HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyusunan fungsi produksi menurut umur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyusunan fungsi produksi menurut umur"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan fungsi produksi menurut umur Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9 14 tahun, dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman. Dalam pendugaan produktivitas tanaman kelapa sawit dengan menggunakan data anomali sea surface temperature di Nino-3,4, terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh dari faktor umur. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan fungsi produksi (f(p)) menurut fungsi umur tanaman (f(u)) yang menggunakan model non-linier famili eksponen (Siregar, 1998 dan Manurung, 1986), yaitu: f(p) = f(u) + sisaan Yt = f(u) = a + b ln (t) exp (ct) + ε 1 ; t = 4, 5, 6,, 25 tahun Hasil pendugaan model produksi tanaman kelapa sawit berdasar umur tanaman untuk setiap kebun kelapa sawit yang diamati disajikan pada Tabel 1. Masing-masing kebun mempunyai model pendugaan produksi sendiri dengan nilai parameter yang berbeda-beda untuk tiap kebun. Nilai dari parameter akan menentukan seberapa besar kenaikan dan/atau penurunan produksi hasil pendugaan model untuk masing-masing. Pendugaan nilai parameter a, b, dan c dilakukan dengan memanfaatkan software MS EXCEL dengan tools SOLVER. Prinsip kerja Solver yaitu menyelesaikan dengan cara mencari kuadrat terkecil atau meminimumkan galat. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa model pendugaan produksi berdasar fungsi umur tanaman dapat menjelaskan keragaman produksi tahunan yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit yang diamati di Sumatera sebesar 0,6-0,9 (Lampiran 1). Nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari model persamaan

2 36 umur di setiap kebun yang tersebar di Sumatera menunjukkan pola sebaran nilai koefisien determinasi tertentu pada kebun yang diamati di Sumatera. Pola sebarannya yaitu pada Sumatera Utara bagian Utara nilai koefisien determinasi akan berkisar di atas 0,90 sedangkan di Sumatera Utara bagian Selatan hingga mendekati katulistiwa (provinsi Riau), nilai koefisien determinasi akan menurun pada kisaran 0,70 0,80. Selanjutnya, pada bagian tengah Sumatera di sekitar katulistiwa hingga ke Sumatera bagian Selatan, nilai koefisien determinasi kembali meningkat pada kisaran di atas 0,90. Dan kemudian akan menurun pada Sumatera bagian Selatan yaitu pada nilai kisaran di bawah 0,80 (Gambar 6). Tabel 3. Model pendugaan produksi TBS menurut fungsi umur tanaman No Nama Kebun Model R 2 Provinsi Sumatera Utara 1 Tanah Raja Y = -42, ,1688 ln (t) exp (-0,03062 t) 0,967 2 Rambutan Y = -21, ,1974 ln (t) exp (-0,03022 t) 0,835 3 Dusun Ulu Y = -35, ,5709 ln (t) exp ( t) 0,958 4 Tinjowan Y = -19, ,7951 ln (t) exp (-0, t) 0,943 5 Sei Dadap Y = -29, ,1864 ln (t) exp (-0,03561 t) 0,847 6 Huta Padang Y = -12, ,4030 ln (t) exp (-0,01913 t) 0,885 7 Balimbingan Y = -1, ,8711 ln (t) exp ( t) 0,982 8 Labuhan Haji Y = 1, ,4226 ln (t) exp (0,02535 t) 0,899 9 Aek Nabara Selatan Y = -10, ,0017 ln (t) exp (-0,02926 t) 0, Bukit Tujuh Y = -20, ,7288 ln (t) exp (-0,02821 t) 0, Sei Meranti Y = -10, ,9256 ln (t) exp (-0,03351 t) 0,610 Provinsi Riau 12 Sei Tapung Y = -9, ,3124 ln (t) exp (-0,01977 t) 0, Tandun Y = -21, ,9868 ln (t) exp (-0, t) 0, Terantam Y = -16, ,1527 ln (t) exp (-0,0261 t) 0, Sei Galuh Y = -10, ,1013 ln (t) exp (-0, t) 0, Sei Buatan Y = 1, ,6751 ln (t) exp (-0,01188 t) 0, Sei Pagar Y = -8, ,7916 ln (t) exp (-0,01053 t) 0,919 Provinsi Jambi dan Sumatera Barat 18 Ophir Y = ln (t) exp( t) 0, Solok Selaan Y = -31, ,0137 ln (t) exp(-0,0307t) 0, Rimbo Bujang Y = ln (t) exp( t) 0, Bunut Y = ln (t) exp ( t) 0, Tanjung Lebar Y = -31, ,3495 ln (t) exp (-0,0232t) 0,910 Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung 23 Padang Ratu Y = -8, ,1785 ln (t) exp (-0,03543 t) 0, Bekri Y = -32, ,3226 ln (t) exp (-0,03105 t) 0, Rejosari Y = -22, ,7424 ln (t) exp (-0,02595 t) 0, Betung Y = -22, ,8558 ln (t) exp (-0,0337 t) 0,691

3 37 Gambar 6. Peta sebaran kebun pengamatan berdasarkan R2 hasil simulasi produksi berdasar umur dan batas wilayah Monsoonal Selatan. Keterangan: 1.Tanah Raja; 2.Rambutan; 3.Dusun Ulu; 4.Tinjowan; 5.Sei Dadap; 6.Huta Padang; 7.Balimbingan; 8.Labuhan Haji; 9.Aek Nabara Selatan; 10.Bukit Tujuh; 11.Sei Meranti; 12.Sei Tapung; 13.Tandun; 14.Terantam; 15.Sei Galuh;16.Sei Buatan; 17.Sei Pagar; 18.Ophir; 19.Solok Selatan; 20.Rimbo Bujang; 21.Bunut; 22.Tanjung Lebar; 23.Betung; 24.Padang Ratu; 25.Bekri; dan 26.Rejosari.

