkan panas tubuh metabolis. Pada kasus yang biasa dilakukan seperti aktivitas berdiri dari posisi duduk, dapat meningkatkan produksi panas metabolis dari 40 % menjadi 45 % berdasarkan pengukuran menggunakan calorimeter. Produksi panas metabolis pada saat diam, lebih rendah, karena terjadi perubahan postur saat berlari, perubahan pada pelepasan panas sensible, dan atau peningkatan suhu tubuh karena berlari (Yousef 1985). Hasil penelitian Sporndly (2003), dengan penambahan 10 % kadar lemak pada konsentrat atau 3 % dari seluruh ransum tidak memberikan efek yang relatif besar pada konsumsi bahan kering atau kecernaan, dan terbaik pada penambahan lemak dengan kadar maksimal 5 % telah direkomendasikan untuk sapi perah di Swedia. Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak ruminansia mampu mentoleransi kandungan lemak hingga 10 % tanpa mengalami gangguan pencernaan. Efisiensi penggunaan bahan kering ransum tertinggi dicapai pada pemberian minyak kelapa 200 gr/ekor/hari, yang setara dengan penambahan 3.73 % lemak dari bahan kering ransum (Anggarawati 1980). Kandungan energi tercerna minyak kelapa sebesar 0.8 kcal/kg dan koefisien cerna protein dan ether extract lebih besar saat pakan mengandung minyak kelapa sebanyak 10 % (Creswell dan Brooks 1971). Hasil penelitian Sitoresmi (2009) menunjukkan, penambahan minyak hingga level 5 % mampu menurunkan produksi metan hingga % tanpa berefek negatif terhadap kadar NH 3, kadar VFA, aktivitas CMC-ase, dan kadar protein mikrobia. Nilai kalori tinggi dari lemak sangat sesuai digunakan sebagai pakan, untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al. 2010). 19

41 20 Ruminasi dipengaruhi faktor-faktor nutrisi berupa kecernaan pakan, konsumsi NDF, komposisi pakan, dan kualitas bahan baku pakan. Peningkatan efisiensi mengunyah saat ruminasi adalah salah satu faktor dapat meningkatkan daya konsumsi atau cerna setelah ternak disapih, dan bersamaan dengan meningkatnya fungsi-fungsi rumen lain (Hooper dan Welch 1983). Peningkatan mengunyah pada saat ruminasi seiring dengan meningkatnya konsumsi hay (Bae et al. 1979). Peningkatan ruminasi pada sapi perah berpengaruh terhadap peningkatan produksi saliva dan peningkatan kesehatan rumen. Peningkatan jumlah lemak jenuh yang melintasi duodenum, dapat meningkatkan waktu ruminasi harian (Harvatine dan Allen 2005). Hasil Observasi menggunakan Hi- Tag rumination monitoring system yang dilakukan Schirmann (2009), waktu yang diperlukan untuk ruminasi selama 35.1 ± 3.2 menit, waktu tersebut hampir sama dengan pengamatan langsung, yaitu 34.7 ± 2.3 menit. Konsumsi Pakan Upaya mencapai tingkat produksi tinggi sesuai dengan potensi genetiknya, sapi perah perlu memperoleh zat gizi yang diperlukan. Pakan diberikan kepada sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Sebagai pakan untuk hidup pokok harus mengandung sejumlah zat gizi yang mencukupi untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuh dalam keadaan normal yaitu pernapasan, pencernaan makanan serta memperbaiki bagian-bagian tubuh yang rusak (Foley et al. 1973). Kandungan zat gizi yang tersedia di dalam pakan terlebih dahulu akan digunakan tubuh untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, selanjutnya untuk kebutuhan pertumbuhan dan reproduksi, serta sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Energi dan protein dibutuhkan sapi perah dalam jumlah cukup banyak, tetapi vitamin dan mineral dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Air dibutuhkan sangat banyak, karena berfungsi sebagai media pengangkut dan pembentukan energi dalam tubuh. Jumlah bahan kering dikonsumsi sapi perah sangat beragam sesuai dengan kondisi lingkungannya, yaitu berkisar antara % dari bobot hidup. Pakan dikonsumsi sapi perah tergantung pada selera makan serta dipengaruhi oleh bangsa sapi, periode laktasi, efisiensi metabolisme dan perkembangan rumen, suhu lingkungan, kandungan air bahan makanan, dan adanya bahan makanan tambahan (Sudono et al. 2003). Konsumsi pakan sapi perah dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya suhu dan kelembaban udara, umur ternak, jenis makanan, dan bangsa sapi perah. Di antara faktor-faktor tersebut, suhu dan kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Sudono et al. (2003) mengemukakan bahwa suhu lingkungan tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan pada seluruh bangsa sapi perah. Konsumsi ransum mulai turun apabila suhu lingkungan naik dari C pada sapi Fries Holland, C pada sapi Jersey, di atas C pada sapi Brown Swiss, dan C pada Brahman. Konsumsi pakan sapi Fries Holland laktasi akan menurun 20 % pada suhu 32 0 C dan akan berhenti makan pada suhu di atas 40 0 C.

42 Kadar lemak susu sebagian besar diperoleh dari sapi yang mengkonsumsi pakan berserat kasar tinggi, karena serat kasar merupakan makanan ternak ruminansia yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi tinggi (Quinn 1980). Kadar serat kasar dalam pakan sapi perah biasanya berkisar antara % dari total bahan kering yang diberikan. Kadar serat kasar terlalu tinggi di dalam rumen mengakibatkan ransum sulit dicerna, sedangkan kadar serat kasar terlalu rendah dalam pakan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan (Cullison 1978; Suherman 2003). Sapi perah tidak terlalu bergantung pada protein yang tersedia dalam ransum, karena urea atau nitrogen non protein dapat dibentuk menjadi asam amino essensial yang dibutuhkan. Kandungan protein tinggi secara utuh akan difermentasi oleh mikroorganisme rumen dan sebagian lagi akan diubah menjadi protein mikroba yang mempunyai nilai biologis dan kecernaan sangat rendah (Czerkawski 1985). Suhu lingkungan tinggi menurunkan nafsu makan dan mengurangi konsumsi ransum serta meningkatkan konsumsi air minum. Hal tersebut akan menghambat pertumbuhan dan produksi susu. Turunnya konsumsi ransum sebagai respon terhadap peningkatan suhu lingkungan, untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh dengan cara mengurangi panas tambahan dari ransum. McDowell et al. (1976) mengemukakan bahwa musim panas produksi susu sapi perah turun sebesar 21 % dan konsumsi ransum turun sebesar 14 % dibanding musim dingin. Kelembaban udara tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi susu pada suhu 24 0 C, sedangkan pada suhu 34 0 C akan menyebabkan penurunan produksi (Johnson dan Vanjonack 1975). Selanjutnya dijelaskan bahwa sapi perah Fries Holland lebih besar penurunan produksinya di daerah tropis dan relatif sensitif terhadap perubahan kelembaban udara dibanding sapi Jersey dan Brown Swiss. Pada ISK tinggi, penurunan produksi susu tampak jelas terjadi pada sapi yang menghasilkan susu tinggi (25 kg per hari). Sapi-sapi yang menghasilkan susu 25 kg per hari mengalami penurunan produksi 0.8 kg per hari untuk setiap kenaikan ISK satu satuan ISK, sementara sapi perah produksinya 15 kg per hari mengalami penurunan produksi sekitar 0.3 kg per hari, untuk setiap kenaikan satu satuan ISK di atas 74.5 (Esmay 1986). Peningkatan suhu lingkungan mempengaruhi konsumsi ransum, air minum, produksi susu, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5. Di Indonesia, temperatur lingkungan mencapai 29 o C menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11.2 kg/ekor/hari pada saat temperatur lingkungan hanya berkisar o C (Talib et al. 2002). Penelitian Roman-Ponce et al. (1977) bahwa konsumsi hijauan turun sebesar 10 % pada sapi perah yang dipelihara tanpa memakai peneduh dibanding memakai peneduh, dan produksi susu lebih rendah sebesar 6%. Komposisi susu sangat dipengaruhi stres panas. Sapi perah yang mengalami stres panas akan mendapatkan pengaruh negatif terhadap komposisi susu, seperti kadar lemak, protein, dan laktosa susu (Anderson 1985). Hasil penelitian Talib et al. ( 2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia menjadi 3.2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 o C, jika dibandingkan dengan kadar lemak susu 3.7 % pada temperatur lingkungan o C. Demikian halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei dan Hwang (2002), 21

43 22 mendapatkan lemak susu (3.58 %), protein susu (3.13 %), dan bahan padat bukan lemak (8.87 %) dari susu pada sapi yang menderita stres panas, hasil ini lebih rendah dibanding sapi tidak mengalami stres panas, namun kemudian dapat diatasi dengan pemberian ransum pada keseimbangan energi dan protein. Tabel 5 Perbandingan konsumsi pakan, air minum, produksi susu, dan bobot badan pada suhu 18 0 C dan suhu 30 0 C Parameter 18 0 C 30 0 C % perbedaan Konsumsi rumput kering per hari (kg) Konsumsi konsentrat per hari (kg) Konsumsi air minum per hari (kg) Produksi susu per hari (kg) Lemak susu Bahan kering tanpa lemak Protein susu Bobot badan (kg) Efisiensi (Mcal milk) Sumber : McDowell (1972) Igono et al. (1985) telah meneliti pengaruh penyiraman air pada sapi perah di musim panas terhadap produksi susu, kualitas susu, suhu rektal. Hasilnya adalah terjadi perbedaan suhu rektal antara sapi perlakuan dan sapi kontrol, yaitu masing-masing sebesar C dan C, serta produksi susu meningkat sebesar 0.7 kg dibandingkan dengan sapi tanpa perlakuan. Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network merupakan suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron, serta diorganisasikan sebagai jaringan saling berhubungan, sehingga mirip dengan jaringan syaraf manusia. Eliyani (2005) mengemukakan bahwa JST dibentuk untuk memecahkan suatu masalah tertentu, seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran. Sejak ditemukan pertama kali oleh McCullochme dan Pitts pada tahun 1948, JST telah berkembang pesat dan telah digunakan pada banyak aplikasi. Teori yang menginsipirasi lahirnya JST muncul dari bermacam disiplin ilmu, terutama dari neuron science, teknik, komputer, psikologi, matematika, fisika, dan ilmu bahasa. Ilmu-ilmu ini bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan (Kusumadewi 2003). Beberapa hal ingin dicapai dengan melatih JST adalah untuk mencapai keseimbangan antara kemampuan memorisasi dan generalisasi (Puspatiningrum 2006). Kemampuan memorisasi adalah kemampuan JST untuk mengambil kembali secara sempurna sebuah pola yang telah dipelajari. Kemampuan generalisasi adalah kemampuan JST untuk menghasilkan respon yang bisa

44 diterima terhadap pola-pola input serupa (tidak identik) dengan pola-pola sebelumnya telah dipelajari. Hal tersebut sangat bermanfaat bila pada suatu saat ke dalam JST diinputkan informasi baru yang belum pernah dipelajari, maka JST masih tetap dapat memberikan tanggapan baik dan memberikan keluaran paling mendekati. Prinsip kerja JST tersebut mengadopsi prinsip kerja penyaluran informasi sistem jaringan syaraf manusia. Namun demikian, keterbatasan yang dimiliki JST merupakan sebagiankecil dari kemampuan sistem syaraf pada manusia. Kusumadewi (2003) mengemukakan bahwa setiap pola-pola informasi input dan output yang diberikan ke dalam JST diproses dalam neuron. Neuron-neuron tersebut terkumpul di dalam lapisan-lapisan yang disebut Neuron layer, terdiri dari lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output. Konsep kerja informasi tersalurkan dalam JST dimulai dari node-node input. Bila ada sinyal yang masuk ke node input, maka node-node input ini memiliki fungsi untuk menerima sinyal informasi dari luar dan meneruskannya ke node-node pada lapisan tersembunyi. Besarnya sinyal yang disampaikan tergantung pada tingkat kekuatan hubungan antara tiap- tiap node input dengan masing-masing node tersembunyi. Tingkat kekuatan hubungan node digunakan faktor pembobot (weight), sehingga sinyal yang diterima node-node di lapisan tersembunyi merupakan sinyal terbobot atau weigthed signal. Metode propagasi balik perambatan galat mundur (back propagation) merupakan sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer JST. Metode back propagation memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif, dan algoritma ini mendapatkan bentuk persamaan dan nilai koefisien, dalam formula dengan meminimalkan jumlah kuadral galat error melalui model yang dikembangkan (training set) (Brace 1977). Langkah pada lapisan masukan, dihitung keluaran dari setiap elemen pemroses melalui lapisan luar. Dihitung kesalahan pada lapisan luar yang merupakan selisih antara data aktual dan target. Kesalahan tersebut ditransformasikan pada kesalahan yang sesuai di sisi masukan elemen pemroses. Propagasi balik dilakukan terhadap kesalahan tersebut, pada keluaran setiap elemen pemroses kesalahan yang terdapat pada masukan, proses ini diulangi sampai masukan tercapai. Seluruh bobot diubah dengan menggunakan kesalahan pada sisi masukan elemen dan luaran elemen pemroses yang terhubung. Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses ditunjukkan pada Gambar 3 (Eliyani 2005). aj ai = g(ini) Wj,I 23 Input Links Ini g ai Output Links Input Activation Output Function function Gambar 3 Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses

45 24 Keterangan : aj : nilai aktivasi dari unit j. Wj,i : bobot dari unit j ke unit i Ini : penjumlahan bobot dan masukan ke unit i g : fungsi aktivasi ai : nilai aktivasi dari unit 3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PADA BERBEDA DAERAH PENDAHULUAN Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak sapi perah. Keunggulan genetik seekor ternak sapi perah tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro (Santoso et al. 2003). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Gebremedhin 1985; Santoso et al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Cekaman panas lingkungan pada sapi perah menjadi salah satu masalah utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas (St- Pierre et et al. 2003). Pada saat akhir abad 19 dan abad 20 ditandai dengan meningkatnya rataan temperatur global dari 0.8 menjadi C (FAO 2006). Akibatnya terjadi peningkatan rataan temperatur global selama 5 tahun terakhir. Oleh karena itu, diduga terjadi peningkatan cekaman panas dan kemampuan adaptasi sapi perah yang menyebabkan pergeseran kisaran suhu termonetral dan suhu kritis. Di daerah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak berproduksi optimal sesuai kemampuan genetik yang dimiliki. Ternak yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler dan Enseminger 2006).

