III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini meliputi : 1) pengujian kerentanan ikan nila terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae; 2) distribusi bakteri S. agalactiae di dalam tubuh ikan nila; 3) perubahan tingkah laku dan gejala klinis tubuh ikan nila; 4) mortalitas ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae; dan 5) perubahan makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila. 3.1 Pengujian Kerentanan Ikan Nila Terhadap Infeksi Bakteri S. agalactiae Pengujian ini didahului dengan tahap identifikasi bakteri untuk mengetahui sifat dan karakteristik bakteri tersebut (Tabel 1). Tabel 1 Hasil identifikasi bakteri Streptococcus agalactiae setelah reisolasi Pengujian Bakteri Streptococcus agalactiae Tipe β-hemolitik Tipe non-hemolitik Pewarnaan Gram Gram + Gram + Bentuk dan Penataan sel Bulat berantai pendek Bulat berantai panjang Tersusun 2-3 sel bakteri Tersusun >3 sel bakteri Motilitas - - Oksidatif/Fermentatif Fermentatif Fermentatif Katalase - - Oksidase - - Pertumbuhan NaCl 6,5% + + D-mannitol - - Haemolisis + - Gambar 1 Hasil pewarnaan gram bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik (SA3) dan tipe non-hemolitik (SA5). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri S. agalactiae pada ikan terbagi atas dua tipe seperti yang ditemukan oleh Sheehan et al. (2009), yaitu tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Bakteri β-hemolitik mampu melisis eritrosit 9

2 dengan sempurna yang ditunjukkan dengan adanya zona bening pada media agar darah. Sedangkan bakteri non-hemolitik tidak mampu melisis eritrosit sehingga tidak terbentuk zona pada media agar darah. Dari hasil identifikasi pada Tabel 1 telah sesuai menurut SNI :2009 mengenai identifikasi bakteri S. agalactiae pada ikan secara konvensional. Hasil karakterisasi bakteri S. agalactiae tipe β- hemolitik pewarnaan gram ungu positif berbentuk bulat (coccus), penataan berantai pendek tersusun 2-3 sel bakteri, sedangkan tipe non-hemolitik pewarnaan gram ungu positif berbetuk bulat (coccus), penataan berantai panjang tersusun > 3 sel bakteri (Gambar 1). Bakteri hasil reisolasi ini selanjutnya digunakan pada uji ambang batas, uji LD 50, distribusi bakteri S. agalactiae di dalam tubuh dan perubahan makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi bakteri S. agalactiae. Konsentrasi yang akan digunakan pada uji LD 50 terdiri dari 6 dosis bakteri dengan kontrol dalam 3 ulangan, dengan kisaran CFU/ml. Data hasil pengujian LD 50 secara ringkas disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji LD 50 yang diinfeksi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan tipe non-hemolitik Bakteri Pengenceran Jumlah Jumlah Total % ikan kematian Kematian Kematian / / / / / / Kontrol /30 0 S. agalactiae tipe β-hemolitik S. agalactiae tipe non-hemolitik / / / / / / Kontrol /30 0 Uji tantang yang dilakukkan dengan menginfeksi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik pada pengujian LD 50, ikan mulai mengalami kematian di hari ke-3. Nilai LD 50 yang didapatkan dari penginfeksian bakteri S. agalactiae tipe β- hemolitik adalah 10 5,6 CFU/ml. Sedangkan pada tipe non-hemolitik ikan juga mengalami kematian pada hari ke-3 namun, nilai LD 50 atau kematian 50% dari 10

3 populasi ikan yang didapatkan sebesar 10 4,8 CFU/ml, selengkapnya disajikan pada Lampiran 7 dan 8. Menurut Hardi (2011), bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan tipe β-hemolitik dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Permukaan sel bakteri tipe β-hemolitik (non kapsul) lebih banyak tersusun atas protein yang lebih mudah dan cepat dikenali oleh sel fagosit. Sedangkan tidak seperti sel bakteri tipe non-hemolitik (berkapsul) yang selain tersusun atas protein, juga tersusun atas karbohidrat yang lebih banyak, sehingga lebih sulit untuk difagosit. Sel bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat tumbuh dan berkembangbiak serta menyebarkan virulensi di sel atau jaringan dibandingkan bakteri tipe β-hemolitik yang mudah dikenali dan mampu dilawan oleh sistem imun (Hardi 2011). Winarti (2010), menyatakan bahwa cara pemaparan antigen pada intramuscular menyebabkan bakteri langsung masuk ke dalam jaringan dan pembuluh darah (kapiler) kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh sehingga dengan dosis lebih rendah menyebabkan kematian ikan nila yang lebih banyak dan cepat. Menurut Cipriano (2001) dalam Winarti (2010), keganasan penyakit dipengaruhi oleh jumlah dari faktor yang saling berhubungan, meliputi virulensi bakteri, macam dan derajat stress yang dipengaruhi populasi ikan, kondisi fisiologi dari inang dan derajat resistensi genetik yang tidak bisa dipisahkan dalam populasi spesifik dari ikan. Selain itu Winarti (2010) juga mengemukakan perbedaan dosis LD 50 yang dihasilkan disebabkan oleh berbedanya virulensi bakteri dan kondisi fisiologi serta derajat resistensi genetik ikan uji yang digunakan pada saat penginfeksian. 3.2 Distribusi Bakteri S. agalactiae di dalam Tubuh Ikan Nila Data yang didapatkan dari pengamatan distribusi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan tipe-non hemolitik di dalam tubuh ikan nila berupa jumlah bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan tipe-non hemolitik di dalam tubuh, mortalitas ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan tipe-non hemolitik, serta gejala klinis ikan nila yang terinfeksi. 11

