BAB I PENDAHULUAN. baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kapsul merupakan bentuk sediaan padat yang mengandung bahan aktif, baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras untuk diberikan peroral (Gunsel, 1976). Bentuk sediaan obat yang beredar di pasaran 10% berupa kapsul (Augsburger, 1990). Cangkang kapsul yang licin dapat mempermudah pasien menelan obat. Selain itu, cangkang kapsul juga dapat menutupi rasa dan bau yang tidak menyenangkan dari obat, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat (Agrawal, 2007). Cangkang kapsul dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cangkang lunak dan cangkang keras (Karteek, 2011). Komponen utama cangkang tersebut adalah gelatin. Gelatin merupakan protein yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial jaringan kolagen yang dapat diekstraksi dari kulit, jaringan konektif, dan tulang hewan ternak, termasuk ikan dan unggas (USP34, 2011). Hewan yang sering digunakan adalah babi, sapi, dan ikan (GMIA, 2012). Campuran tulang dan kulit babi mampu menghasilkan kapsul kualitas terbaik dibanding formula lain. Gelatin tulang babi menghasilkan karakteristik kapsul dengan lapisan film kencang dan tidak mudah rapuh, sedangkan gelatin kulit babi memberikan karakteristik kapsul yang jernih, sehingga formula campuran ter sebut menghasilkan kapsul kualitas tinggi (Agrawal, 2007). 1

2 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2007, jumlah impor gelatin di Indonesia mencapai kg senilai dolar AS. Laporan statistik tersebut memberikan kekhawatiran bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Dalam Al-Qur an surah Al-Maidah ayat 3, terdapat larangan bagi umat islam, untuk mengonsumsi segala bentuk produk olahan yang menggunakan babi dan hewan yang disembelih di luar tata cara islam. Oleh karena itu dibutuhkan metode analisis identifikasi yang tepat terhadap sumber gelatin pada berbagai produk olahan yang beredar di Indonesia, salah satunya adalah kapsul. Real Time Polymerase Chain Reaction atau disebut juga quantitative Polymerase Chain Reaction (qpcr) merupakan metode analisis DNA yang sesuai untuk mendeteksi sampel dalam jumlah sedikit, termasuk sampel dalam produk olahan, dengan memberikan data kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Prinsip kerja PCR secara umum adalah mengamplifikasi fragmen spesifik DNA target dalam sampel melalui reaksi enzimatis dengan menggunakan sepasang primer spesifik (Joshi dkk., 2010). Rancangan primer spesifik merupakan topik penelitian yang menarik untuk analisis identifikasi menggunakan qpcr secara selektif, spesifik, dan efektif. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardani (2014), terkait analisis identifikasi gelatin babi dalam cangkang kapsul komersial menggunakan primer spesifik D-loop babi dengan metode qpcr dengan panjang amplikon 108 pb memberikan hasil negatif, yang berarti bahwa sampel yang diuji 2

3 tidak mengandung DNA babi. Akan tetapi, hakikatnya hasil negatif dari suatu pengujian untuk penjaminan halal perlu dilakukan konfirmasi, agar konsumen yakin bahwa DNA yang terkandung dalam suatu produk berasal dari spesies yang halal. Oleh karena itu diperlukan metode konfirmasi yang secara spesifik dapat mendeteksi keberadaan DNA yang berasal dari hewan halal dan banyak digunakan sebagai sumber pem buatan gelatin, yakni DNA sapi (bovine). Beberapa penelitian terkait identifikasi DNA sapi menggunakan metode PCR telah banyak dilakukan. Diantaranya, Jerilyn dkk. (2003) yang berhasil merancang primer spesifik terhadap genom mt-dna sapi dengan panjang amplikon 98 pb. Kemudian Chun-Lai dkk. (2007) telah berhasil merancang primer spesifik terhadap DNA mitokondria (mt-dna) sapi daerah sitokrom b (cyt-b) untuk menguantifikasi DNA sapi yang terkandung dalam daging, susu, dan keju dengan metode qpcr menggunakan pelacak Taqman. Penelitian terbaru dilakukan oleh Anita dkk. (2016) yang merancang primer spesifik terhadap m t- DNA sapi daerah sitokrom oksidase subunit I (COI) dengan panjang amplikon 255 pb untuk mengidentifikasi DNA sapi dalam campuran daging. Keterbaruan pada penelitian ini adalah merancang primer spesifik terhadap fragmen gen D-loop bovine dengan panjang amplikon pb, sehingga primer yang dirancang lebih spesifik terhadap DNA sapi meskipun sampel dalam jumlah sedikit. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi primer spesifik untuk melakukan konfirmasi hasil analisis identifikasi menggunakan primer spesifik 3

4 terhadap DNA babi yang memberikan hasil negatif, dengan primer spesifik terhadap DNA sapi menggunakan metode qpcr. B. Rumusan Masalah 1. Apakah primer yang di rancangan, yakni primer D-loop 575 dan D- loop 93 spesifik dan selektif terhadap fragmen gen D-loop dari DNA mitokondria bovine? 2. Apakah metode yang digunakan memenuhi kriteria validasi untuk identifikasi DNA sapi dalam cangkang kapsul? 3. Apakah metode konfirmasi yang dirancang dapat diaplikasikan pada sampel cangkang kapsul yang beredar di Yogyakarta untuk membuktikan keberadaan DNA gelatin sapi pada sampel tersebut? C. Urgensi Penelitian Penelitian ini sangat penting dalam kaitannya dengan metode analisis identifikasi DNA babi menggunakan qpcr dengan primer spesifik dalam berbagai produk untuk mengeluarkan status halal. Hasil negatif dari penelitian tersebut masih perlu dikonfirmasi menggunakan primer spesifik terhadap DNA sapi untuk membuktikan bahwa ketidakberadaan DNA babi menunjukkan DNA sapi benar-benar terdapat dalam produk tersebut. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan data ilmiah yang valid mengenai sumber gelatin dalam cangkang kapsul yang beredar di Indonesia, khususnya Yogyakarta, dan dapat 4