4 38 Secara khusus jika dilihat pada daerah Provinsi Lampung (Kebun Padang Ratu, Bekri, dan Rejosari), model pendugaan produksi berdasar fungsi umur tanaman secara tahunan dapat menjelaskan keragaman produksi yang terjadi ratarata sebesar 0,79. Keragaman yang dapat dijelaskan fungsi umur tahunan ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Siregar (1998) yang merumuskan model pendugaan produksi di daerah Provinsi Lampung berdasar fungsi umur tanaman per enam bulan (semester) yang hanya dapat menjelaskan keragaman produksi yang terjadi sebesar 0,1857. Sehingga untuk ditambahkan variabel deret hari kering maksimum, frekuensi deret hari kering, dan curah hujan untuk memperbesar nilai koefisien determinasi hingga menjadi 0,75. Produksi aktual Trend produksi Gambar 7. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Utara.

5 39 Nilai koefisien determinasi dari hasil persamaan pendugaan produksi TBS berdasar umur (tahunan) yang cukup tinggi dibandingkan dengan pendugaan produksi TBS berdasar umur (semester) yang dihasilkan Siregar (1998) diduga karena produksi TBS tahunan merupakan rataan produksi selama satu tahun, sehingga tidak menunjukkan adanya pengaruh musim hujan dan kering yang menyebabkan fluktuasi produksi. Sementara simulasi pendugaan produksi TBS yang dilakukan Siregar adalah produksi TBS per semester yang masih sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim musiman (musim hujan dan kering), terlebih di lokasi yang diamati (Lampung) merupakan wilayah yang jelas musim hujan dan musim keringnya (terdapat bulan kering >2 bulan). Gambar 8. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Riau. Pada Gambar 7 10 diperlihatkan fluktuasi dan penyebaran produksi TBS kelapa sawit serta fitting trend yang diperoleh dari fungsi produksi menurut umur tanaman. Kondisi umur tanaman kelapa sawit di masing-masing kebun berbeda satu sama lain sehingga pola yang diperoleh pada setiap kebun akan berbeda pula. Akan tetapi secara umum, dapat dilihat bahwa pada awalnya produksi TBS akan meningkat dengan cepat hingga mencapai produksi TBS yang optimal pada umur 9 13 tahun, dan kemudian produksi TBS akan menurun secara perlahan hingga tanaman berumur tahun. Siklus tanaman kelapa sawit pada umumnya berumur tahun. Setelah melewati umur tersebut tanaman masih akan tetap menghasilkan, tetapi tidak bernilai ekonomis lagi sehingga umumnya akan disarankan untuk ditanam ulang. Produksi aktual Trend produksi

6 40 Produksi aktual Trend produksi Gambar 9. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Produksi aktual Trend produksi Gambar 10. Perbandingan sebaran produksi TBS observasi dan simulasi menurut fungsi umur tanaman di provinsi Sumatera Selatan dan Lampung. Secara khusus pola penyebaran produksi berdasarkan umur (tahunan) di provinsi Sumatera Utara (Gambar 7) menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi pada dua kebun di bagian selatan provinsi Sumatera Utara lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya di provinsi Sumatera Utara (±0,6) yaitu pada kebun Bukit Tujuh dan Sei Meranti. Hal ini cukup menarik mengingat kondisi iklim di lokasi tersebut masih tergolong sesuai bagi kelapa sawit (jumlah curah hujan cukup dan merata sepanjang tahun). Diduga keragaman produksi yang tidak dapat dijelaskan oleh persamaan berdasar umur adalah karena kondisi

7 41 topografi di kedua wilayah yang berbukit sehingga cukup berbeda dengan kondisi topografi di kebun-kebun lainnya yang diamati di provinsi Sumatera Utara. Gambar 11. Kondisi topografi areal kelapa sawit di kebun Sei Meranti. Selain itu, pada provinsi Sumatera Selatan juga terdapat nilai koefisien determinasi yang lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya yaitu di kebun Betung (R 2 = 0,69). Keragaman produksi yang tidak dapat dijelaskan oleh persamaan fungsi umur diduga dapat dijelaskan oleh jenis lahan di kebun Betung yang tergolong lahan pasang surut, serta konservasi air yang kurang baik di lokasi tersebut. Jika terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, maka areal akan tergenang dalam waktu yang cukup lama sehingga akan mengganggu pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Hasil sisaan dari simulasi model pendugaan produksi berdasarkan umur tanaman selanjutnya akan digunakan dalam pendugaan rataan produksi TBS yang dihasilkan masing-masing kebun per tahun yang disesuaikan dengan umur tanaman yang terdapat di kebun. Berdasarkan perhitungan tersebut akan diperoleh data sisaan model simulasi per kebun per tahun. Sisaan pada model simulasi yang dipengaruhi data iklim seringkali masih mempunyai pola atau tidak acak, maka komponen sisaan dapat dihubungkan dengan peubah lainnya yang diduga dapat menjelaskan keragaman sisaan dengan baik. Dalam penelitian ini, peubah yang dimaksud yaitu anomali suhu muka laut di Nino-3,4.

