3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU"

Transkripsi

1 3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU 3.1 Pendahuluan Mata ikan berkembang dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan lingkungannya. Beberapa diantaranya memiliki kemampuan melihat ke arah permukaan air ataupun ke bagian dasar perairan. Ikan yang memilki kemampuan penglihatan dengan resolusi yang baik terhadap ruang dan mampu membedakan warna karena memiliki beberapa tipe sel kerucut yang merupakan fotoreseptor dan mengandung beberapa pigmen. Fotoreseptor merupakan salah satu bagian lapisan sel neural khusus pada retina mata (Myrberg dan Fuiman 2002). Fungsi fotoreseptor menyerap energi cahaya berupa foton yang dipergunakan pada hewan untuk proses penglihatan (Holmes 1991). Fotoreseptor pada kebanyakan mata ikan terdiri atas dua tipe, yaitu sel kerucut (cone cells) dan sel batang (rod cells). Matsuoka (1999) menjelaskan bahwa retina ikan umumnya terdiri atas tiga tipe pada lapisan indera penglihat (visual cell layer), yaitu sel kon tunggal (single cone), sel kon ganda (double/twin cone), dan sel rod. Menurut (Anonim 2008) sel kon ganda (double cone) adalah dua sel kon tunggal yang bergabung (tidak berasal dari sel kon tunggal yang membelah) dengan kondisi ukuran yang tidak sama. Ada beberapa spesies ikan yang memiliki sel kon tunggal yang bergabung dengan ukuran yang serupa dan dikenal dengan sel kon kembar (twin cone). Sel kerucut dipakai pada aktivitas siang hari dan sel batang pada aktivitas malam hari. Artinya, sel kerucut bertanggung jawab pada penglihatan cahaya terang (penglihatan fotopik), sel batang bertanggung jawab pada penglihatan cahaya samar (penglihatan scotopik) (Fujaya 2004). Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity). Sel kon ganda (double/twin cone) kebanyakan ditemukan pada kelompok vertebrate tanpa terkecuali hewan mamalia (termasuk manusia), shark dan catfish (Anonim 2008). Jenis teleost yang memiliki jenis retina duplex. Pengertiannya bahwa dalam retina mereka terdapat dua jenis reseptor yang dinamakan sel rod dan sel kon (cone). Tidak semua jenis ikan memiliki dua reseptor, seperti pada ikan tuna dan

2 30 mackerel yang hanya memiliki reseptor kon saja. Jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod saja (Gunarso 1985). Bentuk sel kerucut (cone cells) dan sel batang (rod cells) dan macam pola mosaik fotoreseptor ditunjukkan pada Gambar 7 Keterangan: a) S: single cone, D: double cone pada penampang longitudinal. b-d) Pola mosaic pada single dan double cone. c) Pola mosaik 2 single cone dan double cone. e) Penampang sel double cone dengan menggunakan perbedaan stimulasi kromatik. Gambar 7 Penampang dan pola mosaik fotoreseptor (Sumber: Anonim 2008) Mosaik sel kon dan rod menunjukkan kepekaan penglihatan pada ikan. Ikan yang memiliki sel kerucut dengan pola mosaik menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat intensif menggunakan indera penglihatan, biasanya merupakan ikan yang aktif memburu mangsanya (Yushinta 2002). Menurut Gunarso (1985) bahwa jenis ikan nocturnal demersal, seperti Solea sp dan Lysodes sp pada umumnya memiliki retina tanpa pengkonsentrasian reseptor sehingga tidak tercipta bentuk mosaik dan sel kon sangat minim jumlahnya. Sel kon pada ikan karang, sebagaimana sel kon ikan lainnya berpola seperti mosaik. Susunan mosaik tersebut berbentuk garis atau pola bujur sangkar

3 31 tunggal maupun ganda. Pada kebanyakan jenis ikan sel kon ganda identik dengan sel kon kembar, sedangkan sel kerucut tunggal hanya satu tipe. Sel kon ganda biasanya mengandung pigmen visual yang sama tetapi bisa juga mengandung pigmen berbeda. Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter 1980). Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata diketahui dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Menurut Tamura (1957), untuk menentukan sumbu penglihatan terlebih dahulu harus mengetahui kepadatan sel kon yang biasanya terletak pada area dorso-temporal, temporal atau ventro-temporal di retina mata ikan. Bidang penglihatan yang dihasilkan dari menarik garis lurus dari bagian retina menuju ke titik lensa mata, biasanya menghadap arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore) atau arah depan-naik (upper-fore). Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter 1980). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pada daerah retina yang memiliki kepadatan sel kon tertinggi pada bagian dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun (lower-fore), maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun pada sudut berkisar Kepadatan tertinggi sel kon di bagian temporal, menyebabkan dua kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada diopter ke arah depan maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada sudut 0 0. Adapun perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upperfore) pada sudut Kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut Herring et al. (1990) menjelaskan bahwa ketajaman penglihatan untuk membedakan warna memerlukan adanya fotoreseptor yang berbeda jenis dan

4 32 lebih dari satu tipe sel kon. Ikan-ikan yang dapat melihat warna umumnya memiliki dua tipe sel kon atau tiga tipe pada retina matanya. Ketajaman penglihatan pada ikan adalah kemampuan untuk melihat dua titik dari suatu objek pada satu garis, digambarkan dalam hubungan timbal balik yang diperlihatkan dalam istilah sudut pembeda terkecil/minimum separable angle (MSA) (He 1989). Untuk membedakan dua sasaran penglihatan terdekat, yang dapat diukur melalui pengujian histologi. Ketajaman penglihatan pada ikan bergantung pada dua faktor, yaitu diameter lensa dan kepadatan sel reseptor kon pada retina (Shiobara et al. 1998). Dijelaskan pula bahwa semakin tajam penglihatan karena peningkatan kedudukan jarak fokus lensa daripada kepadatan sel kon-nya. Menurut pendapat Guma a (1982) panjang fokus lensa mata lebih besar pengaruhnya pada nilai ketajaman penglihatan dibandingkan dengan kepadatan sel kon. Kepadatan sel kon akan tetap selama ikan hidup dan perubahan kekuatannya mungkin akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan lensanya (Tamura 1957). Shiobara et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tajam daya penglihatan mungkin diakibatkan oleh hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih meningkat daripada kepadatan kon-nya. He (1989) menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh, sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999). Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/msd) adalah kemampuan ikan untuk melihat suatu objek benda secara jelas pada jarak tertentu. (Zhang et al. 1993). Untuk mengetahui kemampuan jarak pandang maksimum ikan, terlebih dahulu perlu diketahui nilai sudut pembeda terkecil/minimum separable angle dalam satuan menit. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa keadaan perairan adalah jernih (clear water) dan tingkat pencahayaan dalam keadaan terang (ideal light condition). Menurut Zhang et al. (1993) bahwa

