PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-hemolitik DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-hemolitik DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)"

Transkripsi

1 46 PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-hemolitik DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 ml/ekor ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari, sebanyak 48% ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18% ikan yang diinjeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan clear operculum) rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak. Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After injected intraperitoneal injection (0.1 ml/fish) into 30 fish weighing 15 g in average, the nonhaemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Nonhaemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post-injection while β- haemolytic type caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused 48% mortality and 18% caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with non-haemolytic bacteria appeared faster (swimming behavior, response to food, and changes in eyes and clear operculum), that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with β- haemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes, microscopic changes were also observed (swimming pattern, changes on eyes, colour changes characterized by histological changes on eyes, kidney and brain). As conclusion, non-haemolytic S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish. Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus

2 47 Pendahuluan Patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila sampai sekarang belum dibahas tuntas, faktor penyebab perbedaan gejala klinis yang muncul dan perjalanan bakteri hingga menyebabkan kematian perlu diamati agar dapat dijadikan acuan dalam upaya pengendalian penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. Dari hasil pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila ditemukan dua tipe bakteri yaitu tipe β-hemolitik dan nonhemolitik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai patogenisitas kelima isolat S. agalactiae termasuk didalamnya bakteri bertipe β- hemolitik dan non-hemolitik. Pengamatan terkait tahapan dampak yang disebabkan oleh bakteri selama masa infeksi sampai menyebabkan kematian. Kejadian setelah S. agalactiae masuk ke dalam tubuh inang dapat dilihat salah satunya dengan mengamati gejala yang muncul pada inang, antara lain dari perubahan pola renang, perubahan nafsu makan, perubahan kesehatan melalui pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah serta perubahan pada histologi mata, ginjal dan otak ikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan dampak infeksi S. agalactiae yang berbeda karakter (β-hemolitik dan non-hemolitik) terhadap ikan nila. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 30 ekor per akuarium dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah lima isolat S. agalactiae (Tabel 3) dan sebagai kontrol adalah ikan nila diinjeksi dengan 0.1 ml BHI. Persiapan ikan uji dan kelima bakteri yang digunakan dalam penelitian patogenisitas S. agalactiae ini dijabarkan dalam metodologi umum. Ikan disuntik sebanyak 0.1 ml/ ekor dengan kepadatan masing-masing isolat bakteri, dan dipelihara selama 14 hari.

3 48 Parameter yang diukur dan analisa data Dalam pelaksanaan penelitian patogenisitas S. agalactiae dilakukan pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis, gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta pengamatan kematian ikan. Pengamatan parameter dilakukan setiap 1, 3, 6, 12, 24 jam pasca injeksi dan dilanjutkan setiap 24 jam hingga hari ke-14. Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum. Hasil dan Pembahasan 1 Perubahan pola berenang Jika dikaitkan dengan uji ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinasi yang merujuk pada S. agalactiae kapsul dan non kapsul menunjukkan bahwa bakteri yang diduga non kapsul (isolat 3) memiliki patogenisitas yang lebih rendah dari bakteri yang diduga berkapsul (isolat 2, 4 dan 5) karena dalam tubuh inang bakteri non kapsul akan lebih mudah difagosit oleh sel-sel fagositik sehingga kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang juga terbatas, tidak seperti bakteri berkapsul yang permukaan selnya tersusun atas karbohidrat yang hidrofilik sehingga lebih sulit untuk dilisis oleh sel fagosit. Hal inilah yang menyebabkan bakteri berkapsul lebih mudah tumbuh, berkembang dan mengembangkan virulensinya. Perubahan pola renang yang dimunculkan oleh inang yang terinfeksi S. agalactiae yaitu ikan cenderung agresif dengan sirip punggung yang mengembang atau berenang lemah di dasar akuarium. Perubahan terjadi mulai jam ke-6 pasca injeksi yaitu pola renang ikan yang tidak beraturan dan cenderung soliter yaitu berenang terpisah dari kelompok (Gambar 9B) sedangkan kontrol menunjukkan pola renang yang berkelompok dan teratur (Gambar 9A). Ikan uji menunjukkan berenang gasping (mengambil udara tepat di bawah permukaan air) pada jam ke-12 pasca injeksi. Bakteri tipe non-hemolitik (isolat 5 dan isolat 2) lebih cepat menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan (pada jam ke-12

4 49 pasca injeksi ikan cenderung lemah dan diam didasar akuarium) sedangkan gejala yang sama baru muncul jam ke-48 pasca injeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Gambar 9 Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae. A: tingkah laku berenang normal-berkelompok teratur; B: tingkah laku berenang abnormal tidak teratur dan soliter; C: gasping; D: sirip mengembang (abnormal) dan cara berenang normal (tanda panah) Gejala khas yang muncul pada infeksi S. agalactiae adalah berenang whirling yang umumnya muncul pada jam ke-120. Tubuh ikan membentuk huruf C juga ditemui pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik mulai hari ke-12 hingga hari ke-14 pasca injeksi. Gejala tersebut sesuai dengan gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. (2006) pada ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae sebelum mati seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling, tubuh membentuk huruf C. Perubahan pola renang ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik adalah awal infeksi ikan tampak agresif kemudian pada jam ke-3 pasca injeksi ikan mulai tampak berenang lemah hingga hari ke-5 dan akhirnya ikan berenang whirling. Ikan yang berenang whirling biasanya mati setelah 12 jam. Pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik juga terjadi perubahan pola renang yang sama, hanya saja jumlah ikan yang berenang whirling lebih sedikit. Data secara lengkap hasil pengamatan perubahan pola renang, nafsu makan ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae dijabarkan pada Lampiran 4. Perbedaan gejala yang muncul dapat dikaitkan dengan organ target S. agalactiae (mata, otak dan ginjal). Keberadaan bakteri pada organ mata dapat