8 42 Identifikasi hubungan produksi kelapa sawit dengan suhu muka laut Karakteristik curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh wilayah, bulan, dan musim, serta distribusi dataran dan laut. Menurut Aldrian (2003), negara Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah klimatologi berdasar karakteristik curah hujan yang dipengaruhi oleh kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation), yaitu wilayah monsoonal selatan, wilayah semi-monsoonal barat daya, dan wilayah anti-monsoonal Maluku. Wilayah monsoonal selatan meliputi bagian selatan Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, seluruh Pulau Jawa, dan sebagian besar Pulau Irian. Wilayah monsoonal barat daya meliputi bagian utara Pulau Sumatera dan Kalimantan, sementara wilayah anti-monsoonal Maluku meliputi sebagian pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Fluktuasi curah hujan di bagian Selatan Indonesia (wilayah monsoonal selatan) pada bulan Juli November dipengaruhi oleh ENSO, sedangkan wilayah anti-monsoonal Maluku dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juni-November. Kedua kejadian tersebut lebih sensitif terhadap kejadian El Nino daripada La Nina. Sementara wilayah monsoonal barat daya kurang dipengaruhi oleh ENSO. Berdasarkan pembagian wilayah klimatologi beradasarkan pengaruh ENSO, maka terdapat 7 (tujuh) kebun dari total kebun yang diamati di Sumatera yang termasuk ke dalam wilayah monsoonal selatan, yaitu kebun Rimbo Bujang, Bunut, Tanjung Lebar, Betung, Padang Ratu, Bekri, dan Rejosari (Gambar 12). Data sisaan hasil simulasi produksi menurut umur tanaman setiap kebun tersebut akan dirata-ratakan untuk selanjutnya dikorelasikan dengan anomali SST di Nino- 3,4. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara rataan sisaan hasil simulasi produksi berdasar umur dengan anomali SST pada Juni-Juli- Agustus (JJA) di Nino-3,4 satu tahun sebelumnya (lag-1 tahun) sebesar -0,406 dengan P-value = 0,043, yang berarti berkorelasi nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa anomali SST di Nino-3,4 memberikan pengaruh terhadap fluktuasi produksi tanaman kelapa sawit yang tidak dapat dijelaskan oleh pengaruh umur.

9 43 Gambar 12. Peta sebaran kebun yang diamati di Sumatera yang termasuk ke dalam wilayah monsoonal selatan Anomali SST ( C) Gambar 13. Hubungan antara sisaan model berdasar umur dengan anomali SST lag-1 tahun Nilai korelasi yang negatif berarti nilai anomali SST akan berlawanan dengan produksi TBS. Jika anomali SST bernilai positif, maka produksi TBS akan cenderung turun. Begitu juga sebaliknya, jika anomali SST bernilai negatif, maka

10 44 produksi TBS akan cenderung meningkat. Hal ini dapat dijelaskan dengan jika nilai anomali SST positif (>0,8 C) maka akan terjadi fenomena El Nino yang akan menyebabkan situasi lingkungan yang kering di sebagian Indonesia, sehingga tanaman kelapa sawit akan mengalami cekaman kekeringan. Sedangkan jika nilai anomali negatif (<0,8 C) maka akan terjadi fenomena La Nina yang menyebabkan situasi yang basah di sebagian Indonesia, sehingga kebutuhan air tanaman kelapa sawit akan tercukupi. Nilai korelasi yang tinggi dan nyata antara sisaan persamaan dengan anomali SST di Nino-3,4 pada lag ke-1 tahun (12 bulan) dapat disebabkan karena pada tahun sebelumnya merupakan proses penentuan seks rasio dan anthesis pada perkembangan bunga dan tandan kelapa sawit. Proses penentuan seks rasio merupakan proses yang penting dalam perkembangan bunga kelapa sawit. Semakin tinggi seks rasio berarti semakin banyak bunga betina yang terdapat di lapang, sehingga peluang untuk mendapatkan produksi tandan yang tinggi akan semakin besar (Corley, 2003). Dengan curah hujan yang cukup, maka akan semakin banyak bunga betina yang terbentuk yang nantinya akan menjadi tandan sawit. Sedangkan apabila terjadi cekaman kekeringan, maka akan lebih banyak bunga jantan yang muncul. Selain itu, proses anthesis juga sangat penting karena pada saat terjadi pemekaran bunga (anthesis) dapat terjadi aborsi bunga yang disebabkan oleh kekurangan karbohidrat, kurangnya ketersediaan air, sehingga tanaman akan mengalami cekaman. Jumlah bunga yang mengalami aborsi dapat mencapai lebih 25% dari produksi bunga yang dihasilkan (Bealing, 1989). Pendugaan produksi kelapa sawit berdasarkan anomali SST Informasi yang lebih jelas mengenai hubungan produksi kelapa sawit dengan anomali SST dilakukan melalui analisis menggunakan data produksi TBS dan anomali SST bulanan. Data tersebut digunakan dalam merumuskan persamaan untuk menduga produksi kelapa sawit berdasarkan anomali SST. Pendugaan produksi TBS tersebut menggunakan data produksi bulanan di salah satu kebun yang diamati yang terdapat di wilayah yang menurut Aldrian (2003) termasuk ke dalam wilayah yang karakteristik curah hujannya dipengaruhi kuat oleh fenomena ENSO (monsoonal selatan).

