BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengawasan makanan di Indonesia terkait kehalalan, keamanan, dan kesehatan belum berjalan efektif. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran dalam hal produksi makanan masih sering terjadi.(yasmin, 2013).Bakso merupakan salah satu makanan favorit di Indonesia, dan yang paling digemari adalah yang terbuat dari daging sapi. Di sisi lain, daging sapi harganya cukup tinggi di pasaran. Kenyataan ini mendorong para pedagang yang tidak bertanggungjawab untuk mengganti daging sapi dengan daging lain untuk mengurangi biaya produksi, dankasus yang paling ekstrem adalah menggantinya dengan daging tikus. Beberapa contoh kasus bakso yang dicampur daging tikus pernah ditayangkan di televisi maupun di media internet(harahap, 2012). Bagi negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Indonesia, pencampuran daging tikus ke dalam bakso dapat menjadi masalah. Hal ini disebabkan karena umat muslim dilarang untuk mengonsumsi tikus. Penjelasan pada beberapa hadits menyebutkan bahwa tikus merupakan hewan yang haram untuk dimakan (Al-Jauzaa, 2013). Isu pemalsuan bakso sapi ini tidak hanya menjadi masalah bagi para masyarakat Muslim di Indonesia, namun juga dapat menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama dalam hal kesehatan. Tikus sering diidentikkan dengan hewan yang kotor dan dapat menularkan berbagai penyakit. Menurut Center for Disease Control and Prevention (2011), tikus merupakan vektor dari berbagai penyakit, antara lain, 1

2 2 pes, leptospirosis, murin typhus, dan plague. Selain itu, ada pula masalah ekonomi dan sosial terkait kerugian konsumen dalam hal materi serta penipuan konsumen. Berdasarkan hal ini, maka penjaminan keaslian bakso mutlak diperlukan untuk menjamin bahwa bakso yang diperdagangkan sesuai dengan yang terlabel. Perkembangan ilmu pengetahuan terkait analisis kehalalan produk makanan telah berkembang pesat. Beberapa di antaranya adalah metode analisis untuk identifikasi babi dalam makanan, sepertikromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Rashood dkk., 1996); kromatografi gas (Marikkar dkk., 2005); pembau elektronik (electronic nose) (Che Man dkk., 2005); Differential scanning calometry (Marikkar, 2001); Fourier Transform-Infra Red (FT-IR);Gas Chromatography Mass Spectroscopy(GC-MS) (Afriliana, 2009); serta analisisberdasarkan DNA menggunakan metode Restriction Fragment Length Polymorphism - Polymerase Chain Reaction (RFLP-PCR) (Raharjo dan Sismindari, 2010); danpolymerase Chain Reaction(PCR) (Che Man dkk., 2007). Metode analisis berdasarkan DNA, salah satunya PCR, merupakan metode identifikasi makhluk hidup yang cukup sensitif dan keakuratannya tinggi. Hal ini disebabkan karena setiap spesies memiliki sekuens DNA khasnya sendiri.telah banyak diciptakan metode pengembangan dari PCR, salah satunya adalah Real-time PCR. Real-time PCR memiliki keunggulan dibandingkan PCR konvensional karena amplifikasi dapat dimonitor menggunakan fluoresensi dan amplikon cukup dianalisis menggunakan Melting Curve Analysis (MCA) tanpa perlu dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarosa (Atlas dan Bey, 1994). Umumnya para pedagang tidak bertanggungjawab yang memalsukan produk makanannya dengan daging tikus tidak spesifik menggunakan satu jenis

3 3 spesies tikus saja, melainkan berbagai spesies tikus yang dapat mereka temukan di kehidupan sehari-hari seperti Rattus rattus (tikus rumah) danrattus argentiventer (tikus sawah). Hal tersebut menyebabkan diperlukannya primer spesifik yang dapat mengamplifikasi DNA semua jenis tikus. Dalam studi taksonomi (pengklasifikasian makhluk hidup) beberapa spesies Rattus,seringkali digunakan target amplifikasi DNA mitokondria gen Cytochrome b. Pada penelitian Balakirev dan Rozhnov(2012)dilakukan amplifikasi target DNA tersebutmenggunakan primer CytbRglu2Ldan primer CytbRCb9H untuk kepentingan studi klasifikasi dan persebaran spesies-spesies Rattus di Asia Tenggara. Dari penelitian itu, diketahui bahwa sepasang primer tersebut dapat mengamplifikasi semua spesies tikus dengan hasil amplifikasi yang tidak terlalu berbeda pada tiap spesiesnya. Diharapkan target amplifikasi dan primer-primer ini dapat diadaptasi dalam analisis makanan yang diduga tercemar daging tikus. Penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan metode Real-time PCR untuk analisis daging tikus dalam bakso daging sapi menggunakan primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H yang spesifik untuk semua spesies tikus. Dengan menggunakan metode Real-timePCR, diharapkan analisis dapat lebih cepat karena tidak memerlukan analisis lanjutan menggunakan elektroforesis gel agarose. Primer-primer tersebut diharapkan dapat mengamplifikasi DNA semua jenis tikus secara spesifik tanpa terjadi amplifikasi pada DNA sapi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu batu loncatan untuk tercapainya penjaminan keaslian terhadap produk bakso.

4 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat mengidentifikasi cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara spesifik? C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Dengan dikembangkannya metode Real-Time PCR diharapkan analisis produk makanan yang cepat dan spesifik dapat semakin diaplikasikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan oleh pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) demi mendukung terciptanya penjaminan keaslian, kehalalan, kesehatan, dan keamanan produk makanan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. D. Tujuan Penelitian Mengetahui apakah primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat mengidentifikasi cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara spesifik. E. Studi Pustaka 1. Bakso Sapi Bakso merupakan olahan daging yang dibentuk menyerupai bola dengan ukuran tertentu. Pembuatan bakso sendiri diolah dengan berbagai bumbubumbuan, garam dapur, dan tepung tapioka. Ada berbagai macam daging yang