5 33 kemampuan jarak pandang maksimum ikan akan berbeda seiring dengan perbedaan ukuran panjang tubuhnya. Berkaitan dengan hal di atas dilakukanlah penelitian organ penglihatan ikan kerapu yang bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis organ penglihatan ikan kerapu yang tercermin pada retina mata meliputi jenis dan pola mosaik, kepadatan sel kon, sumbu penglihatan, ketajaman penglihatan, dan jarak pandang maksimum ikan kerapu. 3.2 Metode Penelitian Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB pada bulan Juni Agustus Pengambilan sampel retina Metode yang digunakan adalah metode mikroteknik tingkah laku ikan yang dilanjutkan dengan metode histoteknik. Sebanyak enam ekor ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) dan enam ekor kerapu karet (Epinephelus heniochus) yang berasal dari perairan Jepara Jawa Tengah serta tujuh ekor kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, dijadikan objek dalam penelitian ini. Masing-masing ikan yang dijadikan sampel merupakan ikan hidup dan baru saja tertangkap. Ikan sampel kemudian diukur panjang total dan panjang tubuhnya. Ikan sampel kemudian dipotong di bagian kepala untuk diambil matanya dan disimpan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan fiksatif (larutan Bouin s) sekurang-kurangnya selama jam. Pengambilan spesimen retina mata mengacu pada optic cleft mata sehingga memudahkan dalam penentuan bagian dorsal, ventral, nasal, dan temporal dari spesimen mata tersebut. Spesimen retina selanjutnya dipotong dalam 25 bagian untuk keperluan pembuatan preparat histologi. Pola pemotongan spesimen mata seperti terlihat pada Gambar 8.

6 34 Proses histologi diawali dengan proses dehidrasi (pengeringan), yaitu dengan membungkus spesimen retina dengan kain kasa dan diikat dengan benang. Proses pengeringan dengan merendam spesimen retina kedalam larutan alkohol dan xylene dengan konsentrasi berbeda dan waktu perendaman yang berbeda pula. Tahap selanjutnya adalah penanaman spesimen retina kedalam blok-blok parafin. Parafin terlebih dahulu dipanaskan agar mencair sehingga memudahkan ketika dilakukan penanaman spesimen retina. Blok parafin dibiarkan mengeras selama 24 jam selanjutnya dilakukan pemotongan atau penyayatan blok dengan menggunakan alat mikrotom secara tangensial dengan ketebalan 4 μm. Hasil penyayatan berbentuk pita yang selanjutnya ditempelkan pada gelas objek. Tahapan terakhir adalah proses pewarnaan yang bertujuan untuk mempertajam atau memperjelas berbagai elemen jaringan dengan menggunakan bahan pewarna haematoxylene-eosin. Setelah proses pewarnaan dilanjutkan dengan menutup gelas objek dengan cover glass. Terakhir pemotretan dan dapat dihitung sel konnya. Prosedur histologi retina mata dapat dilihat pada Gambar Dorsal Nasal (N) Dorsal (D) Temporal (T) Nasal Temporal Ventral (V) Optic cleft Ventral Gambar 8 Pola pemotongan spesimen mata

7 Analisis data Analisis sumbu penglihatan (visual axis) Sel kon diamati bentuk dan tipenya berkaitan dengan pola mosaik. Kepadatan sel kon per luasan 0,01 mm 2 akan menentukan sumbu penglihatan. Artinya, daerah terpadat (nasal, temporal, dorsal, atau ventral) merupakan titik poin dalam penarikan arah sumbu penglihatan melalui titik pusat lensa mata. Sebelum menentukan sumbu penglihatan, terlebih dahulu dihitung nilai densitas atau kepadatan sel kon. Preparat sel kon difoto dengan fotomikrograf perbesaran 400 kali. Klise foto dicetak kemudian dihitung kepadatan sel kon untuk setiap luasan 0,01 mm 2. Cara perhitungan dilakukan dengan menempelkan hasil foto preparat (bagian nasal, temporal, dorsal, dan ventral) pada plastik transparan yang ukurannya seluas foto ukuran 2R kemudian ditandai dengan menggunakan spidol sehingga perhitungan lebih cermat dan akurat. Penandaan dilakukan untuk sel kon, baik tunggal maupun ganda. Sumbu penglihatan diperoleh setelah densitas tertinggi dari sel kon diketahui, yaitu bagian nasal, temporal, dorsal, atau ventral mata ikan kerapu. Densitas terpadat merupakan titik poin ditariknya garis lurus menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Penarikan sumbu penglihatan dari bagian retina ditunjukkan pada Gambar 10.

8 36 Ikan Larutan Bouin selama jam Pemotongan paraffin berisi retina dengan mikrotom dengan ketebalan 4 m Mata ikan dibedah dan retina dipotong-potong Hasil pemotongan dalam bentuk sayatan disusun pada slide glass Dipanaskan agar menempel kuat pada slide glass Potongan retina dibungkus kain kasa PROSES PENGERINGAN 1.Alkohol 75% (1 hari) 2.Alkohol 80% (30 min) 3.Alkohol 85% (30 min) 4.Alkohol 90% (30 min) 5.Alkohol 95% (30 min) 6.Alkohol-1 100% (30 min) 7.Alkohol-2 100% (30 min) 8.Xylene-1 (20 min) 9.Xylene-2 (20 min) Parafin dipanaskan PROSES PEWARNAAN 1.Xylene-1 (10 min) 2.Xylene-2 (10 min) 3.Xylene-3 (10 min) 4.Alkohol-1 100% (10 min) 5.Alkohol-2 100% (10 min) 6.Alkohol 95% ( 10 min) 7.Alkohol 80% (10 min) 8.Alkohol 60% (10 min) 9.Air (10 min) 10. Hematoxylene (15 min) 11. Air (10 min) 12. Eosin (15 min) 13. Air (1-2 min) 14. Alkohol 70% (2-3 min) 15. Alkohol 80% (2-3 min) 16. Alkohol 90% (2-3 min) 17. Alkohol-1 100% (2-3 min) 18. Alkohol-2 100% (2-3 min) 19. Xylene-1 (10 min) 20. Xylene-2 (10 min) Retina dibenamkan Dalam blok parafin Ditutup dengan cover glass Difoto dan dihitung sel konnya Gambar 9 Prosedur histologi retina mata ikan kerapu

9 37 D DT D Visual axis N B T L B VT V VT V Keterangan : T : Temporal, DT: Dorso-temporal, VT: Ventro-temporal, D: Dorsal, N: Nasal, V: Ventral, B: Bottom, L: Lensa Gambar 10 Skema pembagian spesimen retina mata dan penentuan sumbu penglihatan (visual axis) (Sumber: Tamura 1957) Analisis ketajaman mata ikan (visual acuity) Nilai ketajaman mata ikan dihitung berdasarkan jumlah sel kon per luasan 0,01 mm 2 dan ukuran diameter lensa dengan menggunakan rumus sudut pembeda terkecil yang disimbolkan dengan radian. Secara teoritis ketajaman mata adalah invers atau kebalikan dari perhitungan sudut pembeda terkecil (minimum separable angle/msa). Formula MSA dihitung berdasarkan kepadatan tertinggi dari sel kon per luasan 0,01 mm 2 yang dirumuskan oleh Tamura (1957) sebagai berikut : radian 1 F 2 0,1 1 n 0,25... (1) keterangan: radian = sudut pembeda terkecil; F =jarak fokus lensa yang dihitung berdasarkan rasio Matthiensson s (F = 2,45 r (Myrberg dan Fuiman 2002))(mm); r = jari-jari lingkaran dari lensa mata (mm); 0,25 = nilai pengerutan retina akibat proses histologi; dan n = kepadatan sel kon tertinggi per luasan 0,01 mm 2.