4 Jumlah bakteri S. agalactiae baik tipe β-hemolitik maupun tipe-non hemolitik di dalam tubuh ikan nila bervariasi pada setiap titik waktu setelah diinfeksi melalui intramuscular, disajikan pada Lampiran 9. Bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik ditemukan pada organ yang diamati mulai dari hari ke-3 di hati, otak, dan ginjal serta darah. Puncak kepadatan terjadi pada hari ke-6 untuk organ ginjal dan darah sedangkan untuk organ hati dan otak terjadi pada hari ke-9, kemudian jumlahnya terus menurun sampai dengan hari ke-15. Tidak berbeda pula dengan bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik, pada bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik ditemukan pada organ yang diamati mulai dari hari ke-3 di hati, otak, dan ginjal serta darah. Puncak kepadatan terjadi pada hari ke-6 untuk darah sedangkan untuk organ hati, ginjal dan otak terjadi pada hari ke-9, kemudian jumlahnya terus menurun sampai dengan hari ke-15. Pola distribusi dan kepadatan S. agalactiae baik tipe β-hemolitik maupun tipe-non hemolitik di dalam tubuh ikan nila disajikan pada Gambar 2 dan 3. Gambar 2 Jumlah S. agalactiae tipe β-hemolitik yang hidup per ml darah atau per g organ ikan nila. Gambar 3 Jumlah S. agalactiae tipe non-hemolitik yang hidup per ml darah atau per g organ ikan nila. 12

5 Menurut Angka (2001) pertumbuhan bakteri yang cepat dan produk metabolit yang dihasilkan oleh bakteri tersebut menyebabkan gangguan fisiologis dan kematian ikan pasca infeksi. Semakin meningkatnya pertumbuhan bakteri S. agalactiae maka semakin meningkat pula ekstraseluler produk (ECP) yang dihasilkan sehingga toksisitasnya lebih tinggi (Hardi 2011). 3.3 Perubahan Tingkah Laku dan Gejala Klinis Tubuh Ikan Nila Perubahan Tingkah Laku Renang Perubahan tingkah laku renang yang muncul pada ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae yaitu ikan cenderung agresif dengan sirip punggung yang mengembang dan juga ditemui ikan yang lemah dan diam di dasar akuarium. Perubahan yang terjadi mulai hari ke- 2 pasca infeksi bakteri tipe β-hemolitik yaitu pola renang ikan yang berenang didasar akuarium dan soliter, sedangkan pada tipe non-hemolitik perubahan tingkah laku renang berupa berenang tidak beraturan dan sirip punggung mengembang. Ikan uji menunjukkan berenang gasping yaitu mengambil udara tepat di bawah permukaan air, soliter dan respon cepat pada hari ke- 5 pasca infeksi bakteri tipe non-hemolitik sedangkan bakteri tipe β-hemolitik ikan uji menunjukkan berenang abnormal pada hari ke- 7 ikan mengalami whirling yaitu berenang berputar-putar (menggelepar), gasping dan berenang melayang dikolom air. Infeksi bakteri tipe β-hemolitik dan nonhemolitik tidak menunjukkan perbedaan yang berarti pada perubahan pola renang (Lampiran 10). Namun, bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan (pada hari ke- 6 pasca infeksi ikan cenderung lemah, gasping dan whirling) sedangkan gejala yang sama baru muncul hari ke- 7 pasca infeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Gejala tersebut sesuai dengan gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. (2006) pada ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae sebelum mati yaitu berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling (menggelepar) dan tubuh membentuk huruf C Perubahan Tingkah Laku Makan Menurut Hardi (2011), perubahan tingkah laku makan ikan nila akibat serangan bakteri S. agalactiae karena terganggunya sistem pencernaan ikan akibat adanya infeksi bakteri S. agalactiae yang menyerang bagian hipotalamus (otak) 13

6 sebagai pusat yang mengatur rasa lapar dan juga pencernaan ikan. Perubahan tersebut terlihat pada aktivitas makan ikan nila pasca diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae mulai tampak pada awal hari ke- 3. Ikan mulai lambat merespon pakan yang diberikan dan jumlah pakan yang dimakan juga berkurang. Umumnya respon terhadap ikan pasca injeksi bakteri S. agalactiae lemah bahkan ikan uji yang diinfeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik tidak mau makan sejak hari ke- 3 pasca infeksi. Respon terhadap pakan ikan uji yang diinjeksi bakteri tipe β- hemolitik terlihat pada hari ke- 4 (lebih lama dari bakteri tipe non-hemolitik) terlihat pada Lampiran Perubahan Gejala Klinis Tubuh Ikan Nila Pasca infeksi dengan bakteri S. agalactiae, tubuh ikan nila menunjukkan perubahan gejala klinis. Gejala yang berbeda pasca injeksi tipe β-hemolitik dan non-hemolitik adalah waktu terjadinya gejala. Umumnya bakteri tipe β-hemolitik lebih lama waktunya dibandingkan dengan tipe non-hemolitik (Lampiran 12 dan 13). Pada Tabel 3 disajikan inventarisasi perubahan patologi tubuh ikan nila pasca diinjeksi bakteri S. agalactiae. Pada pasca injeksi bakteri S. agalactiae tipe nonhemolitik lebih banyak menimbulkan gejala klinis dibandingkan dengan tipe β- hemolitik sehingga dapat dikatakan bahwa tipe non-hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan tipe β-hemolitik. Tabel 3 Inventarisasi perubahan gejala klinis tubuh ikan nila pasca diinjeksi bakteri S. agalactiae Jumlah ikan yang mengalami gajala Gejala klinis klinis pasca infeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik tipe non-hemolitik Garis vertikal tubuh menghitam 5 8 Tubuh berbengkok membentuk C 1 2 Pendarahan tubuh (Hemorragi) 2 2 Mata menonjol (exopthalmia) 3 5 Clear operculum 2 2 Warna tubuh pucat 3 4 Mata mengkerut 1 2 Ulcer dikepala 1 3 Mata putih (purulens) 3 3 Kekeruhan mata (opacity) 2 3 Jumlah Perubahan mata yang ditunjukkan pada Gambar 5 tampak mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada hari ke- 6 pasca infeksi bakteri tipe non- 14