5 5 bisa digunakan dalam proses pembuatan bakso, seperti daging ayam, ikan, udang, babi, dan yang paling populer di Indonesia adalah daging sapi (Purnomo dan Rahardiyan, 2008). Seperti yang telah diketahui masyarakat pada umumnya, daging sapi termasuk ke dalam kelompok daging yang harganya cukup tinggi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, selalu terjadi kenaikkan harga daging sapi yang menyebabkan produk-produk olahannya juga mengalami kenaikkan harga. Berdasarkan pantauan Liputan 6, harga daging sapi di pasar tradisional masih berkisar antara Rp ,- hingga Rp ,- dengan rincian harga daging sapi untuk sop masih Rp ,-/kg, tetelan Rp ,-/kg dan harga daging khas dalam masih lebih dari Rp ,-/kg (Nurmayanti, 2014). Variasi harga daging, terutama daging sapi yang harganya tinggi dan selalunaik dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya praktik pencampuran daging sebagai bahan baku bakso. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh pedagang nakal dalam pembuatan bakso sapi untuk menekan harga produksi, salah satunya adalah dengan mencampurkan daging tikus ke dalam bakso sapi. Para pedagang yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan daging tikus, karena banyaknya tikus rumahmaupun tikus sawah yang berkeliaran. Beberapa contoh kasus bakso yang dicampur daging tikus pernah ditayangkan di media televisi maupun beberapa situs berita di media internet, namun karena dinilai merugikan pihak pedagang bakso, berita-berita tersebut mulai ditekan penyebarannya di masyarakat. Salah satu contoh kasus bakso yang dicampur daging tikus terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tahun

6 silam (Harahap, 2012). Selain itu, Reportase Investigasi Trans TV juga menemukan kasus serupa di kawasan Jakarta (Yasmin, 2013). Dalam produksi makanan, daging tikus sendiri dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek religi (agama), ekonomi, dan kesehatan. Dari aspek agama, adanya komponen tikus dalam produk makanan merupakan masalah yang serius karena agama Islam yang merupakan agama yang paling banyak penganutnya di Indonesia, mengharamkan pemeluknya untuk mengonsumsi produk makanan yang mengandung tikus (Anonim, 2009).Larangan tersebut tercantum dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy (no & 3314), Muslim (no.1198), dan At-Tirmidziy (no. 837) yang menyebutkan bahwa tikus masuk ke dalam jenis hewan yang boleh dibunuh, dan menurut hadits yang diriwayatkan oleh An-Nawawiy rahimahullah (kitab Al-Majmuu, 9/22), semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh hukumnya haram untuk dimakan (Al-Jauzaa, 2013). Selain masalah agama, isu pemalsuan bakso sapi ini pun tidak hanya menjadi masalah bagi para masyarakat Muslim di Indonesia, namun juga dapat menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Bagi kebanyakan orang, tikus diidentikkan dengan gambaran hewan yang jorok dan kotor, serta dapat menularkan berbagai penyakit. Menurut Center for Disease Control and Prevention (2011), tikus merupakan vektor dari berbagai penyakit, antara lain, pes, salmonellosis, leptospirosis, murin typhus, plague, dan tularemia Adanya pemalsuan ini tidak hanya merugikan konsumen karena konsumen tertipu, melainkan juga pedagang bakso lain yang sebenarnya tidak berbuat curang dengan mencampurkan daging tikus ke dalam bakso dagangannya. Selain itu, di samping masalah agama tentang hukum kehalalan seperti yang telah

7 7 dipaparkan sebelumnya, ada pula permasalahan lain yang tidak kalah besar yaitu tentang kesehatan konsumen yang memakan bakso yang dicampur dengan daging tikus. Berdasarkan hal inilah maka penjaminan keaslian bakso mutlak diperlukan, untuk menjamin bahwa bakso yang diperdagangkan sesuai dengan yang terlabel. Kandungan unsur sapi dalam produk olahan seperti bakso didasarkan pada pengujian jenis daging yang dijadikan bahan baku dalam pengolahannya. Hal ini mendapat perhatian utama dalam pengawasan makanan, baik pada daging segar maupun daging olahan, dengan dasar pertimbangan agama, kesehatan, ekonomi, sosial, dan kepentingan nasional. Identifikasi makanan olahan seperti bakso sapi ini perlu dilakukan untuk menguji adanya pencampuran daging sapi untuk bakso yang harganya relatif mahal dibandingkan dengan daging tikus yang lebih murah dan mencegah penggunan daging yang tidak halal dan tidak sehat dikonsumsi. 2. DNA mitokondria dan gen cytochrome b Genom dapat diartikan sebagai informasi keturunan (genetik) yang diturunkan oleh suatu organisme dan biasanya dikode oleh DNA untai ganda. Genome yang berdasarkan DNA ini secara khusus tersusun sebagai kromosom dan tiap-tiap kromosom menjadi tempat regulasi dari berbagai gen (Walsh, 2007). Eukaryot memiliki banyak kromosom linear (lurus) yang terletak di dalam nukleus (inti sel) dan umumnya kromosom-kromosom ini berhubungan dengan protein histon. Selain DNA kromosomal, eukaryot juga memiliki sekuens DNA yang terdapat di dalam mitokondria (pada sel hewan) atau di dalam

8 8 kloroplas (pada sel tanaman). Sekuens DNA bentuk sirkular yang biasa disebut DNA mitokondria ini jauh lebih pendek dan kerap muncul dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan DNA kromosomal. DNA mitokondria (selanjutnya disebut mtdna) cenderung lebih berperan dalam pengkodean protein yang dibutuhkan dalam pembentukan organel sel (Walsh, 2007). Dalam hal informasi hereditas, mtdna hanya merepresentasikan sejumlah kecil ukuran genom organisme karena hanya diturunkan dari ibu, namun dalam tiga puluh tahun terakhir sekuens ini cukup populer digunakan sebagai marker molekular dalam studi keragaman hewan (taksonomi). Kurang lebih, hampir seluruh studi taksonomi hewan di lapangan melibatkan mtdna haplotyping dalam tahapannya (Galtier dkk., 2009). Alasan penggunaan mtdna sebagai marker molekular di kalangan peneliti sudah cukup terkenal, antara lain karena mtdna relatif lebih mudah diamplifikasi sebab jumlah duplikatnya dalam satu sel lebih banyak dibandingkan DNA kromosomal. Hal ini dikarenakan dalam satu sel terdapat banyak organel mitokondria. Selain itu, mtdna juga sangat khas antara satu dan lain spesies, jumlah pengulangan basanya sangat sedikit, tidak memiliki intron, dan daerah antargennya sangat pendek (Gissi dkk, 2008 dalam Galtier dkk., 2009). Gen Cytochrome b merupakan gen pada tikus berperan dalam mengkode enzim Cytochrome b. Gen ini terletak pada mtdna tikus, yang pada spesies Rattus rattus, lokasinya berada pada sekuens nukleotida nomor dari total panjang mtdna tikus yang ukurannya pasang basa (base pair/bp) (Robins dkk., 2008). Gen ini biasa digunakan dalam pengklasifikasian (taksonomi) spesies tikus berikut persebarannya, sebagaimana dalam Chinen dkk.