10 Rumus ketajaman mata ikan (visual acuity), merupakan kebalikan dari hasil perhitungan sudut pembeda terkecil (Shiobara et al. 1998), yaitu: VA (2) rad Analisis jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/msd) Jarak pandang maksimum adalah kemampuan ikan untuk melihat suatu objek benda dengan jarak terjauh yang didasarkan pada ketajaman penglihatan yang dimilikinya (Zhang dan Arimoto 1993). Adapun rumus dari Zhang dan Arimoto (1993) sebagai berikut: D = l rad... (3) keterangan: D = jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) (m); l = diameter atau ketebalan objek (mm); rad = minimum separable angle (radian). Penggunaan rumus di atas dengan asumsi: (1) Kondisi perairan dalam keadaan jernih (clear water); (2) Ketajaman penglihatan ( ) yang digunakan adalah dalam satuan sudut derajat (minimum seperable angle in degrees); (3) Objek yang menjadi sasaran penglihatan merupakan diameter dari ukuran objek benda tersebut; dan (4) Objek dianggap berbentuk titik (dot).

11 Diameter lensa (mm) Diameter lensa (mm) Hasil Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh Hasil pengukuran panjang tubuh (body length) dan dihubungkan dengan hasil pengukuran diameter lensa mata ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) diperlihatkan pada Gambar 11, 12, dan R 2 = 0, Panjang tubuh (BL )(mm) Gambar 11 Hubungan antara diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu sunu R 2 = 0, Panjang tubuh (BL )(mm) Gambar 12 Hubungan antara diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu macan

12 Diameter lensa (mm) R 2 = 0, Panjang tubuh (BL )(mm) Gambar 13 Hubungan antara diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu karet Gambar menunjukkan hubungan diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) yang menggambarkan hubungan antara pertambahan panjang tubuh kerapu sampai ukuran tertentu akan diikuti dengan meningkatnya ukuran diameter lensa. Pertambahan panjang tubuh menyebabkan bertambahnya ukuran anggota tubuh lainnya secara proporsional termasuk lensa mata ikan (Shiobara et al. 1998) Tipe fotoreseptor ikan kerapu Berdasarkan pengamatan preparat histologi jaringan retina menunjukkan bahwa tipe fotoreseptor pada ikan kerapu terdiri atas sel kon kembar dan sel kon tunggal (Gambar 14) dengan pola satu sel kon tunggal dikelilingi oleh empat sel kon kembar, sehingga berbentuk bujursangkar. Pola reseptor tersebut dinamakan dengan pola mosaik. Hasil fotomikrograf retina mata ikan kerapu memperlihatkan tidak adanya sel rod.

13 41 Sel kon tunggal Sel kon kembar Gambar 14 Fotomikrograf sel kon tunggal dan sel kon kembar ikan kerapu sunu Kehadiran sel kon pada fotoreseptor retina mata pada ikan kerapu, baik sel kon tunggal maupun sel kon ganda memperlihatkan bahwa ikan kerapu memiliki kemampuan untuk membedakan warna. Pola fotoreseptor retina berbentuk mosaik mengindikasikan bahwa ikan kerapu intensif menggunakan organ penglihatannya untuk melakukan aktivitas. Menurut Blaxter (1980), ketidakteraturan pola fotoreseptor akan berpengaruh pada ketajaman penglihatan ikan Densitas fotoreseptor Hasil perhitungan kepadatan atau densitas sel kon ikan kerapu disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 15. Kepadatan sel kon dari retina mata pada luasan per 0,01 mm 2 ikan kerapu sunu sebanyak sel, kerapu macan sel, dan ikan kerapu karet sel. Densitas sel kon tertinggi ditemukan pada ikan kerapu sunu, yaitu sebanyak 329 sel per luasan 0,01 mm 2 pada ukuran panjang tubuh (BL) 195 mm. Densitas sel kon terendah pada ikan kerapu karet, yaitu sebanyak 70 sel per luasan 0,01 mm 2 pada ukuran panjang tubuh (BL) 230 mm. Berdasarkan Tabel 3 dapat

14 Densitas sel kon (0.01 mm2) diketahui bahwa sel kon terpadat pada ikan kerapu terletak pada bagian ventrotemporal. Hasil perhitungan densitas sel kon pada bagian retina mata menjadikan dasar untuk dapat menentukan sumbu penglihatannya (visual axis). Tabel 3 Densitas sel kon (0,01 mm 2 ) pada area retina mata ikan kerapu. No Area Retina D V N T VT 1 P. maculatus P. maculatus P. maculatus P. maculatus P. maculatus P. maculatus E. fuscoguttatus E. fuscoguttatus E. fuscoguttatus E. fuscoguttatus E. fuscoguttatus E. fuscoguttatus E. fuscoguttatus E. heniochus E. heniochus E. heniochus E. heniochus E. heniochus E. heniochus Ket: D = dorsal, V = ventral, N = nasal, T = temporal, VT = ventro-temporal R 2 = 0,8343 R 2 = 0,9572 R 2 = 0, Panjang tubuh tubuh standar (BL) (mm) kerapu sunu P. maculatus E.fuscoguttatus kerapu macan E. kerapu heniochus karet Gambar 15 Hubungan antara panjang tubuh (BL) dan densitas sel kon ikan kerapu sunu, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu karet.