5 dipublikasikan dalam jurnal ilm iah. Aplikasi dari metode ini juga sangat berguna untuk menjamin keaslian cangkang kapsul terutama dari kontaminasi silang maupun pemalsuan. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Merancangan primer spesifik terhadap DNA sapi untuk pengujian konfirmasi kehalalan berbagai produk dengan metode PCR. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui spesifitas dan selektivitas primer yang dirancang terhadap fragmen gen D-loop dari DNA mitokondria bovine. b. Memvalidasi metode quantitative PCR untuk identifikasi DNA sapi dalam cangkang kapsul. c. Mengaplikasikan metode konfirmasi yang dirancang pada sampel cangkang kapsul pasaran yang beredar di Yogyakarta untuk membuktikan keberadaan DNA gelatin sapi pada sampel tersebut. E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Gelatin Gelatin merupakan polipeptida hasil hidrolisis parsial kolagen yang didapatkan dari kulit, jaringan konektif, dan tulang hewan, seperti sapi, babi, ikan, dan bahkan serangga (Morison dkk., 1999; Abdelfadeel, 2012). Sumber gelatin 5

6 terbesar berasal dari mamalia, yaitu kulit babi (46%), kulit sapi (29,4%), serta tulang babi dan sapi (23,1%) (Gomez-Guillen dkk., 2009). Berdasarkan katalis proses hidrolisisnya, gelatin mamalia dibedakan menjadi dua, yaitu tipe A dan tipe B (Rabadiya, 2013). Gelatin tipe A adalah gelatin yang diekstraksi dari kulit/tulang babi dengan menggunakan katalis asam yang menghasilkan titik isoelektrik (pi) pada ph ~7-9, sedangkan gelatin tipe B diekstraksi dari kulit/tulang sapi dengan katalis basa yang menghasilkan pi pada ph ~4-5 (Rabadiya, 2013; GMIA, 2012). Gelatin merupakan hidrokoloid yang paling banyak digunakan dalam produk farmasi dan makanan (G udmundsson, 2002), karena mengandung asam - asam amino esensial kecuali triptofan yang mudah dicerna, tidak toksik, dapat membentuk lapisan film yang kuat dan fleksibel, dengan strukturnya yang homogen (Ladislaus dkk., 2007; Agrawal, 2007). Komposisi asam amino dari tiap sumber gelatin berbeda-beda, namun semua sumber gelatin sebagian besar asam amino penyusunnya adalah glisin, prolin, dan hidroksiprolin (Gilsenan dan Ross- Murphy, 2000). Gelatin dipilih sebagai bahan dasar pembuatan kapsul karena kemudahannya berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel pada suhu tepat d i atas suhu ruang, sehingga memungkinkan terbentuknya lapisan film yang cepat pada cetakan (Agrawal, 2007). Gelatin kapsul cukup dapat membantu melindungi bahan aktif obat dari reaksi oksidasi serta menutupi rasa dan bau yang tidak menyenangkan dari bahan aktif obat (Agrawal, 2007; Nishimoto dkk., 2005). 6

7 Tabel 1. Komposisi Asam Amino dalam Gelatin (%) Jenis Protein Tipe A (kulit babi) Tipe B (kulit sapi) Tipe B (tulang sapi) Alanin 8,6 10,7 9,3 11,0 10,1 14,2 Arginin 8,3 9,1 8,55 8,8 5,0 9,0 Asam Aspartat 6,2 6,7 6,6 6,9 4,6 6,7 Sistein 0,1 Kelumit Asam Glutamat 11,3 11,7 11,1 11,4 8,5 11,6 Glisin 26,4 30,5 26,9 27,5 24,5 28,8 Histidin 0,9 1,0 0,74 0,8 0,4 0,7 Hidroksilisin 1,0 kelumit 0,91 1,2 0,7 0,9 Hidroksiprolin 13,5 kelumit 14,0 14,5 11,9 13,4 Isoleusin 1,4 kelumit 1,7 1,8 1,3 1,5 Leusin 3,1 3,3 3,1 3,4 2,8 3,5 Lisin 4,1 5,2 4,5 4,6 2,1 4,4 Metionin 0,8 0,9 0,8 0,9 0,0 0,6 Fenilalanin 2,1 2,6 2,2 2,5 1,3 2,5 Prolin 16,2 18,0 14,8 16,4 13,5 15,5 Serin 2,9 4,1 3,2 4,2 3,4 3,8 Treonin 2,2 kelumit 2,2 kelumit 2,0 2,4 Tirosin 0,4 0,9 0,2 1,0 0,0 0,2 Gelatin dapat larut dalam air pada suhu > 40 o C, namun akan membentuk gel pada suhu <35 o C. Dalam proses pembentukan gel, struktur gelatin mengalami perubahan konformasi dari struktur primer (random coil) menjadi struktur sekunder (α-helix), untuk kembali membentuk struktur awal kolagen berupa triple-α-helix melalui pembentukan ikatan hidrogen intra dan inter rantai peptida, sehingga terbentuk anyaman/crosslink (Djabourov dkk., 1983). Perubahan konformasi struktur gelatin diilustrasikan pada Gambar 1. 7

8 triple-α- Susunan asam amino tripleα-helix dengan ikatan hidrogen intra dan inter rantai peptida Struktur ball-stick triple-α-helix Gambar 1. Perubahan konformasi struktur gelatin Berdasarkan jenis cangkangnya, kapsul dibedakan menjadi dua, yaitu kapsul cangkang keras dan kapsul cangkang lunak (Agrawal, 2007). Sebagian besar kapsul terbuat dari cangkang keras, karena biaya produksi yang lebih rendah daripada cangkang lunak, sedangkan cangkang lunak biasanya diproduksi untuk bahan aktif yang mudah menguap, dan mudah terhidrolisis (Granger, 1980; Patel dkk., 1989). Selain itu, kapsul lunak diformulasikan untuk tujuan khusus, yaitu meningkatakan bioavailabilitas obat-obat hidrofobik (Agrawal, 2007). Kapsul cangkang keras terbuat dari campuran gelatin, gula dan air, yang menghasilkan karakteristik cangkang yang bersih (tidak keruh), tidak 8