46 Pada tempat-tempat tertentu bagi pengembangan sapi perah FH di daerah tropis, suhu lingkungan siang hari mencapai 29 0 C selama lebih dari 6 jam. Hal tersebut dapat menyebabkan sapi mengalami cekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal tidak akan tercapai. Dalam keadaan cekaman panas diperlukan energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan, akibatnya produksi menurun. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis di daerah tropis untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan. Penentuan suhu kritis didasarkan respon fisiologis sapi perah cukup intensif dilakukan di daerah subtropis. Namun demikian, penentuan suhu kritis didasarkan pada respon fisiologis sapi perah yang dipelihara di daerah tropis seperti Indonesia, masih belum dilakukan secara intensif. Selain itu hasil penentuan suhu kritis dari daerah subtropis belum tentu dapat diterapkan di daerah tropis, akibat lingkungan yang berbeda sehingga akan memberikan hasil yang berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat suhu kritis pada sapi perah yang telah adaptasi berdasarkan respon fisiologis di dataran menengah (Bogor) dan dataran rendah (Jakarta). Model penentuan suhu kritis tersebut dicoba melalui simulasi Artificial Neural Network (ANN). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai suhu kritis pada sapi perah berdasarkan respon fisiologis di dua daerah, dan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pakan. 25 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada peternakan sapi perah rakyat di Kebon Pedes Bogor sebagai daerah menengah ( dpl) dan peternakan sapi perah rakyat di Pondok Rangon Jakarta Timur sebagai dataran rendah ( dpl). Lama penelitian dilaksanakan masing-masing daerah selama satu bulan dari bulan Januari 2011 hingga Februari Materi Penelitian Kegiatan penelitian ini untuk menganalisis penentuan suhu kritis sapi dara PFH dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan dengan berbeda daerah. Enam ekor sapi PFH dara menempati tiap petak kandang dengan ukuran 1 x 1,8 m. Sapi-sapi dipelihara selama 14 hari, dengan kurun waktu tersebut setiap hari diberikan pakan pada pagi hari (pukul 06.00) dan sore hari (pukul 15.00), rasio pemberian rumput dan konsentrat setiap hari antara 60 : 40%. Selama pengamatan sapi tidak dimandikan. Rancangan penelitian secara pengamatan langsung pada sapi dara PFH untuk menganalisis suhu kritis sapi dara dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan dengan berbeda daerah. Selanjutnya dilakukan pengamatan respon fisiologis pada masing-masing

47 26 waktu dan suhu lingkungannya, dari pukul 5.00 hingga pukul dengan interval satu jam. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati terdiri atas faktor iklim dan respon fisiologis sapi perah. Faktor iklim yang diukur meliputi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), kecepatan angin (Va), dan menghitung Temperature Humidity Indeks (THI). Pengamatan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin dalam kandang dilakukan setiap hari dari pukul hingga pukul dengan interval satu jam selama 14 hari. Respon fisiologis sapi dara yang diukur adalah suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), menghitung suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), dan denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), dan denyut jantung (Hr) dilakukan selama 14 hari dari pukul hingga pukul dengan interval satu jam. Konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul Metode Pengukuran Parameter Pengukuran faktor-faktor iklim yang dilakukan meliputi suhu udara dan kelembaban udara kandang diukur dengan termometer bola basah dan bola kering (dry-wet, Sanghai). Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung menggunakan rumus Hahn (1985), yaitu : THI = DBT WBT , DBT = suhu bola kering ( 0 C) dan WBT = suhu bola basah ( 0 C). Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer digital (TAYLOR-Roschest, New York) yang diletakkan di dalam kandang. Anemometer merekam data setiap 15 menit kemudian di baca kecepatan rata-ratanya. Parameter dan prosedur yang dilakukan pada pengukuran respon fisiologis sapi dara PFH meliputi: 1. Suhu rektal (Tr), diukur dengan memasukkan termometer rektal (SAFETY, Japan) ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. 2. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur dengan termometer pengukur suhu kulit digital di empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (A), dada (B), tungkai atas (C), dan tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaaan kulit dihitung berdasarkan modifikasi rumus McLean et al. (1983); Ts = 0.25 (A + B) C D. 3. Suhu tubuh (Tb), dihitung dari suhu permukaan kulit (Ts) dan menjumlahkan dengan suhu rektal (Tr) menurut McLean et al. (1983). Suhu tubuh (Tb) dihitung dengan rumus : Tb = 0.86 Tr Ts. 4. Denyut jantung (Hr) diukur dengan menempelkan stetoskop (STETOSCOPE, Japan) di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama satu menit. 5. Frekuensi respirasi (Rr), diukur setelah pengukuran denyut jantung dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi pernafasan selama satu menit.

48 6. Konsumsi pakan dihitung dengan menimbang sisa pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan setiap hari. 27 Analisis Data Data iklim mikro dan respon fisiologis ternak dianalisis untuk mendapatkan nilai rataan dan standar deviasi. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network), mengikuti model dan persamaan-persamaannya, sehingga dapat diketahui pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban udara terhadap respon fisiologis sebagai indikator penentuan suhu kritis pada sapi dara paranakan Fries Holland. Jaringan Syaraf Tiruan (ANN) yang digunakan adalah metode algoritma propagasi balik. Algoritma pelatihan propagasi balik banyak dipakai pada aplikasi pengaturan, karena proses pelatihannya didasarkan pada hubungan yang sederhana, yaitu bila keluaran memberikan hasil yang salah, maka penimbang (weight) dikoreksi supaya galatnaya dapat diperkecil dan respon jaringan selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati nilai yang benar. Back propagation juga berkemampuan untuk memperbaiki penimbang pada lapisan tersembunyi (hidden layer). Algoritma propagasi balik dapat dijelaskan sebagai berikut; ketika jaringan diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan, maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapisan sambungan antar tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapisan keluaran. Unit-unit lapisan keluaran memberikan tanggapan yang disebut keluaran jaringan. Pada saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang diharapkan, maka keluaran akan menyebarkan mundur (backward ) bagi lapisan tersembunyi yang diteruskan ke unit pada lapisan masukan. Berdasarkan hal tersebut, maka mekanisme pelatihan dinamakan propagasi balik (back propagation). Tahap pelatihan tersebut merupakan langkah suatu jaringan syaraf berlatih, yaitu dengan cara melakukan perubahan penimbang sambungan antar lapisan yang membentuk jaringan melalui masing-masing unitnya. Bagi pemecahan masalah baru akan dilakukan bila proses pelatihan tersebut selesai, fase tersebut adalah fase mapping atau proses pengujian (testing). Pemodelan Artificial Neural Network (Jaringan Syaraf Tiruan) Pemodelan dimulai dengan membangun model Jaringan Syaraf Tiruan (JST), untuk mendapatkan nilai respon fisiologis pada ternak berdasarkan kondisi iklim mikronya dengan menggunakan metode propagasi balik. Arsitektur jaringan syaraf terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan masukan (input layer) terdiri atas variabel masukan tiga unit sel syaraf, lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri atas enam unit sel syaraf, dan lapisan keluaran terdiri atas dua sel syaraf. Struktur ANN metode propagasi balik yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 6.

49 28 Tabel 6 Struktur ANN (Artificial Neural Network) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian Lapisan masukan (input layer) Lapisan tersembunyi (hidden layer) Lapisan keluaran (output layer) 3 unit 6 neuron 2 unit x 0 : bias h 0 : bias y 1 : suhu rektal dan frekuensi respirasi x 1 : suhu udara (Ta) h 1, h 2, h 3, h 4, h 5 y 2 : suhu kulit dan denyut jantung x 2 : kelembaban udara (Rh) Setiap penghubung antar lapisan digunakann pembobot. Bobot sebagai jembatan menghubungkan input layer ke setiap neuron pada hidden layer adalah w ij : bobot yang menghubungkan unit input layer ke-i ke neuron ke-j pada hidden layer. Penghubung setiap neuron pada hidden layer ke output layer adalah v jk : bobot yang menghubungkan neuron ke-ja pada hidden layer menuju ke-k pada ouput layer. Skema arsitektur ANN untuk respon fisiologis yang terdiri atas suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung sapi dara peranakan Fries Holland pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda sebagai penentu suhu kritis tertera pada Gambar 4. h 0 =1 X 0 = 1 W ij h 1 V jk h 2 Y 1 X 1 h 3 X 2 Y 2 h 5 Input layer h 4 Output layer Hidden layer Gambar 4 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara peranakan FH pada suhu dan kelembaban udara berbeda.

50 Keterangan: x: masukan / input (x 1 dan x 2 ), x 0: bias pada masukan /input, W ij : Bobot pada lapisan tersembunyi, V jk : Bobot pada keluaran, h; jumlah unit pengolah pada lapisan tersembuunyi (h 1..h 5 ), h 0 ; bias pada lapisan tersembunyi, y; keluaran hasil Aktivasi Jaringan Artificial Neural Network Algoritman back propagation membagi proses belajar ANN menjadi empat tahapan utama yang dilakukan secara iterative, sehingga jaringan menghasilkan perilaku yang diinginkan. Tahapan-tahapan aktivasi jaringan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Inisialisasi; pada tahap inisiasi, dilakukan pengkodean dan normalisasi data input (x i ) dan target t k menjadi nilai dengan kisaran (0 1), kemudian memberikan nilai pada w ij dan v jk secara random dengan kisaran (-1 sampai 1). 2. Perambatan maju (feed forwards step); yaitu melakukan training pada x i dan t k kemudian menghitung besarnya h j dan y k. 1 1 hj = y k = 1 + е - wij xi - vijk hj 1 + е Selama perambatan maju, tiap unit masukan (x i ) menerima sebuah masukan sinyal ini ke tiap-tiap lapisan tersembunyi h i,,h j. Tiap unit tersembunyi ini kemudian menghitung aktivasinya dan mengirimkan sinyalnya (h j ) ke tiap unit keluaran. Tiap unit keluaran (y k ) menghitung aktivasinya untuk membentuk respon pada jaringan untuk memberikan pola masukan 3. Perambatan mundur (backward step); menentukan nilai w ij dan v jk, menghitung error pada output layer, menentukan ð k, v jk, ι j dan w ij ð k = y k (1-t k )(t k -y k ) v jk= v jk + βð k. h j ι j = h j (1-hj) k ð k. v jk w ij= w ij + βι j. x i dimana β adalah constant of learning rate (misal β=0,5). Selama pelatihan pada tiap unit keluaran membandingkan perhitungan aktivasinya y p dengan nilai targetnya y t untuk menentukan kesalahan pola tersebut dengan unit. Berdasarkan kesalahan tersebut, faktor ð k (k=k 1 dan k 2 ) dihitung ð k digunakan untuk menyebabkan kesalahan pada unit keluaran y k kembali ke semua unit pada lapisan sebelumnya, yaitu unit-unit tersembunyi yang dihubungkan ke y k. Cara sama dengan faktor (h = 1, 2 5) dihitung untuk tiap tersembunyi hj. Nilai ð k digunakan untuk mengafdet bobot-bobot antara lapisan tersembunyi dan lapisan masukan. Setelah seluruh faktor ð ditentukan, bobot untuk semua lapisan diatur secara serentak. Pengaturan bobot v jk dari unit tersembunyi h j ke unit keluaran y p didasarkan pada faktor ð k dan aktivasi h j dari unit tersembunyi h j, didasarkan pada faktor ð j dan x i unit masukan, karena perubahan bobot ini akan terjadi secara terus menerus selama proses iterasi. 4. Menentukan error atau galat acuan dengan cara jumlah kuadrat dari selisih output yang diharapkan dengan output aktual melalui rumus sebagai berikut: N E = 0,5 ( Y k - t k ) 2 < Ƹ k=1 29

51 30 Keterangan : t k = vektor nilai output yang diharapkan y k = vektor nilai output aktual N = banyaknya jumlah data dalam training Ƹ = besar galat yang diharapkan Perhitungan kesalahan merupakan pengukuran bagaimana jaringan dapat belajar dengan baik. Kesalahan pada keluaran dari jaringan merupakan selisih antara prediksi (current output) dan keluaran target (desired output). Menghitung nilai Sum Square Error (SSE) yang merupakan hasil penjumlahan nilai kuadrat errorneuron ke-1 dan neuron ke-2 pada lapisan output tiap data, hasil penjumlahan kesseluruhan nilai SSE akan digunakan untuk menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE) tiap iterasi (Kusumadewi 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Iklim Mikro Daerah Penelitian Hasil pengamatan selama penelitian berlangsung dari pukul hinggga pukul 20.00, kondisi lingkungan iklim mikro di lokasi Bogor dan Jakarta, berturut-turut memiliki rataan kisaran suhu udara antara C dan C, kelembaban udara antara % dan %, nilai THI antara dan , dan kecepatan angin antara m/detik dan m/detik (Gambar 5). Nilai pengamatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi perah. Kisaran zona termonetral ternak berada pada suhu udara antara C (McDowell 1972), C (Jones dan Stallings 1999), suhu udara antara C dan kelembaban udara antara % (McNeilly 2001). Pada Gambar 5 menunjukkan pola perubahan kondisi lingkungan iklim yang berfluktuasi baik di lokasi Bogor maupun Jakarta. Pada Gambar tersebut, nilai rataan suhu udara (Ta) dan THI dalam kandang di lokasi Bogor dan Jakarta mengilustrasikan pola perubahan yang baku yaitu pola parabolik, dengan mengikuti pola suhu lingkungan antara nilai maksimum dan minimum yang diamati dari Badan Meterologi dan Geofisika (BMG). Sementara itu, nilai rataan kelembaban udara (Rh) dalam kandang di lokasi Bogor mengikuti pola baku dari BMG, tetapi di lokasi Jakarta masih ada nilai rataan Rh tidak mengikuti pola kelembaban udara lingkungan antara nilai maksimum dan minimum yang baku dari BMG, karena pada saat pengamatan berlangsung terjadi hujan terus menerus dari pukul hingga pukul sehingga Rh meningkat pula. Nilai Ta ( 0 C) dan THI yang tertera pada Gambar 5, mencapai puncak di lokasi Bogor pada pukul WIB dan di lokasi Jakarta pada pukul WIB, serta menurun setelah menjelang sore hari. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak.