7 hemolitik dan muncul pada hari ke- 10 pasca infeksi bakteri tipe β-hemolitik. Awal perubahan pada mata yaitu mata mengkerut kemudian pupil mata mengecil, mata seperti berkabut (opacity), purulens hingga sebelah mata dapat hilang (Hardi 2011). Perubahan mata berkabut atau keruh (opacity) terjadi pada hari ke- 2 pada saat infeksi tipe non-hemolitik, sedangkan pada tipe β-hemolitik perubahan terjadi pada hari ke- 4. Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai dengan pendarahan terjadi pada hari ke- 4 untuk tipe non-hemolitik dan pada hari ke- 5 untuk tipe β- hemolitik. Lateral eksoptalmia lebih sering terjadi dibandingkan dengan bilateral eksoptalmia. Gejala streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai tanda. Gejala clear operculum muncul rata-rata pada hari ke- 3 dan clear operculum yang disertai pendarahan pada hari ke- 4 untuk bakteri tipe non-hemolitik dan hari ke- 5 pasca injeksi bakteri tipe β-hemolitik tanpa disertai pendarahan. A E F B 1 2 G H C I D 1 2 Gambar 4 Gejala klinis pada organ mata dan tubuh ikan nila; A. Normal; B. (1) Mata mengkerut dan (2) Garis vertikal tubuh menghitam, C. Warna tubuh memucat; D. (1) Mata berkabut (Opacity) dan (2) Pendarahan tubuh (Hemoragi); E. Clear operculum (penjernihan operculum) F. Purulens (mata putih); G. Lateral exopthalmi (penonjolan mata); H. Ulcer dikepala; I. Tubuh membengkok; 15

8 Menurut Irianto (2005) penyakit infeksius bisa bersifat akut dengan mortalitas tinggi dalam jangka waktu singkat dan sedikit tanda-tanda yang terlihat, sub-akut maupun kronis serta laten dengan mortalitas berlangsung hingga beberapa minggu sejak munculnya wabah. Streptococcus agalactiae merupakan bakteri patogen yang menyebabkan septicemia dengan tipikal infeksi yang kronis pada ikan nila (Conroy 2009). Penyakit S. agalactiae memiliki karakteristik yaitu septisemia dan meningoencephalitis (Mian et al. 2009). Gejala klinis dari penyakit ini adalah kelesuan, perut bengkak, lambung dan usus diisi dengan cairan gelatinous atau kekuning-kuningan dan pada beberapa ikan terjadi hemoragik kecil di mata, eksoptalmia dan kornea keburaman (opacity), selain itu hati membesar, kongesti ginjal dan limpa, dan adanya cairan di rongga peritoneal (Eldar et al. 1994). 3.4 Mortalitas Ikan Nila yang Diinfeksi S. agalactiae Mortalitas ikan nila yang terjadi selama uji distribusi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan tipe non-hemolitik di dalam tubuh serta perubahan makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi bakteri S. agalactiae disajikan pada Lampiran 14. Gambar 5 Mortalitas ikan nila akibat infeksi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik (dosis LD CFU/ml) dan mortalitas ikan nila akibat infeksi bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik (dosis LD CFU/ml). Pada Gambar 5 disajikan pola mortalitas pada ikan nila dari penginfeksian bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik sebanyak 10 6 CFU/ml dan tipe nonhemolitik sebanyak 10 5 CFU/ml. Pada pasca infeksi bakteri S. agalactiae menunjukkan bahwa kematian ikan nila mulai terjadi pada hari ke-3 untuk tipe 16

9 non-hemolitik tidak berbeda pula dengan tipe β-hemolitik ikan mulai mati pada hari ke- 3. Perbedaan puncak kematian mulai terjadi pada hari ke- 12 pada tipe non-hemolitik sebesar 88,89% dan untuk tipe β-hemolitik puncak kematian mulai terjadi pada hari ke-15 sebesar 77,78%. Pola kematian ini menandakan bahwa infeksi bakteri S. agalactiae tipe nonhemolitik lebih virulen dibandingkan dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik yang terlihat dari kecepatan kematian yang menyerang pada tipe bakteri tersebut. Hardi (2011), menyatakan bahwa permukaan sel bakteri tipe β-hemolitik (non kapsul) lebih banyak tersusun atas protein yang lebih mudah dan cepat dikenali oleh sel fagosit. Sedangkan tidak seperti sel bakteri tipe non-hemolitik (berkapsul) yang selain tersusun atas protein, juga tersusun atas karbohidrat yang lebih banyak, sehingga lebih sulit untuk difagosit. Sel bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat tumbuh dan berkembangbiak serta menyebarkan virulensi di sel atau jaringan dibandingkan bakteri tipe β-hemolitik yang mudah dikenali dan mampu dilawan oleh sistem imun. 3.5 Perubahan Makroskopis dan Mikroskopis Akibat Infeksi Bakteri S. agalactiae pada Ikan Nila Patologi Anatomi Makroskopis Pengamatan perubahan patologi anatomi makroskopis meliputi perubahan dalam bentuk, ukuran, konsistensi dan warna organ terutama hati dan ginjal. Pengamatan ini dilakukan dengan cara membedah tubuh ikan uji sesuai prosedur nekropsi (Lampiran 1) pada pra infeksi untuk mendapatkan gambaran organ internal ikan normal dan pasca infeksi tepatnya selama masa uji distribusi bakteri patogen di dalam tubuh ikan nila serta perubahan makroskopis dan mikroskopis. Patologi anatomi makroskopis ikan nila disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 7. 17