9 9 (2005) yang meneliti keragaman genetik dari genus Rattus di daerah Asia-Pasifik (Balakierev dan Rozhnov, 2012). Belum ada catatan penggunaan sekuens gen ini dalam hal analisis cemaran tikus pada produk olahan makanan sebagai upaya penjaminan kualitas, keamanan, dan kesehatan produk makanan yang rentan terhadap pemalsuan menggunakan daging tikus. 3. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan teknik amplifikasi potongan DNA yang diinginkan secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida dengan bantuan enzim polymerase (Pelt-Verkuil dkk.,2007). Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diamplifikasi adalah suatu sekuens DNA untaitunggal yang urutannya komplemen dengan DNA targetnya. Primer yang berada sebelum daerah target disebut primer forwarddan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Dalam teknik PCR juga dibutuhkan dntp sebagai bahan penyusun DNA serta enzim DNA polymerase (contohnya Taq DNA polymerase)untuk mensintesis fragmen DNA (Somma dan Querci,2000). Proses dalam PCR dibagi menjadi tiga langkah, yaitu denaturasi DNA pada suhu tinggi, penempelan (annealing) primer pada DNA target, serta sintesis DNA (extension/elongation). Satu kali putaran denaturasi, annealing, dan elongation disebut dengan siklus (cycle).reaksi amplifikasi fragmen DNA dengan PCR terjadi secara berulang dalam siklus. Denaturasi DNAuntai ganda menjadi DNA untai tunggal dilakukan pada suhu 95 o C. Suhu kemudianditurunkan

10 10 saat proses annealing menjadi sekitar o C. Optimasi suhu untuk tahap annealing sangat penting karena jika suhu terlalu rendah, primer akan menempel pada daerah yang tidak spesifik (non target). Di sisi lain jika suhu yang dipakai terlalu tinggi, primer tidak akan dapat menempel pada DNA target (Walker dan Rapley, 2009). Untuk proses annealing yang efisien, penentuan suhuannealing yang tepat merupakan tahap yang penting dalam metode PCR. Salah satu teknik yang sering dipakai untuk optimasi suhuannealing adalah metode Touchdown PCR. Dalam metode ini, digunakan suhu gradient untuk annealing dengan cara menggunakan suhu dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Suhu annealing yang tidak optimal akan terlihat pada produk amplifikasi yang tidak spesifik (lebih dari satu produk) jika suhunya terlalu rendah, atau sama sekali tidak terbentuk produk amplifikasi karena suhunya terlalu tinggi (Walker dan Rapley, 2009). Tahap PCR terakhir adalah tahap elongation (sintesis fragmen DNA) pada suhu o C. Pada tahap ini, enzim penyintesis DNA yang termostabil, umumnya yang paling sering dipakai adalah enzim Taq polimerase, akan mulai bekerja. Pada umumnya suhu optimal Taq polimerase untuk dapat aktif bekerja adalah pada suhu o C. Ketiga tahap utama dalam proses amplifikasi tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 1. Setelah proses PCR selesai, amplikon (fragmen DNA produk amplifikasi) PCR dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarose (Pelt-Verkuil dkk., 2007).

11 11 Gambar 1. Tahapan Amplifikasi PCR (Walker dan Rapley,2006) Saat ini berbagai tipe PCR telah dikembangkan untuk berbagai keperluan yang memerlukan kerja lebih spesifik. Beberapa contoh tipe PCR yang telah dikembangkan adalah Nested PCR, Multiplex PCR, Reverse Transcriptase PCR, dan Real-Time PCR. Dalam Nested PCR digunakan dua set primer dengan satu set primer yang lebih panjang untuk amplifikasi awal dan satu set primer yang lebih pendek untuk mengamplifikasi kembali amplikon dari amplifikasi oleh primer yang lebih panjang. Nested PCR digunakan untuk meningkatkan sensitivitas serta spesifitas dari amplifikasi DNA(Newton dan Graham, 1994). Dalam Multiplex PCR digunakan banyak pasangan primer dalam satu tube reaksi PCR untuk mengamplifikasi banyak sekuen target secara simultan. Reverse Transcriptase PCR digunakan untuk amplifikasi mrna spesifik, misalnya pada diagnosis virologi (Atlas dan Bey, 1994). Dalam Real-Time PCR, amplifikasi DNA dapat berjalan lebih cepat,

12 12 lebih akurat, dan lebih sensitif dibandingkan dengan metode PCR konvensional. Selain itu, kemungkinan terjadinya kontaminasi dapat diminimalisasi karena sistemnya yang tertutup. Selain itu analisisnya tidak memerlukan elektroforesis karena amplikon hasil Real-time PCR dimonitor dengan sinyal fluoresens sehingga hasil analisa dapat dilakukan secara langsung (Camma dkk., 2011).Spesifitas fragmen DNA produk amplifikasi Real-time PCR dapat diketahui dengan Melting Curve Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah melting temperature suatu fragmen DNA dipengaruhi oleh panjang dan sekuens dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis fragmen DNA untai ganda, maka hanya akan muncul satu melting curve (Lyon, 2001). Analisis kandungan daging tikus dalam produk bakso daging sapimenggunakan PCR konvensional dan primer spesifik tikus rrna 16S telah dilakukan oleh Faizah (2013). Sayangnya, primer yang digunakan hanya dapat mendeteksi tikus spesies Rattus norvegicus (tikus putih/ tikus laboratorium), dan tidak dapat mengidentifikasi tikus spesies Rattus argentiventer dan Rattus rattus (tikus sawah dan tikus rumah). Padahal kedua spesies tikus tersebut adalah spesies tikus yang paling sering digunakan untuk pemalsuan bakso daging sapi. Selain itu, metode PCR konvensional membutuhkan waktu yang panjang karena membutuhkan analisis lanjutan menggunakan elektroforesis gel agarose. 4. Real-timePolymerase Chain Reaction (RT-PCR) Real-timePolymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah salah satu teknik yang paling banyak digunakan dalam biologi molekuler modern. Beberapa contoh