9 berwarna dan hambar (Rabadiya, 2013). Kapsul cangkang lunak terbuat dari gelatin dan air dengan tambahan alkohol polihidrat sebagai plasticizer seperti gliserol dan sorbitol yang memberikan karakteristik fleksibel pada cangkang kapsul yang dihasilkan (Rabadiya, 2013). 2. Quantitative Polymerase Chain Reaction (qpcr) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik analisis di bidang biologi molekuler dengan mengamplifikasi secara eksponensial terhadap sekuen dari rantai tunggal atau rantai ganda DNA melalui reaksi enzimatik secara in vitro (Saiki dkk., 1985; Joshi, 2010). Saat ini, penggunaan teknik PCR tidak hanya terbatas pada analisis biologi molekuler, seperti kloning DNA, deteksi ekspresi gen, diagnosis dibidang forensik dan medis, serta pola ekspresi gen dalam kaitannya dengan polimorfirsme, namun teknik ini telah berkembang untuk analisis di berbagai bidang, seperti analisis halal produk olahan, dan deteksi bakteri patogen serta virus virulen dalam makanan maupun dalam cairan hayati (Somma dan Querci, 2006). Prinsip teknik PCR sama seperti mekanisme replikasi DNA secara in vivo, mulai dari denaturasi DNA menjadi rantai tunggal, duplikasi dan pembentukan rantai ganda DNA kembali (Somma dan Querci, 2006), sehingga dalam teknik PCR pun juga terdapat tiga tahap utama, yaitu: denaturasi, penempelan (annealing), pemanjangan (extention) (Joshi, 2010). Pada tahap pertama, DNA 9

10 didenaturasi menggunakan suhu tinggi (90 97 o C) agar menjadi rantai tunggal yang memungkinkan primer menempel pada rantai tunggal DNA, pada fragmen spesifik yang akan diamplifikasi (Joshi, 2010). Primer merupakan sepasang sekuen oligonukleotida yang komplemen terhadap sekuen target dari cetakan DNA (DNA template), sehingga mampu mengapit cetakan DNA dari arah depan (forward) dan belakang (reverse) untuk diamplifikasi dengan bantuan enzim (Somma dan Querci, 2006; Saiki dkk., 1985). Tahap selanjutnya adalah tahap penempelan (annealing) primer pada fragmen spesifik dari cetakan DNA, dengan suhu lebih rendah daripada suhu denaturasi (Joshi, 2010). Tahap terakhir adalah tahap pemanjangan (extention) sekuen DNA target melalui primer dengan penambahan nukleotida (dntp) menggunakan DNA polimerase dengan katalis ion Mg 2+ pada suhu sekitar 72 o C (Somma dan Querci, 2006; Joshi, 2010). 10

11 Suhu 100 Denaturasi Pemanjangan 70 Penempelan Waktu Gambar 2. Siklus suhu di tiap tahap metode PCR : (1) Pada suhu 95 o C terjadi pengubahan DNA menjadi rantai tunggal, (2) pada suhu lebih rendah terjadi penempelan primer, (3) pada suhu 72 o C enzim polimerase melakukan pemanjangan sekuen DNA target. (Molecular Aspects of Medicine, 2006) QPCR merupakan teknik variasi dari PCR konvensional, yang telah banyak digunakan untuk menguantifikasi DNA atau RNA dalam sampel, dengan menggunakan primer/probe fluoresen atau pewarna DNA yang berfluoresen, sehingga jumlah amplikon yang terbentuk dapat diamati pada saat siklus sedang berlangsung (real time), oleh karena itu disebut juga quantitative-pcr (qpcr) (Anonim a, 2012). Senyawa berfluoresen yang digunakan dapat berikatan dengan amplikon yang terbentuk, sehingga menghasilkan sinyal yang intensitasnya proporsional dengan jumlah amplikon yang terbentuk. Intensitas sinyal fluoresen yang tinggi menunjukkan banyaknya amplikon yang dihasilkan (Kubista dkk., 2001). Di permulaan siklus, sinyal fluoresen yang terbentuk sangat lemah dan diganggu oleh sinyal pengganggu (noise), kemudian semakin kuat seiring dengan 11

12 semakin banyak amplikon yang terakumulasi secara eksponensial dalam sik lus reaksi PCR, dan akhirnya akan mencapai titik jenuh saat primer, senyawa fluoresen, maupun dntp telah berkurang banyak (Kubista dkk., 2001). Kemudian peningkatan sinyal fluoresensi dari tiap siklus amplifikasi dihubungkan dengan nomor siklus dalam suatu kurva amplifikasi qpcr (Smith dan Osborn, 2008). Analisis kurva qpcr didasarkan atas tiga parameter penting, yaitu garis dasar (baseline), garis ambang batas (threshold), dan nilai threshold cycle (Ct atau Cq). Baseline ditentukan dari sinyal yang ditemukan di daerah awal terjadinya amplifikasi, yang bebas dari intervensi sinyal pengganggu (noise), biasanya muncul pada siklus ke-3 sampai ke-15. Baseline ditentukan dengan hati-hati, agar menghasilkan siklus ambang batas (Threshold cycle / Ct) yang akurat (Anonim a, 2012). Threshold merupakan nilai ambang yang terletak pada fase linier dan di atas sinyal tertinggi dari nilai baseline atau 10 kali dari sinyal baseline dan dapat dimunculkan secara otomatis pada kurva melalui pengaturan instrumen (Anonim a, 2012). Threshold cycle (Ct) adalah suatu sinyal yang menunjukkan perpotongan antara respon fluoresensi sampel dengan nilai ambang rata-rata (threshold) pada siklus tertentu (Shipley, 2007). Semakin besar jum lah DNA cetakan awal maka semakin cepat mencapai nilai ambang, artinya semakin cepat mendapat nilai Ct, sehingga muncul pada nomor siklus yang kecil (Shipley, 2007). Nilai Ct yang diperoleh dari tiap siklus kemudian dirajahkan terhadap logaritma pengenceran masa senyawa standar berupa DNA/RNA murni ( log 12

13 input), sebagai kurva standar, sehingga diperoleh persamaan regresi linier (Fraga dkk., 2008). Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat diestimasikan efisiensi primer (E) dalam mengamplifikasi DNA cetakan untuk menghasilkan amplikon yang murni hanya mengandung fragmen target, melalui slope (k) yang dihasilkan, dengan menggunakan rum us E = (10-1/k 1) x 100% (Rutledge dan Cote, 2003). Intersep kurva standar menunjukkan konsentrasi senyawa standar yang hanya mengandung satu molekul target, dengan kata lain intersep merupakan parameter batas deteksi (Limit of Detection / LoD) (Akane dkk., 1994; Izraeli dkk., 1991; Al- Soud dkk., 2000). 13