11 45 Kebun yang akan diduga produksinya yaitu kebun Rejosari yang terletak di provinsi Lampung. Data produksi bulanan yang tersedia di kebun Rejosari yaitu mulai bulan Januari 2003 Mei Data Januari 2003 Desember 2009 digunakan untuk merumuskan persamaan penduga produksi TBS, sementara data Januari 2010 Mei 2011 digunakan untuk validasi model. Kebun Rejosari terdiri dari tanaman kelapa sawit dengan tahun tanam yang beragam, yaitu tahun tanam 1984, 1987, 1989, , Perumusan model pendugaan produksi TBS dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap yang pertama yaitu menghilangkan pengaruh umur dan musiman dengan menggunakan persamaan non-linier famili eksponen dan persamaan regresi Fourier, tahap kedua yaitu membangun hubungan antara sisaan dari persamaan sebelumnya dengan anomali SST di Nino-3,4, dan tahap ketiga yaitu membangun model untuk menduga produksi kelapa sawit menggunakan stochastic spreadsheet dengan memanfaatkan persamaan sebelumnya Fungsi atau model pendugaan produksi menurut fungsi umur dirumuskan dengan menggunakan model non-linier famili eksponen. Perumusan fungsi umur dilakukan dengan merumuskan fungsi berdasarkan umur sesuai dengan tahun tanam yang terdapat di kebun Rejosari. Setiap data produksi diinventaris berdasarkan umur, sehingga diperoleh data rataan produksi berdasar umur. Berdasarkan hal tersebut, model pendugaan produksi berdasarkan umur menjadi: f(u) = Yt = -9007, ,24 ln(t) exp (-0,00123 t) + ε 1 ; keterangan t = umur tanaman (bulan) Pola produksi TBS di kebun Rejosari menunjukkan peningkatan yang cepat di awal menghasilkan TBS hingga mencapai produksi TBS yang optimal dan maksimal pada umur bulan (9 13 tahun), dan kemudian produksi TBS akan menurun secara perlahan hingga tanaman berumur bulan (25-26 tahun) seperti yang ditampilkan pada Gambar 13. Setelah melewati umur tersebut tanaman masih akan tetap menghasilkan, tetapi tidak bernilai ekonomis lagi sehingga umumnya akan disarankan untuk ditanam ulang. Perumusan fungsi pendugaan produksi tanaman berdasar tahun tanam menghasilkan nilai koefisien determinasi sebesar 22%, yang artinya model berdasarkan fungsi umur dapat menjelaskan produksi bulanan pada kebun

12 46 Rejosari sebesar 22%. Sisaan pada model berdasarkan fungsi umur menunjukkan pola tertentu yang akan diduga dengan persamaan regresi Fourier (Gambar 14). Persamaan Fourier digunakan untuk menangkap pola musiman dari sisaan tersebut karena persamaan Fourier bersifat smooth sehingga masih terdapat sisaan anomali produksi yang bisa ditangkap yang terjadi akibat anomali SST. Gambar 14. Perbandingan produksi TBS hasil simulasi dan observasi. Selanjutnya, sisaan dari hasil persamaan ini akan dihilangkan pengaruh bulan atau musimannya dengan menggunakan persamaan fourier untuk masingmasing tahun tanam (Tabel 4), yaitu: ε 1 = d (i) + e (i) sin (t*) + f (i) cos (t*) + g (i) sin 2(t*) + h (i) cos 2(t*) + ε 2 ; keterangan: t* = 2π t/12; (t = 1, 2,..., 12); dan i = tahun tanam Gambar 15. Diagram pola sisaan model berdasarkan fungsi umur

13 47 Tabel 4. Persamaan Fourier yang digunakan dalam model per tahun tanam Tahun Tanam Model persamaan Fourier a ε 1 = sin (t*) cos (t*) 263 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; b ε 1 = sin (t*) cos (t*) 217 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; c ε 1 = sin (t*) cos (t*) 188 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; d ε 1 = sin (t*) cos (t*) 262 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; e ε 1 = sin (t*) cos (t*) 280 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; f ε 1 = 92,3 286 sin (t*) cos (t*) 247 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; g ε 1 = 19,1 139 sin (t*) cos (t*) 256 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; h ε 1 = sin (t*) cos (t*) 211 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; i ε 1 = sin (t*) 135 cos (t*) 162 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; j ε 1 = 60,8 + 99,6 sin (t*) 91,8 cos (t*) 148 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; k ε 1 = 46, sin (t*) 217 cos (t*) 200 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; l ε 1 = sin (t*) 193 cos (t*) 218 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; m ε 1 = 54,8+ 26,5 sin (t*) 150 cos (t*) 98,6 sin 2(t*) cos 2(t*) + ε 2 ; Keterangan: t* = 2π t/12; (t = 1, 2,..., 12); Sisaan yang diperoleh dari persamaan fourier tersebut selanjutnya akan dikorelasikan dengan anomali suhu muka laut di Nino-3,4 pada bulan yang sama atau beberapa bulan sebelumnya (lag). Hasil perhitungan sebelumnya dengan menggunakan data produksi tahunan telah menunjukkan bahwa produksi tanaman kelapa sawit mempunyai korelasi yang nyata dengan anomali SST pada JJA di lag satu tahun. Walaupun begitu, untuk lebih memperjelas hubungan korelasi antara produksi TBS dengan anomali SST, dilakukan analisa dengan menggunakan data bulanan. Analisa korelasi dilakukan terhadap 1-24 bulan sebelumnya (lag 1-24) sehingga diperoleh data waktu tunda yang mempunyai korelasi tertinggi terhadap produksi TBS (Gambar 15). Berdasarkan hasil analisa korelasi produksi TBS terhadap waktu tunda selama 1-24 bulan, maka diperoleh nilai korelasi tertinggi dan nyata pada lag 12 bulan, dengan nilai korelasi -0,402 (P-value = 0,000). Sehingga persamaan yang diperoleh untuk masing-masing tahun tanam adalah: ε 2 = sisaan 2 = j (i) + k (i) x + ε 3 keterangan: x= anomali SST di Nino-3,4 lag-12 bulan; dan i = tahun tanam Persamaan yang lengkap dengan nilai koefisien untuk masing-masing tahun tanam disajikan pada Tabel 5.

