MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERIHAL Pengujian Uu No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa [Penjelasan Pasal 70] PEMOHON Darma Ambiar dan Sujana Sulaeman ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah Dan DPR Senin, 14 April 2014 Pukul WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Hamdan Zoelva (Ketua) 2) Arief Hidayat (Anggota) 3) Anwar Usman (Anggota) 4) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) 5) Aswanto (Anggota) 6) Maria Farida Indrati (Anggota) 7) Muhammad Alim (Anggota) 8) Patrialis Akbar (Anggota) 9) Wahiduddin Adams (Anggota) Yunita Rhamadani Panitera Pengganti

3 Pihak yang hadir: A. Pemohon 1. Sujana Sulaeman 2. Darma Ambiar B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Andi Syafrani 2. Rivaldi 3. Yupen Hadi 4. Ali Fernandes C. Pemerintah: 1. Agus Hariadi 2. Mualimin Abdi 3. Harianto Sunidja 4. Madjedi Hasan

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 15/PUU- XII/2014, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Ya, Pemohon, perkenalkan diri dulu siapa saja yang hadir? Ya, silakan. 2. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAHFRANI Terima kasih, Yang Mulia. Saya Kuasa Hukum, Andi Syahfrani. Di sebelah kanan saya, Prinsipal, Bapak Sujana Sulaeman. Dan yang paling kanan adalah Bapak Andi Wahyu, Yang Mulia. Terima kasih. 3. KETUA: HAMDAN ZOELVA Pemerintah mewakili presiden? 4. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat sore, salam sejahtera untuk kita semua. Hadir dari pemerintah mewakili presiden, saya sendiri, Agus Hariadi dari Kementerian Hukum dan HAM. Sebelah kiri saya, Bapak Mualimin Abdi, Kabag Balitbangham dan sekaligus Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan sekaligus beliau akan membacakan keterangan pemerintah. Sebelah kirinya lagi, Bapak Harianto Sunidja dan Madjedi Hasan, beliau dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Di belakang juga hadir teman dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia. 5. KETUA: HAMDAN ZOELVA Badan arbitrase, ada? KETUK PALU 3X 6. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

5 7. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ketua, ya? Ini saya mau tanya, dari Badan Arbitrase Nasional mau masuk ke pemerintah, bagian dari pemerintah atau tersendiri sebagai Pihak Terkait? 8. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Pihak Terkait, Yang Mulia. 9. KETUA: HAMDAN ZOELVA Pihak Terkait? 10. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Ya. 11. KETUA: HAMDAN ZOELVA Kalau jadi Pihak Terkait, ajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dengan alasan-alasannya, nanti biar Mahkamah akan memberikan kesempatan memberikan keterangan sebagai Pihak Terkait. 12. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Baik, Yang Mulia. 13. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya? 14. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Ya. 15. KETUA: HAMDAN ZOELVA Pihak Terkait bisa mengajukan bukti, bisa mengajukan Ahli, bisa mengajukan saksi tersendiri, ya. Baik, saya persilakan dulu dari pemerintah.

6 16. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Bismillahirrahmaanirrahim. Assalamamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati, Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang saya hormati para Pemohon. Yang saya hormati rekan-rekan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan yang saya hormati calon Pihak Terkait dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Yang Mulia, sehubungan permohonan pengujian Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang untuk selanjutnya disebut atau disingkat menjadi Undang-Undang AAPS yang dimohonkan oleh Ir. Darma Ambiar dan Drs. Sujana Sulaeman yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Andi Syafrani dan rekan-rekan sebagaimana tercatat di dalam register Kepaniteraan Nomor 15/PUU-XII/2014. Dalam hal ini, presiden memberikan Kuasa kepada, satu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, dan yang kedua, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refomasi Birokrasi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yang Mulia, memberikan kuasa kepada, antara lain, saya sendiri, Mualimin Abdi selaku Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan selaku pelaksana tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Yang Mulia, pokok permohonan pemerintah tidak akan dibacakan. Kemudian yang kedua, tentang terkait dengan kedudukan para Pemohon kedudukan hukum para Pemohon, juga pemerintah tidak akan bacakan, nanti akan disampaikan secara lebih rinci di dalam keterangan tertulis yang akan disampaikan kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia untuk menilai dan mempertimbangkannya yang terkait dengan masalah kedudukan hukum para Pemohon itu sendiri. Selanjutnya, Yang Mulia, keterangan pemerintah atas permohonan permohon pengujian yang dimohonkan oleh para Pemohon, ada beberapa bagian, Yang Mulia, nanti secara lebih lengkap akan disampaikan, Yang Mulia, secara tertulis. Ada beberapa bagian yang tidak kami bacakan seperti latar belakang kami tidak bacakan, kemudian pengertian juga pemerintah tidak akan bacakan, nanti sekali lagi akan kami sampaikan secara tertulis. Pemerintah akan langsung masuk kepada tujuan daripada arbitrase itu sendiri. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, penggunaan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa telah lama dikenal di semua masyarakat di dunia dan sistem hukum, termasuk dalam hukum adat di Indonesia. Secara tradisional, bentuk yang digunakan adalah konsiliasi di antara para pihak yang bertujuan hidup bersama dalam masyarakat kecil. Arbitrase dipilih untuk hubungan