5 50 menyebabkan perubahan pada mata (opacity, purulens, eksoptalmia dan sebagainya). Keberadaan bakteri pada organ otak dapat menyebabkan ikan berenang abnormal (gasping, berenang miring bahkan whirling) sedangkan keberadaan bakteri pada ginjal ikan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh menjadi lebih hitam. Masing-masing tipe bakteri menyebabkan respon yang berbeda terhadap ikan nila. Baik bakteri tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik memiliki karakteristik yang berbeda dalam tubuh inang untuk tumbuh, berkembang dan mengembangkan virulensi. Perubahan tingkah laku ikan yang muncul akibat diinjeksi dengan tipe bakteri non-hemolitik lebih beragam dan lebih cepat muncul dibandingkan dengan ikan yang diinjeksi dengan tipe β-hemolitik. Ini semakin menguatkan data bahwa bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen. 2 Perubahan tingkah laku makan Umumnya respon terhadap pakan pasca injeksi S. agalactiae tampak lemah bahkan ikan uji yang diinfeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik tidak mau makan sejak jam ke-72 pasca injeksi. Respon terhadap pakan ikan uji yang diinjeksi bakteri tipe β-hemolitik terlihat pada jam ke-144 (lebih lama dari bakteri tipe non-hemolitik). Pada Gambar 10 tampak, ikan kontrol (sehat) umumnya dapat mencerna pakan dengan baik (A), sedangkan ikan yang terinfeksi S. agalactiae lambat mencerna pakan yang diberikan (B). Pada Gambar 10C terlihat organ ikan yang menjadi pucat pasca infeksi S. agalactiae. Gambar 10 Organ dalam ikan nila normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. PA normal; B. lambung ikan nila (pencernaan makanan menjadi lambat) ditunjukkan dengan tanda panah biru; C. organ dalam ikan nila menjadi pucat (tanda panah merah). Waktu pencernaan pakan juga menjadi lebih lama ini ditunjukkan dengan masih utuhnya pakan dalam lambung ikan yang terinfeksi bakteri yang disampling

6 51 5 menit setelah pemberian pakan. Hal tersebut dimungkinkan karena terganggunya enzim pencernaan ikan akibat adanya infeksi dalam otak ikan yang mengatur gerak peristaltik usus. Sehingga pencernaan ikan lebih lama dari kondisi normal. Bakteri yang menginfeksi otak ikan mengganggu kerja hipotalamus bagian lateral yang mengatur rasa lapar. Terganggunya sel-sel dalam hipotalamus yang berada dalam telencephalon (otak depan) akibat adanya S. agalactiae, inilah yang menyebabkan ikan mulai mengalami penurunan nafsu makannya bahkan tidak mau makan pasca injeksi. 3 Perubahan patologi anatomi ikan nila secara makroskopis Pasca diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan nila menunjukkan perubahan makroskopis pada anatomi organ luar (mata, operkulum dan kepala) dan anatomi organ dalam (otak, ginjal berupa perubahan warna dan konsistensinya). Pada Tabel 13 dijabarkan gejala klinis yang terjadi pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Tabel 13 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Patologi anatomi organ luar Waktu terjadinya (pasca injeksi) (jam) secara makroskopis non-hemolitik β-hemolitik Garis vertical tubuh menghitam 6 24 Clear operculum Mata mengkerut Eksoptalmia & purulens Pendarahan di mata 24 - Ulcer pada kepala Abses pada perut C shape Keterangan : (-) tidak ditemukan adanya gejala Perubahan warna tubuh biasanya terjadi pada jam ke-6 pasca injeksi tipe non-hemolitik dan jam ke-24 pasca injeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada mata seperti mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada jam ke-24 pasca injeksi bakteri tipe non-hemolitik dan muncul pada hari ke-11 pasca injeksi bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri tipe β-hemolitik lebih lambat menyebabkan munculnya gejala dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.

7 52 Gambar 11 menunjukkan perubahan yang terjadi pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae. Awal perubahan pada mata yaitu mata mengkerut (Gambar 11B) kemudian yang terjadi adalah, pupil mata mengecil (Gambar 11C- D), kemudian mata seperti berkabut/purulens (Gambar 11F) hingga sebelah mata dapat hilang (Gambar 11E). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai dengan pendarahan terjadi pada hari ke-4 (tipe non-hemolitik) dan pada hari ke-5 (tipe β-hemolitik). Gambar 11 Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B. mata mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.Opacity (kekeruhan mata); E. mata lisis dan F. Purulens (mata putih). Pada infeksi S. agalactiae, lateral eksoptalmia lebih sering terjadi dibandingkan dengan bilateral eksoptalmia (Gambar 12C-D). Gejala Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai tahapan (Gambar 13). Gejala pra clear operculum ditandai dengan munculnya warna semu kuning dengan titik-titik putih di bawah mulut. Clear operculum muncul rata-rata pada jam ke-24 dan disertai pendarahan pada jam ke-24 untuk S. agalactiae tipe non-hemolitik dan jam ke-72 pasca injeksi S. agalactiae tipe β- hemolitik tanpa disertai pendarahan. Gambar 12 adalah perubahan yang terjadi pada mata, yaitu adanya eksoptalmia baik lateral maupun bilateral, serta yang dibarengi dengan adanya pendarahan. Gambar 13 menunjukkan adanya clear operculum pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae.

8 53 Gambar 12 Eksoptalmia pada organ mata ikan nila; A. pendarahan pada mata; B & C lateral eksoptalmia, D. bilateral eksoptalmia. Gambar 13 Perubahan yang terjadi pada operkulum ikan nila (tanda panah); A. normal; B & C clear operculum, D. clear operculum disertai pendarahan. Pada Gambar 14, tampak adanya beberapa perubahan pada tubuh ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gejala spesifik yang hanya muncul pada ikan nila yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik yaitu adanya luka (ulcer) di bagian kepala ikan nila (Gambar 14C) pada hari ke-8 dan muncul abses (Gambar 14D) di bagian bekas injeksi yang menjalar hingga perut pada hari ke- 14. Ketiga gejala tersebut tidak tampak pada ikan uji yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Gambar 14 Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila; A. warna tubuh pucat; B & E. bibir pucat dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses pada bagian tubuh; F. tubuh membentuk huruf C disertai lateral eksoptalmia. Streptococcosis (Streptococcus agalactiae dan S. iniae) umumnya ditandai dengan adanya perubahan warna gelap pada garis vertikal ikan nila (Gambar 15),