14 Fluoresens Ct Ct = 25 DNA= 5 Log Jum lah DNA Gambar 3. Ilustrasi Kurva Hasil Kuantifikasi DNA dengan metode qpcr. Dengan membandingakan nilai Ct dari sampel dengan kurva standar, maka jumlah DNA sampel dapat diketahui. Nilai efisiensi ~100% dengan slope -3.3 menunjukkan sensitivitas yang baik. (qpcr guide from IDT, 2012) Baselin e Threshol Batas deteksi (Ct) Nomor Siklus Gambar 4. Ilustrasi kurva hasil amplifikasi DNA. Prinsip deteksi fluoresensi pada qpcr dan pengukuran konsentrasi amplikon target menggunakan Ct. Nilai Ct berbanding terbalik dengan jumlah awal DNA cetakan. Jumlah awal DNA cetakan tertinggi (sampel 1) berkorelasi dengan Ct yang muncul pada siklus reaksi nomor terkecil (Ct 1 ). (qpcr guide from IDT, 2012) 14

15 3. SYBR Green Real Time PCR (qpcr) dapat menguantifikasi amplikon yang terbentuk dengan menggunakan senyawa fluoresen sebagai pelapor sinyalnya (Fraga dkk., 2008). Senyawa fluoresen yang banyak digunakan salah satunya adalah SYBR Green (Wittwer dkk., 1997). SYBR Green pada Gambar 5 merupakan senyawa cyanine asimetris yang memiliki dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh jembatan metena, dan masing-masing cincin mengandung atom nitrogen, dan salah satunya bermuatan positif (Nygren dkk., 1998). Gambar 5. Struktur molekul SYBR Green (digambar ulang menggunakan Chem Draw, 2016) SYBR Green ini tidak dapat berfluoresensi ketika berada dalam bentuk bebas dalam larutan, karena vibrasi dari cincin-cincin aromatisnya mampu mengubah energi eksitasi elektron menjadi energi panas dan disebarkan dalam 15

16 larutan (Nygren dkk., 1998). Ketika SYBR Green berada dalam larutan yang mengandung double stranded DNA (ds-dna), maka SYBR Green dapat terikat pada ds-dna dan akan memancarkan sinyal fluoresen pada panjang gelombang 520 nm. Hal ini dikarenakan SYBR Green mampu mengadakan interkalasi pada ds-dna melalui basa nukleotida yang berdekatan, sehingga vibrasi dari cincincincin aromatisnya sangat terbatas dan terjadi eksitasi elektron ke tingkat yang lebih tinggi pada panjang gelombang 254 dan 497 nm (Smith dan Osborn, 2008; Nygren dkk., 1998). Fluoresensi akan meningkat seiring dengan banyaknya rantai ganda DNA yang terbentuk (Jansen dkk., 1993). Karakterisasi level fluoresensi yang dihasilkan oleh SYBR Green dapat dilihat melalui nilai Ct, yaitu pada siklus amplifikasi fragmen DNA pertama kali terdeteksi (Adams, 2006). Fase peningkatan fluoresensi digambarkan melalui kurva amplifikasi yang menunjukkan tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase eksponensial, dan fase stabil (plateu). Selama proses inisiasi, primer berhibridisasi ke untai tunggal DNA target dan sedikit daerah untai ganda DNA yang berinterkalasi dengan SYBR Green yang menyebabkan adanya sedikit fluoresensi, namun masih terlalu lemah untuk mencapai background. Pada fase eksponensial, terbentuk DNA untai ganda yang lebih banyak dari proses amplifikasi, sehingga lebih banyak SYBR Green yang mengadakan interkelasi dengan untai ganda DNA, akibatnya sinyal fluoresensi/ RFU (Relative Fluorecent Unit) meningkat. Setelah siklus, semua DNA berbentuk DNA untai ganda 16

17 dan jumlah interkelasi SYBR mencapai maksimum, sehingga intensitas sinyal masuk dalam daerah plateu/stabil (Ponchel, 2006). SYBR Green banyak digunakan untuk tujuan optimasi amplifikasi menggunakan qpcr, karena lebih mudah dan murah dibandingkan probe (Fraga dkk., 2008). Namun dalam penggunaan SYBR Green perlu dilakukan optimasi konsentrasi primer yang digunakan untuk memastikan bahwa fluoresensi yang dihasilkan murni dari amplikon yang diharapkan, bukan dari dimer primer. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan analisis kurva titik leleh (melting curve) setelah proses PCR selesai (Smith dan Osborn, 2008). Keberadaan dimer primer sangat mudah untuk dianalisis menggunakan melting curve, karena dimer primer memiliki titik leleh (Tm) yang lebih rendah daripada amplikon yang diharapkan (Kubista dkk., 2006). 17

18 Denaturasi Penempelan primer Pemanjangan I (A) (B) (C) Pemanjangan II (D) Akhir reaksi amplifikasi (E) Gambar 6. Proses terbentuknya fluoresensi di tiap tahap PCR (A )Pada saat denaturasi tidak ada SYBR yang menempel pada rantai tunggal DNA; (B)Pada saat penempelan primer tidak ada SYBR yang menempel karena rantai ganda DNA belum terbentuk; (C ) & (D)Pada saat pemanjangan I sudah ada SYBR yang menempel pada rantai ganda DNA yang terbentuk, dan semakin banyak yang menempel seiring dengan pertambahan panjang rantai ganda yang terbentuk pada pemanjangan II sehingaa sinyal fluoresen semakin kuat; (E)Pada akhir reaksi amplifikasi SYBR telah menempel secara maksimal pada rantai ganda DNA 4. Rancangan Primer Memilih primer yang sesuai dengan sekuen target dari DNA cetakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan amplifikasi menggunakan PCR (Ye dkk., 2012). Primer yang spesifik merupakan primer yang hanya mengenali dan berikatan dengan sekuen target dari DNA cetakan, bukan dengan sekuen lain dari organisme lain atau bahkan sekuen organisme yang sama, dan tidak berikatan dengan pasangannya, sehingga membentuk dimer dan/atau amplikon-amplikon yang tidak diharapkan (Borah, 2011). 18

19 Proses merancangan primer yang spesifik terdiri dari dua tahap, tahap pertama adalah merancangan pasangan primer yang mampu mengapit daerah spesifik dari DNA cetakan, tahap ini dapat dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan perangkat lunak (Ye dkk., 2012). Tahap kedua adalah tahap menguji spesifitas primer tersebut terhadap berbagai potensial target, baik dari organisme lain maupun organisme sejenis, yang dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) yang disediakan oleh salah satu badan penelitian bioteknologi di Amerika Serikat yakni, NCBI (National Center for Biotechnology Information) (Ye dkk., 2012). Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk merancang primer secara spesifik antara lain : a) Panjang primer Panjang primer yang optimal adalah pb yang cukup spesifik dan mudah menempel pada sekuen target pada temperatur annealing-nya (Borah, 2011). Primer yang terlalu panjang atau terlalu pendek dapat menurunkan spesifitas primer sehingga memungkinkan primer menempel pada berbagai tempat dari DNA cetakan (Compton, 1990). b) Temperatur pelelehan (melting temperature / Tm) Tm didefinisikan sebagai temperatur dimana 50% rantai ganda DNA berubah menjadi rantai tunggal. Primer dengan Tm berkisar 52 o -58 o C, secara 19