7 pribadi para pihak dan putusannya tidak ditegakkan oleh pengadilan. Namun, dengan makin terbukanya masyarakat, maka pengakuan arbitrase yang lebih formal tumbuh paralel dengan sistem hukum di Indonesia. Alasan mengapa arbitrase komersial makin popular adalah karena hasil arbitrase lebih dapat diperkirakan atau yang kita ketahui sebagai bersifat predictable, tertutup dan dihindarinya publisitas secara kemudian bersifat secara fleksibel, tidak terlalu formal, dan biaya yang lebih terukur pasti daripada proses di pengadilan. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya perdagangan dunia dan kebijakan pasar bebas. Dalam perdagangan internasional, pengaturan baru di luar negara seperti lembaga-lembaga ekonomi multilateral, adanya standar-standar hukum supranasional, dan badan-badan bukan pemerintahan yang dipimpin oleh pasar modal serta multilateral corporation telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pertumbuhan arbitrase sebagai suatu cara-cara menyelesaikan sengketa komersial yang mempunyai sifat internasional dan mengabaikan berbagai tes dan standar yang ditetapkan dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian, Yang Mulia, arbitrase yang diatur di dalam undang-undang a quo, merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka itu sendiri. Berbeda dengan proses pengadilan negeri, dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Hal ini untuk menjaga agar penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak berlarut-larut. Arbitrase dapat dilaksanakan instituisional atau bersifat ad hoc. Arbitrase internasional dilaksanakan dengan bantuan suatu lembaga arbitrase, dimana para pihak sepakat akan menggunakan aturan dari lembaga arbitrase tersebut, seperti misalnya International Chamber of Commerce dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau yang disebut sebagai BANI. Dalam arbitrase ad hoc, para pihak dapat bersepakat untuk menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri. Aturan atau prosedur dari salah satu lembaga arbitrase tertentu atau aturan tertentu yang tidak terkait dengan satu lembaga arbitrase seperti aturan tentang arbitrate rules yang diterbitkan oleh The United Nations Commission on International Trade Law. Karena tidak ada institusi yang melakukan administrasi acara, permasalahan sering timbul dalam arbitrase ad hoc jika suatu pihak menolak untuk menunjuk seorang arbiter atau jika para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam memilih ketua. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan

8 mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter, maka Pasal 13 undangundang a quo mengamanatkan bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiter atau Majelis Arbitrase dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, keuntungan dari arbitrase, pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain, yang pertama, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, kemudian para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, bersifat atau berlaku jujur, dan adil. Selanjutnya, para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya, serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrasenya, dan kemudian putusan arbiter merupakan putusan akhir yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara atau prosedur yang sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, asas iktikad baik di dalam berarbitrase. Arbitrase adalah suatu perjanjian yang dinegosiasikan, disepakati, dan dijalankan. Karenanya, iktikad baik menjadi pusat di dalam arbitrase, sebagaimana dipersyarakat dalam konvensi-konvensi internasional dan arbitrase para pihak di dalam arbitrase, termasuk kuasa, arbiter, lembaga arbitrase, dan para pihak yang bersengketa, harus beriktikad baik ketika memasuki proses arbitrase. Misalnya, kuasa atau pengacara para pihak tidak menutup kemungkinan untuk perdamaian dengan cara-cara menunda sidang. Para kuasa atau pengacara tersebut seyogianya selalu berkomunikasi dengan kliennya untuk menjajaki kemungkinan tercapainya penyelesaian, segera setelah mengetahui bahwa pembahasan menuju perdamaian mengenai kasus, cukup memberi harapan bagi para pihak itu sendiri. Dalam setiap arbitrase, tugas dan kewajiban harus dilaksanakan dengan standar iktikad baik dan penyikapan secara penuh. Hal ini berarti bahwa para pihak dari awal bersedia membahas kepentingannya masingmasing, mereka mengerjakannya dengan cara-cara yang efektif dan tidak membuang-buang waktu, wajar, dan menunjukkan proaktif keinginan untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri. Tanpa iktikad baik, keunggulan arbitrase dalam penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif. Untuk arbiter, iktikad baik berarti tidak bersedia menjadi arbiter jika jadwal yang bersangkutan penuh dan bersedia mengungkapkan kemungkinan adanya benturan kepentingan atau conflict of interest. Karena itu, arbiter sebelum dan selama proses harus melakukan introspeksi mengenai sikapnya, sehingga tidak menjatuhkan putusan yang bersifat bias. Ketidakberpihakan dan kebebasan dari seorang arbiter merupakan hal yang esensial di dalam pemeriksaan. Dalam