9 54 ini diduga karena bakteri menginfeksi organ ginjal yang berpengaruh terhadap produksi melatonin sebagai pembentuk warna tubuh. Total Leukosit (10 5 sel/mm 3 ) Gambar 15 Perubahan warna tubuh ikan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. garis vertikal tubuh menghitam; B. warna tubuh ikan normal. 4 Gambaran darah Total Leukosit Rataan total leukosit ikan nila selama percobaan cenderung naik mulai 1 jam pertama hingga hari ke-10 pasca injeksi dengan S. agalactiae (Gambar 16) dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Kenaikan ini berkaitan dengan pertahanan seluler yang meningkat karena adanya infeksi pasca injeksi Waktu Pengamatan (jam) isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol Gambar 16 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Dari uji statistik, terdapat perbedaan antar perlakuan (injeksi dengan kelima isolat) dengan kontrol (p<0.05); sedangkan antar perlakuan isolat bakteri (isolat 1 isolat 5) tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae kelima isolat menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila sejak jam ke-4 dan 168 pasca injeksi, setelah 14 hari cenderung kembali normal.

10 55 Peningkatan dan aktivitas leukosit dapat disebabkan oleh infeksi yang memicu aktivitas pembelahan sel (Evenberg et al., 1986) dan Anderson (1974) menyebutkan bahwa perubahan populasi leukosit dapat diamati setelah 7 hari pasca pemaparan. Adanya infeksi S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan sel leukosit lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan. Sel-sel leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri yang ada agar tidak dapat berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang sehingga sering ditemukan jumlah total leukosit mengalami peningkatan pasca infeksi oleh bakteri. Differensial Leukosit (Limfosit, Monosit dan Neutrofil) Jenis leukosit ikan nila terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil sebagaimana diungkapkan Clem et al., (1985), bahwa leukosit terdiri dari 3 jenis. Namun terkadang juga ditemukan basofil dan eusinofil. Jenis leukosit ikan nila tampak pada Gambar 17, limfosit lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kedua jenis leukosit lainnya. Gambar 17 Differensial leukosit dan trombosit ikan nila. E: eritrosit, IME: immature eritrosit, T: trombosit, M: monosit, L: limposit dan N: neutrofil. 1 bar = 20 µm Rataan proporsi leukosit ikan nila normal yaitu: limfosit (68-86%), monosit ( %) dan neutrofil ( %). Rataan porposi jenis leukosit ikan yang diinjeksi bakteri S. agalactiae lebih bervariatif yaitu limfosit (72 81%),

11 56 monosit ( %) dan neutrofil ( %). Proporsi jenis leukosit antara ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β dan non- hemolitik tidak berbeda nyata. Leukosit pada ikan menurut Fujaya (2004) terdiri atas 7 bentuk yaitu 3 tipe eosinofil granulosit dan masing-masing satu tipe neutrofil granulosit, limfosit, monosit dan trombosit. Neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit kuat. Fagositasi oleh neutrofil dilakukan dengan mendekati partikel yang akan difagositasi dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar partikel, selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu untuk melakukan fagositasi. Satu neutrofil dapat menfagosit 5 sampai 20 bakteri. Monosit lebih kuat karena dapat menfagosit partikel yang lebih besar. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi berperan dalam pembentukan antibodi.jumlah monosit ikan yang disuntik dengan S. agalactiae lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan juga terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 hingga hari ke-5 pasca injeksi. Pada akhir penelitian (336 jam) neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada organ ikan (ginjal dan mata) yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa (debris), sedangkan monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Total Eritrosit Menurut Fujaya (2004), jumlah eritrosit pada masing-masing spesies ikan berbeda, tergantung dari aktivitas ikan tersebut. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut Hb yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke jaringan. Selain mengedarkan Hb, eritrosit juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan

12 57 air, sehingga darah dapat mengedarkan karbondioksida dari jaringan menuju insang. Total eritrosit ikan nila normal berkisar antara (10 5 sel/mm 3 ) sedangkan ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae rataan jumlah eritrosit lebih berfluktuatif yaitu berkisar (10 5 sel/mm 3 ). Peningkatan eritrosit terjadi pada jam ke-3 pasca injeksi dan kenaikan berlangsung hingga jam pasca injeksi (Gambar 18) dan data selengkapnya tertuang pada Lampiran 5. Dari hasil uji statistik, keseluruhan isolat berbeda nyata nilai total eritrositnya dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-24 hingga jam ke-336. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total eritrosit ikan nila secara nyata. 70 Total Eritrosit (10 5 sel/mm 3 ) 60 isolat 1 50 isolat 2 40 isolat 3 30 isolat 4 20 isolat 5 10 kontrol Waktu Pengamatan (jam) Gambar 18 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Peningkatan total eritrosit ini menandakan adanya upaya homeostatis pada tubuh ikan (infeksi patogen) dimana tubuh memproduksi sel darah lebih banyak untuk menggantikan eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya infeksi. Penurunan eritrosit mengindikasikan adanya anemia pada ikan yang ditandai adanya pendarahan pada organ ginjal ikan. Keberadaan S. agalactiae yang memproduksi toksin hemolitik yang dapat melisis eritrosit (lihat aktivitas hemolitik) sehingga rataan eritrosit ikan uji umumnnya menurun atau lebih rendah dari normal hingga hari ke-14 pasca injeksi.

13 58 5 Patologi klinik darah Hematokrit Rataan kadar hematokrit ikan nila normal berkisar % dan kadar hematokrit ikan uji yang diinjeksi S. agalactiae sepanjang penelitian berfluktuasi, nilainya berkisar % (bakteri tipe non-hemolitik) dan % (bakteri tipe β-hemolitik) (Gambar 19). Data pengamatan hematokrit ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Hematokrit (%) Waktu pengamatan (jam) isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol Gambar 19 Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi bakteri mengalami peningkatan yang berbeda nyata nilai hematokrit dengan kontrol (ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae) (p<0.05) pada jam ke-168 pasca injeksi. Setelah hari ke-14 (336 jam) kadar hematokrit cenderung kembali mendekati normal. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hematokrit ikan nila secara nyata, namun setelah 14 hari ikan cenderung kembali normal kecuali isolat 3 dan isolat 5. Kadar hematokrit ini dapat digunakan untuk mengetahui dampak injeksi S. agalactiae, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kondisi kesehatan ikan setelah penginjeksian. Dalam penelitian faktor penyebab stress seperti lingkungan dan penanganan diminimalisir sehingga perubahan hematokrit dapat dipastikan karena adanya infeksi patogen. Peningkatan mulai terjadi jam pertama pasca injeksi hingga jam ke-24 (bakteri tipe β-hemolitik) dan jam ke-72 (bakteri tipe non-hemolitik).