14 48 Gambar 16. Hasil korelasi antara produksi TBS dengan waktu tunda (lag) anomali SST di Nino-3,4. Nilai korelasi yang tinggi dan nyata antara sisaan persamaan dengan anomali SST di Nino-3,4 pada lag ke-11 hingga 14 bulan dapat disebabkan karena pada saat bulan sebelum buah dapat dipanen merupakan proses penentuan seks rasio dan anthesis pada perkembangan bunga dan tandan kelapa sawit. Proses penentuan seks rasio merupakan proses yang penting dalam perkembangan bunga kelapa sawit (Corley, 2003). Dengan curah hujan yang cukup, maka akan semakin banyak bunga betina yang terbentuk yang nantinya akan menjadi tandan sawit. Sedangkan apabila terjadi cekaman kekeringan, maka akan lebih banyak bunga jantan yang muncul. Selain itu, jika terjadi cekaman kekeringan pada saat itu, maka bunga betina yang sudah terbentuk sebelumnya dapat mengalami aborsi atau gagal tandan. Berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan sebelumnya, ternyata galat yang diperoleh dari persamaan terdahulu memiliki auto regresi terhadap galat pada waktu sebelumnya (ε 3-1), sehingga dibutuhkan satu persamaan ke dalam fungsi pendugaan produksi tanaman kelapa sawit yang mencakup galat tersebut (Tabel 5). Persamaannya yaitu: ε 3 = sisaan 3 = m (ε 3-1 ) + ω (i) keterangan : ω (i) = white noise error Sementara itu, nilai dari ε 3-1 yang akan digunakan dalam model pendugaan produksi TBS diperoleh dari perhitungan galat (ε 3-1 ) selama tujuh tahun pengamatan yang direratakan per bulan (Januari Desember).

15 49 Tabel 5. Persamaan penduga ASST dan galat (ε 3-1 ) yang digunakan dalam model per tahun tanam Tahun Tanam Persamaan penduga ASST Persamaan penduga galat a ε 2 = 45, x + ε 3 ε 3 = 0,666 (ε 3-1 ) + ω (i) b ε 2 = 83, x + ε 3 ε 3 = 0,734 (ε 3-1 ) + ω (i) c ε 2 = 60, x + ε 3 ε 3 = 0,644 (ε 3-1 ) + ω (i) d ε 2 = 36, x + ε 3 ε 3 = 0,752 (ε 3-1 ) + ω (i) e ε 2 = 43, x + ε 3 ε 3 = 0,696 (ε 3-1 ) + ω (i) f ε 2 = 43, x + ε 3 ε 3 = 0,734 (ε 3-1 ) + ω (i) g ε 2 = 73, x + ε 3 ε 3 = 0,676 (ε 3-1 ) + ω (i) h ε 2 = 66, x + ε 3 ε 3 = 0,656 (ε 3-1 ) + ω (i) i ε 2 = 52, x + ε 3 ε 3 = 0,726 (ε 3-1 ) + ω (i) j ε 2 = 51, x + ε 3 ε 3 = 0,756 (ε 3-1 ) + ω (i) k ε 2 = 34, x + ε 3 ε 3 = 0,722 (ε 3-1 ) + ω (i) l ε 2 = 1, x + ε 3 ε 3 = 0,819 (ε 3-1 ) + ω (i) m ε 2 = 15, x + ε 3 ε 3 = 0,777 (ε 3-1 ) + ω (i) Keterangan: x = ASST di Nino-3,4 lag-12 bulan; ω (i) = white noise error Seluruh tahap persamaan tersebut di atas (Lampiran 2) akan digunakan dalam menduga produktivitas tanaman kelapa sawit per bulan per tahun tanam (planting year) dimana masing-masing tahun tanam yang terdapat di kebun Rejosari akan memiliki persamaan tersendiri. Sehingga produksi tanaman kelapa sawit di kebun Rejosari merupakan hasil penjumlahan produksi masing-masing tahun tanam pada waktu tertentu, dengan persamaan: Y(t) = Σ Y (i) + ω (i) ; keterangan : i = tahun tanam Keseluruhan model penduga produksi kelapa sawit yang telah dibangun sebelumnya disusun dalam sebuah lembar spreadsheet sehingga menjadi suatu kesatuan yang mencakup input, asumsi (proses), dan output. Sehingga bagi pengguna yang ingin memanfaatkan rumusan ini dapat melakukannya dengan mudah. Tahap pertama yaitu memasukkan input data berupa bulan dan tahun serta anomali SST di Nino-3,4 saat melakukan prediksi, dan kemudian tekan mulai simulasi pada aplikasi crystall ball, maka akan keluar output berupa produktivitas tanaman kelapa sawit pada 12 bulan berikutnya (Lampiran 3).