15 Gambar 15 menunjukkan bahwa ketiga ikan kerapu memiliki densitas sel kon yang cenderung menurun dengan semakin bertambahnya ukuran panjang tubuh Sumbu penglihatan (visual axis) Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasikan untuk mengetahui kebiasaan ikan untuk melihat objek atau melihat makanan (Blaxter 1980). Menurut Tamura (1957), sumbu penglihatan ditentukan dengan mengetahui kepadatan sel kon tertinggi, yang biasanya terletak pada bagian dorso-temporal, temporal dan ventro-temporal. Berdasarkan letak densitas, sel kon tertinggi pada retina mata ikan kerapu pada bagian ventro-temporal, dengan sumbu penglihatannya ke arah depan-naik (upper-fore) (Gambar 16). Visual axis Visual axis Kerapu sunu (P. maculatus) Kerapu macan (E. fuscoguttatus) Visual axis Kerapu karet (E. heniochus) Gambar 16 Sumbu penglihatan (visual axis) ikan kerapu Ketajaman mata ikan (visual acuity) Nilai ketajaman ketiga jenis ikan kerapu berdasarkan hasil perhitungan densitas tertinggi, pengukuran diameter lensa mata, dan perhitungan rumus sudut pembeda terkecil, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa

16 44 ketajaman penglihatan dari ketiga jenis ikan kerapu berkisar antara 0,0548 0,1465. Nilai ketajaman penglihatan tertinggi pada ikan kerapu sunu 0,1465 dengan panjang tubuh (BL) 300 mm, sedangkan ketajaman penglihatan terendah pada ikan kerapu macan 0,0548 pada panjang tubuh (BL) 140 mm. Hubungan antara densitas sel kon dengan ketajaman penglihatan ikan kerapu menunjukkan bahwa ketajaman mata ikan akan meningkat seiring dengan menurunnya kepadatan sel kon. Hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 17. Ikan kerapu sunu memiliki nilai ketajaman penglihatan tertinggi dibandingkan dengan ikan kerapu macan dan kerapu karet. Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan kerapu sunu (P. maculatus) dengan panjang tubuh 300 mm memiliki densitas sel kon 275 per luasan 0,01 mm 2, diameter lensa 6,2 mm dan jarak fokus 7,76 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan kerapu sunu memiliki MSA terkecil 6,83 menit dan ketajaman penglihatan tertinggi 0,1465. Nilai ketajaman penglihatan ikan kerapu tidak berbeda jauh dari nilai ketajaman penglihatan ikan karang jenis lain, Sebastes schlegeli memiliki kisaran 0,093-0,106 (Torisawa et al. 2002), ikan beronang dan kakap merah berkisar 0,058-0,059 dan 0,055-0,077 (Salma 2008), demikian pula untuk jenis ikan karang ekonomi berkisar 0,065-0,238 (Tamura 1957). Apabila dibandingkan dengan ikan pelagis predator, seperti ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang memiliki ketajaman penglihatan 0,14-0,19 dengan panjang total (TL) mm (Alatas 2003), maka ikan kerapu sunu termasuk dalam kelompok ikan yang memiliki nilai ketajaman penglihatan yang rendah dibandingkan ikan tongkol dengan ukuran panjang tubuh yang sama.

17 45 Tabel 4 Ketajaman penglihatan (visual acuity) mata ikan kerapu No Panjang Diameter Jarak Spesies tubuh Densitas lensa fokus MSA MSA Visual ikan kerapu (mm) sel kon (mm) (mm) (rad) (min) acuity 1 P. maculates ,2 5,1 0,003 9,21 0, P. maculatus ,6 6,9 0,002 7,24 0, P. maculatus ,7 7,0 0,002 7,13 0, P. maculatus ,0 7,4 0,002 6,89 0, P. maculatus ,13 7,5 0,002 6,86 0, P. maculatus ,2 7,6 0,002 6,83 0, E. fuscoguttatus ,2 5,1 0,005 18,24 0, E. fuscoguttatus ,5 5,5 0,005 18,01 0, E. fuscoguttatus ,7 5,8 0,005 17,85 0, E. fuscoguttatus ,9 6,0 0,005 17,25 0, E. fuscoguttatus ,6 6,9 0,005 15,55 0, E. fuscoguttatus ,6 6,9 0,005 15,79 0, E. fuscoguttatus ,8 7,1 0,004 15,37 0, E. heniochus ,7 5,8 0,004 15,01 0, E. heniochus ,5 6,7 0,004 13,53 0, E. heniochus ,6 6,9 0,004 13,52 0, E. heniochus ,0 7,4 0,004 13,25 0, E. heniochus ,25 7,7 0,004 13,33 0, E. heniochus ,25 7,7 0,004 13,42 0,0745 Pola mosaik ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet membentuk seperti bujur sangkar, dimana pola mosaik ikan kerapu sunu lebih teratur dibandingkan dengan kerapu yang lain (Gambar 17). Densitas sel kon mengalami penurunan dengan bertambahnya panjang tubuh. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya volume sel kon pada area pengamatan 0,01 mm 2, karena pada prinsipnya jumlah sel kon cenderung relatif konstan sepanjang hidup ikan. Perubahan hanya terjadi dengan bertambahnya volume sel kon karena pertumbuhan (Gambar 18).

18 Ketajaman penglihatan 46 (A) (B) (C) Gambar 17 Mosaik bujursangkar sel kon. (A) ikan kerapu sunu, (B) kerapu macan, (C) kerapu karet R 2 = 0, Densitas sel kon (0,01 (0.01 mm mm2) ) Gambar 18 Hubungan antara densitas sel kon dan ketajaman penglihatan ikan kerapu

19 Diameter lensa (mm) Sudut pembeda terkecil (radian) 47 Gambar 19 menunjukkan hubungan antara diameter lensa dengan nilai sudut pembeda terkecil. Dengan semakin besarnya ukuran diameter lensa maka akan semakin kecil sudut pembeda terkecilnya karena kemampuan lensa mata yang semakin kuat untuk memfokuskan bayangan yang diterima pada lensa untuk diteruskan pada retina mata R 2 = 0, Diameter lensa (mm) Gambar 19 Hubungan antara diameter lensa dan MSA Gambar 20 menunjukkan meningkatnya nilai ketajaman penglihatan seiring pula dengan bertambahnya panjang tubuh R 2 = 0, Panjang tubuh (mm) Gambar 20 Hubungan antara panjang tubuh dan diameter lensa mata ikan kerapu

20 Indeks ketajaman penglihatan R 2 = 0, Gambar 21 Hubungan antara panjang tubuh dan ketajaman penglihatan kerapu sunu, kerapu macan dan kerapu karet. Berdasarkan Tabel 4, ikan kerapu sunu memiliki ketajaman penglihatan tertinggi disebabkan nilai densitas sel kon yang tinggi, diameter lensa, dan pola mosaik yang teratur. Ikan kerapu macan menempati nilai ketajaman penglihatan dengan urutan paling rendah karena nilai densitas sel kon yang rendah, diameter lensa serta pola mosaik yang tidak teratur. Tabel 4 menunjukkan pula bahwa densitas sel kon, diameter lensa, dan pola mosaik fotoreseptor berpengaruh pada ketajaman penglihatan pada ikan kerapu. Panjang tubuh (mm) Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/ MSD) Hasil perhitungan jarak pandang maksimum ketiga jenis ikan kerapu disajikan pada Tabel 5. Data tabel tersebut memberikan informasi bahwa jarak pandang maksimum (MSD) terjauh pada ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) sebesar 12,59 m, kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebesar 5,59 m, dan kerapu karet (Epinephelus heniochus) sebesar 6,41 m.

21 49 Tabel 5 Jarak pandang maksimum (MSD) ikan kerapu No Spesies Panjang Total Diameter Objek MSD Ikan Kerapu (mm) (mm) (m) 1 P. maculates ,33 2 P. maculatus ,88 3 P. maculatus ,05 4 P. maculatus ,47 5 P. maculatus ,54 6 P. maculatus ,59 7 E. fuscoguttatus ,72 8 E. fuscoguttatus ,77 9 E. fuscoguttatus ,82 10 E. fuscoguttatus ,99 11 E. fuscoguttatus ,53 12 E. fuscoguttatus ,44 13 E. fuscoguttatus ,59 14 E. heniochus ,73 15 E. heniochus ,36 16 E. heniochus ,36 17 E. heniochus ,49 18 E. heniochus ,45 19 E. heniochus ,41 Ikan kerapu sunu memiliki MSD terjauh 12,59 m pada ukuran panjang total 350 mm, karena kepadatan sel kon tertinggi 275 per luasan 0,01 mm 2, MSA radian terkecil 0,002 dan nilai ketajaman penglihatan (visual acuity) yang tertinggi yaitu 0,1465. Faktor-faktor tersebut menyebabkan kerapu sunu memiliki jarak pandang maksimum terjauh (Gambar 22).

22 MSD (m) R 2 = 0,6159 R 2 = 0,609 R 2 = 0,6666 P. kerapu maculatus sunu E. kerapu fuscoguttatus macan E. kerapu heniochus karet Panjang total (TL) (mm) (mm) Gambar 22 Hubungan antara panjang total (TL) dan jarak pandang maksimum ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet. Ada kecenderungan pertambahan panjang total meningkatkan angka jarak pandang maksimum (MSD), namun pada E. heniochus adanya kecenderungan pada panjang total mm kemampuan jarak pandang maksimum relatif sama yaitu 4,72-4,99 m. Susunan sel kon ganda/kembar yang teratur dengan bentuk bujur sangkar pada kerapu sunu dan kerapu karet (Gambar 12) menyebabkan meningkatnya ketajaman penglihatan. 3.4 Pembahasan Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh Pertambahan diameter lensa pada ketiga jenis ikan kerapu sesuai dengan bertambahnya umur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Purbayanto (1999) yang menyatakan bahwa diameter lensa mata ikan meningkat seiring dengan bertambahnya panjang tubuh. Diameter lensa mata yang meningkat berakibat pada bertambah baiknya ketajaman mata ikan (Guma a 1981) Tipe fotoreseptor ikan kerapu Berdasarkan gambar preparat histologi ikan kerapu, pada retina mata diketahui bahwa tipe sel kon yang merupakan fotoreseptor utama bagi ikan kerapu adalah sel kon ganda (twin cone) yang terbanyak ditemukan pada bagian ventro-

23 51 temporal retina. Sel kon tunggal (single cone) juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Menurut pendapat Matsuoka (1999), pada ikan bertulang sejati ditemukan sel kon ganda dan sel kon tunggal. Ada hubungan antara kedalaman dan kepadatan relatif sel kon ganda dan sel kon tunggal (Tamura 1957). Kebanyakan ikan-ikan yang telah diteliti yang hidupnya relatif dekat dengan permukaan perairan memiliki separuh jumlah sel kon ganda dan separuh jumlah sel kon tunggal. Pada ikan-ikan yang hidup pada kedalaman m seperti Helicolenus, Malakichtys, Zenion, Argentina dan Chloropthalmus tidak memiliki sel kon tunggal. Pada ikan layang (Decapterus macrosoma) yang mendapatkan sel kon ganda yang membentuk mosaik yang menyebar merata (Fitri 2002). Ikan yang hanya memiliki sel kon ganda saja yang ditemukan pada retina mata merupakan petunjuk bahwa ikan tersebut merupakan ikan predator. Ikan yang memiliki fotoreseptor sel kon, baik tunggal maupun ganda/kembar dan membentuk susunan mosaik ataupun tidak mengindikasikan bahwa ikan tersebut mampu untuk membedakan warna. Pada ikan cucut Leoprad (Triakis semifasciata), fotoreseptor dominan yang dimiliki adalah sel rod dengan 1 per 9,3 1,2 m 2 sedangkan sel kon sangat jarang ditemukan (Sillman et al. 1996). Selanjutnya dijelaskan pula rasio sel rod dan sel kon pada cucut bervariasi, pada Squalus acanthias 50:1, ikan cucut Putih 4:1 dan ikan cucut Sandbark 13:1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ikan cucut tidak mampu membedakan warna dan memiliki kemampuan hanya untuk membedakan kondisi terang dan gelap. Penelitian yang telah dilakukan oleh Razak (2005) pada kelompok ikan karang Chaetodontidae memiliki fotoreseptor yang terdiri atas sel kon ganda dominan yang tersusun membentuk mosaik bujur sangkar. Kondisi ini menunjukkan ketajaman mata yang kuat sehingga mampu menangkap invertebrata kecil yang menjadi makanannya di samping polip koral. Hal tersebut menunjukkan bahwa Chaetodontidae sangat intensif menggunakan penglihatannya dan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m. Berdasarkan uraian di atas, jika dihubungkan antara tipe sel kon ikan kerapu dan kedalaman tempat hidupnya maka dapat dikatakan bahwa ikan kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m. Selain itu dominannya sel kon ganda

24 52 berhubungan dengan kebisaan makan. Ikan kerapu memiliki sel kon ganda yang dominan yang tersusun membentuk mosaik memiliki ketajaman mata yang kuat agar mampu menangkap makanan dan menandakan ikan ini sangat intensif menggunakan penglihatannya dan mampu membedakan warna. Susunan mosaik dapat berubah pada satu individu bergantung habitatnya (Fujaya 2002; Herring et al. 1990) Densitas fotoreseptor Data mengenai densitas sel kon dihubungkan dengan panjang tubuh (BL) secara regresi (Gambar 10) menunjukkan bahwa semakin panjang ukuran tubuh maka densitas sel kon cenderung menurun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tamura (1957) yang menyatakan bahwa densitas sel kon akan tetap sama sepanjang hidupnya dan yang berubah adalah diameter lensa mata yang mengikuti pertumbuhan tubuh. Sel kon menurun jumlahnya karena volume sel kon membesar seiring dengan proses pertumbuhan dan perkembangan. Apabila dibandingkan dengan ikan karang lain yang hidup pada kedalaman 100 m, seperti ikan kakap merah (Lutjanus sebae) yang memiliki densitas sel kon berkisar antara per luasan 0,01 mm 2, ikan beronang (Siganus javus) yang memiliki densitas sel kon berkisar per luasan 0,01 mm 2 (Salma 2008), ikan kepe-kepe yang memiliki densitas sel kon berkisar per luasan 0,12 mm 2 (Razak 2005) dan Sebastes schlegeli yang memiliki densitas sel kon berkisar per luasan 0,1 mm 2 (Torisawa et al. 2002), maka ikan kerapu merupakan ikan karang yang memiliki densitas sel kon yang berada pada kisaran ikan kakap merah, beronang, kepe-kepe, dan Sebastes schlegeli. Berdasarkan hasil penelitian Tamura (1957), kelompok Serranidae (E. septemfasciatus, E. chlorostigma, Lateniabrax japonicus dan Malakichthys wakiyae) memiliki kisaran nilai densitas sel kon per luasan 0,1 mm 2 untuk panjang tubuh mm. Kisaran nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran densitas sel kon pada ikan kerapu macan dan kerapu karet. Densitas sel kon pada ikan karang menggambarkan kondisi adaptasi ekologi mata. Ikan karang diurnal memiliki kisaran densitas sel kon yang lebih besar dibandingkan ikan karang nokturnal. Sebagai contoh pada ikan karang diurnal,

25 53 ikan kepe-kepe dan beronang memiliki kisaran nilai densitas sel kon per luasan 0,12 mm 2 dan per luasan 0,01 mm 2, ikan karang nocturnal ikan kakap merah dan Sebastes schlegeli memiliki kisaran densitas per luasan 0,01 mm 2 dan per luasan 0,1 mm 2. Ikan kerapu termasuk kelompok crepuscular memiliki kisaran densitas paling kecil dibandingkan kelompok ikan diurnal dan nokturnal. Kelompok ikan crepuscular mempunyai kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif lagi pada waktu fajar dan senja hari atau ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam hari (Indonesian Coral Reef Foundation 2004 dan Herring et al. 1990) Sumbu penglihatan (visual axis) Berkaitan dengan kebiasaan makan, ikan kerapu sunu, macan, dan karet adalah ikan yang bersifat karnivora. Sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air (Nybakken 1988). Ikan kerapu biasanya mencari makan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya (Sale 2002). Menurut Gufran dan Kordi (2005), bahwa ikan kerapu yang dipelihara pada kolam pemeliharaan akan mempunyai kebiasaan makan dengan menyergap pakan yang diberikan satu per satu sebelum pakan itu sampai ke dasar. Kerapu dalam keadaan lapar di keramba terlihat siaga dan selalu menghadap ke permukaan air dengan mata bergerak-gerak siap memangsa pakan. Kerapu tidak pernah mau mengambil atau mencaplok pakan yang diberikan apabila sudah jatuh sampai ke dasar, meskipun kerapu dalam keadaan lapar. Berdasarkan kebiasaan makan dan posisi densitas sel kon tertinggi ikan kerapu di atas maka sumbu penglihatannya adalah mengahadap arah depan ke atas. Menurut Blaxter (1980) jika kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut Analisis sumbu penglihatan ikan kerapu menjadi dasar untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan umpan dengan meletakkan umpan pada posisi sesuai dengan kisaran arah pandang ikan kerapu (sumbu penglihatan).

26 Ketajaman mata ikan (visual acuity) Ketajaman penglihatan dipengaruhi oleh diameter lensa, sebagaimana dijelaskan oleh He (1989) bahwa ketajaman penglihatan meningkat karena sudut pembeda terkecil (MSA) semakin kecil karena diameterater lensa semakin besar. Diameter lensa yang besar akan berpengaruh pada jarak fokus yang semakin jauh sehingga berpengaruh pada semakin kecilnya nilai MSA. Hal tersebut dijelaskan pula oleh Shiobara et al. (1998) bahwa ketajaman penglihatan meningkat disebabkan oleh hubungan panjang fokus lensa. Pada ketiga jenis ikan kerapu memiliki diameter lensa yang semakin besar dengan semakin panjang ukuran tubuh, hal tersebut berpengaruh pula terhadap jarak fokus lensa yang semakin jauh. Jarak fokus yang semakin jauh berpengaruh terhadap semakin kecilnya sudut pembeda terkecil, yang artinya bahwa kemampuan ketajaman penglihatan ketiga jenis ikan kerapu semakin tinggi Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/ MSD) Ada kecenderungan pertambahan panjang total meningkatkan angka jarak pandang maksimum (MSD), namun pada E. heniochus adanya kecenderungan pada panjang total mm kemampuan jarak pandang maksimum relatif sama, yaitu 4,72-4,99 m. Susunan sel kon ganda/kembar yang teratur dengan susunan berbentuk bujur sangkar pada P. maculatus dan E. heniochus menyebabkan meningkatnya ketajaman penglihatan yang akhirnya berpengaruh pada semakin jauhnya jarak pandang maksimum terhadap suatu objek benda. 3.5 Kesimpulan Fotoreseptor ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu karet (Epinephelus heniochus) menunjukkan sebagai organ yang intensif digunakan dalam melakukan aktivitasnya. Densitas sel kon terkonsentrasi pada daerah ventro-temporal yang mengindikasikan bahwa arah pandang ikan (sumbu penglihatan) ke arah depannaik (upper-fore).

27 55 Nilai indeks ketajaman penglihatan ketiga jenis kerapu berkisar 0,05-0,16 yang relatif sama dengan jenis ikan karang lainnya (seperti kepe-kepe, beronang, sersan mayor, kakap merah). Nilai ketajaman penglihatan ikan kerapu sunu (P. maculatus) tertinggi dibandingkan kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu karet (E. heniochus). Ketajaman penglihatan tersebut lebih dipengaruhi oleh diameter lensa dan kepadatan jumlah sel kon. Jarak pandang maksimum terhadap objek benda/umpan berdiameter 25 mm yang tertinggi adalah P. maculatus sejauh (9,33-12,59) m diikuti E. heniochus sejauh (5,73-6,41) m dan yang terendah adalah E. fuscoguttatus (4,47-5,59) m.

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet 114 6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan.

Lebih terperinci

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD. Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD. Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto PS. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-UNDIP ABSTRAK

Lebih terperinci

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38 Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38 ANALISIS INDRA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPONS UMPAN (Visual Analysis of grouper

Lebih terperinci

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR J. Sains MIPA, Desember 2009, Vol. 15, No. 3, Hal.: 159-166 ISSN 1978-1873 FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR Aristi Dian Purnama Fitri* dan Asriyanto 1)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan

Lebih terperinci

Hubungan Ketajaman Penglihatan dan Jarak Pandang Maksimum Penglihatan Pada Ikan Kerapu Lumpur (Ephinephelus tauvina)

Hubungan Ketajaman Penglihatan dan Jarak Pandang Maksimum Penglihatan Pada Ikan Kerapu Lumpur (Ephinephelus tauvina) ISSN 0853-7291 Hubungan Ketajaman Penglihatan dan Jarak Pandang Maksimum Penglihatan Pada Ikan Kerapu Lumpur (Ephinephelus tauvina) Aristi Dian Purnama Fitri Laboratorium Teknologi Penangkapan Ikan, Program

Lebih terperinci

4 METODOLOGI B C. Keterangan: Gambar 4 Bahan penyusun small bottom setnet. A = jaring B = pelampung C = desain

4 METODOLOGI B C. Keterangan: Gambar 4 Bahan penyusun small bottom setnet. A = jaring B = pelampung C = desain 45 4 METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di Kawasan Konservasi Laut, tepatnya di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR

KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR GENNY GEONITA SKRIPSI. ' PROGRAM STUD1 PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): ISSN:

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): ISSN: 229 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (2): 229-238 ISSN: 0853-6384 Full Paper FISIOLOGI PENGLIHATAN IKAN SELAR (Selar crumenophthalmus) DAN APLIKASINYA DALAM PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN MINI PURSE

Lebih terperinci

Oleh : Deden Rahmat Setiawan C

Oleh : Deden Rahmat Setiawan C KETAJAMAN PENGLIHATAN IKAN LAYUR (Trichiurus spp) HASIL TANGKAPAN PANCING RAWAI DI TELUK PALABUHANRATU SUKABUMI JAWA BARAT Oleh : Deden Rahmat Setiawan C54101073 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk . PENDAHULUAN.. Latar Belakang Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan dan menghindar dari pemangsalpredator atau kepungan alat tangkap. Ketajaman penglihatan

Lebih terperinci

4 OTAK IKAN KERAPU 4.1 Pendahuluan

4 OTAK IKAN KERAPU 4.1 Pendahuluan 4 OTAK IKAN KERAPU 4.1 Pendahuluan Pemahaman tentang otak ikan akan membantu dalam mempelajari adaptasi tingkah laku ikan karena berhubungan erat dengan indera-indera dan sistem hormonal yang terdapat

Lebih terperinci

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI

ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Reaksi Pengumpulan Pepetek terhadap Warna Cahaya dengan Intensitas Berbeda Informasi mengenai tingkah laku ikan akan memberikan petunjuk bagaimana bentuk proses penangkapan yang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan I. Tujuan: 1. Mahasiswa mampu memahami dan melakukan teknik teknik histoteknik yang digunakan dalam pembuatan preparat jaringan 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR Disusun Oleh: Nama : Juwita NIM : 127008003 Tanggal Praktikum: 22 September 2012 Tujuan praktikum: 1. Agar praktikan memahami dan mampu melaksanakan Tissue Processing.

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB Laporan Praktikum Histotehnik Oleh: Lucia Aktalina Jum at, 14 September 2012 14.00 17.00 WIB Tujuan Praktikum: Melihat demo tehnik-tehnik Histotehnik,mulai dari pemotongan jaringan organ tikus sampai bloking,

Lebih terperinci

6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 6.1 Pendahuluan Tingkah laku ikan diartikan sebagai perubahan-perubahan ikan dalam kedudukan, tempat, arah, maupun sifat lahiriah suatu makhluk hidup yang mengakibatkan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Skema langkah-langkah pengujian histologi secara garis besar adalah sebagai berikut:

Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Skema langkah-langkah pengujian histologi secara garis besar adalah sebagai berikut: 79 Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Skema langkah-langkah pengujian histologi secara garis besar adalah sebagai berikut: Pengambilan Organ Fiksasi Pemotongan Organ Washing Dehidrasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

An Overview of The Eye Component (Iris, Lens and Retina) From Mackerel Female (Rastrelliger brachysoma)

An Overview of The Eye Component (Iris, Lens and Retina) From Mackerel Female (Rastrelliger brachysoma) 30 An Overview of The Eye Component (Iris, Lens and Retina) From Mackerel Female (Rastrelliger brachysoma) Kiki Fiolita 1 Abdul Razak 2 Ernie Novriyanti 2 1. Student of Biology Department, Universitas

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan pada bulan Maret-Mei 2013. Pengambilan sampel ikan mas berasal dari ikan hasil budidaya dalam keramba jaring apung

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian Materi penelitian berupa benih ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) berumur 1, 2, 3, dan 4 bulan hasil kejut panas pada menit ke 25, 27 atau 29 setelah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram.

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan 1 faktor, yaitu perlakuan limbah cair nata de coco yang terdiri atas 5 variasi kadar dan 1 kontrol

Lebih terperinci

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon 58 Lampiran 1 Analisis probit uji LC5096 jam minyak sereh LC 50 96jam Konsentrasi Jumlah Terekspos Pengamatan Jumlah Respon Pengaturan Proporsi Respon Prediksi Proporsi Respon Proposi Respon 60 10 1 0,1000

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media

Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media LAMPIRAN 27 Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media Keterangan : V 1 = Volume air media ke-1 V 2 = Volume air media ke-2 M 1 = Konsentrasi ph media ke-1 = Konsentrasi ph media ke-2 M 2 HCl yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012 LAPORAN PRAKTIKUM Judul : Histoteknik Nama : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012 Tujuan Praktikum : 1. Melihat demonstrasi pembuatan preparat histology mulai dari fiksasi jaringan hingga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

2.1. Alat Tangkap Pukat Cincin Mini (Mini Purse Seine)

2.1. Alat Tangkap Pukat Cincin Mini (Mini Purse Seine) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Tangkap Pukat Cincin Mini (Mini Purse Seine) Pukat cincin (purse seine) termasuk kedalam alat tangkap modern yang dioperasikan secara aktif, yaitu dengan cara mengejar dan

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN Nama : Yulia Fitri Djaribun NIM : 127008005 Tanggal : 22 September 2012 A.Tujuan Praktikum : 1. Agar mahasiswa mampu melakukan proses

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Alat dan bahan tercantum dalam Lampiran 1. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Struktur dan Perkembangan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans yang digunakan untuk penelitian di laboratorium di peroleh di bagian barat daya Pulau Pramuka Gugusan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratoirum. Pengambilan sampel ikan bertempat di DAS Citarum bagian hulu dengan 4 stasiun yang telah ditentukan.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK NAMA PRAKTIKAN : Ramadhan Bestari GRUP PRAKTIKAN : Grup Pagi (08.00-11.00) HARI/TGL. PRAKTIKUM : Rabu, 24 Oktober 2013 I. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mahasiswa mampu memahami dan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan yang digunakan antara lain daun salak [Salacca zalacca (Gaertn.) Voss] kultivar Kedung Paruk,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi Alat dan Bahan Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu sampel daun jambu semarang Buah Pink, Hijau Bulat, Unsoed, Merah Lebar', Kaget Merah, Camplong Putih, Irung

Lebih terperinci

METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI

METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI Nama : Kelompok I Kelas D MIKROTEKNIK Mikroteknik atau teknik histologi merupakan ilmu atau seni mempersiapkan organ, jaringan atau bagian jaringan untuk

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan waktu pengambilan sampel Sampel diambil di Pantai Timur Surabaya, tepatnya di sebelah Timur Jembatan Suramadu (Gambar 3.1).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas Lampiran 1. Spesifikasi Bahan Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas Berumur 30, 60, 90, dan 120 hari Hewan uji 2. Pakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian eksperimental. Penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan pengadaan

Lebih terperinci

PEMBUATAN PREPARAT MELINTANG DENGAN METODE PARAFIN

PEMBUATAN PREPARAT MELINTANG DENGAN METODE PARAFIN PEMBUATAN PREPARAT MELINTANG DENGAN METODE PARAFIN LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN DEVI WAHYUNINGSIH 3425131060 PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi dan Deskripsi Lokasi 1. Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daun 10 kultivar kacang tanah ( kultivar Bima, Hypoma1, Hypoma2, Kancil, Kelinci, Talam,

Lebih terperinci

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031

PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR. Laporan Praktikum Mikroteknik. OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 PEMBUATAN PREPARAT STOMATA METODE LEAF CLEARING DAN PREPAPAT STOMATA SEGAR Laporan Praktikum Mikroteknik Nama NIM Kelompok Asisten OLEH : : M. Rizqun akbar : J1C112031 : II (dua) : Ana Fatmasari PROGRAM

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas Lampung dan pembuatan preparat histologi hati dilaksanakan di Balai Penyidikan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Ikan kerapu (Epinephelus sp) atau dikenal dengan nama dagang groupers merupakan salah satu komoditas perikanan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Morfometrik Mikro Ileum Itik Cihateup Menggunakan Metode Paraffin Haemotoksilin Eosin

Lampiran 1. Prosedur Analisis Morfometrik Mikro Ileum Itik Cihateup Menggunakan Metode Paraffin Haemotoksilin Eosin LAMPIRAN 53 54 Lampiran 1. Prosedur Analisis Morfometrik Mikro Ileum Itik Cihateup Menggunakan Metode Paraffin Haemotoksilin Eosin Menurut Muntiha (2001), prosedur analisis hispatologi dan jaringan hewan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian dan Farmakologi. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian a. Pemeliharaan dan perlakuan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan rancangan percobaan post test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Bagan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Bagan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bagan Bagan merupakan suatu alat tangkap yang termasuk kedalam kelompok jaring angkat dan terdiri atas beberapa komponen, yaitu jaring, rumah bagan, dan lampu. Jaring bagan umumnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini menggunakan Post Test Only Control Group Design yang

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini menggunakan Post Test Only Control Group Design yang 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Rancangan atau desain penelitian ini menggunakan Post Test Only Control Group Design yang memungkinkan

Lebih terperinci

MIKROTEKNIK TIM HISTOLOGI

MIKROTEKNIK TIM HISTOLOGI MIKROTEKNIK TIM HISTOLOGI MIKROTEKNIK Definisi: cara pembuatan sediaan histologik yg dpt diamati di bawah mikroskop Macam sediaan histologik: sediaan segar & sediaan permanen Sediaan Segar Sediaan hidup

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Umum ikan Ikan merupakan hewan vertebrata yang mempunyai ciri khas mempunyai insang dan bersirip. Sirip digunakan ikan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya dan juga

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai abad ke-4 sebelum masehi orang masih berpendapat bahwa benda-benda di sekitar dapat dilihat oleh karena mata mengeluarkan sinar-sinar penglihatan. Anggapan ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) divisi Alergi-Imunologi dan Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) terhadap

Lebih terperinci

PRAKTIKUM TINGKAH LAKU IKAN

PRAKTIKUM TINGKAH LAKU IKAN PENDAHULUAN Pengetahuan tentang tingkah laku ikan merupakan cabang ilmu yang dapat diaplikasikan dalam bidang perikanan tangkap. Penerapan ilmu ini sangat terbatas dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, di Laboratorium Kesehatan Ikan dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan 43 Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan 43 44 Lampiran 2. Data Berat Badan Mencit Setelah Dipaparkan Asap Rokok Total Rata-rata Berat Notasi Badan Mencit K 309.17 34.35±1.23

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Prosedur Kerja

LAMPIRAN 1. Prosedur Kerja LAMPIRAN 1 Prosedur Kerja Hewan coba yang digunakan adalah mencit Swiss Webster jantan dewasa berusia 10-12 minggu dengan berat badan 25-40 gram sebanyak 25 ekor. Hewan coba diperoleh dari Sekolah Ilmu

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan (Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Retina Mata Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Retina Mata Ikan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Retina Mata Ikan Mata (penglihatan) pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan, menghindari predator atau pemangsa, atau keluar dari

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi dan Deskripsi Lokasi 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daun jambu air (Syzygium aqueum). Kemikalia yang digunakan yaitu larutan alkohol 96%, ethanol,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data pemberian obat kepada kelinci. Tanggal Pemberian obat ,750 1, ,650 1,500

Lampiran 1. Data pemberian obat kepada kelinci. Tanggal Pemberian obat ,750 1, ,650 1,500 Lampiran 1. Data pemberian obat kepada kelinci Kelompok Tanpa pemberian obat Indometasin dalam kapsul gelatin Indometasin dalam matriks kalsium alginatkitosan (dibedah stlh 1 hari) Indometasin dalam matriks

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM. Nama : NIM : Kelompok : Kelas : Asisten :

PEDOMAN PRAKTIKUM. Nama : NIM : Kelompok : Kelas : Asisten : PEDOMAN PRAKTIKUM Nama : NIM : Kelompok : Kelas : Asisten : FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 KEGIATAN i MIKROSKOP Prosedur A. Memegang dan Memindahkan Mikroskop 1. Mikroskop dipindahkan

Lebih terperinci

BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN BAB 4 MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.5 Jenis Penelitian laboratoris. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental 2.6 Sampel 2.6.1 Jenis dan Kriteria Sampel Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan pendekatan posttest only control design

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

Untuk terang ke 3 maka Maka diperoleh : adalah

Untuk terang ke 3 maka Maka diperoleh : adalah JAWABAN LATIHAN UAS 1. INTERFERENSI CELAH GANDA YOUNG Dua buah celah terpisah sejauh 0,08 mm. Sebuah berkas cahaya datang tegak lurus padanya dan membentuk pola gelap terang pada layar yang berjarak 120

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sediaan mikroteknik atau yang juga dikenal sebagai sediaan Histologi.

BAB I PENDAHULUAN. sediaan mikroteknik atau yang juga dikenal sebagai sediaan Histologi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pengetahuan mengenai anatomi mikroskopis baik tentang hewan maupun tumbuhan banyak diperoleh dari hasil pengembangan sediaan mikroteknik atau yang juga

Lebih terperinci

Sediaan Mikroskopis untuk Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Pengukuran Parameter Fotosintesis . Pengamatan Anatomi Daun HASIL

Sediaan Mikroskopis untuk Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Pengukuran Parameter Fotosintesis . Pengamatan Anatomi Daun HASIL dan dihitung status air medianya (Lampiran 1). Pengukuran kadar air relatif dilakukan dengan mengambil 1 potongan melingkar dari daun yang telah berkembang penuh (daun ke-3 dari atas) dengan diameter 1

Lebih terperinci