14 59 Hemoglobin (Hb) Hemoglobin (g %) Hemoglobin adalah metalloporphyrin, kombinasi dari haem yang merupakan porphyrin besi dan globin. Pada peristiwa oksigenasi, atom besi dari haem akan berasosiasi dengan satu molekul oksigen. Setiap molekul Hb mengandung 4 molekul haem dan 4 atom besi sehingga dapat mengangkut 4 molekul oksigen (Fujaya, 2004). Kadar hemoglobin ikan berkaitan dengan anemia dan jumlah sel darah, peningkatan Hb terjadi karena adanya infeksi yang diikuti adanya penurunan yang sangat cepat. Peningkatan Hb rata-rata ikan yang diinjeksi bakteri tipe nonhemolitik terjadi sejak 1 jam awal pasca injeksi hingga jam ke-6 hingga jam ke-12 kemudian penurunan secara cepat terjadi hingga jam ke-96 hingga jam ke-120. Sedangkan Hb ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik terjadi kenaikan (puncak) pada jam ke-6 (Gambar 20). Data pengamatan hemoglobin ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran Waktu Pengamatan (jam) isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol Gambar 20 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Kadar rata-rata Hb ikan nila normal berkisar (g%), sedangkan ikan yang diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae berkisar (g%). Pada jam ke-24 pasca injeksi, dari uji statistik kelima isolat menyebabkan perubahan pada nilai hemaglobinnya namun perbedaan secara nyata dengan kontrol hanya terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan isolat 1 dan 5. Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah. Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih

15 60 rendah sehingga menyebabkan lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau berenang lemah. Glukosa Darah Hasil pengukuran glukosa darah ikan nila normal berkisar antara (mg/100 ml) dan sepanjang percobaan glukosa darah nilainya berfluktuasi (Gambar 21) Glukosa darah (mg/100ml) kontrol isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 Waktu Pengamatan (Jam ke-) Gambar 21 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Peningkatan glukosa darah terjadi sepanjang pengamatan pada kelima isolat. Ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik menunjukkan kadar glukosa berkisar (mg/100 ml) dan yang diinjeksi β-hemolitik berkisar (mg/100 ml). Data pengamatan glukosa darah ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari hasil uji statistik glukosa darah ikan nila, peningkatan glukosa darah terjadi 1 jam pasca injeksi di semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05), artinya keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada kadar glukosa darah ikan nila secara nyata. Peningkatan glukosa darah ini berkaitan dengan kondisi stress pada ikan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor fisika dan kimia (kualitas air), faktor biologi (adanya infeksi patogen) juga dapat karena penanganan. Glukosa darah ini dapat bersifat imonosupresor pada ikan, hal ini

16 61 disebabkan karena pada saat kadar glukosa dalam darah tinggi, ginjal bekerja lebih keras untuk menjaga keseimbangan tubuh, pada saat inilah fungsi dan kerja ginjal terganggu (termasuk fungsinya sebagai organ yang berperan dalam sistem imun). Saat organ limfoid ini terganggu sistem pertahanan tubuh menjadi menurun sehingga patogen lebih mudah untuk tumbuh, berkembang dan menyebarkan virulensi pada tubuh ikan (Anderson, 1990). Evans (2003) mengamati adanya peningkatan kerentanan ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae pada kondisi stress (sublethal DO) yang ditandai dengan adanya peningkatan glukosa darah. Pada saat ikan mengalami gangguan yang menyebabkan stres, baik karena penanganan, kualitas air maupun infeksi bakteri, maka tubuh ikan akan mengeluarkan tanda atau alarm sebagai indikasi adanya gangguan. Alarm pada ikan antara lain : pertama adanya peningkatan gula darah akibat sekresi hormon dari kelenjar adrenalin. Persediaan gula, seperti glikogen dalam hati dimetabolisme sebagai persediaan energi untuk emergensi. Kedua, osmoregulasi kacau akibat perubahan metabolisme mineral. Ikan air tawar cenderung mengabsorbsi air dari lingkungan (over-hydrate), ikan air laut cenderung kehilangan air dari dalam tubuh (dehydrate). Kondisi ini perlu energi ekstra untuk memelihara keseimbangan osmoregulasi. Ketiga, pernafasan meningkat, tensi darah meningkat, persediaan eritrosit direlease ke sistem resirkulasi dan keempat, respon inflamasi ditekan oleh hormon dari kelenjar adrenalin (Anderson, 1990). 6 Kematian ikan Bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan kematian yaitu mulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12 pasca injeksi sedangkan isolat β-hemolitik baru pada jam ke-48. Jumlah ikan yang mati pada akhir pengamatan akibat injeksi S. agalactiae non-hemilitik lebih banyak dibandingkan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen karena lebih cepat menyebabkan kematian pada ikan nila. Kematian ikan pasca injeksi dengan bakteri S. agalactiae terlihat pada Gambar 22.

