IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Tahap I Percobaan 1: a. Komposisi Perifiton Selama penelitian ditemukan tiga kelas perifiton yaitu Bacillariophyceae (9 genus), Chlorophyceae (28 genus), dan Cyanophyceae (6 genus) yang terdistribusi pada setiap level kedalaman. Kelas Clorophyceae merupakan kelas dengan jumlah genus terbanyak yang ditemukan yaitu 28 genus atau 65% dari seluruh genus yang ada. Namun demikian banyaknya genus Chlophyceae yang ditemukan ternyata tidak diikuti oleh kelimpahan individunya. Kelimpahan terbesar ditempati oleh kelas Bacillariophyceae (Gambar 7) Gambar 7. Komposisi Perifiton Berdasarkan Kelas Genus dari kelas Bacillariophyceae yang terbanyak ditemukan adalah Navicula dan Synedra. Sementara itu, pada kelas Cyanophyceae genus yang dominan adalah Oscillatoria dan Merismopedia. Pada kelas Chlorophyceae distribusi genusnya hampir merata di semua level kedalaman.

2 36 Cymbella (Data Primer) Cosmarium ( ) Navicula (Data Primer) Synedra (Data Primer) Oscillatoria ( ) Merismopedia (Data Primer) Nitzschia ( Gambar 8. Perifiton yang Ditemukan di Tiap Kedalaman Substrat

3 b. Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton Nilai keanekaragaman perifiton pada berbagai kedalaman dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata rata Indeks Keanekaragaman dan Dominansi perifiton Perlakuan Indeks Keanekaragaman Indeks Dominansi A (1m) B (2m ) C (3m) D (4m) Dari nilai indeks keanekaragaman dari berbagai kedalaman yang terendah adalah kedalaman 1 m yaitu mempunyai nilai 0,75 + 0,073 sedangkan yang tertinggi yaitu pada perlakuan C ( kedalaman 3 m) dan perlakuan D (kedalaman 4 m) yaitu 0,89 + 0,019 dan 0,89 + 0,023. Nilai indeks dominansi yang dihasilkan dari berbagai kedalaman jaring dihasilkan nilai indeks dominansi tertinggi yaitu pada perlakuan A (kedalaman 1 m) yaitu sebesar 0,26 + 0,058 dan yang terendah pada perlakuan D (kedalaman 4 m ) yaitu dengan nilai 0,11 + 0, b. Kelimpahan Perifiton Selama periode penelitian nilai kelimpahan perifiton pada berbagai kedalaman jaring disajikan pada tabel berikut ini :

4 38 Tabel 2. Rata rata kelimpahan perifiton selama penelitian (ind/cm 2 ) Kelas Perlakuan A (1 m) B ( 2 m ) C ( 3 m ) D ( 4 m ) Chorophyceae Bacylariophyceae Cyanophyceae Total , ,2 a a ,4 a ,4 Keterangan : Tiap rata-rata perlakuan yang diikuti huruf yang sama memberikan pengaruh tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%. Hasil analisa statistik hubungan antara kelimpahan total perifiton terhadap kedalaman jaring tidak berbeda nyata dari setiap perlakuan,walaupun kalau dilihat dari jumlah kelimpahannya bahawa semakin dalam jaring angka kelimpahan meningkat. Nilai intensitas cahaya dan kecerahan perairan pada setiap kedalaman disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Intensitas Cahaya dan Kecerahan Perairan pada Berbagai Kedalaman Selama Penelitian Kedalaman (meter) Intensitas Cahaya (lux) Kecerahan perairan (cm) a 1 m 52,156 79,221 2 m 29,762 58,395 3 m 16,983 43,044 4 m 9,691 31, ,5 Berdasarkan data pada tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil pengukuran kecerahan perairan yang diukur menggunakan secchi disk hanya mampu menembus perairan hingga kedalaman 52-95,5cm. Namun berdasarkan hasil pengukuran intensitas cahaya menggunakan luxmeter dapat diketahui bahwa cahaya masih dapat menembus perairan hingga kedalaman 4 m walaupun nilainya terus menurun seiring bertambahnya kedalaman (Lampiran ). Parameter kualitas air tersebut meliputi parameter fisika dan kimiawi perairan. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4.

5 39 Tabel 4 Rata-Rata Nilai Parameter Kualitas Air Selama Penelitian. Parameter Kedalaman 0.2 m 1 m 5 m Suhu 30,7 30,7 29,8 Satuan DO 4,5 4,12 2,3 mg/l ph 7,36 7,37 7,43 - Nitrat 0,69 0,6 0,92 mg/l Nitrit 0,015 0,02 0,022 mg/l Orthoposfat 0,35 0,368 0,373 mg/l Alkalinitas 111,42-211,3 mg/l Sumber : BPWC 2009 dan Pengukuran sendiri Percobaan 2: a. Komposisi Perifiton Berdasarkan hasil identifikasi perifiton pada semua perlakuan (perlakuan A, B, C, D, dan E) di lokasi penelitian, ditemukan 36 genus perifiton yang terbagi atas tiga kelas, yaitu kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan Cyanophyceae (lampiran 4). Kelas Chlorophyceae mempunyai komposisi genus terbanyak, yaitu sebanyak 20 genus atau kira-kira 56 % dari seluruh genus yang ada, sedangkan kelas Bacillariophyceae mempunyai komposisi sebanyak 9 genus atau 25 % dan kelas Cyanophyceae sebanyak 7 genus atau 19 % (Gambar 8). 0 C CYANOPHYCEAE 19% CHLOROPHYCEAE BACILLARIOPHYCEAE 56% 25% CHLOROPHYCEAE BACILLARIOPHYCEAE CYANOPHYCEAE Gambar 9. Komposisi Perifiton Berdasarkan Kelas

6 b. Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton Nilai Indeks keanekaragaman perifiton dan indeks dominansi perifiton selama penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5. Rata-rata Indeks Keanekaragaman dan Dominansi perifiton (ind/cm 2 ) pada Berbagai Waktu Pengamatan Perlakuan Keanekaragaman Dominansi A ( 3 hari ) , ,06 B (6 hari ) , ,14 C ( 9 hari ) ,10 D ( 12 hari ) , ,05 E ( 15 hari ) , ,03 Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran nilai indeks keanekaragaman selama penelitian berkisar antara 0,67 0,83, nilai indeks keanekaragaman terendah pada perlakuan C (9 hari) dan tertinggi pada perlakuan E ( 15 hari). Nilai indeks dominansi terendah pada perlakuan E ( 15 hari) dengan nilai 0,17 + 0,03 dan nilai indeks dominansi tertinggi pada perlakuan C ( 9 hari ) yaitu 0,32 + 0, c. Kelimpahan Perifiton Tabel 6. Rata-rata Kelimpahan Perifiton (individu/ cm 2 ) Berdasarkan Perlakuan Perlakuan Chlorophyceae Bacillariophyceae Cyanophyceae TOTAL A (3 hari) a a a a B (6 hari) b b b b C (9 hari) b c b c D (12 hari) b b b b E (15 hari) b b b b Keterangan: Tiap rata-rata perlakuan yang diikuti huruf yang sama ke arah tegak memberikan pengaruh tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.

7 41 Hasil analisa statistik diperoleh bahwa kelimpahan total pada perlakuan C (perendaman 9 hari) yaitu ind/cm 2 berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain.kelimpahan rata rata perifiton terendah yaitu kelimpahan rata rata dari perlakuan A (3 hari) yaitu ind/cm 2, diikuti oleh perlakuan E (15 hari)sebesar ind/cm 2,perlakuan B (perendaman 6 hari) sebesar ind/cm 2 dan perlakuan D (12 hari) sebesar ind/cm Penelitian Tahap II Dari hasil pengamatan selama penelitian di dapat hasil seperti yang tertera di dalam tabel di bawah ini. Tabel 7. Konsumsi perifiton (g/ g ikan) pada berbagai ukuran ikan nilem Perlakuan/Bobot ikan nilem (g) Ulangan A ( 5 7 ) B ( 8 15 ) C ( ) Rata-rata + s.d b b a Hasil analisa statistik terhadap tingkat konsumsi ikan nilem diperoleh ada perbedaan antar perlakuan, perlakuan A (bobot ikan nilem 5 7 gram) tingkat konsumsi perifitonnya paling rendah yaitu 1,46 + 0,13 sedangkan tertinggi pada perlakuan C ( bobot gram) yaitu 2,74 + 0, Penelitian Tahap III Fisika dan Kimia Air Data beberapa parameter fisika kimia air yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

8 42 Berdasarkan data pada tabel tersebut tampak bahwa suhu perairan yang diamati relatif tinggi yaitu dengan nilai rata rata diatas 30 0 C. Kandungan oksigen yang diukur di lokasi penelitian relatif cukup bagus, yaitu dengan konsentrasi rata-rata diatas 3 ppm yaitu dengan nilai rata rata kisaran oksigen adalah 3,42-4,29 ppm. Nilai ph berkisar antara 6,91 7,11. Konsentrasi rata rata CO2 yang diperoleh selama penelitian berkisar 2,53 3,32 mg/l. Kadar amonia media yang diperoleh selama penelitian mempunyai kisaran rata rata adalah 0,129 0, 192 mg/l, kemudian nilai kisaran rata rata nitrit, nitrat dan fosfat berturut turut adalah 0,001 0,003 mg/l, 0,333 0,433 mg/l dan 0,048 0,080mg/l. Tabel 8. Nilai parameter fisika kimia air di KJA Waduk Cirata selama penelitian Perlakuan Suhu ( 0 C) DO (mg/l) ph Parameter Kualitas Air CO2 bebas (mg/l) Amonia (mg/l) Nitrit (mg/l) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l) A B C D E F 29,50-30,90 (30,07) 31,40-32,30 (31,90) 31,70-32,30 (31,90) 30,30-31,90 (31,10) 31,50-32,20 (31,83) 30,30-31,90 (30,10) (4,29) (4,14) (3,82) (3,80) ,93 (3,42) (4,02) 6,78-6,99 (6,91) 6,97-7,07 (7,03) 6,98-6,98 (6,98) 7,05-7,19 (7,11) 6,92-7,13 (7,04) 7,05-7,19) (7,11) (3,32) (2,77) (2,77) (2,53) (2,77) (2,77) 0,174-0,219 (0,192) 0,140-0,214 (0,172) 0,170-1,213 (0.180) 0,105-0,165 (0,129) 0,099-0,122 (0,109) 0,133-0,160 (0,148) 0,001-0,003 (0,002) 0,001-0,006 (0,002) 0,002-0,004 (0,003) 0,001-0,003 (0,001) 0,001-0,003 (0,001) 0,002-0,004 (0,002) 0,400-0,500 (0,433) 0,300-0,500 (0,400) 0,300-0,500 (0,400) 0,200-0,600 (0,333) 0,300-0,600 (0,333) 0,300-0,500 (0,433) 0,060-0,062 (0,060) 0,012-0,069 (0,048) 0,065-0,094 (0,075) 0,055-0,091 (0,080) 0,024-0,079 (0,055) 0,054-0,091 (0,067) NAB ) > 3 2) 6 8 2) Tidak boleh Optimal Tidak boleh Optimal Optimal > 10 3) <0,2 4) > 0,05 4) <0,2 5) > 0,02 5) NAB = Nilai Ambang Batas 1).Subagja (2003); 3).Zonneveld et al (1991); 4).Effendi,H ( 2003); 5). Wetzel (1975) dalam Hany (2009) Keterangan : Perlakuan A : 400 ikan nilem ikan mas Perlakuan B : 300 ikan nilem ikan mas Perlakuan C : 200 ikan nilem ikan mas

9 43 Perlakuan D : 100 ikan nilem ikan mas Perlakuan E : Tanpa ikan nilem ikan mas. Perlakuan F : 400 ikan nilem + tanpa ikan mas Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton Nilai keanekaragaman perifiton pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 9. Rata-rata keanekaragaman dan indeks dominasi perifiton Perlakuan Indeks Keaneka ragaman (H ) Indeks dominasi ( C ) A (400N + 200M) 1,63 + 0,077 0,27 + 0,021 B (300N + 200M) 1,41 + 0,088 0,36 + 0,021 C (200N + 200M) 1,50 + 0,159 0,33 + 0,020 D (100N + 200M) 1,55 + 0,139 0,37 + 0,033 E (0 N M) 1,51 + 0,168 0,32 + 0,070 F ( 400 N + 0 M ) 1,45 + 0,388 0,31 + 0,169 Hasil pengukuran nilai indeks keaneka ragaman perifiton berkisar dari 1,41 + 0,088 sampai 1,63 + 0,077, terendah pada perlakuan B (300 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) sedangkan terrtinggi pada perlakuan A ( 400 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas). Nilai indeks dominansi perifiton yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,27 sampai dengan 0,36. Nilai terendah diperoleh pada perlakuan A (400 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan B ( 300 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) Kelimpahan Perifiton Kelimpahan perifiton dihitung berdasarkan hasil penghitungan jumlah perifiton yang teridentifikasi. Data hasil penghitungan kelimpahan perifiton pada akhir penelitian disajikan pada tabel berikut.

10 44 Tabel 10. Rata-rata kelimpahan perifiton (ind/cm²) pada berbagai perlakuan Kelas Perlakuan A B C D E F Cyanopyceae Euglenophyceae Xantopyceae Chloropyceae Bacillariopycea Dynopyceae Total , , , , , , Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Data tentang kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan mas dan nilem pada masing masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13 Tabel 11. Rata rata kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan mas selama penelitian Perlakuan Kelangsungan Hidup ( SR ) (%) Laju Pertumbuhan Spesifik ( SGR ) (%) Pertumbuhan Bobot Mutlak ( G ) (g) A (400N + 200M ) 87.6 a a 42,0 a B (300N + 200M) 86.6 a a 44,0 a C (200N + 200M) 88.0 a a 45,0 a D (100N + 200M) 90.2 a b 50,8 b E (0 N M) 80.3 a ab 43,7 a F ( 400 N + 0 M ) Keterangan: Tiap rata-rata perlakuan yang diikuti huruf yang sama ke arah tegak memberikan pengaruh tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%. Hasil analisa statistik untuk kelangsungan hidup ikan mas selama penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan antar perlakuan. Rata rata kisaran kelangsungan hidup ikan mas adalah 80,3 % - 90,2 %. Nilai terendah diperoleh pada perlakuan E (tanpa ikan nilem dan 200 ekor ikan mas), sedangkan tertinggi pada perlakuan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas).

11 45 Untuk penghitungan laju pertumbuhan spesifik diperoleh perbedaan diantara perlakuan, nilai SGR yang terbaik adalah pada perlakuan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) yaitu % berbeda nyata dengan perlakuan A, B dan C tetapi tidak berbeda dengan perlakuan E. Hasil analisa statistik untuk nilai pertumbuhan mutlak ternyata mempunyai perbedaan yang nyata antar perlakuan, perlakuan yang terbaik adalah perlauan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) mempunyai nilai rata rata pertumbuhan 50,8 gram, sedangkan rata rata kisaran pertumbuhan mutlak selama penelitian adalah 43,7-50,8 gram. Dari hasil analisa statistik untuk kelangsungan hidup ikan nilem selama penelitian menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan.perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan F tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B, C dan D. Rata rata kisaran kelangsungan hidup ikan nilem adalah 60,7 % - 87,3 %. Nilai terendah diperoleh pada perlakuan F (400 ekor ikan nilem dan tanpa ikan mas) yaitu 60,7 %, sedangkan tertinggi pada perlakuan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) yaitu 87,3 %. Tabel 12. Nilai Rata rata kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan nilem selama penelitian Pertumbuhan Kelangsungan Laju Pertumbuhan Bobot Mutlak Perlakuan Hidup Spesifik (%) (G) (%) ( g ) A (400N + 200M ) 57.9 a a 12,7 a B (300N + 200M) 85.0 b a 11,7 a C (200N + 200M) 85.5 b a 14,7 a D (100N + 200M) 87.3 b b 22,7 b E (0 N M) F ( 400 N + 0 M ) 60.7 a ab 10,7 a Keterangan: Tiap rata-rata perlakuan yang diikuti huruf yang sama ke arah tegak memberikan pengaruh tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%. Untuk penghitungan laju pertumbuhan spesifik ikan nilem diperoleh perbedaan diantara perlakuan, perlakuan A, B, C dan F tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi perlakuan D berbeda nyata dengan perlakuan A, B

12 46 dan C, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan F. Nilai SGR yang terbaik adalah pada perlakuan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) yaitu % dan terendah pada perlakuan F yaitu %. Hasil analisa statistik untuk nilai pertumbuhan mutlak ikan nilem ternyata mempunyai perbedaan yang nyata antar perlakuan, perlakuan yang terbaik adalah perlauan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) mempunyai nilai rata rata pertumbuhan 22,7 gram, sedangkan terendah pada perlakuan F (400 ekor ikan nilem tanpa ikan mas) yaitu 10,7 gram. Rata rata kisaran pertumbuhan mutlak ikan nilem selama penelitian adalah 10,7-22,7 gram. Untuk mengetahui trend Pertumbuhan bobot mutlak rata rata ikan mas dan ikan nilem pada masing masing perlakuan dari setiap sampling selama penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini A B C D E 23 A B C D F Bobot (gram) Bobot (gram) A A 7 B 10.0 Awal I II III IV V VI 5 Awal I II III IV V VI Waktu Pengamatan (2 minggu) Waktu Pengamatan (2 minggu) Gambar 10. Grafik pertumbuhan ikan mas (A) dan Ikan Nilem (B) selama 3 bulan pemeliharaan

13 Pembahasan Penelitian Tahap I Percobaan 1: a. Komposisi Perifiton Genus dari kelas Bacillariophyceae yang terbanyak ditemukan adalah Navicula dan Synedra. Sementara itu, pada kelas Cyanophyceae genus yang dominan adalah Oscillatoria dan Merismopedia. Pada kelas Chlorophyceae distribusi genusnya hampir merata di semua level kedalaman. Genus Navicula dan Oscillatoria ditemukan dominan pada kedalaman 1 m hingga 2 m. Sementara itu, genus Navicula dan Synedra ditemukan dominan pada kedalaman 3 m hingga 4 m. Beberapa jenis perifiton yang ditemukan selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Tingginya kelimpahan dari genus Navicula dan Synedra diduga karena kedua genus tersebut memiliki lendir yang digunakan untuk menempel pada substrat (Sachlan 1982). Selain itu Navicula juga merupakan salah satu organisme pionir dalam pembentukan lapisan perifiton (Anonim 2004). Komposisi perifiton yang ditemukan selama penelitian memiliki kesamaan dengan komposisi fitoplankton yang ditemukan dalam isi perut ikan herbivor pada penelitian Herawati (2004) mengenai studi kebiasaan makan ikan hasil tangkapan di Waduk Cirata. Adapun jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan pada usus ikan herbivor antara lain Navicula, Nitzschia, Synedra, Oscillatoria, Merismopedia, dan sebagainya (Lampiran 2). Dengan demikian dapat diketahui bahwa jenis-jenis perifiton yang ditemukan selama penelitian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami b. Keanekaragaman Perifiton Nilai keanekaragaman dari suatu komunitas ditentukan oleh kekayaan spesies dan jumlah individu dari masing-masing spesies di dalam komunitas tersebut (Kikkawa 1986 dalam Afrizal 1997). Berdasarkan Krebs (1975), nilai indeks keanekaragaman Simpson dengan kisaran 0 0,5 menunjukkan ekosistem

14 48 perairan tidak stabil dan nilai kisaran 0,5 1 menunjukkan bahwa ekosistem perairan dalam keadaan stabil. Berdasarkan kisaran nilai rata-rata indeks keanekaragaman Simpson, setiap perlakuan termasuk ke dalam kategori ekosistem stabil karena nilai kisaran Indeks keanekaragaman pada setiap level kedalaman >0,5 (Tabel 1 dan Lampiran 3). Tingginya nilai indeks dominansi menunjukkan ketidakstabilan ekosistem karena hanya didominasi oleh jenis organisme tertentu. Suatu perairan,dikatakan memiliki dominansi apabila nilai indeks dominansi simpson diatas 0,8 (Magurran 1988). Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 3), didapatkan kisaran rata-rata nilai indeks dominansi perifiton pada KJA Waduk Cirata sebesar 0,11-0,26 ini berarti bahwa pada KJA Waduk Cirata menunjukkan tidak adanya dominansi jenis perifiton tertentu (Tabel 1), atau dengan kata lain dapat diinformasikan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi stabil c. Kelimpahan Perifiton Struktur komunitas merupakan pola kelimpahan suatu jenis dan pola keterikatan antar jenis dalam sebuah komunitas (Barnes and Mann 1993). Struktur komunitas yang dikatakan baik adalah struktur komunitas dengan nilai kelimpahan dan keragaman jenis yang tinggi (Odum 1971). Berdasarkan hasil pengamatan hingga hari ke-15, rata-rata kelimpahan perifiton yang tertinggi didapatkan pada perlakuan C (perendaman substrat dengan kedalaman3 meter), berbeda dengan hasil hipotesis awal yaitu perlakuan A (Perendaman substrat dengan kedalaman 1 m), di mana hipotesis awal ini didasarkan dari hasil penelitian Endrik (2006) yang menyatakan bahwa nilai kelimpahan tertinggi fitoplankton terdapat pada kedalaman 1 m. Selama periode penelitian, nilai rata-rata kelimpahan tertinggi terdapat pada perlakuan C (perendaman substrat dengan kedalaman 3m) dengan kelimpahan rata-rata kelas Bacillariophyceae yaitu (ind/cm 2 ), kelas Chlorophyceae yaitu (ind/cm 2 ) dan kelas Cyanophyceae yaitu (ind/cm 2 ) (Tabel 2).

15 49 Tingginya nilai intensitas cahaya dan suhu permukaan air menjadi penghamabat (inhibitor) bagi pertumbuhan perifiton, sehingga perifiton berkembang cenderung lebih baik pada kedalaman 3m. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Belcher dan Swale (1976) dalam Baksir (2004) dan Fogg (1980) yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan dapat menjadi penghambat bagi pertumbuhan perifiton (photoinhibitor). Hal ini juga ditunjukkan dari hasil analisis statistik yang menunjukkan bahwa kedalaman 3m dan 4m merupakan kedalaman yang paling baik walaupun diantara kedua kedalaman tersebut tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 2), sehinga dapat disimpulkan bahwa kedalaman 3m hingga 4m merupakan kedalaman yang optimal sebagai media tumbuh perifiton Dari hasil analisa statistik diperoleh hasil bahwa kelimpahan perifiton pada setiap kedalaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun berdasarkan nilai kelimpahan perifiton dan indeks keragaman Simpson, ada kecenderungan bahwa perendaman substrat pada kedalaman 3m menghasilkan struktur komunitas perifiton yang paling baik. Hasil uji Duncan pada lampiran 2 menunjukkan bahwa kelimpahan perifiton pada kelas Chlorophyceae mulai menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada kedalaman 3m. Hal tersebut memperkuat pernyataan bahwa kedalaman 3m merupakan kedalaman yang optimal untuk pertumbuhan perifiton. Perifiton merupakan salah satu produsen primer pada perairan. Nilai produktivitas primer sangat ditentukan oleh intensitas cahaya dan kecerahan perairan. Perifiton sebagai salah satu produsen primer pada perairan membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis. Nilai intensitas cahaya dan kecerahan perairan pada setiap kedalaman disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data pada tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil pengukuran kecerahan perairan yang diukur menggunakan secchi disk hanya mampu menembus perairan hingga kedalaman 52-95,5cm. Namun berdasarkan hasil pengukuran intensitas cahaya menggunakan luxmeter dapat diketahui bahwa cahaya masih dapat menembus perairan hingga kedalaman 4 m walaupun nilainya terus menurun seiring bertambahnya kedalaman (Lampiran 2 ).

16 50 Kedalaman permukaan perairan yang memiliki intensitas cahaya dan kecerahan perairan yang tertinggi belum tentu menjadi kedalaman optimum bagi pertumbuhan perifiton. Menurut Tilzer dkk (1975) dalam Baksir (2004), perifiton mempunyai toleransi yang berbeda dalam memanfaatkan cahaya, ada yang bias tahan terhadap cahaya kuat dan ada pula yang menyukai cahaya lemah. Misalnya kelas Chlorophyceae dan Bacillariophyceae yang termasuk kedalam organisme tipe teduh, intensitas cahaya yang tinggi merupakan photoinhibitor bagi pertumbuhannya (Belcher dan Swale 1976 dalam Baksir 2004). Pertumbuhan perifiton sangat ditunjang oleh kualitas air pada suatu kedalaman perairan. Parameter kualitas air tersebut meliputi parameter fisika dan kimiawi perairan. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 7. Bedasarkan data di atas, kelimpahan perifiton yang tinggi pada kedalaman 3 m 4 m juga dikarenakan adanya peningkatan unsur hara perairan selama kurun waktu penelitian. Hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya kisaran nilai ph, nitrit, nitrat, dan orthophospat terus meningkat hingga kedalaman 5 m. Suhu untuk pertumbuhan perifiton berkisar antara 20-35ºC terutama untuk diatom (Suparlina 2003). Suhu perairan selama periode penelitian berkisar antara 29,8-30,7 ºC, kisaran tersebut masih berada dalam kisaran yang optimum untuk pertumbuhan perifiton. Berdasarkan data pengamatan, dapat dilihat bahwa pertumbuhan perifiton, terutama dari kelas Bacillariophyceae, memiliki kelimpahan tertinggi pada kedalaman 3 4 m. Sesuai dengan pernyataan Syawaludin (2009) bahwa kelas Diatom (Bacillariaphyceae) merupakan kelas algae yang paling mudah ditemukan di berbagai jenis habitat perairan, terutama di dalam perairan yang relatif dingin Suhu perairan berhubungan erat dengan kandungan oksigen terlarut di dalam air. Kisaran oksigen terlarut (DO) yang tinggi bagi pertumbuhan perifiton adalah >5mg/L (Hutagalung 1988). Namun nilai DO terukur selama penelitian adalah berkisar antara 2,3-4,5 mg/l. Nilai kisaran tersebut berada di bawah kisaran optimum untuk pertumbuhan perifiton. Nitrat dan fosfat merupakan unsur hara penting untuk pertumbuhan perifiton. Nilai kisaran optimum nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

17 51 perifiton <0,2 mg/l (Wetzel 1975 dalam Hany 2009). Berdasarkan hasil pengukuran nitrat selama periode penelitian berkisar antara 0,6-0,92mg/L. Nilai nitrat yang didapatkan berada di atas kisaran optimum. Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Nilai kisaran optimum orthofosfat untuk pertumbuhan perifiton adalah >0,02 (Wetzel 1975 dalam Hany 2009). Berdasarkan pengukuran, fosfat selama periode penelitian berkisar antara 0,35-0,373 mg/l. Maka kisaran tersebut jauh di atas kisaran optimum untuk pertumbuhan perifiton. Besarnya nilai nitrat dan fosfat dapat memacu pertumbuhan perifiton. Tingginya nilai nitrat dan fosfat diduga akibat pasokan dari luar perairan. Pertumbuhan optimal perifiton membutuhkan nilai alkalinitas sekitar mg/L (Ghufran 2007). Berdasarkan Hasil pengukuran, didapatkan nilai alkalinitas yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 111,42-211,3mg/L. Alkalinitas di suatu perairan dapat bertindak sebagai buffer (penyangga) ph perairan. Menurut Ray dan Rao (1964) dalam Suparlina (2003), ph optimum untuk perkembangan diatom berkisar antara 8-9. Sementara itu, hasil pengukuran ph selama periode penelitian berkisar antara 7,36-7,43 atau berada di bawah kisaran optimum untuk pertumbuhan diatom. Akan tetapi nilai ph terus meningkat hingga kedalam 5 m. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kelimpahan diatom hingga kedalaman 3 m 4m Percobaan 2: a. Komposisi Perifiton Struktur komunitas merupakan pola kelimpahan suatu jenis organisme dan pola keterikatan antar jenis dalam sebuah komunitas (Barnes dan Mann 1993). Struktur komunitas dapat diketahui dengan mengetahui kelimpahan dan keanekaragamannya serta keasaman area habitatnya. Dengan demikian komunitas perifiton dapat dilihat berdasarkan kelimpahan dan keanekaragamannya. Kelimpahan perifiton itu sendiri dihitung berdasarkan hasil penghitungan jumlah perifiton yang teridentifikasi sebelumnya

18 52 Jumlah genus yang banyak ternyata tidak selalu diikuti dengan kelimpahan individunya. Berdasarkan rata-rata kelimpahan, pada setiap perlakuan terdapat kecenderungan kelimpahan kelas Bacillariophyceae lebih tinggi daripada kelas yang lain (Gambar 6). Adapun rata-rata kelimpahan kelas Bacillariophyceae selama perlakuan berkisar antara (ind/cm 2 ), sedangkan kelas Chlorophyceae berkisar antara (ind/cm 2 ), dan kelas Cyanophyceae berkisar antara (ind/cm 2 )(Tabel 3) b. Keanekaragaman Perifiton Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran nilai indeks keanekaragaman selama penelitian berkisar antara 0,69 0,83 dengan rata-rata sebesar 0,75. Indeks keanekaragaman yang terbesar terdapat pada perendaman 15 hari (perlakuan E),. Hal ini menunjukkan bahwa pada lama perendaman 15 hari (perlakuan E) pertumbuhan semua organisme perifiton merata pada semua kelas. Menurut Krebs (1985) tingginya nilai keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem yang seimbang. Sedangkan menurut Odum (1971) indeks keanekaragaman dengan nilai 0,60-0,80 menandakan bahwa tingkat kestabilan ekosistemnya tinggi. Berdasarkan nilai rata-rata indeks dominansi selama pengamatan, indeks dominansi rata-rata sebesar 0,25 dengan kisaran antara 0,17-0,32 (Tabel 5). Hal ini menunjukan bahwa selama perlakuan tidak terdapat dominansi perifiton, hal tersebut karena suatu perairan dikatakan memiliki dominansi apabila nilai Indeks Dominansi Simpson diatas 0,8. Berdasarkan hasil diatas, dapat dilihat bahwa pertumbuhan perifiton pada jaring semakin mantap dan beragam setelah terjadinya degradasi. Hal tersebut diduga karena perifiton yang baru akan lebih mudah menempel pada jaring karena telah ada substrat dasar dari perifiton yang terlepas sebelumnya. Oleh karena itu penanggulangan perlu dilakukan sebelum perifiton mantap dan menyebabkan kerusakan pada jaring akibat terjadinya penumpukan dan pelapukan.

19 53 Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perifiton yang lebih cepat daripada hipotesis yaitu pada perendaman selama 9 hari (perlakuan C) diduga karena faktor lingkungan pada saat penelitian yang cukup optimal terutama pada parameter intensitas cahaya dan unsur hara. Hal ini dimungkinkan karena penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Oktober yang masih termasuk musim kemarau sehingga intensitas cahaya cukup tinggi untuk mempengaruhi parameter yang lainnya. Sedangkan keanekaragaman tertinggi yang terdapat pada perlakuan E diduga karena setelah perlakuan C, kelas Bacillariophyceae mengalami degradasi sehingga substrat diisi oleh organisme dari kelas lain b. Kelimpahan Perifiton Tingginya rata-rata kelimpahan pada kelas Bacillariophyceae diduga karena sebagian organisme dari kelas Bacillariophyceae memiliki alat penempel pada substrat yang berupa tangkai bergelatin panjang atau pendek dan bantalan gelatin berbentuk setengah bulatan yang kuat, sehingga lebih memudahkan penempelannya pada jaring (Suparlina 2003). Dengan demikian, karena perifiton yang menempel lebih banyak berasal dari kelas Bacillariophyceae, untuk menanggulangi pertumbuhan yang terlalu banyak (blooming) dapat digunakan ikan herbivor sebagai penaggulangansecara biologis. Hal ini disarankan karena berdasarkan penelitian Herawati (2004) diketahui bahwa ikan-ikan di KJA terutama ikan herbivor seperti ikan nila dan ikan nilem banyak memakan perifiton sebagai pakan alaminya. Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kelimpahan total perifiton menunjukan bahwa pada perendaman selama 9 hari (perlakuan C) berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain. Hal ini dapat dilihat pada rata-rata perlakuan C, rata-rata kelimpahan total sebanyak ind/cm², rata-rata kelimpahan pada kelas Bacillariophyceae sebanyak ind/cm², pada kelas Chlorophyceae sebanyak ind/cm² dan pada kelas Cyanophyceae sebanyak ind/cm². Hal ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh perendaman terhadap struktur komunitas perifiton di KJA Waduk Cirata, walaupun hasil

20 54 tersebut berbeda dengan hasil hipotesis yaitu perlakuan D (Perendaman jaring selama 12 hari). Pemilihan perlakuan D pada hipotesis didasarkan pada pernyataan Huthette et.al (1985), yang menyatakan bahwa perifiton pada KJA akan mulai berkembang setelah dua minggu dan akan berkembang penuh setelah minggu ketiga. Selain itu hipotesis berdasarkan pada hasil penelitian Suparlina (2003) pada kolam berkonstruksi beton yang menunjukan bahwa kelimpahan tertinggi perifiton terdapat pada kisaran hari ke 10, 11, 12 dan 13. Pertumbuhan perifiton yang lebih cepat daripada hipotesis diduga karena adanya perbedaan parameter kualitas perairan terutama pada intensitas cahaya dan ortofosfat. Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian, dapat dilihat bahwa kedalaman secchi disk pada perairan selama penelitian berkisar antara cm, nilai ini jika dihitung berdasarkan hukum Lambert maka intensitas cahaya kurang lebih dapat mencapai kedalaman 2,08 m. Hal ini menjadikan aktivitas fotosintesis pada waduk terjadi lebih tinggi, karena pada penelitian Suparlina (2003), kedalaman secchi disk hanya berkisar antara cm. Walaupun kriteria tersebut masih sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Weitzel (1979) bahwa kisaran transparansi cahaya yang optimal bagi pertumbuhan perifiton berkisar antara Namun dapat dilihat bahwa intensitas cahaya pada Waduk Cirata lebih tinggi daripada kisaran optimal dan penelitian Suparlina (2003). Tingginya intensitas ini diduga menyebabkan pertumbuhan perifiton berlangsung lebih cepat, sehingga penanggulangan maupun pembersihan jaring harus dilakukan secara kontinyu dalam waktu yang lebih singkat Penelitian Tahap II Dari hasil pengamatan ternyata bahwa ada perbedaan pada tingkat konsumsi ikan nilem terhadap perifiton dari berbagai ukuran, hal ini dapat dilihat pada tabel 10 bahwa ikan nilem dengan ukuran kecil mempunyai mempunyai nilai konsumsi yang lebih kecil, walaupun antara perlakuan A dan B tidak berbeda nyata. Makin tinggi ukuran ikan maka semakin tinggi nilai konsumsi tersebut karena pada ikan yang berukuran lebih besar relatif mempunyai jumlah enzim

21 55 pencernaan yang lebih banyak sehingga lebih dapat mencerna dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih kecil (Weatherley dan Gill, 1987).Tetapi walaupun demikian belum tentu efektif,karena seiring dengan pertumbuhan ikan maka kebiasaan makananpun akan dapat berubah (Opunszynki dan Shireman, 1991).Soeseno (1971) menyatakan bahwa ikan nilem yang masih kecil mulamula memakan plankton tetapi kemudian lebih suka memakan epifiton dan perifiton. Berdasarkan efektifitas ikan nilem dalam memakan perifiton maka dari hasil penelitian didapat bahwa ikan nilem ukuran keci (5 7 g) mempunyai nilai efektifitas yang terbaik Penelitian Tahap III Fisika dan Kimia Air Berdasarkan data pada tabel diatas tampak bahwa Suhu perairan yang diamati relatif tinggi yaitu dengan nilai rata rata diatas 30 0 C, tetapi hal ini masih mendukung untuk kehidupan ikan. Hal ini disebabkan penelitian berlangsung pada waktu musim kemarau. Kandungan oksigen yang diukur di lokasi penelitian relatif cukup bagus, yaitu dengan konsentrasi rata-rata diatas 3 ppm. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa keberadaan nilem berpengaruh terhadap nilai oksigen media, semakin tinggi kepadatan nilem maka semakin tinggi juga kadar oksigennya, dan sebaliknya semakin rendah kepadatan nilem maka kandungan oksigen terlarut juga semakin kecil. Kisaran ph di lokasi penelitian berkisar antara 6,76 7,76, dengan demikian ph masih mendukung kehidupan ikan mas yang di budidayakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1990) bahwa kebanyakan ikan mempunyai kisaran ph optimum antara 6 9. Nilai kadar CO2 media masih dibawah nilai yang membahayakan. Dari hasil pengamatan selama penelitian diketahui bahwa semakin padat ikan nilem maka semakin tinggi juga CO2 nya.walaupun demikian nilai CO2 pada masing - masing perlakuan masih dibawah nilai yang membahayakan.

22 56 Untuk nilai Amonia ternyata semakin tinggi kepadatan nilem semakin tinggi juga kadar amonia medianya.walaupun masih dibawah ambang batas yang membahayakan tetapi pada perlakuan A (400 ekor nilem ekor ikan mas) kadar amonia rata-ratanya sudah mendekati 0,2 ppm. Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami.nitrat merupakan nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae.sehingga nitrat dapat digunakan untuk mengklasifikasi tingkat kesuburan suatu perairan. Kadar nitrat 0 1 mg/l merupakan perairan oligotrofik, perairan dengan kadar nitrat 1 5 merupakan perairan mesotrofik dan perairan eutrofik yaitu yang mempunyai kadar nitrat 5 50 mg/l. Kadar nitrat terukur berkisar antara 0,333 sampai mg/l, sehingga termasuk ke dalam perairan yang oligotrofik. Kadar nitrat yang diperoleh selama penelitian melebihi 0,2, semakin tinggi kepadatan nilem semakin tinggi juga kadar nitrat medianya. Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil dari pada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen.kadar nitrit di perairan alami sekitar 0,001 mgram/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mgram/l. Kadar nitrit yang terukur pada penelitian ini adalah berkisar 0,001 sampai 0,003 mg/l. Dengan demikian kadar nitit masih sesuai untuk ikan yang dibudidayakan. Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Nilai kisaran optimum orthofosfat untuk pertumbuhan perifiton adalah >0,02 (Wetzel 1975 dalam Hany 2009). Berdasarkan pengukuran, fosfat selama periode penelitian berkisar antara 0,048-0,080 mg/l. Maka kisaran tersebut jauh di atas kisaran optimum untuk pertumbuhan perifiton. Besarnya nilai nitrat dan fosfat dapat memacu pertumbuhan perifiton. Besarnya nilai nitrat dan fosfat dapat memacu pertumbuhan perifiton. Tingginya nilai nitrat dan fosfat diduga akibat pasokan dari luarwaduk dan dari bahan-bahan organik sisa pakan dan feses ikan yang dipelihara di KJA..

23 Parameter Biologi a. Keanekaragaman Perifiton Dari hasil pengamatan selama penelitian ternyata bahwa nilai keragaman dari suatu komunitas ditentukan oleh kekayaan spesies dan jumlah individu masing-masing spesies di dalam komunitas tersebut. Dari masing masing perlakuan mempunyai nilai yang tidak berbeda yaitu dibawah 2,3026 yaitu termasuk dalam kriteria rendah.hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran individu tiap jenis perifiton dan kestabilan komunitas berkisar rendah karena struktur komunitas suatu perairan dapat diketahui juga melalui indeks keaneka ragaman (H ). Indeks keanekaragaman menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat di suatu perairan (Odum, 1971). Tingginya nilai indeks dominansi menunjukkan ketidakstabilan ekosistem karena hanya didominasi oleh jenis organisme tertentu. Suatu perairan,dikatakan memiliki dominansi apabila nilai indeks dominansi simpson diatas 0,8. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan kisaran rata-rata nilai indeks dominansi perifiton pada perlakuan sebesar 0,27-0,37, ini berarti bahwa tidak menunjukkan adanya dominansi jenis perifiton tertentu atau dengan kata lain dapat diinformasikan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi stabil. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan ikan nilem selama penelitian tidak mempengaruhi nilai keanekaragaman dan dominasi perifiton b. Kelimpahan Perifiton Kelimpahan perifiton dihitung berdasarkan hasil penghitungan jumlah perifiton yang teridentifikasi. Data hasil penghitungan kelimpahan perifiton pada akhir penelitian disajikan pada tabel berikut. Berdasarkan hasil pengamatan, kelimpahan perifiton yang tertinggi adalah pada perlakuan E ( ind/cm 2 ) yaitu perlakuan yang tidak menggunakan ikan nilem dan yang terendah adalah pada perlakuan A ( ind/cm 2 ) yaitu pada perlakuan dengan menggunakan ikan nilem 400 ekor. Hal ini membuktikan bahwa semakin padat ikan nilem maka kelimpahan perifiton semakin rendah atau menurun, hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ikan nilem dapat menekan

24 58 populasi perifiton pada KJA. Sedangkan pada perlakuan E (tanpa ikan nilem) ternyata kelimpahan perifiton setara dengan perlakuan D( ind/cm 2 ), hal ini menunjukkan bahwa kebaradaan ikan mas juga ikut memanfaatkan perifiton yang ada pada KJA. Apabila kepadatan ikan nilem dihubungkan dengan kepadatan perifiton dan kadar oksigen di perairan maka tampak jelas bahwa semakin tinggi kepadatan ikan nilem akan semakin rendah kepadatan perifiton tetapi oksigen terlarut akan semakin tinggi. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui variasi nilai kelimpahan perifiton dari kelas Bacillariophyceae cenderung stabil dan hampir mendominasi padaperlakuan Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Hasil analisis pada Tabel 12 menunjukkan keberadaan ikan nilem tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan mas tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan mas. Hal ini diduga karena dengan kepadatan ikan nilem tersebut didukung oleh kualitas air terutama oksigen yang cukup bagus yaitu > 3 ppm. Tetapi dengan menurunnya kepadatan nilem berpengaruh terhadap pertumbuhan baik laju pertumbuhan spesifiknya maupun pertumbuhan mutlaknya, karena kepadatan nilem semakin turun nilai oksigennya semakin turun tetapi kelimpahan perifitonnya semakin naik. Hal ini membuktikan bahwa ikan mas juga mampu memanfaatkan perifiton juga sebagai tambahan makanan. Semakin rendah kepadatan ikan nilem maka semakin tinggi nilai laju pertumbuhannya baik pertumbuhan spesifik maupun pertumbuhan mutlaknya. Keberadaan perifiton pada KJA sangat berkaitan dengan kualitas air. Hal ini dapat dilihat hubungannya dengan oksigen, apabila kepadatan nilem rendah maka oksigen di KJA juga rendah sedangkan kelimpahan perifitonnya semakin tinggi dan ini menyebabkan tersedianya pakan yang cukup untuk memacu pertumbuhan ikan nilem tersebut. Pertumbuhan bobot mutlak rata rata ikan mas dan ikan nilem pada masing masing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

25 59 Pada Gambar 9 tampak bahwa pertumbuhan ikan mas yang tertinggi adalah pada perlakuan D (100 ekor ikan nilem per KJA) dengan bobot rata rata yaitu 50.8 gram per ekor.dari hasil analisa statistik ternyat bahwa untuk pertumbuhan bobot ikan mas mendapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan pemeliharaan ikan mas dengan 100 ekor ikan nilem (perlakuan D) dengan perlakuan yang lain. Sedangkan untuk pertumbuhan yang ikan nilem tertinggi yaitu pada perlakuan D yaitu dengan kepadatan 100 ekor ikan nilem. Setelah dianalisa secara statistik antar perlakuan mendapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Menurut Boyd (1990) bahwa pada penebaran yang tinggi dapat menghasilkan pertumbuhan dan derajat sintasan yang lebih rendah karena terjadi kompetisi ruang gerak, makanan dan dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi bahan buangan (amonia, karbon dioksida dan feses) yang bersifat toksik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem

Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem LAMPIRAN 32 Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem Sumber Keragaman JK DB KT F-hit Sig. Perlakuan 5,662 2 2,831 1,469 0,302

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksaakan di Karamba Jaring Apung (KJA) dengan mengambil lokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat melalui 3 tahap sebagai berikut: 3.1. Penelitian Tahap I Tahap penelitian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate) Selama 40 hari masa pemeliharaan nilem terjadi peningkatan bobot dari 2,24 ± 0,65 g menjadi 6,31 ± 3,23 g. Laju

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Jenis nutrien Kandungan (%) 2.2 Metode Penelitian Rancangan Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Jenis nutrien Kandungan (%) 2.2 Metode Penelitian Rancangan Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Ikan nilem yang digunakan berasal dari Cijeruk. Pada penelitian ini digunakan ikan nilem berumur 4 minggu sebanyak 3.150 ekor dengan ukuran panjang 5,65 ± 0,62

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah, terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat

Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. 1 /Juni 2016 (93-102) Kajian Variabel Kualitas Air Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Di Perairan Waduk Darma Jawa Barat Ega Cahyadi Rahman,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Bobot benih ikan nila hibrid dari setiap perlakuan yang dipelihara selama 28 hari meningkat setiap minggunya. Bobot akhir benih ikan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 15 Juni sampai dengan 6 Juli 2013 di perairan tambak udang Cibalong, Kabupaten Garut (Gambar 2). Analisis

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1. Kualitas Warna Perubahan warna ikan maskoki menjadi jingga-merah terdapat pada perlakuan lama pemberian pakan berkarotenoid 1, 2 dan 4 hari yaitu sebanyak 11,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Benih Ikan Lele Rata-rata tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi dicapai oleh perlakuan naungan plastik transparan sebesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter) 9 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan padat tebar yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari parameter biologi, parameter kualitas air dan parameter ekonomi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau 1. Profil Waduk Cengklik Boyolali BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Keberadaan waduk dan danau sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi dalam suatu media air pada wilayah tertentu. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi, jika terjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat.

Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Oleh Dian Ekawati, Sri Astuty dan Yayat Dhahiyat Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011, di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung, Bogor. Analisis kualitas

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL FAISOL MAS UD Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan ketinggian air yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari beberapa parameter uji (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN INTENSITAS CAHAYA DI WADUK CIRATA KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT

HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN INTENSITAS CAHAYA DI WADUK CIRATA KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT 1 2004 Abdurrachman Baksir Posted: 27 November 2004 Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor November 2004 Dosen : Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA

TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN SITU CIGUDEG SERTA HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER DAN UNSUR HARA Oleh: NUR INDRAYAN1 C02495009 SKRIPSI Sebagai Salah Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Mulur Sukoharjo merupakan objek wisata alam yang terletak di provinsi Jawa Tengah.Tepatnya berada di daerah Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kelurahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Parameter Fisik dan Kimia Perairan Telaga Bromo Rata-rata hasil pengukuran terhadap parameter fisik dan kimia perairan yang telah dilakukan setiap pengambilan sampel pada

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara

HASIL DAN PEMBAHASAN. Unsur Hara HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur Hara Fitoplankton membutuhkan unsur hara makro dan mikro untuk mendukung pertumbuhannya. Besi (Fe) sebagai salah satu unsur hara mikro dalam jumlah kecil berperan dalam sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

Total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air sumur sebesar 3,557 x. tertinggi didapatkan pada media air rendaman kangkung.

Total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air sumur sebesar 3,557 x. tertinggi didapatkan pada media air rendaman kangkung. 32 Total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air sumur sebesar 3,557 x 10 5 ekor/liter dan total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air rendaman kangkung sebesar 3,946 x 10 5 ekor/liter.

Lebih terperinci

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi, 1997). Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan n, TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Primer Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh aktivitas fotosintetik (terutama tumbuhan hijau atau fitoplankton)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kecerahan Warna Timbulnya warna ikan secara alami disebabkan tersedianya karotenoid dari makanan alami (Simpson et al. 1981 dalam Utomo dkk 2006), sedangkan sumber

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Komposisi Mikrooganisme Penyusun Komposisi mikroba penyusun bioflok yang diamati dalam penelitian ini meliputi kelimpahan dan jenis bakteri dalam air media pemeliharaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata

Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata Ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) sebagai pengendali pertumbuhan plankton yang berlebihan di Waduk Cirata Heti Herawati Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Abstrak Pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Evaluasi teknis budidaya Hasil dari teknologi budidaya penggunaan pakan sepenuhnya pada kolam air tenang dan teknologi budidaya penggunaan pakan pengganti limbah

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan Maret sampai September 2014 di Laboratorium UPT Kolam Pembenihan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR) Perubahan bobot ikan selama masa pemeliharaan diukur dan dicatat untuk mendapatkan data mengenai laju pertumbuhan

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu dari luar sistem perairannya sehingga dapat dinetralkan atau distabilkan kembali dalam jangka waktu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Data SR Setiap Perlakuan Selama Pemeliharaan

Lampiran 1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Data SR Setiap Perlakuan Selama Pemeliharaan LAMPIRAN Lampiran 1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Data SR Setiap Perlakuan Selama Pemeliharaan Ulangan Perlakuan 0 menit 2 menit 4 menit 6 menit 1 100 91,67 100 100 2 100 100 100 91,67 3 100 91,67 100

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas

Lebih terperinci