13 13 aplikasinya adalah dalam kuantifikasi pathogen, kuantifikasi kanker, determinasi spesies transgenik, dan verifikasi dalam jumlah mikro (microarray) (Yuan dkk., 2006). Secara prinsip, real-time PCR maupun PCR konvensional merupakan proses yang dilakukan berulang-ulang antara kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap utama yaitu denaturasi, annealing, dan elongation (Pestana dkk., 2010). Proses amplifikasi menggunakan real-timepcr memiliki prinsip yang sama dengan proses amplifikasi PCR secara konvensional. Perbedaannya hanya terletak pada penambahan pelacak berfluoresensi (fluoresence dye) dalam Real- Time PCR yang nantinya bisa menghasilkan data fluoresensi secara real time untuk kuantifikasi sehingga penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR standar. Maksud dari kata real time pada metode ini adalah data fuoresensi yang dihasilkan dari proses amplifikasi dapat diamati secara langsung pada saat proses amplifikasi masih berjalan dan tanpa harus menunggu seluruh siklus amplifikasi selesai. Terdapat dua jenis pelacak berfluoresensi yang umum digunakan dalam proses real-time PCR, diantaranya adalah pelacak yang berinterkalasi dengan DNA (DNA binding dyes) dan pelacak yang berbasiskan probe atau label (Probe-based chemistries) (Johansson, 2006). Baik pada pelacak berbasiskan label maupun pelacakyang berinterkalasi dengan DNA, keduanya akan menghasilkan fluoresensi yang proporsional dengan jumlah DNA yang ada pada sampel (Dooley dkk., 2004 dalam Santos dkk., 2012). Salah satu contoh pelacak berupakomponen kimia yang berbasiskan probeatau label (Probe-based chemistries) adalah TaqMan, Molecular Beacon, dan Scorpion.Probe merupakan primer yang diberi label dye, terdiri dari reporter

14 14 dan peredam warna (quencher). Fluoresensi dari reporter hanya dilepaskan ketika dua pewarna terpisah melalui hibridisasi atau aktivitas nuklease. Standar posisi label dye, yaitu quencher berada pada 3' dan reporter pada 5' probe (Johansson, 2006). Penggunaan pelacak berbasiskan probe merupakan pendeteksian yang lebih spesifik karena jenis fluoresensi tersebut menggunakan pemeriksaan atau penyelidikan internal disamping penggunaan sepasang primer yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu. Sayangnya, pelacakberfluoresensi jenis ini lebih mahal dan perlu dilakukan perancangan sekuen nukleotida agar sekuen pada probe tersebut sesuai dengan sekuen pada gen target (Pestana dkk., 2010). Contoh pelacak yang berikatan atau berinterkalasi dengan DNA (DNA binding dyes) adalah SYBR green I. Pelacak SYBR green I merupakan pealacak yang berikatan dengan semua jenis DNA untai ganda (tidak spesifik) tetapi tidak berikatan dangan DNA untai tunggal.pelacak SYBR green I memberikan fluoresensi dengan intensitas yang cukup tinggi (lebih dari 1000 kali lipat) saat berinterkalasi denga DNA untai ganda (Pestana dkk., 2010). Gambar 2 menunjukkan mekanisme SYBR green I secara sederhana. Gambar 2. Mekanisme SYBR Green I (Xu, 2011)

15 15 Label SYBR green Imerupakan label fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label probe dan juga lebih mudah digunakan. Hal ini disebabkan karena tidak diperlu dilakukan desain sekuens probe dan optimasi sebelum label digunakan (Fajardo et al., 2008 dalam Santos dkk., 2012). Selain itu, penentuan konsentrasi primer yang optimum dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan SYBR green Isebagai bahan fluoresen dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan Molecular Beacon (Pestana dkk. 2010). Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak digunakan label interkalasi DNA baru yang dinamakan EvaGreen. Prinsip kerja dari label ini tidak jauh berbeda dengan SYBR green I, yaitu EvaGreen dapat berinterkalasi dengan DNA untai ganda dan tidak bereaksi dengan DNA untai tunggal. Perbedaan keduanya terletak pada performa kerjanya. Label EvaGreen diklaim lebih stabil dan sensitif dibandingkan dengan SYBR green I, serta tidak menyebabkan penghambatan (inhibisi) pada proses amplifikasi (Wang dkk., 2006). Selain itu, EvaGreen dapat digunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi sehingga dapat menghasilkan sinyal fluoressensi yang lebih kuat. Sinyal fluoresensi yang lebih kuat dapat menghasilkan sensitifitas yang lebih tinggi. (Chen dkk., 2009). Akumulasi dari produk amplifikasi (amplikon) PCR meningkat seiring dengan meningkatnya siklus reaksi sehingga intensitas fluoresens juga akan meningkat karena molekul EvaGreen berikatan dengan DNA untai ganda. Akumulasi dari produk yang dihasilkan dapat diukur dalam real-time PCR dan dapat dimonitor secara langsung dalam bentuk kurva intensitas fluoresensi

16 16 terhadap jumlah siklus. Gambar 3 menunjukkan garfik amplifikasi yang merupakan kurva intensitas fuoresensi terhadap jumlah siklus. Gambar 3.Grafik Amplifikasi (Kurva Intensitas Fluoresensi terhadap Jumlah Siklus)(Lappin dkk., 2012) Sensitifitas deteksi dengan menggunakan EvaGreen dipengaruhi oleh pembentukan primer-dimer, spesifisitas primer yang rendah, konsentrasi primer (dapat membatasi), dan terbentuknya struktur sekunder pada produk PCR. Semua faktor tersebut dapat mengarahkan pada terbentuknya produk DNA untai ganda yang tidak diharapkan dan dapat berikatan dengan EvaGreen sehingga menghasilkan sinyal fluoresen. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa EvaGreen tidak dapat membedakan satu DNA dengan DNA yang lainnya, oleh karena itu penting untuk menganalisis kurva pelelehan (Melting Curve Analysis)pada akhir pengujian dengan real-time PCR (Pestana dkk., 2010).

17 17 Dibandingkan dengan metode PCR konvensional, real-time PCR memiliki berbagai keunggulan. Selain amplifikasi atau perbanyakan DNA fragmen yang dapat diamati secara langsung pada saat amplifikasi masih berjalan (Real-Time), teknik ini juga dapat menentukan konsentrasi DNA (kuantifikasi DNA) yang terdapat pada sampel. Kuantifikasi DNA dapat dilakukan dengan melihat sinyal fluoresens yang besar intensitasnyasebanding dengan jumlah produk amplifikasi yang dihasilkan. Kurva amplifikasi Real-time PCR terdiri dari tiga fase, yaitu fase eksponensial (exponential), fase linier, dan fase melandai (plateau). Ketiga fase tersebut nantinya akan berhubungan dengan teknik kuantifikasi menggunakan kurva hasil amplifikasi Real-timePCR. Teknik kuantifikasi ini biasa disebut Quantitative PCR (qpcr) (Yuan dkk., 2006). Pada fase eksponensial, produk amplifikasi meningkat jumlahnya secara eksponensial karena jumlah reagen yang tersedia masih berlebih. Saat jumlah reagen mulai berkurang, maka kurva akan memasuki fase linier. Fase Linier adalah fase pada saat jumlah produk amplifikasi bertambah secara linier. Fase melandai mulai terjadi ketika jumlah reagen semakin sedikit sehingga jumlah produk amplifikasi tidak berubah signifikan(yuan dkk., 2006). Gambar 4 menunjukkan kurva amplifikasi berupa kurva jumlah siklus versus jumlah produk amplifikasi (fluoresens/rfu) dan gambar 5 menunjukkan kurva jumlah siklus versus log jumlah produk amplifikasi (fluoresens/rfu).