17 62 kematian ikan waktu pengamatan (jam) isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol Gambar 22 Kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae Selanjutnya, dari hasil pengukuran Mean Time Death (MTD) atau rerata waktu kematian ikan uji pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tampak pada Tabel 14. Tabel 14 Mean Time Death (MTD) hasil pengujian patogenisitas S. agalactiae terhadap ikan nila Waktu pengamatan Isolat 1 Isolat 2 Isolat 3 Isolat 4 Isolat 5 Kontrol MTD

18 63 Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada ikan nila, isolat 4 rata-rata menyebabkan kematian setelah 268 jam setelah infeksi dan ini merupakan waktu terlama dibandingkan dengan keempat isolat lainnya. Sedangkan isolat 5 rata-rata menyebabkan kematian hanya dalam waktu 136 jam setelah infeksi, dan isolat ini menyebabkan kematian paling cepat diantara isolat S. agalactiae lainnya. Dari hasil pengukuran rerata waktu kematian dapat diketahui bahwa S. agalactiae lebih bersifat kronis yaitu tidak langsung menyebabkan kematian namun menyebabkan perubahan pada fisiologis ikan yang terinfeksi terlebih dahulu, tidak seperti bakteri Vibrio alginolyticus yang memiliki nilai MTD jam yang dapat dikatagorikan sebagai bakteri akut, dapat menyebabkan kematian secara cepat (Murdjani, 2002). 7 Histopatologi Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama (Adams, 1990). Dengan menggunakan indikator histologik ikan ini, dapat diketahui perubahan yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme (Hinton dan Lauren, 1990). Namun untuk mengamati perubahan histopatologi ini sangat bergantung pada kualitatif pengcahayaan mikroskop pada tiap jaringan yang diamati, kebaruan teknologi analisis seluler dan molekuler. Perubahan yang terjadi pada pada organ mata, otak dan ginjal ikan umumnya hampir sama yang disebabkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Perubahan mulai dapat dilihat pada hari ke-3 pasca injeksi dan pada hari ke-14 juga masih ditemukan histopatologinya di ketiga organ. Pada jam ke-168, histopatologi hampir ditemukan pada semua perlakuan. Histopatologi yang tampak pada organ mata, otak dan ginjal, tampak pada Tabel 15.

19 64 Tabel 15 Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae Jam setelah Organ ikan injeksi Mata Otak Ginjal 24 Belum tampak Belum tampak Belum tampak 168 Hipertropi, hyperplasia, Hipertropi, kongesti, Hipertropi, hemorrhagi, pendarahan, degenerasi degenerasi dan nekrosa nekrosa di ginjal bagian dan nekrosa bagian pada otak depan, otak depan dan belajkang choroid tengah dan otak 336 Hipertropi, kongesti pada bagian choroid Organ Mata belakang degenerasi, kongesti di myelencephalon dan cerebellum hemmorhagi, degenerasi dan ginjal depan dan belakang Organ mata ikan nila terdiri dari beberapa lapisan yaitu bagian choroid, retina dan iris yang tampak pada Gambar 23. Gambar 23 Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A mata ikan nila normal: A1 Choroid; A2 Retina; A3 Iris. B. bagian retina mata; B1 pigment epithelium; B2 lapisan photoreceptor; B3 membran pembatas luar; B4 outer nuclear layer; B5 lapisan luar plexiform; B6 lapisan dalam nuclear; B7 lapisan plexiform dalam; B8 lapisan sel ganglion. C. choroid. H hipertropi; hr. hemorrhage; Hp hiperplasi. A&C 1 bar=200 µm, B.1 bar=50 µm Perubahan pada mata ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae secara makroskopis tampak adanya eksoptalmia, pengerutan mata, pendarahan dan mata keruh sampai berkabut (purulens, opacity). Secara histologi (mikroskopis) perubahan tampak seperti pada Gambar 23C. Hiperplasi, terjadi pada bagian choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hemorrhagi juga

20 65 tampak terjadi, ini membuktikan bahwa S. agalactiae bersifat septicemia yang merusak pembuluh darah yang ditandai dengan adanya pendarahan. Hipertropi tampak dengan adanya pembesaran sel, yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri patogen. Hipertropi dan hiperemi terjadi pada bagian choroid ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral. Bakteri berkembang dalam organ mata, didalam perkembangannya sejalan dengan munculnya sifat virulensinya bakteri menghasilkan eksotoksin (salah satunya hemolisin) yang merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata mengalami perubahan-perubahan tersebut dan tidak ditemukan adanya perubahan pada bagian retina mata. Choroid merupakan bagian dari mata yang mengandung banyak pembuluh darah karena letaknya diantara arteriole dan kapiler yang membentuk rete mirabile. Arteri dan vena saling berdekatan dan sebagai tempat pertukaran darah, ion dan gas antara dinding pembuluh darah sehingga S. agalactiae sebagai bakteri septicemia dengan mudah tumbuh dan berkembang di daerah ini (Ferguson, 1989). Adanya hipertropi dan hiperplasi pada bagian choroid menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia dan hemorrhagi bisa tampak secara makroskopis pada mata ikan. Sama halnya dengan Filho et al. (2009) menemukan adanya infiltrasi pada bagian choroid dan periorbital, dan tidak ditemukan kelainan pada bagian retina mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae. Perubahan pada mata (eksoptalmia dan purulens) mulai tampak pada jam ke-24 pasca injeksi dengan S. agalactiae tipe non hemolitik dan 120 jam pasca injeksi dengan β-hemolitik. Perubahan secara histopatologi juga terdeteksi pada jam tersebut dan perubahan masih ditemukan pada ikan nila hingga hari ke-14 pasca injeksi. Filho et al. (2009) juga masih menemukan perubahan pada histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe nonhemolitik hingga hari ke-14 dan tidak ditemukan histopatologinya pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi.