9 premis tersebut, iktikad baik mengharuskan para arbiter bertindak wajar untuk melindungi ekspektasi yang berasal dari perjanjiannya. Hal yang juga cukup relevan tentang iktikad baik dalam arbitrase adalah hak banding atas putusan yang dijatuhkan. Kesepakatan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase pada hakikatnya bersedia menerima putusan arbitrase sebagai putusan akhir atau final dari para arbiter. Karena itu, pengajuan banding kepada pengadilan untuk membatalkan putusan dapat dipandang sebagai satu tindakan yang bersifat atau beriktikad tidak baik. Selain melanggar cita-cita hukum yang didambakan, tetapi juga selalu seiring, yaitu adanya asas manfaat, keadilan, dan kepastian itu sendiri. Demikian, Yang Mulia, yang melatarbelakangi arbitrase pada umumnya. Selanjutnya, Yang Mulia, terkait dengan permohonan pengujian yang terkait yang diajukan oleh para Pemohon yaitu tentang Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif ADR (Alternative Dispute Resolution), menurut pemerintah tidak konsisten, tidak operasional, yang pada gilirannya menimbulkan kerancuan pada permohonan itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut. Pasal 70 Undang-Undang AAPS menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam pemeriksaan palsu, atau disembunyikannya dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan di pengadilan dan alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Sedangkan penjelasannya sedangkan Penjelasan Pasal 70 menurut fungsi menurut fungsinya adalah sebagai tafsir resmi pembentuk undangundang atau norma tertentu yang ada di dalam batang tubuh itu sendiri. Oleh karena itu, menurut pemerintah, penjelasan sebagaimana diatur juga di dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata atau istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh-contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan penjelasan, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Oleh karena itu, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam Ketentuan Pasal 70 undang-undang a quo yang menyatakan putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan dalam hal adanya dokumen yang diduga palsu atau dipalsukan atau tipu muslihat adalah norma yang harus dipenuhi sebagai syarat dapat dibatalkannya satu proses arbitrase, sedangkan pasal sedangkan Penjelasan Pasal 70

10 yang menyatakan bahwa atas dugaan yang telah ditetapkan dalam batang tubuhnya harus dibuktikan melalui putusan pengadilan adalah putusan pengadilan yang berwenang mengadili adanya pemalsuan atau tipu muslihat itu sendiri. Hal ini terkait dengan hal ini terkait dengan kepastian hukum dan keadilan, dalam arti bahwa seseorang baru dapat dinyatakan bersalah dalam hukum setelah adanya pembuktianpembuktian yang dilakukan di pengadilan. Sebaliknya, jika Penjelasan Pasal 70 undang-undang a quo dianggap bertentangan dengan normanya sebagaimana yang diargumenkan oleh para Pemohon, maka Pasal 70 undang-undang a quo menurut pemerintah, akan kehilangan penafsirannya atau akan kehilangan penjelasannya, sehingga bagi pihak yang memenangkan perkara arbitrase akan menghilangkan hak-hak konsitusionalnya dan tidak akan lagi mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase itu sendiri. Bahwa Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, berdasarkan uraian di atas, penjelasan Pasal 70 undang-undang a quo bukan merupakan norma baru dan telah selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan norma yang diatur di dalam Pasal 70 undang-undang a quo. Dan bahwa dengan demikian bahwa penjelasan Pasal 70 telah berfungsi sebagai penjelasan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap dengan terlalu lamanya waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke pengadilan, sehingga menjadi adanya ketidakpastian hukum, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut. Bahwa dalam pembuktian pengadilan terhadap adanya unsurunsur sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 70 undang-undang a quo dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya dokumen atau fakta palsu atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknis pengadilan yang tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pemalsuan dokumen dan tipu muslihat masuk ranah hukum pidana yang penegakannya dijalankan oleh aparat penegak hukum dan prosesnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum itu sendiri, juga ideide hukum yang akan menjadi kenyataan di dalam menegakkan norma hukum pidana, beserta nilai-nilai yang ada di dalam norma itu sendiri. Bahwa sebenarnya di dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase, pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan pembatalan berdasarkan adanya dokumen palsu atau tipu muslihat, yaitu

11 30 hari untuk pendaftaran putusan dan 30 hari untuk pendaftaran permohonan pendaftaran. Pembuktian pemalsuan dokumen atau tipu muslihat seharusnya dapat dilakukan secara sederhana dan tidak seharusnya memakan waktu yang lama. Banyak contoh tentang peradilan cepat tentang peradilan cepat dan sederhana itu, antara lain dalam perkara-perkara di pengadilan niaga dimana dengan pembuktian sederhana, hakim di pengadilan niaga sudah dapat menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari. Bahwa dibatasinya waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan adalah ada kaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka memberikan manfaat keadilan kepastian hukum kepada para pihak, termasuk pihak yang telah memenangkan perkara arbitrase itu sendiri. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dari seluruh uraian penjelasan Pemerintah tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Yang pertama, pengajuan pembatalan putusan arbitrase sering tidak dilandasi pada itikad baik yang merupakan asas pokok dalam suatu perjanjian karena arbitrase merupakan kesepakatan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum, maka para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh para arbiter yang telah ditunjuknya sendiri oleh para pihak. Peran pengadilan hanya untuk penegakan hukum agar putusan arbitrase ditaati oleh para pihak itu sendiri. Yang kedua, adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut sering dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, antara lain para pengacara yang tidak selalu secara profesional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses pengadilan itu sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkara dengan cara apa pun. Hal ini mencerminkan perilaku yang tidak beritikad baik, yang dalam hal pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan mengingkari kesepakatan bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghilangkan hak konstitusional pihak lainnya untuk mendapatkan manfaat keadilan dan kepastian hukum dari sutu suatu putusan arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat.

12 Yang ketiga. Bahwa dengan demikian, menurut Pemerintah gugatan Para Pemohon terdapat perbedaan yang menganggap bahwa terdapat perbedaan norma dan penjelasannya yang ada di dalam Pasal 70 tersebut menurut Pemerintah adalah tidak terbukti dan tidak tepat. Berdasarkan kesimpulan di atas, Pemerintah dapat berpendapat bahwa apabila penjelasan Pasal 70 Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka menurut Pemerintah Pasal 70 Undang-Undang a quo akan kehilangan tafsir resmi terhadap normanya dan menurut Pemerintah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkan keadilan dan manfaat dari putusan arbitrase berdasarkan hak-hak yang dimilikinya, artinya adalah hak-hak konstitusional yang dimilikinya. Selanjutnya yang terakhir, Yang Mulia, sebagai petitum dari seluruh uraian penjelasan Pemerintah tersebut di atas, maka Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus Permohonan Pengujian Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut. Yang pertama, menyatakan permohonan menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Yang kedua, menolak permohonan pengujian Para Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Yang ketiga, menyatakan ketentuan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Demikian, Yang Mulia, penjelasan presiden atas permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun Atas perkenan, perhatian, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, diucapkan terima kasih. Jakarta, 14 April tahun Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ditandatangani. Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. 17. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih dari Pemerintah. Ada permintaan klarifikasi dahulu dari Hakim atas keterangan Pemerintah. Silakan, Yang Mulia Prof. Fadlil.

13 18. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Yang mewakil Presiden Republik Indonesia dalam hal ini Pemerintah, atau mungkin nanti pada saatnya juga bisa memperoleh input informasi itu dari praktik yang diselenggarakan oleh BANI, terkait dengan soal permohonan pembatalan putusan arbitrase. Hal itu terkait dengan soal ini. Yang pertama, coba kita cermati bunyi pasal ini. Fokus yang ingin saya mintakan dari yang mewakili Presiden adalah soal ini. Terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut ini putusannya arbitrase, kan... diduga mengandung unsur-unsur a, b, c. Coba kita kaitkan dengan penjelasannya. Penjelasannya itu bunyinya sama. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Saya ingin memperoleh informasi dari Pemerintah. Ketika para pihak itu masih punya dugaan saja, praktiknya itu sudah boleh mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atau belum. Atau sebaliknya, dia mengajukan permohonan pembatalan arbitrase itu setelah dia mengantungi putusan pengadilan, yang kedua. Yang ketiga, apakah putusan pengadilan dimaksud itu sudah harus mempunyai kekuatan hukum tetap atau cukup apabila sudah diputus saja. Ini pertanyaan-pertanyaan terkait dengan soal permohonan pengajuan pembatalan terhadap putusan arbitrase karena saya memang agak susah. Di sini penjelasan permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan, itu masih enggak jadi soal. Tapi alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Ya, tiga alasan itu. Tiga alasan itu dibuktikan oleh pengadilan itu, ini pertanyaan keempat, oleh pengadilan itu atau Pemohon sendiri mengajukan putusan soal a, b, c ini dulu, baru boleh mengajukan pembatalan. Nah, empat saja dulu. 19. KETUA: HAMDAN ZOELVA Bisa dijawab sekarang atau bisa juga tertulis, ya. Secara utuh, ya. 20. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Baik, Yang Mulia. Tadi kami sudah diskusi. Karena ini undangundang kan sudah lumayan lama juga, Yang Mulia, ya, tahun 1999, sekarang sudah hampir 14 tahun 14 tahun, ya 15 tahun, Yang Mulia.

14 Nah, oleh karena itu, justru kami memang mengharapkan nanti dari BANI itu ya, itu memang menjadi Pihak Tekait, nanti kami akan kirimkan surat resmi. Mungkin beliau-beliaulah yang akan dapat memberikan secara jawaban secara komprehensif. Namun karena ini Pemerintah selaku pembentuk undang-undang, nanti saya akan kami akan informasikan untuk jawabannya secara lebih rinci pada jawaban tertulis pada persidangan berikutnya, Yang Mulia. Terima kasih. 21. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Pemohon, ada yang mau diklarifikasi? 22. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Ya. Izin, Yang Mulia. Terima kasih. Kalau diperkenankan, kami sedikit menyampaikan beberapa hal aspek praktik yang dilakukan terkait dengan apa yang telah kami alami untuk menjawab pertanyaan dari Yang Mulia tadi. 23. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ndak, nanti saja. Bisa disimpulkan saja nanti di... kita mau klarifikasi saja dari... dari... dari (...) 24. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Karena ( ) 25. KETUA: HAMDAN ZOELVA Pemerintah dulu, ya. 26. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Karena mungkin Pemerintah kan tidak terlibat langsung dalam praktik, Yang Mulia. 27. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, nanti bisa disam... tetap ada waktu nanti disampaikan itu, ya.

15 28. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Oke. Yang kedua, yang terkait dengan aspek waktu, Yang Mulia. Kami mengingatkan saja bahwa Pasal 70 tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 71 mengenai batas waktu, Yang Mulia. Jadi, itu itu saja. 29. KETUA: HAMDAN ZOELVA Okelah. Kita baca semua, ya. 30. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Oke. Terima kasih, Yang Mulia. Itu saja. Terima kasih, Yang Mulia. Itu saja. 31. KETUA: HAMDAN ZOELVA 32. Oke, baik. Pemohon akan mengajukan bukti, ahli, saksi? KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Kami sudah menghubungi dua orang ahli, Yang Mulia. Mudahmudahan bisa hadir dua-duanya. 33. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Bawa nanti pada sidang selanjutnya, dua orang ahli, ya. 34. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Terima kasih, Yang Mulia. 35. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Kepada BANI ya, dapat menyampaikan keterangan selaku Pihak Terkait pada sidang selanjutnya, ya. Disiapkan saja, ya. Dan nanti menyampaikan keterangan selaku Pihak Terkait. Karena itu, sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 30 April 2014, pukul WIB ya, untuk mendengarkan keterangan dari DPR, keterangan dari Pihak Terkait, serta Ahli dari Pemohon. Apakah Pemerintah juga akan mengajukan ahli? 36. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Ya, Yang Mulia.

16 37. KETUA: HAMDAN ZOELVA Akan mengajukan ahli. Ya, setelah itulah, ya. Karena kemungkinan ada DPR juga memberikan keterangan, jadi agak panjang, ya. Jadi, setelah itu saja, setelah sidang yang kedua. Baik. Sekali lagi saya ulangi, sidang selanjutnya dilaksanakan pada hari Rabu, 30 April 2014, pukul WIB, mendengarkan keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, dan keterangan Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, sidang hari ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 14 April 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.