18 18 Gambar 4.Kurva Amplifikasi Berupa Kurva Jumlah Siklus PCR Versus Jumlah Produk Amplifikasi (dalam Unit Fluoresens/RFU) (Yuan dkk., 2006) Gambar 5. Kurva Jumlah Siklus PCR Versus Log Jumlah Produk Amplifikasi (dalam Unit Fluoresens/RFU) (Yuan dkk., 2006) Seperti yang ditampilkan pada gambar 4 dan gambar 5, kurva amplifikasi dapat disajikan dalam bentuk aritmatik biasa maupun dalam bentuk logaritmik. Kurva amplifikasi dalam bentuk logaritmik lebih menguntungkan karena fase eksponensial dapat tergambarkan lebih jelas (lebih panjang) dibandingkan pada kurva aritmatik dan bentuknya seolah-olah menjadi linier. Fase eksponensial cukup penting dalam proses penentuan garis ambang garis ambang

19 19 (threshold)karena pada umumnya garis ambang dibuat pada fase eksponensial. Garis ambang yang dibuat pada fase eksponensial menghasilkan data yang lebih representatif dibandingkan jika garis ambang dibuat pada fase lain. Garis ambang ditentukan untuk menentukan nilai Ct (Ct value) (Yuan dkk., 2006). Nilai Ct adalah jumlah siklus yang harus dilalui untuk mendapatkan jumlah respon fluroresensi (RFU) tertentu. Nilai Ct dapat ditentukan dengan bantuan garis ambang (threshold) pada tingkat respon fluoresensi tertentu. Misalnya, pada suatu kurva amplifikasi, dibuat garis ambang (threshold) pada respon fluoresensi sebesar 100. Selanjutnya dilihat bagian kurva yang dilewati garis ambang tersebut sedang berada di siklus ke berapa (Yuan dkk., 2006). Ilustrasi penentuan garis ambang (threshold) dan penentuan nilai Ct ditampilkan pada gambar 6. Gambar 6.Ilustrasi Garis Ambang (Threshold) dan Penentuan Nilai Ct (Santos dkk., 2012) Garis hijau merupakan garis ambang (threshold) dan titik merah merupakan nilai Ct.

20 20 Analisis kandungan daging babi dalam campuran bakso ayam dengan Real-Time PCR telah dilakukan oleh Siti Fatimah (2013). Belum ditemukan adanya penelitian terkait analisis kandungan daging tikus dalam campuran bakso sapi dengan menggunakan Real-Time PCR, sedangkan yang sudah banyak dilakukan adalah menggunakan PCR konvensional (Faizah, 2013). Padahal, metode PCR konvensional membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode Real-Time PCR karenapcr konvensional membutuhkan analisis lanjutan menggunakan elektroforesis gel agarose. 5. Melting Curve Analysis (MCA) MCA adalah suatu analisis untuk memperkirakan karakteristik denaturasi DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal selama mengalami pemanaasan.suhupada saat 50% dari DNA terdenaturasi dikenal sebagai titik leleh (melting point). Nilai suhumelting point ini sangat bergantung dari panjang sekuens DNA dan komposisi dari basa Guanin dan Cytosin pada DNA. Pada dasarnya, spesifitas primer dapat ditingkatkan dengan optimasi suhu leleh (melting temperature) dari fragmen DNA. Optimasi dapat dilakukan dengan Melting Curve Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah melting temperature suatu fragmen DNA dipengaruhi oleh panjang dan sekuens dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis fragmen DNA untai ganda, maka akan muncul 1 melting curve (Lyon, 2001). Bentuk kurva suhu lebur dapat dilihat pada Gambar 4.

21 21 Gambar 7. Grafik Kurva Leleh dari Produk PCR yang Menunjukkan Hubungan antara Intensitas Fluoresensi dan Suhu dalam Melting-Curve Analysis(Santos dkk., 2012). Grafik tersebut didapatkan dari amplifikasi gen Cytb terwelu (kelinci hutan) dengan metode Realtime PCR menggunakan label interkalasi DNA jenis EvaGreen dalam penelitian tentang identifikasi daging kelinci hutan menggunakan marker spesifik DNA mitokondria (Identification of hare meat by a species-specific marker of mitochondrial origin) 6. Primerspesifik, primer CytbRglu2L, dan primer CytbRCb9H Primer adalah sepasang DNA untai tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Primer merupakan komponen PCR yang sangat menentukan akurasi sekuen DNA yang ingin diamplifikasi. Urutan nukleotida primer akan menjadi penentu pada bagian mana primer akan menempel (anneal) pada genom. Jika urutan nukleotidanya tidak sesuai dengan kode gen yang kita inginkan, dapat dipastikan produk PCR yang dihasilkan akan keliru. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA target, sehingga dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang diinginkan (Pestana dkk. 2010).

22 22 Sekuens dari gen Cytochrome b (Cyt b) dan gen Cytochrome Oxidase I (COI) dalam DNA mitokondria kerap dipakai untuk menyelidiki taksonomi dari kelompok spesies dari tikus (Rattus) dan menghasilkan hubungan yang actual antara mtdna haploid yang terlihat dengan kelompok spesies Rattus tersebut (Balakirev dan Rozhnov, 2012). Sekuens gen Cyt b (1143 bp) dari spesies Rattus tersebut dapat diamplifikasi dengan metode PCR menggunakan pasangan primercytbrglu2l (5 -CAGCATTTAACTGTGACTAATGAC-3 ) dan primer CytbRCb9H(5 -TACACCTAGGAGGTCTTTAATTG-3 ) (Kocher dkk., 1989 dalam Balakirev dan Rozhnov, 2012). Berdasarkan perhitungan software penghitung suhu leleh yang diakses dari //www6.appliedbiosystems.com/support/techtools/calc/, primer tersebut memiliki kisaran suhu leleh (Tm) 54,45 dan 53,19 o C, sedangkan menurut perhitungan rumus (2 x jumlah AT + 4 x jumlah GC) adalah 66 C dan 64 C.Suhuannealing pada umumnya sebesar 3-5 C dibawah suhu leleh primer (Walker dkk., 2009). Dengan mengacu pada kaidah tersebut, maka kisaran suhuannealing yang dipakai berdasarkan suhu leleh hasil perhitungan software dan perhitungan rumus adalah C.Pada studi taksonomi yang telah dilakukan, kisaran suhuannealing optimal yang digunakan adalah C (Balakirev dan Rozhnov, 2012). Telah banyak literatur yang mengungkapkan primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat digunakan untuk studi taksonomi. Namun, penggunan primer tersebut dalam deteksi cemaran daging tikus dalam produk makanan menggunakan Real-timePCR belum pernah dilaporkan. Padahal, primer tersebut