16 50 Perangkat lunak Crystal Ball akan melakukan simulasi peluang galat (white noise) yang mungkin terjadi di lapang sebanyak 1000 kali simulasi per kejadian/bulan. Dengan membangkitkan data sebanyak 1000 kali, maka nilai yang dihasilkan crystal ball memiliki tingkat ketelitian sebesar 0,1. Angka yang keluar di output merupakan rataan dari seluruh peluang yang diduga terjadi dengan asumsi data tersebar secara normal. Sehingga diharapkan hasil simulasi dapat mewakili kejadian sesungguhnya yang terjadi di lapang. Kelebihan dari simulasi yang dilakukan yaitu pendugaan dilakukan pada setiap tahun tanam yang terdapat di kebun yang diamati (kebun Rejosari). Sehingga jika terjadi penambahan ataupun pengurangan areal untuk masingmasing tahun tanam ataupun terdapat penanaman pada waktu yang akan datang, model penduga ini tetap dapat dimanfaatkan tanpa harus disusun ulang. Model pendugaan produktivitas kelapa sawit ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengusaha kelapa sawit, khususnya yang terletak pada wilayah Monsoonal Selatan yang sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Target atau ekspektasi produksi yang telah diduga oleh kebun berdasarkan penghitungan jumlah bunga dan tandan yang ada di lapang bisa tidak tepat sasaran karena kondisi iklim yang bersifat ekstrim akibat fenomena ENSO. Dengan memanfaatkan model ini, maka bisa diketahui pada waktu 12 bulan sebelumnya sehingga dapat dilakukan langkah-langkah berupa antisipasi untuk meredam pengaruh kejadian El Nino berupa cekaman kekeringan yaitu dengan perlakuan konservasi tanah dan air, misalnya pembangunan guludan, rorak (silt pit), biophore, dan aplikasi bahan organik. Selain itu, model ini tergolong mudah dan praktis digunakan produsen mengingat input data yang dibutuhkan hanya besaran nilai anomali SST di Nino- 3,4. Jika dibandingkan dengan model-model sebelumnya yang telah dilakukan oleh Manurung (1986) yang menggunakan 16 peubah unsur iklim dan ketertinggalan waktu (lag), atau Siregar (1998) yang menggunakan tiga parameter (deret hari kering maksimum pada lag 4-9 bulan sebelumnya, frekuensi deret hari kering >5 hari pada lag bulan sebelumnya dan peubah kekeringan curah hujan pada lag 3-8 bulan sebelumnya). Dan juga terdapat Henson (2005) yang menggunakan empat parameter (interval munculnya pelepah baru, tingkat

17 51 pembentukan dan perkembangan tandan, fungsi seks rasio dan kejadian buah aborsi, dan berat tandan). Serta Khamis et.al (2006) yang melakukan pendugaan dengan pendekatan neural network, dengan parameter kandungan hara Nitrogen, Fosfor, Potasium, Kalsium, dan Magnesium di daun. Verifikasi dan Validasi Model Gambar 17. Perbandingan sebaran produksi TBS hasil simulasi dan observasi Verifikasi dan validasi dilakukan terhadap model yang telah disusun. Verifikasi dilakukan dengan perbandingan secara grafis dan pembanding statistik uji t berpasangan. Hasil perbandingan secara grafis menunjukkan bahwa produksi hasil simulasi cenderung mengikuti pola produksi hasil observasi, walaupun terdapat beberapa puncak produksi hasil observasi yang tidak dapat ditangkap atau diduga oleh model simulasi yang telah disusun (Gambar 17). Dari 84 data yang diamati, terdapat 61 data yang berada pada selang hasil simulasi (72,6%). Hasil simulasi menghasilkan nilai rataan standar deviasi sebesar 417. Hasil pengujian dengan t berpasangan antara produksi aktual dan simulasi diperoleh t hitung = 0,17; sedangkan t tabel0,01 = 2,645. Dengan demikian berarti bahwa hasil simulasi tidak berbeda nyata dengan produksi aktual pada tingkat kepercayaan 99% karena t hitung lebih kecil dari t tabel. Selain itu, fitting model juga dapat dilihat pada sebaran data yang berkumpul di sekitar garis 1:1 (Gambar 18), menunjukkan bahwa produksi hasil simulasi cukup fit dengan aktual.

18 52 Gambar 18. Diagram pencar produktivitas hasil simulasi dan aktual di grafik 1:1 pada verifikasi model Selanjutnya, model divalidasi dengan menggunakan data produksi tanaman kelapa sawit yang belum digunakan untuk perumusan model, yaitu data produksi bulan Januari 2010 Mei Hasil validasi juga menunjukkan bahwa titik-titik produksi tersebar di sepanjang garis 1:1. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai uji t berpasangan antara produksi aktual dan simulasi yang bernilai t hitung = 0,28; sedangkan t tabel0,01 = 2,92. Selain itu, nilai korelasinya adalah sebesar 0,722 (p-value = 0,001). Dengan demikian berarti bahwa hasil simulasi tidak berbeda nyata dengan produksi aktual pada tingkat kepercayaan 99% karena t hitung lebih kecil dari t tabel. Berdasarkan plotting data hasil observasi pada selang hasil simulasi, data yang tersebar di dalam selang adalah sebesar 70,6%. Gambar 19. Grafik sebaran produktivitas TBS hasil validasi (kiri); diagram pencar produktivitas hasil simulasi dan aktual di grafik 1:1 pada validasi model.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Latar Belakang PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan, yang menghasilkan minyak nabati paling efisien yang produknya dapat digunakan dalam