20 umum memberikan amplikon yang spesifik (Patricia dkk., 2009). Tm suatu primer sangat ditentukan panjang primer dan jumlah basa Guanine (G) dan Cytosine (C) dalam sekuennya. c) Temperatur penempelan primer (annealing temperature/ta) Dalam penggunaan PCR, Ta primer dapat diperkirakan secara manual, pada umumnya Ta diperkirakan 5 o C dari rata-rata Tm pasangan primer, yang mana Tm primer dapat dihitung menggunakan rumus Tm = 4 (G+C) + 2(A+T) o C (Innis dan Gelfand, 1990). Primer dengan Ta yang tinggi cenderung mengalami penempelan yang tidak spesifik pada DNA cetakan (Patricia dkk., 2009), sedangkan Ta yang terlalu rendah menyebabkan primer tidak dapat menempel pada DNA cetakan (Rychlik dkk., 1990). d) Pengulangan basa nukleotida dalam sekuen primer Pengulangan basa nukleotida G-C pada 5 basa terakhir dari ujung 3 akan meningkatakan spesifitas primer, karena ikatan hidrogennya lebih kuat dibanding A-T (Borah, 2011). Pengulangan basa G-C yang optimal adalah 40-60%, jika lebih dari itu akan mengakibatkan kesalahan dalam penempelan (misprime), sehingga pengulangan dua basa nukleotida tidak boleh lebih dari 4 kali (Patricia dkk., 2009). Spesifitas primer dapat diuji menggunakan kurva titik leleh (melting curve) yang dihasilkan dari proses amplifikasi qpcr (Kubista dkk., 2006). Hal 20

21 ini didasarkan atas perbedaan Tm antara amplikon yang tidak spesifik dengan amplikon yang spesifik (amplikon yang diharapkan), sehingga amplikon spesifik hanya akan menghasilkan satu puncak kurva pelelehan (melting curve) yang semakin tinggi seiring dengan banyaknya amplikon yang terbentuk (Fraga dkk., 2008). 5. Fragmen D-loop DNA mitokondria (mt-dna) mamalia berbentuk sirkuler rantai ganda yang telah sempurna dipetakan oleh Anderson dkk. pada tahun 1981 (Hoong dan Lek, 2005). Gefrides dan Welch (2011) menyatakan bahwa bentuk sirkuler m t- DNA memiliki kontribusi dalam stabilitas yang lebih baik dibandingkan DNA inti. DNA mitokondria lebih tahan terhadap degradasi pada makanan yang diolah dengan pemrosesan tinggi karena ruang membran ganda di sitoplasma akan memberikan perlindungan selama proses isolasi mitokondria dari sel (Bogenhagen, 2009). Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Foran (2006) bahwa lokasi seluler DNA dapat mempengaruhi kerentanan terhadap degradasi DNA, sehingga DNA inti cenderung terdegradasi lebih cepat dibandingkan mt- DNA. Sebagian besar sel mamalia mempunyai ratusan mitokondria dan ribuan kopi mt-dna (Wallace, 1994), karakteristik ini yang membuat mt-dna mudah diisolasi untuk keperluan analisis (Witas dan Zawiciki, 2004). DNA mitokondria mempunyai jumlah kopi yang tinggi, meskipun di dalam sel tidak mengandung 21

22 inti. Mitokondria mengandung 2-10 kopi mt-dna sehingga jumlah kopi per sel akan berlipat (tergantung jaringan dan spesies). Karakteristik ini membuat mt- DNA dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jum lah DNA yang sangat terbatas, atau DNA yang mudah terdegradasi, apabila DNA inti tidak dapat ditemukan (Wolf dkk., 1999). Panjang mt-dna adalah pb, terdiri atas Kompleks I, II, III, IV, dan V (Nicholls dan Minczuk, 2014), yang mengode 13 subunit sistem fosforilasi oksidatif, 2 rrna, dan 22 trna (Hoong dan Lek, 2005; Ketmaier dan Bernardini, 2005). Displacement loop (D-loop) merupakan salah satu daerah dalam genom mt-dna yang terletak dalam non-coding region (NCR) dari DNA mitokondria (Pereira et al., 2004), dibentuk melalui tiga rantai tunggal DNA NCR (~650 nukleotida) (Nicholls dan M inczuk, 2014). D-loop merupakan pengatur utama terkespresinya mt-dna karena mengandung daerah replikasi dan promoter utama dalam proses transkripsi (Miyazono et al., 2002). Daerah D-loop merupakan daerah beruntai tiga, yang disebut 7S DNA. Pada daerah D -loop terdapat dua hipervariabel, yaitu HV1 pada urutan nukleotida , dan HV2 pada urutan nukleotida , yang mana dua daerah ini memiliki laju mutasi lebih tinggi dibanding daerah pengode (coding region) sehingga daerah ini sangat bervariasi antar individu, namun masih sama untuk kerabat keturunan ibu. Oleh karena itu, D-loop ini sangat bermanfaat dalam identifikasi individu (Robert, 2007). 22

23 Gambar 7. Susunan gen-gen dalam DNA mitokondria mamalia (The Open Forensic Science Jurnal, 2014) Daerah D-loop dinilai spesifik untuk tujuan autentikasi dalam bahan baku maupun dalam makanan atau produk yang telah mengalami proses pemasakan dan degradasi, meskipun DNA terdegradasi daerah ini masih dapat teramplifikasi. Daerah D-loop sering dipilih untuk tujuan otentikasi daging karena tingkat substitusinya yang tinggi, dan merupakan daerah yang paling berkembang pesat dalam genom mitokondria. Mutasi dalam populasi hewan dan antar individu sangat sering terjadi di daerah D-loop, sehingga banyak dimanfaatkan untuk analisis polimorfisme nukleotida tunggal (Single Nucleotide Polymorphisme /SNP) 23