23 23 berpotensi untuk digunakan dalam analisis makanan guna menjaga kualitas dan kebersihan produk makanan yang beredar di pasaran. Sebagai contoh, jika primer tersebut digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus dalam produk makanan berbahan daging sapi, tentu DNA dari spesies tikus yang tercampur dalam produk tersebut dapat terdeteksi karena DNA tikus dapat termplifikasi secara sempurna. Namun hal lain yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa primer CytbRglu2L dan Primer CytbRCb9H hanya dapat spesifik mengamplifikasi daging tikus tanpa mengamplifikasi DNA sapi dalam produk makanan tersebut. Hal tersebut dapat diperkirakan dengan menggunakan software Blast Primer dalam website NCBI (National Centre for Biotechnology Information). 7. Basic Local Alignment Searching Tool (BLAST) BLAST atau Basic Local Alignment Search Tool dalam bioinformatika, adalah algoritma untuk membandingkan informasi urutan primer biologis, seperti urutan asam amino dari protein yang berbeda atau nukleotida dari urutan DNA. Sebuah pencarian BLAST memungkinkan peneliti untuk membandingkan urutan query dengan perpustakaan atau database dari urutan, dan mengidentifikasi urutan perpustakaan yang menyerupai urutan query di atas ambang tertentu. Program BLAST ini dirancang oleh Stephen Altschul, Warren Gish, Webb Miller, Eugene Myers, dan David J. Lipman di NIH dan telah diumumkan dalam Journal of Molecular Biology pada tahun 1990 (Altschul dkk., 1990)

24 24 Berbagai jenis BLAST yang tersedia sesuai dengan urutan permintaan. Misalnya, mengikuti penemuan gen yang sebelumnya tidak diketahui dalam tikus, seorang ilmuwan biasanya akan melakukan pencarian BLAST dari genom manusia untuk melihat apakah manusia membawa gen yang sama; BLAST akan mengidentifikasi urutan dalam genom manusia yang menyerupai gen tikus berbasis pada kesamaan urutan (Oehmen dan Nieplocha, 2006). Melalui software BLAST ini juga dapat dicek apakah sepasang primer dapat atau tidak dapat mengamplifikasi suatu gen. Misalnya ingin diketahui apakah primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat mengamplifikasi gen selain dari sekuens gen Cyt b milik spesies tikus. Jika hasil Blast menyatakan bahwa primer tersebut hanya dapat spesifik mengamplifikasi gen Cyt b milik spesies tikus, maka primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat digunakan untuk deteksi cemaran daging tikus dalam produk makanan. F. Landasan Teori Metode PCR dapat digunakan dalam deteksi cemaran daging tikus dalam produk bakso sapi. Prinsip dari metode ini adalah penggunaan sepasang primer spesifik yang hanya dapat menempel pada DNA target spesifik dan kemudian sekuens DNA tikus tersebut diamplifikasi menggunakan enzim polymerase selama beberapa siklus. Pada metode Real-Time PCR, dapat dipantau proses amplifikasi yang sedang terjadi pada sampel. Hasil pembacaan Real-Time PCR adalah berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari pendaran fluoresen label yang digunakan. Ada tidaknya cemaran daging tikus dalam bakso sapi akan ditunjukkan dari kurva fluoresensi tersebut.

25 25 Optimasi suhu untuk tahap annealing sangat penting untuk menghasilkan produk amplifikasi yang spesifik. Untuk proses annealing yang spesifik dan efisien, dilakukan optimasi suhuannealing dengan metode Touchdown PCR. Dalam metode ini, digunakan suhu gradient untuk annealing dengan cara menentukan kisaran suhuannealing dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Suhu annealing yang tidak optimal akan terlihat pada produk amplifikasi yang tidak spesifik jika suhunya terlalu rendah, atau sama sekali tidak terbentuk produk amplifikasi karena suhunya terlalu tinggi. PrimerCytbRglu2L dan CytbRCb9H dapat mengamplifikasi sekuens gen Cytochrome b pada mtdna genusrattus. Agar primer dapat menempel secara spesifik, suhuannealing yang digunakan adalah 3-5 o C dibawah Tm primer yang dipakai. Tm dari primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H menurut software perhitungan Tm adalah 54,45 C dan 53,19 o C, sedangkan menurut perhitungan rumus (2 x jumlah AT + 4 x jumlah GC) adalah 66 C dan 64 C.Perkiraan suhu optimal yang dapat digunakan untuk annealing secara spesifik pada sekuens target adalah sekitar 49,45-63 C. Suhu annealing yang optimal akan membuat primer tersebut hanya mengamplifikasi DNA tikus saja, tanpa mengamplifikasi DNA sapi sehingga primer tersebut dapat digunakan dalam identifikasi cemaran tikus dalam bakso sapi. Hasil pembacaan menggunakan Real-Time PCRadalah berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari pendaran fluoresen label yang digunakan (dalam hal ini EvaGreen ). Ada tidaknya cemaran daging tikus dalam bakso sapi akan ditunjukkan dari kurva fluoresensi tersebut. Namun sinyal fluoresensi dari EvaGreen tidak spesifik karenaevagreen berinterkalasi

26 26 denagan semua dsdna yang ada. Untuk membedakan satu dsdna dengan dsdna yang lainnya, harus dilakukan analisis kurva pelelehan (Melting Curve Analysis)pada akhir pengujian dengan Real-Time PCR. MCA dapat membedakanproduk yang spesifik dengan produk nonspesifik.apabila hanya dihasilkan satu puncak suhu leleh pada hasil amplifikasi DNA, maka primer dapat dikatakan spesifik. G. Hipotesis Primer CytbRglu2L dan primer CytbRCb9H dapat digunakan untuk mengidentifikasi cemaran daging tikus dalam bakso sapi secara spesifik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Produk makanan olahan saat ini sedang berkembang di Indonesia. Banyaknya variasi bentuk produk makanan olahan, terutama berbahan dasar daging yang beredar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingginya harga daging sapi mengakibatkan beredarnya isu bakso sapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingginya harga daging sapi mengakibatkan beredarnya isu bakso sapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya harga daging sapi mengakibatkan beredarnya isu bakso sapi yang dicampur dengan daging tikus. Akibat dari tingginya harga daging sapi, ada pedagang bakso yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun masyarakat patut berhati-hati dengan bahan makanan dalam bentuk olahan atau mentah yang sangat mudah didapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. dan menyebabkan keprihatinan bagi pelanggan. Daging babi (Sus scrofa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. dan menyebabkan keprihatinan bagi pelanggan. Daging babi (Sus scrofa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemalsuan makanan merupakan masalah besar dalam industri makanan, dan menyebabkan keprihatinan bagi pelanggan. Daging babi (Sus scrofa domestica) merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2009; Martin dkk., 2009; Koppel dkk., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2009; Martin dkk., 2009; Koppel dkk., 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, identifikasi spesies hewan menjadi perhatian utama karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap bahan atau komposisi makanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang terbuat dari gelatin sapi (Sahilah dkk., 2012). Produsen akan memilih

I. PENDAHULUAN. yang terbuat dari gelatin sapi (Sahilah dkk., 2012). Produsen akan memilih I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kapsul adalah salah satu produk farmasi yang terbuat dari gelatin sapi dan gelatin babi yang berperan dalam pengemasan sediaan obat (Sahilah dkk., 2012), sedangkan gelatin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan kebutuhan gizi. Bahan pangan asal hewan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. tahun Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun

BAB I. PENDAHULUAN. tahun Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi rakyat Indonesia, pernyataan ini terdapat dalam UU pangan No. 7 tahun 1996. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hewan Babi Hewan babi berasal dari Genus Sus, Linnaeus 1758 mempunyai bentuk hidung yang rata sangat khas, hewan ini merupakan jenis hewan omnivora atau hewan pemakan segala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang- BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. bakso menggunakan daging sapi dan daging ayam. campuran bakso, dendeng, abon dan produk berbasis bakso lainnya.

BAB. I PENDAHULUAN. bakso menggunakan daging sapi dan daging ayam. campuran bakso, dendeng, abon dan produk berbasis bakso lainnya. BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bakso merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia. Bakso dapat dijumpai mulai dari pedagang gerobak yang berkeliling hingga restoran di hotel berbintang. Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. mengalami pemisahan bagian-bagian dari karkas hewan utuh sehingga jenis

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. mengalami pemisahan bagian-bagian dari karkas hewan utuh sehingga jenis BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi

Lebih terperinci

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini, pelaksanaan sistem jaminan halal menjadi isu global.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini, pelaksanaan sistem jaminan halal menjadi isu global. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Saat ini, pelaksanaan sistem jaminan halal menjadi isu global. Mengkonsumsi makanan halal adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim. Dalam al Qur an, disebutkan makanlah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi DNA Metode isolasi dilakukan untuk memisahkan DNA dari komponen sel yang lain (Ilhak dan Arslan, 2007). Metode isolasi ini sesuai dengan protokol yang diberikan oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif

Lebih terperinci

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Disusun oleh: Hanif Wahyuni (1210411003) Prayoga Wibhawa Nu Tursedhi Dina Putri Salim (1210412032) (1210413031) SEJARAH Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1985

Lebih terperinci

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah pusat dan pemerintah daerah selain berkewajiban menjamin keamanan produk obat dan makanan, saat ini juga mulai berupaya untuk menjamin kehalalan produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dicampur bahan perasa seperti udang dan ikan. Sedangkan kerupuk kulit atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dicampur bahan perasa seperti udang dan ikan. Sedangkan kerupuk kulit atau yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa seperti udang dan ikan. Sedangkan kerupuk kulit atau yang dikenal dengan nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012). Protein sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kebab Kata kabab ( اب ) berasal dari bahasa Arab atau Persia yang berarti daging yang digoreng dan bukanlah daging yang dipanggang. Kata kabab dari bahasa Arab tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpengaruh langsung pada diversifikasi produk pangan menyebabkan beranekaragamnya

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Potensi Ternak Sapi Potong di Indonesia Populasi penduduk yang terus berkembang, mengakibatkan permintaan terhadap kebutuhan pangan terus meningkat. Ternak memberikan kontribusi

Lebih terperinci

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( ) Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah terjadi di masyarakat dikarenakan harga babi yang relatif lebih murah dibandingkan dengan sapi, serta

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAGING TIKUS PADA PRODUK ASAL HEWAN DENGAN MENGGUNAKAN TEHNIK POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR)

IDENTIFIKASI DAGING TIKUS PADA PRODUK ASAL HEWAN DENGAN MENGGUNAKAN TEHNIK POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR) IDENTIFIKASI DAGING TIKUS PADA PRODUK ASAL HEWAN DENGAN MENGGUNAKAN TEHNIK POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR) Srihanto, E.A, Setiaji, G, Rumpaka, R dan Firwantoni Balai Veteriner Lampung Jalan Untung Suropati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung leper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Didalam Al-Qur an tertera dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b TINJAUAN PUSTAKA Tikus (Rattus norvegicus) Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang terdapat

Lebih terperinci

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Debbie S. Retnoningrum Sekolah Farmasi, ITB Pustaka: 1. Glick, BR and JJ Pasternak, 2003, hal. 27-28; 110-120 2. Groves MJ, 2006, hal. 40 44 3. Brown TA, 2006,

Lebih terperinci

PCR Cabinet, Thermocycler (PCR Mechine) and Real Time -PCR

PCR Cabinet, Thermocycler (PCR Mechine) and Real Time -PCR PCR Cabinet, Thermocycler (PCR Mechine) and Real Time -PCR Meet 6, Instrumentasi Bioteknologi Universitas Esa Unggul By: Seprianto, S.Pi, M.Si Thermocycler (Mesin PCR) Thermocyclers, or thermal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru (pulmonary tuberculosis),

Lebih terperinci

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat) 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Mantis 2.1.1 Biologi Udang Mantis Udang mantis merupakan kelas Malocostraca, yang berhubungan dengan anggota Crustasea lainnya seperti kepiting, lobster, krill, amphipod,

Lebih terperinci

I. PENGENALAN NATIONAL CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY INFORMATION (NCBI)

I. PENGENALAN NATIONAL CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY INFORMATION (NCBI) I. PENGENALAN NATIONAL CENTRE FOR BIOTECHNOLOGY INFORMATION (NCBI) A. PENDAHULUAN NCBI (National Centre for Biotechnology Information) merupakan suatu institusi yang menyediakan sumber informasi terkait

Lebih terperinci

MACAM-MACAM TIPE PCR DAN TEKNIK PEMOTONGAN PROTEIN DENGAN METODE EDMAN SEBAGAI DASAR KERJA ANALISIS SEKUENSING

MACAM-MACAM TIPE PCR DAN TEKNIK PEMOTONGAN PROTEIN DENGAN METODE EDMAN SEBAGAI DASAR KERJA ANALISIS SEKUENSING TUGAS GENETIKA MOLEKULER MACAM-MACAM TIPE PCR DAN TEKNIK PEMOTONGAN PROTEIN DENGAN METODE EDMAN SEBAGAI DASAR KERJA ANALISIS SEKUENSING Oleh: Laurencius Sihotang 8756130889 Program Studi Magister Pendidikan

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information)

Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information) Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information) Identifikasi bakteri pada saat ini masih dilakukan secara konvensional melalui studi morfologi dan

Lebih terperinci

DESAIN PRIMER. LAPORAN PRAKTIKUM disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Molekuler. oleh : Riani Ulfah

DESAIN PRIMER. LAPORAN PRAKTIKUM disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Molekuler. oleh : Riani Ulfah DESAIN PRIMER LAPORAN PRAKTIKUM disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Molekuler oleh : Dhaifan Diza A 1303790 Anisa Suci S 1300904 Novia Rahayu A 1302152 Riani Ulfah 1300952 Shabrina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Bab Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix x xii I II III PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.4 Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kapsul telah menjadi bentuk sediaan yang populer karena mempunyai banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa, mudah ditelan, dan tidak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras

BAB I PENDAHULUAN. baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kapsul merupakan bentuk sediaan padat yang mengandung bahan aktif, baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras untuk diberikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

Fakultas Biologi Unsoed

Fakultas Biologi Unsoed TEKMK PCR oleh Drs. Agus Hery Susanto, M.S. staf pengajar Pendahuluan Teknik PCR (polymerase chain reaction) digunakan untuk menggandakan fragmen DNA (urutan basa nukleotida) tertentu secara invitro melalui

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA HASIL DAN PEMBAHASAN Gen sitokrom b digunakan sebagai pembawa kode genetik seperti halnya gen yang terdapat dalam nukleus. Primer tikus yang dikembangkan dari gen sitokrom b, terbukti dapat mengamplifikasi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah

Lebih terperinci

SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION

SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION Disusun oleh : Vallery Athalia Priyanka NPM : 130801398 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

PENGENALAN BIOINFORMATIKA

PENGENALAN BIOINFORMATIKA PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) PENGENALAN BIOINFORMATIKA Oleh: Syubbanul Wathon, S.Si., M.Si. Pokok Bahasan Sejarah Bioinformatika Istilah-istilah biologi Pangkalan data Tools Bioinformatika

Lebih terperinci

DESAIN PRIMER SECARA IN SILICO UNTUK AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN rpob Mycobacterium tuberculosis DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

DESAIN PRIMER SECARA IN SILICO UNTUK AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN rpob Mycobacterium tuberculosis DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Desain Primer secara in silico untuk Amplifikasi Fragmen Gen rpob Mycobacterium tuberculosis DESAIN PRIMER SECARA IN SILICO UNTUK AMPLIFIKASI FRAGMEN GEN rpob Mycobacterium tuberculosis DENGAN POLYMERASE

Lebih terperinci

ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR)

ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR) ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR) By Amalia Masturotul M 09/283370/PA/12532 Detection

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon DNA genomik sengon diisolasi dari daun muda pohon sengon. Hasil uji integritas DNA metode 1, metode 2 dan metode 3 pada gel agarose dapat dilihat pada Gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Kuantitas DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dengan Spektrofotometer Pengujian kualitas DNA udang jari (Metapenaeus

Lebih terperinci

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PERANAN TES DNA DALAM IDENTIFIKASI FORENSIK

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PERANAN TES DNA DALAM IDENTIFIKASI FORENSIK REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PERANAN TES DNA DALAM IDENTIFIKASI FORENSIK KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUP DR. KARIADI

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi permasalahan utama di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang jika tidak

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL 3.1.1 Isolasi Vibrio harveyi Sebanyak delapan isolat terpilih dikulturkan pada media TCBS yaitu V-U5, V-U7, V-U8, V-U9, V-U24, V-U27, V-U41NL, dan V-V44. (a) (b) Gambar

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN 14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Lumbrokinase merupakan enzim fibrinolitik yang berasal dari cacing tanah L. rubellus. Enzim ini dapat digunakan dalam pengobatan penyakit stroke. Penelitian mengenai lumbrokinase,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

MAKALAH GENETIKA PCR ( Polimerase Chain Reaction ) «apikde...

MAKALAH GENETIKA PCR ( Polimerase Chain Reaction ) «apikde... http://apikdewefppundip201wordpress.com/2012/06/29/makalah-gene... 1 of 6 19/12/2012 23:43 APIKDEWEFPPUNDIP2011 Just another WordPress.com site MAKALAH GENETIKA PCR ( Polimerase Chain Reaction ) JUN 29

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

DNA (Deoxyribo Nukleid Acid) adalah macam asam nukleat yang berhubungan dengan

DNA (Deoxyribo Nukleid Acid) adalah macam asam nukleat yang berhubungan dengan BAB I. PENDAHULUAN DNA (Deoxyribo Nukleid Acid) adalah macam asam nukleat yang berhubungan dengan hereditas. Penemu DNA adalah seorang ahli kimia asal Jerman Friederich Mieschier (1869), yang menyelidiki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DNA Mitokondria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. daging merupakan makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. daging merupakan makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakso Sapi Definisi dari Standar Nasional Indonesia menyebutkan bahwa bakso daging merupakan makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar

Lebih terperinci

PERANAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KARYA TULIS ILMIAH. Oleh

PERANAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KARYA TULIS ILMIAH. Oleh PERANAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KARYA TULIS ILMIAH Oleh ELLIWATI HASIBUAN, S.Si, M.Si NIP. 1962 1017 2000 03 2 001 Pranata Laboratorium Perguruann

Lebih terperinci

Bioteknologi Tanaman KULIAH V. PCR, Sekuensing. Dr. Jamsari, Prog. Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan BDP-FPUA

Bioteknologi Tanaman KULIAH V. PCR, Sekuensing. Dr. Jamsari, Prog. Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan BDP-FPUA Bioteknologi Tanaman KULIAH V PCR, Sekuensing Dr. Jamsari, Prog. Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan BDP-FPUA Copyright Statement: Dengan ini dinyatakan, bahwa seluruh material (teks, gambar, grafik dan seluruh

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi dan Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria berfungsi sebagai organ respirasi dan pembangkit energi dengan

Lebih terperinci