10 Tabel 4 Perbedaan makroskopis hati dan ginjal ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae dengan ikan normal. Perlakuan Ikan normal S. agalactiae tipe β- hemolitik S. agalactiae tipe nonhemolitik Organ internal Hati Ginjal Hati Ginjal Hati Ginjal Waktu pasca infeksi (jam) Merah kecoklatan muda cerah Merah kecoklatan tua, berupa gumpalan di tengah tulang punggung Merah Merah Merah Merah Merah Merah kecoklatan kecoklatan kecoklatan pucat kecoklatan kecoklatan kecoklatan pucat muda cerah muda cerah dan kuning pucat pucat dan kehijauan kuning kehijauan Merah Merah Merah Merah Merah Merah kecoklatan kecoklatan tua, kecoklatan tua, kecoklatan kecoklatan kecoklatan pucat tua, berupa berupa berupa gumpalan pucat pucat gumpalan di gumpalan di di tengah tulang tengah tulang tengah tulang punggung punggung punggung Kecoklatan Merah Organ dalam Merah Merah tua dan Merah muda cerah kecoklatan berair merah kecoklatan membengkak kecoklatan pucat muda cerah kecokelatan pucat dan berupa pucat kuning gumpalan di kehijauan tengah tulang punggung Merah Merah Merah tua Merah tua Merah Merah kecoklatan kecoklatan tua, membengkak di membengkak kecoklatan kecoklatan pucat tua, berupa berupa tengah tulang di tengah pucat dan dan gumpalan di gumpalan di punggung tulang membengkak di membengkak di tengah tulang tengah tulang punggung tengah tulang tengah tulang punggung punggung punggung punggung

11 A 2 1 B 2 1 C 2 1 D 2 1 E 2 1 F 2 1 Gambar 6 Perubahan makroskopis ginjal ( )(1) dan hati ( )(2) ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae pada hari ke- 0, 3, 6, 9, 12, dan 15; (A) Organ dalam normal, (B) hati berwarna pucat dan ginjal berwarna pucat, (C) hati berwarna merah kecoklatan dan ginjal berwarna pucat, (D) hati berwarna pucat dan ginjal membengkak berwarna merah kecoklatan, (E) hati berwarna merah kecoklatan dan ginjal membangkak berwarna merah kecoklatan, dan (F) hati berwarna kecoklatan pucat dan hati berwarna kecoklatan pucat dan organ dalam berair. Hasil pengamatan pada ikan nila pasca infeksi dengan bakteri S. agalactiae baik tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik menunjukkan perubahan makroskopis organ internal yang meliputi hati dan ginjal, tidak memiliki perbedaan yang jauh. Pada hari ke- 0 dan ke- 3 kondisi kedua organ masih normal, dimana hati memanjang di rongga tubuh, merah kecoklatan mudah cerah dan ginjal berwarna merah kecoklatan tua berupa gumpalan di tengah tulang 19

12 punggung. Kemudian hari ke- 6, 9, 12, dan 15 mulai terjadi perubahan makroskopis organ internal, mulai dari perubahan warna yang tadinya cerah menjadi pucat dan kehijauan atau semakin tua serta pembengkakan ginjal. Pada pasca infeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik hari ke-12 dan 15, rongga perut terdapat cairan yang berlebih. Dharma (1982) menyatakan bahwa terganggunya fungsi hati dan empedu disebabkan oleh meningkatnya kerja hati untuk mengumpulkan, mengubah, menimbun metabolik-metabolik dan menetralkan serta menghilangkan zat-zat toksin. Huizinga et al. (1979) menyatakan bahwa secara internal, hati dan ginjal adalah organ target dari septisemia akut. Ginjal merupakan organ utama sistem ekskresi ikan, suatu organ besar dan terdapat di bagian atas rongga perut yang memiliki fungsi sebagai ekskresi produk limbah dari tubuh dan penting untuk keseimbangan cairan tubuh (Angka et al. 1990). Ginjal memiliki kemampuan menyaring dan membuang partikel-partikel angtigen dan hasil buangan metabolik yang tersirkulasi dalam aliran darah dan juga sebagai jaringan limfomieloid utama (ginjal anterior) pembentuk respon imun dan darah pada ikan (Ferguson 1988). Purwoko (2009) menyatakan bahwa sebagian besar bakteri gram positif memproduksi eksotoksin yaitu protein yang diproduksi dan dikeluarkan oleh bakteri gram positif, sehingga toksin tersebut terbawa oleh peredaran darah sampai ke seluruh bagian tubuh inang. Eksotoksin ini menyerang sel inang secara lokal atau terbawa peredaran darah dan menyerang jaringan dan organ yang rentan. Enzim dan toksin yang dihasilkan bakteri penyebab penyakit septicemia sebagai produk ekstraselulernya merupakan racun bagi ikan yang dapat menyebabkan perubahan warna dan struktur organ dalam (Munro 1982) Patologi Anatomi Mikroskopis Menurut Takashima dan biya (1995), berbagai keadaan abnormal biasanya terlihat ketika hewan yang hidup tidak dapat memelihara kondisi normal dikarenakan gangguan di dalam fungsi fisiologikal dari sebagian atau keseluruhan tubuh, perubahan patologi tersebut secara umum meliputi: gangguan sirkulasi berupa hemoragi, hiperami, kongesti dan hydrops (edema); perubahan regresif berupa atrofi, degenerasi dan nekrosis; perubahan progresif ditandai dengan hiperplasia dan hipertropi dari sel dan jaringan; serta inflamasi. 20

