KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

Transkripsi

1 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu jenis sapi perah yang paling banyak diperlihara di dunia untuk dimanfaatkan produksi susunya yaitu kg/laktasi. Sapi ini memiliki tingkat produksi susu yang tinggi dibandingkan sapi perah jenis lainnya dengan kadar lemak yang rendah. Bangsa sapi FH berasal dari Negara Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun Ilustrasi 1. Sapi perah Fries Holland betina Ciri khas dari sapi jenis ini adalah : - Warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih. - Bulu pada bagian ujung ekor berwarna putih dan pada bagian muka terdapat segitiga berwarna putih.

2 8 - Bagian bawah Carpus (bawah kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus kebawah. - Bentuk tanduk pendek dan menjurus ke depan. - Sifat sapi betina tenang dan jinak sedangkan pada jantan agak liar dan ganas. - Tidak tahan panas, tetapi dapat menyesuaikan diri pada lingkungan sekitarnya. - Berat badan sapi betina 625 kg dan jantan kg. - Ambing besar dan kepala panjang sempit. - Sapi betina lambat masak (late maturity). - Produksi susu rata rata di Negara asalnya Belanda yaitu liter/laktasi dengan persentase kadar lemak rata rata 3,5 %. 2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi susu Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, serta interaksi antara keduanya. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi performan produksi susu sapi perah dan kenyataannya faktor-faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman (Anggraeni, 1995; Indrijani, 2001). Menurut Sudono, dkk., (2003) faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu sapi perah adalah bangsa sapi, lama bunting, masa kering, siklus estrus, umur sapi, calving interval, frekuensi pemerahan, manajemen pemberian pakan, lingkungan mikro. Kemampuan sapi perah akan meningkat sampai umur 6-8 tahun dan kemudian kemampuannya akan menurun sejalan dengan kenaikan umur (Widodo dan Hakim, 1981). Pemberian pakan yang tidak sesuai akan berpengaruh dan membatasi sekresi susu. Sapi perah membutuhkan nutrisi dalam pakan untuk memenuhi

3 9 kebutuhan pokok, pertumbuhan dan produksi susu. Calving interval yang ideal adalah antara 12- bulan, jika kurang dari 12 bulan maka akan mengakibatkan produksi menurun sebesar 3,7-9% dan apabila lebih dari bulan produksi akan meningkat 3% namun akan menimbulkan kerugian secara ekonomis (Makin, 2011) Manajemen Pemerahan Sapi Perah Pemerahan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi susu. Pemerahan terbagi atas tiga bagian yang terdiri dari persiapan, pemerahan dan penanganan hasil pemerahan. Penggunaan peralatan untuk pemerahan harus bersih dan tidak mengkontaminasi susu yang akan ditampung. Teknik pemerahan yang dilakukan di Indonesia sebagian besar masih manual yaitu menggunakan tangan. Sebelum diperah sapi sebaiknya dibersihkan dari kotoran agar tidak mengkontaminasi susu, selain itu petugas juga harus bersih dan kuku jari tidak boleh terlalu panjang karena akan melukai puting dari sapi (Balai Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2009). Sebelum diperah ambing dibersihkan dengan air hangat dengan suhu o C agar rangsangan ini dapat diterima syaraf penerima dan diteruskan ke syaraf yang terdapat ditulang punggung hingga sampai ke otak untuk melepaskan hormone oksitosin. Pemerahan sebaiknya dilakukan dengan waktu 6-8 menit (Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan Unpad, 2007) Manajemen Pemberian Pakan Sapi yang berproduksi membutuhkan tambahan zat makanan untuk pertumbuhan dan produksi. Zat zat makanan yang dibutuhkan sapi perah adalah air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Kekurangan energi dalam

4 ransum akan menyebabkan penurunan produksi susu dan kehilangan berat badan, sedangkan kekurangan protein akan menyebabkan produksi susu menurun, kehilangan protein tubuh dan mengurangi kondisi tumbuh (Makin, 2011). Menurut Lubis (1963), sapi perah membutuhkan bahan kering sebesar 2-4% dari bobot tubuh dan untuk sapi yang sedang dikering kandang dan sedang tidak bunting sebesar 2%. Pakan utama untuk sapi perah adalah hijauan berupa rumput, hijauan yang sering diberikan adalah rumput raja dan gajah dengan kandungan serat kasar >18% (Esminger, 1992), serta tambahan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan dengan kandungan harus memenuhi standar baku seperti minimal >16% PK, dan 67% TDN, maksimal kadar air 12%, lemak kasar 6%, serat kasar 11%, abu %, dan kandungan kalsium (Ca) = 0,9-1,2% ; Fosfor (P) = % (Pusat Balai Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2009). Tabel.1 Persyaratan Teknis Minimal Pakan Konsentrat Sapi Perah Jenis dan Status fisiologis max..min....max. Laktasi Prod. Tinggi Kering Milk Replacer Calf Starter Dara (Heifer) Kandungan (%) Air TDN Protein Lemak NDF Abu Ca P Sumber : Kuswandi, dkk., (2005) ,8-1,0 1,0-2,0 0,7-0,9 0,4-0,6 0,4-0,6 0,5-0,7 Pemberian pakan hijauan dan konsentrat harus sesuai dengan rasio yaitu sebesar 60:40 Hijauan yang diberikan kepada sapi laktasi sebesar 40% dari total kebutuhan BK ransum atau sekitar 1,5% dari bobot tubuh (Suryahadi, dkk., 1997). Peningkatan frekuensi pemberian pakan dapat meningkatkan kemampuan produksi susu sapi perah (Siregar dkk., 1994) Penelitian yang telah dilakukan pada sapi perah yang sedang berproduksi susu menunjukan bahwa frekuensi

5 11 pemberian pakan yang lebih dari dua kali dalam satu hari akan meningkatkan konsumsi BK pakan, kadar lemak susu dan produksi susu (Campbell, 1961). Kemudian penelitian yang dilakukan pada sapi sapi di Denmark menunjukan bahwa frekuensi pemberian pakan empat kali dalam sehari ternyata mampu meningkatkan kemampuan berproduksi sampai 54,8 % (Mc. Cullough, 1973) Pengaruh Lingkungan Mikro Pengaruh lingkungan sangat berperan penting dalam proses produksi susu sapi perah, bangsa sapi FH merupakan sapi yang berasal dari daerah sub-tropis. Temperatur lingkungan optimal yaitu o C (50 o F). Produksi susu menurun bila temperature lebih dari 26,6 o C (80 o F) pada Holstein, 29,4 o C (80 o F) pada Jersey, 32,2 35 o C (90-95 o F) pada Brahman (Makin, 2011). Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH) yang didatangkan dari negara negara beriklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu thermonetral rendah (13 25 o C). Berdasarkan kondisi asalnya, sapi perah sangat peka terhadap perubahan suhu tinggi. Apabila sapi FH di tempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi, maka sapi sapi tersebut akan mengalami cekaman panas terus menerus yang berakibat pada menurunya produktivitas sapi FH (Yani dan Purwanto, 2006). 2.3 Interval Pemerahan Umumnya pemerahan di Indonesia dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari tetapi juga dapat diperah hingga 3-4 kali. Semakin banyak jumlah pemerahan yang dilakukan akan meningkatkan jumlah produksi susu sebesar 17 26% (Makin, 2011). Pemerahan yang dilakukan lebih

6 12 dari 2 kali jarang digunakan oleh perusahan-perusahaan besar dikarenakan akan menambah biaya operasional. Pengaruh lamanya selang pemerahan terhadap volume susu yang dihasilkan secara luas dipengaruhi oleh sifat sifat dari sapi itu sendiri seperti kapasitas ambing, tingkat laktasi dan jumlah atau kempuan produksinya. Sisa susu akan lebih banyak pada selang waktu pemerahan yang lebih lama daripada yang lebih pendek dan akan konstan pada selang pemerahan 12 jam. Hasil penelitian menunjukan adanya sedikit perbedaan (1,3%) dalam jumlah susu antara selang pemerahan 12:12 jam dengan 16:8 jam tetapi tidak memperlihatkan perbedaan dengan selang pemerahan : jam (Soeharsono, 2008). 2.4 Produksi Susu Bulanan dan Produksi Susu 305 hari Rata rata produksi susu sapi perah FH sebesar kg/laktasi (Sudono, 2003 dan Talib, 2006). Pencatatan produksi susu dapat dilakukan setiap hari karena dapat menggambarkan secara langsung produksi selama satu laktasi dengan disesuaikan kearah pencatatan 305 hari. Penggunaan catatan harian memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit sehingga dibutuhkan pencatatan yang lebih sederhana. Pencatatan produksi susu juga dapat dilakukan dalam satu bulan (Monthly record), pencatatan dalam satu bulan banyak digunakan di perusahan besar karena dapat menghemat biaya. Di Indonesia, penelitian yang telah dilakukan mengenai nilai pemuliaan produksi susu yang menggunakan catatan bulanan kumulatif dengan produksi total 305 hari nilai korelasi akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya catatan produksi yang digunakan (Hilmia, 2005). Penggunaan catatan bulanan kumulatif dapat digunakan untuk menduga produksi susu selama 305 hari, yaitu dengan melihat nilai korelasi dari beberapa fungsi pencatatan bulanan dengan

7 13 produksi total bahwa kemajuan genetik dengan seleksi berdasarkan fungsi tersebut, sama cepatnya dengan seleksi berdasarkan produksi total (Van Vleck dan Henderson, 1961a). Nilai korelasi antara gabungan catatan laktasi sebagian dengan produksi total untuk produksi susu dan lemak adalan lebih dari 0,9 (Hilmia, 2005). Hasil penelitian Singh dan Acharya (1969) yang dikutip oleh Hilmia (2005), menyebutkan bahwa yang menduga korelasi genetik produksi kumulatif bulanan dengan produksi 305 hari dengan metoda korelasi antara saudara tiri menunjukan korelasi semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah catatan yang digunakan, dan korelasi tertinggi pada produksi kumulatif 7 bulan pertama, selanjutnya dengan menggunakan metoda regresi anak betina antar pejantan, korelasi produksi bulanan kumulatif tertinggi adalah catatan kumulatif Sembilan. Demikian juga dengan penelitian Tandon dan Harvey (1984), Korelasi genetik yang semakin tinggi dengan meningkatnya jumlah catatan yang digunakan, korelasi catatan 150 hari, 200 hari dan 250 hari dengan 305 hari masing masing sebesar 0,96; 0,98 dan 0,98. Stadarisasi lama laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa seekor sapi perah paling optimal dapat melahirkan satu kali dalam satu tahun dengan selang kelahiran 12 bulan dan lama kering kandang 6-8 minggu. Umur dewasa dicapai pada umur bulan dan pada umur ini seekor sapi perah diharapkan telah mencapai produksi optimalnya (Hardjosubroto, 1994). Hasil perhitungan pendugaan produksi susu total selama satu laktasi, perlu distandarisasi dengan menggunakan faktor koreksi kearah lama laktasi 305 hari, umur dewasa dan pemerahan dua kali dalam sehari.

8 2.5 Masa Laktasi Produksi seekor sapi perah dipengaruhi oleh lingkungan, genetik serta interaksi antara genetik dan lingkungan. Rata rata produksi air susu 70-80% dipengaruhi lingkungan dan 20-30% genetik. Laktasi pertama merupakan hal terpenting, dari sejumlah penelitian yang ada bahwa sapi yang berproduksi tinggi diawal masa laktasi akan cenderung akan memiliki masa produksi lebih panjang dan total produksi yang lebih tinggi (Makin, 2011). Masa laktasi seekor sapi sedang menghasilkan susu yang optimum adalah selama bulan atau 305 hari dengan masa kering 60 hari (Bakley dan Bade, 1991). Panjang masa laktasi ditentukan lamanya Sercive periode yang mengakibatkan calving interval menjadi lebih panjang. Calving interval yang teratur adalah perangsang utama agar tingkat produksi susu tetap tinggi. 2.6 Faktor Koreksi Produksi Susu Panjang laktasi setiap individu ternak akan berbeda sehingga menyebabkan adanya variasi lama laktasi yaitu kurang dari 305 dan lebih dari 305 hari, sehingga dibutuhkannya standarisasi 305 hari dengan menggunakan faktor koreksi diantaranya adalah koreksi berdasarkan lama laktasi 305 hari, jumlah pemerahan 2 kali/hari dan umur setara dewasa Mature Equivalent (ME). Faktor koreksi musim saat sapi melahirkan juga mempengaruhi produksi susu, namun di Indonesia faktor tersebut jarang digunakan karena hanya ada dua musim saja selama satu tahun (Hardjosubroto,1994). Menurut Lewis et al (1989) dan Subandrio, (1990) yang dikutip oleh Anggraeni (2003), kedua macam faktor secara efektif menyetarakan rataan, akan tetapi FK perkalian merubah ragam dengan proporsi kuadrat dari faktor,

9 15 sebaliknya FK penambahan tidak merubah ragam. Sementara itu nilai FK sangat bergantung pada besarnya pengaruh lingkungan internal dan fisiologis ternak yang mempengaruhi performans produksi, tingkat akurasi penaksiran, banyaknya data yang tersedia dan informasi pendukung lainnya (genetik dan lingkungan).