52 Kondisi iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal (McNeilly 2001; Pennington dan VanDevender 2004). Kecepatan angin berfungsi mengalirkan udara yang bersuhu lebih tinggi di sekitar ternak ke tempat yang lain. Selain itu, angin dapat membantu proses konveksi dan evaporasi panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Pada Gambar 5 tersebut, nilai rataan kecepatan angin (m/detik) dalam kandang di lokasi Bogor mengikuti pola yang baku, tetapi di lokasi Jakarta tidak mengikuti pola yang baku, karena kecepatan angin yang masuk dalam kandang sewaktu waktu terjadi perubahan kecepatan angin mendadak, terhalang rumah, dan tumpukan rumput. Pada saat Nilai Ta ( 0 C) dan THI yang tinggi baik di lokasi Bogor maupun Jakarta, angin berada pada kecepatan yang rendah. Nilai kecepatan angin mencapai puncak di lokasi Bogor dan Jakarta, berturut-turut pada pukul dan pukul Yani dan Purwanto (2006) mengatakan bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu pengeluaran panas. 31 Gambar 5 Rataan Fluktuasi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), indeks suhu kelembaban (THI) dan Kecepatan angin (Va) selama Januari-Februari 2011 di Bogor dan Jakarta

53 32 Konsumsi Pakan Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Pakan diberikan harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), proein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN) (Sudono et al. 2003). Selama pengamatan berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi tersebut muncul diakibatkan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan baik di lokasi Bogor maupun Jakarta. Tabel 7 Rataan konsumsi BK, TDN, dan PK pakan sapi dara selama penelitian Peubah Bogor Jakarta Bahan kering (kg): Hijauan 4.2± ±0.88 Konsentrat 3.2± ±0.88 TDN (kg): Hijauan 2.4± ±0.41 Konsentrat 1.8± ±0.53 Protein kasar (kg): Hijauan Konsentrat 0.33± ± ± ±0.08 Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar daerah (P>0.05) Pada Tabel 7 menunjukkan rataan tingkat konsumsi BK pakan sapi dara di Bogor dan Jakarta, berturut-turut sebesar 7.4 kg dan sebesar 7.3 kg. Besarnya konsumsi BK di Bogor dan Jakarta tersebut masih sesuai dengan anjuran NRC (2001), bahwa sapi dara FH dengan bobot badan antara 150 kg dan 300 kg dengan PBB 0,6 kg per hari dibutuhkan BK berkisar 4.9 kg dan 7.4 kg per hari. Kondisi cekaman panas, efisiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi. Berdasarkan Tabel 7 tersebut, konsumsi BK pakan pada sapi dara antara di lokasi Bogor dengan lokasi Jakarta menunjukkan jumlah relatif sama. Begitu juga konsumsi TDN dan PK di lokasi Bogor dan Jakarta menunjukkan relatif sama pula, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara di lokasi Bogor dan Jakarta terhadap konsumsi BK, TDN, dan PK. Pemberian konsentrat TDN di lokasi Bogor menunjukkan konsumsi BK lebih tinggi dibanding di lokasi Jakarta. Hal tersebut mengindikasikan terjadi proses adaptasi ternak untuk memperoleh panas tubuh dan atau energi yang berasal dari pakan. Respon Fisiologis Ternak Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu tubuh yang umum digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih mudah pengukuran di lapangan. Hasil pengukuran suhu rektal harian ternak di

54 lokasi Bogor dan Jakarta sebagian besar masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara C dan C. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara C (Schutz et al. 2009). Pada penelitian ini, untuk lokasi Bogor dan Jakarta, suhu rektal terendah terjadi pada pukul (pagi) dan meningkat setelah ternak mengkonsumsi pakan dan seiring meningkatnya suhu udara (Gambar 6). 33 Gambar 6 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta Berdasarkan Gambar 6, suhu rektal ternak mulai mengalami stress panas pada siang hari pukul saat suhu udara tertinggi, suhu rektal di bogor ( C) dan Jakarta ( C). Pada pukul menunjukkan perbedaan antara suhu rektal di Bogor ( C) dengan Jakarta ( C). Perbedaan suhu rektal tersebut akibat suhu udara tertinggi dan kelembaban udara terendah di lokasi Bogor, sementara itu di Jakarta suhu udara mulai menurun dan kelembaban udara meningkat secara tajam diakibatkan terjadi hujan terus menerus. Suhu rektal di Bogor dan Jakarta terjadi perbedaan pada sore hari pukul ( C) dan ( C), begitu pula terjadi perbedaan antara suhu rektal pada pukul di Bogor ( C) dengan di Jakarta ( C). Terjadinya perbedaan suhu rektal tersebut diakibatkan adanya peningkatan panas metabolisme tubuh, karena ternak baru mengkonsumsi pakan di Bogor pada pukul dan di Jakarta pada pukul 15.00, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Kondisi suhu rektal yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik dengan pelepasan panas. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendal et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 0 C serta C, suhu rektal dapat mencapai lebih dari C serta 40 0 C. Permukaan kulit hewan dapat berfungsi untuk melepaskan atau tempat pembuangan panas yang utama melalui proses radiasi, konveksi, konduksi, dan evaporasi (Berman 2003). Pada penelitian ini, suhu kulit harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara C dan C. Suhu kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara C (Tucker et al. 2008). Suhu kulit terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul pagi ( C) dan ( C). Suhu kulit pada pukul siang ( C) dan ( C) masing-

55 34 masing untuk Bogor dan Jakarta. Suhu permukaan kulit pada pukul menunjukkan perbedaan di Bogor ( C) dengan Jakarta ( C). Perbedaan suhu kulit tersebut akibat suhu udara tertinggi dan kelembaban udara terendah di lokasi Bogor, sementara itu di Jakarta suhu udara mulai menurun dan kelembaban udara meningkat secara tajam diakibatkan selama penelitian terjadi hujan terus menerus. Suhu kulit pada pukul sore ( C) dan ( C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 7). Perbedaan suhu permukaan kulit tesebut diakibatkan adanya penurunan suhu udara dan peningkatan kelembaban udara di lokasi Bogor, dan terjadi penurunan suhu dan kelembaban udara di lokasi Jakarta, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, suhu tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh. Kulit sangat berkorelasi dengan fluktuasi unsur cuaca karena mengalami kontak langsung dengan cuaca. Suhu permukaan kulit bervariasi berdasarkan kadar uap air lingkungan, lokasi kandang (naungan), dan ventilasi (Marcilae et al. 2009). Gambar 7 Rataan fluktuasi suhu permukaan kulit (Ts) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara daerah Bogor dengan Jakarta. Proses pelepasan panas melalui kulit terjadi melalui mekanisme vasodilatasi. Mekanisme vasodilatasi yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas dibebaskan keluar. Bulu kulit ditegakkan untuk mengurangi udara yang terperangkap pada kulit supaya panas mudah dibebaskan karena udara adalah konduktor panas yang baik. Ganong (1983) mengemukakan jumlah panas yang hilang dari tubuh dalam batas-batas yang luas di atur oleh perubahan jumlah darah yang mengalir melului kulit. Kulit berperan penting dalam menerima rangsangan panas atau rangsangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus bagian pre optic. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas

56 yang juga di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran panas (Isnaeni 2006). Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh dan organ-organ di luar tubuh. Suhu di dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu di luar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Peningkatan beban panas yang disebabkan oleh kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh (Hahn 1999; Ominski et al. 2002; West 2003). Hasil perhitungan suhu tubuh harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta sebagian masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara C dan C. Suhu tubuh sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara o C (Schutz et al. 2008). Suhu tubuh terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul pagi ( C) dan ( C) serta meningkat seiring meningkatnya beban panas dari lingkungan dan dari hasil metabolisme. Respon suhu tubuh terhadap stress panas berbeda-beda tiap individu dan respon tersebut disebabkan oleh produksi dan pelepasan panas tubuh. Suhu tubuh tertinggi pada pukul siang ( C) dan ( C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 8). Sementara itu suhu tubuh tertinggi di Bogor dan Jakarta terjadi pada sore hari pukul ( C) dan pukul ( C). 35 Gambar 8 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul hingga pukul antara daerah Bogor dengan Jakarta Suhu tubuh dapat dijadikan indikator dalam menentukan dimulai cekaman panas pada ternak yang disebabkan lingkungan mikro dan pakan. Pengaturan suhu tubuh dilakukan melalui mekanisme umpan balik oleh saraf eferen, hipotalamus, dan efektor saraf eferen. Bagian-bagian tersebut berfungsi sebagai termostat dengan hipotalamus sebagai pusat kontrolnya. Tubuh akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan menyeimbangkan pembentukan dan pelepasan panas. Suhu dan kelembaban udara dalam kandang yang termasuk iklim mikro merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Hafez dan Bouissou 1975).

57 36 Denyut jantung harian ternak di lokasi Bogor berkisar antara kali/menit dan denyut jantung ternak di lokasi Jakarta berkisar antara kali/menit. Kisaran denyut jantung normal untuk sapi perah antara kali/menit (Kelly 1984). Pada pagi hari, peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak makan untuk daerah Bogor, tetapi denyut jantung ternak di daerah Jakarta relatif konstan, karena peningkatan suhu udara, kelembaban udara, dan THI di daerah Jakarta lebih rendah dibanding Bogor. Mekanisme peningkatan denyut jantung, yaitu terjadi peningkatan suhu darah yang secara langsung mempengaruhi jantung dan juga adanya pengaruh penurunan tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral (Nikkah et al. 2008). Gambar 9 Rataan fluktuasi denyut jantung (Hr) sapi dara FH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta. Denyut jantung ternak pada puncak cekaman cuaca panas pukul di lokasi Bogor sebesar 82 kali/menit dan denyut jantung ternak di daerah Jakarta sebesar 83 kali/menit (Gambar 9). Terjadinya perbedaan rataan denyut jantung di daerah Bogor dan Jakarta pada pukul tersebut, karena puncak cekaman cuaca panas di daerah Bogor terjadi pukul dengan denyut jantung ternak sebesar 83 kali/menit. Puncak cekaman cuaca panas pada pukul di daerah Bogor, yaitu suhu udara sebesar 32 0 C, kelembaban udara %, dan THI sebesar 81.88, sedangkan puncak cuaca panas di daerah Jakarta pada pukul 12.00, yaitu suhu udara C, kelembaban udara %, dan THI sebesar (Gambar 5). Pada saat ada cekaman, suhu udara sebesar 32 0 C dengan denyut jantung mencapai 79 kali/menit (Schutz et al. 2009). Tekanan darah dan denyut jantung berfluktuasi secara kontinyu setiap saat di bawah beberapa mekanisme pengaturan, seperti aktivitas syaraf otonom dan respirasi untuk menjaga homeostasis kardivaskuler (Yoshimoto 2011). Frekuensi respirasi harian ternak di lokasi Bogor berkisar antara kali/menit dan di lokasi Jakarta berkisar antara kali/menit. Frekuensi respirasi sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman berkisar antara kali/menit (Houpt 2005). Pada pukul siang hari, rataan frekuensi

58 respirasi sapi dara FH tertinggi di lokasi Bogor sebesar 38 kali/menit dan di lokasi Jakarta sebesar 46 kali/menit (Gambar 10). Rataan frekuensi respirasi ternak pada pukul siang hari tersebut, baik di lokasi Bogor maupun Jakarta telah mengalami stres panas yang diakibatkan suhu dan kelembaban udara dalam kandang. Peningkatan frekuensi respirasi seiring dengan peningkatan suhu udara dan nilai THI dalam kandang. Panas cuaca lingkungan dapat meningkatkan rataan suhu tubuh dan frekuensi respirasi (Schutz et al. 2010). Peningkatan beban panas yang disebabkan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh dan frekuensi respirasi serta mengurangi konsumsi pakan (Ominski et al. 2002; West 2003). Peningkatan frekuensi respirasi dapat terjadi pada ternak untuk menjaga keseimbangan panas tubuh saat mengalami cekaman panas tubuh dari hasil metabolisme pakan dan cuaca lingkungan. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik melalui upaya cara peningkatan laju respirasi (McNeilly 2001). Sistem respirasi pada alveolus dapat mengatur suhu udara dan kelembaban udara yang masuk agar sesuai dengan suhu tubuh. Rataan frekuensi respirasi sapi dara FH, sore hari pukul pada suhu udara rendah di lokasi Bogor sebesar 32 kali/menit dan di lokasi Jakarta sebesar 34 kali/menit. Terjadinya peningkatan frekuensi respirasi ternak pada pukul sore hari tersebut, baik di daerah Bogor maupun Jakarta, karena ternak diberi pakan sore hari pukul Peningkatan frekuensi respirasi terjadi setelah ternak mulai mengkonsumsi pakan hingga empat jam berikutnya, karena tekanan darah memiliki kekuatan atau irama yang sama dengan respirasi (Yang dan Kuo 2000). 37 Gambar 10 Rataan fluktuasi frekuensi respirasi (Rr) sapi dara FH tiap jam dari pukul hingga pukul antara lokasi Bogor dengan Jakarta. Pendugaan Suhu Kritis Berdasarkan Indikator Respon Fisiologis Pada Berbeda Daerah Melalui Simulasi Artificial Neural Network (ANN) Penerapan ANN merupakan langkah metode pelatihan propagasi balik yang dilakukan terhadap data-data pelatihan dengan harapan kesalahan (error) terkecil.

59 38 Setelah dilakukan iterasi berulang-ulang dihasilkan nilai kesalahan yang fruktuasi serta nilai kesalahan yang semakin menurun dari setiap iterasi. Nilai kesalahan terkecil pada output prediksi terhadap output target, baik di daerah Bogor maupun Jakarta pada Y p1 (suhu rektal), Y p2 (suhu kulit), Y p3 (frekuensi respirasi), dan Y p4 (denyut jantung) yaitu setelah dilakukan iterasi sebanyak /100 ( kali). Masing-masing di daerah Bogor dan Jakarta diperoleh nilai error pada suhu rektal sebesar dan , suhu kulit sebesar dan , frekuensi respirasi sebesar dan , dan denyut jantung sebesar dan Penurunan nilai error pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung untuk daerah Bogor dan Jakarta selama iterasi dapat ditunjukkan pada Tabel 8 dan 9. Validasi hasil ANN pada suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) berdasarkan suhu dan kelembaban udara, dengan cara membandingkan data suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung hasil perhitungan ANN dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapang. Pelaksanaan validasi dilakukan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang sama antara data hasil perhitungan ANN dan hasil pengukuran di lapang. Selanjutnya validasi dimulai setelah didapatkan nilai error terendah, kemudian dilakukan proses normalisasi kembali, yaitu normalisasi data input (x 1, x 2 ), data target (y t1, y t2, y t3, y t4 ) dan hasil prediksi perhitungan ANN (y p1, y p2, y p3, y p4 ). Tabel 8 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Y p1 ), suhu kulit (Y p2 ), frekuensi respirasi (Y p3 ), dan denyut jantung (Y p4 ) pada daerah Bogor Tahap iterasi ke Error Y p1 Error Y p2 Error Y p3 Error Y p Nilai validasi menunjukkan kecenderungan hasil perhitungan ANN mendekati hasil pengukuran penelitian lapang dengan rataan nilai persentase error yang rendah, masing-masing untuk daerah Bogor dan Jakarta yaitu y p1 = 0.65 %

60 dan 0.80 %, y p2 = 1.34 % dan 1.40 %, y p3 = 0.82 % dan 0.95 %, dan y p4 = 1.50 % dan 1.80 %. Pada beberapa titik validasi terjadi perbedaan persentase error yang cukup besar, tetapi masih relatif dalam batasan yang rendah (% error < 5 %). Hasil nilai tersebut dapat diartikan bahwa nilai prediksi sudah mendekati nilai aktualnya. Nilai persentase error rendah menunjukkan bahwa hasil perhitungan ANN memiliki akuarasi tinggi, sehingga dapat dijadikan acuan untuk suhu dan kelembaban udara dalam penentuan suhu kritis sapi dara di daerah Bogor dan Jakarta. Tabel 9 Penurunan nilai error berdasarkan tahapan iterasi untuk suhu rektal (Y p1 ), suhu kulit (Y p2 ), frekuensi respirasi (Y p3 ), dan denyut jantung (Y p4 ) pada daerah Jakarta Tahap iterasi ke Error Y p1 Error Y p2 Error Y p3 Error Y p Simulasi merupakan teknik penyusunan dari kondisi nyata dan kemudian melakukan penelitian pada model yang dibuat dari sistem. Pada simulasi ini dilakukan dengan memperhatikan parameter suhu dan kelembaban udara sebagai penentu suhu kritis dengan respon fisiologis ternak untuk setiap kondisi, mulai dari nilai minimum sampai nilai maksimum yang terukur pada penelitian. Pada simulasi dengan mengkombinasi nilai input suhu dan kelembaban udara, maka didapatkan variasi nilai output suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung di daerah Bogor dan Jakarta. Berdasarkan hasil simulasi suhu dan kelembaban udara, maka dapat mengetahui berapa respon fisiologis sapi perah pada suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung, tanpa perlu mengukur langsung kepada ternaknya, tetapi cukup melihat suhu dan kelembaban udara yang terukur saat itu, kemudian disimulasikan dengan ANN. Hasil simulasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat respon fisiologis sapi perah (Tr, Ts, Rr, dan Hr) terhadap perubahan suhu dan kelembaban udara yang berbeda. Hasil simulasi menggunakan ANN tertera pada Tabel 10 dan 11. Hasil prediksi dari simulasi ANN menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara, maka semakin meningkat pula suhu rektal dan suhu kulit sapi perah baik daerah Bogor maupun Jakarta (Tabel 10). Begitu juga, semakin meningkat 39