Lebih terperinci

Realisasi dan Prediksi Produksi Kelapa Sawit dan Hubungannya dengan Anomali Iklim. Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Realisasi dan Prediksi Produksi Kelapa Sawit dan Hubungannya dengan Anomali Iklim. Pusat Penelitian Kelapa Sawit + Realisasi dan Prediksi Produksi Kelapa Sawit dan Hubungannya dengan Anomali Iklim Pusat Penelitian Kelapa Sawit Pendahuluan SMT I 2016 Trend penurunan produksi di Sumatera Utara hingga 3% dibandingkan

Lebih terperinci

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Winarna dan Hasril H. Siregar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK

VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK 113 VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK 6.1. Pendahuluan Secara umum, prinsip utama dalam pemodelan optimisasi adalah

Lebih terperinci

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8.1 Pendahuluan Padi merupakan makanan utama sekaligus mempunyai nilai politis yang tinggi bagi orang Indonesia, yang menyediakan pendapatan secara musiman dan tenaga kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 18 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Model pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dengan berbagai taraf penunasan dibangun melalui dua kegiatan yaitu (1) percobaan lapangan, dan (2) penyusunan model. Percobaan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

PEMBAHASAN ... (3) RMSE = 7 kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat dari beberapa parameter, antara lain : Koefisien korelasi Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi dan BTR kelapa sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi dan BTR kelapa sawit 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Penunasan terhadap Produksi, Jumlah Tandan dan BTR Pengaruh penunasan dilihat dari pengaruhnya terhadap produksi, jumlah tandan dan bobot tandan rata-rata pada setiap kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

OVERVIEW & LANGKAH TEKNIS MENGHADAPI EL NINO 2015 DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

OVERVIEW & LANGKAH TEKNIS MENGHADAPI EL NINO 2015 DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT OVERVIEW & LANGKAH TEKNIS MENGHADAPI EL NINO 2015 DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit Pertumbuhan Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang termasuk devisi Tracheophyta, subdevisi Pteropsida, kelas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Indonesia merupakan produsen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Pewarnaan Blok

HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Pewarnaan Blok 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Pewarnaan Blok Sistem manajemen perkebunan kelapa sawit pada umumnya terdiri atas Kebun (Estate) yang dikepalai oleh seorang Estate Manager. Seorang Estate Manager membawahi

Lebih terperinci

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM 5.1. Pendahuluan Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai variabilitas dan fluktuasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Produksi Tandan Buah Segar 4.1.1. Kebun Rimbo Satu Afdeling IV Hasil dari sensus pokok produktif pada tiap blok sampel di masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Pengaruh Fenomena El Niño Southern Oscillation dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Muhammad Elifant Yuggotomo 1,), Andi Ihwan ) 1) Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak ) Program Studi Fisika Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0. 9 a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r 2 ) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B)

Lebih terperinci

ANALISIS PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN ANOMALI SUHU MUKA LAUT DI NINO-3,4 NUZUL HIJRI DARLAN

ANALISIS PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN ANOMALI SUHU MUKA LAUT DI NINO-3,4 NUZUL HIJRI DARLAN ANALISIS PREDIKSI PRODUKSI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN ANOMALI SUHU MUKA LAUT DI NINO-3,4 NUZUL HIJRI DARLAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Taksonomi kelapa sawit yang dikutip dari Pahan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermeae Ordo : Monocotyledonae

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 125 VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 7.1. Pendahuluan Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah

Lebih terperinci

Perancangan dan Integrasi Sistem. Penurunan Produksi Kelapa Sawit pada Kuartal-I Tahun 2016 Oleh : Hanif Ryanas ( )

Perancangan dan Integrasi Sistem. Penurunan Produksi Kelapa Sawit pada Kuartal-I Tahun 2016 Oleh : Hanif Ryanas ( ) Perancangan dan Integrasi Sistem Penurunan Produksi Kelapa Sawit pada Kuartal-I Tahun 2016 Oleh : Hanif Ryanas (2215 105 077) BIDANG STUDI SISTEM PENGATURAN JURUSAN TEKNIK ELEKTRO INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE APRIL 2017)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE APRIL 2017) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE APRIL 2017) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline Daftar

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE MARET 2017)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE MARET 2017) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE MARET 2017) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline Daftar

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Ringkasan Proyeksi Produksi Minyak Sawit 2017 dari Segi Trend Kondisi Iklim Indonesia

Ringkasan Proyeksi Produksi Minyak Sawit 2017 dari Segi Trend Kondisi Iklim Indonesia Ringkasan Proyeksi Produksi Minyak Sawit 2017 dari Segi Trend Kondisi Iklim Indonesia 1 SEKILAS KETERKAITAN IKLIM (CURAH HUJAN) DAN KELAPA SAWIT Iklim merupakan given factor dalam usaha perkebunan kelapa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

PROSPEK KEJADIAN SIKLON TROPIS DI WILAYAH SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA PADA MUSIM SIKLON 2016/2017

PROSPEK KEJADIAN SIKLON TROPIS DI WILAYAH SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA PADA MUSIM SIKLON 2016/2017 PROSPEK KEJADIAN SIKLON TROPIS DI WILAYAH SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA PADA MUSIM SIKLON 2016/2017 Disusun oleh : Kiki, M. Res. Miming Saepudin, M. Si. PUSAT METEOROLOGI PUBLIK BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI

Lebih terperinci

Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit

Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit 41 PEMBAHASAN Penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor tanaman, dan teknik budidaya tanaman. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE NOVEMBER 2016)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE NOVEMBER 2016) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE NOVEMBER 2016) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Press Release PREDIKSI DAMPAK DINAMIKA IKLIM DAN EL-NINO 2014-2015 TERHADAP PRODUKSI PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN I. Prediksi Iklim hingga Akhir 2014/Awal 2015 1. Prediksi berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Pendahuluan. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Pendahuluan. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Peramalan merupakan upaya memperkirakan apa yang terjadi pada masa mendatang berdasarkan data pada masa lalu, berbasis pada metode ilmiah dan kualitatif yang dilakukan

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna 24 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna Pendataan produksi tuna di PPN Palabuhanratu pada tahun 1993-2001 mengalami perbedaan dengan data produksi tuna pada tahun 2002-2011. Perbedaan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB IKLlM INDONESIA HANDOKO Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB Secara umum, daerah tropika terletak di antara lintang 23,5O LU (tropika Cancer) sampai 23,5O LS (tropika Capricorn). Batasan ini berdasarkan

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE SEPTEMBER 2017)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE SEPTEMBER 2017) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE SEPTEMBER 2017) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. A. Kesimpulan. 1. Pada daerah sentra produksi utama di Indonesia, perkembangan luas panen,

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. A. Kesimpulan. 1. Pada daerah sentra produksi utama di Indonesia, perkembangan luas panen, IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan 1. Pada daerah sentra produksi utama di Indonesia, perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas jagung dengan periodisasi tiga musim tanam jagung

Lebih terperinci

PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013

PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013 PREDIKSI DAN ANTISIPASI KEKERINGAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN Disampaikan Pada RAPIM A Kementerian Pertanian 10 September 2013 MATERI PRESENTASI A. Prediksi Kekeringan

Lebih terperinci

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOSFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I KEDIRI-MATARAM 2016 1 Stasiun Klimatologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di beberapa lokasi daerah sebaran duku di Propinsi Jambi, di 8 (delapan) kabupaten yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat 11 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009. Pelaksanaan meliputi kegiatan lapang dan pengolahan data. Lokasi penelitian terletak

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. bebas X yang dihubungkan dengan satu peubah tak bebas Y.

BAB 2 LANDASAN TEORI. bebas X yang dihubungkan dengan satu peubah tak bebas Y. BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Regresi Linier Sederhana Regresi linier sederhana merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan hubungan matematis dalam bentuk suatu persamaan antara variabel tak bebas tunggal dengan

Lebih terperinci

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0 o 12 8 o Lintang

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia umumnya dikelilingi oleh lautan yang berada antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Samudera ini menjadi sumber kelembaban utama uap air

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 10 C. Tujuan Penelitian... 10

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang amat subur sehingga sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Indonesia memiliki iklim tropis basah, dimana iklim

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

METODE MAGANG. Tempat dan Waktu

METODE MAGANG. Tempat dan Waktu 11 METODE MAGANG Tempat dan Waktu Kegiatan magang dilaksanakan di Kebun Sei Lala, PT Tunggal Perkasa Plantation, Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, selama empat bulan mulai

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE FEBRUARI 2017)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE FEBRUARI 2017) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE FEBRUARI 2017) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

Abstrak

Abstrak PENENTUAN KEJADIAN EL-NINO DAN LA-NINA BERDASARKAN NILAI SOUTHERN OSCILATION INDEKS Heni Maulidiya ), Andi Ihwan, M.Si ), Muh. Ishak Jumarang, M.Si ) ) Prodi Fisika FMIPA UNTAN Email : lidiya788@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PROSPEK IKLIM DASARIAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Update: 01 Februari 2016

PROSPEK IKLIM DASARIAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Update: 01 Februari 2016 PROSPEK IKLIM DASARIAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Update: 01 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOSFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I KEDIRI-MATARAM 2016 PROSPEK IKLIM DASARIAN FEBRUARI

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur,

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi data Tahap pertama dalam pembentukan model VAR adalah melakukan eksplorasi data untuk melihat perilaku data dari semua peubah yang akan dimasukkan dalam model. Eksplorasi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS HUJAN STASIUN SEDANG METEOROLOGI &

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Produksi Serbuk Sari. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Produksi Serbuk Sari. Progeni Nigeria Ghana Ekona Avros Dami Yangambi

PEMBAHASAN. Produksi Serbuk Sari. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Produksi Serbuk Sari. Progeni Nigeria Ghana Ekona Avros Dami Yangambi 34 PEMBAHASAN Produksi Serbuk Sari Ketersediaan serbuk sari yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting dalam proses produksi benih. Ketersediaan serbuk sari menentukan keberlangsungan produksi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Email : stamet.mali@gmail.com Telp. : (0386) 2222820 Fax. : (0386) 2222820

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

dari tahun pada stasiun pengamat yang berada di daerah Darmaga, Bogor.

dari tahun pada stasiun pengamat yang berada di daerah Darmaga, Bogor. Jika plot peluang dan plot kuantil-kuantil membentuk garis lurus atau linier maka dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi (Mallor et al. 2009). Tingkat Pengembalian Dalam praktik, besaran atau

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam melakukan kegiatan usaha, haruslah diperkirakan apa yang akan terjadi pada masa akan datang, perkiraan ini dapat dilakukan dengan mengkaji situasi dan kondisi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE OKTOBER 2016)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE OKTOBER 2016) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE OKTOBER 2016) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2017 Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penanaman di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Darmaga Bogor. Kebun percobaan memiliki topografi datar dengan curah hujan rata-rata sama dengan

Lebih terperinci

Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Intensitas Lemah?

Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Intensitas Lemah? Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Lemah? Oleh : Gatot Irianto Detail pertanyaan itu antara lain meliputi (1) bagaimana perkembangan indikator anomali iklim lebih lanjut dihubungkan dengan

Lebih terperinci