21 66 Organ Otak Menurut Rahardjo (1985) otak ikan dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan myelencephalon. Telencephalon merupakan otak bagian depan sebagai pusat pembauan, syaraf utamanya adalah syaraf olfactory. Di belakang telencephalon terdapat diencephalon yang merupakan komponen penting, terdiri dari tiga bagian yaitu epithalamus, thalamus dan hypothalamus dimana di bagian bawahnya terdapat hypophysa (kelenjar pituitary). Mesencephalon (otak tengah) pada ikan relatif besar dan berfungsi sebagai pusat penglihatan, ada dua bagian terpenting yaitu tektum optikum (organ koordinator yang melayani rangsangan penglihatan) dan tegmentum merupakan pusat sel-sel motoris. Bagian terpenting dalam metencephalon adalah cerebellum yang fungsi utamanya mengatur keseimbangan tubuh dalam air. Bagian posterior otak ikan adalah myelencephalon, dengan medulla oblongata sebagai komponen utamanya, merupakan pusat untuk menyalurkan rangsang yang keluar melalui syaraf kranial. Setelah diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan menunjukkan gejala berenang abnormal (miring, berulang) dan juga whirling. Ikan yang menunjukkan berenang whirling secara histopatologi pada organ otak cerebellum adanya degenerasi dan nekrosa di bagian kranial, ini biasanya yang menyebabkan meningitis dan encephalitis pada infeksi Edwardsiella ictaluri pada channel catfish dan infeksi Streptococcus iniae pada ikan yellowtails (Ferguson, 1989). Selain itu tampak adanya kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah yaitu meningkatnya jumlah darah dalam pembuluh myelencephalon (otak belakang), yang ditunjukkan dengan kapiler darah tampak melebar yang penuh berisi eitrosit pada pembuluh kranial (Gambar 24D). Hipertropi juga terjadi pada neuron (Gambar 24C) yaitu adanya peningkatan komponen sel neuron.

22 67 Gambar 24 Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. otak belakang (myelencephalon) normal 1 bar = 20µm B. otak belakang cg: kongesti dan hemorrhagik pada otak, h: hipertropi, 1 bar = 20µm. C & D otak cerebellum. c. bagian kranial mengalami vacuolar (v) 1 bar = 50µm; dg: degenerasi dan nekrosa pada kranial 1 bar = 20µm. Ikan nila yang mengalami whirling pasca injeksi S. agalactiae ditemukan adanya pendarahan pada bagian telencephalon dan cerebellum. Kadang juga ditemukan juga adanya inflamasi dan infiltrasi pada bagian myocardium pada ikan yang diinjeksi dengan S. agalactiae pada hari ke-3, 7 dan 14. Histopatologi pada otak tidak ditemukan lagi pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi (Filho et al., 2009). Vakuolisasi terjadi akibat kerusakan sel (nekrosis) pada bagian kranial dalam cerebellum, selanjutnya sel mengalami kehancuran sehingga tertinggal sebagai ruangan yang kosong pada jaringan otak, diduga sebagai akibat infeksi secara sistemik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke otak dan menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut (Gambar 24C.v). Apabila kerusakan terjadi pada syaraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya syaraf yang mengontrol pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang, sehingga terjadi perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar-putar (whirling). Vakuolisasi juga ditemukan pada otak ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang mengalami whirling akibat infeksi bakteri Vibrio alginolyticus (Murdjani, 2002)

23 68 Organ Ginjal Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi dan nekrosa. Pada Gambar 25 tampak perubahan yang terjadi pada ginjal ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. n Gambar 25 Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. normal. B, C, D. ginjal yang mengalami perubahan n: degenerasi dan nekrosa, h: hypertropi pada epitelium tubulus ginjal, p: pendarahan. 1 bar = 100 µm (A, C, D) dan 50 µm (B) Hipertropi dan pendarahan yang terjadi disebabkan karena S. agalactiae masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal. Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa pada tubulus ginjal. Kondisi ini merusak struktur dan fungsi ginjal, yang

24 69 mengakibatkan terganggunya proses-proses fisiologik di dalam tubuh ikan bahkan dapat menyebabkan kematian. Perubahan yang tampak umumnya tidak berbeda dengan perubahan yang terjadi pada mata dan otak, degenerasi dan nekrosa terjadi akibat adanya infeksi bakteri. Pendarahan juga terjadi, sama halnya yang terjadi pada mata, yang menunjukkan bahwa S. agalactiae merusak jaringan dalam organ. Penyebaran bakteri ini ke dalam organ ikan dilakukan melalui darah, S. agalactiae masuk ke dalam aliran darah, dapat tumbuh, berkembang dan menyebar melalui darah sehingga disebut juga sebagai bakteri septicemia. Infiltrasi ditemukan pada ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae, selain itu tampak juga adanya melanomacrophages pada ginjal ikan yang mengalami perubahan warna menghitam (Filho et al., 2009). Nekrosis juga terjadi pada kapsul bowman yang diduga sebagai akibat infeksi bakteri yang mengeluarkan toksin dan dapat merusak sel-sel ginjal. Dengan rusaknya ginjal, akan memudahkan bakteri masuk ke dalam jaringan ginjal dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sama halnya dengan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi bakteri Vibrio alginolyticus pada organ ginjalnya ditemukan adanya nekrosa dan pendarahan, yang diduga akibat toksin yang dikeluarkan bakteri (Murdjani, 2002). Perubahan yang terjadi secara mikroskopis antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik tidak jauh berbeda. Kedua bakteri menyebabkan perubahan seperti yang terjadi pada organ mata, otak dan ginjal ikan nila. Simpulan Keseluruhan hasil pengamatan pada beberapa parameter yang diamati, diperoleh beberapa simpulan yaitu : 1. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. 2. Infeksi S. agalactiae juga menyebabkan perubahan pada parameter gambaran darah dan patologi klinik darah. 3. Streptococcus agalactiae tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan yang bertipe β-hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat

25 70 dan banyak, perubahan yang terjadi pada pola renang, pola makan dan patologi anatomi secara makroskpis dan mikroskopis juga terjadi lebih cepat pada ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe non hemolitik. Sehingga dari hasil penelitian ini diambil dua tipe bakteri yang memiliki perbedaan secara karakteristik dan tingkat virulensi yang lebih tinggi pada ikan nila dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu isolat 5 yang mewakili bakteri tipe non-hemolitik dan isolat 3 (tipe β-hemolitik) untuk selanjutnya diuji toksisitas extracellular product (ECP) untuk mengetahui salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae menyebabkan sakit dan atau mati pada ikan nila.