13 Hati Pemeriksaan sel dan jaringan organ hati ikan nila kondisi normal yang disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Hati ikan nila pra infeksi dalam kondisi normal atau sehat. Di dalam hati perubahan patologi khusus yang terjadi terdiri atas: hipertropi, cloudy swelling, atropi, nekrosis, degenerasi vacuolar (vakuolisasi) degenerasi lemak, bile stagnation, hepatitis, cirrhosis, dan kongesti (Takashima dan biya 1995). Tabel 5 Perubahan patologi hati ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Bakteri Waktu Pengamatan Perubahan patologi di dalam hati (Hari) He K Dv N S. agalactiae tipe β-hemolitik S. agalactiae tipe non-hemolitik Keterangan: He=hemoragi, =hiperemi, K=kongesti, Dv=degenerasi vakuolar (vakuolisasi), N=nekrosis; (-) tidak terjadi perubahan; (+) terjadi perubahan stopatologi yang teramati dari organ hati pada ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan yang diinfeksi S. agalactiae baik tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik selama periode pengamatan pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, dan 15 mengalami perubahan patologi berupa hemoragi, hiperemi, kongesti, vakuolisasi dan nekrosis disajikan pada Tabel 5. 21

14 Dg Cg He Gambar 8 stopatologi hati ikan nila yang di infeksi bakteri S. agalactiae tipe β- hemolitik: =hiperemi, =nekrosis, Dg=degenerasi, Cg=kongesti, Dv=degenerasi vacuolar (vakuolisasi), He=hemoragi Dv H Dv Dv Dv Dv Gambar 9 stopatologi hati ikan nila yang di infeksi bakteri S. agalactiae tipe nonhemolitik: =hiperemi, =nekrosis, Dg=degenerasi, Dv=degenerasi vacuolar (vakuolisasi), He=hemoragi Takashima dan biya (1995), menyatakan kongesti darah sinusoid atau pembuluh kecil terjadi pada hati. Sel hepatik di dalam area yang berdampingan mengalami atrofi dalam kasus yang hebat dari kongesti. Serta vakuola kadangkala teramati di dalam nukleus pada preparasi pewarnaan dengan hematoxylin dan eosin (HE). Vakuola ini sedikit berisi koloid protein cair tetapi terkadang menunjukkan reaksi PAS (Periodic Acid Schiff) positif

15 Otak Pemeriksaan pra infeksi sel dan jaringan organ ginjal ikan nila normal yang disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Otak ikan nila pra infeksi dalam kondisi normal atau sehat. Pengamatan histopatologi otak ikan nila memperlihatkan bahwa ikan yang diinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik selama periode pengamatan pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, dan 15 mengalami perubahan-perubahan patologi berupa: hemoragi, hiperemi, degenerasi, dan nekrosis, disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Perubahan patologi otak ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik S. agalactiae tipe nonhemolitik Waktu Pengamatan Perubahan patologi di dalam otak (Hari) He Dg N Keterangan: He=hemoragi, =hiperemi, Dg=degenerasi, N=nekrosis; (-) tidak terjadi perubahan; (+) terjadi perubahan Kerusakan sel dan jaringan yang timbul pada organ otak ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik organ mengalami perubahan pada hari ke-6 dengan kerusakan yang ditimbulkan berupa: hiperemi, degenerasi dan nekrosis (Gambar 11). Sedangkan tipe non-hemolitik, organ mengalami perubahan mulai 23

16 dari hari ke-3 sampai hari ke-15 berupa: hemoragi, hiperemi, nekrosis, degenerasi vacuolar (Gambar 12). Dg Dg Gambar 11 stopatologi otak ikan nila yang di infeksi bakteri S. agalactiae tipe β- hemolitik (mesencephalon); =hiperemi, =nekrosis, Dg=degenerasi, Dv=degenerasi vacuolar (vakuolisasi) He Ht Dg Dg Dv D Gambar stopatologi otak ikan nila yang di infeksi bakteri S. agalactiae tipe nonhemolitik (mesencephalon); =hiperemi, =nekrosis, Dg=degenerasi, Dv=degenerasi vacuolar (vakuolisasi), He=hemoragi 24

17 Ginjal Pemeriksaan pra infeksi sel dan jaringan organ ginjal ikan nila normal yang disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 Ginjal ikan nila pra infeksi dalam kondisi normal atau sehat. Pengamatan histopatologi organ ginjal pada ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan yang di infeksi bakteri S. agalactiae selama periode pengamatan pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, dan 15 mengalami perubahan patologi berupa: hiperemi, nekrosis, degenerasi, degenerasi vacuolar (vakuolisasi), hemoragi, hipertropi yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perubahan patologi ginjal ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Waktu Perubahan patologi di dalam ginjal Bakteri Pengamatan (Hari) He Ht Dv N S. agalactiae tipe β-hemolitik S. agalactiae tipe nonhemolitik Keterangan: He=hemoragi, =hiperemi, Ht=pertropi, Dv=degenerasi vakuolar (vakuolisasi), N=nekrosis; (-) tidak terjadi perubahan; (+) terjadi perubahan Kerusakan sel dan jaringan yang timbul pada organ ginjal ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik organ mengalami perubahan pada hari ke-3 dengan kerusakan yang ditimbulkan berupa: hiperemi, degenerasi dan nekrosis 25