24 (Fajardo dkk., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa daerah D-loop berpotensi tinggi dapat membedakan antar dan inter spesie s hewan (Mohammad dkk., 2013). F. LANDASAN TEORI Sekitar 10% sediaan farmasi yang beredar di masyarakat berupa kapsul dengan bahan utamanya berupa gelatin. Kapsul tidak hanya digunakan untuk tujuan pengobatan, melainkan juga untuk tujuan preventif, sehingga sebagian besar masyarakat pasti pernah mengonsum si kapsul. Bentuk sediaan kapsul memberikan berbagai kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan dibandingkan sedian padat produk farmasi yang lain, sehingga produsen lebih memilih memproduksi kapsul untuk berbagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang potensial. Namun, terdapat kehawatiran mengenai kehalalan kapsul, mengingat bahan utamanya yakni gelatin, dapat dibuat dari kulit maupun tulang babi, sapi dan ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu metode analisis konfirmasi asal gelatin yang sensitif, dan spesifik. Metode qpcr dengan primer spesifik dapat digunakan untuk deteksi dan kuantifikasi material spesies sapi dalam gelatin dalam cangkang kapsul (utamanya), dan berbagai produk lain yang menggunakan bahan gelatin. Primer merupakan salah satu bagian penting dalam reaksi PCR karena kualitas primer yang digunakan akan menentukan spesifitas dan efisiensi metode PCR. Perancangan primer yang dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan software online yang disediakan oleh situs resmi NCBI. Perancangan primer menghasilkan 24

25 4 kandidat primer, yang kemudian dikonfirmasi secara in silico dengan menggunakan fitur BLAST pada situs NCBI. Tujuan tahap konfirmasi ini adalah untuk membuktikan bahwa primer benar-benar spesifik menempel pada daerah D- loop bovine, bukan di daerah lain, atau pun di spesies lain, seperti yang terdapat pada Lampiran 1. Tahap konfirmasi in silico menghasilkan 2 primer yang terbaik, yakni primer D-loop 575, dan primer D-loop 93. Kedua primer ini kemudian diuji spesifitasnya secara in vitro dengan metode qpcr terhadap DNA jaringan segar, yakni sapi, babi, celeng, ayam, tikus, dan kambing. Setelah benar-benar spesifik terhadap DNA sapi, kemudian diaplikasikan pada DNA dari gelatin dan cangkang kapsul dengan pengaturan suhu reaksi amplifikasi yang telah optimal. Primer yang paling spesifik dari 2 primer yang diuji tersebut kemudian digunakan untuk pengujian sensitivitas guna mendapatkan nilai konsentrasi terkecil DNA sapi yang masih dapat diamplifikasi (LoD). Kemudian digunakan untuk melakukan uji keterulangan hasil amplifikasi terhadap DNA sapi baik dari gelatin maupun dari cangkang kapsul pembanding. Wardani dkk. (2014) telah berhasil mengidentifikasi keberadaan DNA gelatin babi dalam cangkang kapsul dengan metode qpcr. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih metode qpcr dengan primer spesifik yang telah dirancang untuk mengidentifikasi keberadaan DNA gelatin sapi, yang selanjutnya digunakan untuk analisis cangkang kapsul yang beredar di pasaran. 25

26 G. HIPOTESIS 1. Primer yang di rancangan mampu mengamplifikasi gen bovine secara spesifik dan selektif sehingga dapat digunakan untuk analisis DNA sapi khususnya, pada gelatin cangkang kapsul, maupun produk olahan lain berbahan dasar sapi (bovine) dengan metode PCR. 2. Metode qpcr yang digunakan untuk identifikasi DNA sapi dalam cangkang kapsul memenuhi kriteria validasi. 3. Kondisi reaksi amplifikasi yang digunakan mampu membuktikan asal gelatin dalam cangkang kapsul yang beredar di Yogyakarta. 26

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2009; Martin dkk., 2009; Koppel dkk., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2009; Martin dkk., 2009; Koppel dkk., 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, identifikasi spesies hewan menjadi perhatian utama karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap bahan atau komposisi makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Produk makanan olahan saat ini sedang berkembang di Indonesia. Banyaknya variasi bentuk produk makanan olahan, terutama berbahan dasar daging yang beredar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingginya harga daging sapi mengakibatkan beredarnya isu bakso sapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingginya harga daging sapi mengakibatkan beredarnya isu bakso sapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya harga daging sapi mengakibatkan beredarnya isu bakso sapi yang dicampur dengan daging tikus. Akibat dari tingginya harga daging sapi, ada pedagang bakso yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah pusat dan pemerintah daerah selain berkewajiban menjamin keamanan produk obat dan makanan, saat ini juga mulai berupaya untuk menjamin kehalalan produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang terbuat dari gelatin sapi (Sahilah dkk., 2012). Produsen akan memilih

I. PENDAHULUAN. yang terbuat dari gelatin sapi (Sahilah dkk., 2012). Produsen akan memilih I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kapsul adalah salah satu produk farmasi yang terbuat dari gelatin sapi dan gelatin babi yang berperan dalam pengemasan sediaan obat (Sahilah dkk., 2012), sedangkan gelatin

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan kebutuhan gizi. Bahan pangan asal hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpengaruh langsung pada diversifikasi produk pangan menyebabkan beranekaragamnya

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan

Lebih terperinci

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( ) Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan

Lebih terperinci

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hewan Babi Hewan babi berasal dari Genus Sus, Linnaeus 1758 mempunyai bentuk hidung yang rata sangat khas, hewan ini merupakan jenis hewan omnivora atau hewan pemakan segala.

Lebih terperinci

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi dan Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria berfungsi sebagai organ respirasi dan pembangkit energi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kapsul telah menjadi bentuk sediaan yang populer karena mempunyai banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa, mudah ditelan, dan tidak

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

Lebih terperinci

EFEK ASAM TERHADAP SIFAT TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Euthynnus affinis)

EFEK ASAM TERHADAP SIFAT TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Euthynnus affinis) EFEK ASAM TERHADAP SIFAT TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Euthynnus affinis) Oleh : MARSAID/ 1409.201.717 Pembimbing: Drs.Lukman Atmaja, M.Si.,Ph.D. LATAR BELAKANG PENELITIAN GELATIN Aplikasinya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Bab Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix x xii I II III PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.4 Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dicampur bahan perasa seperti udang dan ikan. Sedangkan kerupuk kulit atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dicampur bahan perasa seperti udang dan ikan. Sedangkan kerupuk kulit atau yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa seperti udang dan ikan. Sedangkan kerupuk kulit atau yang dikenal dengan nama