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI 15 METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini meliputi : 1) pengujian kerentanan ikan nila terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae; 2) distribusi bakteri

Lebih terperinci

Konferensi Akuakultur Indonesia 2013

Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 istopatologi Ikan ila (Oreochromis niloticus) Asal Loa Kulu Kutai Kartanegara Kalimantan Timur yang diinjeksi Produk Ekstraselular (ECP) dan Intrasellular (ICP) Bakteri Aeromonas hydrophila Esti andayani

Lebih terperinci

Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Jurnal Natur Indonesia 13(3), Juni 2011: 187-199 ISSN 1410-9379, Keputusan Akreditasi No 65a/DIKTI/Kep./2008 Streptococcus agalactiae 187 Toksisitas Produk Ekstrasellular (ECP) Streptococcus agalactiae

Lebih terperinci

(ISOLATION AND POSTULATE KOCH Aeromonas Sp. And Pseudomonas sp. ON NILA TILAPHIA (Oreocromis niloticus) IN LOA KULU KUTAI KARTANEGARA)

(ISOLATION AND POSTULATE KOCH Aeromonas Sp. And Pseudomonas sp. ON NILA TILAPHIA (Oreocromis niloticus) IN LOA KULU KUTAI KARTANEGARA) ISOLASI DAN UJI POSTULAT KOCH Aeromonas Sp. DAN Pseudomonas Sp. PADA IKAN NILA (Oreocromis niloticus) DI SENTRA BUDIDAYA LOA KULU KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA (ISOLATION AND POSTULATE KOCH Aeromonas Sp.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Permintaan pasar untuk ikan Nila merah sangat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4.1 Hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.1 Uji Akut Uji akut dilakukan pada konsentrasi timbal sebesar 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm dan 160 ppm serta perlakuan kontrol negatif. Respon ikan uji terhadap deretan

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Karakteristik dan Patogenisitas Streptococcus Agalactiae Tipe β-hemolitik dan Non-hemolitik pada Ikan Nila

Karakteristik dan Patogenisitas Streptococcus Agalactiae Tipe β-hemolitik dan Non-hemolitik pada Ikan Nila Jurnal Veteriner Juni 2011 Vol. 12 No. 2: 152-164 ISSN : 1411-8327 Karakteristik dan Patogenisitas Streptococcus Agalactiae Tipe β-hemolitik dan Non-hemolitik pada Ikan Nila CHARACTERIZATION AND PHATOGENICITY

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

INFEKSI Aeromonas hydrophila MELALUI JALUR YANG BERBEDA PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI LOA KULU KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

INFEKSI Aeromonas hydrophila MELALUI JALUR YANG BERBEDA PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI LOA KULU KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR 130 INFEKSI Aeromonas hydrophila MELALUI JALUR YANG BERBEDA PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI LOA KULU KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR Phatogenicity of Aeromonas hydrophila via Some Port Entryin

Lebih terperinci

Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Alam Sistem Peredaran Darah SEKOLAH DASAR TETUM BUNAYA Kelas Yupiter Nama Pengajar: Kak Winni Ilmu Pengetahuan Alam Sistem Peredaran Darah A. Bagian-Bagian Darah Terdiri atas apakah darah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume IV No 2 Februari 2016 ISSN: 2302-3600 IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil. Jumlah Penurunan Glomerulus Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus musculus L.) setelah diberi perlakuan pajanan medan listrik tegangan

Lebih terperinci

FRAKSINASI DAN UJI TOKSISITAS ECP (Extracellular Product) Streptococcus agalactiae ISOLAT NK1 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

FRAKSINASI DAN UJI TOKSISITAS ECP (Extracellular Product) Streptococcus agalactiae ISOLAT NK1 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. VIII No. 1 /Juni 2017 (122-129) FRAKSINASI DAN UJI TOKSISITAS ECP (Extracellular Product) Streptococcus agalactiae ISOLAT NK1 PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Ibnu

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Antibodi pada Mukus Ikan. Data tentang antibodi dalam mukus yang terdapat di permukaan tubuh

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Antibodi pada Mukus Ikan. Data tentang antibodi dalam mukus yang terdapat di permukaan tubuh 21 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Antibodi pada Mukus Ikan Data tentang antibodi dalam mukus yang terdapat di permukaan tubuh tidak dapat disajikan pada laporan ini karena sampai saat ini masih dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

Makalah Sistem Hematologi

Makalah Sistem Hematologi Makalah Sistem Hematologi TUGAS I untuk menyelesaikan tugas browsing informasi ilmiah Disusun Oleh: IBNU NAJIB NIM. G1C015004 PROGRAM DIPLOMA IV ANALISI KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

Lebih terperinci

PEMBAEIASAN. leukosit, jenis leukosit, nilai indeks fagositik serta adanya perbedaan tingkat

PEMBAEIASAN. leukosit, jenis leukosit, nilai indeks fagositik serta adanya perbedaan tingkat PEMBAEIASAN Penambahan Spirulina platensis dalam pakan ikan sebanyak 296, 4% dan 6% baik secara kontinyu maupun diskontinyu dapat meningkatkan respon kekebalan ikan patin. Peningkatan ini dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga pada bulan Desember 2012 - Februari 2013. Jumlah sampel yang diambil

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Uji Toksisitas Akut

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Uji Toksisitas Akut 51 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Hasil uji nilai kisaran (Range value test) merkuri pada ikan bandeng menunjukkan bahwa nilai konsentrasi ambang bawah sebesar 0.06

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. Praktikum IDK 1 dan Biologi, 2009 Tuti Nuraini, SKp., M.Biomed. 1 TUJUAN Mengetahui asal sel-sel

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat diisolasi dari ikan, sel trophont menunjukan pergerakan yang aktif selama 4 jam pengamatan. Selanjutnya sel parasit pada suhu kontrol menempel pada dasar petri dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi dan Materi Kuliah Hewan 1 Homeostasis Koordinasi dan Pengendalian Kuliah Kontinuitas Kehidupan

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

Eritrosit Vertebrata

Eritrosit Vertebrata DARAH IKAN Darah merupakan salah satu komponen sistem transport yang sangat vital keberadaannya. Fungsi vital darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon, pengangkut

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Hematokrit Ikan Hematokrit adalah persentase sel darah merah dalam darah, bila kadar hematokrit 40% berarti dalam darah tersebut terdiri dari 40% sel darah merah dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji Bak ukuran 40x30x30cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara acak dan diberi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidaya secara intensif hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan ikan lele dumbo