61 40 kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu udara yang meningkat mengakibatkan peningkatan suhu rektal dan suhu kulit. Berdasarkan hasil simulasi ANN dapat diperoleh korelasi anatara suhu dan kelembaban udara dengan tingkat cekaman panas (suhu kritis) sapi berdasarkan suhu rektal dan suhu kulit. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara C (Schutz et al. 2009). Tucker et al. (2008) mengemukakan bahwa suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro nyaman berkisar antara o C. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sapi perah mengalamami cekaman panas apabila suhu rektal lebih dari 39.1 o C dan suhu kulit lebih dari 37.1 o C. Tabel 10 Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta Bogor Jakarta Suhu udara ( o C) Kelembaban udara (%) Suhu rektal ( o C) Suhu kulit ( o C) Suhu udara ( o C) Kelembaban udara (%) Suhu rektal ( o C) Suhu kulit ( o C) , Nilai hasil prediksi dari simulasi ANN yang tertera pada Tabel 11 menunjukkan bahwa semakin meningkat suhu udara dalam kandang, maka semakin meningkat pula frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi perah. Semakin meningkat kelembaban udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang meningkat pula akan diperoleh hasil prediksi pada frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi semakin meningkat. Pada Tabel 11 juga dapat diperoleh korelasi antara suhu dan kelembaban udara dalam kandang dengan tingkat stress sapi berdasarkan frekuensi respirasi dan denyut jantung. Frekuensi respirasi sapi pada kondisi normal dapat berlangsung kali/menit dan pada kondisi stress dapat mencapai 10 atau 60 kali/menit (Houpt 2005). Denyut jantung sapi pada kondisi normal berkisar kali/menit serta pada kondisi stress berat mencapai 40 atau 120 kali/menit (Radostits et al. 2005). Berdasarkan hasil prediksi hasil simulasi ANN, perubahan suhu dan kelembaban udara sangat sensitif mempengaruhi suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung pada sapi perah. Tingkat suhu kritis (cekaman panas)

62 berdasarkan suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda baik di daerah Bogor maupun Jakarta dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13. Peningkatan kelembaban udara dan suhu udara yang sama dan suhu udara berbeda sangat mempengaruhi terhadap suhu kritis pada sapi perah. Pada saat udara o C baik di daerah Bogor maupun Jakarta belum terjadi suhu kritis(cekaman panas) meskipun terjadi perubahan kelembaban udara. Suhu udara dan kelembaban udara tersebut, suhu rektal dan suhu kulit masih pada kisaran normal. Saat suhu udara o C (Bogor) dan suhu udara o C (Jakarta), sapi perah mulai terjadi suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator cekaman panas pada suhu rektal. Pada saat peningkatan kelembaban udara dengan suhu udara yang sama dan suhu udara yang berbeda sangat mempengaruhi terhadap perubahan suhu rektal dibanding perubahan suhu kulit. Suhu kritis dengan indikator suhu kulit mulai terjadi apabila suhu udara naik menjadi 31 o C dengan kelembaban udara 88 % (Bogor) dan suhu udara naik menjadi 32.5 o C dan kelembaban udara 88 % (Jakarta). Pada saat suhu udara yang tinggi yaitu o C dan o C masing-masing untuk daerah Bogor dan Jakarta, terjadi cekaman panas dengan indikator suhu rektal dan suhu kulit, tetapi suhu rektal lebih sensitif dibanding suhu kulit, karena suhu rektal dipengaruhi baik dari lingkungan eksternal berasal dari iklim mikro maupun berasal dari panas tubuh. Tabel 11 Hasil simulasi ANN perkiraan frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di Bogor dan Jakarta Bogor Jakarta Rh Frekuensi Denyut Suhu Rh Frekuensi (%) respirasi jantung udara (%) respirasi (kali/menit) (kali/menit) ( o C) (kali/menit) Suhu udara ( o C) 41 Denyut jantung (kali/menit) Berdasarkan hasil prediksi menggunakan ANN, frekuensi respirasi sapi perah lebih sensitif dipengaruhi perubahan suhu udara dan kelembaban udara dalam kandang. Sapi perah mulai mengalami suhu kritis pada frekuensi respirasi di daerah Bogor dan Jakarta, masing-masing pada suhu udara 22.5 o C dengan kelembaban udara 78 % (31.93 kali/menit) dan suhu udara 23.5 o C dengan

63 42 kelembaban udara 78% (30.73 kali/menit). Denyut Jantung mulai terjadi suhu kritis di daerah Bogor dan Jakarta, masing-masing pada suhu udara 24.5 o C dengan kelembaban 78 % (80.87 kali/menit) dan suhu udara 23.5 o C dengan kelembaban udara 88 % (88.78 kali/menit). Tabel 12 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi perah mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) di Bogor dan Jakarta Bogor Jakarta Suhu Udara ( o C) Kelembaban udara (%) Indikator cekaman Panas Suhu udara ( o C) Kelembaban udara (%) Indikator cekaman panas Tr Tr Tr Tr Tr Tr Tr Tr Tr Tr Ts Tr Tr Ts Tr Tr Ts Ts Tabel 13 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi perah mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator frekuensi respirasi (Rr) dan denyut jantung (Hr) di Bogor dan Jakarta Bogor Jakarta Suhu Udara ( o C) Kelembaban udara (%) Indikator cekaman Panas Suhu udara ( o C) Kelembaban udara (%) Indikator cekaman Panas Rr Rr Rr Hr Rr Rr dan Hr Hr Rr Rr Hr Hr Rr Rr Hr Rr Rr Rr Hr Hr Rr Rr Hr Rr Hr Rr Rr dan Hr Hr Rr dan Hr Rr Rr Rr Hr Hr Rr

64 Hasil analisis menggunakan ANN untuk prediksi tingkat stress (suhu kritis) sapi perah berdasarkan perubahan suhu dan kelembaban udara dalam kandang lebih tahan terhadap panas bila dibandingkan dengan persyaratan kondisi lingkungan sapi perah yang nyaman yaitu pada suhu udara 5-21 o C dan RH sebesar % (Smith 2002; Sudono et al. 2003). Suhu kritis di daerah subtropis menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey adalah o C, Brown Swiss adalah o C, dan Brahman adalah 38 o C (Sainbury dan Sainsbury 1982). Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi perah telah beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan dan secara genetik sapi perah peranakan FH tahan terhadap kondisi lebih panas. Pengaruh peningkatan kelembaban udara sangat mempengaruhi frekuensi respirasi sapi perah bila dibanding dengan perubahan denyut jantung. Peningkatan suhu udara sangat mempengaruhi frekuensi respirasi dibanding perubahan denyut jantung. Pada suhu udara lebih rendah ( o C), frekuensi respirasi sapi perah lebih sensitif terkena stress akibat perubahan kelembaban udara dibanding dengan denyut jantung. 43 SIMPULAN Model penerapan Artificial Neural Network (ANN) dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis pada Sapi Dara Peranakan Fries Holland berdasarkan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam kandang terhadap respon fisiologisnya pada indikator suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung. Penentuan suhu kritis pada sapi dara PFH berdasarkan indikator suhu rektal dan frekuensi respirasi lebih sensitif dibanding suhu kulit dan denyut jantung. Suhu kritis dengan indikator suhu rektal dan frekuensi respirasi sebagai acuan untuk menentukan cekaman panas dan untuk menentukan manajemen pakan dan perkandangan. Sapi dara FH mengalami suhu kritis pada suhu rektal dengan Ta 26 0 C dan Rh 86 % di lokasi Bogor dan Ta 26 0 C dengan Rh 88 % di lokasi Jakarta. Sapi dara mengalami suhu kritis pada suhu kulit pada Ta 31 0 C dan Rh 86 % di lokasi Bogor dan pada Ta C dengan Rh 88 % di lokasi Jakarta. Sapi dara FH mengalami suhu kritis pada denyut jantung dengan Ta C dan Rh 78 % di lokasi Bogor dan Ta C dengan Rh 88 % di lokasi Jakarta. Sapi dara mengalami suhu kritis pada frekuensi respirasi pada Ta C dan Rh 78 % di lokasi Bogor dan pada Ta C dengan Rh 78 % di lokasi Jakarta.

65 44 4 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN DAN KONSENTRAT DENGAN KANDUNGAN TDN BERBEDA MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PENDAHULUAN Pada dasarnya pengaruh lingkungan lebih besar pada cekaman panas dibanding pengaruh dari genetik (Boonkum et al. 2011). Dari hal tersebut, diperlukan manajemen yang sesuai dengan kebutuhan hidup ternak, sehingga performa ternak dapat optimal meskipun tidak sama persis dengan daerah asalnya. Peningkatan performa hidup ternak agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen dan seleksi (Nardone et al. 2010). Manajemen unsur lingkungan mikro dan pakan yang tepat diharapkan dapat menjadi cara dalam mengatasi cekaman panas pada tubuh ternak. Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di daerah Bogor dan Jakarta berdasarkan hasil simulasi ANN dengan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam kandang terhadap respon fisiologisnya pada indikator suhu rektal, suhu kulit, frekuensi respirasi, dan denyut jantung, yang menunjukkan terjadinya pergeseran peningkatan suhu kritis pada sapi perah, selain itu respon fisiologis pada indikator suhu rektal dan frekuensi respirasi terjadi pergeseran suhu kritis juga akibat perbedaan pemberian pakan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dikaji lebih lanjut manajemen pemberian pakan dalam menentukan suhu kritis pada sapi perah berdasarkan respon fisiologis. Model manajemen pakan dapat diterapkan dengan mengatur waktu pemberian dan komposisi pakan yang tepat berdasarkan lingkungan iklim mikro yang sesuai. Peranan manajemen pakan dan lingkungan iklim mikro berfungsi untuk mengatur waktu pemberian pakan yang tepat dengan lingkungan iklim mikro sehingga tidak mengakibatkan double stress, yang artinya produksi dan pelepasan panas tubuh seimbang. Keseimbangan panas tersebut merupakan suatu syarat untuk mencapai kondisi fisiologis dan produktivitas ternak yang optimal. Kondisi internal dan eksternal tubuh dapat mempengaruhi keseimbangan panas tubuh. Kondisi internal tubuh adalah proses-proses fisiologis di dalam tubuh, termasuk proses metabolisme pakan. Sementara itu, kondisi eksternal yang mempengaruhi tubuh meliputi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari. Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa dan memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu termonetral rendah berkisar o C (McDowell 1972), 5-25 o C (McNeilly 2001). Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah FH sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara tinggi menyebabkan cekaman panas dan berakibat menurunnya

66 produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas telah dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan air minum ad libitum (Velasco et al. 2002). Proses mempertahankan suhu tubuh tersebut dikenal dengan proses termoregulasi atau pengaturan panas. Proses ini terjadi bila sapi perah mulai merasa tidak nyaman. Proses termoregulasi pada prinsipnya adalah keseimbangan panas antara produksi panas dan pelepasan panas (Yousef 1985). Ternak akan memproduksi panas dalam tubuhnya sebagai upaya menghasilkan energi yang diperlukan untuk kehidupannya (beraktifitas dan penyesuaian terhadap lingkungan). Panas yang diproduksi tergantung dari aktifitas ternak dan intake pakan, feed intake dinyatakan dalam TDN yang menunjukkan total bahan pakan dapat dicerna oleh ternak (Rahardja 2007). Perolehan panas dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman, sebaliknya kehilangan panas bila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada sapi perah berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti manajemen waktu pemberian pakan dan pemberian energi (TDN) berasal dari konsentrat belum banyak dilakukan. Panas ini memberikan makna esensial untuk mempertahankan suhu tubuh dan laju metabolisme yang tinggi pada sapi perah, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang normal. Akan tetapi sebaliknya di lingkungan dengan suhu yang tinggi, Efek Kalorigenik Pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas dan menurunkan produksi (West 2003; Pennintong dan van Devender 2004). Manajemen lingkungan iklim mikro dapat diterapkan dengan mengatur waktu pemberian pakan dan penambahan energi (TDN) dari konsentrat yang tepat, sehingga tidak dilaksanakan pemberian pakan dalam kondisi suhu lingkungan panas. Pada cekaman panas diperlukan manajemen waktu pemberian pakan yang dapat menurunkan beban panas suhu tubuh. Selain itu, pemberian energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian manajemen waktu pemberian pakan dan pemberian energi (TDN) dari konsentrat berdasarkan respon fisiologis untuk menentukan suhu kritis ternak di daerah tropik. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen pemberian pakan dan pemberian penambahan energi (TDN) dari minyak dalam konsentrat, dapat didekati melalui penerapan simulasi Jaringan Sarap Tiruan (ANN), sebagai model untuk menentukan variasi manajemen waktu pemberian pakan dan energi (TDN) dari konsentrat. Manajemen waktu pemberian pakan dan penambahan energi tinggi dari konsentrat yang tidak berdasarkan suhu kritis ternak mengakibatkan keseimbangan panas antara produksi dan pelepasan panas suhu tubuh menjadi terganggu, akibatnya proses termoregulasi mulai bekerja untuk mempertahankan suhu tubuh tetap normal. Manajemen waktu pemberian pakan pada kondisi suhu dan kelembaban udara nyaman bagi sapi dara, ditambah energi tinggi yang berasal dari minyak kelapa dalam konsentrat yang tidak menambah beban panas tubuh, diharapkan sebagai acuan untuk pemberian pakan pada kondisi cekaman panas dari lingkungan iklim mikro dan pakan yang bersamaan. 45

67 46 Suhu dan kelembaban udara berpengaruh langsung terhadap perubahan fisiologis sapi perah, sehingga akhirnya akan berdampak pada produksi. Pada keadaan suhu dan kelembaban tinggi akan terjadi penentuan antara imbangan proses perolehan panas (produksi panas metabolisme dan perolehan dari lingkungan) dengan pembuangan panas dalam rangka memelihara tingkat suhu tubuh normal. Semakin tinggi suhu lingkungan di atas Thermoneural zone akan menyebabkan perolehan panas lebih banyak daripada pembebasan panas, akibatnya peningkatan suhu tubuh. Bila suhu tubuh meningkat, akan terjadi usaha ternak untuk mengeluarkan panas dengan cara radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi air minum dan menurunkan konsumsi pakan, serta energi yang digunakan untuk mengatur suhu tubuh meningkat. Peningkatan suhu tubuh tersebut akan meningkatkan laju metabolisme dalam sel. Penelitian ini diharapkan dapat menentukan suhu kritis pada sapi dara PFH berdasarkan respon fisiologis dengan manajemen waktu pemberian pakan. Begitu juga dapat memberikan informasi mengenai suhu kritis sapi dara PFH dengan pemberian energi tinggi dari konsentrat untuk budidaya pengembangan sapi perah. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni Waktu penelitian dibagi menjadi enam periode, masing-masing periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian dilaksanakan di Kandang Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Kampus IPB Dramaga. Materi Penelitian Ternak dan Pakan Ternak yang digunakan yaitu bangsa sapi Peranakan Fries Holland (PFH) sebanyak enam ekor. Bobot badan pada awal penelitian berkisar antara kg, dengan nilai rataan sebesar 190±40 kg. Pemandian sapi dilakukan siang hari pada akhir setiap periode perlakuan. Pakan yang digunakan terdiri atas hijauan dan konsentrat racikan dengan rasio 60:40. Sebagian besar jenis hijauan yang digunakan adalah rumput gajah. Waktu pemberian pakan terdiri atas dua jenis waktu, yaitu pemberian pakan pada pukul dan (P 1 ) dan pukul dan (P 2 ). Konsentrat terdiri dari tiga jenis, yaitu konsentrat dengan TDN 70 % (R 1 ), TDN 75 % (R 2 ) dan TDN 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5 % (R 3 ). Pemberian berupa bahan kering pakan sebanyak 2.5 % dari bobot badan hidup dengan perhitungan kebutuhan gizi pakan mengacu pada petunjuk NRC