18 serta pada hari ke- 6 disertai dengan hemoragi (Gambar 14). Sedangkan tipe nonhemolitik, organ mengalami perubahan mulai dari hari ke- 3 berupa: hiperemi, nekrosis, degenerasi vacuolar dan pada hari ke- 6 krusakan yang timbul berupa: hemoragi dan hipertropi (Gambar 15). Dg Dg He Gambar 14 stopatologi ginjal ikan nila yang di infeksi bakteri S. agalactiae tipe β- hemolitik; =hiperemi, =nekrosis, Dg=degenerasi, He=hemoragi Ht He He Dg Dg Dv Gambar 15 stopatologi ginjal ikan nila yang di infeksi bakteri S. agalactiae tipe nonhemolitik; =hiperemi, =nekrosis, Dg=degenerasi, Dv=degenerasi vacuolar (vakuolisasi), Ht=hipertropi, He=hemoragi Menurut Hardi (2003), reaksi dari sel, jaringan atau organ terhadap agen perusak dapat berbentuk adaptasi, penyesuaian terhadap rangsangan fisiologik atau patologik tertentu, seperti adanya reaksi berupa hipertropi, hiperplasia, hiperemi dan atropi. Hal ini menandakan gejala klinis yang muncul pertama kali karena adanya adaptasi perubahan lingkungan (patogen, penangan, polutan). 26

19 Plumb (2004) juga berpendapat bahwa perubahan-perubahan tersebut merupakan respon awal yang diikuti dengan terjadinya peradangan, nekrosis dan terbentuknya tukak. Hal ini karena adanya tekanan dari bahan penyebab stress di lingkungan berupa infeksi bakteri S. agalactiae. Hemorragi merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik ke luar tubuh maupun ke luar jaringan tubuh, gambaran mikroskopik terlihat eritrosit di luar pembuluh darah (Takashima dan biya 1995). peremi adalah kondisi menggenang dari aliran darah arteri. Sedangkan kongesti merupakan kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah sehingga tejadi pembendungan, gambaran mikroskopik berupa kapiler darah tampak melebar penuh berisi eritrosit. Menurut Ressang (1984), kongesti adalah terjadinya pembendungan darah yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati dimana sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu, hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat. Degenerasi merupakan keadaan substansi fisiologikal di dalam jaringan yang meningkat secara abnormal atau terlihat ditempat lain (Takashima dan biya 1995). krosis adalah kematian yang terjadi secara cepat pada bagian yang terbatas pada suatu jaringan dari individu tertentu disaat masih hidup. Gambaran mikroskopis dicirikan oleh adanya perubahan warna jaringan (lebih pucat): perubahan konsistensi jaringan (lebih lunak); adanya batas yang jelas antara jaringan nekrosis dan jaringan normal serta adanya perubahan pada sel yang meliputi ini, sitoplasma dan sel secara keseluruhan. Reaksi terhadap jaringan nekrosis, disekitarnya akan dikelilingi oleh neutrofil yang akan membantu mencairkan jaringan tersebut agar dapat dikeluarkan dari tubuh (Hardi 2003). Menurut Darmono (1995), tingkat kerusakan sel dan jaringan dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat. Degerenerasi termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel dan nekrosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organ ginjal, otak dan hati ikan nila yang diinfeksikan bakteri S. agalactiae baik tipe β-hemolitik maupun non-hemolitik mengalami semua tingkatan kerusakan sel dan jaringan mulai dari ringan, sedang 27

20 dan berat. Perbaikan jaringan pada organ yang rusak akan berlangsung lambat apabila ikan yang terinfeksi tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik sehingga kerusakan organ biasanya akan berakhir dengan kematian (Nabib dan Pasaribu 1989). 3.6 Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian meliputi suhu, dissolve oxygen (DO), ph dan amoniak. Pengukuran dilakukan mulai dari awal perlakuan hingga akhir perlakuan uji tantang infeksi. Kisaran nilai parameter kualitas air selama masa penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kisaran kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama masa penelitian Parameter kualitas air Nilai kualitas air selama penelitian Kualitas air untuk ikan nila Suhu ( o C) ph DO (mg/l) Amoniak (mg/l) < 0.02 Referensi SNI 7550:2009 Berdasarkan Tabel 8, maka kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama masa penelitian berada pada kisaran yang ideal bagi pertumbuhan ikan budidaya nila (SNI 7550:2009). Hal ini menunjukkan bahwa parameter kualitas air dalam penelitian ini tidak menjadi faktor pembatas yang mempengaruhi kehidupan ikan nila, sehingga infeksi yang terjadi sepenuhnya disebabkan oleh infeksi bakteri S. agalactiae. Menurut Taufik (1984) kualitas air dapat mempengaruhi keadaan ketahanan tubuh ikan dan dapat mempengaruhi timbul atau tidaknya suatu penyakit. Secara umum faktor yang terkait dengan timbulnya suatu penyakit merupakan interaksi dari tiga faktor yaitu inang, patogen dan lingkungan atau stressor eksternal (perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, tingkat higienik yang buruk dan stress) (Austin dan Austin 1999, diacu dalam Irianto 2005). Selama penelitian, parameter kualitas air pada awal dan akhir pengamatan menunjukkan kisaran yang layak untuk media budidaya ikan nila yang ditunjukkan pada Tabel 10. Kisaran suhu selama penelitian masih berada dalam kisaran normal untuk pemeliharaan ikan nila yaitu o C. Ikan nila dapat hidup pada suhu o C (SNI 7550:2009). Suhu air secara langsung mempengaruhi respon fisiologi, 28

21 reproduksi dan pertumbuhan ikan. Effendi (2003) menyatakan bahwa perubahan suhu akan mempengaruhi kecepatan perkembangan mekanisme pertahanan dan pembentukan antibodi, selain itu perubahan suhu dapat menjadi penyebab stress yang akan mempengaruhi kesehatan ikan. Selama penelitian nilai ph masih berada dalam kisaran normal yang cocok untuk pemeliharaan ikan nila yaitu berkisar antara Boyd (1982) menyatakan bahwa air dengan ph kurang dari 4 akan membunuh ikan, antara baik untuk ikan budidaya, ph lebih dari 8.5 akan membahayakan ikan dan ph 11 akan membunuh ikan. Ikan nila dapat hidup pada ph (SNI 7550:2009). Kandungan oksigen terlarut dalam media pemeliharaan ikan nila selama penelitian berkisar antara mg/l, nila ini masih sesuai dengan kondisi hidup ikan nila yang dapat hidup pada kisaran oksigen terlarut 3 mg/l (SNI 7550:2009). Selama penelitian kandungan amoniak masih berada dalam kisaran optimal yaitu sebesar ppm. Menurut Boyd (1982), konsentrasi amoniak untuk pemeliharaan ikan adalah lebih dari 0.52 ppm, sedangkan pada konsentrasi ppm dapat menyebabkan kematian ikan dan proporsi total amoniak ini akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan ph. Hal ini juga didukung dengan kondisi ikan nila masih dapat hidup pada kondisi amoniak < 0.02 mg/l (SNI 7550:2009). 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI 15 METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-hemolitik DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-hemolitik DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) 46 PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-hemolitik DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi

Lebih terperinci

Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)

Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas sebagai ikan uji yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dilakukan dengan mengamati kerusakan

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Nilem yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila 4.1.1 Kerusakan Tubuh Berdasarkan hasil pengamatan, gejala klinis yang pertama kali terlihat setelah ikan diinfeksikan

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Permintaan pasar untuk ikan Nila merah sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1. Penelitian Pendahuluan 3.1.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan Kemampuan puasa benih nila BEST sebanyak 30 ekor dapat bertahan hidup dalam keadaan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Parameter pada penelitian pembesaran ikan lele ini meliputi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan harian, perhitungan jumlah bakteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl 2 ) menggunakan konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri tekstil selain menghasilkan suatu produk juga menghasilkan produk sampingan berupa air limbah, yang sering kali mencemari lingkungan terutama perairan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh selama penelitian adalah data utama dan data penunjang. Data utama meliputi tingkat kelangsungan hidup ikan uji, kurva pertumbuhan bakteri, kepadatan bakteri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program pembangunan Indonesia yang dewasa ini sedang berkembang diwarnai dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Sumberdaya perairan

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data primer berupa gambaran histologi ginjal dan kadar kreatinin hewan coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan, air, dan

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Hematokrit Ikan Hematokrit adalah persentase sel darah merah dalam darah, bila kadar hematokrit 40% berarti dalam darah tersebut terdiri dari 40% sel darah merah dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Darah Gambaran darah merupakan salah satu parameter yang menjadi indikasi adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi (mikroorganisme)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang berfungsi serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian 2.1.1 Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Pewarnaan Gram adalah salah satu teknik pewarnaan yang penting dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil. Jumlah Penurunan Glomerulus Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus musculus L.) setelah diberi perlakuan pajanan medan listrik tegangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Jurnal Natur Indonesia 13(3), Juni 2011: 187-199 ISSN 1410-9379, Keputusan Akreditasi No 65a/DIKTI/Kep./2008 Streptococcus agalactiae 187 Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae

Lebih terperinci

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN (Dibawah bimbingan Dr. Djong Hon Tjong, dan Dr. Indra Junaidi

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh organisme dari genus Streptococcus, merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh organisme dari genus Streptococcus, merupakan salah satu 1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Streptococcosis adalah salah satu penyakit sistemik menular, yang disebabkan oleh organisme dari genus Streptococcus, merupakan salah satu penyakit yang merugikan budidaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

PEMBAEIASAN. leukosit, jenis leukosit, nilai indeks fagositik serta adanya perbedaan tingkat

PEMBAEIASAN. leukosit, jenis leukosit, nilai indeks fagositik serta adanya perbedaan tingkat PEMBAEIASAN Penambahan Spirulina platensis dalam pakan ikan sebanyak 296, 4% dan 6% baik secara kontinyu maupun diskontinyu dapat meningkatkan respon kekebalan ikan patin. Peningkatan ini dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh berupa data identifikasi bakteri uji, data uji LD 50, data uji in vitro, dan data uji in vivo. Data hasil uji in vivo antara lain persentase akumulasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

FRAKSINASI DAN UJI TOKSISITAS ECP (Extracellular Product) Streptococcus agalactiae ISOLAT NK1 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

FRAKSINASI DAN UJI TOKSISITAS ECP (Extracellular Product) Streptococcus agalactiae ISOLAT NK1 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. VIII No. 1 /Juni 2017 (122-129) FRAKSINASI DAN UJI TOKSISITAS ECP (Extracellular Product) Streptococcus agalactiae ISOLAT NK1 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Ibnu

Lebih terperinci

II. METODE 2.1 Rancangan Penelitian 2.2 Isolasi Bakteri Kandidat Probiotik

II. METODE 2.1 Rancangan Penelitian 2.2 Isolasi Bakteri Kandidat Probiotik II. METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 2 ulangan pada uji patogenisitas, serta 4 perlakuan

Lebih terperinci

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan terkait dengan faktor luar dan dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri (Patogen dan Probiotik)

METODE PENELITIAN. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri (Patogen dan Probiotik) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai Januari Juni 2011 di Laboratorium Patologi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor, Jawa Barat.

Lebih terperinci

(ISOLATION AND POSTULATE KOCH Aeromonas Sp. And Pseudomonas sp. ON NILA TILAPHIA (Oreocromis niloticus) IN LOA KULU KUTAI KARTANEGARA)

(ISOLATION AND POSTULATE KOCH Aeromonas Sp. And Pseudomonas sp. ON NILA TILAPHIA (Oreocromis niloticus) IN LOA KULU KUTAI KARTANEGARA) ISOLASI DAN UJI POSTULAT KOCH Aeromonas Sp. DAN Pseudomonas Sp. PADA IKAN NILA (Oreocromis niloticus) DI SENTRA BUDIDAYA LOA KULU KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA (ISOLATION AND POSTULATE KOCH Aeromonas Sp.

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji 2.2 Persiapan Pakan Uji

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji 2.2 Persiapan Pakan Uji II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak terpal dengan ukuran 2 m x1m x 0,5 m sebanyak 12 buah (Lampiran 2). Sebelum digunakan, bak terpal dicuci

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Evaluasi dataperforman Ayam Dari hasil penelitian didapatkan rataan bobot badan ayam pada masing-masing kelompok perlakuan, data tersebut dapat dilihat pada Tabel

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi subjek penelitian Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 ekor mencit strain DDY yang terdiri dari 30 mencit jantan dan 30 mencit betina.

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data KKP menunjukkan bahwa produksi ikan mas pada tahun 2010 mencapai 282.695 ton, dengan persentasi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang diberikan secara

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, dengan berat 1.200-1.500 gram. Pada orang dewasa ± 1/50 dari berat badannya sedangkan pada bayi ± 1/18 dari berat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian 41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian Penimbangan berat badan menunjukkan bahwa pada awal penelitian berat badan tikus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Isolasi daun anggrek yang bergejala busuk lunak dihasilkan 9 isolat bakteri. Hasil uji Gram menunjukkan 4 isolat termasuk bakteri Gram positif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari serangan epidemi cacar dapat menangani para penderita dengan

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkurangnya lahan sebagai tempat merumputnya sapi, maka banyak peternak mencari alternatif lain termasuk melepas ternak sapinya di tempat pembuangan sampah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pakan Sapi Perah Faktor utama dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu ketersediaan pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi (Firman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu ikan budidaya

BAB I PENDAHULUAN. Lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu ikan budidaya BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu ikan budidaya yang banyak diminati oleh masyarakat.perkembangan dan perawatan lele dumbo yang mudah menjadi alasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Identifikasi Bakteri Uji Peningkatan Virulensi Bakteri Uji

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Identifikasi Bakteri Uji Peningkatan Virulensi Bakteri Uji II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua uji utama yaitu uji in vitro dan uji in vivo. Identifikasi dan peningkatan virulensi bakteri uji, penentuan nilai LD 50 (Lethal Dosage

Lebih terperinci

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

TUGAS 3 SISTEM PORTAL TUGAS 3 SISTEM PORTAL Fasilitator : Drg. Agnes Frethernety, M.Biomed Nama : Ni Made Yogaswari NIM : FAA 113 032 Kelompok : III Modul Ginjal dan Cairan Tubuh Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci

Efektivitas Ekstrak Biji Pepaya Mentah (Carica papaya L.) Dalam Pengobatan Benih Ikan Nila Yang Terinfeksi Bakteri Streptococcus agalactiae

Efektivitas Ekstrak Biji Pepaya Mentah (Carica papaya L.) Dalam Pengobatan Benih Ikan Nila Yang Terinfeksi Bakteri Streptococcus agalactiae Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VI No. 2 (1)/Desember 2015 (2331) Efektivitas Ekstrak Biji Pepaya Mentah (Carica papaya L.) Dalam Pengobatan Benih Ikan Nila Yang Terinfeksi Bakteri Streptococcus agalactiae

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA A. GINJAL SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA Sebagian besar produk sisa metabolisme sel berasal dari perombakan protein, misalnya amonia dan urea. Kedua senyawa tersebut beracun bagi tubuh dan harus dikeluarkan

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Sintasan Sintasan pada penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yakni setelah 30 hari perlakuan sinbiotik dan setelah uji tantang dengan IMNV selama 12 hari. Nilai

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Selain dagingnya yang enak, ikan mas juga memiliki nilai jual

Lebih terperinci

ANALISIS HISTOPATOLOGI OTOT IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN IKAN MAS

ANALISIS HISTOPATOLOGI OTOT IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN IKAN MAS ANALISIS HISTOPATOLOGI OTOT IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN IKAN MAS Zulfa Rahmawati 1, Uun Yanuhar 2, Diana Arfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada April hingga Juni 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri, cendawan serta parasit dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Lebih terperinci

INFEKSI Aeromonas hydrophila MELALUI JALUR YANG BERBEDA PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI LOA KULU KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

INFEKSI Aeromonas hydrophila MELALUI JALUR YANG BERBEDA PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI LOA KULU KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR 130 INFEKSI Aeromonas hydrophila MELALUI JALUR YANG BERBEDA PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI LOA KULU KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR Phatogenicity of Aeromonas hydrophila via Some Port Entryin

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum Anda pasti sudah sering mendengar istilah plasma dan serum, ketika sedang melakukan tes darah. Kedua cairan mungkin tampak membingungkan, karena mereka sangat mirip dan memiliki penampilan yang sama, yaitu,

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L.) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ikan air tawar yang bernilai ekonomis cukup penting ini sudah sangat dikenal luas oleh

Lebih terperinci

HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN ABSTRAK

HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 1 Oktober 2014 ISSN: 2302-3600 HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen yang berfungsi dalam sistem transportasi pada tubuh hewan tingkat tinggi. Jaringan cair ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian cair yang disebut

Lebih terperinci