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Potensi Ternak Sapi Potong di Indonesia Populasi penduduk yang terus berkembang, mengakibatkan permintaan terhadap kebutuhan pangan terus meningkat. Ternak memberikan kontribusi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung leper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Didalam Al-Qur an tertera dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini. semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini. semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi guna menunjang

Lebih terperinci

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Disusun oleh: Hanif Wahyuni (1210411003) Prayoga Wibhawa Nu Tursedhi Dina Putri Salim (1210412032) (1210413031) SEJARAH Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1985

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berfungsi sebagai penstabil pada emulsi. Pada makanan, emulsifier berperan

I. PENDAHULUAN. yang berfungsi sebagai penstabil pada emulsi. Pada makanan, emulsifier berperan I. PENDAHULUAN Emulsifier merupakan bahan tambahan pada produk farmasi dan makanan yang berfungsi sebagai penstabil pada emulsi. Pada makanan, emulsifier berperan sebagai bahan tambahan untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. dan menyebabkan keprihatinan bagi pelanggan. Daging babi (Sus scrofa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. dan menyebabkan keprihatinan bagi pelanggan. Daging babi (Sus scrofa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemalsuan makanan merupakan masalah besar dalam industri makanan, dan menyebabkan keprihatinan bagi pelanggan. Daging babi (Sus scrofa domestica) merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. mengalami pemisahan bagian-bagian dari karkas hewan utuh sehingga jenis

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. mengalami pemisahan bagian-bagian dari karkas hewan utuh sehingga jenis BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi

Lebih terperinci

DESAIN PRIMER SECARA IN SILICO UNTUK AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN rpob Mycobacterium tuberculosis DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

DESAIN PRIMER SECARA IN SILICO UNTUK AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN rpob Mycobacterium tuberculosis DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Desain Primer secara in silico untuk Amplifikasi Fragmen Gen rpob Mycobacterium tuberculosis DESAIN PRIMER SECARA IN SILICO UNTUK AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN rpob Mycobacterium tuberculosis DENGAN POLYMERASE

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. tahun Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun

BAB I. PENDAHULUAN. tahun Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi rakyat Indonesia, pernyataan ini terdapat dalam UU pangan No. 7 tahun 1996. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini, pelaksanaan sistem jaminan halal menjadi isu global.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini, pelaksanaan sistem jaminan halal menjadi isu global. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Saat ini, pelaksanaan sistem jaminan halal menjadi isu global. Mengkonsumsi makanan halal adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim. Dalam al Qur an, disebutkan makanlah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah

Lebih terperinci

DESAIN PRIMER. LAPORAN PRAKTIKUM disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Molekuler. oleh : Riani Ulfah

DESAIN PRIMER. LAPORAN PRAKTIKUM disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Molekuler. oleh : Riani Ulfah DESAIN PRIMER LAPORAN PRAKTIKUM disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Molekuler oleh : Dhaifan Diza A 1303790 Anisa Suci S 1300904 Novia Rahayu A 1302152 Riani Ulfah 1300952 Shabrina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun masyarakat patut berhati-hati dengan bahan makanan dalam bentuk olahan atau mentah yang sangat mudah didapat

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi. Review IV A. KARBOHIDRAT

KIMIA. Sesi. Review IV A. KARBOHIDRAT KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 24 Sesi NGAN Review IV A. KARBOHIDRAT 1. Di bawah ini adalah monosakarida golongan aldosa, kecuali... A. Ribosa D. Eritrosa B. Galaktosa E. Glukosa C. Fruktosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN ,5 ribu US$ (Kemenperin, 2014).

BAB I PENDAHULUAN ,5 ribu US$ (Kemenperin, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gelatin berasal dari bahasa latin (gelatos) yang berarti pembekuan. Gelatin adalah protein yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen dari kulit, jaringan ikat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut

Lebih terperinci

Asam Amino, Peptida dan Protein. Oleh Zaenal Arifin S.Kep.Ns.M.Kes

Asam Amino, Peptida dan Protein. Oleh Zaenal Arifin S.Kep.Ns.M.Kes Asam Amino, Peptida dan Protein Oleh Zaenal Arifin S.Kep.Ns.M.Kes Pendahuluan Protein adalah polimer alami terdiri atas sejumlah unit asam amino yang berkaitan satu dengan yg lainnya Peptida adalah oligomer

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan pangan

PENGANTAR. Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan pangan PENGANTAR Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan pangan semakin meningkat. Bahan pangan dalam bentuk segar maupun hasil olahannya merupakan jenis komoditi yang mudah rusak

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN 14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas

Lebih terperinci

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Debbie S. Retnoningrum Sekolah Farmasi, ITB Pustaka: 1. Glick, BR and JJ Pasternak, 2003, hal. 27-28; 110-120 2. Groves MJ, 2006, hal. 40 44 3. Brown TA, 2006,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DNA Mitokondria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul

Lebih terperinci

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini dipaparkan penjelasan singkat mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu mengenai DNA mitokondria manusia, basis data GenBank, basis data MITOMAP,

Lebih terperinci

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat) 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Mantis 2.1.1 Biologi Udang Mantis Udang mantis merupakan kelas Malocostraca, yang berhubungan dengan anggota Crustasea lainnya seperti kepiting, lobster, krill, amphipod,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru (pulmonary tuberculosis),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengawasan makanan di Indonesia terkait kehalalan, keamanan, dan kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran dalam hal produksi makanan

Lebih terperinci

Pengertian TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN. Cloning DNA. Proses rekayasa genetik pada prokariot. Pemuliaan tanaman konvensional: TeknologiDNA rekombinan:

Pengertian TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN. Cloning DNA. Proses rekayasa genetik pada prokariot. Pemuliaan tanaman konvensional: TeknologiDNA rekombinan: Materi Kuliah Bioteknologi Pertanian Prodi Agroteknologi Pertemuan Ke 9-10 TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN Ir. Sri Sumarsih, MP. Email: Sumarsih_03@yahoo.com Weblog: Sumarsih07.wordpress.com Website: agriculture.upnyk.ac.id

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon DNA genomik sengon diisolasi dari daun muda pohon sengon. Hasil uji integritas DNA metode 1, metode 2 dan metode 3 pada gel agarose dapat dilihat pada Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggandaan dan penyediaan asam amino menjadi amat penting oleh karena senyawa tersebut dipergunakan sebagai satuan penyusun protein. Kemampuan jasad hidup untuk membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gelatin adalah biopolimer yang dihasilkan dari hidrolisis parsial jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Gelatin adalah biopolimer yang dihasilkan dari hidrolisis parsial jaringan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gelatin adalah biopolimer yang dihasilkan dari hidrolisis parsial jaringan kolagen yang ada pada kulit, tulang rawan, dan jaringan ikat hewan. Gelatin merupakan protein