68 (2001). Jumlah pakan yang diberikan pada ternak setiap periode dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian dilakukan selama enam periode dengan enam perlakuan, mengenai perlakuan merupakan kombinasi dari perlakuan waktu pemberian pakan dan perlakuan jenis konsentrat. Terdapat enam kombinasi antara waktu pemberian pakan dengan jenis konsentrat, yaitu R 1 P 1 (A) : Perlakuan pemberian konsenrat TDN 70 % dengan waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul R 2 P 1 (B): Perlakuan pemberian konsenrat TDN 75 % dengan waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul R 3 P 1 (C): Perlakuan pemberian konsenrat TDN 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5% dengan waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul R 1 P 2 (D): Perlakuan pemberian konsentrat TDN 70 % dengan waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul R 2 P 2 (E): Perlakuan pemberian konsenrat TDN 75 % dengan waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul R 3 P 2 (F): Perlakuan pemberian konsenrat TDN 75 % yang mengandung minyak kelapa 3.5% dengan waktu pemberian pagi pukul dan sore pukul Tabel 14 Komposisi dan kandungan konsentrat penelitian (% asfeed) 47 Bahan Pakan R 1 R 2 R 3 Dedak Jagung Polard Onggok B Kelapa B Kedelai Kapur M Kelapa Kandungan : BK (%) PK TDN (%) SK Ca P Ket: Formulasi menggunakan software WinFeed 2.8 Kandang dan Peralatan Kandang sapi dara PFH yang digunakan berbentuk monitor dengan setiap individu sapi menempati tiap petak kandang dengan ukuran 1 x 1,8 m dan tinggi kandang 4 m, serta atap memakai asbes. Peralatan penelitian yang digunakan meliputi termometer bola kering dan bola basah (Dry-wet, Shanghai), anemomer

69 48 (TAYLOR-Roschest, New York), lux meter (EXTEC, Cina), termometer rektal (SAFETY, Japan), termometer pengukur suhu permukaan kulit digital (Anritsu HI-2000), stetoskop (STETOSCOPE, Japan), pita ukur (Rondo), timbangan kapasitas 100 kilogram untuk pakan hijauan, dan timbangan digital kapasitas 5 kg untuk konsentrat. Parameter Penelitian Parameter diamati terdiri atas faktor iklim mikro dan respon fisiologis ternak yang berada dalam kandang. Faktor iklim mikro diukur meliputi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh), Temperatur Humidity Index (THI), kecepatan angin (Va), dan radiasi matahari (Rad). Respon fisiologis sapi dara PFH yang diukur meliputi suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), dan denyut jantung (Hr). Pengukuran iklim mikro, respon fisiologis, konsumsi pakan, kecepatan konsumsi pakan, dan kecepatan mengunyah dilakukan pada pengamatan hari ke-4, 8, 12 dan ke-14 setiap periode. Pengukuran iklim mikro dan respon fisiologis dilakukan setiap jam dari pukul hingga pukul Pengukuran konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul Pengukuran kecepatan konsumsi pakan dilakukan saat pemberian pakan pagi dan sore. Kecepatan mengunyah diukur beberapa saat setelah ternak mengkonsumsi pakan pagi (siang hari). Pertambahan bobot badan (PBB) diukur pada setiap awal dan akhir periode perlakuan. Metode Pengukuran Parameter 1. Pengukuran suhu dan kelembaban udara di dalam kandang menggunakan termometer bola basah dan bola kering. 2. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung menggunakan rumus Hahn (1985), yaitu : THI = DBT WBT , DBT = suhu bola kering ( 0 C) dan WBT = suhu bola basah ( 0 C). 3. Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer digital yang diletakan di sisi tempat ventilasi dalam kandang. Kecepatan angin diukur selama 3 menit kemudian dibaca kecepatan rata-rata per detiknya dengan satuan yaitu m/detik. 4. Radiasi matahari diukur menggunakan lux meter dengan satuan pengukurannya lux. 5. Suhu rektal (Tr) diukur dengan memasukkan termometer klinis ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama 1.5 menit. 6. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur dengan termometer pengukur suhu kulit digital di empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung(a), dada (B), tungkai atas (C), dan tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983); Ts = 0.25 (A + B) C D.

70 7. Suhu tubuh (Tb), dihitung dari suhu permukaan kulit (Ts) dan menjumlahkan dengan suhu rektal (Tr) menurut McLean et al. (1983). Suhu tubuh (Tb) dihitung dengan rumus : Tb = 0.86 Tr Ts. 8. Denyut jantung diukur dengan menempelkan stetoskop (STETOSCOPE, Japan) di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama dua puluh detik, kemudian dikonversikan menjadi denyut jantung per menit. 9. Frekuensi respirasi diukur setelah pengukuran denyut jantung dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi pernafasan selama dua puluh detik, kemudian dikonversikan menjadi frekuensi respirasi permenit. 10. Konsumsi pakan dihitung dengan menimbang sisa pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan setiap hari. 11. Kecepatan konsumsi pakan dihitung dengan menghitung waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi pakan, selanjutnya dikonversi menjadi gram per menit. 12. Kecepatan mengunyah dihitung beberapa jam setelah ternak mengkonsumsi pakan pagi (pada siang hari). Penghitungan dilakukan selama satu menit dengan satuan penghitungan adalah jumlah mengunyah per menit. 13. Pertambahan bobot badan (PBB) diukur setiap periode perlakuan dengan cara mengurangkan bobot badan pada akhir tiap periode dengan bobot badan awal setiap periode yang sama. 49 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) 6 x 6. Faktor-faktor yang ada pada rancangan BSL yaitu perlakuan, periode, dan ternak. Susunan hasil pengacakan perlakuan pada penelitian ini dengan menggunakan metode bujur sangkar latin 6 x 6 yang tertera pada Tabel 15. Tabel 15 Skema perlakuan penelitian dengan Rancangan Bujur Sangkar Latin Sapi Periode E F D A B C 2 F A E B C D 3 A B F C D E 4 B C A D E F 5 C D B E F A 6 D E C F A B Model matematika dalam rancangan percobaan ini dari Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut : Y ijk = µ + αi + β j + τ k + ijk Keterangan : Y ijk : respons hasil pengamatan dari perlakuan waktu pemberian pakan ke-k dalam sapi ke-i dan waktu ke-j µ : nilai rataan umum αi : pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris)

71 50 β j : pengaruh aditif dari kondisi ternak (efek kolom) τ k : pengaruh aditif dari urutan perlakuan ijk : galat percobaan pada perlakuan ke-k dalam sapi ke-i dan periode ke-j Analisis Data Data iklim mikro dan respon fisiologis ternak dianalisis untuk mendapatkan nilai rataan dan standar deviasi. Penentuan suhu kritis ternak dengan indikator respon fisiologis pada manajemen pakan disimulasikan dengan menggunakan analisis Jaringan Syaraf Tiruan (ANN), mengikuti model dan persamaanpersamaannya, sehingga dapat diketahui pola hubungan antara perubahan suhu udara dan kelembaban udara terhadap respon fisiologis sapi dara PFH dengan manajemen pakan. Jaringan Syaraf Tiruan (ANN) yang digunakan adalah metode algoritma propagasi balik. Algoritma pelatihan propagasi balik banyak dipakai pada aplikasi pengaturan karena proses pelatihannya didasarkan pada hubungan yang sederhana, yaitu bila keluaran memberikan hasil yang salah, maka penimbang (weight) dikoreksi supaya galatnaya dapat diperkecil dan respon jaringan selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati nilai yang benar. Back propagation juga berkemampuan untuk memperbaiki penimbang pada lapisan tersembunyi (hidden layer). Algoritma propagasi balik dapat dijelaskan sebagai berikut; ketika jaringan diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapisan bungan antar btersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapisan keluaran. Unit-unit lapisan keluaran memberikan tanggapan yang disebut keluaran jaringan. Pada saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan menyebarkan mundur (backward ) bagi lapisan tersembunyi yang diteruskan ke unit pada lapisan masukan. Berdasarkan hal tersebut, maka mekanisme pelatihan dinamakan propagasi balik (back propagation). Tahap pelatihan tersebut merupakan langkah suatu jaringan syaraf berlatih, yaitu dengan cara melakukan perubahan penimbang sambungan antar lapisan yang membentuk jaringan melalui masing-masing unitnya. Bagi pemecahan masalah baru akan dilakukan bila proses pelatihan tersebut selesai, fase tersebut adalah fase mapping atau proses pengujian (testing). Pemodelan Artificial Neural Network (Jaringan Syaraf Tiruan) Pemodelan dimulai dengan membangun model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) untuk mendapatkan nilai respon fisiologis pada ternak berdasarkan kondisi iklim mikronya dengan menggunakan metode propagasi balik. Arsitektur jaringan syaraf terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan masukan (input layer) terdiri atas variabel masukan tiga unit sel syaraf, lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri atas enam unit sel syaraf, dan lapisan keluaran terdiri atas dua sel syaraf. Struktur ANN metode propagasi balik yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 16.

72 Tabel 16 Struktur ANN (Artificial Neural Network) metode propagasi balik (back propagation) yang digunakan dalam penelitian Lapisan masukan (input layer) Lapisan tersembunyi (hidden layer) Lapisan keluaran (output layer) 3 unit 6 neuron 2 unit x 0 : bias h 0 : bias y 1 : suhu rektal dan frekuensi respirasi x 1 : suhu udara (Ta) h 1, h 2, h 3, h 4 y 2 : suhu kulit dan denyut jantung x 2 : kelembaban udara (Rh) Setiap penghubung antar lapisan digunakan pembobot. Bobot sebagai jembatan yang menghubungkan input layer ke setiap neuron pada hidden layer adalah w ij : bobot yang menghubungkan unit input layer ke-i ke neuron ke-j pada hidden layer. Penghubung setiap neuron pada hidden layer ke output layer adalah v jk : bobot yang menghubungkan neuron ke-ja pada hidden layer menuju ke-k pada ouput layer. Skema arsitektur ANN untuk respon fisiologis yang terdiri atas suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung sapi dara peranakan Fries Holland pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda sebagai penentu suhu kritis tertera pada Gambar h 0 =1 X 0 = 1 W ij h 1 V jk h 2 Y 1 X 1 h 3 Y 2 X 2 h 4 Input layer h 5 Hidden layer Output layer Gambar 11 Skema arsitektur ANN metode propagasi balik pemodelan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis suhu rektal (Tr), suhu kulit (Ts), frekuensi respirasi (Rr), dan denyut jantung (Hr) sapi dara peranakan FH pada suhu dan kelembaban udara berbeda.

73 52 Keterangan: x: masukan / input (x 1 dan x 2 ), x 0: bias pada masukan /input, W ij : Bobot pada lapisan tersembunyi, V jk : Bobot pada keluaran, h; jumlah unit pengolah pada lapisan tersembuunyi (h 1..h 5 ), h 0 ; bias pada lapisan tersembunyi, y; keluaran hasil Aktivasi Jaringan Artificial Neural Network Algoritman back propagation membagi proses belajar ANN menjadi empat tahapan utama dilakukan secara iterative sehingga jaringan menghasilkan perilaku yang diinginkan. Tahapan-tahapan aktivasi jaringan tersebut adalah sebagai berikut: Tahapan pertama berupa inisialisasi yaitu dilakukan pengkodean data input (x i ) dan target t k menjadi nilai dengan kisaran (0 1), kemudian memberikan nilai pada w ij dan v jk secara random dengan kisaran (-1 sampai 1). Tahapan kedua berupa perambatan maju (feed forwards step) yaitu melakukan training pada x i dan t k kemudian menghitung besarnya h j dan y p. 1 1 hj = y p = 1 + е - wij xi - vijk hj 1 + е Selama perambatan maju, tiap unit masukan (x i ) menerima sebuah masukan sinyal ini ke tiap-tiap lapisan tersembunyi h i,,h j. Tiap unit tersembunyi ini kemudian menghitung aktivasinya dan mengirimkan sinyalnya (h j ) ke tiap unit keluaran. Tiap unit keluaran (y k ) menghitung aktivasinya untuk membentuk respon pada jaringan untuk memberikan pola masukan. Tahapan ketiga berupa perambatan mundur (backward step) yaitu menentukan nilai w ij dan v jk, menghitung error pada output layer, menentukan ð k, v jk, ι j dan w ij ð k = y p (1-yt)(y t -y k ) v jk= v jk + βð k. h j ι j = h j (1-hj) k ð k. v jk w ij= w ij + βι j. x i Selama pelatihan pada tiap unit keluaran membandingkan perhitungan aktivasinya y p dengan nilai targetnya y t untuk menentukan kesalahan pola tersebut dengan unit. Berdasarkan kesalahan tersebut, faktor ð k (p=p 1 dan p 2 ) dihitung ð k digunakan untuk menyebabkan kesalahan pada unit keluaran y p kembali ke semua unit pada lapisan sebelumnya yaitu unit-unit tersembunyi yang dihubungkan ke y p. Cara yang sama dengan factor (h = 1, 2 5) dihitung untuk tiap tersembunyi hj. Nilai ð k digunakan untuk mengafdet bobot-bobot antara lapisan tersembunyi dan lapisan masukan. Setelah seluruh faktor ð ditentukan, bobot untuk semua lapisan diatur secara serentak. Pengaturan bobot v jk dari unit tersembunyi h j ke unit keluaran y p didasarkan pada faktor ð k dan aktivasi h j dari unit tersembunyi h j, didasarkan pada faktor ð j dan x i unit masukan, karena perubahan bobot ini akan terjadi secara terus menerus selama proses iterasi. Tahapan keempat untuk menentukan error atau galat acuan dengan cara jumlah kuadrat dari selisih output yang diharapkan dengan output aktual melalui rumus sebagai berikut:

74 53 N E = 0,5 ( Y p - Y t ) 2 < Ƹ p=1 Keterangan : Y t = vektor nilai output yang diharapkan y p = vektor nilai output actual N = jumlah data dalam training Ƹ = besar galat yang diharapkan Perhitungan kesalahan merupakan pengukuran bagaimana jaringan dapat belajar dengan baik. Kesalahan pada keluaran dari jaringan merupakan selisih antara prediksi (current output) dan keluaran target (desired output). Menghitung nilai Sum Square Error (SSE) yang merupakan hasil penjumlahan nilai kuadrat errorneuron ke-1 dan neuron ke-2 pada lapisan output tiap data, hasil penjumlahan keseluruhan nilai SSE akan digunakan untuk menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE) tiap iterasi (Kusumadewi 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Iklim Mikro Kandang Penelitian Perubahan-perubahan pada panas lingkungan sangat tergantung dari kondisi udara lingkungan yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari, kepadatan kandang, dan juga pada karakter pelepasan panas metabolis tubuh ternak (Berman 2008). Hasil pengamatan selama penelitian berlangsung dari pukul hinggga pukul 20.00, data yang diperoleh menunjukkan kondisi lingkungan iklim mikro kandang penelitian berupa kisaran suhu udara berkisar antara C, kelembaban udara antara %, nilai THI berkisar antara , kecepatan angin antara m/detik, dan radiasi matahari antara Lux. Kondisi lingkungan iklim mikro tersebut tertera pada Tabel 17 serta Gambar 12 dan 13. Nilai suhu dan kelembaban udara tersebut, maka kondisi lingkungan ternak berpotensi memberikan cekaman fisiologis pada sapi dara peranakan Fries Holland (FH). Kisaran zona termonetral ternak berada pada suhu udara antara C (McDowell 1972), C (Jones dan Stallings 1999), suhu udara antara C dan kelembaban udara antara % (McNeilly 2001). Suhu dan kelembaban lingkungan yang ideal bagi penampilan produksi sapi perah peranakan FH akan dicapai pada suhu udara C dan kelembaban udara 55 % (Sutardi 1981), serta penampilan produksi masih cukup baik bila suhu lingkungan meningkat sampai C serta suhu kritis sebesar 27 0 C (Sudono et al. 2003). Kondisi pada pagi hari (pukul ) relatif sama dengan sore hari (pukul ). Suhu udara pagi hari relatif sesuai untuk sapi dara FH, tetapi kelembaban udara kurang sesuai, karena berada di atas kisaran normal. Pada sore hari (pukul ) terjadi cekaman diakibatkan kelembaban udara. Rataan nilai THI sore hari sebesar 76 menunjukkan terjadinya cekaman ringan. Suhu udara dan radiasi matahari pada sore hari menurun, tetapi kelembaban udara meningkat. Sementara itu, kecepatan angin pada sore hari relatif belum cukup

75 54 untuk mengurangi beban panas tubuh ternak. Kelembaban udara tersebut dapat menjadi faktor penghambat proses konveksi dan evaporasi ternak. Bohmanova (2007) menyatakan bahwa kelembaban udara merupakan faktor penghambat proses stress panas pada iklim lembab dan suhu udara kering adalah faktor pembatas stress panas pada iklim kering. Tabel 17 Rataan suhu udara, kelembaban udara, THI, kecepatan angin, dan radiasi matahari selama Maret-Juni 2011 Pukul (WIB) Ta ( o C) Rh (%) THI Va (m/detik) Rad (Lux) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Pada siang hari (pukul ), suhu udara, THI dan radiasi matahari meningkat hingga pukul 13.00, sebaliknya kelembaban udara menurun, tetapi kelembaban udara tersebut tetap pada nilai yang berpotensi memberikan cekaman panas pada suhu kritis ternak. Nilai rataan THI pada pukul dan pukul adalah yang tertinggi di lokasi penelitian yaitu sebesar dan Hasil nilai rataan THI tersebut mengindikasikan adanya cekaman panas, hal ini berdasarkan klasifikasi Pennington dan VanDevender (2004) nilai THI tersebut menunjukan terjadinya cekaman panas sedang pada ternak. Cekaman panas sedang ditandai dengan terjadinya pelepasan tubuh sebanyak 50 % melalui proses respirasi (Berman 2005). Usaha untuk peningkatan pemahaman efek lingkungan iklim mikro pada siang hari dengan ditandai terjadinya cekaman panas pada ternak menuntut peternak untuk memaksimalkan efek positif dan negatifnya (Coller et al. 2006). Waktu pemberian pakan dan pemberian pakan yang memiliki heat increament relatif rendah dengan berdasarkan cekaman panas pada ternak disarankan untuk dilakukan bila siang hari ada cekaman iklim panas di daerah pengembangan sapi perah. Kecepatan angin berfungsi mengalirkan udara yang bersuhu lebih tinggi di sekitar ternak ke tempat yang lain. Selain itu, angin dapat membantu proses konveksi dan evaporasi panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Pada pagi menuju siang hari, kecepatan angin meningkat seiring meningkatnya suhu udara dan radiasi matahari, sehingga peningkatan kecepatan angin belum banyak berpengaruh pada penurunan cekaman panas tubuh ternak, sebaliknya sore hari semakin menurun. Rataan kecepatan angin pada siang dan sore hari di lokasi

76 penelitian masih relatif rendah yaitu 0,4 m/detik Pemberian kecepatan angin m/detik akan membantu sapi FH mengatasi cekaman panas (Lee dan Keala 2005). Perpindahan panas dengan konveksi dan evaporasi antara ternak dengan lingkungan dipengaruhi kecepatan angin sebesar 25 %. Angin dapat digunakan untuk membantu mereduksi cekaman panas pada ternak (Beede dan Colier 1986). (a) 55 (b) (c) Gambar 12 Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (a) Suhu udara, dan (b) Kelembaban udara dan (c) Indeks suhu kelembaban (THI) lokasi penelitian

77 56 (d) (e) Gambar 13 Rataan fluktuasi lingkungan mikro; (d) Kecepatan angin dan (e) Radiasi matahari lokasi penelitian Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Pakan dan PBB Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Pakan diberikan bagi sapi perah harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN). Selama penelitian berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi ini muncul dikarenakan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan serta periode lingkungan mikro penelitian. Faktor penting dalam penyusunan ransum dan tingkat konsumsi pakan adalah bobot badan sapi. Tabel 18 menunjukkan rataan tingkat konsumsi bahan kering ransum serta pola perubahan pbb sapi perah dara. Konsumsi BK pakan sapi-sapi percobaan berkisar antara kg. Besarnya konsumsi tersebut masih sesuai dengan anjuran NRC (2001) bahwa sapi-sapi dara FH dengan bobot badan antara 150kg dan 300kg dengan PBB 0.6 kg per hari dibutuhkan BK berkisar 4.9kg dan 7.4kg BK per hari. Pada kondisi cekaman panas, efesiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi. Energi di dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Kekurangan energi pada hewan muda dapat memperlambat pertumbuhan dan menunda pencapaian pubertas, sedangkan kekurangan energi pada sapi laktasi dapat menurunkan produksi susu

78 dan bobot badan. Semakin tinggi energi ransum yang diberikan maka tingkat konsumsi lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro yang tropis basah, sehingga ternak mengatur suhu tubuhnya (termoregulasi) dengan mengurangi konsumsi energi yang berlebihan bagi kondisi suhu tubuhnya. Tabel 18 Rataan konsumsi BK,TDN, Protein ransum dan PBB sapi perah dara selama perlakuan Perlakuan Peubah A B C D E F BK (kg) Hijauan 4.2± ± ±0,16 4.1± ± ±0.34 Konsentrat 3.2± ± ±0,84 2.9± ± ±0.88 TDN (kg) Hijauan 2.4± ± ±0,05 2.3± ± ±0.26 Konsentrat 1.8± ± ±0,55 2.0± ± ±0.68 PK (kg) Hijauan 0.33± ± ±0, ± ± ±0.07 Konsentrat 0.37± ± ±0, ± ± ±0.03 LK (kg) Hijauan 0.05± ± ±0, ± ± ±0.01 Konsentrat 0.2±0.07 a 0.19±0.06 ab 0.21±0,07 b 0.20±0.05 a 0.19±0.07 ab 0.20±0.05 a SK (kg) Hijauan 1.6± ± ±0,06 1.5± ± ±0.17 Konsentrat 0.4±0.14 b 0.38±0.11 b 0.30±0,08 a 0.30±0.08 a 0.32±0.07 a 0.34±0.1 a 1 PBB (kg) 0.63±0.08 ab 0.65±0.05 ab 0.68±0,06 b 0.63±0.08 ab 0.55±0.08 a 0.63±0.08 ab Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05). Perlakuan waktu pemberian pakan,tdn, kadar minyak kelapa dalam konsentrat terhadap pertambahan bobot badan dapat ditunjukkan pada Tabel 18. Hasil analisis sidik ragam untuk pertambahan bobot badan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan energi ransum (P>0.05). Pertambahan bobot badan (PBB ) tidak menunjukan perbadaan yang nyata antar perlakuan energi ransum (Amir 2010). Meskipun demikian, rataan PBB dari perlakuan E dengan TDN 70% jauh lebih rendah dibanding dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 0.55 kg per hari. Kondisi tersebut disebabkan tingkat konsumsi BK yang rendah dibanding dengan perlakuan lainnya, hal ini disebabkan energi ransum yang tinggi menjadi tambahan panas selain suhu lingkungan, sehingga ternak mengurangi konsumsi sebagai akibat menghindari produksi panas atau berfungsinya proses termoregulasi. Sebagai tambahan, data hasil pengukuran suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts), suhu tubuh (Tb), denyut jantung (Hr), dan frekuensi respirasi (Rr) yang tinggi akibat dari perlakuan E. Suhu tubuh merupakan gambaran adanya cekaman panas pada sapi sedangkan Rr merupakan manifestasi ternak untuk mempertahankan proses homeostasis di dalam tubuhnya, perlakuan E menyebabkan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk proses termoregulasi dalam menyeimbangkan produksi dan pengeluaran panas. Pertambahan bobot badan lebih tinggi pada ternak yang memiliki kecenderungan lebih rendah pada respon fisiologis saat cekaman panas tubuh. Suhu berpengaruh terhadap tingkat metabolisme dan reaksi-reaksi kimia di dalam tubuh termasuk reaksi metabolisme (Tobin 2005). Kamanga-Sollo et al. (2011) menyatakan pada saat tubuh ternak mengalami cekaman panas, tubuh akan menurunkan laju metabolisme dengan menekan sekresi hormon tiroksin serta 57

79 58 mengeluarkan heat shock proteins yang memiliki peranan penting untuk merespon stress panas dan jenis stress seluler lainnya dan dalam tingkat regulasi dan efisiensi perkembangan otot. Peningkatan beban panas yang disebabkan kombinasi suhu udara, kelembaban relatif, angin, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh dan frekuensi respirasi serta mengurangi konsumsi pakan dan produksi susu (Hahn 1999; Ominski et al. 2002; West 2003). Pada saat terjadi cekaman panas tubuh, performa kerja jantung berkurang akibat berkurangnya nutrisi pendukung denyut jantung seperti kalium. Kalium tersebut terbuang pada saat evaporasi untuk mengatasi cekaman panas tubuh. Manajemen Waktu Pemberian dan TDN Konsentrat terhadap Respon Fisiologis Ternak Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal Hasil pengukuran suhu rektal harian ternak masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara C. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara C (Schutz et al. 2009). Pada penelitian ini, suhu rektal terendah terjadi pada pukul ( C) dan meningkat setelah ternak mengkonsumsi pakan serta seiring meningkatnya suhu udara. Suhu rektal ternak yang diberi pakan pukul pagi, cenderung lebih rendah saat ada peningkatan suhu udara siang hari (pukul ) dibanding yang diberi pakan pukul pagi (Gambar 14 dan 15). Hasil penelitian Wheelock et al. (2010) melaporkan bahwa suhu rektal meningkat selama cekaman panas ( C) dan dapat mengurangi konsumsi bahan kering sebanyak 30 %. Gambar 14 Fluktuasi rataan suhu rektal ternak pada berbagai perlakuan. Pada penelitian ini, suhu rektal tertinggi terjadi sore hari pukul ( C) pada ternak yang diberi pakan sore pukul dan pada malam hari pukul ( C) pada ternak yang diberi pakan sore pukul Peningkatan suhu rektal tersebut disebabkan adanya peningkatan panas metabolis tubuh, karena

80 ternak baru mengkonsumsi pakan pada pukul dan 18.00, dan juga disebabkan oleh proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari (pukul ). 59 Gambar 15 Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi pakan pukul & WIB dan & WIB. Berdasarkan pada Gambar 14 dan 15, suhu rektal ternak masih dalam kisaran normal pada siang hari, termasuk pada pukul dan pukul saat suhu udara dan cekaman panas tertinggi, suhu rektal masih berkisar antara C. Perlakuan pemberian pakan pukul dapat memberi efek pada suhu rektal yang lebih rendah saat ada cekaman cuaca panas siang dibanding perlakuan pemberian minyak kelapa dalam konsentrat. Hasil analisis pada pukul (Tabel 19), ternak yang diberi pakan lebih awal (pukul pagi), rataan suhu rektalnya lebih rendah (P<0.05) dibanding ternak yang diberi pakan pada pukul Hal tersebut dapat disebabkan beban panas tubuh yang lebih rendah pada ternak yang mengkonsumsi pakan pagi pukul Pada pemberian pakan pukul mengakibatkan puncak beban panas dari hasil metabolisme pakan dan unsur-unsur iklim lingkungan tidak terjadi bersamaan, sehingga panas tubuh termasuk rektal jadi relatif lebih rendah. Panas hasil metabolisme mempengaruhi fluktuasi seluruh kondisi fisiologis tubuh. Panas tubuh metabolis diedarkan oleh sistem sirkulasi ke seluruh bagian tubuh termasuk organ jantung, respirasi, dan rektal. Berdasarkan hal tersebut, peningkatan denyut jantung akibat beban panas hasil metabolisme relatif seirama dengan peningkatan frekuensi respirasi dan suhu rektal. Tabel 19 Rataan suhu rektal ternak pada siang hari ( 0 C) Pukul Perlakuan (WIB) A B C D E F ± 0.1 a 38.8 ± 0.4 a 38.8 ± 0.4 a 38.8 ± 0.3 a 38.9 ± 0.4 a 38.8 ± 0.3 a ± 0.2 a 38.7 ± 0.2 a 38.9 ± 0.3 a 38.8 ± 0.3 a 38.9 ± 0.4 a 38.8 ± 0.2 a ± 0.6 a 38.8 ± 0.4 a 38.8 ± 0.6 ab 39 ± 0.8 ab 39.1 ± 0.6 b 39 ± 0.7 ab ± 0.2 a 38.8 ± 0.3 a 38.9 ± 0.3 ab 39 ± 0.3 ab 38.9 ±0.4 ab 39 ± 0.2 b ± 0.3 a 38.8 ± 0.3 a 39 ± 0.4 a 39 ± 0.3 a 39 ± 0.5 a 39 ± 0.3 a ± 0.3 a 38.8 ± 0.2 a 38.8 ± 0.2 a 38.9 ± 0.3 a 39 ± 0.4 a 38.8 ± 0.2 a Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05). Ternak yang mengkonsumsi konsentrat mengandung minyak kelapa 3.5 % menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada suhu rektal, suhu kulit, suhu

81 60 tubuh, dan frekuensi respirasi, dengan ternak yang mengkonsumsi konsentrat tanpa mengandung minyak kelapa. Hasil penelitian Moallem (2010) melaporkan bahwa perlakuan sebanyak 1.5 % dari total bahan pakan cukup efektif untuk mengurangi produksi panas metabolis, meskipun demikian perubahan pada suhu rektal dan frekuensi respirasi tidak terdeteksi. Gambar 16 Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70 %, perlakuan konsentrat TDN 75 %, dan penggunaan minyak kelapa 3.5 % dalam konsentrat dengan TDN 75 %. Suhu rektal kurang dipengaruhi kandungan pakan, diduga disebabkan suhu rektal lebih dipengaruhi unsur-unsur cuaca lingkungan (Gambar 12 dan 13). Kadzere et al. (2002) mengemukakan bahwa penyesuaian kondisi fisiologis dapat menyebabkan produksi panas yang berlebihan. Cekaman panas menyebabkan keseimbangan energi negatif (Boonkum et al. 2011). Selanjutnya keseimbangan energi negatif dapat mengakibatkan kondisi fisiologis, begitu juga produktivitas yang negatif. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Permukaan Kulit Suhu permukaan kulit harian ternak penelitian masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara C. Suhu kulit sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman berkisar antara C (Tucker et al. 2008). Pada pagi pukul 05.00, suhu permukaan kulit terendah (29 0 C) yang terjadi pada ternak dengan waktu pemberian pakan pada pukul Suhu permukaan kulit tertinggi pada pukul 12 siang ( C) terjadi pada ternak baik dengan waktu pemberian pakan pukul maupun waktu pemberian pakan dan menggunakan konsentrat berkadar TDN 70 % dan 75 % (Gambar 17 dan 18). Pengaruh pakan terhadap fluktuasi suhu permukaan kulit cenderung lebih rendah dibanding pengaruh unsur iklim lingkungan mikro. Kulit mempunyai hubungan dengan fluktuasi unsur iklim karena mengalami kontak langsung dengan cuaca. Marcilac (2009) mengemukakan bahwa suhu permukaan tubuh bervariasi berdasarkan kadar uap air lingkungan, lokasi kandang (naungan), dan ventilasi.

82 61 Gambar 17 Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak pada berbagai perlakuan. Kulit merupakan tempat pembuangan panas yang utama melalui proses radiasi, konveksi, konduksi, dan evaporasi. Saat cuaca lingkungan berpotensi memberikan cekaman panas pada tubuh ternak serta THI lingkungan mikro tertinggi pada siang hari (pukul 12.00), ternak yang mengkonsumsi pakan pukul 05.00, rataan suhu permukaan kulitnya cenderung lebih rendah (P>0.05) dibanding suhu permukaan kulit ternak yang mengkonsumsi pakan pada pukul (Tabel 20 dan Gambar 18). Hal tersebut diduga diakibatkan oleh energi panas pada kulit relatif lebih rendah pada ternak yang mengkonsumsi pakan pukul dibanding ternak yang mengkonsumsi pakan pada pukul Gambar 18 Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi pakan pukul & WIB dan & WIB

83 62 Gambar 19 Fluktuasi rataan suhu permukaan kulit ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70 %, perlakuan konsentrat TDN 75 %, dan penggunaan minyak kelapa 3.5 % dalam konsentrat dengan TDN 75 % Panas terbuang dari pakan mempengaruhi respon fisiologis termasuk suhu permukaan kulit, laju evaporasi dan konveksi panas dari tubuh ternak ke lingkungan, dan kontraksi pheripheral. Menurunnya intensitas vasokontriksi pheripheral dapat meningkatkan konduksi panas dari inti tubuh ke kulit dan mengurangi terjadinya puncak hyperthermia (Berman 2010). Jumlah panas yang hilang dari tubuh dalam batas-batas yang luas di atur oleh perubahan jumlah darah yang mengalir melalui kulit (Ganong 1983). Proses pelepasan panas melalui kulit terjadi melalui mekanisme vasodilatasi, yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan kulit pada lingkungan luar yang memungkinkan panas dibebaskan keluar. Bulu kulit ditegakkan untuk mengurangi udara yang terperangkap pada kulit supaya panas mudah dibebaskan karena udara konduktor panas yang baik. Tabel 20 Rataan suhu permukaan kulit ternak pada siang hari ( 0 C) Pukul Perlakuan (WIB) A B C D E F ± 1.1 a 32.7 ± 1.5 a 32.6 ± 1.4 a 32.6 ± 0.9 a 33.4 ± 1.1 a 32.7 ± 1.1 a ± 1.7 a 33.3 ± 1 a 33.5 ± 1.5 a 33.3 ± 1.4 a 33.2 ± 1.8 a 33.3 ± 1.5 a ± 0.1 a 33.9 ±0.1 a 33.7 ± 0.1 a 33.7 ± 0.1 a 34.2 ± 0.2 a 33.7 ± 0.1 a ± 1.1 a 33.5 ± 0.7 a 33.6 ± 1.1 a 33.3 ± 1.8 a 33.9 ± 0.8 a 33.9 ± 1.3 a ± 1.8 a 32.9 ± 1.2 a 33.1 ± 1.6 a 32.4 ± 1.9 a 32.9 ±1.7 a 33 ± 1.7 a ± 1.6 a 31.9 ± 1.1 a 32 ± 1.6 a 31.3 ± 1.5 a 32.4 ±1.6 a 32.3 ± 1.9 a Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05). Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu tubuh harian berkisar antara C. Suhu tubuh terendah terjadi baik pada pemberian pakan pukul maupun pemberian pakan ( C) dan meningkat terus seiring

84 meningkatnya beban panas dari lingkungan dan hasil metabolisme. Pada dasarnya respon suhu tubuh terhadap cekaman panas pada suhu kritis berbeda-beda tiap individu ternak. Hal tersebut disebabkan produksi dan pelepasan panas tubuh yang berbeda-beda pada individu ternak. Ternak yang diberi pakan pada pukul menunjukkan suhu tubuhnya cenderung lebih rendah pada saat ada peningkatan cekaman panas lingkungan dibanding dengan pemberian pakan pada pukul (Gambar 20 dan 21). Berdasarkan hal tersebut, pemberian pakan lebih awal cukup sesuai diterapkan untuk menjaga kesetabilan suhu tubuh pada lingkungan yang berpotensi memberikan cekaman panas. Isnaeni (2006) mengemukakan bahwa suhu tubuh pada kebanyakan hewan dipengaruhu suhu lingkungannya. 63 Gambar 20 Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak pada berbagai perlakuan. Suhu tubuh ternak pada siang hari berkisar antara C. Nilai kisaran tersebut masih berada pada kisaran normal ( C) pada kondisi suhu lingkungan yang nyaman (Schutz et al. 2008). Berdasarkan nilai rataan pada Tabel 21, Gambar 21 dan 22, suhu tubuh ternak cenderung lebih rendah pada ternak yang diberi pakan pukul dan konsentrat TDN 75 % dengan penggunaan minyak kelapa 3,5 % dibanding ternak yang diberi pakan pukul Hasil analisis menunjukkan bahwa ternak yang diberi pakan pukul pagi juga memiliki suhu tubuh yang lebih rendah (P<0.01) dibanding ternak yang diberi pakan pukul Nilai maksimal energi total lebih rendah pada ternak yang diberi pakan saat hari gelap dibanding saat yang lebih terang/siang (Brosh dan Aharoni 2001). Kondisi ternak lebih stabil bila suhu tubuh optimal dan terjadi keseimbangan energi. Keseimbangan panas dapat dipengaruhi produksi panas metabolik yang berasal dari produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk produksi, panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau di dapat dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi, dan radiasi (Williamson dan Payne 1993). Selain hal tersebut, suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak. Keseimbangan panas dapat dipengaruhi

85 64 produksi panas metabolik yang berasal dari produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk produksi, panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau di dapat dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi, dan radiasi (Williamson dan Payne 1993). Selain hal tersebut, suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak. Gambar 21 Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi pakan pukul & WIB dan pukul & WIB. Tabel 21 Rataan suhu tubuh ternak pada siang hari ( 0 C) Pukul Perlakuan (WIB) A B C D E F 10 37,8 ± 0,2 a 37,9 ±0,3 a 37,9 ± 0,4 a 37,9 ± 0,4 a 38,1 ± 0,4 a 38 ± 0,2 a 11 37,9 ± 0,4 a 38 ±0,2 a 38,1 ± 0,3 a 38 ± 0,4 a 38,1 ± 0,5 a 38,1 ± 0,2 a 12 38,1 ± 0,1 a 38,1 ± 0,1 a 38,1 ± 0,1 a 38,2 ±0,1 ab 38,4 ± 0,4 b 38,3 ± 0,1 ab ± 0,2 a 38 ± 0,4 a 38,2 ±0,4 ab 38,2 ±0,4 ab 38,2 ±0,4 ab 38,3 ± 0,3 b 14 37,8 ± 0,5 a 38 ± 0,4 a 38,1 ± 0,4 a 38 ± 0,5 a 38,1 ± 0,7 a 38,2 ± 0,3 a 15 37,9 ± 0 a 37,8 ± 0 a 37,9 ± 0 a 37,8 ± 0 a 38,1 ± 0 a 37,9 ± 0 a Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05). Suhu tubuh dapat dijadikan indikator yang baik dalam menentukan adanya cekaman panas pada suhu kritis ternak yang diakibatkan lingkungan mikro dan pakan. Pengaturan suhu tubuh ternak dilakukan melalui mekanisme umpan balik oleh saraf eferen, hipotalamus, dan efektor saraf eferen. Bagian-bagian tersebut

86 berfungsi sebagai thermostat dengan hipotalamus sebagai pusat kontrolnya. Tubuh akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan menyeimbangkan pembentukan dan pelepasan panas. 65 Gambar 22 Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70 %, perlakuan konsentrat TDN 75 %, dan penggunaan minyak kelapa 3.5 % dalam konsentrat dengan TDN 75 %. Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung Denyut jantung harian ternak penelitian masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara kali/menit. Kisaran denyut jantung sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman berkisar antara kali/menit (Kelly 1984). Pada pagi hari (pukul ), peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak mengkonsumsi pakan (Gambar 23 dan 24). Pada ternak yang diberi pakan pukul 05.00, peningkatan denyut jantung masih terjadi hingga empat jam setelah ternak mengkonsumsi pakan. Konsumsi energi pada sapi menyebabkan peningkatan produksi panas (Brosh et al. 1998). Kadar energi yang lebih tinggi menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan akhirnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung. Gambar 23 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak pada berbagai perlakuan

87 66 Pada penelitian ini, denyut jantung ternak pada siang hari (pukul ) masih pada kisaran normal yaitu antara kali/menit. Saat cekaman panas (Pukul ), rataan denyut jantung ternak penelitian masih normal, berkisar antara kali/menit. Kisaran normal denyut jantung yaitu antara kali/menit (Kelly 1984) dan pada saat ada cekaman suhu udara (32 0 C), denyut jantung mencapai 79 kali/menit (Schutz et al. 2009). Begitu juga, ternak yang diberi pakan pukul cenderung mempunyai denyut jantungnya lebih rendah dibanding denyut jantung ternak yang diberi pakan pukul Pada siang hari, cuaca kandang berpotensi memberikan cekaman cuaca panas. Kondisi tersebut ternak cenderung berbaring sehingga nilai denyut jantung cenderung menurun. Puncak cekaman cuaca panas terjadi pada pukul dengan suhu udara sebesar 32 0 C, kelembaban udara (62 %), dan nilai THI sebesar 82 (cekaman sedang). Gambar 24 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi pakan pukul & WIB dan pukul & WIB. Hasil penelitian ini, perlakuan pemberian pakan pada pukul dan 18.00, berpotensi memberi efek terhadap denyut jantung menjadi lebih rendah dibanding perlakuan pemberian pakan pada pukul dan (Gambar 24). Pemberian pakan pada pukul dapat mencegah terjadinya cekaman ganda. Cekaman ganda dapat memberikan adanya peningkatan denyut jantung dan respon fisiologis lainnya yang diakibatkan oleh adanya cekaman cuaca panas lingkungan yang bersamaan dengan puncak produksi panas tubuh hasil metabolisme pakan. Tekanan darah dan denyut jantung berfluktuasi secara kontinyu setiap saat di bawah beberapa mekanisme pengaturan, seperti aktivitas syaraf otonom, faktor-faktor hormonal, dan pernafasan untuk menjaga homeostasis kardivaskuler (Yoshimoto et al. 2011). Usaha menjaga kestabilan denyut jantung dapat dilakukan secara hormonal, yaitu dengan memberikan hormon epinephrine. Saat infuse hormone epinephrine, konsentrasi

88 norepinephrine pada plasma menurun setengah dan denyut jantung menurun hingga 9.3 ± 3.3 kali/menit (Stewart et al. 2010). Tabel 22 Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit) Pukul Perlakuan (WIB) A B C D E F ± 7 a 67 ± 5 a 73 ± 10 a 76 ± 14 a 76 ± 9 a 71 ± 9 a ± 6 a 69 ± 6 a 69 ± 8 a 69 ± 6 a 68 ± 9 a 66 ± 7 a ± 3 a 71 ± 3 a 67 ± 3 a 68 ± 2 a 68 ± 3 a 63 ± 3 a ± 7 a 70 ± 9 ab 69 ± 9 ab 75 ± 6 ab 76 ± 9 b 71 ± 3 ab ± 5 a 72 ± 12 ab 67 ± 8 ab 75 ± 6 ab 77 ± 10 b 71 ± 8 ab ± 4 a 71 ± 13 a 69 ± 5 a 72 ± 9 a 73 ± 8 a 68 ± 9 a Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05). Waktu siang hari, rataan denyut jantung cenderung lebih rendah pada ternak yang pakan konsentratnya mengandung minyak kelapa dibanding yang tidak pada kadar TDN yang sama (Gambar 25). Hasil analisis pada pukul 12.00, ternak yang pakan konsentratnya mengandung 3.5 % minyak kelapa memiliki rataan denyut jantung yang lebih rendah (P>0.05) dibanding ternak yang pakan konsentratnya tanpa minyak kelapa dengan kadar TDN yang sama (Tabel 22). Pada kondisi cuaca panas, pemberian minyak kelapa/lemak akan dapat membantu mengurangi stres panas tubuh pada sapi laktasi (Soetanto 2002). Pemberian minyak kelapa berpengaruh paling efektif terhadap proses metabolisme (Danicke et al. 2001). Peranan minyak/lemak pada pakan adalah sebagai sumber energi melalui konversi gliserol yang terbebaskan dari proses hidrolisis lemak menjadi VFA. Lemak memiliki kadar energi metabolis yang paling tinggi, akan tetapi lemak menghasilkan heat increament yang relatif rendah dibanding zat pakan lainnya (Parakkasi 1995). Satu gram karbohidrat, lemak, dan protein menghasilkan energi metabolis berturut-turut 5.6 kcal/gram, 9.4 kcal/gram, dan 4.1 kcal/gram. Pada saat ada cekaman panas siang hari, kombinasi penggunaan minyak kelapa sebagai sumber energi pada konsentrat dan pemberian pakan pada pukul dapat mendukung produksi panas tubuh yang lebih optimal. 67 Gambar 25 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi perlakuan pemberian konsentrat TDN 70 %, perlakuan konsentrat TDN 75 %, dan penggunaan minyak kelapa 3.5 % dalam konsentrat dengan TDN 75 %.

konsentrat dengan kandungan TDN berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakukan yang digunakan merupakan

konsentrat dengan kandungan TDN berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakukan yang digunakan merupakan RINGKASAN DADANG SUHERMAN. Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network. Dibimbing oleh BAGUS P PURWANTO,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Esmay and Dixon (1986 )

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Esmay and Dixon (1986 ) TINJAUAN PUSTAKA Produksi Panas Hewan Dalam Kandang Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan yang dikonsumsi dan kondisi lingkungan mikro.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengambilan data selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah Analisis distribusi suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat kandang tidak diisi sapi (kandang kosong). Karakteristik

Lebih terperinci

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya (ULASAN)

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya (ULASAN) Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No:56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 29 No. 1 Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Termoregulasi Sapi Perah Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Cara Pengambilan Data

