Ruang Lingkup Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ruang Lingkup Penelitian"

Transkripsi

1 4 3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan untuk pengembangan peningkatan produksinya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda. 2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda. 3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya. 2 TINJAUAN PUSTAKA Lingkungan Sapi Perah Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi, sedangkan di daerah tropis sekitar kg per laktasi. Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan. Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi

2 produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan produksi (Esmay 1986). Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0 0 C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey adalah C, Brown Swiss adalah C, dan Brahman adalah 38 0 C (Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0 C, Brown Swiss dan Jerseys adalah C, dan untuk Brahman adalah 32 0 C. Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal bagi sapi perah Eropa berkisar antara C, sehingga sapi perah dapat berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0 C. Selengkapnya pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel 1 Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH ( 0 C) Peneliti Suhu ideal Suhu kritis Schmidt (1972) McDowell (1972) Sutardi (1981) Yousef (1985) Sudono (2003) Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu sekitar C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai C (Sudono et al. 2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari permukaan laut. 5 Produksi Panas Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat). Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang. Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu

3 6 nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui feses dan urin (McDowell 1972). Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan. Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 o C dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schutz et al. 2008). Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5 o C dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005). Bangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan panas dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan panas dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas konduksi terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan keluar bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah. Perpindahan panas

4 dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999). Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya. Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap, pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya. Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH, tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya, bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986). Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban, konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson dan Walker 1983). Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi maupun konduksi (Wathes dan Charles 1994), mengakibatkan adanya distribusi suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi besarnya radiasi matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Pindah panas pada bahan bangunan kandang dipengaruhi konduktivitas bahan, tebal bahan dan 7

5 8 waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin, waktu dan luasan daerah konveksi. Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang. Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid dynamics atau CFD (Versteeg dan Malalasekera 1995). Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu, kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban (Esmay 1986). Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan temperatur di luar dan di dalam kandang. Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura 1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan, karena dipengaruhi temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah dikendalikan. Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan tekanan pada lokasi berbeda menghasilkan distribusi tekanan pada bangunan. Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi dari koefisien tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan terjadi aliran udara masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari bangunan (outflow). Efek turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi secara kontinyu menghasilkan fluktuasi tekanan. Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar kandang (Bockett dan Albright 1987). Konveksi panas dari atap dan material penyusun kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan menurunkan kerapatan udara dalam kandang sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan udara di dalam dan di

6 luar kandang yang pada akhirnya terjadi aliran udara keluar masuk kandang melalui bukaan. Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada bukaan kandang yang tidak terjadi aliran udara, karena tekanan udara di dalam dan di luar kandang besarnya sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral. Posisi bidang tekanan netral memberikan gambaran bukaan yang berfungsi sebagai saluran masuk dan saluran keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang tekanan netral, tekanan udara luar lebih tinggi daripada tekanan udara di dalam kandang sehingga terjadi aliran udara masuk ke dalam kandang. Pada bagian di atas bidang tekanan netral, tekanan udara di dalam lebih tinggi dari tekanan udara di luar, sehingga terjadi aliran udara keluar (Brockett dan Albright 1987). Daya tahan panas (heat tolerance) ternak sebagai manifestasi adaptasi, merupakan kemampuan tubuh ternak untuk mempertahankan diri dari serangan panas tanpa menderita akibat dari pengaruh tidak menguntungkan (Soeharsono 2008). Prinsip dasar pengukuran daya tahan panas seekor ternak ialah tingkat perubahan suhu tubuh ternak tersebut, sebab pada umumnya perubahan-perubahan fungsi fisiologis organ lainnya hanya usaha tubuh agar suhu tubuh tidak terus naik. Ternak yang mudah naik suhu tubuhnya akibat meningkatnya suhu lingkungan, dikatakan bahwa ternak tersebut rendah daya tahan panasnya. Salah satu cara digunakan untuk mengukur toleransi panas, dengan melihat tinggi rendahnya reaksi organ yang dianggap paling mudah berubah, akibat perubahan suhu lingkungan, yaitu organ pernapasan dan pengaturan suhu tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan panas seekor ternak, yaitu bangsa, jenis kelamin, dan kondisi tubuh ternak. Sapi potong mempunyai daya tahan panas lebih tinggi daripada sapi perah. Ternak yang mempunyai volume tubuh lebih besar lebih rendah daya tahan panasnya dibanding dengan yang kurus (Soeharsono 2008). Hal ini erat kaitannya dengan luas permukaan tubuh ternak tersebut, yang menunjukkan bahwa semakin kecil ternak maka luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar, sehingga lebih banyak panas yang diradiasikan dari dalam tubuh. Begitu juga ternak muda lebih rendah daya tahan panasnya daripada ternak tua (Soeharsono 2008). Hal tersebut disebabkan organ berkaitan dengan pembuangan panas pada ternak dewasa sudah lebih berkembang fungsinya daripada organ-organ tubuh ternak muda. Pengukuran daya tahan panas seekor ternak dapat digunakan dua cara, yaitu (1) metode Iberia dengan menggunakan parameter suhu tubuh dan diukur dalam 0 F, (2) metode Benezra dengan parameter suhu tubuh ( 0 C) dan frekuensi pernapasan. Rumus yang digunakan Benezra atau dikenal dengan Benezra Coefficient (BC) sebagai berikut: 9 BC = Benezra Coefficient RT = Rectal Temperature NR = Number of Respiratory Rate 38,33 = Temperatur normal sapi (standard temperature) 23 = Frekuensi pernapasan normal (standar respiratory rate) Selanjutnya Soeharsono (2008) menggantinya dengan IA yakni singkatan dari Indeks of Adaptability. Dengan demikian rumus tersebut menjadi

7 10 RT1 = suhu tubuh siang hari RT 0 = suhu tubuh pagi hari NR1 = frekuensi pernapasan siang hari NR0 = frekuensi pernapasan pagi hari Menurut perhitungan dengan cara tersebut, toleransi panas optimal, bila nilai IA = 2. Semakin tinggi nilai IA, semakin rendah toleransi panas ternak. Suhu dan Kelembaban Udara Faktor-faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi (Rahardja 2007). Suhu lingkungan naik sampai 27 o C, bagi sapi FH sedang laktasi mengebabkan produksi susu menurun. Penurunan produksi tersebut disebabkan rendahnya napsu makan. Dengan adanya pemanasan global di masa sekarang sangat mempengaruhi naik dan turunnya produksi susu secara drastis, sehingga dapat merugikan peternak. Sapi perah berada pada suhu lingkungan tergolong tinggi dan diberikan pakan, maka berusaha meningkatkan pengeluaran panas serta efek kalorigenik pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas, yang akhirnya dapat menurunkan produksi susu. Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah FH serta PFH pada suhu lingkungan naik di atas normal, yaitu lebih dari 30 0 C, termasuk lingkungan suhu kritis. Suhu tinggi memaksa sapi tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang, sehinga produksi susu menurun (Rahardja 2007). Stress panas terjadi apabila suhu lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas zona termonetral. Pada kondisi tersebut, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Efek stress panas akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan masa laktasi pada sapi perah, serta termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu, dan komposisi susu (Bond dan McDowell 2008). Kelembaban merupakan jumlah air dalam udara. Fungsi kelembaban udara sangat penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Lebih lanjut bahwa kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas serta akhirnya dapat mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje 2003). Kemampuan berproduksi sapi perah FH menurut beberapa penelitian menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur lingkungan. Seperti halnya penelitian pengaruh stress panas terhadap konsumsi bahan kering, produksi susu, dan konsumsi air yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.

8 Suhu efektif adalah suhu dimanfaatkan ternak untuk kehidupannya yang dipengaruhi suhu dan kelembaban udara (Rh), radiasi matahari dan kecepatan angin (West 1994). Suhu efektif dapat memperlihatkan tingkat kenyamanan dan stress bagi sapi perah. Hubungan suhu efektif dengan paremeter iklim mikro ditunjukkan pada beberapa persamaan berikut (Yamamoto 1983): (1) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan bola kering, (2) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu tubuh sapi) dan kecepatan angin, (3) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu pernafasan) dan kecepatan angin, (4) hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering dan radiasi matahari, (5) hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan suhu udara lingkungan. Tabel 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan Temperatur ( o C) Perkiraan Konsumsi dan produksi Bahan kering (lb) Produksi Susu (lb) Air (Galon) Sumber : Pennington dan VanDevender (2004) Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1986). McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa berkisar o C (McDowell 1972); 4 25 o C (Yousef 1985), 5 25 o C (Jones dan Stallings 1999). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum dengan maksimum (Gambar 1). Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi tingkat stres sapi perah. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72. Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72 THI 79), stres sedang (80 THI 89) dan stres berat ( 90 THI 97) (Wierema 1990). Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH. Denyut jantung sapi FH sehat pada daerah nyaman (suhu tubuh 38,6 o C) adalah kali/menit dengan frekuensi pernafasan kali/menit (Ensminger 1971). Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung, merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas diterima ke dalam organ-organ lebih dingin (Anderson 1983). 11

9 12 Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro Pemecahan masalah untuk mengatasi suhu lingkungan tinggi dengan cara menurunkan suhu udara di sekitar sapi perah, melalui modifikasi lingkungan mikro dalam kandang. Hal ini bisa ditempuh dengan cara pemberian naungan, pemilihan bahan atap, tinggi atap, alas bahan lantai, pendingin udara (air condioning), pendinginan melalui penguapan (evaporative cooling), dan kipas angin (electric fan). Upaya menggunakan pendinginan tersebut sudah pasti memerlukan tambahan biaya tidak sedikit, maka untuk peternakan sapi perah rakyat di Indonesia belum bisa dilaksanakan (Sudono et al. 2003). Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara secara ekstensif pada kondisi suhu lingkungan panas adalah karena intensitas matahari yang tinggi (McDOwell 1972; Mount 1979). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku ternak, merumput dilakukan malam hari dan siang harinya lebih banyak digunakan untuk berteduh (Ingram dan Dauncey 1985). Pengaruh intensitas matahari yang tinggi juga terjadi pada pemeliharaan ternak secara intensif, karena pengaruh panas radiasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang (Esmay 1986; Hahn 1985). Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi digembalakan (Gebremedhin 1985). Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan menggunakan naungan, untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran (Roman-Ponce et al. 1977; Esmay 1986) atau kombinasi naungan dengan sistem pendinginan lain (Armstrong 1997; Igono et al. 1987). Berdasarkan hal tersebutr Yamamoto et el. (1994) menekankan pentingnya pengetahuan tentang peranan naungan dalam termoregulasi sapi perah di daerah berudara panas dalam manajemen sapi perah. Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung dari sinar matahari dalam pembuatan kandang sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang mampu memantulkan dan menyerap radiasi langsung, sehingga dapat mengurangi penghantaran panas ke dalam kandang. Semua bahan akan memantulkan, meneruskan dan menyerap radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang dengan proporsi berbeda-beda, tergantung pada jenis bahan. Perbedaan ini disebabkan berbedanya suhu absolut bahan, sifat fisik dan kimiawi bahan serta daya hantar energi panas (bahang) dan panjang gelombang radiasi matahari (Charles 1981). Hahn (1985) menyatakan bahwa bahan atap rumput kering atau jerami paling efektif menahan radiasi matahari yang terpancar langsung, sedangkan bahan padat kurang efektif kecuali kalau dicat putih. Demikian pula, bahan atap dari bilah-bilah kayu yang disusun tidak rapat kurang efektif untuk menahan radiasi matahari. Radiasi matahari yang diabsorbsi bahan akan diubah menjadi bahang, kemudian dihantar ke bagian lebih dingin atau dipancarkan kembali sebagai radiasi gelombang panjang. Kemampuan menghantar bahang (konduktivitas) masing-masing bahan dari terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah asbes, beton, baja, seng, dan alumunium (Charles 1981). Bahan tipis seperti kebanyakan logam mempunyai koefisienan konduksi yang besar, sehingga suhu di atas dan di bawah bahan hampir sama (Esmay 1978). Hasil penelitian Santoso (1996)

10 memperlihatkan bahwa lingkungan mikro di dalam kandang beratap rumbia dengan ketinggian 2 meter paling nyaman dibandingkan dengan lingkungan mikro di dalam kandang dengan atap ketinggian 2 meter, serta kandang dengan atap rumbia dan genteng ketinggian 3 meter pada siang hari. Konduktivitas bahang bahan dipengaruhi jenis dan ketebalan bahan (Whates 1981). Semakin tinggi suhu di bagian bawah bahan atap, semakin tinggi pula suhu di dalam kandang. Hal ini disebabkan penyebaran bahang lebih cepat pada bahan tersebut, baik secara konduksi, konveksi maupun radiasi. Kandang beratap rumbia dan genteng ketinggian 2 meter menyebabkan respon termoregulasi sapi-sapi di dalamnya lebih rendah, pertambahan bobot badan serta efisiensi pakan lebih tinggi dibanding dengan sapi-sapi yang tidak di dalam kandang beratap rumbia dan genteng 3 meter (Santoso 1996). Berkaitan dengan hantaran bahang dan konduksi, yang perlu diperhatikan adalah konduktivitas dan kapasitas bahang tersebut. Perbandingan antara konduktivitas dan kapasitas bahang merupakan daya difusivitas bahan yang mencerminkan kemampuan bahan untuk melakukan difusi bahang ke lingkungan sekitarnya (Mount 1979). Whates (1981) menyatakan kapasitas bahang dari bahan tergantung pada kadar air bahan. Makin tinggi kadar air bahan, kapasitas bahangnya makin tinggi. Santoso (1996) melaporkan bahwa tidak terjadi perbedaan respon termoregulasi, konsumsi pakan, dan air minum dalam kandang beratap rumbia dengan genteng pada ketinggian atap sama. Selain memilih bahan atap berkonduktivitas rendah, usaha lain yang ditempuh untuk memanipulasi lingkungan mikro di dalam kandang adalah dengan memperbesar ukuran kandang. Salah satu caranya adalah dengan meninggikan atap kandang, sehingga volume udara dan aliran udara masuk ke dalam kandang lebih besar dan pergantian udara lebih cepat (Carpenter 1981). Pengaruh ditimbulkan dari keadaan tersebut adalah terjadinya penurunan suhu di dalam kandang. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa cekaman panas di dalam kandang berkurang, di samping itu terjadi pelepasan panas dari tubuh ternak melalui kulit (sweating) berjalan lebih baik. Daerah-daerah yang cerah dengan sinar matahari penuh, tinggi atap kandang sebaiknya antara 3.6 dan 4.2 m dan untuk daerah berawan, ketinggian atap kandang antara 2,1 dan 2,7 m lebih efektif membatasi difusi radiasi matahari yang diterima ternak di dalam kandang (Hahn 1985). Ketinggian atap antara 2 dan 3 m untuk daerah tropis basah dan antara 4 dan 5 m untuk daerah beriklim panas kering (McDowell 1972), antara 3 dan 4 m untuk daerah semi arid (Wiersma et al. 1984; Marai dan Forbes 1989). Sastry dan Thomas (1980) menyarankan pengaturan ketinggian atap kandang sapi perah untuk daerah panas dengan curah hujan sedang sampai curah hujan tinggi adalah 175 cm, yang diukur dari sisi atap terendah ke lantai. 13 Respon Fisiologis Semua ternak termasuk homoitherm, dalam keadaan sehat mempunyai suhu tubuh praktis konstan. Untuk pengaturan suhu tubuh, terdapat pusat pengatur suhu yang terletak di bagian anterior hipotalamus, yakni di daerah supraoptik dan preoptik yang mudah dirangsang bila suhu tubuh naik. Begitu juga, pusat

11 14 pengaturan suhu di daerah posterior hipotalamus sangat mudah dirangsang, apabila suhu tubuh menurun. Kedua pusat yang masing-masing terletak di hipotalamus anterior dan posterior ini merupakan pusat suhu yang berlawanan, artinya bila satu aktif maka lainnya dengan sendirinya menjadi pasif. Pengaturan suhu tubuh bergantung pada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas ke lingkungan. Hensel (1981) mengemukakan bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya terjadi bila ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Alfarez-Rodriguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas secara evaporasi dengan panting dan sweting. Evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba, dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi (Schutz et al. 2008). Pada saat istirahat, ternak lebih toleransi pada suhu tinggi. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Pada ternak lebih aktif, maka lebih banyak energi dikeluarkan untuk aktivitasnya dan faktor ekstrinsik berupa temperatur yang paling besar mempengaruhi metabolisme (Tyler dan Enseminger 2006). Homeotermi adalah hasil dari keseimbangan antara produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2), serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi panas yaitu ukuran tubuh, spesies dan bangsa, lingkungan, pakan, dan air. Dipengaruhi oleh: Luas permukaan tubuh Penutup tubuh Pertukaran air Aliran darah Lingkungan : Suhu Kecepatan angin Kelembaban Dipengaruhi oleh: Hormon kalorigenik Produksi : susu daging wool aktivitas otot kebutuhan pokok Sumber : Makanan Cadangan tubuh Permentasi rumen/sekum Lingkungan Sensible Radiasi Konveksi Konduksi Non sensibel Evaporasi Evaporasi -respirasi -kulit Pelepasan panas Pelepasan panas Hipotermia Hipertermia Normal Suhu tubuh, 0 C Gambar 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas

12 Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas. Pengukuran suhu tubuh sapi pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Temperatur rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, frekuensi respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar (Weeth et al. 2008). Suhu tubuh diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada ternak, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan suhu tubuh. Suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar C (Kelly 1984). Pelepasan panas dari tubuh akan tergantung pada sistem pengendalian panas tubuh sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan faktor iklim sekitarnya. Kisaran suhu lingkungan pada kondisi tropis, umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran suhu lingkungan yang serasi bagi ternak. Kenaikan suhu lingkungan akan diikuti oleh peningkatan suhu tubuh, yang akan menyebabkan terganggunya keseimbangan panas tubuh (Sudarmoyo 1988). Perubahanperubahan fisiologis pada tubuh sapi FH yang menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 3. Pengaruh cekaman panas terhadap respon fisiologis sapi perah sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung. Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan sapi FH Parameter Sumber Suhu lingkungan 15 Suhu rektal ( o C) 1 2 Denyut jantung (kali per menit) 1 2 Netral Cekaman Pernapasan (kali per menit) Sumber : 1) Kibler (1962). Sapi FH dengan suhu netral 21.6 o C dan suhu cekaman 32.2 o C. 2) Purwanto (1993a). Sapi FH dengan suhu netral 15 o C dan suhu cekaman 30 o C. Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat mengatur kelembaban dan suhu udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak kali/menit. Mekanisme respirasi dikontrol

13 16 oleh medulla yang sensitif terhadap CO 2 pada tekanan darah. Jika tekanan darah meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, suhu lingkungan dan kelembaban relatif tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984). Respon pernafasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi perah untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak. Frekuensi pernafasan dan denyut jantung akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu lingkungan. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin, sedangkan pernafasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang panas atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Apabila kedua respons tersebut tidak berhasil menghilangkan atau mengurangi tambahan panas dari luar tubuh, maka akan berakibat terhadap peningkatan suhu organ tubuh (Anderson 1983). Selain itu, mekanisme pengurangan beban panas terutama ditempuh melalui permukaan tubuh dengan cara pengeluaran keringat dan sebagian lagi melalui pengeluaran urin (Tabel 4). Roman-Ponce et al. (1982) mengemukakan bahwa sapi perah yang ditempatkan pada kandang sebagai pelindung dari sengatan matahari pada suhu lingkungan 28.4 o C menghasilkan suhu tubuh 38.9 o C, dan sapi-sapi tanpa kandang pelindung pada suhu lingkungan 36.7 o C diperoleh suhu tubuh 39.4 o C. Wolfenson et al. (1988) mengemukakan bahwa pendinginan tubuh dengan pembasahan dan hembusan angin terhadap sapi perah Israel-Holstein pada musim panas pada suhu lingkungan 31 o C, suhu tubuhnya meningkat 0.2 o C, dari suhu tubuh 38.7 o C menjadi 38.9 o C. Sapi-sapi tanpa perlakuan pendinginan, suhu tubuhnya meningkat 0.5 o C, dari suhu tubuh 38.7 o C menjadi 39.2 o C. Tabel 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda Parameter Suhu 18 o C 30 o C Konsumsi minum (kg/hari) Volume urine (kg/hr) Evaporasi melalui (g m -2 hari -1 ) a. permukaan tubuh b. respirasi Sumber : McDowell (1972) Upaya untuk mengatasi cekaman panas pada sapi perah, di antaranya melalui perbaikan sistem perkandangan dan pendinginan tubuh. Gomila et al. (1976) menjelaskan bahwa rataan frekuensi pernafasan sapi Fries Holland dan Guernsey yang mendapatkan perlakuan pendinginan tubuh pada suhu lingkungan

14 o C adalah 64.7 kali per menit, sedangkan pada sapi tanpa pendinginan tubuh adalah 76.5 kali per menit. Jantung merupakan struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut, dan siklusnya adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung pada ternak normal, yaitu spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, ransangan, tahap laktasi, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Denyut jantung normal pada sapi dewasa kali/menit dan pada pedet kali/menit. Perubahan dalam kardiovaskular terjadi hampir pada setiap perubahan kondisi lingkungan sekitar ternak (Soeharsono 2008). Bila thermostat yang terdapat pada hipothalamus posterior didinginkan, maka akan timbul vasokontriksi di seluruh tubuh. Terjadinya vasokontriksi ini ternyata mencegah sistem radiator dalam pengeluaran panas. Secara umum, kerja dari pusat panas ini, apabila keadaan cuaca dingin, mula-mula thermoreceptor yang terdapat dalam sistem di permukaan tubuh menderita terlebih dahulu. Dalam hal ini, darah yang terdapat di periferi menerima rangsangan tersebut dan membawanya ke seluruh tubuh. Suhu yang disebarkan tersebut sampai di pusat pengaturan suhu. Pusat ini sangat sensitif terhadap setiap perubahan suhu darah. Sewaktu suhu darah menurun, terjadi suatu reaksi tertahan, sehingga semua pembuluh darah di periferi mengecil karena kerja hormon. Reaksi kardiovaskuler terhadap perubahan suhu lingkungan terjadi adanya penyempitan (kontriksi) dan pembesaran (dilatasi) pembuluh darah. Hal ini terjadi sebagai manifestasi kerja pusat pengatur suhu yang terletak di dalam hipotalamus (Soeharsono 2008). Denyut nadi merupakan manifestasi denyut jantung, yang secara normal keduanya mempunyai ritme yang bersamaan. Denyut nadi meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan, tetapi ada pula denyut nadi yang menurun dengan meningkatnya suhu lingkungan. Soeharsono (2008) mengemukakan dari hasil penelitiannya pada sapi perah Fries Holland, bahwa pada suhu lingkungan 28.3 o C, frekuensi denyut nadi 72.3 kali per menit dan pada suhu lingkungan 30.2 o C naik menjadi 76.6 kali per menit. Seath dan Miller (2008), perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap denyut jantung, dengan nilai korelasi kurang dari Manajemen Pakan Manajemen pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Pemberian pakan pada sapi perah hendaknya memperhatikan dua hal, yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Pada sapi dara, pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan berat badan (PBB). Manajemen pemberian pakan kepada ternak, terutama berdasarkan waktu dan jumlah pemberian pakan, dan kualitas pakan. Tiga hal tersebut, perlu diperhatikan mengenai jumlah dan kualitas pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar, dan energi (TDN), karena komposisi tersebut berperan penting untuk kelangsungan hidup dan produksi sapi dara.

15 18 Pemberian pakan pada sapi perah yang ideal ditinjau dari segi respon fisiologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Pakan yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai produksi tinggi. Begitu juga, bila sapi perah hanya diberikan konsentrat, produksi akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan terjadinya gangguan pencernaan. Pemberian pakan hijauan dan konsentrat pada sapi perah merupakan makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar pemberian pakan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum dapat memenuhi zat-zat makanan dibutuhkan sapi perah. Dalam formulasi ransum, kebutuhan air tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang laktasi, harus selalu cukup tersedia (Siregar 1992). Berkenaan hubungan antara waktu, jumlah, dan konsumsi pakan dengan faktor iklim terutama suhu lingkungan perlu diperhatikan. Purwanto et al. (1993) mengemukakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan air minum (water intake), efisiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air sumber makanan di wilayah tersebut. Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak, baik berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Albright (1992) mengemukakan bahwa palatabilitas memiliki pengaruh besar terhadap konsumsi pakan pada ruminansia dan sensor terhadap rasa sangat berkembang pada ternak sapi. Chiy dan Philips (1999) melaporkan hasil penelitian, konsentrat yang manis, dengan kadar karbohidrat larut air yang sama (198g/kg bk), dikonsumsi ternak lebih cepat dibanding konsentrat yang asin dan pahit tanpa bahan aditif lain. Fungsi fisiologis daripada pakan adalah menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaharui jaringan tubuh aus terpakai, mengatur kelestarian proses-proses dalam tubuh dan kondisi lingkungan dalam tubuh, dan menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses dalam tubuh. Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Sapi dara sedang tumbuh memerlukan ekstra energi untuk jaringan tubuhnya selama pertumbuhan dari anak hingga menjadi ternak dewasa (Etgen 1987; Lawrence dan Fowler 2002). Kandungan pakan dapat berfungsi baik bagi tubuh sebagai sumber energi adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Bahan-bahan pakan tersebut memiliki karakter nutrisi dan efek berbeda-beda terhadap kondisi fisiologis ternak. Makanan berserat menghasilkan panas paling tinggi dalam proses pencernaannya, selanjutnya diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul lemak. Lemak memiliki kadar energi paling tinggi, akan tetapi lemak menghasilkan panas terbuang (heat increament) relatif lebih rendah dibanding protein dan karbohidrat (Parakkasi 1995). Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi energi.

16 Zat pakan yang memiliki kandungan kalori tinggi dan heat increament rendah seperti lemak sangat sesuai diberikan bila ada cekaman panas. Kebutuhan pakan pada makhluk hidup berbeda-beda sesuai dengan karakter fisiologisnya, diantaranya bergantung pada tingkat stress terhadap cekaman panas dan fase pertmbuhan. Pada ruminan, seperti sapi perah, hasil fermentasi karbohidrat berupa VFA (volatile fatty acid) diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit bagian dari VFA yang termetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi 1995). VFA merupakan sumber energi utama pada ruminansia. Lemak pakan dalam rumen ruminansia dewasa mengalami proses hidrolisis, fermentasi gliserol dan galaktosa, dan hidrogenasi asam lemak tak jenuh oleh mikroorganisme rumen. Hidrolisis lemak pada anak sapi sangat terbatas kesanggupannya, sehingga banyak di antara lemak tersebut harus diserap secara langsung masuk ke dalam saluran limfe (Parakkasi 1995). Kandungan energi pakan harus dimodifikasi selama suhu tinggi. Rao et al. (2002) melaporkan bahwa konsentrasi energi harus ditingkatkan 10 % selama stress panas dan konsentrasi nutrisi lain juga ditingkatkan 25 %. Konsentrasi energi (DE atau TDN) yang baik lebih tinggi pada pakan disuplementasi lemak dibanding tidak disuplementasi. Sapi diberi pakan dengan lemak dengan suplementasi sebanyak 1.2 Mkal/hari, energinya lebih banyak tercerna dibandingkan tidak disuplementasi lemak (Weiss dan Wyatt 2004). Energi metabolis sesuai dengan karakter metabolisme hewan dan juga bergantung pada panas, aktivitas, dan pertumbuhan (Lawrence dan Fowler 2002). Aktifitas dapat meningkatkan panas tubuh metabolis. Pada kasus yang biasa dilakukan seperti aktivitas berdiri dari posisi duduk, dapat meningkatkan produksi panas metabolis dari 40 % menjadi 45 % berdasarkan pengukuran menggunakan calorimeter. Produksi panas metabolis pada saat diam, lebih rendah, karena terjadi perubahan postur saat berlari, perubahan pada pelepasan panas sensible, dan atau peningkatan suhu tubuh karena berlari (Yousef 1985). Hasil penelitian Sporndly (2003), dengan penambahan 10 % kadar lemak pada konsentrat atau 3 % dari seluruh ransum tidak memberikan efek yang relatif besar pada konsumsi bahan kering atau kecernaan, dan terbaik pada penambahan lemak dengan kadar maksimal 5 % telah direkomendasikan untuk sapi perah di Swedia. Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak ruminansia mampu mentoleransi kandungan lemak hingga 10 % tanpa mengalami gangguan pencernaan. Efisiensi penggunaan bahan kering ransum tertinggi dicapai pada pemberian minyak kelapa 200 gr/ekor/hari, yang setara dengan penambahan 3.73 % lemak dari bahan kering ransum (Anggarawati 1980). Kandungan energi tercerna minyak kelapa sebesar 0.8 kcal/kg dan koefisien cerna protein dan ether extract lebih besar saat pakan mengandung minyak kelapa sebanyak 10 % (Creswell dan Brooks 1971). Hasil penelitian Sitoresmi (2009) menunjukkan, penambahan minyak hingga level 5 % mampu menurunkan produksi metan hingga % tanpa berefek negatif terhadap kadar NH 3, kadar VFA, aktivitas CMC-ase, dan kadar protein mikrobia. Nilai kalori tinggi dari lemak sangat sesuai digunakan sebagai pakan, untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al. 2010). 19

17 20 Ruminasi dipengaruhi faktor-faktor nutrisi berupa kecernaan pakan, konsumsi NDF, komposisi pakan, dan kualitas bahan baku pakan. Peningkatan efisiensi mengunyah saat ruminasi adalah salah satu faktor dapat meningkatkan daya konsumsi atau cerna setelah ternak disapih, dan bersamaan dengan meningkatnya fungsi-fungsi rumen lain (Hooper dan Welch 1983). Peningkatan mengunyah pada saat ruminasi seiring dengan meningkatnya konsumsi hay (Bae et al. 1979). Peningkatan ruminasi pada sapi perah berpengaruh terhadap peningkatan produksi saliva dan peningkatan kesehatan rumen. Peningkatan jumlah lemak jenuh yang melintasi duodenum, dapat meningkatkan waktu ruminasi harian (Harvatine dan Allen 2005). Hasil Observasi menggunakan Hi- Tag rumination monitoring system yang dilakukan Schirmann (2009), waktu yang diperlukan untuk ruminasi selama 35.1 ± 3.2 menit, waktu tersebut hampir sama dengan pengamatan langsung, yaitu 34.7 ± 2.3 menit. Konsumsi Pakan Upaya mencapai tingkat produksi tinggi sesuai dengan potensi genetiknya, sapi perah perlu memperoleh zat gizi yang diperlukan. Pakan diberikan kepada sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Sebagai pakan untuk hidup pokok harus mengandung sejumlah zat gizi yang mencukupi untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuh dalam keadaan normal yaitu pernapasan, pencernaan makanan serta memperbaiki bagian-bagian tubuh yang rusak (Foley et al. 1973). Kandungan zat gizi yang tersedia di dalam pakan terlebih dahulu akan digunakan tubuh untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, selanjutnya untuk kebutuhan pertumbuhan dan reproduksi, serta sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Energi dan protein dibutuhkan sapi perah dalam jumlah cukup banyak, tetapi vitamin dan mineral dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Air dibutuhkan sangat banyak, karena berfungsi sebagai media pengangkut dan pembentukan energi dalam tubuh. Jumlah bahan kering dikonsumsi sapi perah sangat beragam sesuai dengan kondisi lingkungannya, yaitu berkisar antara % dari bobot hidup. Pakan dikonsumsi sapi perah tergantung pada selera makan serta dipengaruhi oleh bangsa sapi, periode laktasi, efisiensi metabolisme dan perkembangan rumen, suhu lingkungan, kandungan air bahan makanan, dan adanya bahan makanan tambahan (Sudono et al. 2003). Konsumsi pakan sapi perah dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya suhu dan kelembaban udara, umur ternak, jenis makanan, dan bangsa sapi perah. Di antara faktor-faktor tersebut, suhu dan kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Sudono et al. (2003) mengemukakan bahwa suhu lingkungan tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan pada seluruh bangsa sapi perah. Konsumsi ransum mulai turun apabila suhu lingkungan naik dari C pada sapi Fries Holland, C pada sapi Jersey, di atas C pada sapi Brown Swiss, dan C pada Brahman. Konsumsi pakan sapi Fries Holland laktasi akan menurun 20 % pada suhu 32 0 C dan akan berhenti makan pada suhu di atas 40 0 C.

18 Kadar lemak susu sebagian besar diperoleh dari sapi yang mengkonsumsi pakan berserat kasar tinggi, karena serat kasar merupakan makanan ternak ruminansia yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi tinggi (Quinn 1980). Kadar serat kasar dalam pakan sapi perah biasanya berkisar antara % dari total bahan kering yang diberikan. Kadar serat kasar terlalu tinggi di dalam rumen mengakibatkan ransum sulit dicerna, sedangkan kadar serat kasar terlalu rendah dalam pakan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan (Cullison 1978; Suherman 2003). Sapi perah tidak terlalu bergantung pada protein yang tersedia dalam ransum, karena urea atau nitrogen non protein dapat dibentuk menjadi asam amino essensial yang dibutuhkan. Kandungan protein tinggi secara utuh akan difermentasi oleh mikroorganisme rumen dan sebagian lagi akan diubah menjadi protein mikroba yang mempunyai nilai biologis dan kecernaan sangat rendah (Czerkawski 1985). Suhu lingkungan tinggi menurunkan nafsu makan dan mengurangi konsumsi ransum serta meningkatkan konsumsi air minum. Hal tersebut akan menghambat pertumbuhan dan produksi susu. Turunnya konsumsi ransum sebagai respon terhadap peningkatan suhu lingkungan, untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh dengan cara mengurangi panas tambahan dari ransum. McDowell et al. (1976) mengemukakan bahwa musim panas produksi susu sapi perah turun sebesar 21 % dan konsumsi ransum turun sebesar 14 % dibanding musim dingin. Kelembaban udara tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi susu pada suhu 24 0 C, sedangkan pada suhu 34 0 C akan menyebabkan penurunan produksi (Johnson dan Vanjonack 1975). Selanjutnya dijelaskan bahwa sapi perah Fries Holland lebih besar penurunan produksinya di daerah tropis dan relatif sensitif terhadap perubahan kelembaban udara dibanding sapi Jersey dan Brown Swiss. Pada ISK tinggi, penurunan produksi susu tampak jelas terjadi pada sapi yang menghasilkan susu tinggi (25 kg per hari). Sapi-sapi yang menghasilkan susu 25 kg per hari mengalami penurunan produksi 0.8 kg per hari untuk setiap kenaikan ISK satu satuan ISK, sementara sapi perah produksinya 15 kg per hari mengalami penurunan produksi sekitar 0.3 kg per hari, untuk setiap kenaikan satu satuan ISK di atas 74.5 (Esmay 1986). Peningkatan suhu lingkungan mempengaruhi konsumsi ransum, air minum, produksi susu, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5. Di Indonesia, temperatur lingkungan mencapai 29 o C menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11.2 kg/ekor/hari pada saat temperatur lingkungan hanya berkisar o C (Talib et al. 2002). Penelitian Roman-Ponce et al. (1977) bahwa konsumsi hijauan turun sebesar 10 % pada sapi perah yang dipelihara tanpa memakai peneduh dibanding memakai peneduh, dan produksi susu lebih rendah sebesar 6%. Komposisi susu sangat dipengaruhi stres panas. Sapi perah yang mengalami stres panas akan mendapatkan pengaruh negatif terhadap komposisi susu, seperti kadar lemak, protein, dan laktosa susu (Anderson 1985). Hasil penelitian Talib et al. ( 2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia menjadi 3.2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 o C, jika dibandingkan dengan kadar lemak susu 3.7 % pada temperatur lingkungan o C. Demikian halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei dan Hwang (2002), 21

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Esmay and Dixon (1986 )

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Esmay and Dixon (1986 ) TINJAUAN PUSTAKA Produksi Panas Hewan Dalam Kandang Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan yang dikonsumsi dan kondisi lingkungan mikro.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Termoregulasi Sapi Perah Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Unsur Cuaca dan Lingkungan Hidup Sapi Fries Holland

TINJAUAN PUSTAKA Unsur Cuaca dan Lingkungan Hidup Sapi Fries Holland 5 TINJAUAN PUSTAKA Unsur Cuaca dan Lingkungan Hidup Sapi Fries Holland Lingkungan hidup hewan adalah total kondisi eksternal yang mempengaruhi perkembangan, respon, dan pertumbuhan hewan tersebut. Terdapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat 3 TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler dan Enseminger (2006) pakan merupakan kontributor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah Analisis distribusi suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat kandang tidak diisi sapi (kandang kosong). Karakteristik

Lebih terperinci

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya (ULASAN)

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya (ULASAN) Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No:56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 29 No. 1 Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2010 mencapai 237,64 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengambilan data selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat yakni pada tahun 2011 berjumlah 241.991 juta jiwa, 2012 berjumlah 245.425 juta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing

II. TINJAUAN PUSTAKA. jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Boerawa Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing merupakan hewan yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi pedaging memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian 17 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada 11 Maret hingga 5 Juni 011. Waktu penelitan dibagi menjadi enam periode, setiap periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Bangsa Sapi Potong Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus), dan sapi Eropa (Bos taurus). Bangsa-bangsa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Bangsa sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Tubuh dan tanduknya relatif kecil, warna bulu pada jantan dan betina sama seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Ayam tipe medium atau disebut juga ayam tipe dwiguna selain sebagai ternak penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging (Suprianto,2002).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet 4 TINJAUAN PUSTAKA Pemeliharaan Sapi Pedet Umur 1-8 bulan sapi masih digolongkan pedet. Pada fase sapi pedet pertumbuhan mulai memasuki fase percepatan, dimana fase ini sapi akan tumbuh dengan maskimal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Ternak Kelinci Konsumsi daging kelinci di Indonesia dimasa mendatang diprediksikan akan meningkat. Hal tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya

Lebih terperinci

disusun oleh: Willyan Djaja

disusun oleh: Willyan Djaja disusun oleh: Willyan Djaja 0 PENDAHULUAN Produksi sapi perah dipengaruhi oleh factor genetic, lingkungan, dan interaksi genetic dan lingkungan. Factor genetic berpengaruh sebesar 30 % dan lingkungan 70

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia, mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et al., 2002). Murtidjo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peternakan di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Keuntungan usaha peternakan sapi perah adalah peternakan sapi perah merupakan usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk hasil peternakan yang berupa protein hewani juga semakin meningkat. Produk hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum HASIL DA PEMBAHASA Konsumsi Bahan Kering Ransum 200 mg/kg bobot badan tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Hasil yang tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 2) mengindikasikan bahwa penambahan ekstrak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

DADANG SUHERMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DADANG SUHERMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN SUHU KRITIS ATAS PADA SAPI PERAH DARA FRIES HOLLAND BERDASARKAN RESPON FISIOLOGIS DENGAN MANAJEMEN PAKAN MELALUI SIMULASI ARTIFICIAL NEURAL NETWORK DADANG SUHERMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau yaitu bulan Mei sampai Juli 2007 berlokasi di Laboratorium Lapangan Bagian Ternak Perah, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap tahunnya. Konsumsi protein

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Salah satu bangsa sapi bangsa sapi perah yang dikenal oleh masyarakat adalah sapi perah Fries Holland (FH), di Amerika disebut juga Holstein Friesian disingkat Holstein, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani

I. PENDAHULUAN. tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pakan Ternak Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan beragam dan tidak bisa tumbuh dengan baik bila terus diberi pakan yang sama dalam jangka waktu yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara masyarakat dan dimanfaatkan produksinya sebagai ternak penghasil daging dan sebagai tabungan. Domba memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT SKRIPSI ADI RAKHMAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

RESPON TERMOREG GULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKAN FRIIES HOLLAND

RESPON TERMOREG GULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKAN FRIIES HOLLAND RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAH LAKU BERNAUNG SAPI PERAH DARA PERANAKANN FRIES HOLLAND PADA ENERGI RANSUM YANG BERBEDA AZHAR AMIR SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRACT AZHAR AMIR.

Lebih terperinci

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY Oleh : Suhardi, S.Pt.,MP Pembibitan Ternak Unggas AYAM KURANG TOLERAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU LINGKUNGAN, SEHINGGA LEBIH SULIT MELAKUKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN SUHU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstien Sapi FH telah banyak tersebar luas di seluruh dunia. Sapi FH sebagian besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pedet Pedet merupakan ternak replacement stock. Pemberian suplemen pada pedet prasapih pada awal laktasi diharapkan akan dapat mengendalikan penyebab terjadinya penurunan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah FH merupakan sapi yang memiliki ciri warna putih belang hitam atau hitam belang putih dengan ekor berwarna putih, sapi betina FH memiliki ambing yang

Lebih terperinci

Jurnal Zootek ( Zootrek Journal ) Vol. 35 No. 2 : (Juli 2015) ISSN

Jurnal Zootek ( Zootrek Journal ) Vol. 35 No. 2 : (Juli 2015) ISSN PENGARUH PENINGKATAN RASIO KONSENTRAT DALAM RANSUM KAMBING PERANAKAN ETTAWAH DI LINGKUNGAN PANAS ALAMI TERHADAP KONSUMSI RANSUM, RESPONS FISIOLOGIS, DAN PERTUMBUHAN Arif Qisthon* dan Yusuf Widodo* ABSTRAK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi perah Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini bisa berwarna putih dan hitam ataupun merah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, dikarenakan kebutuhan akan susu domestik dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang adalah salah satu kebutuhan penting dalam peternakan. Fungsi utama kandang adalah untuk menjaga supaya ternak tidak berkeliaran dan memudahkan pemantauan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian Perubahan unsur cuaca harian yang terjadi selama penelitian berlangsung sangat fluktuatif. Hasil pengamatan rataan unsur cuaca pada bulan April dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN QUESTION???? STRES BIOKIMIA NUTRISI PENDAHULUAN STRES : perubahan keseimbangan biologis

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba yang berasal dari persilangan

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB EFEK PAKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS AIR SUSU Suryahadi dan Despal Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB PENDAHULUAN U Perkembangan sapi perah lambat Populasi tidak merata, 98% di P. Jawa

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak 34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak diekskresikan dalam feses (Tillman, dkk., 1998). Zat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler

PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler 29 IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler Hasil penelitian pengaruh lama penggunaan litter pada kandang panggung terhadap konsumsi ransum disajikan pada Tabel 5. Tabel

Lebih terperinci

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA Arif Qisthon dan Sri Suharyati Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Sumantri

Lebih terperinci