Lebih terperinci

Sistem Transportasi Manusia L/O/G/O

Sistem Transportasi Manusia L/O/G/O Sistem Transportasi Manusia L/O/G/O Apersepsi 1. Pernahkan bagian tubuhmu terluka, misalnya karena terjatuh atau terkena bagian tajam seperti pisau dan paku? 2. Apakah bagian tubuh yang terluka tersebut

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah Leukosit Data perhitungan terhadap jumlah leukosit pada tikus yang diberikan dari perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata leukosit pada tikus dari perlakuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia memiliki sistem imun. Sistem imun diperlukan oleh tubuh sebagai pertahanan terhadap berbagai macam organisme asing patogen yang masuk ke

Lebih terperinci

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum Anda pasti sudah sering mendengar istilah plasma dan serum, ketika sedang melakukan tes darah. Kedua cairan mungkin tampak membingungkan, karena mereka sangat mirip dan memiliki penampilan yang sama, yaitu,

Lebih terperinci

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS HEMATOLOGI Darah Tempat produksi darah (sumsum tulang dan nodus limpa) DARAH Merupakan medium transport tubuh 7-10% BB normal Pada orang dewasa + 5 liter Keadaan

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi subjek penelitian Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 ekor mencit strain DDY yang terdiri dari 30 mencit jantan dan 30 mencit betina.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat 41 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian inti. Penelitian pendahuluan terdiri atas 2 tahap yaitu uji nilai kisaran (range value test) dan uji

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Darah Gambaran darah merupakan salah satu parameter yang menjadi indikasi adanya perubahan kondisi kesehatan ikan baik akibat faktor infeksi (mikroorganisme)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri (Patogen dan Probiotik)

METODE PENELITIAN. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri (Patogen dan Probiotik) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai Januari Juni 2011 di Laboratorium Patologi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor, Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin pesat secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup di masyarakat. Kemajuan teknologi dan industri secara

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

- - SISTEM PEREDARAN DARAH MANUSIA - - dlp5darah

- - SISTEM PEREDARAN DARAH MANUSIA - - dlp5darah - - SISTEM PEREDARAN DARAH MANUSIA - - Modul ini singkron dengan Aplikasi Android, Download melalui Play Store di HP Kamu, ketik di pencarian dlp5darah Jika Kamu kesulitan, Tanyakan ke tentor bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Darah Darah adalah jaringan hidup yang bersirkulasi mengelilingi seluruh tubuh dengan perantara jaringan arteri, vena dan kapilaris, yang membawa nutrisi, oksigen, antibodi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH IKAN II (SDP, AF DAN DL)

GAMBARAN DARAH IKAN II (SDP, AF DAN DL) Laporan Praktikum ke-3 Hari/Tanggal : Jumat/ 17 Maret 2017 m.k Manajemen Kesehatan Kelompok : VII Organisme Akuatik Asisten : Niar Suryani GAMBARAN DARAH IKAN II (SDP, AF DAN DL) Disusun oleh: Nuralim

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah dalam tubuh berfungsi untuk mensuplai oksigen ke seluruh jaringan tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi (sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

SISTEM PEMBULUH DARAH MANUSIA. OLEH: REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

SISTEM PEMBULUH DARAH MANUSIA. OLEH: REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt SISTEM PEMBULUH DARAH MANUSIA OLEH: REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt ARTERI Membawa darah bersih (oksigen) kecuali arteri pulmonalis Mempunyai dinding yang tebal Mempunyai jaringan yang elastis Katup hanya

Lebih terperinci

Laporan Praktikum V Darah dan Peredaran

Laporan Praktikum V Darah dan Peredaran Laporan Praktikum V Darah dan Peredaran Nama : Cokhy Indira Fasha NIM : 10699044 Kelompok : 4 Tanggal Praktikum : 11 September 2001 Tanggal Laporan : 19 September 2001 Asisten : Astania Departemen Biologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh selama penelitian adalah data utama dan data penunjang. Data utama meliputi tingkat kelangsungan hidup ikan uji, kurva pertumbuhan bakteri, kepadatan bakteri

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.4

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.4 1. Perubahan energi yang trjadi didalam kloropas adalah.... SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLatihan Soal 11.4 Energi cahaya menjadi energi potensial Energi kimia menjadi energi gerak

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Fungsi utama eritrosit:

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh berupa data identifikasi bakteri uji, data uji LD 50, data uji in vitro, dan data uji in vivo. Data hasil uji in vivo antara lain persentase akumulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI.

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. Kompetensi Dasar 1. Mengetahui penyusun jaringan ikat 2. Memahami klasifikasi jaringan ikat 3. Mengetahui komponen

Lebih terperinci

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN (Dibawah bimbingan Dr. Djong Hon Tjong, dan Dr. Indra Junaidi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitan pengaruh variasi dosis tepung ikan gabus terhadap pertumbuhan dan hemoglobin ikan lele, dengan beberapa indikator yaitu pertambahan

Lebih terperinci

Lampiran 1a. Pengenceran konsentrasi bakteri dalam biakan murni dengan teknik pengenceran berseri

Lampiran 1a. Pengenceran konsentrasi bakteri dalam biakan murni dengan teknik pengenceran berseri Lampiran 1a. Pengenceran konsentrasi bakteri dalam biakan murni dengan teknik pengenceran berseri A 2 lup biakan bakteri padat Inkubasi+shaker (suhu kamar, 18-24 jam) a b b b 0.1 ml 0.1 ml 0.1ml 1:10-1

Lebih terperinci

HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN ABSTRAK

HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 1 Oktober 2014 ISSN: 2302-3600 HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella

Lebih terperinci

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya SISTEM SIRKULASI Kompetensi Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya Suatu sistem yang memungkinkan pengangkutan berbagai bahan dari satu tempat ke tempat lain di dalam tubuh organisme Sistem

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perilaku Kanibalisme Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989 dalam Folkvord 1991). Menurut Hecht dan Appelbaum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Nilem yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila 4.1.1 Kerusakan Tubuh Berdasarkan hasil pengamatan, gejala klinis yang pertama kali terlihat setelah ikan diinfeksikan

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit Jumlah eritrosit dalam darah dipengaruhi jumlah darah pada saat fetus, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, pengaruh parturisi

Lebih terperinci