MATERI DAN METODE. Cara Pengambilan Data MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian 17 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada 11 Maret hingga 5 Juni 011. Waktu penelitan dibagi menjadi enam periode, setiap periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT SKRIPSI ADI RAKHMAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PADA BERBEDA DAERAH

3 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PADA BERBEDA DAERAH 24 Keterangan : aj : nilai aktivasi dari unit j. Wj,i : bobot dari unit j ke unit i Ini : penjumlahan bobot dan masukan ke unit i g : fungsi aktivasi ai : nilai aktivasi dari unit 3 PENENTUAN SUHU KRITIS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2010 mencapai 237,64 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : L-. Aiidi Murfi, MSi.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : L-. Aiidi Murfi, MSi. RINGKASAN Edi Suwito. 2000. Hubungan antara Lingkungan Mikro dengan Lama Bernaung dalam Kandang pada Sapi Dara Peranakan Fries Holland. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Temak. Jurusan Ilmu Produksi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian 4 3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau yaitu bulan Mei sampai Juli 2007 berlokasi di Laboratorium Lapangan Bagian Ternak Perah, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas telah dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan

produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas telah dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan 44 4 PENENTUAN SUHU KRITIS BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN DAN KONSENTRAT DENGAN KANDUNGAN TDN BERBEDA MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PENDAHULUAN Pada dasarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PEMODELAN RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH DARA BERDASARKAN PERUBAHAN SUHU UDARA DAN KELEMBABAN RELATIF MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI SURAJUDIN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM SKRIPSI R. LU LUUL AWABIEN PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

Jurnal Zootek ( Zootrek Journal ) Vol. 35 No. 2 : (Juli 2015) ISSN

Jurnal Zootek ( Zootrek Journal ) Vol. 35 No. 2 : (Juli 2015) ISSN PENGARUH PENINGKATAN RASIO KONSENTRAT DALAM RANSUM KAMBING PERANAKAN ETTAWAH DI LINGKUNGAN PANAS ALAMI TERHADAP KONSUMSI RANSUM, RESPONS FISIOLOGIS, DAN PERTUMBUHAN Arif Qisthon* dan Yusuf Widodo* ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA Arif Qisthon dan Sri Suharyati Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Sumantri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembenihan Ikan. 2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Ikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembenihan Ikan. 2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembenihan Ikan Pemeliharaan larva atau benih merupakan kegiatan yang paling menentukan keberhasilan suatu pembenihan ikan. Hal ini disebabkan sifat larva yang merupakan stadia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing

II. TINJAUAN PUSTAKA. jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Boerawa Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing merupakan hewan yang

Lebih terperinci

Simulasi Artificial Neural Network untuk Menentukan Suhu Kritis pada Sapi Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis

Simulasi Artificial Neural Network untuk Menentukan Suhu Kritis pada Sapi Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis Simulasi Artificial Neural Network untuk Menentukan Suhu Kritis pada Sapi Fries Holland Berdasarkan Respon Fisiologis Suherman D 1, Purwanto BP 2, Manalu W 3, dan Permana IG 4 1 Jurusan Peternakan Fakultas

Lebih terperinci

Analisis dan Simulasi Distribusi Suhu Udara pada Kandang Sapi Perah Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD)

Analisis dan Simulasi Distribusi Suhu Udara pada Kandang Sapi Perah Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) Media Peternakan, Desember 2007, hlm. 28-228 ISSN 026-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 30 No. 3 Analisis dan Simulasi Distribusi Suhu Udara pada Kandang Sapi Perah Menggunakan Computational

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SIMULASI DISTRIBUSI SUHU UDARA PADA KANDANG SAPI PERAH MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) AHMAD YANI

ANALISIS DAN SIMULASI DISTRIBUSI SUHU UDARA PADA KANDANG SAPI PERAH MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) AHMAD YANI ANALISIS DAN SIMULASI DISTRIBUSI SUHU UDARA PADA KANDANG SAPI PERAH MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) AHMAD YANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat 3 TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler dan Enseminger (2006) pakan merupakan kontributor

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Ternak Kelinci Konsumsi daging kelinci di Indonesia dimasa mendatang diprediksikan akan meningkat. Hal tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya

Lebih terperinci

RESPON TERMOREGULASI SAPI PERAH PADA ENERGI RANSUM YANG BERBEDA. (Thermoregulation Response of Dairy Cows on Different Energy Content) ABSTRACT

RESPON TERMOREGULASI SAPI PERAH PADA ENERGI RANSUM YANG BERBEDA. (Thermoregulation Response of Dairy Cows on Different Energy Content) ABSTRACT RESPON TERMOREGULASI SAPI PERAH PADA ENERGI RANSUM YANG BERBEDA (Thermoregulation Response of Dairy Cows on Different Energy Content) Azhar Amir 1, Bagus P. Purwanto 2, dan Idat G. Permana 3 1 Puslitbang,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN UMUM

BAB V KESIMPULAN UMUM 177 BAB V KESIMPULAN UMUM Kesimpulan 1 Perilaku termal dalam bangunan percobaan menunjukan suhu pukul 07.00 WIB sebesar 24.1 o C,, pukul 13.00 WIB suhu mencapai 28.4 o C, pada pukul 18.00 WIB suhu mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk hasil peternakan yang berupa protein hewani juga semakin meningkat. Produk hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Bangsa Sapi Potong Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus), dan sapi Eropa (Bos taurus). Bangsa-bangsa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

ANALISIS SUDUT DATANG RADIASI MATAHARI PADA ATAP GELOMBANG DAN PENDUGAAN TEMPERATUR UDARA DALAM GREENHOUSE

ANALISIS SUDUT DATANG RADIASI MATAHARI PADA ATAP GELOMBANG DAN PENDUGAAN TEMPERATUR UDARA DALAM GREENHOUSE ANALISIS SUDUT DATANG RADIASI MATAHARI PADA ATAP GELOMBANG DAN PENDUGAAN TEMPERATUR UDARA DALAM GREENHOUSE MENGGUNAKAN PRINSIP PINDAH PANAS DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI Oleh : MURNIWATY F 14103131

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

PENGARUH BUKA-TUTUP KANDANG TERHADAP KENYAMANAN DAN KINERJA PRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE

PENGARUH BUKA-TUTUP KANDANG TERHADAP KENYAMANAN DAN KINERJA PRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE PENGARUH BUKA-TUTUP KANDANG TERHADAP KENYAMANAN DAN KINERJA PRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE THE EFFECTS OF OPENING AND CLOSING OF HOUSE ON THE ONGOLE CROSSBRED CATTLE S COMFORT AND PERFORMANCES Panjono*

Lebih terperinci

RESPON KONSUMSI TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERBAU YANG DIBERI KONSENTRAT DENGAN FREKUENSI YANG BERBEDA

RESPON KONSUMSI TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERBAU YANG DIBERI KONSENTRAT DENGAN FREKUENSI YANG BERBEDA RESPON KONSUMSI TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERBAU YANG DIBERI KONSENTRAT DENGAN FREKUENSI YANG BERBEDA (Feed Consumption Response to Different Concentrate Feeding Frequency of Buffalo in Relation to Enviroment)

Lebih terperinci

RESPON TERMOREG GULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKAN FRIIES HOLLAND

RESPON TERMOREG GULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKAN FRIIES HOLLAND RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKANN FRIES HOLLAND PADA ENERGI RANSUM YANG BERBEDA AZHAR AMIR SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRACT AZHAR AMIR.

Lebih terperinci

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA Tujuan Instruksional Khusus Mmahasiswa mampu melakukan perhitungan dan analisis pengkondisian udara. Cakupan dari pokok bahasan ini adalah prinsip pengkondisian udara, penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap tahunnya. Konsumsi protein

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI

IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI SeminarNasionalPeternakan dan Veteriner 1999 IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI ENDANG SULISTYOWATI Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

STUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION

STUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION STUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION Muh. Ishak Jumarang 1), Lyra Andromeda 2) dan Bintoro Siswo Nugroho 3) 1,3) Jurusan Fisika,

Lebih terperinci

Efek Waktu Pemberian Pakan dan Level Energi terhadap Cekaman Panas Berdasarkan Suhu Rektal dan Kulit Sapi Dara Fries Holland

Efek Waktu Pemberian Pakan dan Level Energi terhadap Cekaman Panas Berdasarkan Suhu Rektal dan Kulit Sapi Dara Fries Holland Efek Waktu Pemberian Pakan dan Level Energi terhadap Cekaman Panas Berdasarkan Suhu Rektal dan Kulit Sapi Dara Fries Holland Effect of Feeding Time and Energy Level on Heat Stress Based on Rectal and Skin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Ayam tipe medium atau disebut juga ayam tipe dwiguna selain sebagai ternak penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging (Suprianto,2002).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian Perubahan unsur cuaca harian yang terjadi selama penelitian berlangsung sangat fluktuatif. Hasil pengamatan rataan unsur cuaca pada bulan April dan

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA SKRIPSI DINI MAHARANI ARUM RIMADIANTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Lebih terperinci

KAJIAN TERMOREGULASI SAPI PERAH PERIODE LAKTASI DENGAN INTRODUKSI TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS PAKAN

KAJIAN TERMOREGULASI SAPI PERAH PERIODE LAKTASI DENGAN INTRODUKSI TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS PAKAN KAJIAN TERMOREGULASI SAPI PERAH PERIODE LAKTASI DENGAN INTRODUKSI TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS PAKAN (Thermoregulation in Dairy Cattle During Lactation Period by Introducing Improved Feed Quality) B.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan

Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan (The Model of Critical Temperature of Dairy Cattle on product ability and feed management ) D. Suherman, B.P.

Lebih terperinci

ARDI CAHYA KUSUMA ANGGORO

ARDI CAHYA KUSUMA ANGGORO SKRIPSI PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL-VITAMIN KOMPLEKS TERHADAP KONSUMSI NUTRIEN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN KAMBING GEMBRONG DALAM RANSUM BERBASIS HIJAUAN LOKAL ARDI CAHYA KUSUMA ANGGORO FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lingkungan Mengetahui kondisi lingkungan tempat percobaan sangat penting diketahui karena diharapkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap percobaan dapat diketahui.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN SKRIPSI NUR HAFIZAH TRISTY DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SIMULASI DISTRIBUSI SUHU UDARA PADA KANDANG SAPI PERAH MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) AHMAD YANI

ANALISIS DAN SIMULASI DISTRIBUSI SUHU UDARA PADA KANDANG SAPI PERAH MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) AHMAD YANI ANALISIS DAN SIMULASI DISTRIBUSI SUHU UDARA PADA KANDANG SAPI PERAH MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) AHMAD YANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PROGRAM EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH UNTUK TINGKAT PETERNAK DAN KOPERASI MENGGUNAKAN MICROSOFT ACCESS SKRIPSI AKRAMUZZEIN

PROGRAM EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH UNTUK TINGKAT PETERNAK DAN KOPERASI MENGGUNAKAN MICROSOFT ACCESS SKRIPSI AKRAMUZZEIN PROGRAM EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH UNTUK TINGKAT PETERNAK DAN KOPERASI MENGGUNAKAN MICROSOFT ACCESS SKRIPSI AKRAMUZZEIN PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

b?> EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN SAP1 FRIES HOLLAND PERIODE LAKTASI KE-3 DAN KE-4 DI PT. TAURUS DAIRY FARM, CICURUG, SUKABUMI

b?> EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN SAP1 FRIES HOLLAND PERIODE LAKTASI KE-3 DAN KE-4 DI PT. TAURUS DAIRY FARM, CICURUG, SUKABUMI b?> EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN SAP1 FRIES HOLLAND PERIODE LAKTASI KE-3 DAN KE-4 DI PT. TAURUS DAIRY FARM, CICURUG, SUKABUMI SKRIPSI MAROLOB HENDRO PURBA PROGRAM STUD1 NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT SKRIPSI ADI RAKHMAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT PADA PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI Oleh : 060810228 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

1. Apakah yang dimaksud dengan iklim 2. Apa sajakah pengruh iklim terhadap ternak 3. Bagaimana upaya pengelolanya

1. Apakah yang dimaksud dengan iklim 2. Apa sajakah pengruh iklim terhadap ternak 3. Bagaimana upaya pengelolanya I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iklim sangat berpengaruh terhadap hewan ternak. Beberapa ahli mempelajari pengaruh iklim terhadap objek yang spesifik, di antaranya iklim berpengaruh terhadap bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kaum Petani dengan kultur agraris khas pedesaan Indonesia bermukim di perumahan dengan bentuk bangunan yang mempunyai tata ruang dan tata letak sederhana. Hampir seluruh

Lebih terperinci

PENGARUH KOMBINASI PENGKABUTAN DAN KIPAS ANGIN TERHADAP KONDISI FISIOLOGIS SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLLAND

PENGARUH KOMBINASI PENGKABUTAN DAN KIPAS ANGIN TERHADAP KONDISI FISIOLOGIS SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLLAND PENGARUH KOMBINASI PENGKABUTAN DAN KIPAS ANGIN TERHADAP KONDISI FISIOLOGIS SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLLAND COMBINED EFFECTS OF SPRINKLER AND FAN ON PHYSIOLOGICAL CONDITIONS OF FRIESIAN HOLLAND DAIRY

Lebih terperinci

KOMPOSISI TUBUH KAMBING KACANG AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN SUMBER PROTEIN YANG BERBEDA SKRIPSI. Oleh ALEXANDER GALIH PRAKOSO

KOMPOSISI TUBUH KAMBING KACANG AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN SUMBER PROTEIN YANG BERBEDA SKRIPSI. Oleh ALEXANDER GALIH PRAKOSO KOMPOSISI TUBUH KAMBING KACANG AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN SUMBER PROTEIN YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh ALEXANDER GALIH PRAKOSO PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN QUESTION???? STRES BIOKIMIA NUTRISI PENDAHULUAN STRES : perubahan keseimbangan biologis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS SAPI MADURA JANTAN YANG MENDAPAT PAKAN DENGAN LEVEL YANG BERBEDA SKRIPSI. Oleh : MARDIYONO

RESPON FISIOLOGIS SAPI MADURA JANTAN YANG MENDAPAT PAKAN DENGAN LEVEL YANG BERBEDA SKRIPSI. Oleh : MARDIYONO RESPON FISIOLOGIS SAPI MADURA JANTAN YANG MENDAPAT PAKAN DENGAN LEVEL YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh : MARDIYONO PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) SKRIPSI TRI MULYANINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kolesterol sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi (hipertensi) dan aman

BAB I PENDAHULUAN. kolesterol sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi (hipertensi) dan aman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jamur tiram merupakan komoditas hortikultura yang kaya akan protein dan saat ini masyarakat lebih memilihnya sebagai sumber nutrisi. Siswono (2003) menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peternakan di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA Animal Agriculture Journal 5(1): 195-199, Juli 2015 On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL

Lebih terperinci

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Respon Fisiologis Sapi Perah Dara Fries Holland yang Diberi Konsentrat dengan Tingkat Energi Berbeda

Respon Fisiologis Sapi Perah Dara Fries Holland yang Diberi Konsentrat dengan Tingkat Energi Berbeda Respon Fisiologis Sapi Perah Dara Fries Holland yang Diberi Konsentrat dengan Tingkat Energi Berbeda Physiological Response of Fries Holland Dairy Heifers Fed Concentrate with Various Levels of Energy

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perancangan bangunan. Sebuah bangunan seharusnya dapat mengurangi pengaruh iklim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi pedaging memiliki

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R.

EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R. EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R. HUTABARAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci