IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter iklim yang maximum pula, dan sebaliknya, jika pada saat nilai WWZ bintik matahari minimum, parameter iklim menunjukkan nilai WWZ yang minimum pula. Analisis sebaran data digunakan untuk melihat selang data pada masing-masing data bilangan bintik matahari dan parameter iklim. Terdapat keterpengaruhan jika selang data parameter iklim berada di dalam kisaran sebaran data bilangan bintik matahari. Nilai sebaran data [X] : Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ Analisis Waktu Tunda digunakan untuk melihat kemungkinan adanya keterlambatan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut. Analisis ini dilakukan pada grafik overlay antara parameter kosmogenik dengan parameter iklim ketiga wilayah kajian. Panjang waktu tunda ditunjukkan dari selisih periodisitas dominan antara puncak WWZ bintik matahari dengan puncak WWZ parameter iklim yang paling dekat setelah puncak WWZ bintik matahari tersebut. Metode ini tidak dilakukan perperiode musim karena data antar bulan dan tahunnya saling berkesinambungan. [X] = X + SD X dengan X adalah nilai rataan seluruh data dan SD X merupakan nilai standar deviasi data. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi Pustaka Hasil studi pustaka beberapa penelitian hubungan matahari dengan parameter iklim yangb telah dilakukan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Penelitian-penelitian hubungan matahari dengan parametr iklim di Indonesia No Peneliti Judul Metode Thomas Djamaluddin (1998) Rilo Pambudi (2) Tuti Kurniaty (1997) Ari Christiany (25) Syahrina (24) Efek pasang surut bulan dan aktivitas matahari pada penyebaran awan di Indonesia Prediksi Curah Hujan Regional Jangka Panjang Berdasarkan Fenomena Siklus Sunspot Pengaruh Sunspot Terhadap Iklim dan Pengujian Hipotesis Pengaruh Aktivitas Matahari (solar activity) Terhadap Perubahan Cuaca di Indonesia Berdasarkan Teori Fractal dan Hubungannya Dengan Fenomenea El-Nino Identifikasi Pengaruh Siklus Bintik Matahari pada Spektrum Curah Hujan Pulau Jawa - analisis spektral pada data awan di sekitar Jakarta dengan Weighted Wavelet Z- Transform - penentuan zona sinyal sunspot pada data curah hujan dan analisis spektral entropi maksimum - perata-rataan ruang terhadap data curah hujan yang berada dalam zona sinyal sunspot - estimasi koefisien regresi menggunakan Least Square - metode korelasi linier dan smoothing menggunakan Low Pass Filter binomial 5 suku - nilai korelasi r dan pengujian hipoteis H = tidak ada pengaruh, H 1 = ada pengaruh - pengujian keterpengaruhan menggunakan distribusi normal Z 2 arah dengan α =,5 - koefisien korelasi dan uji F hitung - penentuan nilai α ( Self Similarity Parameter ) - penentuan nilai fractal dengan metode DFA ( Detrended Fluctuation Analysis ) - Low Pass Filter suku 5 - analisis spektral menggunakan FFT - analisis spektrum silang - analisis koefisien korelasi

2 4.2. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ). Hasil grafik yang sebelumnya diolah dengan WWZ memunculkan periodeperiode dominan yang mengindikasikan siklus dari suatu fenomena alam. Periode dominan 4-8 tahun dapat diakibatkan karena efek ENSO (Wiratmo, 1998), 9-14 tahun kemungkinan besar merupakan siklus bintik matahari (Perry, 1994), tahun diduga akibat pasang surut bulan aktivitas matahari (Currie, 1996) dan periode tahun akibat perubahan siklus magnetik matahari (Perry, 1994) Analisis WWZ Data Bilangan Bintik Matahari. Weighted Wavelet Z-Transform merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk menganalisis siklus yang paling dominan dari suatu data runtut waktu (dalam hal ini data bintik matahari, suhu udara dan tekanan paras muka laut) dalam bentuk spektrum. Dominasi periodik untuk bilangan bintik matahari terlihat pada Gambar 7. WWZ Gambar 7. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari. Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa periode yang sangat dominan adalah sekitar 11 dan 12 tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata siklus aktivitas matahari 11 tahunan muncul sangat kuat, ditunjukkan dengan nilai relatif WWZ yang mencapai hampir 6. Begitu pula jika dipilah permusim menurut posisi matahari relatif terhadap bumi, dominasi periodenya tetap menunjukkan 11 atau 12 tahunan walaupun nilai WWZ-nya tidak sebesar pada data bulanan dikarenakan grafik WWZ data bulanan merupakan akumulasi keempat data periode musiman sehingga jumlah data lebih banyak dan nilai WWZ puncak periode juga menjadi tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 8, 9, 1, dan Gambar 8. Grafik WWZ data bilangan biuntik matahari (periode Desember-Februari) Gambar 9. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Maret-Mei) Gambar 1. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Juni-Agustus) Gambar 11. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode September-November). Di Indonesia, komponen yang paling berpengaruh adalah terhadap variabel iklim termasuk suhu udara dan tekanan paras muka laut adalah komponen 1 tahun dari fenomena monsoon. Hal ini terlihat pada data suhu dan tekanan paras muka laut. Namun penelitian ini bertujuan untuk

3 melihat kemungkinan sinyal periodisitas bintik matahari (periode sekitar 11 tahunan) yang terindikasi pada data suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah kota Jakarta, Medan, dan Ambon. Data parameter iklim suhu udara dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah menghasilkan grafik WWZ yang berbeda dengan data bintik matahari. Namun secara umum periode 1 tahunan muncul lebih kuat (walaupun kekuatan siklus berbeda-beda) dibanding periode-periode lainnya karena pengaruh dari kedudukan relatif matahari terhadap bumi Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Jakarta. 7 1 Gambar 14. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Maret- Mei). 12 Gambar 12. Grafik WWZ data suhu Jakarta. Gambar 12 menunjukkan terdapat periode dominan yang muncul cukup kuat selain periode 1 tahunan yaitu periode skitar 2 tahun akibat QBO (Quation Biennial Oscilation), kemudian 14 tahunan diduga akibat pengaruh aktivitas matahari (siklus bintik matahari) dan diatas 25 tahun yang merupakan efek siklus magnetik matahari (siklus perubahan polaritas magnetik di daerah aktif matahari) atau disebut Hales Cycle, yang memiliki periodisitas 22 tahun. Namun dominasi periode bervariasi jika dipilah berdasarkan periode musim. Muncul periode-periode dominan 1,5 tahunan, 3-4 tahunan dan 1 tahunan seperti yang terlihat pada Gambar 13, 14, 15 dan 16. Gambar 15. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Juni- Agustus). 2 2 Gambar 16. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode September-November). Dari grafik-grafik di atas terlihat bahwa ada 2 pengaruh dominan yang menentukan siklus suhu udara Jakarta (selain 1 tahunan) yaitu pengaruh sistem el nino/la nina dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus hale). 2 Gambar 13. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Desember-Februari). Gambar 17. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta.

4 Sedangkan pada Gambar 17 tekanan paras muka laut Jakarta tersebut muncul sinyal kuat selain periode 1 tahunan yaitu 6 tahunan karena ENSO, dan tahunan yang bisa disebabkan karena efek pasang surut bulan-matahari. Sementara untuk grafik WWZ tekanan paras muka laut perperiode musim ditunjukkan dengan Gambar 18, 19, 2, dan Gambar 18. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Desember-Februari). 7 Gambar 18 dan 19 memiliki pola yang hampir sama dimana muncul periode dominan 6-8 tahunan serta periode tahunan. Periode 7 tahunan diduga karena fenomena elnino, kemudian periode 15 tahunan diduga akibat efek pasang surut bulan-matahari. Sedangkan pada Gambar 2 dan 21, terdapat sedikit kesamaan pola walaupun pada Gambar 2 grafiknya lebih berfluktuasi dibanding pada Gambar 21. Pada Gambar 2 dan 21 terlihat periode dominan 1,5 tahun, 6 tahun, dan 18-2 tahunan. Berdasarkan hasil tersebut ternyata untuk data tekanan paras muka laut Jakarta, antara periode musim basah (Desember- Februari) dan periode musim kering (Juni- Agustus) memiliki pola siklus yang sedikit berbeda. Hal ini bisa diakibatkan karena pada musim basah, pengaruh kedudukan matahari yang relatif lebih dekat pada kota Jakarta memberi keragaman pengaruh pada iklim Jakarta, sedangkan pada musim kering, pengaruh lokal muncul sehingga periode dominan yang muncul lebih beragam Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Medan. Gambar 19. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Maret-Mei). 7 1 Gambar 22. Grafik WWZ suhu Medan. Gambar 2. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Juni-Agustus). Pada Gambar 22 terdapat puncakpuncak periode dominan 5 tahun dan 14 tahunan. Periode 5 tahunan menunjukkan suhu Medan dipengaruhi kuat oleh el nino dan terdapat indikasi periode 14 tahun. 1 1 Gambar 21. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode September-November). Gambar 23. Grafik WWZ suhu Medan (periode Desember-Februari).

5 15 muka laut wilayah Jakarta. Periode 5 tahunan muncul karena sistem ENSO, 11 tahunan diduga akibat adanya siklus aktivitas bintik matahari dan 15 tahunan karena pasang surut bulan-matahari. Gambar 24. Grafik WWZ suhu Medan (periode Maret- Mei) Gambar 28. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Desember-Februari). Gambar 25. Grafik WWZ suhu Medan (periode Juni- Agustus) Gambar 29. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Maret-Mei). Gambar 26. Grafik WWZ suhu Medan (periode September-November). Pada Gambar 23, 24, 25, dan 26, periode-periode dominan yang muncul antar periode tidak berbeda jauh dengan periode dominan pada data tahunannya, dimana periode 5 dan 14 tahunan muncul lebih dominan dibanding tahun-tahun periode lainnya. 2 4 Gambar 3. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode Juni-Agustus). 14 Gambar 27. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan. Fluktuasi WWZ pada Gambar 27 relatif lebih kecil dibanding grafik tekanan paras Gambar 31. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode September-November). Seperti halnya pada grafik suhu udara Medan, pada grafik WWZ tekanan paras

6 muka laut Medan juga terdapat pola yang berbeda untuk periode Desember-Februari dan periode Juni-Agustus. Pada periode Desember-Februari, fluktuasi dan periode dominan lebih banyak dibanding periode Juni-Agustus. Hal ini menggambarkan bahwa pada periode Desember-Februari, dimana posisi relatif matahari terhadap bumi lebih jauh dibanding pada periode Juni- Agustus, muncul kuasi-kuasi lain yang muncul pada suhu juga tekanan di kota Medan diantaranya 4 periode dominan, yaitu pada periode 3-4 tahun, 4-6 tahun, 1-11 tahun, dan tahunan. Terdapat periode 1-11 tahun dengan nilai WWZ relatif lebih besar dibanding periode dominan lainnya, yang mengindikasikan adanya kemungkinan pengaruh dari aktivirtas matahari. Sedangkan untuk periode Juni-Agustus, jumlah puncak periode dominan terpusat di sekitar 4-8 tahun yang mengindikasikan kuatnya pengaruh ENSO pada periode musim tersebut untuk wilayah Medan Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Ambon 12 Gambar 34. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Maret- Mei). 12 Gambar 35. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode Juni-Agustus) Gambar 32. Grafik WWZ suhu Ambon. Untuk grafik tahunan suhu Ambon, muncul periode-periode dominan yang kecil diantaranya sekitar 3 tahunan, 7 tahunan, dan periode-periode indikasi aktivitas matahari, yaitu 11 dan 25 tahunan. 2 Gambar 33. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Desember-Februari). Gambar 36. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode September-November). Pada Gambar 33, periode-periode dominan hampir sama dengan Gambar 34, hanya saja lebih berfluktuatif dan untuk periode dominan 1 tahunannya agak terjadi waktu tunda pada periode 1,5 2 tahunan dan tidak sekuat dominasi periode 1 tahunan pada Gambar 34. Sedangkan periode dominan yang sama dengan siklus bintik matahari muncul lebih kuat, indikasinya dengan nilai WWZ yang lebih tinggi dan bahkan untuk periode dominan di atas 25 tahun muncul dengan nilai WWZ yang hampir sama dengan periode dominan 1,5 dan 2 tahunannya. Pada Gambar 35, periode 11 tahunan tidak muncul dominan, justru periode berulang 2-4 tahunan yang meningkat akibat fenomena lanina serta periode 15 tahun yang merupakan periode berulang pasang surut

7 bulan-matahari. Periode 9 tahunan juga terlihat pada grafik ini, dan tidak terjadi peningkatan yang signifikan untuk periodeperiode dominan lainnya. Sedangkan pada Gambar 36, periode 1,5 tahun, 3-4 tahun, dan 9 tahunan timbul dengan nilai WWZ yang hampir sama, sedangkan periode di atas 25 tahun justru jauh menurun Gambar 4. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Juni-Agustus). 8 Gambar 37. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon. Grafik dominasi periode untuk tekanan paras muka laut wilayah Ambon terjadi seperti grafik untuk suhu udaranya dimana untuk grafik data tahunan fluktuasinya sangat kecil dibandingkan grafik data perperiode musimnya. Hal ini terjadi karena untuk data tahunan merupakan kumulasi dari seluruh data perperiode musim sehingga pengaruh-pengaruh yang muncul pada setiap musimnya tidak terlihat dominan. Pada gambar tersebut terlihat adanya pengaruh 11 tahunan selain pengaruh 1 dan 1,5 tahunan. 8 Gambar 38. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Desember-Februari). 7 Gambar 39. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Maret-Mei). Gambar 41. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode September-November). Grafik WWZ periode dominan tekanan paras muka laut berbeda dan wilayah lainnya dikarenakan muncul periode-periode dominan lain yang tidak terdapat pada periode dominan data tahunannya. Jika pada Gambar 37 hanya muncul periode 1,5 tahun dan tahunan maka pada Gambar 38, 39, 4, dan 41 muncul pula periode-periode di luar itu. Gambar 38 menunjukkan beberapa periode dominan diantaranya sekitar 1-3 tahun (ENSO minor), lalu yang tertinggi adalah periode 5 tahunan (ENSO) serta 7,5 tahunan (ENSO mayor) serta periode 12 tahunan, yang kemungkinan bisa diakibatkan oleh periode bintik matahari. Namun pada periode Maret-Mei dan Juni-Agustus, pola grafik hampir menunjukkan fluktuasi yang sama, dimana ada 2 periode dominan utama yang terindikasi, yaitu periode sekitar 1-3 tahun dan 9 tahunan. Berbeda halnya dengan periode musim lainnya, pada periode September-November, tekanan paras muka laut lebih dipengaruhi oleh periode 1-3 tahunan dan tidak muncul pengaruh yang signifikan pada periode-periode lainnya, seperti yang terlihat pada gambar 41. Dengan demikian untuk wilayah Ambon, parameter tekanan paras muka laut didominasi oleh 2 periode utama, yaitu kemungkinan efek el nino/la nina dan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari).

8 4.3. Analisis Evolusi Periode Dominan Dengan Pemetaan Winsurf Analisis Winsurf Data Bulanan. Selain dilihat secara grafik (2 dimensi), periode dominan bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut juga dapat dilihat dari pemetaan 3 dimensi menggunakan perangkat lunak Winsurf. Pada Lampiran 1 dapat dianalisis bahwa periode dominan siklus bintik matahari jelas terlihat antara 8 hingga 14 tahunan yang tidak terputus yang berada di sekitar periode 11 tahunan. Hal tersebut terjadi sepanjang tahun selama 1 tahun data. Lampiran 2 menunjukkan grafik Winsurf suhu Jakarta bulanan. Pada lampiran tersebut muncul beberapa periode dominan (di luar periode 1 tahunan) yaitu periode sekitar 13 tahunan dan 25 tahunan yang keduanya terjadi pada sekitar tahun 196-an. Jika dihubungkan dengan siklus aktivitas matahari, periode-periode tersebut bisa dikarenakan faktor siklus bintik matahari sekitar 11 tahunan (dengan jeda waktu 2 tahun) dan siklus Hale (jeda 3 tahun) dan pada sekitar tahun 196 terjadi periode matahari aktif (solar max) dimana aktivitas matahari berada pada titik balik maksimum. Grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut kota Jakarta dapat dilihat pada Lampiran 3. Terlihat adanya periode berulang 19 tahun dengan puncak spektrum sekitar tahun 195. Namun pada grafik tersebut tidak terlihat sinyal 11 tahunan. Pada grafik tersebut muncul periode el nino 6 tahun dengan puncak pada tahun 1938 dan 1958 serta efek QBO pada tahun Pada Lampiran 4 terlihat pola periode dominan yang sangat teratur, selain periode 1 tahunan pada 3 rentang periode waktu, muncul periode dominan 5 tahunan dan sekitar 13-2 tahunan. Efek ENSO pada periode 5 tahunan muncul sangat kuat sekitar tahun 1952 dan periode dominan 13-2 tahunan juga muncul yang mirip dengan periode pasang surut bulan-matahari. Grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan pada Lampiran 5. Pada lampiran tersebut terdapat periode-periode dominan dan yang terkuat adalah sama seperti suhu udaranya yaitu periode 5 tahunan pada tahun-tahun yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara suhu dan tekanan, dan indikasi el nino cukup kuat pada data suhu dan tekanan kota Medan. Periode dominan lainnya yang muncul adalah periode 1 tahunan pada tahun-tahun yang jika dihubungkan dengan aktivitas matahari, merupakan puncak siklus bintik matahari ke-19. Sedangkan untuk berikutnya, pengaruh ENSO muncul kembali pada tahun , dan periode dominan lain yaitu sekitar 25 tahunan yang merupakan merupakan dari siklus magnetik pada tahun diatas Grafik winsurf untuk suhu dan tekanan paras muka laut Ambon diperlihatkan pada Lampiran 6 dan 7. Pada Lampiran 6 terdapat 1 faktor yang paling dominan untuk suhu udara Ambon yaitu periode siklus magnetik matahari yang muncul sepanjang tahun. Sedangkan pada tekanan paras muka laut Ambon, periode yang muncul cukup kuat adalah periode 1 tahunan di atas tahun 1978-an yang juga periode aktivitas matahari. Dari analisis di atas dapat diduga adanya pengaruh faktor aktivitas matahari pada parameter iklim di sekitar wilayah Ambon Analisis Winsurf Data Periode Desember-Februari Lampiran 8 memperlihatkan grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode Desember-Februari. Pada lampiran tersebut siklus 11 tahunan untuk periode Desember-Februari (menurut tahun bumi) muncul terkuat pada tahun sekitar tahun 19, sedangkan untuk periode 22 tahunan muncul paling kuat pada sekitar tahun Berdasarkan grafik tersebut juga dapat dianalisis bahwa kedua faktor tersebut muncul beriringan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan hubungan langsung antara fenomena bintik matahari dan siklus ganda bintik matahari. Grafik winsurf suhu udara Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 9. Pada grafik tersebut banyak muncul periode-periode dominan. Namun secara umum terdapat beberapa periode dominan yang muncul yaitu 2 dan 3 tahunan (QBO dan QTO) kemudian 4-8 tahunan (ENSO) dan 1-11 tahunan (bintik matahari) yang muncul pada tahun sebelum tahun 19, sedangkan pada tahun-tahun sekarang periode tunggal yang dominan muncul adalah akibat siklus 1 tahunan. Grafik winsurf dan tekanan paras muka laut Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 1. Pada grafik tersebut muncul 3 periode yang dominan, yaitu periode 5-7 tahun yang muncul terkuat pada tahun 1958, periode 13 tahunan pada ), serta pada tahun

9 di atas 1967 dimana muncul 2 periode dominan yaitu 1 tahunan (seperti halnya pada suhu udara Jakarta) serta 11 tahunan. Grafik winsurf suhu Medan ditunjukkan oleh Lampiran 11. Pada grafik tersebut periode siklus bintik matahari muncul sepanjang tahun dan mencapai peaknya pada tahun 1985, sedangkan periode ENSO muncul dengan peak pada periode tahun tahun , selain itu muncul pula periode-periode lain yaitu 8 tahunan dan di atas 5 tahunan. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan dengan Lampiran 12. Pada lampiran tersebut terdapat 3 faktor dominan yang terindikasi yaitu periode el nino dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus magnetik matahari), periode bintik matahari muncul lebih awal diikuti siklus magnetiknya. Grafik winsurf suhu Ambon ditunjukkan oleh Lampiran 13. Pada grafik tersebut terdapat 4 faktor utama yang dominan yaitu QBO (tahun 1949 dan 1966), el nino (tahun ), 11 tahunan (di atas 1973), dan siklus Hale yang muncul sepanjang tahun dan mencapai puncak pada sekitar tahun Sedangkan untuk winsurf tekanan paras muka laut diperlihatkan oleh Lampiran 14. Pada lampiran tersebut terdapat 3 periode dominan, yaitu periode ENSO (7 tahunan sebelum 1968 dan 4 tahunan setelah 1973), 1 tahunan pada tahun-tahun di atas 1975, dan siklus magnetik matahari pada sepanjang tahun. Pada periode tersebut Desember- Februari, untuk ketiga wilayah muncul 3 periode utama yang dominan dalam grafik suhu dan tekanan paras muka laut yaitu periode el nino, bintik matahari, dan siklus hale Analisis Winsurf Data Periode Maret- Mei. Grafik winsurf periode dominan bintik matahari periode Maret-Mei ditunjukkan oleh Lampiran 15. Pada grafik tersebut muncul pola periode yang hampir sama dengan periode Desember-Februari. Lampiran 16 menunjukkan periode dominan untuk suhu Jakarta. Dari grafik terlihat bahwa terdapat 1 faktor selain faktor 1 tahunan, yaitu faktor aktivitas matahari 11 tahunan yang muncul kuat pada sekitar tahun 188 dan tahun Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada lampiran 17. Periode dominan yang muncul berbeda dengan grafik suhunya. Untuk grafik tekanan paras muka laut, fenomena ENSO muncul sepanjang tahun setelah puncaknya pada tahun Periode aktivitas matahari juga terlihat pada tahun (bintik matahari) dan diikuti oleh siklus magnetik matahari pada tahun Lampiran 18 menunjukkan periode dominan untuk suhu Medan. Dari grafik menunjukkan bahwa periode aktivitas matahari (bintik matahari dan magnetik matahari) muncul dengan puncak-puncak pada tahun di atas Periode dominan lain yang muncul adalah periode sekitar 5 tahunan akibat el nino/la nina. Sementara Lampiran 19 menunjukkan periode-periode dominan untuk tekanan paras muka laut Medan. Pada tekanan paras muka laut Medan, periode dominan bintik matahari muncul berkebalikan dengan suhunya, dimana periode sekitar 1 tahunan muncul sebelum tahun 1955, namun periode siklus Hale muncul hampir sepanjang tahun. Pada grafik ini muncul pula periode-periode yang diakibatkan oleh el nino. Sedangkan grafik winsurf untuk wilayah Ambon ditunjukkan dengan lampiran 2 dan 21. Pada Lampiran 2 jelas terlihat bahwa juga terdapat 3 periode dominan yaitu el nino (yang muncul pada tahun sebelum tahun 195 dan setelah tahun 1975), periode 15 tahunan, dan sekitar 25 tahunan yang muncul hampir sepanjang tahun sebelum tahun Hal serupa berlaku juga untuk tekanan paras muka laut Ambon dimana 3 periode dominan muncul cukup kuat. Berdasarkan analisis tersebut, seperti halnya pada periode Desember-Februari, pada periode Maret-Mei juga terdapat 3 periode dominan, yaitu indikasi el nino, bintik matahari 11 tahunan, dan magnetik matahari 22 tahunan untuk data bilangan bintik matahari, suhu, serta tekanan paras muka laut ketiga wilayah kajian Analisis Winsurf Data Periode Juni- Agustus. Grafik winsurf untuk data bintik matahari periode Juni-Agustus diperlihatkan pada Lampiran 22. Hasil yang tampak sama dengan hasil winsurf untuk periode Desember-Februari dan Maret-Mei. Sedangkan untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Jakarta periode Juni- Agustus ditunjukkan oleh Lampiran 23 dan 24. Pada Lampiran 23 muncul pengaruh 3 tahunan QTO pada tahun 1979, 1889, 193

10 dan Kemudian periode berulang 4 tahunan muncul sepanjang tahun setelah 194, dan fenomena siklus bintik matahari 1 tahun kembali muncul dengan peak pada tahun sekitar 192. Lampiran 24 menunjukkan pola grafik untuk tekanan paras muka laut Jakarta berbeda dengan pola grafik untuk suhu udaranya. Pada grafik winsurf tekanan paras muka laut Jakarta, terdapat beberapa siklus periode dominan, yaitu 16 tahunan pada tahun di bawah 194, 12 tahunan pada sekitar tahun 1972, dan yang muncul paling dominan adalah pengaruh ENSO pada tahun 1932 dan Munculnya periode 12 tahunan pada tahun diduga karena kemungkinan pengaruh aktivitas matahari. Sementara Lampiran 25 dan 26 menunjukkan bahwa untuk data suhu udara Medan, terdapat periode-periode dominan, namun yang paling kuat adalah periode 7 tahun akibat ENSO dengan puncak pada sekitar tahun Periode-periode dominan lain yang muncul adalah periode 14 tahun dan 2 tahun yang muncul setelah tahun Sedangkan untuk data tekanan paras muka laut Medan, pengaruh el nino juga terlihat pada tahun 1944 dan sekitar 1984, serta ada pula periode 3 tahunan QTO. Periode siklus bintik matahari muncul hanya pada sekitar tahun 195 dan 1964 walaupun lemah. Sementara untuk wilayah Ambon., periode-periode dominan yang terlihat ada pada Lampiran 27 dan 28 dimana adanya periode dominan 9 tahunan yang muncul setelah 1978, serta periode perubahan polaritas magnetik matahari yang justru muncul sebelum tahun Selain kedua faktor tersebut muncul pula pengaruh QBO 2 tahunan pada tahun Periode dominan 9 tahunan juga seperti halnya pada grafik winsurf suhu, muncul setelah tahun Seperti pada Lampiran 28, pada lampiran tersebut periode siklus Hale muncul setelah tahun 197. Terdapat 1 periode dominan yang justru muncul cukup kuat yaitu pada tahun 1964 akibat efek QTO (3 tahunan). Efek yang sama juga muncul pada tahun di atas Kesimpulan yang hampir sama dengan periode Desember-Februari dan Maret-Mei juga didapatkan pada periode Juni-Agustus dimana periode dominan siklus el nino, bintik matahari, dan siklus magnetik matahari masih merupakan faktor utama yang berpengaruh pada suhu dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah Analisis Winsurf Data Periode September-November. Lampiran 29 adalah grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode September-November. Pada grafik tersebut terdapat kemiripan pola dengan periodeperiode sebelumnya untuk data bilangan bintik matahari. Sementara Lampiran 3 menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode dominan yang terlihat pada suhu udara kota Jakarta, dan yang paling kuat adalah periode 2,5 tahun pada tahun 189. Periode lain yang juga muncul adalah periode 4 tahunan ENSO, 1 tahunan siklus bintik matahari pada tahun sekitar 188, dan periode 13 tahun yang juga akibat siklus bintik matahari pada tahun sekitar tahun 192. Pada grafik ini periode siklus Hale muncul namun lemah antara Sedangkan grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada Lampiran 31. Pada lampiran tersebut muncul periode-periode dominan, diantaranya 2,5 tahunan pada tahun 1925 dan 1965, serta pengaruhpengaruh ENSO pada tahun 1957 dan setelah tahun Indikator aktivitas matahari juga muncul dengan puncak pada tahun sekitar tahun Lampiran 32 dan 33 menunjukkan grafik winsurf untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Medan. Grafik 32 menunjukkan terdapat 1 faktor paling dominan yaitu periode mirip el nino pada dekade Selain itu muncul pengaruh aktivitas matahari dengan puncak pada tahun sekitar 1989 walaupun tidak sedominan periode aktivitas el nino. Sementara grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan menunjukkan terdapat beberapa periode dominan yang muncul terpisah-pisah, yaitu periode di atas 2 tahun pada tahun , periode 9-17 tahun sebelum tahun 1955, periode-peridoe ENSO antara 1962 dan 1982, serta yang paling dominan adalah periode ENSO 4 tahunan dengan puncak pada tahun Pada Lampiran 34, 2 periode dominan muncul sepanjang tahun dengan puncak pada tahun serta periode el nino yang terlihat setelah tahun 1978, dan sempat muncul pada tahun Sedangkan grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut Ambon terlihat pada Lampiran 35. Pada lampiran tersebut terlihat bahwa periode perubahan kutub magnetik matahari muncul lebih dominan dibanding periode bintik

11 matahari. Selain itu muncul periode yang lebih dominan yaitu periode-periode 2,5 tahun dengan puncak pada tahun Periode yang sama muncul kembali setelah tahun 1977 yang diiringi dengan periode dominan 4 tahunan ENSO. Untuk data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon, dapat dianalisis bahwa periode-periode dominan yang muncul lebih beragam, namun 3 periode utama masih merupakan periode yang dominan, yaitu periode akibat el nino/la nina, siklus bintik matahari, dan siklus Hale. Analisis spektral menunjukkan bahwa tidak semua komponen periode 12,5 tahun merupakan pengaruh aktivitas matahari (Syahrina, 25). Kemunculan-kemunculan periode 11 tahunan pada grafik-grafik winsurf tersebut belum secara pasti merupakan pengaruh aktivitas matahari (bintik matahari) namun bisa diduga merupakan indikasi dari aktivitas matahari. Begitu pula untuk periode dominant sekitar 22 tahunan yang belum pasti pengaruh dari siklus hale. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah periodeperiode dominan tersebut merupakan pengaruh dari aktivitas matahari Dampak aktivitas matahari pada curah hujan tidaklah sama di semua tempat. Ada daerah yang mengalami curah hujan maksimum saat aktivitas matahari maksimum tetapi ada juga daerah yang mengalami kekeringan di saat yang sama, dengan atau tanpa waktu tunda (Djamaluddin, 1998) Analisis Periodisitas Untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim. Evolusi periodisitas menggunakan winsurf dapat digunakan untuk melihat hubungan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. Berdasarkan grafik winsurf pada lembar lampiran, tanda-tanda A, B, dan C menandai puncak-puncak nilai WWZ data yang dijadikan indikator untuk melihat keterpengaruhan antara data bilangan bintik matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut Analisis Periodisitas Data Bulanan. Lampiran 1 menunjukkan grafik evolusi periodisitas data siklus bilangan bintik matahari. Berdasarkan Lampiran 1, terdapat 3 puncak WWZ yang ditandai dengan A, B dan C yang terjadi pada periode sekitar 11 tahunan, masing-masing terjadi pada sekitar tahun 189, 1915, dan Pada lampiran 2 (data suhu Jakarta), tidak terlihat adanya tanda A, B maupun C, karena tidak terdapat puncak-puncak WWZ yang menunjukkan tahun dan periode yang hampir sama dengan grafik winsurf bintik matahari pada Lampiran 1. Puncak-puncak periode pada Lampiran 2 terjadi pada periode 13 tahun dan 25 tahun pada sekitar tahun 196. Walaupun kedua puncak tersebut mengindikasikan pengaruh aktivitas matahari, namum keduanya tidak terjadi pada tahun dan periode yang sama dengan winsurf bintik matahari. Meskipun ada kemungkinan terdapat titik puncak C namun periodenya lebih besar (yaitu 13 tahuhan, sedangkan pada titik C pada Lampiran 1 menunjukkan periode sekitar 9 tahunan). Begitu juga dengan grafik winsurf data tekanan paras muka laut pada Lampiran 3. Pada gambar terlihat adanya puncak-puncak grafik namun tidak terdapat pada periode sekitar 11 tahunan. Terlihat adanya puncakpuncak grafik WWZ utama yaitu periode 19 tahunan dan 6 tahunan, sehingga tidak terdapat indikasi keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut daerah Jakarta, dilihat dari evolusi periodisitas data. Lampiran 4 dan 5 menunjukkan grafik winsurf untuk data suhu dan tekanan paras muka laut Medan. Seperti halnya untuk data Jakarta, Lampiran 4 dan 5 tidak menunjukkan puncak-puncak yang sama yang terdapat pada Lampiran 1 yaitu puncak A, B, dan C. Grafik winsurf suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah Ambon masing-masing terdapat pada Lampiran 6 dan 7. Pada kedua lampiran tidak terlihat tanda A, B, atau C, sehingga indikasi keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut tidak terlihat Analisis Data Periode Desember- Februari. Grafik evolusi periode bintik matahari periode Desember-Februari terdapat pada Lampiran 8. Sebagaimana pada grafik winsurf data bulanannya, data bintik matahari perperiode musim juga menunjukkan 3 puncak nilai WWZ A, B, dan C, dengan periode dan tahun yang hampir sama. Titik puncak A tidak terdapat pada semua grafik winsurf. Begitu juga untuk titik puncak B dan C.

12 Analisis Data Periode Maret-Mei. Lampiran 15 menunjukkan 3 puncak WWZ A, B, dan C, pada grafik bintik matahari periode Maret-Mei. Secara umum, tidak terdapat perubahan yang signifikan mengenai perubahan tahun dan periodenya. Untuk periode Maret-Mei, puncak A dan C pada Lampiran 15 tidak terdapat pada semua grafik winsurf suhu maupun tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. Namun puncak B terindikasi pada data suhu Jakarta. Pada Lampiran 16, puncak B dengan periode sekitar 14 tahunan terjadi pada sekitar tahun Ini menunjukkan terdapat hubungan keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu udara Jakarta pada tahun tersebut Analisis Data Periode Juni-Agustus Puncak-puncak A, B, dan C untuk periode Juni-Agustus terdapat pada Lampiran 22. Pada grafik winsurf tersebut puncak B tidak terlihat nyata namun masih menunjukkan adanya sedikit pelebaran puncak nilai WWZ. Puncak WWZ A dan B tidak terlihat pada grafik winsurf data iklim. Sedangkan titik puncak C untuk periode Juni-Agustus hanya terlihat pada 1 grafik winsurf yaitu untuk data tekanan paras muka laut Medan. Titik puncak C terjadi pada tahun 195 dengan periode 9 tahunan Analisis Data Periode September- November. Grafik winsurf periode dominan data bilangan bintik matahari ditunjukkan pada Lampiran 29. Seperti pada periode musim lainnya, terdapat titik-titik puncak WWZ A, B dan C, dengan tahun, periode, dan skala WWZ yang tidak jauh bebeda. Titik puncak A dan B juga tidak terdapat pada grafik winsurf data suhu dan tekanan paras muka laut semua wilayah. Namun pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu terindikasi pada data suhu Ambon (ditunjukkan dengan adanya titik puncak C pada sekitar tahun 195 dengan periode 9 tahunan). Sedangkan untuk grafik suhu Jakarta dan Medan serta tekanan paras muka laut tidak terindikasi adanya keterkaitan aktivitas matahri terhadap suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah kajian, dilihat dari kesamaan evolusi periode dan tahun data. Tabel 2. Hubungan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut wilayah berdasarkan evolusi periode data. Titik puncak nilai Periode Hubungan WWZ data A B C SSN - Suhu Jkt SSN - Suhu Mdn SSN - Suhu Abn SSN - SLP Jkt SSN - SLP Mdn SSN - SLP Abn Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb Mar-Mei Jun-Agu Sep-Nov Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa pengaruh aktivitas matahari (dengan indikator data bintik matahari) berpengaruh pada 3 dari 9 data. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kemiripan pola evolusi periodisitas data WWZ pada grafik winsurf, keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, maupun Ambon relatif kecil.

13 4.5. Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim Berdasarkan Koefisien Korelasi Grafik Rataan Bergerak Data Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Grafik korelasi yang menunjukkan pengaruh bintik matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut dapat dilihat pada Lampiran 36, 37, 38, 39, 4 dan 41. Sedangkan nilai korelasi yang menunjukkan hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai korelasi (r) bintik matahari (ssn) dengan suhu dan tekanan muka laut. Parameter Korelasi Nilai Korelasi r ssn-suhu Jakarta.272 r ssn-slp Jakarta.8 r ssn-suhu Medan -.99 r ssn-slp Medan.179 r ssn-suhu Ambon.368 r ssn-slp Ambon.144 Tabel 3 memperlihatkan hubungan antara bintik matahari (sunspot) dengan suhu (T) dan tekanan paras muka laut (SLP). Besarnya koefisien korelasi (r) pada masingmasing stasiun cuaca wilayah menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Respon suhu dan tekanan paras muka laut kota seluruhnya menunjukkan nilai kurang dari,5. Nilai korelasi tertinggi terdapat pada respon tekanan paras muka laut Ambon dengan nilai,368, sedangkan nilai korelasi terendah terdapat pada tekanan paras muka laut Medan dengan respon negatif sebesar,99. Indonesia yang terletak di wilayah tropis (penerima radiasi matahari terbesar) memiliki pengaruh aktivitas matahari yang cukup kuat (Pambudi, 2). Meskipun perubahan irradiansi matahari di puncak atmosfer hanya sekitar 1-5 W/m 2, namun energi tersebut cukup besar dalam mempengaruhi pola iklim global di atmosfer bumi. Di Indonesia, perubahan suhu dan tekanan paras muka laut juga dipengaruhi oleh faktor lokal dan regional seperti distribusi relatif terhadap daratan dan lautan, serta topografi (karakteristik geografi) atau pengaruh fenomena ENSO. Pola monsoon yang memiliki siklus 1 tahunan dipengaruhi oleh angin muson yang terjadi karena perbedaan suhu dan tekanan antara daratan dan lautan. Rendahnya nilai korelasi parameter bilangan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut semua wilayah dapat disebabkan karena parameter iklim suhu dan tekanan paras muka laut sangat bergantung pada proses iradiansi matahari terhadap bumi. Hal ini terlihat dari grafik WWZ terdahulu dimana kontribusi komponen 1 tahun menunjukkan periode paling dominan dibandingkan periode dominan lainnya walaupun terdapat pula puncak-puncak periode yang mengindikasikan periode siklus aktivitas matahari (bintik matahari dan perubahan kutub magnetik matahari). Dengan rendahnya nilai koefisien korelasi di atas maka diperlukan analisis lain untuk mengetahui keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut, yaitu dengan meng-overlay grafik WWZ antara bilangan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut ketiga kota. Keterpengaruhan dilihat dari kesamaan nilai ketiga parameter (tahun, periode, dan niali WWZ) serta analisis waktu tunda antara puncak WWZ pada data bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim Kesamaan Tahun, Periode, dan Nilai WWZ yang Sama. Untuk hubungan bintik matahari dengan suhu Jakarta, terdapat kesamaan ketiga parameter yaitu pada tahun 1927 dengan periode 8,333 dimana nilai wwz keduanya,568. Hal ini berarti terdapat pengaruh bintik matahari terhadap suhu Jakarta pada tahun 1927 dengan periode 8,333. Sedangkan hubungan bintik matahari terhadap tekanan paras muka laut Jakarta tidak teridentifikasi dikarenakan tidak adanya data yang sama untuk tahun, periode, dan nilai WWZ pada masing-masing data. Hal yang sama berlaku untuk data suhu Ambon maupun tekanan paras muka lautnya. Ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari faktor aktivitas matahari terhadap suhu udara dan tekanan paras muka laut wilayah Ambon (berdasarkan parameter nilai wwz). Namun berbeda halnya wilayah Medan dimana terdapat pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan wilayah tersebut.

14 Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu udara Medan terjadi pada tahun 1939 dengan periode 2,222 dengan nilai WWZ keduanya,4. Sementara pengaruh terhadap tekanan paras muka laut Medan terjadi di tahun 1952 dengan periode 1,39 dimana nilai WWZ masing-masing adalah. Tabel 4., tahun, dan periode yang sama antara bintik matahari (ssn) dengan suhu dan tekanan paras muka laut. Hubungan parameter Tahun Periode WWZ ssn - suhu Jakarta , ssn - slp Jakarta no no no ssn- suhu Medan ,222,4 ssn - slp Medan ,778 ssn - suhu Ambon no no no ssn- slp Ambon no no no *) ket : normalisasi min=, max= Indikator Maksimum dan Minimum. Diasumsikan bahwa jika pada saat WWZ bintik matahari maksimum terdapat nilai WWZ suhu atau tekanan paras muka laut yang maksimum pula, maka aktivitas matahari berpengaruh terhadap suhu atau tekanan paras muka laut di tempat tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika saat WWZ bintik matahari minimum terdapat WWZ yang minimum berarti aktivitas matahari memiliki korelasi terhadap suhu atau tekanan paras muka laut. Tabel 5. iklim saat WWZ bintik matahari maksimum. Parameter WWZ Suhu Jakarta,565 Suhu Medan,58 Suhu Ambon,136 SLP Jakarta,894 SLP Medan,69 SLP Ambon,493 *) ket : normalisasi min=, max=1 Setelah dinormalisasi, nilai WWZ tertinggi dari keseluruhan data adalah 1 yang terdapat pada tahun 1957 dengan periode 1,526. Pada saat nilai WWZ tersebut, masing-masing wilayah tidak menunjukkan nilai WWZ yang besar baik untuk data suhu maupun tekanan, dimana semua nilai kurang dari 3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi hubungan keterpengaruhan antara bintik matahari dengan suhu atau tekanan paras muka laut di semua wilayah kajian pada saat periode bintik matahari 11 tahunan dominan. Tabel 6. iklim saat WWZ bintik matahari minimum. Parameter Suhu Jakarta,71,28,84 Suhu Medan,85,21,18 Suhu Ambon,11,1,67 SLP Jakarta,59,17,1 SLP Medan,1,18 SLP Ambon -,2,15 *) ket : normalisasi min=, max=1 Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai nilai WWZ bintik matahari mencapai titik balik minimum pada 3 waktu yaitu pada tahun 1952 dengan periode 2,78, tahun 1968 dengan periode 1,46, dan pada tahun 1983 dengan periode 1,56. Pada tahun 1952 merupakan satusatunya tahun yang terdapat korelasi terhadap tekanan paras muka laut yaitu Medan, sementara untuk tekanan paras muka laut Jakarta tidak menunjukkan adanya keterkaitan karena nilai wwz-nya berbeda (di atas ). Begitu juga dengan data tekanan paras muka laut pada 2 tahun lainnya serta pada data suhu ketiga tahun tersebut dimana nilai WWZ semua wilayah berbeda. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Ambon tidak ada nilainya dikarenakan ketersediaan data mulai dari tahun Sebaran Nilai Data. Korelasi bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut dapat dianalisis dari sebaran nilai rataan dan standar deviasi nilai WWZ bintik matahari. Jika masingmasing sebaran nilai WWZ suhu dan tekanan paras muka laut ketiga kota termasuk ke dalam rentang nilai WWZ bilangan bintik matahari (nilai rataan + simpangan baku) maka parameter iklim tersebut dapat dikatakan memiliki korelasi atau terpengaruh oleh aktivitas matahari.

15 Tabel 7. Sebaran nilai WWZ data bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut (normalisasi). Para meter Ratarata StDev WWZ SSN,19 3,218 Suhu Jkt,117 3,193 Suhu Mdn,64 3,26 Suhu Amb,76 3,24 SLP Jkt,146 3,186 SLP Mdn,65 3,26 SLP Amb,62 3,27 Sebaran Data (-3,112) St Error 3,15,87 (-2,947) 3,181,129 (-3,25) 3,27,117 (-2,992) 3,144,136 (-2,891) 3,183,149 (-3,32) 3,162,19 (-3,36) 3,16,19 Tabel 7 menunjukkan nilai rerata WWZ normalisasi untuk bilangan bintik matahari adalah,19. Nilai standar deviasinya 3,218 sehingga sebaran data berada pada selang -3,112 hingga 3,15. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa semua batas minimum sebaran data suhu dan tekanan paras muka laut wilayah berada di dalam selang minimum sebaran data bilangan bintik matahari, namun batas maksimum sebaran data berada di luar selang maksimum data bintik matahari, kecuali untuk data suhu Ambon. Meskipun hanya data suhu Ambon yang berada di dalam kisaran data WWZ bintik matahari, namun secara umum semua data berada di sekitar kisaran data sehingga dapat dikatakan terdapat hubungan antara aktivitas matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon, berdasarkan sebaran data WWZ masing-masing Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ. Hubungan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut dapat dianalisis dari grafik overlay antara kedua grafik WWZ. Diasumsikan titik-titik puncak WWZ kedua data yang dioverlay menunjukkan keterkaitan satu sama lain. Hanya saja, berapa lama titik puncak periode bintik matahari tersebut berpengaruh pada titik puncak data iklimnya. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Suhu Udara Periode (dalam tahun) Gambar 42. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Jakarta. Pada Gambar 42 menunjukkan puncak periode dominan 1-11 tahun untuk grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode dominan 11 tahunan tersebut sama untuk grafik overlay WWZ berikutnya). Sedangkan untuk grafik WWZ data suhu Jakarta, terdapat periode paling dominan 3 tahunan, namun yang ditinjau adalah periode dominan yang terdekat setelah titik puncak WWZ data bintik matahari. Hal ini disebabkan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut tidak selalu terjadi secara langsung tetapi membutuhkan waktu (timelag) sehingga titik puncak WWZ yang dianggap terkait dengan titik puncak WWZ bilangan bintik matahari adalah pada periode dominan 13,5 tahun (walaupun nilainya separuh dari titik puncak periode dominan 3 tahunan). Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu Jakarta membutuhkan waktu jeda sekitar 3 tahun. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Tekanan Paras Muka Laut Periode (dalam tahun) Gambar 43. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Jakarta. Berbeda dengan grafik untuk suhu, pada grafik tekanan paras muka laut Jakarta di atas terdapat 2 puncak periode dominan pasca puncak WWZ bilangan bintik matahari, tetapi titik puncak periode 12,5 tahun lebih dekat dengan puncak bintik matahari dibanding titik puncak 15,5 tahun sehingga keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap tekanan paras muka laut Jakarta membutuhkan waktu tunda sekitar 2 tahun.

16 Skala Normalisasi WWZ Periode (dalam tahun) Bilangan Bintik Matahari Suhu Udara Gambar 44. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Medan. Sedangkan grafik overlay bilangan bintik matahari dengan suhu Medan ditunjukkan dengan Gambar 44. Pada grafik jelas terlihat bahwa terdapat titik puncak periode dominan 14,5 tahun. Dengan demikian waktu tunda pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu Medan adalah sekitar 3, 5 tahun. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Tekanan Paras Muka Laut Periode (dalam tahun) Gambar 45. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Medan. Sementara untuk tekanan paras muka laut Medan, hubungan ditunjukkan oleh Gambar 45. Puncak dominan terlihat pada periode 15 tahun maka keterpengaruhan memerlukan waktu tunda 4 tahun. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Tekanan Paras Muka Laut Periode (dalam tahun) Gambar 47. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Ambon. Berbeda halnya dengan Jakarta dan Medan, pada grafik wilayah Ambon terlihat tidak memiliki waktu tunda, baik untuk grafik overlay data suhu (Gambar 46) maupun data tekanan paras muka laut (Gambar 47). Hal ini karena titik puncak periode dominan suhu maupun tekanan paras muka laut terdapat pada periode dominan grafik bintik matahari, yaitu 11 tahunan. Diduga keterpengaruhan menempuh waktu tunda dalam hitungan bulan saja. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keterlambatan waktu tunda pengaruh aktivitas matahari terhadap iklim sehingga waktu tunda keterpengaruhan tersebut berbeda-beda di setiap tempat. Faktor-faktor tersebut bisa disebabkan oleh ketebalan liputan awan, faktor antropogenik seperti polusi industri, atau bisa juga karena karakteristik geografinya yang banyak dipengaruhi oleh faktor lokal maupun regional, tergantung wilayahnya. Skala Normalisasi WWZ 1.9 Bilangan Bintik.8 Matahari.7 Suhu Udara Periode (dalam tahun) Gambar 46. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Ambon.

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f)

II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bintik Matahari ( Sunspot ) Di permukaan matahari terjadi gejolak gejolak yang kadang menguat dan kadang melemah yang dikenal dengan aktivitas matahari. Salah satu bentuk aktivitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG Juniarti Visa Bidang Pemodelan Iklim, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN Bandung Jl. DR. Junjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443,

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna 24 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna Pendataan produksi tuna di PPN Palabuhanratu pada tahun 1993-2001 mengalami perbedaan dengan data produksi tuna pada tahun 2002-2011. Perbedaan ini

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB.

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB. 6 menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB. 3.4. Pengolahan Data Proses pengolahan data diawali dengan menginput data kedalam software RAOB. Data hasil RAOB

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 52 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS LST MODIS merupakan suatu

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr Stasiun Meteorologi Klas III Malikussaleh Aceh Utara adalah salah satu Unit Pelaksana

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi data Tahap pertama dalam pembentukan model VAR adalah melakukan eksplorasi data untuk melihat perilaku data dari semua peubah yang akan dimasukkan dalam model. Eksplorasi

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PIRANTI LUNAK WEIGHTED WAVELET Z-TRANSFORM (WWZ) DALAM ANALISIS SPEKTRAL AKTIVITAS MATAHARI

PENGEMBANGAN PIRANTI LUNAK WEIGHTED WAVELET Z-TRANSFORM (WWZ) DALAM ANALISIS SPEKTRAL AKTIVITAS MATAHARI 124 Jurnal Sains Dirgantara Vol. 6 No. 2 Juni 2009:124-132 PENGEMBANGAN PIRANTI LUNAK WEIGHTED WAVELET Z-TRANSFORM (WWZ) DALAM ANALISIS SPEKTRAL AKTIVITAS MATAHARI Jalu Tejo Nugroho Peneliti Bidang Matahari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 menguji kelayakan model sehingga model sementara tersebut cukup memadai. Salah satu caranya adalah dengan menganalisis galat (residual). Galat merupakan selisih antara data observasi dengan data hasil

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Agroklimat Wilayah Penelitian Dari hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian menunjukan bahwa tanah pada lokasi penelitian kekurangan unsur hara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 Diagram alir penelitian. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer 4.1.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer Harian Faktor yang menyebabkan pergerakan vertikal udara antara lain

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN Oleh Nur Fitriyani, S.Tr Iwan Munandar S.Tr Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Aji

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA 30 BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Data Curah Hujan DAS Brantas Data curah hujan di DAS Brantas merupakan data curah hujan harian, dimana curah hujan harian berasal dari stasiun-stasiun curah hujan yang ada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram alir penelitian

Gambar 4 Diagram alir penelitian 10 Gambar 4 Diagram alir penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini periode yang digunakan dibagi dua, yaitu jangka panjang; Januari 2007 sampai dengan Juli 2009 dan jangka pendek. Analisis

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0. 9 a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r 2 ) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B)

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH IV MAKASSAR STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I MAROS JL. DR. RATULANGI No. 75A Telp. (0411) 372366 Fax. (0411)

Lebih terperinci

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

PEMBAHASAN ... (3) RMSE = 7 kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat dari beberapa parameter, antara lain : Koefisien korelasi Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan

Lebih terperinci

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai. 6 KAT i = KAT i-1 + (CH-ETp) Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Pola Konveksi Diurnal IV.1.1 Pengamatan Data OLR Pengolahan data OLR untuk periode September 2005 Agustus 2006 menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2017 Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017 BMKG MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017 Status Perkembangan 26 September 2016 PERKEMBANGAN ENSO, MONSUN, MJO & IOD 2016/17 Angin ANALISIS ANGIN LAP 850mb

Lebih terperinci

Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor

Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor Nasrullah (1), Ramli Rahim (2), Baharuddin (2), Rosady Mulyadi (2), Nurul Jamala (2), Asniawaty Kusno (2) (1) Mahasiswa Pascasarjana,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018 1 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Hujan Tahun Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI CURAH HUJAN HARIAN UNTUK MENENTUKAN RAGAM OSILASI ATMOSFER DI KOTA PADANG (Studi Kasus Data Curah Hujan Harian Tahun )

ANALISIS VARIASI CURAH HUJAN HARIAN UNTUK MENENTUKAN RAGAM OSILASI ATMOSFER DI KOTA PADANG (Studi Kasus Data Curah Hujan Harian Tahun ) PILLAR OF PHYSICS, Vol. 1. April 2013, 34-43 ANALISIS VARIASI CURAH HUJAN HARIAN UNTUK MENENTUKAN RAGAM OSILASI ATMOSFER DI KOTA PADANG (Studi Kasus Data Curah Hujan Harian Tahun 2002-2011) Anggia Arista

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

Persamaan Regresi Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Suhu dan Kelembapan Udara di Ternate

Persamaan Regresi Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Suhu dan Kelembapan Udara di Ternate Statistika, Vol. 13 No. 1, 7 16 Mei 2013 Persamaan Regresi Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Suhu dan Kelembapan Udara di Ternate Stasiun Meteorologi Depati Amir, Pangkalpinang Email: akhmad.fadholi@bmkg.go.id

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA KEJADIAN KELEMBABAN SANGAT RENDAH TANGGAL 31 JANUARI 2018

ANALISIS CUACA KEJADIAN KELEMBABAN SANGAT RENDAH TANGGAL 31 JANUARI 2018 ANALISIS CUACA KEJADIAN KELEMBABAN SANGAT RENDAH TANGGAL 31 JANUARI 2018 I. INFORMASI KEJADIAN KEJADIAN Kelembaban Sangat Rendah LOKASI Kecamatan Rantetayo Kab. Tana Toraja TANGGAL 31 Januari 2018 DAMPAK

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT

ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT Ida sartika Nuraini 1), Nurdeka Hidayanto 2), Wandayantolis 3) Stasiun Klimatologi Kelas II Mempawah Kalimantan Barat sartikanuraini@gmail.com, nurdeka.hidayanto@gmail.com,

Lebih terperinci

Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI. Meteorology for better life

Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI. Meteorology for better life Pembentukan Hujan 2 KLIMATOLOGI 1. Pengukuran dan analisis data hujan 2. Sebaran curah hujan menurut ruang dan waktu 3. Distribusi curah hujan dan penyebaran awan 4. Fenomena iklim (ENSO dan siklon tropis)

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KELAS I SUPADIO PONTIANAK Jl. Adi Sucipto KM. 17 Bandara Supadio Pontianak Telp. 0561 721142 Fax. 0561 6727520 Kode Pos 78391 Email : stamet.supadio@bmkg.go.id

Lebih terperinci