Lebih terperinci

BAB III. SUBSTANSI GENETIK

BAB III. SUBSTANSI GENETIK BAB III. SUBSTANSI ETIK Kromosom merupakan struktur padat yg tersusun dr komponen molekul berupa protein histon dan DNA (kumpulan dr kromatin) Kromosom akan tampak lebih jelas pada tahap metafase pembelahan

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan salah satu jenis asam nukleat yang membawa ribuan gen yang menentukan sifat tertentu dari satu generasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi DNA Metode isolasi dilakukan untuk memisahkan DNA dari komponen sel yang lain (Ilhak dan Arslan, 2007). Metode isolasi ini sesuai dengan protokol yang diberikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis,

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis, merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, yang meliputi informasi mengenai genom mitokondria, DNA mitokondria sebagai materi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia pangan terdapat banyak sekali bahan tambahan pangan (BTP). Salah satu BTP yang paling sering dijumpai di masyarakat adalah bumbu penyedap rasa berbentuk blok.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b TINJAUAN PUSTAKA Tikus (Rattus norvegicus) Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang- BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

19/10/2016. The Central Dogma

19/10/2016. The Central Dogma TRANSKRIPSI dr.syazili Mustofa M.Biomed DEPARTEMEN BIOKIMIA DAN BIOLOGI MOLEKULER FK UNILA The Central Dogma 1 The Central Dogma TRANSKRIPSI Transkripsi: Proses penyalinan kode-kode genetik yang ada pada

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

PENGENALAN BIOINFORMATIKA

PENGENALAN BIOINFORMATIKA PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) PENGENALAN BIOINFORMATIKA Oleh: Syubbanul Wathon, S.Si., M.Si. Pokok Bahasan Sejarah Bioinformatika Istilah-istilah biologi Pangkalan data Tools Bioinformatika

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL 3.1.1 Isolasi Vibrio harveyi Sebanyak delapan isolat terpilih dikulturkan pada media TCBS yaitu V-U5, V-U7, V-U8, V-U9, V-U24, V-U27, V-U41NL, dan V-V44. (a) (b) Gambar

Lebih terperinci

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan PROTEIN Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan 2-2015 Contents Definition Struktur Protein Asam amino Ikatan Peptida Klasifikasi protein Sifat fisikokimia Denaturasi protein Definition Protein adalah sumber asam-asam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kebab Kata kabab ( اب ) berasal dari bahasa Arab atau Persia yang berarti daging yang digoreng dan bukanlah daging yang dipanggang. Kata kabab dari bahasa Arab tersebut

Lebih terperinci

Asam Amino dan Protein

Asam Amino dan Protein Modul 1 Asam Amino dan Protein Dra. Susi Sulistiana, M.Si. M PENDAHULUAN odul 1 ini membahas 2 unit kegiatan praktikum, yaitu pemisahan asam amino dengan elektroforesis kertas dan uji kualitatif Buret

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah terjadi di masyarakat dikarenakan harga babi yang relatif lebih murah dibandingkan dengan sapi, serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Ikan Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui karakter awal minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini. Karakter minyak ikan yang diukur

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gelatin merupakan salah satu produk turunan protein yang diperoleh dari hasil hidrolisis kolagen hewan yang terkandung dalam tulang dan kulit. Susunan asam

Lebih terperinci

Kromosom, gen,dna, sinthesis protein dan regulasi

Kromosom, gen,dna, sinthesis protein dan regulasi Kromosom, gen,dna, sinthesis protein dan regulasi Oleh: Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Universitas Brawijaya Malang 2006 2.1.Pendahuluan Era penemuan materi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Pencarian kondisi analisis optimum levofloksasin a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT Pada penelitian ini digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Kuantitas DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dengan Spektrofotometer Pengujian kualitas DNA udang jari (Metapenaeus

Lebih terperinci

Bimbingan Olimpiade SMA. Paramita Cahyaningrum Kuswandi ( FMIPA UNY 2012

Bimbingan Olimpiade SMA. Paramita Cahyaningrum Kuswandi (  FMIPA UNY 2012 Bimbingan Olimpiade SMA Paramita Cahyaningrum Kuswandi (email : paramita@uny.ac.id) FMIPA UNY 2012 Genetika : ilmu yang memperlajari tentang pewarisan sifat (hereditas = heredity) Ilmu genetika mulai berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2007-2011

Lebih terperinci

Definisi Sintesis Protein

Definisi Sintesis Protein Definisi Sintesis Protein Manusia, hewan, dan tumbuhan sangat memerlukan protein sebagai unsur utama penyusun tubuhnya. Protein pada manusia dan hewan terdapat paling banyak pada membran sel, sitoplasma,

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 10. GENETIKA MIKROBA Genetika Kajian tentang hereditas: 1. Pemindahan/pewarisan sifat dari orang tua ke anak. 2. Ekspresi

Lebih terperinci

replikasi akan bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan hingga tercapai suatu ujung (terminus).

replikasi akan bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan hingga tercapai suatu ujung (terminus). Secara sederhana: Mula-mula, heliks ganda DNA (merah) dibuka menjadi dua untai tunggal oleh enzim helikase (9) dengan bantuan topoisomerase (11) yang mengurangi tegangan untai DNA. Untaian DNA tunggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gelatin memiliki sifat yang khas, yaitu berubah secara reversible dari bentuk sol

BAB I PENDAHULUAN. Gelatin memiliki sifat yang khas, yaitu berubah secara reversible dari bentuk sol BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gelatin merupakan suatu polipeptida larut hasil hidrolisis parsial kolagen yang merupakan konstituen utama dari kulit, tulang, dan jaringan ikat hewan. Gelatin memiliki

Lebih terperinci

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging DNA membawa informasi genetik dan bagian DNA yang membawa ciri khas yang diturunkan disebut gen. Perubahan yang terjadi pada gen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada produk gen tersebut. Gen sering

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Preparasi dan Karakteristik Bahan Baku Produk tuna steak dikemas dengan plastik dalam keadaan vakum. Pengemasan dengan bahan pengemas yang cocok sangat bermanfaat untuk mencegah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci