Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 YOGYAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 YOGYAKARTA"

Transkripsi

1 Laporan an Perekonomian Daerah ah Istimewa Yogy ogyakarta 2007 YOGY OGYAKAR AKARTA

2 VISI BANK INDONESIA Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. MISI BANK INDONESIA Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas keuangan untuk pembangunan jangka panjang yang berkesinambungan. NILAI STRATEGIS BANK INDONESIA Nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen dan pegawai untuk bertindak dan atau berprilaku, yang terdiri atas Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas dan Kebersamaan. VISI KANTOR BANK INDONESIA Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan. MISI KANTOR BANK INDONESIA Berperan aktif dalam dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah melalui peningkatan pelaksanaan tugas bidang ekonomi moneter, sistem pembayaran dan pengawasan bank serta memberikan saran kepada pemerintah daerah dan lembaga terkait lainnya

3 ...Memberikan saran kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan ekonomi daerah, yang didukung dengan penyediaan informasi berdasarkan hasil kajian yang akurat... (Salah satu dari lima tugas pokok Kantor Bank Indonesia)

4 Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Tim Ekonomi Moneter BANK INDONESIA YOGYAKARTA Jl. P. Senopati No.4-6, Yogyakarta Telp Fax

5 Pimpinan Bank Indonesia Yogy ogyakarta Per 31 Desember 2007 TJAHJO OETOMO K., Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta (Sejak 23 April 2008) Dari kiri ke kanan: ENDANG SEDYADI, Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta BRAMONO SIDIK, Pengawas Bank Madya AMERIZA M. MOESA, Peneliti Ekonomi Madya PRANOTO, Deputi Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta

6 Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan dan Sumber Data Angka sementara * Angka sangat sementara ** Angka belum tersedia... Angka tidak ada - - Nol atau lebih kecil - Dolar Amerika Serikat $ (dolar) Periode laporan adalah 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember Sumber data adalah Bank Indonesia Yogyakarta, kecuali dinyatakan lain.

7 Kata Pengantar Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi karena atas rahmat dan karunia- Nya, kami dapat menyusun dan menerbitkan kembali publikasi cetak tahunan yang berjudul Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Laporan tahunan ini diterbitkan untuk melengkapi diseminasi informasi tentang perkembangan perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang selama ini telah kami lakukan secara triwulanan. Penyusunan dan penerbitan laporan ini merupakan salah satu wujud akuntabilitas dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun Secara lebih khusus, penerbitan laporan ini sejalan dengan salah satu sasaran strategis Kantor Bank Indonesia, yaitu: Mengoptimalkan hasil kajian dan penyediaan informasi ekonomi di wilayah kerja. Selain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan internal stakeholders melalui pemberian informasi kepada Kantor Pusat Bank Indonesia sebagai dasar pengambilan kebijakan, penerbitan laporan ini juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan external stakeholders di wilayah Provinsi DIY khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya, akan informasi tentang perkembangan ekonomi DIY secara komprehensif. Buku ini mencoba untuk menghimpun dan menjabarkan perkembangan beberapa indikator perekonomian di DIY, antara lain: pertumbuhan ekonomi, perkembangan harga (inflasi), ketenagakerjaan, perbankan dan sistem pembayaran serta keuangan pemerintah daerah. Selain itu, disajikan pula beberapa boks dalam upaya memberikan informasi terkait yang lebih spesifik dan beberapa hasil penelitian dan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia Yogyakarta. Pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada instansi/pihak yang telah membantu dalam penyediaan data dan informasi. Mengingat laporan ini merupakan perwujudan akuntabilitas dan upaya meningkatkan kepuasan stakeholders, disadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangan disana-sini sehingga diperlukan masukan dari seluruh pembaca untuk menyempurnakan laporan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah senantiasa melimpahkan ridho-nya dan memberikan kemudahan kepada kita semua dalam mengupayakan hasil kerja yang lebih baik. Yogyakarta, Mei 2008 BANK INDONESIA YOGYAKARTA Tjahjo Oetomo K. Pemimpin Kata Pengantar vii

8 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Isi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GRAFIK... xiv RINGKASAN EKSEKUTIF... 1 BAB 1 KONDISI MAKROEKONOMI Pertumbuhan Ekonomi PDRB Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi (PMTB) Lainnya PDRB Sisi Penawaran Sektor Pertanian Sektor Penggalian Sektor Industri Pengolahan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Sektor Bangunan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor Jasa-jasa Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Penanaman Modal Asing Potensi dan Peluang Investasi Perdagangan Internasional Ekspor Impor Ketenagakerjaan Tenaga Kerja di Dalam Negeri Tenaga Kerja di Luar Negeri Upah Minimum Provinsi Pemutusan Hubungan Kerja Transmigrasi viii Daftar Isi

9 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Isi 5. Pendidikan dan Pariwisata Pendidikan Pariwisata Boks: 1. Pola Konsumsi Penduduk PDRB Perkapita Indeks Pembangunan Manusia Distribusi Pendapatan Pusat Pembenihan Yogyakarta Survei Penumpang Pesawat Udara BAB 2 PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Tahunan dan Bulanan Inflasi Menurut Kelompok Barang Inflasi Menurut Komoditas Inflasi Kota-kota di Pulau Jawa Boks: 1. Jalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadap Inflasi Kota Yogyakarta Pengaruh Suku Bunga Kebijakan terhadap Perbankan dan Inflasi di DIY Model Proyeksi Inflasi Kota Yogyakarta BAB 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN Gambaran Umum Perkembangan Kelembagaan Perkembangan Kinerja Bank Umum Kelembagaan Aset dan Aktiva Produktif Penghimpunan Dana Penyaluran Kredit dan Kualitas Kredit Undisbursed Loans Penyaluran Kredit UMKM Penyaluran Kredit Properti Fungsi Intermediasi, Likuiditas dan Profitabilitas Peningkatan Kompetensi Karyawan Daftar Isi ix

10 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Isi 3. Bank Perkreditan Rakyat Kelembagaan Aset Penghimpunan Dana Penyaluran Kredit dan Kualitas Kredit Fungsi Intermediasi Perbankan Syariah Kelembagaan Aset Penghimpunan Dana Penyaluran Pembiayaan dan Kualitas Pembiayaan Fungsi Intermediasi Boks: 1. Pembiayaan UMKM Sektor Pertanian Refleksi Satu Tahun Restrukturisasi Kredit Paska Gempa Survei Persepsi Masyarakat Non Muslim terhadap Perbankan Syariah di DIY Survei Identifikasi Sumber Pembiayaan Alternatif Non Bank BAB 4 PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN Sistem Pembayaran Tunai Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) Penukaran Uang Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) Temuan Uang Palsu Sistem Pembayaran Non Tunai Transaksi Kliring Transaksi Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) Boks: 1. Peningkatan Permintaan Uang Kecil Menjelang Lebaran BAB 5 KEUANGAN PEMERINTAH Gambaran Umum Pendapatan Pemerintah Belanja Pemerintah x Daftar Isi

11 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Isi BAB 6 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Prospek Perbankan Prospek Keuangan Pemerintah LAMPIRAN: 1. Sejarah Singkat Bank Indonesia Yogyakarta Peta Strategi Bank Indonesia Yogyakarta Struktur Organisasi Bank Indonesia Yogyakarta Hasil Survei Ekspektasi Konsumen Indeks Hasil Properti Residensial Indeks Riil Penjualan Eceran Realisasi dan Perkiraan Kegiatan Dunia Usaha PDRB DIY Menurut Sektor atas Dasar Harga Berlaku PDRB DIY Menurut Sektor atas Dasar Harga Konstan Tahun Volume Ekspor Nonmigas Utama Menurut Komoditas Volume Ekspor Nonmigas Menurut Negara Tujuan Volume Ekspor Menurut Pelabuhan Muat Volume Impor Nonmigas Utama Menurut Komoditas Volume Impor Nonmigas Menurut Negara Asal Indikator Perbankan DIY Indikator Bank Umum DIY Indikator Bank Umum - Kota Yogyakarta Indikator Bank Umum - Kabupaten Sleman Indikator Bank Umum - Kabupaten Bantul Indikator Bank Umum - Kabupaten Kulonprogo Indikator Bank Umum - Kabupaten Gunungkidul Indikator Bank Perkreditan Rakyat DIY Indikator Bank Perkreditan Rakyat - Kota Yogyakarta Indikator Bank Perkreditan Rakyat - Kabupaten Sleman Indikator Bank Perkreditan Rakyat - Kabupaten Bantul Indikator Bank Perkreditan Rakyat - Kabupaten Kulonprogo Indikator Bank Perkreditan Rakyat - Kabupaten Gunungkidul Realisasi APDB Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota Tahun Rencana APDB Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota Tahun Daftar Isi xi

12 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Tabel Tabel 1.1. PDRB Sisi Permintaan... 5 Tabel 1.2. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar... 6 Tabel 1.3. PDRB Sisi Penawaran... 8 Tabel 1.4. Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Sektor Ekonomi Tabel 1.5. Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Kabupaten/Kota Tabel 1.6. Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Asing Menurut Sektor Ekonomi Tabel 1.7. Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Asing Menurut Kabupaten/Kota Tabel 1.8. Peluang Investasi Beberapa Proyek/Komoditas Potensial Tabel 1.9. Nilai Ekspor Nonmigas Utama Menurut Komoditas Tabel Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Negara Tujuan Tabel Nilai Ekspor Menurut Pelabuhan Muat Tabel Nilai Impor Nonmigas Utama Menurut Komoditas Tabel Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Asal Tabel Indikator Ketenagakerjaan Tabel Angkatan Kerja Tabel Penduduk yang Bekerja Tabel Pengangguran Tabel Pencari Kerja Tabel Tenaga Kerja Indonesia Asal DIY Tabel Kasus Pemutusan Hubungan Kerja Tabel Perguruan Tinggi dan Sederajat Tabel Indikator Pariwisata Tabel 2.1. Inflasi Bulanan Tabel 2.2. Sumbangan Komponen Inflasi Tabel 2.3. Perubahan Harga Kelompok Barang Tabel 2.4. Perubahan Harga Komoditas Tertinggi dan Terendah Tabel 2.5. Komoditas Pemberi Andil Terbesar terhadap Inflasi Tabel 3.1. Jaringan Kantor Bank Tabel 3.2. Aset Perbankan Tabel 3.3. Dana Pihak Ketiga Perbankan Tabel 3.4. Kredit Perbankan Tabel 3.5. Loan to Deposit Ratio Perbankan Tabel 3.6. Aset dan Aktiva Produktif Bank Umum xii Daftar Tabel

13 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Tabel Tabel 3.7. Dana Pihak Ketiga Bank Umum Tabel 3.8. Kredit Bank Umum Tabel 3.9. Kredit UMKM Bank Umum Tabel Kredit Properti Bank Umum Tabel Rasio Keuangan Bank Umum Tabel Jumlah dan Biaya Tenaga Kerja Bank Umum Tabel Aset Bank Perkreditan Rakyat Tabel Dana Pihak Ketiga Bank Perkreditan Rakyat Tabel Kredit Bank Perkreditan Rakyat Tabel Loan to Deposit Ratio Bank Perkreditan Rakyat Tabel Indikator Perbankan Syariah Tabel 4.1. Indikator Sistem Pembayaran Tunai Tabel 4.2. Penukaran Uang Pecahan Kecil Tabel 4.3. Pemberian Tanda Tidak Berharga Tabel 4.4. Temuan Uang Palsu yang Dilaporkan Tabel 4.5. Indikator Sistem Pembayaran Non Tunai Tabel 5.1. APDB Tabel 5.2. Pendapatan Pemerintah Tabel 5.3. Belanja Pemerintah Tabel 6.1. Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Tabel 6.2. Perkiraan Pertumbuhan PDRB Sisi Penawaran Tabel 6.3. Prospek Perbankan Tabel 6.4. Rencana APBD Daftar Tabel xiii

14 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Daftar Grafik Grafik 1.1. Pertumbuhan PDRB... 5 Grafik 1.2. Komposisi PDRB Sisi Permintaan... 6 Grafik 1.3. Komposisi PDRB Sisi Penawaran... 9 Grafik 1.4. Produktivitas Tenaga Kerja Grafik 1.5. Upah Minimum Provinsi Grafik 1.6. UMP Beberapa Kab/Kota di Jawa Tengah Grafik 1.7. Transmigran Berdasarkan Tempat Tujuan Grafik 1.8. Wisatawan Mancanegara Grafik 2.1. Inflasi Kota Yogyakarta dan Nasional Grafik 2.2. Andil Komponen Inflasi Grafik 2.3. Disagregasi Inflasi Grafik 2.4. Perkembangan Harga Emas dan Minyak Dunia Grafik 2.5. Andil Kelompok Barang Grafik 2.6. Perubahan Harga Kelompok Barang Grafik 2.7. Perubahan Harga Beberapa Komoditas Bahan Makanan Grafik 2.8. Inflasi Kota-Kota di Pulau Jawa Grafik 3.1. Indikator Perbankan Grafik 3.2. Non Performing Loan Perbankan Grafik 3.3. Dana Pihak Ketiga dan BI Rate Grafik 3.4. Pertumbuhan Kredit Perbankan Grafik 3.5. Komposisi Dana Pihak Ketiga Perbankan dan Kredit Perbankan Grafik 3.6. Penyebaran Jaringan Kantor Bank Umum Grafik 3.7. Jaringan Kantor dan Karyawan Bank Umum Grafik 3.8. Undisbursed Loans Grafik 3.9. Net Interest Margin Grafik 3.10.Biaya Pendidikan dan Latihan Karyawan Bank Umum Grafik 3.11.Penyebaran Jaringan Kantor BPR Grafik 3.12.Indikator Perbankan Syariah Grafik 4.1. Aliran Kas dan PTTB Grafik 4.2. Transaksi Kliring Grafik 4.3. Transaksi BI-RTGS Grafik 5.1. Proporsi PAD dan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Pemerintah Grafik 5.2. Belanja Modal xiv Daftar Grafik

15 Ringkasan Eksekutif KONDISI PEREKONOMIAN TAHUN 2007 Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2007 mengalami perbaikan dibanding kondisi tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai riil Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencapai 4,20%, atau lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi periode sebelumnya sebesar 3,69%. Selain output yang tumbuh lebih cepat, perkembangan harga barang dan jasa secara umum juga relatif terkendali dengan tingkat inflasi yang relatif rendah. Dari sisi produktivitas tenaga kerja terdapat perbaikan, yakni naik dari Rp10,35 juta per orang pada tahun 2006 menjadi Rp10,68 juta per orang pada tahun Namun demikian, indikator tingkat pengangguran terbuka menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan, yakni terjadi peningkatan dari 5,32% pada tahun 2006 menjadi 5,41% pada tahun Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi DIY pada tahun laporan didorong oleh kegiatan investasi dan konsumsi baik konsumsi masyarakat (rumah tangga) maupun konsumsi pemerintah. Sementara itu dari sisi penawaran, tiga sektor unggulan menjadi faktor penunjang pertumbuhan ekonomi DIY yaitu: (1) sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; (2) sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan (3) sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan. Secara umum, membaiknya kinerja perekonomian DIY tahun 2007 terutama didukung oleh kondisi makroekonomi nasional yang relatif stabil, tingkat suku bunga yang cenderung menurun dan daya beli masyarakat yang relatif meningkat serta industri pariwisata dan pendidikan yang kembali pulih setelah sempat terpuruk sebagai akibat terjadinya Gempa Bumi Mei Tingkat inflasi Kota Yogyakarta yang dihitung berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) selama tahun 2007 yang tercatat sebesar 7,99%, lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2005 dan tahun 2006 masing-masing sebesar 14,98% dan 10,40%. Dilihat dari penyebabnya, inflasi Kota Yogyakarta tahun laporan terutama didorong oleh faktor permintaan yang diindikasikan oleh andil inflasi inti (core inflation) yang dominan dibandingkan dengan dua komponen inflasi lainnya (volatile foods dan administered price). Sementara itu, kenaikan harga lima komoditas/jasa yang memberikan andil terbesar terhadap inflasi Kota Yogyakarta adalah (1) akademi/ perguruan tinggi, (2) minyak goreng, (3) nasi, (4) tukang bukan mandor dan (5) bawang merah. Ringkasan Eksekutif 1

16 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Membaiknya kinerja perekonomian DIY pada tahun laporan juga diikuti dengan peningkatan kinerja perbankan. Aset perbankan DIY meningkat sebesar 15,55%. Membaiknya kinerja perbankan ini juga tercermin dari penurunan tingkat risiko yang dihadapi perbankan DIY, yakni penurunan risiko pasar (market risk) yang tercermin dari peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) bersamaan dengan kecenderungan penurunan suku bunga acuan (BI rate), dan penurunan risiko kredit (credit risk) tercemin dari peningkatan Loan to Deposit Ratio (LDR). Hanya risiko likuiditas yang mengalami peningkatan sebagaimana yang tercermin dari meningkatnya komposisi Giro dan Tabungan dalam DPK, namun peningkatan ini memang diarahkan oleh pihak perbankan antara lain untuk mengurangi biaya dana (cost of funds). Upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko ini adalah dengan cara memperpanjang rata-rata mengendap Giro dan Tabungan melalui berbagai macam penawaran hadiah kepada nasabah bank. Disamping itu, peningkatan aktivitas ekonomi DIY juga disertai dengan peningkatan aliran dana yang masuk ke DIY. Hal ini terlihat dari penigkatan komposisi net incoming transfer yang lebih besar dibanding peningkatan net outgoing transfer dalam transaksi non tunai Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Kinerja pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi juga cukup baik tercermin dari peningkatan realisasi Belanja Modal yang meningkat sebesar 25,55% atau mencapai Rp juta. Namun hal ini belum optimal karena pangsanya mengalami sedikit penurunan dari 13,53% (2006) menjadi 12,79% (2007). PROSPEK PEREKONOMIAN TAHUN 2008 Kondisi perekonomian DIY yang kondusif pada tahun 2007 diprakirakan akan menjadi sentimen positif bagi perekonomian tahun 2008, namun sentimen positif ini diprakirakan sedikit terganggu dengan adanya gejolak perekonomian global yang diprakirakan akan diwarnai oleh perkembangan harga komoditas dunia yang cenderung meningkat, terutama harga minyak mentah, emas dan bahan makanan. Dengan mempertimbangkan hal ini, laju pertumbuhan ekonomi DIY tahun 2008 diprakirakan berada pada kisaran 4,00%-4,50%. Faktor risiko ekonomi di atas juga diprakirakan akan mempengaruhi perkembangan harga di Kota Yogyakarta yang diukur oleh inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) yang diprakirakan akan cenderungan meningkat dibanding tahun sebelumnya. Dengan asumsi ini, inflasi Kota Yogyakarta tahun 2008 diprakirakan lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya atau pada kisaran 9,0%-10,0%, dengan estimasi titik sebesar 9,37%. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan prediksi inflasi nasional yang berkisar antara 6,0%-6,5%. 2 Ringksan Eksekutif

17 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Sementara itu, indikator kinerja perbankan yaitu Aset, DPK dan Kredit diprakirakan akan meningkat masing-masing sebesar 13,44%, 11,78% dan 18,00%. Prediksi terjadinya peningkatan Aset terutama didukung oleh adanya rencana pembukaan beberapa Kantor Cabang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah di provinsi DIY. Peningkatan DPK dipengaruhi oleh faktor peningkatan pendapatan secara nominal masyarakat dengan adanya penetapan Upah Minimun Provinsi (UMP) tahun 2008 yang meningkat. Sedangkan disisi kredit, peningkatan dimungkinkan karena adanya relaksasi kebijakan Bank Indonesia terkait dengan rencana revisi perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) terutama untuk Kredit Usaha Kecil (KUK). Dari sisi fiskal, prospek perekonomian DIY tahun 2008 didukung oleh rencana Belanja Pemerintah yang secara total akan meningkat sebesar 24,09% jika dibandingkan dengan realisasi Belanja Pemerintah tahun sebelumnya atau meningkat 10,39% jika dibandingkan dengan rencana Belanja Pemerintah tahun sebelumnya. Berdasarkan data gabungan dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Provinsi DIY, jumlah Belanja Pemerintah untuk tahun anggaran 2008 tercatat sebesar Rp4.982 miliar, sedangkan jumlah Pendapatan Daerah tercatat sebesar Rp4.746 miliar. Ringkasan Eksekutif 3

18 Halaman ini sengaja dikosongkan.

19 Bab 1: Kondisi Makroekonomi Miliar Rp 20,000 16,000 12,000 8,000 4, PDRB Harga Konstan Pertumbuhan PDB Nasional Pertumbuhan PDRB DIY Sumber : BPS Propinsi DIY Grafik 1.1 Pertumbuhan PDRB % PERTUMBUHAN EKONOMI Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006, sebagaimana tercermin dari peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari Rp miliar pada tahun 2006 menjadi Rp miliar pada tahun laporan, atau tumbuh 4,20%. Ditinjau dari sisi permintaan, akselerasi pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh investasi dan konsumsi baik konsumsi pemerintah maupun konsumsi rumah tangga. Ekspansi pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh pertumbuhan di sisi penawaran. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, serta sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan yang merupakan tiga sektor dominan penopang pertumbuhan ekonomi tumbuh lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan perekonomian DIY berkembang menuju kondisi yang lebih baik meskipun masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber baik dari sisi global maupun domestik. Dari sisi eksternal, lonjakan harga minyak mentah dunia tidak terlalu berdampak pada stabilitas makroekonomi Indonesia. Dari sisi internal, terciptanya stabilitas makroekonomi di dalam negeri, penurunan suku bunga BI Rate, pemulihan pasca gempa, serta perbaikan daya beli masyarakat memberikan landasan yang kokoh dan kondusif bagi penguatan pertumbuhan ekonomi di DIY pada tahun 2007 (lihat Grafik 1.1). No Jenis Penggunaan Tabel 1.1 PDRB Sisi Permintaan 1 Miliar Rp 2006* 2007** Nilai Pangsa 2 Ptumb 2 Andil 2 Nilai* Pangsa Ptumb² Andil 2 1 Konsumsi Rumahtangga 7,746 7,849 7, , Konsumsi Pemerintah 2,882 3,058 3, , Investasi 3 4,659 4,972 5, , Lainnya 859 1, , PDRB 16,146 16,911 17, , Keterangan: 1) PDRB Harga Konstan Tahun ) %. 3) Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sumber: BPS Provinsi DIY. PDRB Sisi Permintaan Dari sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh investasi dan konsumsi baik konsumsi pemerintah maupun konsumsi Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 5

20 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 masyarakat. Hal ini tercermin dari nilai komponen Investasi yang meningkat dari Rp5.404 menjadi Rp5.553 miliar, dengan andil terhadap angka pertumbuhan sebesar 2,64% pada tahun laporan. Peningkatan daya beli masyarakat seiring dengan peningkatan pendapatan mampu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Peningkatan kinerja perekonomian juga disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan kinerja komponen Lainnya, Konsumsi Pemerintah dan Konsumsi Rumah Tangga dibandingkan tahun sebelumnya yang masing-masing sebesar 19,20%, 7,51% dan 2,16% pada tahun laporan. Sementara itu, komposisi sisi Permintaan PDRB DIY tahun 2007 tidak mengalami banyak perubahan, yakni pangsa terbesar komponen Konsumsi Rumah Tangga sebesar 44,51%, diikuti komponen Investasi sebesar 30,39%, komponen Konsumsi Pemerintah sebesar 19,36% dan komponen Lainnya sebesar 5,74%. PMTDB (Investasi) 30% Grafik 1.2 Komposisi PDRB Sisi Permintaan Lainnya 6% Konsumsi Rumahtangga 45% Konsumsi Rumah Tangga Pada tahun 2007 nilai riil Konsumsi Rumah Tangga tercatat sebesar Rp8.132 miliar, atau tumbuh 2,16%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2006 yang hanya sebesar 1,41%. Peningkatan pertumbuhan komponen Konsumsi Rumah Tangga diprakirakan karena terjadinya peningkatan daya beli masyarakat seiring dengan peningkatan pendapatan setelah terpuruk pada paruh terakhir tahun 2006 akibat gempa bumi tanggal 27 Mei lalu. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang menunjukkan bahwa nilai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami peningkatan dari 77,58 pada tahun 2006 menjadi 77,67 pada tahun Kondisi ini terespon juga oleh perkembangan Indeks Penjualan Eceran selama tahun laporan yang memperlihatkan level yang cenderung meningkat, yaitu dari 98,56 pada tahun 2006 menjadi 103,79 pada tahun Tabel 1.2 Jumlah Kendaraan Bermotor Yang Terdaftar Unit Uraian Nilai Ptumb 1 Nilai Ptumb 1 1. Mobil , ,43 a. Mobil Penumpang ,00 2, ,00 6,10 b. Mobil Beban ,00 3, ,00 4,63 c. Mobil Bus ,00 20, ,00 19,59 2. Sepeda motor ,00 8, ,00 10,31 Keterangan: 1) % Sumber: Polda Provinsi DIY. Salah satu indikator peningkatan Konsumsi Rumah Tangga tercermin dari meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor yang cukup signifikan selama tahun 2007 (lihat Tabel 1.2). Namun, kenaikan pertumbuhan komponen Konsumsi Rumah Tangga tidak dikuti oleh kenaikan Sumber: BPS Provinsi DIY Konsumsi Pemerintah 19% 6 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

21 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 andil dan pangsa komponen tersebut terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY. Sementara itu, pangsa Konsumsi Rumah Tangga terhadap total (PDRB) DIY pada tahun laporan tercatat sebesar 44,51%, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 45,39%. Konsumsi Pemerintah Pada tahun laporan nilai riil Konsumsi Pemerintah tercatat sebesar Rp3.538 miliar, atau tumbuh 7,51%, sedikit lebih rendah dibanding dengan kenaikan yang terjadi pada tahun 2006 yang mengalami pertumbuhan 7,60%. Meskipun memiliki pertumbuhan yang sedikit menurun namun komponen Konsumsi Pemerintah memiliki andil dan pangsa yang lebih tinggi dibanding periode sebelumnya. Relatif tingginya andil terhadap pertumbuhan dan pangsa terhadap total PDRB DIY yaitu masing-masing sebesar 1,47% dan 19,36% menunjukkan bahwa peran Konsumsi Pemerintah cukup dominan dalam perekonomian DIY. Jika ditinjau dari peruntukannya, dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar Konsumsi Pemerintah dihabiskan untuk Belanja Pegawai dan untuk membiayai program tanggap darurat pasca gempa Mei 2006, sedangkan sisanya untuk Belanja Barang. Investasi (PMTB) Nilai riil Investasi di DIY pada tahun 2007 yang diukur oleh nilai riil Pembentukkan Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat sebesar Rp5.553 miliar, atau tumbuh 2,76%, lebih rendah dibanding tahun 2006 yang mencapai 8,70%. Meskipun pertumbuhannya cenderung melambat, komponen Investasi masih memberikan andil yang cukup tinggi terhadap total pertumbuhan ekonomi DIY yakni sebesar 2,64%, meningkat dibanding periode sebelumnya sebesar 2,56%. Sektor ini merupakan sektor dominan penopang pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Jenis investasi pada tahun 2007 nampaknya didominasi oleh investasi pada sektor Bangunan atau proyek pembangunan/konstruksi yang didanai oleh Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) maupun proyek konstruksi properti yang dilakukan oleh pihak swasta. Hal ini tercermin dari kinerja sektor Bangunan yang tumbuh tercepat dibandingkan dengan sektor lainnya, hingga mencapai 8,08% pada tahun laporan. Membaiknya kinerja investasi ini menunjukkan bahwa sektor swasta telah melakukan penyesuaian terhadap pengaruh dampak gempa bumi tanggal 27 Mei Prospek kinerja investasi khususnya investasi swasta diprakirakan akan lebih baik, mengingat suku bunga simpanan perbankan sudah menunjukkan penurunan sebagai respon perkembangan suku bunga BI (BI Rate) yang cenderung menurun dan pada akhirnya suku bunga kredit diharapkan akan turun. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 7

22 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Lainnya Pertumbuhan komponen Lainnya, termasuk di dalamnya ekspor-impor, perdagangan antar wilayah dan perubahan stok, mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama tahun laporan, sebagaimana tercermin dari nilai angka pertumbuhan yang mencapai 19,20%, atau nilai riil komponen ini meningkat dari Rp880 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp1.049 miliar pada tahun laporan. Dalam komponen ini, perdagangan antar wilayah diukur berdasarkan jembatan timbang yang terdapat di dua wilayah, yaitu di Kulonprogo dan Sleman. Sementara itu, andil Komponen Lainnya juga lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu dari -0.90% pada tahun 2006 menjadi -0.85% pada tahun laporan. Kondisi ini diduga terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas ekonomi (mobilitas barang dan jasa) pada tahun laporan karena kembali pulihnya perekonomian DIY setelah terpuruk pada paruh terakhir tahun 2006 akibat gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 lalu. Tabel 1.3 PDRB Sisi Penawaran 1 Miliar Rp No Jenis Penggunaan * 2007** Nilai Pangsa 2 Ptumb 2 Andil 2 Nilai* Pangsa Ptumb² Andil 2 1 Pertanian 3,053 3,186 3, , Penggalian Industri Pengolahan 2,401 2,463 2, , Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan 1,284 1,395 1, , Perdagangan, Hotel & Restoran 3,279 3,445 3, , Pengangkutan & Komunikasi 1,582 1,673 1, , Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 1,501 1,623 1, , Jasa-jasa 2,781 2,850 2, , PDRB 16,146 16,911 17, , Keterangan: 1) PDRB Harga Konstan Tahun ) %. Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah PDRB Sisi Penawaran Di sisi penawaran, percepatan perekonomian tahun 2007 terjadi pada hampir semua sektor ekonomi, kecuali sektor Pertanian, Bangunan dan Jasa-jasa. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, tidak ada sektor yang mengalami kontraksi pada tahun laporan. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, serta sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan merupakan tiga sektor dominan yang tumbuh lebih cepat dibanding dengan periode sebelumnya, yaitu mampu tumbuh masing-masing 5,57%, 6,07% dan 4,71%. Demikian juga sektor Bangunan, meskipun pada tahun laporan tumbuh melambat namun masih tumbuh pada level yang tinggi yaitu sebesar 8,08%. Sektor-sektor inilah yang mampu mendongkrak perekonomian DIY hingga diprakirakan tumbuh mencapai 4,20% pada tahun laporan. 8 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

23 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Keuangan, Perse waan & Jasa Perusahaan 9% Pengangkutan & Komunikasi 10% Grafik 1.3 Komposisi PDRB Sisi Penawaran Jasajasa 17% Perdagangan, Ho tel & Restoran 20% Pertanian 19% Penggalian 1% Industri Pengolahan 14% Listrik, Gas & Air Bangunan Bersih 9% 1% Komposisi berdasarkan sektor ekonomi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya kontribusi kelompok sektor Tersier (sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan dan sektor Jasajasa) masih tetap mendominasi terhadap pembentukan PDRB DIY tahun 2007 yakni 56,66%. Selanjutnya diikuti kelompok sektor Sekunder (sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Bangunan) sebesar 23,98% dan kelompok sektor Primer (sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan Penggalian) sebesar 19,37%. Sektor Pertanian Pada tahun laporan, sektor Pertanian tumbuh melambat menjadi 3,02% dibanding dengan periode sebelumnya yang tumbuh hingga mencapai 3,80%. Hal ini karena terjadinya jeda musim pada tahun 2007 sehingga memperlambat musim tanam untuk beberapa komoditas tanaman pangan sebagai akibatnya terjadi penurunan produksi untuk beberapa komoditas, seperti: padi ladang (- 6,60%), kedelai (-23,49%), kacang tanah (-14,61%), dan ubi kayu (-3,91%). Sementara itu, kegiatan perhutanan dan perikanan juga mengalami kontraksi, yaitu masing-masing sebesar 0,18% dan 3,91%. Namun demikian, kegiatan holtikultura, khususnya pada tanaman jagung dan peternakan mengalami peningkatan pada tahun laporan, yaitu masing-masing tumbuh 3,94% dan 7,82%. Selain itu, penyempitan lahan pertanian karena konversi lahan produktif ke non pertanian juga diprakirakan sebagai penyebab melambatnya pertumbuhan kinerja sektor pertanian pada tahun laporan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2005 luas lahan sawah tercatat ha, kemudian turun menjadi ha pada tahun Sedangkan luas lahan non sawah meningkat dari ha pada tahun 2005 menjadi ha pada tahun Kondisi ini juga diperkuat dengan pemberian kredit/pembiayaan pada sektor pertanian yang cenderung menurun dibanding dengan periode sebelumnya, yaitu dari Rp262,63 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp242,08 miliar pada tahun Dengan kondisi tersebut di atas, andil sektor Pertanian mengalami penurunan dari 0,72% pada tahun 2006 menjadi 0,57% pada tahun laporan. Sementara itu, pangsa sektor Pertanian dalam pembentukan PDRB DIY juga mengalami sedikit penurunan dibanding dengan periode sebelumya, yakni dari 18,86% menjadi 18,57% pada tahun laporan. Meskipun demikian, tingkat kesejahteraan petani relatif baik, tercermin dari Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang meningkat dari 126,84 pada tahun 2006 menjadi 132,26 pada tahun 2007, atau tumbuh sebesar 4,28%. Hal ini karena Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 9

24 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 kenaikan indeks harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani relatif lebih tinggi dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian. Sektor Penggalian Nilai tambah sektor Penggalian pada tahun laporan tercatat sebesar Rp132 miliar, atau tumbuh sebesar 4,76% dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan sektor ini pada tahun laporan lebih cepat dari laju pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar 3,00%. Sedangkan perannya terhadap pembentukan PDRB DIY sangat kecil, yakni dengan pangsa yang relatif sama dengan tahun sebelumnya yakni 0,72% dan andil terhadap laju pertumbuhan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 0,02% menjadi 0,03% pada tahun laporan. Peningkatan laju pertumbuhan sektor Penggalian seiring dengan percepatan kinerja sektor Bangunan pada tahun laporan. Hal ini karena naiknya permintaan bahan galian Golongan C, seperti pasir dan batu yang banyak digunakan untuk sektor Bangunan baik untuk membangunan rumah/perumahan maupun membangun infrastruktur umum seperti jalan dan jembatan. Sektor Industri Pengolahan Nilai tambah riil sektor Industri Pengolahan pada tahun laporan tercatat sebesar Rp2.510 miliar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perkembangan kinerja sektor Industri Pengolahan pada tahun laporan mengalami percepatan. Angka pertumbuhan sektor ini meningkat dari 0,72% pada tahun 2006 menjadi 1,17% pada tahun laporan. Sementara itu, pangsa sektor ini mengalami sedikit penurunan yaitu dari 14,15% pada tahun 2006 menjadi 13,74% pada tahun laporan sedangkan andil sektor ini terhadap pertumbuhan meningkat dari 0,11% menjadi 0,17% dalam kurun waktu yang sama. Kenaikan ini didukung oleh pertumbuhan positif industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC 31), industri kertas dan barang cetakan (ISIC 34), serta industri pupuk, kimia dan barang dari karet (ISIC 35). Peningkatan produksi industri makanan terkait dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kota Yogyakarta baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk dijadikan buah tangan. Hal ini sejalan dengan peningkatan permintaan terhadap penggunaan jasa transportasi udara maupun transportasi darat, tercermin dari jumlah penumpang pesawat dan kereta yang cenderung meningkat dari orang pada tahun 2006 menjadi orang pada tahun Adapun pertumbuhan industri barang cetakan didorong oleh permintaan barang cetakan untuk kegiatan pendidikan. 10 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

25 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Pada tahun laporan nilai tambah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih tercatat sebesar Rp163 miliar, atau naik sebesar 7,24% dibanding tahun 2006 yang hanya sebesar Rp152 miliar. Peningkatan ini disebabkan oleh kembali normalnya jaringan listrik dan saluran air dan meningkatnya konsumsi energi listrik dan air seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Hal ini juga didukung oleh informasi data dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) DIY yang menyebutkan bahwa kapasitas daya yang masuk DIY (supply) sebesar 616 MVA sementara beban puncak sebesar 292,3 MVA sehingga kebutuhan masyarakat terhadap listrik masih dapat terpenuhi. Dengan kondisi tersebut di atas, andil sektor ini terhadap angka pertumbuhan DIY meningkat dari -0,01% menjadi 0,06% pada tahun laporan dan kontribusinya terhadap total PDRB DIY juga mengalami sedikit peningkatan dari 0,87% menjadi 0,89% pada tahun Sektor Bangunan Sektor Bangunan tumbuh sebesar 8,08% dan menjadi sektor yang mengalami pertumbuhan tercepat pada tahun laporan. Nilai tambah sektor ini pada tahun laporan tercatat sebesar Rp1.708 miliar, lebih besar dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp1.580 miliar. Hal ini antara lain disebabkan oleh masih berlangsungnya proses rekonstruksi baik oleh pemerintah, rumah tangga, maupun lembaga swadaya masyarakat pada paruh pertama tahun Sebagai ilustrasi, rincian realisasi pemanfaatan dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2007 untuk rehabilitasi dan rekonstruksi rumah pasca gempa bumi di Provinsi DIY sampai dengan April 2007, yaitu DIPA APBN 2006 sebesar Rp1.694 miliar, DIPA APBN 2007 sebesar Rp1.701 miliar, Sisa DIPA APBN 2006 sebesar Rp16 miliar dan realisasi DIPA 2007 sebesar Rp479 miliar. Sementara itu, pangsa sektor Bangunan mengalami percepatan dari 9,01% menjadi 9,35% pada tahun Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dan sesuai dengan karakteristik Yogyakarta sebagai kota wisata dan budaya, kinerja sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran pada tahun laporan tercatat sebagai sektor pemberi andil terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi DIY 2007 yakni 1,13%, atau meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 0,74%. Demikian halnya dengan laju pertumbuhan, terjadi percepatan dari 3,63% menjadi 5,57% pada tahun laporan. Nilai tambah sektor ini tercatat sebesar Rp3.769 miliar pada tahun Percepatan pertumbuhan pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas perdagangan dan hotel. Kondisi ini didukung oleh kembali pulihnya sebagian besar pasar tradisional dan Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 11

26 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 meningkatnya daya beli dari masyarakat seiring dengan peningkatan pendapatan. Fasilitas hotel yang sudah dibenahi dan suasana Yogyakarta yang semakin kondusif telah menyebabkan permintaan untuk hotel dan fasilitas pertemuan semakin meningkat pada tahun Kondisi ini juga diperkuat dengan pemberian kredit/ pembiayaan pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang meningkat dari Rp1.908 juta pada tahun 2006 menjadi Rp2.094 juta pada tahun Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Nilai tambah sektor Pengangkutan dan Komunikasi tercatat sebesar Rp1.869 miliar pada tahun laporan, lebih tinggi dibanding dengan tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.762 miliar. Demikian halnya dengan laju pertumbuhan, terjadi percepatan dari 5,30% menjadi 6,07% pada tahun Sementara itu, pangsa sektor ini juga meningkat dari 10,05% menjadi 10,23% dan andil terhadap pertumbuhan naik dari 0,52 menjadi 0,61% pada tahun laporan. Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya mobilitas barang dan jasa serta penumpang baik untuk transportasi darat maupun transportasi udara pada tahun 2007 sebagai akibat meningkatnya aktivitas ekonomi dan meningkatnya daya beli masyarakat. Sebagai ilustrasi, jumlah penumpang kereta tercatat sebanyak orang pada tahun 2007 yang meningkat dibandingkan periode sebelumnya yang hanya sebanyak orang. Sementara itu, jumlah kedatangan penumpang pesawat juga mengalami peningkatan dibanding dengan periode sebelumnya, yaitu dari orang pada tahun 2006 menjadi orang pada tahun Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Nilai tambah sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan pada tahun laporan tercatat sebesar Rp1.667 miliar, atau tumbuh sebesar 4,71% dibanding dengan tahun sebelumnya sebesar Rp1.592 miliar sehingga andil sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi DIY meningkat dari -0,18% menjadi 0,43% pada tahun Membaiknya kinerja sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan antara lain disebabkan oleh meningkatnya subsektor Keuangan, khususnya pada kontribusi Perbankan sebesar 15,5% dan subsektor Sewa Bangunan sebesar 6,4% sebagai akibat masih berlangsungnya proses rekonstruksi sebagian bangunan bisnis dan residensial baik oleh pemerintah, rumah tangga maupun lembaga swadaya masyarakat. Sektor Jasa-jasa Pertumbuhan sektor Jasa-jasa mengalami perlambatan yaitu dari 4,04% pada tahun 2006 menjadi 2,77% pada tahun Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan Belanja Pegawai dari sekitar 3,54% pada tahun 12 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

27 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi sekitar 3,08% pada tahun 2007 sebagai faktor koreksi. Ini terutama disebabkan terjadi kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 15% pada tahun 2006 sedangkan pada tahun 2007 tidak ada kebijakan kenaikan gaji. Dengan kondisi tersebut di atas, pangsa sektor ini terhadap pembentukan PDRB DIY menurun dari 16,91% menjadi 16,68% pada tahun laporan dengan andil yang juga menurun dari 0,68% menjadi 0,47% pada tahun laporan. INVESTASI Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, perkembangan investasi di wilayah Provinsi DIY menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Kondisi ini tercermin dari nilai riil Investasi yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan upaya Pemerintah Provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, misalnya penyederhanaan prosedur birokrasi, perbaikan/pengembangan infrastruktur dan sistem informasi serta promosi investasi daerah yang lebih intensif melalui Investment Promotion Agency (IPA), serta membuat pelayanan satu atap agar minat investor untuk menanamkan investasinya di wilayah ini semakin besar. Tabel 1.4 Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Sektor Ekonomi Juta Rp No Sektor Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi 1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 59,980 27,573 59,980 27,573 59,474 27,573 59,474 27,572 a. Pertanian 57,224 26,423 57,224 26,423 57,224 26,423 57,224 26,422 b. Kehutanan c. Perikanan 1, , , , Pertambangan 1, , Industri 875,787 1,179, ,787 1,180, ,496 1,176, , ,682 a. Makanan 124, , , , , , ,900 72,747 b. Tekstil 336, , , , , , , ,931 c. Kayu d. Kertas e. Kimia dan farmasi 7, , , , f. Mineral bukan logam g. Logam dasar 2,832 1,548 2,832 1,548 2,832 1,548 2,832 1,548 h. Barang-barang logam 17,828 14,279 17,828 14,279 17,828 14,279 17,828 14,279 i. Lain-lain 385, , , , , , , ,502 4 Konstruksi 13,000-13,000-13,000-13,000-5 Perhotelan 735, , , , , , , ,385 6 Pengangkutan 44,869 34,737 44,869 34,740 42,529 34,630 42,529 34,630 7 Perumahan dan Perkantoran Jasa lainnya 196, , , , , , , ,264 Total 1,925,655 2,401,967 2,468,637 2,251,067 2,497,685 2,144,879 2,458,608 1,801,533 Sumber: Bapeda Provinsi DIY. Penanaman Modal Dalam Negeri Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di DIY secara kumulatif sampai dengan tahun laporan mengalami penurunan sebesar 16,01%, yaitu dari Rp2.145 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp1.802 miliar pada tahun Kondisi ini sejalan dengan jumlah rencana PMDN yang telah disetujui oleh Pemerintah Provinsi DIY yang sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006, yaitu tercatat sebesar Rp2.459 miliar pada tahun laporan. Penurunan jumlah PMDN Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 13

28 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 yang disetujui tersebut sejalan dengan pertumbuhan Investasi yang diukur dari PMTB, yang cenderung melambat pada tahun laporan. Sementara itu, persentase realisasi PMDN dari rencana pada tahun laporan cenderung menurun dibanding dengan periode sebelumnya, yaitu dari 85,87% pada tahun 2006 menjadi 73,27% pada tahun Ditinjau dari aspek sektornya, sektor Industri masih menduduki pangsa tertinggi, yaitu 46,17%, meskipun dengan persentase yang cenderung menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 54,84%. Selanjutnya, disusul sektor Perhotelan 36,49%, Jasa Lainnya 13,89%, Pengangkutan 1,92%, dan Pertanian/ Kehutanan/Perikanan 1,53%. Penyumbang utama pada sektor Industri didominasi oleh Industri Tekstil 35,02% dan Industri Makanan 4,04%. Tabel 1.5 Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Kabupaten/Kota Juta Rp No Kabupaten/Kota Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi 1 Bantul 108,751 85, ,751 85, ,751 86, ,751 86,952 2 Sleman 1,073,652 1,100, , , , , , ,970 3 Gunungkidul 71,894 19,586 67,004 19,586 91,454 19,586 58,379 19,586 4 Kulonprogo 255,112 28, ,112 28, ,112 28, ,112 28,559 5 Yogyakarta 416,246 1,167,960 1,063,218 1,167,960 1,120,558 1,087,812 1,110, ,466 Total 1,925,655 2,401,967 2,468,637 2,251,067 2,497,685 2,144,879 2,458,608 1,801,533 Sumber: Bapeda Provinsi DIY. Berdasarkan persebaran wilayahnya, baik rencana maupun realisasi PMDN pada tahun laporan terkonsentrasi di Kota Yogyakarta dengan nilai masing-masing sebesar Rp1.111 miliar dan Rp745 miliar. Rencana dan realisasi PMDN di Kabupaten Sleman masing-masing tercatat sebesar Rp922 miliar dan Rp922 miliar. Selanjutnya, dikuti oleh Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, dan terakhir Kabupaten Gunungkidul. Penanaman Modal Asing Jumlah realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp880 miliar, menurun 53,17% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp1.880 miliar. Sementara itu, akumulasi rencana PMA yang disetujui oleh Pemerintah Provinsi DIY pada tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 59,34%, yaitu dari Rp3.508 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp880 miliar pada tahun laporan. Hal ini diduga karena besarnya investasi pada bidang usaha yang diminati oleh investor asing, seperti jasa, industri logam, dan pengangkutan cenderung menurun. Meskipun demikian, persentase realisasi PMA dari rencana pada tahun laporan mengalami peningkatan dibanding dengan periode sebelumnya, yaitu dari 53,58% pada tahun 2006 menjadi 61,70% pada tahun 14 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

29 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Tabel 1.6 Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Asing Menurut Sektor Ekonomi Juta Rp No Sektor Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi 1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 119,798 33, ,798 33, ,648 26, a. Pertanian 106,929 33, ,929 33, ,929 26, b. Kehutanan , c. Perikanan 12, , , Pertambangan , Industri 488, , , , , ,999 45,509 37,429 a. Makanan ,146 19,146 b. Tekstil 27,308 19,357 27,308 19,357 72,578 34,534 4,200 6,108 c. Kayu d. Kertas e. Kimia dan farmasi f. Mineral bukan logam g. Logam dasar 24,571 9,715 24,571 9,715 24,571 9,715 15,571 6,681 h. Barang-barang logam 2,070-2,070-2, i. Lain-lain 434, , , , , ,750 6,592 5,494 4 Konstruksi 26, Perhotelan 516, , , , , , , ,973 6 Pengangkutan 7, , , Perumahan dan Perkantoran , Jasa lainnya 1,254, ,980 1,607,422 1,010,375 1,946,542 1,015, , ,825 Total 2,413,490 1,519,270 3,069,239 1,843,675 3,508,311 1,879,788 1,426, ,227 Sumber: Bapeda Provinsi DIY Ditinjau dari sektornya, sektor Perhotelan menduduki pangsa tertinggi yaitu 57,14%, disusul sektor Jasa Lainnya 38,61%, dan sektor Industri 4,25%. Penyebaran PMA tertinggi di Kabupaten Sleman dengan realisasi sebesar Rp514 miliar dari rencana sebesar Rp920 miliar, selanjutnya diikuti oleh Kota Yogyakarta dengan realisasi sebesar Rp319 miliar, Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp43 miliar, dan Kabupaten Bantul sebesar Rp4 miliar sedangkan Kabupaten Kulonprogo nihil pada tahun laporan. Tabel 1.7 Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Asing Menurut Kabupaten/Kota Juta Rp No Kabupaten/Kota Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi 1 Bantul 78,482 59,898 80,732 59,898 98,057 75,076 8,500 4,179 2 Sleman 591, ,976 1,230, ,986 1,612, , , ,112 3 Gunungkidul 97,329 31, ,817 40, ,817 24,861 55,864 42,564 4 Kulonprogo , Yogyakarta 1,646,281 1,276,131 1,651,167 1,294,038 1,684,198 1,295, , ,371 Total 2,413,490 1,519,270 3,069,239 1,843,675 3,508,311 1,879,788 1,426, ,227 Sumber: Bapeda Provinsi DIY. Potensi dan Peluang Investasi Peningkatan daya saing nasional di pasar global merupakan tujuan akhir penerapan kebijakan sektor industri dan perdagangan serta bidang investasi. Salah satu upaya mengoptimalkan pengunaan sumber daya yang tersedia untuk pengembangan otonomi khususnya di daerah adalah penerapan kebijakan Otonomi Daerah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Keppres No.29 Tahun 2004 pelayanan satu atap di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 15

30 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Kebijakan dan strategi pengembangan investasi yang telah dilakukan DIY untuk mengatasi berbagai permasalahan mendasar seperti prosedur birokrasi yang berbelit-belit, ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian hukum dan paket kebijakan investasi serta kebijakan sektoral yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Permasalahan tersebut secara bertahap mulai berhasil diatasi oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di DIY. Sektor Pariwisata Pendidikan Kerajinan Pertanian Industri Tabel 1.8 Peluang Investasi Beberapa Proyek/Komoditas Potensial Kabupaten/Kota Yogyakarta Sleman Bantul Gunungkidul Kulonprogo - Konferensi dan pameran. - Wisata pedesaan. - Pengelolaan pantai - Kawasan hutan riset - Pantai Glagah. - Pengembangan SDM - Volcano center. Parangtritis, Pandansimo, Wanagama. - Waduk Sermo. sektor pariwisata. Gua Cerme. - Pengembangan pantai - Puncak Suroloyo. - Pengembangan Gembira Sepanjang, Wediombo, - Sendangsono. Loka. - Kebun buah Magunan. Siung, Sadeng, Tepus dan - Taman air Ancol. - Wisata budaya interaktif. - Taman safari prasejarah. Baron. - Goa Kiskendo. - Wisata pedesaan. - Taman safari prasejarah. - Pantai Congot - Sekolah Pra-TK. - Kawasan kampus. - Lembaga Pendidikan Keterampilan. - Kompetisi design produk - Cor logam untuk - Terakota dan keramik. - Kerajinan batu. - Batik. kerajinan. perlengkapan pintu dan - Anyaman serat alam. - Furnitur. jendela. - Furnitur. - Produk pertanian kualitas - Tanaman obat - Budidaya dan industri - Pengelolaan kelapa, cabe, teh dan empon-empon. tinggi (asparagus, brokoli, jamur, rebung dlsb). sutra. Budidaya dan industri mendong. - Budidaya bawang merah - dan cabe merah - Peternakan kambing. - Garmen. - Komponen elektronik. - Pembangkit listrik. - Kawasan industri. - Kawasan industri. - Tegel dan batu gamping. - Pembangkit listrik. - Pembangkit listrik. - Pasir besi, semen, marmer, emas, batubara, barit, andesit, batu mulia, mangan, arang, briket. - Bus Rapid Transit - Jalan toll. - Kawasan industri - Jalan toll. - Pelabuhan ikan. - Gudang kargo. Piyungan. - Terminal tipe A. Infrastruktur - Pembangunan Double - Pengembangan pasar seni Tracks lintasan KA Gabusan. - Terminal bongkar muat. - Jalan lingkar luar. Sumber: Bapeda Provinsi DIY. Upaya promosi yan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DIY adalah pencanangan slogan Jogja Invest, yang diarahkan untuk meningkatkan daya tarik berinvestasi di DIY di mata para investor baik domestik maupun asing. Upaya ini cukup beralasan karena DIY memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: 1. Stabilitas politik dan keamanan yang terbaik dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia; 2. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi sebagaimana tercermin dari besarnya persentase masyarakat terdidik, tersedianya tenaga kerja terampil dan angka rasio melek komputer (computer literate ratio) yang tertinggi di Indonesia; 3. Lokasi DIY yang strategis dan terhubung dengan provinsi lainnya dan bahkan dengan negara tetangga; 4. Biaya produksi yang rendah dan tingkat upah yang cukup kompetitif; dan 5. Sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kegiatan investasi. Dalam Tabel 1.8 disajikan beberapa proyek/komoditas yang memiliki potensi dan peluang untuk investasi di DIY, berdasarkan informasi dari Pemerintah Provinsi DIY. 16 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

31 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Tabel 1.9 Nilai Ekspor Non Migas Utama Menurut Komoditas Ribu US$ No Komoditas * Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 1 Mebel Kayu 37,593 42,639 32, , Pakaian Jadi tekstil 25,009 45,322 44, , Kulit disamak 9,730 6,007 4, , Sarung Tangan Kulit (STK) 9,174 8,457 13, , Lampu 5,500 5,453 5, , Produk tekstil lainnya 5,259 2,340 1, Tekstil 4,370 3,453 2, , Kerajinan kayu 4,060 4,706 5, , Minyak Atsiri Daun Cengkeh 1,913 1,225 2, , Kerajinan Pandan 1,675 2,946 1, STK Sintetis 1,600 3,087 1, , Kerajinan Tanah Liat 1,521 1,014 1, , Kerajinan Batu 1,381 2,537 2, , Jamur dalam Kaleng Kerajinan Perak , , Kerajinan Eceng Gondok , STK Kombinasi Poliurethane Kerajinan Kertas 765 2,735 3, , Papan Kemas 2,486 1,498 2, , Kerajinan Kulit 720 1,712 2, , Kerajinan Kaca Kerajinan Rotan , Sub Total 115, , , , Komoditas Lainnya Total Keterangan: 1) % Sumber : Dinas Perindagkop Provinsi DIY PERDAGANGAN INTERNASIONAL 7,236 5,638 8, , , , , , Ekspor Nilai ekspor DIY yang seluruhnya merupakan komoditas nonmigas, mengalami pertumbuhan negatif sebesar -9,32% pada tahun 2007 sehingga tercatat sebesar $125,56 juta. Penyumbang penurunan nilai nominal ekspor terutama bersumber dari penurunan ekspor Pakaian Jadi Tekstil sebesar $9,83 juta, diikuti oleh penurunan ekspor Mebel Kayu $6,20 juta, ekspor Sarung Tangan Kulit (STK) turun $2,85 juta, ekspor Lampu turun $2,1 juta, dan ekspor Produk Tekstil Lainnya turun $1,26 juta. Tabel 1.10 Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Negara Tujuan Ribu US$ Negara Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 1. Amerika Serikat 48, , , , Perancis 8, , , , Spanyol 5, , , , Italia 9, , , , Belanda 4, , , , Jepang 4, , , , Hongkong 3, , , Jerman 4, , , , Inggris 1, , , , Australia 4, , , , Belgia 2, , , , Philipina 1, , , , Singapura 1, , , , Kanada 1, , , , Malaysia 1, , Denmark , Uni Emirat Arab 2, Afrika Selatan Yunani 1, Korea Selatan 1, , Taiwan India 3, Sub-Total 112, , , , Negara lainnya 9, , , , Total 122, , , (3.48) 125, Keterangan: 1) % Sumber: Disperindagkop Provinsi DIY Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 17

32 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Sedangkan pangsa terbesar terhadap total nilai ekspor DIY adalah ekspor Pakaian Jadi Tekstil yang mencapai 27,40% dengan nilai sebesar $34,41 juta. Sumbangan ekspor kedua terbesar berasal dari ekspor Mebel Kayu yang tercatat sebesar $26,10 juta dengan pangsa 20,79%. Lonjakan nilai ekspor terjadi pada komoditas Sarung Tangan Kulit Sintetis dari $1,92 juta pada tahun 2006 menjadi $6,69 juta pada tahun Sementara itu, pangsa ekspor Komoditas Lainnya relatif kecil (Tabel 1.9). Berdasarkan negara tujuan, ekspor DIY pada tahun 2007 sebagian besar ditujukan ke negara Amerika Serikat ($55,29 juta), Perancis ($7,44 juta), Jepang ($6,07 juta), Spanyol ($5,22 juta), Italia ($5,21 juta), Australia ($4,60 juta), Hongkong ($4,20 juta), dan Belanda ($3,54 juta). Nilai ekspor ke Amerika Serikat memiliki pangsa sebesar 44,03% dari total nilai eskpor DIY. Tabel 1.11 Nilai Ekspor Menurut Pelabuhan Muat Ribu US$ Nama Pelabuhan Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 1. Tanjung Emas 79, ,754 93, , Tanjung Priok 19,087 25,366 21, , Sukarno Hatta 15,452 12,901 14, , Adisutjipto 2,383 2,515 3, , Tanjung Perak 2,788 1,225 3, , Juanda , , Ngurah Rai 2, Kantor Pos Yogyakarta Halim Perdanakusuma Benoa Adisumarmo Batu Ampar Tanjung Pinang A. Yani Batam Tanjung Uban Belawan Sekupang Lainnya Total 122, , , , (9.32) Keterangan: 1) % Sumber: Disperindagkop Provinsi DIY Pada tahun laporan 64,39% dari nilai ekpor DIY dilakukan melalui pelabuhan muat Tanjung Emas, Semarang, dengan nilai sebesar $80,86 juta, sedangkan ekspor yang melalui Bandara Adisutjipto hanya tercatat sebesar $3,21 juta atau dengan pangsa 2,56%. Ekspor melalui Bandara Adisutjipto mengalami peningkatan sebesar 6,10% dibanding tahun 2006, hal ini merupakan dampak internasionalisasi Bandara Adisutjipto yang berlaku sejak tahun Impor Perkembangan impor DIY sejalan dengan perkembangan ekspor, yaitu mengalami pertumbuhan negatif sebesar 28,40% pada tahun 2007 sehingga tercatat sebesar $42,62 juta. Penurunan nilai impor tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya nilai impor komoditas Bahan Baku Susu yang tercatat sebesar $3,65 juta dan komoditas Tekstil sebesar $4,57 juta. Lonjakan nilai impor terjadi 18 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

33 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Tabel 1.12 Nilai Impor Nonmigas Utama Menurut Komoditas Ribu US$ Komoditas Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 1. Obat Penyamak Kulit 1,102 5, Bahan Baku Plastik Bahan Baku Susu 10,916 4,227 38, , Kapas 3,814 4,491 3, , Benang Nylon Asesoris 18,878 3,946 1, , Tekstil 3,490 16,104 7, , Polyester , , Peralatan Tiang Pancang Elektronik Pewarna susu Mesin Tekstil Mesin 2,211 2,207 6, , Bahan Baku Kulit Mesin Percetakan Mesin Kayu Peralatan Mesin Kulit Disamak , Lampu Power Suply Audio Digital Bijih Titanium Sub-Total 40,739 36,281 59, , Komoditas lainnya Total 40,741 36,281 59, , Keterangan: 1) % Sumber: Disperindagkop Provinsi DIY pada komoditas Polyester dari $2.000 juta pada tahun 2006 menjadi $3,36 juta pada tahun 2007 dan komoditas Mesin dari $6,9 juta pada tahun 2006 menjadi $23,50 juta. Selama tahun 2007, negara yang mendominasi impor DIY, yaitu RRC dengan nilai sebesar $25,78 juta, Korea Selatan $3,89 juta, dan New Zealand $3,40 juta. Tabel 1.13 Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Asal Ribu US$ Nama Negara Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 Nilai Pangsa 1 Ptumb 1 1. Jerman Italia Jepang 953 1, , Singapura 384 4,701 2, Hongkong 8,951 7,536 1, Australia 5,294 1,345 10, , Belgia Korea Selatan 3, , , , RRC 4,574 7,072 8, , Amerika Serikat 3,681 2,785 4, , Taiwan 7,285 6,962 2, , New Zealand 3,391 1, , Belanda 132 1,897 1, Austria Ireland , Uni Emirat Arab 853-2, Canada Argentina Denmark , , Finlandia Philipina Norwegia Sub-Total 40,666 36,270 40, , Negara lainnya , , Total 40,741 36,281 59, , Keterangan: 1) % Sumber: Disperindagkop Provinsi DIY Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 19

34 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 KETENAGAKERJAAN Tenaga Kerja di Dalam Negeri Pertumbuhan ekonomi DIY yang mengalami peningkatan pada tahun 2007 ternyata tidak diiringi oleh penyerapan jumlah tenaga kerja yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan angka penggangguran juga semakin meningkat. Tabel 1.14 Indikator Ketenagakerjaan No Uraian Orang Jumlah Ptumb 1 Jumlah Ptumb 1 1 Penduduk 3,211,323 3,246,283 3,286, ,326, Angkatan Kerja 1,755,016 1,770,899 1,788, ,808, a. Bekerja 1,663,616 1,678,181 1,693, ,710, b. Menganggur (Mencari Kerja) 91,400 92,718 95, , Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Keterangan: 1) %. Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi DIY menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja di DIY pada tahun 2007 mencapai orang, naik 1,08% jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebanyak orang. Jumlah angkatan kerja yang telah bekerja mengalami peningkatan sebesar 0,99%, dari orang menjadi orang. Sedangkan yang sedang mencari kerja (menganggur) mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu sebesar 2,74% dari orang menjadi orang. Angka pertumbuhan pengangguran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk yang bekerja mengakibatkan rasio pengangguran terbuka meningkat, yakni dari 5,32% pada tahun 2006 menjadi 5,41% pada tahun laporan. Tabel 1.15 Angkatan Kerja Orang No Kabupaten/Kota Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 1. Bantul ,48 3, ,51 1,19 2. Gunungkidul ,88-0, ,03 1,69 3. Kulonprogo ,89 0, ,82 0,58 4. Sleman ,51 1, ,52 1,14 5. Yogyakarta ,25-0, ,12-0,39 Total ,00 1, ,00 1,08 Keterangan: 1) %. Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Angkatan kerja tersebut tersebar di 5 wilayah dengan porsi terbesar pada Kabupaten Sleman yakni sebesar 26,52% atau sebanyak orang. Porsi terbesar ini sesuai dengan jumlah penduduk DIY yang terkonsentrasi di Kabupaten Sleman. Namun demikian, pertumbuhan angkatan kerja tertinggi dialami oleh 20 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

35 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Kabupaten Gunungkidul sebesar 1,69% dari orang pada tahun 2006 menjadi orang pada tahun No Uraian Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Per Wilayah ,00 0, ,00 0,99 1 Bantul ,09 2, ,55 1,83 2 Gunungkidul ,47-0, ,84 1,37 3 Kulonprogo ,68 0, ,71 0,21 4 Sleman ,46 1, ,82 1,34 5 Yogyakarta ,30-0, ,08-2,31 Per Sektor ,00 0, ,00 0,99 1 Pertanian ,80-1, ,32-1,24 2 Industri Pengolahan ,45-7, ,18-7,85 3 Perdagangan ,25 2, ,59 2,18 4 Jasa ,81 4, ,46 4,88 5 Angkutan ,09-3, ,04-3,84 6 Lainnya ,59-3, ,39-2,62 Keterangan: 1) %. Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Tabel 1.16 Penduduk yang Bekerja Komposisi tenaga kerja di DIY belum mengalami perubahan yang berarti, yakni sektor Pertanian sebagai penyerap tenaga kerja terbesar. Pada tahun 2007 sektor Pertanian mampu menyerap tenaga kerja sebesar 38,32% sesuai dengan karakteristiknya yang padat karya (labour intensive). Namun, meskipun menyerap hampir separuh dari tenaga kerja di DIY, pangsa sektor ini semakin menurun dari tahun ke tahun. Selain pangsanya menurun, tenaga kerja di sektor ini juga mengalami pertumbuhan negatif yaitu sebesar -1,24%. Penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor Pertanian selain terkait dengan penurunan minat masyarakat DIY untuk bekerja di sektor Pertanian karena dianggap kurang menjanjikan, juga disebabkan oleh penurunan luas lahan sawah dari tahun ke tahun. Penyusutan lahan sawah ini juga terkait dengan banyaknya minat penduduk luar DIY untuk bertempat tinggal di DIY karena alasan sekolah maupun menikmati masa pensiun sehingga menyebabkan proses konversi lahan pertanian menjadi lahan perumahan yang semakin cepat. Selanjutnya, berkurangnya tenaga kerja di sektor Pertanian beralih ke sektor Perdagangan dan sektor Jasa, yang masing-masing mengalami pertumbuhan positif sebesar 2,18% dan 4,88%. Peralihan ini erat kaitannya dengan karakteristik Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan Kota Pariwisata. Jumlah pengangguran di DIY pada tahun 2007 tercatat sebanyak orang, atau meningkat sebesar 2,74% jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebanyak orang. Peningkatan pengangguran ini antara lain disebabkan terjadinya penurunan investasi di DIY yang diakibatkan sempitnya lahan DIY sehingga investor lebih memilih untuk melakukan investasi di daerah perbatasan DIY-Jawa Tengah agar dapat memanfaatkan fasilitas infrastruktur Provinsi DIY namun dengan biaya perolehan lahan yang lebih murah. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 21

36 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Peningkatan pengangguran ini terutama terjadi pada Kota Yogyakarta yakni sebesar 36,94% atau orang. Pengangguran ini diduga berasal dari para lulusan baru (fresh graduate) penduduk Kota Yogyakarta ataupun pendatang yang mencoba mengadu nasib di Kota Yogyakarta. Di sisi lain, angka penurunan pengangguran tertinggi terjadi pada Kabupaten Bantul yaitu sebesar -7,54% namun di Kabupaten Bantul pangsa terhadap jumlah pengangguran masih yang tertinggi di DIY (32,41%). Masih tingginya jumlah pengangguran tersebut diduga karena masih terjadinya dampak lanjutan dari gempa tektonik 27 Mei 2006 yang mengakibatkan kerusakan tempat tinggal maupun tempat usaha yang cukup parah. Hal ini medorong masyarakat Kabupaten Bantul untuk lebih berkonsentrasi melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi dibandingkan untuk melakukan kembali rutinitas pekerjaannya. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang dananya berasal dari dana bantuan pemerintah, swasta maupun lembaga donor internasional yang diperkirakan selesai pada tahun 2008 juga membawa kekhawatiran tersendiri kepada masyarakat, terutama yang bekerja pada sektor Konstruksi karena akan kehilangan pekerjaannya. Tabel 1.17 Pengangguran No Uraian Orang Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Per Wilayah ,00 2, ,00 2,74 1 Bantul ,41 21, ,41-7,54 2 Gunungkidul ,26-16, ,26 11,50 3 Kulonprogo ,59 6, ,59 5,66 4 Sleman ,26-2, ,26-2,35 5 Yogyakarta ,48-6, ,48 36,94 Tingkat Pendidikan ,00 2, ,00 2,74 1 Tidak Tamat SD/SD ,63-23, ,63-29,36 2 SLTP ,24-1, ,24-1,23 3 SLTA ,11 5, ,11 5,33 4 Diploma ,36-0, ,36-1,33 5 Perguruan Tinggi ,65 3, ,65 3,18 Keterangan: 1) %. Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Jika ditinjau berdasarkan tingkat pendidikan, pengangguran lulusan SLTA masih memiliki porsi tertinggi terhadap jumlah pengangguran di DIY yakni sebesar 62,11% atau orang dan sekaligus mengalami peningkatan tertinggi, yakni sebesar 5,33%. Hal ini disebabkan lulusan SLTA belum memiliki keahlian/ keterampilan yang secara spesifik siap pakai di dunia kerja. Sedangkan penurunan angka pengangguran tertinggi dialami oleh tingkat pendidikan Tidak Tamat SD/ lulusan SD yaitu turun 29,36%. Pertumbuhan negatif pengangguran tersebut diperkirakan telah diserap/bekerja baik pada sektor formal maupun sektor informal. Hal ini juga menggambarkan bahwa angkatan kerja di DIY didominasi oleh tenaga kerja berlatar belakang pendidikan rendah yang selanjutnya mempengaruhi tingkat 22 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

37 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Grafik 1.4 Produktivitas Tenaga Kerja Juta Rp produktivitas. Apabila diukur dengan menggunakan nilai riil PDRB (juta Rp) per jumlah tenaga kerja, tingkat produktivitas tenaga kerja tidak banyak mengalami perubahan yaitu meningkat tipis dari Rp10,35 juta per orang pada tahun 2006 menjadi Rp10,68 juta per orang pada tahun Pencari kerja di DIY yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (berdasarkan pendaftaran kartu kuning) pada tahun 2007 tercatat sebanyak orang, atau turun 18,49% jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebanyak orang. Penurunan jumlah pencari kerja yang medaftarkan kartu kuning ini antara lain karena diduga para pencari kerja telah memperoleh pekerjaan di sektor informal atau melakukan kegiatan wirausaha. No Tingkat Pendidikan 2004 Pencari kerja di DIY didominasi oleh pencari kerja berlatar belakang pendidikan tinggi, yaitu S1 dan lulusan program diploma (baik D1, D2 maupun D3)/ Sarjana Muda yang memiliki pangsa masing-masing sebesar 41,60% dan 15,41%. Sedangkan pencari kerja lulusan SLTA memiliki pangsa kedua terbesar yaitu sebesar 38,98. Berdasarkan tingkat pendidikannya, pertumbuhan negatif dialami oleh semua tingkat pendidikan, kecuali S2 yang justru meningkat 21,91% atau dari 598 orang pada tahun 2006 menjadi 729 orang pada tahun Tenaga Kerja di Luar Negeri Tabel 1.18 Pencari Kerja Orang Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 1 Tidak Tamat SD ,01 140, ,01 0,00 2 SD ,69-11, ,43-49,33 3 SLTP ,74-16, ,73-40,50 4 SLTA ,63-18, ,98-21,80 5 D1, D2, D3/Sarjana Muda ,13-12, ,41-22,15 6 S ,23-11, ,60-11,31 7 S ,56-22, ,83 21,91 Total ,00-14, ,00-18,49 Keterangan: 1) %. Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu isu penting di Indonesia, termasuk di DIY. Pada tahun 2007 pengiriman TKI yang berasal dari DIY mengalami penurunan sebesar 19,79% dari orang pada tahun 2006 menjadi orang pada tahun Berdasarkan wilayah, penurunan TKI terutama terjadi pada TKI yang berasal dari Kabupaten Sleman yaitu sebesar 32,28%. Hal ini terkait dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sleman yang melarang pemberangkatan TKI dari Kabupaten Sleman ke luar negeri untuk bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 23

38 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 (PRT). Pemberangkatan TKI asal Kabupaten Sleman diarahkan untuk TKI yang akan bekerja di sektor formal saja. Wilayah lainnya juga mengalami pertumbuhan negatif dengan penurunan terkecil pada Kabupaten Gunungkidul sebesar 1,89%. Sedangkan Kota Yogyakarta justru mengalami peningkatan sebesar 5,56%. No Uraian 2004 Tabel 1.19 Tenaga Kerja Indonesia Asal DIY Orang Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Wilayah ,00-19, ,00-19,79 1 Bantul ,12-15, ,50-7,62 2 Gunungkidul ,17-58, ,65-1,89 3 Kulonprogo ,00 0, ,44-19,25 4 Sleman ,77-27, ,53-32,28 5 Kota Yogyakarta ,94-80, ,87 5,56 Negara Tujuan ,00-19, ,00-19,79 1 Malaysia ,66-21, ,36-14,68 2 Singapura ,36 191,11 6 0,31-95,42 3 Hongkong ,78 18,75 2 0,10-89,47 4 Korea ,14-80, ,97-32,14 5 Arab Saudi ,41 11,11 6 0,31-40,00 6 Amerika Serikat ,47 200, ,87-52,78 7 Taiwan ,19 262, ,58 6,90 8 Lainnya , ,51 - Keterangan : 1) % Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Jika ditinjau berdasarkan negara tujuan, penurunan jumlah TKI tertinggi pada tahun 2007 tercatat pada negara tujuan Malaysia yaitu sebanyak 322 orang. Penurunan ini disebabkan melambatnya kinerja perusahaan pengguna jasa TKI di Malaysia yang kebanyakan merupakan perusahaan kayu lapis yang menghadapi hambatan supply bahan baku sebagai dampak isu illegal logging. Namun demikian, Malaysia masih negara menjadi tujuan utama pengiriman TKI dari DIY, meskipun beberapa tahun belakangan terakhir banyak penertiban dokumen yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia yang mengakibatkan pemulangan TKI kembali ke negara asal. Letak Malaysia yang dapat dijangkau dengan penerbangan langsung dari DIY dan minimnya kendala bahasa, masih menyebabkan Malaysia menjadi negara tujuan favorit TKI asal DIY. Di sisi lain, pengiriman TKI ke Taiwan justru meningkat sebesar 6,90% terkait dengan pengembangan sektor Pertanian di Taiwan. Penurunan jumlah pengiriman TKI asal DIY diduga juga disebabkan oleh ekspos kasus kekerasan terhadap TKI di sejumlah media massa dan kurangnya minat pencari kerja untuk menjadi bekerja di luar negeri terkait dengan kendala finansial dalam mempersiapkan dokumen pemberangkatan. 24 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

39 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Upah Minimum Provinsi Grafik 1.5 Upah Minimum Provinsi Upah Minimum Propinsi KHM/KHL Ribu Rp Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY untuk tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp ,00 atau mengalami peningkatan sebesar Rp86.000,00 (17,20%) dari tahun 2006 sebesar Rp ,00. UMP DIY tahun 2008 ditetapkan sebesar Rp ,00. UMP DIY ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DIY No.171/KEP/ 2007 tertanggal 12 November 2007 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Tahun Angka UMP tersebut berada di bawah hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL)/Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) sebesar Rp ,00. Formulasi penetapan UMP DIY didasarkan atas 6 (enam) faktor, yaitu (1) Rata-rata hasil survei KHL yang dilakukan oleh Disnakertrans Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Serikat Pekerja Kabupaten/Kota serta Dewan Pengupahan Provinsi DIY, (2) Pertumbuhan Ekonomi dan tingkat inflasi DIY, (3) Upah minimum pada daerah perbatasan DIY, (4) Produktivitas DIY dan (5) Kemampuan Perusahaan. UMP merupakan upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok, termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi pekerja berstatus tetap, tidak tetap, harian lepas dan masa percobaan, serta hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 tahun. Bagi para pekerja dengan masa kerja 1 tahun atau lebih, peninjauan besarnya upah pekerja dilakukan melalui kesepakatan tertulis antara pekerja, buruh, atau serikat pekerja dengan pengusaha secara bipartit. Bagi pengusaha yang telah memberikan upah lebih tinggi dari UMP dilarang mengurangi atau menurunkan upahnya. Bagi pengusaha yang belum mampu melaksanakan ketentuan baru tersebut harus mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan UMP kepada Gubernur DIY melalui Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY paling lambat 10 hari sebelum keputusan diberlakukan secara definitif mulai 1 Januari Perusahaan yang melaksanakan UMP pada tahun 2007 tercatat sebanyak perusahaan atau 40,36% dari jumlah keseluruhan perusahaan di DIY yang berjumlah perusahaan. Wilayah Kota Yogyakarta merupakan wilayah yang perusahaannya paling banyak tidak melaksanakan UMP, yaitu hanya sebanyak 70 perusahan (4,69%) dari perusahaan yang ada sebanyak 504 perusahaan. Banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan UMP ini terkait dengan kemampuan perusahaan di DIY yang kebanyakan merupakan usaha mikro dan usaha kecil. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 25

40 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Jika dibandingkan dengan daerah perbatasannya, UMP DIY mengalami kenaikan tertinggi jika dibandingkan dengan kenaikan UMP di Jawa Tengah. Daerah-daerah yang mengalami peningkatan UMP hampir sama dengan kenaikan UMP DIY adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo masing-masing sebesar 17,00% dan 16,82%. Namun jika dilihat berdasarkan nominalnya, UMP DIY berada di bawah 19 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Wilayah yang memiliki UMP lebih tinggi dan letaknya dekat secara geografis dengan DIY adalah Kota Semarang (Rp716 ribu), Kabupaten Semarang (Rp672 ribu), Kota Surakarta (Rp674 ribu), Kabupaten Sukoharjo (Rp643 ribu), Kabupaten Klaten (Rp607 ribu) dan Kabupaten Magelang (Rp610 ribu). DI Yogyakarta Kab Purworejo Kab Magelang Kota Magelang Kab Klaten Kab Wonogiri Kab Sukoharjo Kota Surakarta Kab Boyolali Kab Semarang Kota Semarang Grafik 1.6 UMP Beberapa Kab/Kota di Jawa Tengah Ribu Rp 716 Pemutusan Hubungan Kerja Disnakertrans Provinsi DIY mencatat kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilaporkan pada tahun 2007 sebanyak 131 kasus. Laporan ini terdiri dari PHK yang diselesaikan secara bipartit (proses musyawarah mufakat antara pengusaha dengan karyawan, yang biasanya diakhiri dengan status pengunduran diri karyawan dan pemberian kompensasi-kompensasi yang telah disepakati) maupun secara tripartit (penyelesaian hubungan industrial melalui pengadilan). Perusahaan dan karyawan lebih memilih jalur bipartit karena penyelesaiannya lebih cepat. Tabel 1.20 Kasus Pemutusan Hubungan Kerja No Kabupaten/Kota Jumlah Kasus Jumlah Pangsa 2 Ptumb 2 Jumlah Pangsa 2 Ptumb 2 1 Bantul ,99 0,00 7 5,34 0,00 2 Gunungkidul ,72-70,21 2 1,53-85,71 3 Kulonprogo ,63 300, ,27 400,00 4 Sleman ,76-51, ,79 15,79 5 Kota Yogyakarta ,90-82, ,07 566,67 Total ,00-54, ,00 84,51 Keterangan : 1) Termasuk pengunduran diri dan penyelesaian hubungan industrial 2) % Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY Jumlah kasus PHK ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebesar 84,51% (60 kasus) jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebanyak 71 kasus. Hal ini diduga disebabkan karena penutupan beberapa industri sebagai implikasi kenaikan BBM pada tahun 2005 yang diperparah dengan gempa tektonik pada tahun Selain itu persaingan usaha internasional dengan China dan Taiwan juga turut menyebabkan penutupan beberapa industri di DIY. 26 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

41 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Grafik 1.7 Transmigran Berdasarkan Tempat Tujuan Yogyakarta Sleman Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya KK Peningkatan kasus PHK ini terutama terjadi di Kota Yogyakarta sebanyak 68 kasus, Kabupaten Kulonprogo sebanyak 16 kasus dan Kabupaten Sleman sebanyak 3 kasus. Sedangkan pada Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul justru mengalami penurunan masing-masing sebesar 15 kasus dan 12 kasus. Transmigrasi Selain bekerja di DIY dan di luar negeri, ternyata banyak Kepala Keluarga yang berminat untuk menjadi transmigran. Jumlah pendaftar transmigran pada tahun 2007 yang tercatat pada Disnakertrans Provinsi DIY mencapai 896 KK. Pendaftar transmigran sebagian besar berasal dari Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul, masing-masing sebanyak 348 KK dan 325 KK. Sedangkan wilayah lainnya masing-masing Kota Yogyakarta sebanyak 85 KK, Kabupaten Sleman sebanyak 78 KK dan Kabupaten Gunungkidul sebanyak 60 KK. Daerah yang paling banyak diminati adalah Sumatera dengan jumlah pendaftar sebanyak 548 KK, disusul oleh Kalimantan sebanyak 313 KK, Sulawesi 26 KK dan daerah lainnya sebanyak 9 KK. Pada tahun 2007, target penempatan transmigran dari DIY sebanyak 320 KK dan mampu terealisasi sebesar 90,16% dengan pemberangkatan 289 KK atau 957 jiwa. Pemberangkatan transmigran terbanyak berasal dari Kabupaten Kulonprogo sebanyak 68 KK atau 222 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Bantul sebanyak 64 KK atau 205 jiwa, Kabupaten Gunungkidul sebanyak 55 KK atau 171 jiwa, Kabupaten Sleman sebanyak 52 KK atau 222 jiwa dan Kota Yogyakarta sebanyak 50 KK atau 173 jiwa. PENDIDIKAN DAN PARIWISATA Pendidikan DIY disebut sebagai Kota Pelajar atau Kota Pendidikan karena DIY merupakan daerah tujuan sekolah bagi para pelajar di seluruh Indonesia, bahkan dari mancanegara. Animo tersebut terutama untuk pelajar yang akan mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi. Kualitas pendidikan di DIY yang baik, biaya hidup yang murah, lingkungan yang cukup kondusif, dan ragam program studi yang semakin berkembang menjadi alasan pemilihan DIY sebagai tujuan pendidikan terutama untuk tingkat perguruan tinggi. Industri Pendidikan Tinggi di DIY terutama ditunjang oleh jumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang mencakup Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 27

42 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 dan Politeknik. Dari 140 lembaga perguruan tinggi, sebanyak 128 lembaga merupakan PTS dan 12 lainnya merupakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Jumlah ini mengalami sedikit peningkatan dibandingkan 3 periode sebelumnya. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah mahasiswa, pada tahun 2007 juga mengalami peningkatan jumlah mahasiswa sebanyak orang (8,61%) dari orang pada tahun 2006 menjadi orang pada tahun laporan. Peningkatan ini dialami baik oleh PTS maupun PTN. Jumlah mahasiswa PTS mengalami peningkatan sebanyak orang (13,83%) sedangkan jumlah mahasiswa PTN juga terjadi peningkatan sebanyak 586 orang (0,68%). Tabel 1.21 Perguruan Tinggi dan Sederajat No Kabupaten/Kota Lembaga Mahasiswa Lembaga Mahasiswa Jumlah Pangsa 2 Jumlah Pangsa 2 Ptumb 2 Jumlah Pangsa 2 Jumlah Pangsa 2 Ptumb 2 A Perguruan Tinggi Negeri , , Bantul , , Gunungkidul Kulonprogo Sleman , , Kota Yogyakarta , B Perguruan Tinggi Swasta , , Bantul , , Gunungkidul Kulonprogo , , Sleman , , Kota Yogyakarta , , C Total , , Bantul , , Gunungkidul Kulonprogo , , Sleman , , Kota Yogyakarta , , Keterangan : 1) Meliputi Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dan Politeknik 2) % Sumber : Dinas Pendidikan DIY Ada beberapa hal yang diprakirakan menjadi pendorong faktor peningkatan ini. Pertama, adanya peningkatan/perbaikan mutu pendidikan baik yang dilakukan oleh PTN maupun PTN melalui pemberian beasiswa. Kedua, dibukanya beberapa program studi baru di PTS yang diminati oleh calon mahasiswa. Ketiga, kembali pulihnya perekonomian DIY seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat sehingga mendorong minat masyarakat untuk melanjutkan tingkat pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Pariwisata Perkembangan industri pariwisata di DIY pada tahun 2007 meningkat cukup signifikan, sebagaimana tercermin dari perkembangan beberapa indikatornya. Peningkatan ini dipengaruhi oleh kondisi fasilitas hotel yang semakin baik dan suasana Kota Yogyakarta yang semakin kondusif sehingga permintaan hotel, khususnya hotel bintang dan fasilitas pertemuan semakin meningkat pada tahun laporan Grafik 1.8 Wisatawan Mancanegara Belanda Jepang Jerman Perancis Malaysia Amerika Orang Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

43 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Tabel 1.22 Indikator Pariwisata No Uraian Orang Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 Jumlah Pangsa 1 Ptumb 1 I Penggunaan Akomodasi ,00-50, ,00 36,57 1 Hotel Melati ,09-20, ,07 65,17 a. Domestik ,95-21, ,69 65,18 b. Mancanegara ,15-6, ,38 64,71 2 Hotel Bintang ,91-59, ,93 18,98 a. Domestik ,51-62, ,05 17,89 b. Mancanegara ,40-26, ,88 27,04 II Banyaknya Malam Menginap ,00-59, ,00 33,20 1 Hotel Melati ,51-7, ,35 58,35 a. Domestik ,20-7, ,05 59,22 b. Mancanegara ,31-14, ,30 31,60 2 Hotel Bintang ,49-70, ,65 15,35 a. Domestik ,91-73, ,02 17,15 b. Mancanegara ,58-29, ,63 6,14 III Lama Tinggal Wisatawan 1,62 2,15 1,78 1,74 1 Hotel Melati 1,47 1,66 1,94 1,86 a. Domestik 1,46 1,65 1,94 1,87 b. Mancanegara 2,20 2,22 2,04 1,63 2 Hotel Bintang 1,66 2,31 1,68 1,63 a. Domestik 1,65 2,30 1,60 1,59 b. Mancanegara 1,84 2,41 2,31 1,93 IV Tingkat Hunian Kamar 1 Hotel Melati 21,23 19,14 21,63 18,80 2 Hotel Bintang 55,51 52,71 47,30 57,75 Keterangan : 1) % Sumber : Statistik Pariwisata Jogja 2007, Baparda DIY Akomodasi di DIY pada tahun 2007 digunakan oleh wisatawan, naik 36,57% dari tahun 2006 yang tercatat sebanyak wisatawan. Peningkatan penggunaan akomodasi di DIY terjadi baik pada wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Wisatawan domestik mengalami peningkatan sebesar 36,99% dari wisatawan menjadi wisatawan. Sedangkan wisatawan mancanegara mengalami peningkatan sebesar 32,09% dari wisatawan menjadi wisatawan. Berdasarkan golongan hotel, peningkatan penggunaan akomodasi terutama dirasakan oleh Hotel Melati, yaitu sebesar 65,17%, sedangkan pada Hotel Bintang meningkat sebesar 18,98%. Meskipun jumlah wisatawan yang menggunakan akomodasi mengalami peningkatan, namun rata-rata lama menginap tamu domestik dan mancanegara justru mengalami sedikit penurunan, dari 1,78 malam per wisatawan pada tahun 2006 menjadi 1,74 malam per wisatawan pada tahun Penurunan rata-rata lama menginap dialami baik pada Hotel Melati maupun Hotel Bintang. Sedangkan tingkat penghunian kamar (occupancy rate) untuk Hotel Melati mengalami penurunan, dari 21,63% pada tahun 2006 menjadi 18,80% pada tahun Sementara itu, untuk Hotel Bintang mengalami peningkatan, dari 47,30% pada tahun 2006 menjadi 57,75% pada tahun Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 29

44 Boks: Pola Konsumsi Penduduk Pola konsumsi penduduk dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk. Hukum Engel menyatakan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendapatan penduduk maka porsi makanan akan semakin berkurang. Mengacu pada hukum Engel tersebut, pola konsumsi yang diperoleh dari data Susenas dikategorikan menjadi pengeluaran makanan dan non makanan. Pola konsumsi rumahtangga menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Pola Konsumsi Masyarakat No Kabupaten/Kota Non Makanan Makanan Makanan Non Makanan Perubahan Persentase Makanan 1 Kulonprogo 67,61 32,39 53,26 46,74-14,35 2 Bantul 62,51 37,49 49,44 50,56-13,07 3 Gunungkidul 65,59 34,41 55,87 44,13-9,72 4 Sleman 59,62 40,38 40,57 59,43-19,05 5 Yogyakarta 50,59 49,41 40,17 59,83-10,42 DIY 60,11 39,89 44,92 55,08-15,19 Sumber : BPS Propinsi DIY Selama tahun terdapat pergeseran yang cukup signifikan porsi makanan pada rumahtangga di Provinsi DIY yakni dari 60,11% pada tahun 2000 menjadi 44,92% pada tahun Akibatnya konsumsi non makanan bergeser dari 39,89% pada tahun 2000 menjadi 55,08% pada tahun 2006, sehingga saat ini kondisi tersebut berbalik dimana porsi non makanan telah melampaui konsumsi makanan. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, pola pergeseran yang sama juga terjadi dengan tingkat kecepatan yang berbeda. Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Kota Yogyakarta tercatat mengalami pengurangan porsi makanan relatif cepat dengan tingkat perubahan mencapai diatas 10 poin selama enam tahun. Sedangkan Kabupaten Gunungkidul tercatat mengalami perubahan paling lambat. Kondisi ini terkait dengan tingkat perubahan perkapita yang relatif lebih lambat di kabupaten ini dibandingkan dengan daerah lainnya. Selanjutnya jika dicermati pola konsumsi kabupaten/kota tahun 2006, terlihat bahwa porsi konsumsi non makanan di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman telah lebih tinggi dari konsumsi makanan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa secara ekonomi ketiga daerah ini lebih sejahtera dibandingkan kabupaten lainnya. Selanjutnya dominasi pola konsumsi penduduk di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman berdampak besar pada pola konsumsi penduduk Provinsi DIY secara agregat sehingga cenderung menunjukkan makin besarnya porsi konsumsi non makanan dalam konsumsi rumahtangga. Sumber: BPS Provinsi DIY. 30 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

45 Boks: PDRB Perkapita PDRB perkapita penduduk DIY tahun 2007 diperkirakan Rp 9,52 juta perkapita per tahun, meningkat sekitar 9,70% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 8,68 juta perkapita per tahun. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 lebih cepat, kenaikan PDRB perkapita atas dasar harga berlaku tahun 2007 relatif lebih lambat dibandingkan dengan tahun Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor inflasi yang hanya mencapai 7,99% pada tahun Dalam lima tahun terakhir terlihat secara nominal nilai PDRB perkapita mampu tumbuh ratarata di atas 10%. Secara agregat kondisi ini menunjukkan perbaikan tingkat kesejahteraan penduduk karena diharapkan kenaikan ini juga dinikmati oleh masyarakat melalui balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh rumah tangga. Namun tetap harus diperhatikan besarnya laju inflasi sebagai faktor koreksi dari kenaikan angka nominal PDRB perkapita. Tahun Rupiah Konstan 2000) Berlaku) , , , , , , , , * , , ** , , *** , ,70 Keterangan : *) Angka sementara **) Angka sangat sementara **) Angka sangat-sangat Sementara Sumber : BPS Propinsi DIY PDRB Perkapita (Ad. Harga PDRB Perkapita Perubahan (%) PDRB Perkapita (Ad. Harga Perubahan (%) Meskipun secara nominal terjadi perlambatan pertumbuhan PDRB perkapita, namun secara riil terjadi percepatan pertumbuhan PDRB perkapita. Pada tahun 2007 PDRB perkapita atas dasar harga konstan 2000 tercatat Rp 5,32 juta atau tumbuh 2,81% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka pertumbuhan ini lebih besar daripada pertumbuhan pada tahun 2005 yang sebesar 2,31%. Percepatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 diperkirakan menjadi faktor pendorong PDRB perkapita riil setelah tahun sebelumnya indikator ini hanya tumbuh cukup kecil seiring dengan menurunnya kinerja ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk tahun ini di Provinsi DIY memungkinkan PDRB per kapita atas dasar harga konstan mengalami pertumbuhan sebesar 2,81% pada tahun Dengan asumsi distribusi pendapatan cenderung membaik maka dapat diartikan tingkat kesejahteraan penduduk mengalami peningkatan pada tahun 2007, karena ada kelebihan kenaikan barang dan jasa yang dapat didistribusikan. Sumber: BPS Provinsi DIY. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 31

46 Boks: Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang menggambarkan pencapaian kualitas pembangunan manusia. Indeks ini mewakili komponen yang diperlukan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, yakni aspek kesehatan, pendidikan dan aspek ekonomi. Tiga aspek ini menunjukkan tingkat pembangunan manusia suatu wilayah melalui pengukuran penduduk yang sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan berketrampilan, serta memiliki pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Secara umum, pencapaian kualitas pembangunan manusia tahun 2006 sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2005 yang tercermin dari nilai reduction shortfall pada tahun 2006 yang lebih kecil dibandingkan tahun Tekanan cukup besar pada daya beli penduduk pada tahun 2006 sebagai dampak gempa bumi 27 Mei diduga berpengaruh pada upaya penduduk untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Sumber: BPS Provinsi DIY. Indeks Pembangunan Manusia No Indikator I Nilai Indikator 1 Angka Harapan Hidup (tahun) 70,9 72,4 72,6 72,9 73,0 2 Angka Melek Huruf (%) 85,5 85,9 85,8 86,7 86,7 3 Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 7,9 8,1 8,2 8,4 8,5 4 Konsumsi riil perkapita (Rp.000) 597,8 611,3 636,7 638,7 638,8 II Indeks 1 Angka Harapan Hidup 76, ,33 79,83 80,00 2 Pendidikan 74,56 75,27 75,42 76,47 76,69 3 Konsumsi riil perkapita 54,95 58,07 63,94 64,41 64,43 IPM 68,67 70,78 72,9 73,57 73,71 Reduction Shortfall - 1,90 2,71 2,16 0,76 Sumber : BPS Propinsi DIY Nilai IPM tahun 2006 tercatat sebesar 73,71 meningkat dibandingkan indeks pada tahun sebelumnya yang sebesar 73,57. Dengan pencapaian ini, posisi pembangunan manusia di Provinsi DIY masuk dalam kategori kelompok menengah atas, yakni nilai IPM yang berkisar antara 66 hingga 79. Kenaikan indeks IPM dialami oleh seluruh komponen, yakni indeks harapan hidup meningkat dari 79,83 pada tahun 2005 menjadi 80,00 pada tahun Demikian pula indeks pendidikan meningkat dari 76,47 menjadi 76,69 selama periode yang sama. Adapun indeks pendapatan yang mewakili daya beli penduduk meningkat dari 64,41 pada tahun 2005 menjadi 64,43 pada tahun Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

47 Boks: Distribusi Pendapatan Tujuan pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan pendapatan perkapita penduduk, juga harus memperhatikan proses distribusi nilai tambah yang terbentuk dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Untuk melihat ketimpangan pendapatan penduduk, salah satu indikator yang sering dipakai adalah koefisien Gini. Nilai koefisien ini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin mendekati satu maka dikatakan tingkat ketimpangan pendapatan penduduk makin melebar atau sebaliknya. Menurut Oshima nilai koefisien Gini dibagi menjadi tiga tingkatan. Nilai koefisien yang kurang dari 0,3 masuk dalam kategori ketimpangan yang rendah, nilai antara 0,30 hingga 0,5 masuk dalam kategori moderat dan lebih besar dari 0,5 dikatakan berada dalam ketimpangan yang tinggi. Nilai koefisien Gini penduduk DIY pada tahun 2006 tercatat sebesar 0,369, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2005 yang sebesar 0,387. Kondisi ini mengisyaratkan terjadinya penurunan ketimpangan secara relatif dari tahun sebelumnya. Meskipun terjadi penurunan secara relatif, namun nilai Gini ini masih masuk dalam kategori moderat, sehingga tidak terjadi penurunan ketimpangan yang signifikan dari tahun 2005 ke tahun Kebijakan ke depan tetap diperlukan upaya menciptakan peluang atau akses yang berimbang bagi penduduk untuk memperoleh pendapatan dari usaha-usaha ekonomi yang ada. Ukuran lain yang juga dapat mengukur tingkat ketimpangan pendapatan penduduk adalah Kriteria Bank Dunia. Metode ini membagi penduduk menjadi tiga kelompok pendapatan yakni kelompok 40% berpendapatan terendah, 40% berpendapatan menengah dan 20% berpendapatan tertinggi. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan diukur dengan besarnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk yang berpendapatan terendah dengan batasan sebagai berikut: - Tingkat ketimpangan rendah jika 40% penduduk berpendapatan terendah menerima lebih dari 17% jumlah pendapatan - Tingkat ketimpangan moderat jika 40% penduduk berpendapatan terendah menerima antara 12 hingga 17% jumlah pendapatan - Tingkat ketimpangan tinggi jika 40% penduduk berpendapatan terendah menerima kurang 12% jumlah pendapatan Indikator Distribusi Pendapatan No Uraian % Terendah 19,59 18,14 16,59 17, % Menengah 35,66 34,53 35,01 34, % Tertinggi 44,75 47,33 48,39 47,79 4 Gini 0,344 0,373 0,387 0,369 Sumber : BPS Propinsi DIY Dari tabel diatas terlihat bahwa terjadi peningkatan persentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk berpendapatan terendah, yakni dari 16,59% pada tahun 2005 menjadi 17,43% pada tahun Kenyataan ini menunjukkan terjadi penurunan tingkat ketimpangan pendapatan selama tahun Menurut kriteria World Bank status ketimpangan pendapatan Provinsi DIY membaik dari ketimpangan moderat menjadi ketimpangan rendah. Kondisi ini konsisten dengan kecenderungan nilai koefisien Gini yang cenderung menurun, meskipun membaiknya distribusi pendapatan menurut berdasarkan nilai koefisien Gini masih dalam kategori ketimpangan moderat. Sumber: BPS Provinsi DIY. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 33

48 Boks: Pusat Pembenihan Yogyakarta Latar Belakang Benih/bibit merupakan cetak biru dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi. Oleh sebab itu, ketersediaan benih/ bibit bermutu dari varietas/jenis unggul sangat strategis karena menjadi tumpuan utama dalam pencapaian keberhasilan usaha tani. Industri benih/bibit sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis bersifat profit oriented, dengan dunia usaha sebagai pemegang peran utama dan Pemerintah sebagai fasilitator. Dalam pengembangan industri benih/bibit, masih sangat dibutuhkan peran Pemerintah untuk mengupayakan kondisi yang menguntungkan (favorable), mulai dari pelestarian dan pengelolaan plasma nutfah sebagai materi genetik varietas/jenis unggul, pengembangan varietas unggul, produksi benih/bibit dan sertifikasi, hingga pengawasan mutu benih/bibit. Perubahan fungsi lahan ke arah penggunaan di luar pertanian saat ini terjadi dengan laju yang sangat signifikan, yakni ha per tahun. Pergeseran tersebut justru sebagian besar terjadi pada daerah pertanian subur. Di samping itu, terjadi fragmentasi lahan pertanian secara terus-menerus akibat peralihan kepemilikan melalui proses pewarisan, hibah atau sebab lain, sehingga luas kepemilikan lahan (land endowment) semakin sempit. Di sisi lain, posisi Yogyakarta secara geografis sangat strategis, merupakan titik hubung antar daerah yang setiap kali memungkinkan pertemuan para pebisnis dan pelaku agribisnis. Yogyakarta juga dikenal sebagai penyedia sumber daya manusia berkualitas, dengan banyaknya institusi pendidikan bereputasi baik. Sementara itu, keberadaan Yogyakarta sebagai salah satu sentra produksi dan perdagangan benih/bibit merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan tumpuan cita Yogyakarta sebagai Pusat Pertumbuhan, muncul gagasan tentang Pusat Pembenihan Yogyakarta (Jogja Seed Center). Penumbuhan Jogja Seed Center (JSC) adalah bagian dari program pengembangan agribisnis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Gagasan ini cukup realistis, mengingat saat ini di DIY terdapat sejumlah pelaku usaha yang bergerak dalam bidang perbenihan/perbibitan di samping kekuatan kelembagaan perbenihan/perbibitan yang ada (Pemerintah, swasta, dan pihak-pihak yang committed dengan pengembangan perbenihan/ perbibitan). Akan tetapi, kuantitas dan konsistensi produksi benih/bibit belum terjaga, laju adopsi benih/ bibit varietas unggul masih lambat, mutu benih/bibit belum memenuhi standar, pengendalian mutu belum berjalan efektif, merupakan faktor-faktor penghambat yang mesti dipecahkan dalam aktualisasi gagasan JSC. Hal itu diperburuk dengan sejumlah kebijakan Pemerintah yang mengait bidang perbenihan/perbibitan yang tidak selalu menguntungkan bagi dunia usaha khususnya dalam hal perlindungan hak cipta atas varietas tanaman. Persepsi tentang Jogja Seed Centre Dalam kesempatan curah pendapat yang diselenggarakan pada 8 September 2004 di Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berkembang dua pola pemikiran menyangkut gagasan Jagya Seed Center, yaitu: 1) Yogyakarta memiliki Seed Center, dan 2) Yogyakarta sebagai 34 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

49 Seed Center. Kedua gagasan di atas akan berimplikasi pada penumbuhan industri benih/bibit yang secara umum bersifat high technology (padat teknologi) dan high investment diawali dengan halhal berikut: Tumbuhnya penangkar dan/atau rintisan industri benih/bibit. Tumbuhnya kelembagaan perbenihan/perbibitan (Pemerintah - UPTD Perbenihan) dan swasta (MPPI, Asbenindo) Terjalinnya kemitraan inti-plasma di bidang perbenihan/perbibitan Tumbuhnya pusat pengolahan dan transaksi benih/bibit. Yogyakarta Memiliki Seed Center Menurut konsep yang pertama, Provinsi DIY diusahakan untuk memiliki Pusat Perbenihan. Indikator dari terwujudnya konsep ini adalah kenyataan bahwa seluruh petani di DIY tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan benih/ bibit serta informasi tentang perbenihan/perbibitan dan ketersediaan benih/bibit. Pusat Perbenihan memiliki fungsi melakukan analisis dan evaluasi masalah perbenihan/perbibitan guna mengatasi atau menghindari carry over dan feedback inhibition, setidaknya pada tingkat produsen benih/bibit; suatu kondisi di mana kuantitas benih/bibit yang diproduksi lebih besar daripada daya serap pasar. Selain itu, Pusat Perbenihan juga memberi pelayanan berupa alih teknologi usaha tani, pasca panen dan penyiapan benih/bibit, menjalin kerja sama dengan penghubung, pedagang besar, serta pengecer benih/bibit. Dalam menjalankan fungsinya, Pusat Perbenihan bertindak proaktif, tidak menunggu pelanggan (customer) datang, melainkan langsung mendefinisikan kebutuhan mereka, serta aktif memperlengkapi diri dalam rangka memenuhi standar service excellence (pelayanan prima). Lingkup kerja Pusat Perbenihan semacam ini adalah pelayanan internal DIY. Yogyakarta sebagai Seed Center Berdasarkan persepsi ini, lahan yang masih tersedia akan diprioritaskan untuk usaha tani (farming) yang diarahkan pada produksi benih/bibit berkualitas (benih Bina), yakni benih/bibit dengan kualitas tersertifikasi (certified quality). Yogyakarta akan berposisi sebagai pemasok kebutuhan benih/ bibit untuk skala nasional hingga intemasional. Untuk mengimplementasi gagasan Yogyakarta sebagai Pusat Perbenihan, secara sistematis mesti dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu sumber daya manusia 2. Adopsi dan penerapan teknologi tinggi perbenihan/perbibitan 3. Investasi baru berisiko tinggi (high risk investment) 4. Penciptaan peluang pasar dan positioning produk perbenihan/perbibitan dengan prinsip 7 tepat (tepat dalam hal jumlah, waktu, harga, lokasi, jenis/breed/varietas, mutu, dan pelayanan). Pasar nasional (antar Provinsi) bisa dirintis melalui kerja sama dengan Direktorat lingkup pertanian. 5. Memiliki kapasitas penyangga (buffer Capacity) untuk mengatasi carry over. 6. Penaptaan brand name dan trade mark produk benih/bibit. Sebagai contoh, bibit kambing Peranakan Ettawa (PE) asal Kaligesing (Purworejo) mengalami degradasi citra sebagai kambing bibit unggul. Ini menjadi momentum yang sangat tepat untuk me-launching bibit kambing PE produks Samigaluh (Kulonprogo), yang ternyata lebih potensial untuk dikembangkan di kabupaten tersebut dibandingkan dengan sapi perah ataupun sapi potong. 7. Seiring dengan makin meningkatnya popularitas pertanian organik (organic farming), JSC hendaknya mampu meluncurkan produk benih/ bibit untuk pertanian organik, yang tidak rakus Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 35

50 pupuk, tahan penyakit hingga tidak membutuhkan asupan pestisida kimiawi. Dimulai dari hulu perbenihan/perbibitan, kiranya frekuensi gugatan (klaim) terhadap produk pertanian ekspor dari Indonesia karena alasan tidak ramah lingkungan akan menurun. Kondisi dan Permasalahan Perbenihan/ Perbibitan Aktualisasi gagasan Jogja Seed Center harus mempertimbangkan kondisi serta sejumlah masalah terkait perbenihan/perbibitan, antara lain: 1. Dalam hal plasma nutfah, Indonesia cukup kaya dalam hal keragaman hayati, namun sangat lemah dalam pengelolaannya dan masih tergolong miskin dalam hal kepemilikan plasma nutfah bemilai ekonomi tinggi. Pengelolaan plasma nutfah yang ada seyogyanya dilakukan oleh lembaga yang kuat langsung di bawah Presiden. 2. Penemuan varietas baru di Indonesia termasuk lambat karena hampir seluruh kegiatan pemuliaan ditangani Pemerintah. Peraturan perundangan terkait dengan pelepasan varietas kiranya perlu ditinjau kembali. 3. Rendahnya nilai komersial dan rekapitalisasi usaha yang bergerak di bidang perbenihan/ perbibitan sehingga animo pelaku usaha untuk menekuni industri perbenihan/perbibitan masih rendah. 4. Pengendalian dan pengawasan mutu belum berjalan efektif. Sertifikasi benih/bibit sebagai suatu mekanisme pengendalian mutu dipandang terlalu mahal dan kontraproduktif terhadap upaya efisiensi produksi dan daya saing produk. Sebagaimana dalam industri barang dan jasa pada umumnya, telah mulai dilakukan pula penerapan manajemen mutu (quality management principles) dalam proses produksi benih/bibit dengan melibatkan sertifikasi dari institusi independen yang terakreditasi menurut standar internasional. Dengan mekanisme terakhir ini, produsen benih/bibit yang telah memperoleh sertifikat sistem mutu dapat mencantumkan logo jaminan mutu dalam setiap kemasan produk. Kedua mekanisme tersebut memiliki landasan ilmiah yang kuat serta dapat menjadi alat efektif dalam pengendalian mutu. Namun demikian, penerapan keduanya masih perlu diperkuat sebelum dapat memberikan hasil yang diharapkan. 5. Kebijakan Pemerintah yang mengait masalah perbenihan/perbibitan tidak selalu selaras dengan keinginan dunia usaha. Selama tiga puluh tahun terakhir telah banyak diterbitkan kebijakan dan peraturan perbenihan/perbibitan oleh Pemerintah. Beberapa peraturan dipandang terlalu ketat, tidak fleksibel, dan sulit diimplementasi. Sebagai contoh, proses sertifikasi benih kedele membutuhkan rejim waktu tertentu yang memungkinkan benih mengalami penurunan daya tumbuh sebelum siap dipasarkan. 6. Adopsi varietas unggul oleh pelaku usaha agribisnis tergolong lambat, pada umumnya disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan benih/bibit dan belum terciptanya sistem informasi yang baik di antara produsen dan pengguna benih/bibit. Tantangan, Peluang dan Peran Pihak Terkait 1. Tantangan dan Peluang a. Lahan di DIY memiliki variabilitas yang tinggi dalam hal kesamaan dan daya dukung terhadap tanaman. Di satu sisi, hal ini merupakan tantangan yang cukup menyulitkan bagi peningkatan produktivitas. Di lain pihak, bisa diciptakan peluang untuk 36 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

51 menghasilkan benih/bibit untuk berbagai sifat dan daya dukung lahan. b. Saat ini banyak beredar sertifikat palsu yang menunjukkan buruknya mekanisme pengawasan mutu benih/bibit. Perlu diciptakan fungsi pelacakan benih/bibit untuk mengawasi perjalanan benih/bibit dari pemulia atau produsen benih/bibit hingga pengguna akhir (end user). c. Luas lahan untuk kehutanan makin sempit, penjarahan tanaman hutan makin banyak, sementara benih/bibit di sumber-sumber benih/bibit makin sedikit. Benih/bibit untuk tanaman hutan memiliki daur produksi yang panjang, mencapai sepertiga dari daur biologisnya. Secara praktis, diperlukan waktu sedikitnya 18 tahun (untuk tanaman pinus) hingga 45 tahun (misalnya tanaman jati) untuk dapat dihasilkan benih/bibit berkualitas. Perlu dikembangkan model perbenihan/perbibitan tanaman hutan yang tentunya berbeda dari model-model untuk tanaman pangan, hortikultura, peternakan ataupun perikanan. Saat ini tengah dikembangkan benih/bibit jati genjah yang bisa dipanen pada umur 30 tahun (umur panen jati pada umumnya 50 tahun). d. Masyarakat cenderung menyukai produkproduk instan, termasuk benih/bibit tanaman hutan, seperti benih jatimas asal Thailand, yang merupakan hasil pengembangan dergan teknik kultur jaringan. Namun demikian, uji multilokasi belum dilakukan sebagaimana mestinya. Benih-benih lokal justru lebih sesuai dengan kondisi tanah, dan dimungkinkan memiliki daya serap serta akseptabilitas di kalangan petani. e. Untuk kebutuhan benih/bibit petani yang berkecenderungan selalu meningkat, pemenuhannya dari segi kualitas belum memuaskan. Di lain pihak, benih eks impor seakan membanjiri pasar benih lokal. 2. Peran Masyarakat dan Petani Masyarakat petani merupakan ujung tombak dalam implementasi gagasan JSC. Melalui sosialisasi yang efektif, petani akan makin menyadari arti penting benih/bibit berkualitas sebagai input agribisnis yang amat menentukan. Petani didorong untuk mentransformasi jenis usahatani dari orientasi produksi konsumsi ke arah produksi input. Insentif yang diperoleh petani berupa meningkatnya nilai tukar komoditas pertanian (farmer s exchange value) yang menjanjikan peningkatan pendapatan usaha tani. Sebagai pusat perbenihan/perbibitan, masalahmasalah yang terkait dengan ketersediaan benih/ bibit pada saat dibutuhkan petani tidak akan terjadi lagi. Misalnya, di Kulonprogo, di kalangan petani sayuran, benih/bibit impor amat dominan penetrasinya. Pada saatnya nanti, DIY adalah penghasil benih/bibit, bukan konsumen benih/bibit, sehingga masalah akan bergeser ke arah penciptaan peluang pasar, positioning produk benih/bibit ke pasar nasional maupun global. 3. Peran Swasta Swasta atau pebisnis dipastikan menjadi pelaku-pelaku utama bisnis perbenihan/perbibitan. Menggagas JSC berarti menggagas sebuah gerakan masyarakat berorientasi bisnis untuk memberdayakan diri dengan dukungan fasiftasi dan kebijakan Pemerintah. JSC dari sudut pandang swasta adalah sebuah solusi dari potensi yang hingga saat ini justru mengalami kebuntuan aktualisasi : banyak tumbuh penangkar, luas lahan masih memadai untuk produksi benih/bibit, namun pemasaran penuh ketidakpastian. Ide JSC diharapkan mampu menjelmakan Yogyakarta menjadi pusat produksi benih/bibit, pusat perdagangan benih/bibit, serta pusat informasi perbenihan/perbibitan. Tabel di bawah ini merinci kebutuhan benih beberapa komoditas tanaman Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 37

52 pangan utama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi, petani padi menggunakan hanya 20-30% benih berkualitas dari angka kebutuhan, sementara untuk benih palawija (jagung, kedele, kacang tanah) bahkan kurang dari 5%. Jika diingat bahwa produksi benih DIY jauh lebih besar dibanding angka kebutuhan, maka penetrasi pasar ke Provinsi lain menjadi alternatif yang paling baik untuk dipilih, di samping petani DIY perlu diberi informasi yang memadai tentang urgensi penggunaan serta ketersediaan benih berkualitas DIY. Jelas, peran swasta yang sedemikian membutuhkan wadah berupa jejaring informasi dan jejaring kerja yang bisa diciptakan dalam konteks JSC. 1 Padi 4.208, Jagung 2.875, Kedele 1.457, Kacang Tanah 2.306, Kacang Hijau 22,55 25 Sumber : Dinas Pertanian Propinsi DIY Kebutuhan Benih DIY Tahun 2004 No Komoditas Kebutuhan Benih (ton) Penggunaan (kg/ha) 4. Peran Lembaga Terkait Perguruan tinggi amat berperan dalam pewujudan JSC dengan sumber daya manusia yang handal dan berkeahlian, laboratorium serta perangkat analisis yang memadai, dan akses teknologi yang amat bagus. Perguruan tinggi kiranya bisa menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan dalam kerangka penumbuhan serta operasionalisasi JSC nantinya. Perangkat Kebijakan Pemerintah Dalam rangka akselerasi perwujudan gagasan JSC, beberapa hal terkait dengan kebijakan Pemerintah bidang perbenihan/perbibitan dipandang amat penting, antara lain: a. Dalam rangka pelestarian dan pengkayaan plasma nutfah perlu dilakukan pengelolaan secara intensif oleh Pemerintah. Untuk itu perlu dibentuk lembaga khusus untuk mengelola plasma nutfah di tingkat nasional dan daerah yang didukung oleh pemangku kepentingan (stakeholders) perbenihan/perbibitan yang tergabung dalam MPPI. b. Kebijakan yang kondusif untuk memacu partisipasi swasta dalam penemuan varietas unggul, seperti penerapan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman, kebijakan investasi yang memberikan insentif bagi pelaku pemuliaan. c. Kebijakan investasi yang kondusif untuk memacu partisipasi swasta dalam produksi benih/bibit, seperti tax holiday, regulasi impor dan ekspor benih/bibit yang menguntungkan bagi dunia usaha, serta kemudahan akses ke sumber-sumber permodalan. d. Penguatan kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya manusia dalam proses sertifikasi dan pengendalian mutu benih/bibit. Untuk itu diperlukan penegakan produk hukum dalam bidang perbenihan/perbibitan. e. Perlu pemilahan tegas antara peran Pemerintah dan swasta dalam pengembangan industri perbenihan/perbibitan. Peran swasta lebih difokuskan pada varietas-varietas komersial, sedangkan peran Pemerintah lebih dominan pada varietas-varietas yang belum komersial. f. Perlu adanya integrasi antara program pengembangan agribisnis dengan pengembargan industri perbenihan/perbibitan. Perlu dibangun jaringan informasi pasar yang mudah diakses oleh produsen dan konsumen benih/bibit. Program/Kegiatan, dan Aksi Program dan aksi untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai Pusat Perbenihan atau penumbuhan Pusat Perbenihan di Provinsi DIY, antara lain sebagai berikut: 38 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

53 1. Analisis potensi wilayah untuk perbenihan dan perbibitan. 2. Studi kelayakan usaha bisnis perbenihan/ pembibitan dan kelayakan pasar benih/bibit. 3. Pembangunan database dan sistem informasi perbenihan/perbibitan off-line info center, display, maupun on-line. 4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia perbenihan/perbibitan (pemulia dan analis benih/ bibit). 5. Koordinasi reguler antara pelaku usaha perbenihan/perbibitan, Pemerintah, perguruan tinggi dan sumber-sumber teknologi lainrrya 6. Penguatan plasma nutfah DIY. 7. Penelitian perbenihan/perbibitan. 8. Kampanye penggunaan benih/bibit berkualitas 9. Akselerasi adopsi teknologi bidang perbenihan/ perbibitan (on-farm dan off-farm). 10 Pewirausahaan pelaku usaha perbenihan/ perbibitan, termasuk UPTD yang bergerak di bidang perbenihan/perbibitan dan peluangnya untuk ditingkatkan menjadi BUMD. 11. Pembangunan unit-unit pengolahan benih/bibit berskala komersial. 12.Pembangunan gudang-gudang penyangga (buffer storage) untuk mencegah carry-over. 13. Identifikasi lokasi untuk sumber benih/bibit tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. 14.Penggalakan investasi bidang perbenihan/ perbibitan. Penutup Satu hal yang layak diperhitungkan adalah menyangkut implikasi transformasi dari gagasan JSC. Mengingat petani menjadi ujung tombak atau pelaku utama dalam sistem perbenihan/perbibitan, maka mereka yang sebelumnya merupakan penghasil produk pertanian harus mengubah peran dalam sistem agribisnis, yakni sebagai penghasil input. Perubahan ini pada tingkat lapang bukanlah persoalan sederhana. Karenanya, perlu dilakukan berbagai studi kelayakan teknis dan kelayakan pasar untuk menjustifikasi pelaksanaan peralihan profesi. Tentu saja, pada tahap awal peralihan profesi tersebut, perlu disiapkan paket-paket subsidi sampai dengan para petani benih/bibit mencapai settlement (kemapanan) usaha. Sumber: Dinas Pertanian Provinsi DIY. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 39

54 Boks: Survei ei Penumpang Pesa esawat at Udara Peran pariwisata dalam pengembangan ekonomi DIY tidak diragukan lagi, karena output sektor ini mempunyai efek multiplier yang sangat besar bagi sektor-sektor lainnya. Sebagai daerah yang sedikit sumber daya alam, membuat Yogyakarta menkonsentrasikan diri dalam pengembangan sektor tersier dalam hal ini sektor yang lebih didominasi oleh peran Jasa. Upaya perbaikan terus menerus terhadap kinerja sektor pariwisata terus dilakukan, diantaranya pada tahun 2007 Badan Pariwisata Daerah (Baparda) Provinsi DIY melakukan survei terkait dengan passenger exit. Dari hasil survei di lapangan, secara garis besar dapat diketahui beberapa permasalahan yang dihadapi pariwisata Yogyakarta sebagai berikut: 1. Kondisi tranportasi masih menjadi keluhan utama para responden baik wisman maupun wisnus. 2. Promosi untuk wisman, khususnya melalui website masih minim dan kurang mengena, mengingat sebagian besar sumber informasi wisman tentang wisman adalah melalui internet. 3. Yogyakarta masih merupakan tujuan yang murah meriah, terutama bagi responden wisman sehingga berdampak pada prestige dan tingkat pembelanjaan yang masih relatif rendah. 4. Minimnya penerbangan internasional langsung ke Jogja, membuat waktu tempuh wisman ke Yogyakarta menjadi lama dan relatif lebih mahal. 5. Pengurusan visa bagi sebagian responden wisman masih terlalu lama dan berbelit-belit. 6. Kondisi keamanan dalam lingkup kecil (kehilangan barang, pemaksaan oleh pengasong & guide, kecelakaan lalu lintas) masih sering dikeluhkan, terutama oleh responden wisman. 7. Penyebaran brosur dan promosi masih menggunakan bahasa inggris dan mata uang selalu dalam US$, belum menggunakan bahasa spesifik sesuai target pasar berikut dengan mata uang setempat. Misal : bahasa Belanda dengan mata uang Euro, bahasa Jepang dengan mata uang Yen. 8. Keberadaan polisi pariwisata dan aparat keamanan masih dirasakan di beberapa titik tertentu saja, dan belum menyeluruh di destinasi wisata. Berdasarkan kesimpulan hasil survei exit passenger tahun anggaran 2007 tersebut, diperoleh beberapa pokok strategi yang meliputi peran stakeholder, pengembangan produk, dan pengembangan promosi dan komunikasi. Peningkatan peran stakeholder pariwisata DIY dalam peningkatan kuantitas dan kualitas DIY sebagai destinasi wisata. 1. Pemerintah Daerah di Provinsi DIY dan instansi terkait: a. Koordirlasi pemasaran antar instansi yang terkait dengan sektor pariwisata secara terpadu. b. Sikap proaktif dari pemerintah daerah dan instansi terkait yang optimal agar dapat dilakukan pengambilan kebij akan strategis sehingga meningkatkan efisiensi kerja dalam koordinasi promosi pariwisata Jogja. 2. Dinas Imigrasi (Departemen hukum dan HAM): a. Masa berlaku visa, khususnya visa on arrival sebaiknya diperpanjang masa berlakunya dari 30 hari menjadi 60 hari. b. Jika memungkinkan visa on arrival dirubah menjadi bebas visa sehingga memudahkan wisatawan untuk berkunjung. 40 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

55 c. Birokrasi pengurusan visa harus dipersingkat dan ticlak memakan waktu agar tidak menjadi faktor penghambat berkunjungnya wisatawan ke Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta pada khususnya. 3. Maskapai penerbangan dan PT Angkasa Pura I a. Kesediaan maskapai penerbangan untuk membuka rute penerbangan internasional langsung ke Jogja, karena akan menghemat waktu dan biaya bagi wisatawan yang datang melalui Singapura. b. Koordinasi dam peran serta maskapai, operator bandara dengan semua pihak untuk meningkatkan kunjungan wisman ke Yogyakarta dengan berbagai upaya agar memenuhi standar minimum penumpang pesawat sehingga penerbangan Internasional langsung dari/ke Yogyakarta tidak menimbulkan kerugian bagi maskapai penerbangan. c. Standar keamanan juga harus ditingkatkan dalam rangka memberikan citra dan kepercayaan terhadap tingkat keselamatan transpostasi udara Indonesia. 4. Biro Perjalanan Wisata (ASITA): a. Biro perjalanan wisata diharapkan dapat mengemas potensi-potensi wisata yang ada dengan lebih spesifik, karena sebagian besar wisnus masih menggunakan jasa biro perjalanan hanya sebatas pembelian tiket transportasi (terutama tiket pesawat udara). b. Perlu perhatian khusus untuk pasar wisata pendidikan, kuliner, klub motor, event musik, hash house harriers (kelompok lari), parachuters, klub pecinta alam baik dari dalam maupun luar negeri sehingga menciptakan daya tarik yang lebih. c. Biro perjalanan juga dapat mengemas paketpaket wisata yang ditujukan bagi para pelajar dari luar negeri yang sedang melakukan kegiatan akademis yang ingin memanfaatkan waktu liburan mereka untuk berwisata. 5. Hotel dan Restoran (PHRI): a. Peningkatan sarana akomodasi non bintang sebagai salah satu pilihan yang menurut sebagian responden termasuk value for money. b. Pihak hotel dan restoran harus lebih proaktif dalam membaca dan memanfaatkan peluang pasar dengan usaha produktif untuk melayani wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Termasuk segmen-segmen wisatawan khusus seperti para expatriate. 6. Pengelola Objek dan Daya Tarik Wisata: a. Penyedia atraksi wisata DIY harus meningkatkan inovasi dengan memperkaya atraksi wisata yang dipertunjukkan sehingga dapat semakin menarik minatwisatawan baik mancanegara maupun domestik selain ke tempat-tempat yang sudah secara tradisional dikunjungi oleh wisatawan seperti Malioboro, Keraton, dan Candi Prambanan. b. Pengelolaan museum yang lebih profesional dan menarik yang banyak terdapat DIY sebagai salah satu potensi yang masih mempunyai tingkat kunjungan relatif rendah. c. Peningkatan profesionalitas kerja dalam berhubungan dengan wisatawan sehingga dalam jangka panjang wisatawan akan mengenal Yogyakarta sebagai salah satu destinasi dengan objek dengan pelayanan yang memuaskan. 7. Transportasi (DLLAJR, SATLANTAS POLRI): a. Perbaikan sistem transportasi secara menyeluruh untuk meningkatkan tingkat keamanan dan kenyamanan berlalu lintas karena transportasi menempati urutan ketiga bagi responden wisman maupun responden wisnus. Bab 1 - Kondisi Makroekonomi 41

56 b. Peningkatan kesadaran tertib berlalu lintas bagi masyarakat. c. Menekan angka pungutan tidak resmi di jalan raya. d. Perbaikan jalan dan rambu-rambu lalu lintas. 8. Pelaku Bisnis (KADIN): a. Agresif dalam mengantisipasi kunjungan wisatawan ke Yogyakarta bukan hanya dengan memberikan diskon semata. b. Menjalin hubungan dengan pihak lain dalam hal pemasaran dan permodalan. c. Mengoptimalkan fungsi asosiasi untuk menyalurkan aspirasi. 9. Pemandu Wisata (HPI): a. Peningkatan tingkat pengetahuan dan penguasaan materi yang menentukan kemampuan dan kualitas dari seorang pemandu. b. Penguasaan hal-hal yang kecil sebagai tambahan informasi yang berharga bagi para wisatawan. c. Sikap yang sopan dan profesional serta tidak memaksa akan meningkatkan nilai dari pemandu itu sendiri. 10. Aparat Keamanan (POLRI): a. Keamanan sebagai salah satu faktor terpenting atas kelangsungan pariwisata harus diatur secara sistematis dengan arahan dan tugas yang jelas sehingga keamanan dalam wilayah Yogyakarta akan selalu aman dan terkendali tanpa menghilangkan faktor kenyamanan. b. Optimalisasi keberadaan Polisi Pariwisata sebagai satu realisasi dari upaya untuk mewujudkan hal diatas, dengan pengarahan yang jelas tentang tugas dan wewenangnya sehingga dalam tugas di lapangan tidak terjadi kerancuan sehingga dapat maksimal dalam melayani masyarakat dan wisatawan. Pengembangan produk wisata yang disesuaikan dengan permintaan pasarpasar utama wisatawan DIY 1. Pengembangan produk wisata Yogyakarta harus bervariasi disesuaikan dengan minat wisatawan agar dapat mendorong kunjungan ulang dan memperpanjang lama tinggal wisatawan. 2. Variasi produk tidak hanya sekedar keragaman produk wisata namun juga variasi dari segi kualitas karena Yogyakarta masih tergolong sebagai destinasi yang murah meriah. 3. Memperluas segmen pasar wisatawan dengan penyediaan objek dan daya tank wisata yang lebih berkelas dan berkualitas agar dapat mendatangkan nilai ekonomis yang lebih besar Yogyakarta mempunyai sisi negatif sebagai destinasi yang murah sehingga kurang mempunyai prestige bagi segmen wisatawan menengah keatas sehingga perutaran uang yang masuk ke Yogyakarta terbatas dari penjualan dengan nilai yang kurang besar. Pengembangan promosi dan komunikasi pemasaran pariwisata sesuai sasaran pasar. 1. Optimalisasi promosi melalui internet sebagai sumber informasi dan panduan utama wisman dalam melakukan wisata ke Jogja (Baparda DIY, Pemda). 2. Pemilihan bahasa sesuai dengan negara asal para wisatawan dan juga pemilihan satuan mata uang bagi media promosi wisata yang harus disesuaikan dengan pasar wisatawan (ASITA, Maskapai Penerbangan). 3. Peningkatan pengetahuan bagi masyarakat Yogyakarta sendiri tentang pengetahuan pariwisata Jogja, karena sebagian besar wisatawan nusantara menjadikan saudara/ teman sebagai sumber informasi tentang Jogja (Baparda DIY, Humas Pemda). 42 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi

57 Bab 2: Perkembangan Inflasi INFLASI TAHUNAN DAN BULANAN (2) % (yoy) Grafik 2.1 Inflasi Kota Yogyakarta dan Nasional Nasional (mtm) Kota Yogyakarta (mtm) Nasional (yoy) Kota Yogyakarta (yoy) % (mtm) (1) Sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya, perkembangan harga-harga barang dan jasa secara umum di Kota Yogyakarta pada tahun 2007 relatif terkendali sebagaimana tercermin dari realisasi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) selama tahun 2007 yang mencapai sebesar 7,99% (yoy), tidak jauh berbeda dengan angka proyeksi sebesar 7,00% 9,00%. Angka inflasi ini lebih rendah dari inflasi tahun 2006 yaitu 10,41% dan inflasi tahun 2005 sebesar 14,98%. Jika dibandingkan dengan inflasi nasional, laju inflasi Kota Yogyakarta tersebut relatif tinggi karena inflasi Nasional 2007 hanya mencapai 6,59%. Nampaknya pengaruh kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005 mulai berangsur menghilang. Tabel 2.1 Inflasi Bulanan No Kelompok % (mtm) I-2007 II-2007 III-2007 IV-2007 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 1 Bahan Makanan Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi & Olahraga Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan UMUM Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. Penurunan laju inflasi tahunan Kota Yogyakarta pada tahun 2007 juga tercermin pada perkembangan inflasi bulanan pada tahun 2007 yang secara ratarata tercatat 0,64%, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006 yang secara rata-rata tercatat 0,83% dan rata-rata inflasi bulanan tahun 2005 sebesar 1,18%. Pola musiman inflasi 2007 agak berbeda dengan inflasi Pada tahun 2006 tingginya inflasi didorong oleh inflasi bulan Januari yang dipicu oleh cepatnya kenaikan harga makanan sebagai akibat meningkatnya permintaan sehubungan dengan adanya perayaan hari raya keagamaan. Di tahun 2007, inflasi didorong oleh inflasi pada bulan Agustus 2007 sebesar 1,40% (mtm), yang disumbang oleh kelompok Pendidikan, Rekreasi & Olahraga terutama subkelompok Jasa Pendidikan yang seluruh komoditasnya, kecuali SLTP, menduduki 5 besar komoditas penyumbang terbesar pembentukan inflasi bulan Agustus Besarnya pengaruh ini merupakan faktor musiman, dimana pada bulan Agustus 2007 bertepatan dengan dimulainya tahun ajaran baru dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Bab 2 - Perkembangan Inflasi 43

58 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Perguruan Tinggi. Selain itu, pada bulan Agustus juga terjadi kenaikan harga makanan terkait dengan persiapan masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadhan tercermin dari andil kelompok Bahan Makanan sebesar 0,28% yang menduduki peringkat 2 di bulan ini. Pada awal tahun 2007, inflasi tercatat 0,88% (mtm) didorong oleh kelompok Bahan Makanan yang mengalami kenaikan harga sebesar 2,76% (mtm) dengan sumbangan sebesar 0,52%. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga beras sebagai dampak makin berkurangnya stok sebagai implikasi mundurnya musim tanam. Andil komoditas Beras pada pembentukan bulan ini tercatat sebesar 0,14%. Memasuki bulan Februari 2007 tekanan inflasi Kota Yogyakarta melemah ditandai dengan turunnya angka inflasi bulanan menjadi 0,54%, yang masih disumbang oleh kelompok Bahan Makanan sebesar 0,18% dengan perubahan harga sebesar 0,92%. Pada bulan Maret 2007, tekanan harga semakin melemah dicerminkan dari penurunan angka inflasi menjadi sebesar 0,43% (mtm), didorong oleh penurunan harga kelompok Bahan Makanan sebesar 0,26% dengan kontribusi negatif sebesar -0,05%. Penurunan harga ini dipicu oleh kontribusi negatif Beras sebesar -0,24% bertepatan dengan tibanya masa panen. Selanjutnya tekanan inflasi Kota Yogyakarta semakin melemah ditandai dengan inflasi April 2007 tercatat 0,02% (mtm) yang didorong oleh kelompok Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan dengan sumbangan sebesar 0,07%. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena meskipun peningkatannya kecil, pada bulan Mei 2007 tekanan inflasi Kota Yogyakarta meningkat dengan peningkatan angka inflasi bulanan menjadi 0,07% (mtm). Tekanan ini semakin menguat pada bulan Juni 2007 dicerminkan dari angka inflasi sebesar 0,09% (mtm). Kelompok yang memberikan kontribusi terbesar adalah kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau dengan sumbangan sebesar 0,19%. Inflasi Juli 2007 semakin melonjak dengan angka inflasi sebesar 0,78% (mtm) didorong oleh kelompok Bahan Makanan dengan sumbangan sebesar 0,47% dengan kenaikan harga sebesar 2,52% (mtm), diikuti oleh kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar dan kelompok Sandang dengan sumbangan masingmasing sebesar 0,18% dan 0,06% serta dengan perubahan harga masing-masing sebesar 0,72% dan 1,16%. Komoditas penyumbang pembentukan inflasi bulan Juli adalah Tarif Air Minum PAM dengan andil sebesar 0,16%. Kenaikan harga Tarif Air Minum PAM merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri dimana tarif dasar air harus ditinjau setiap dua tahun. Untuk Kota Yogyakarta, sebenarnya itu dilakukan 44 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

59 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 tahun 2006 lalu, tetapi ditunda karena gempa. Tarif baru dikenakan untuk kategori sosial, rumah tangga, instansi pemerintah, niaga, dan industri. Pada bulan September, tekanan harga sedikit melemah dicerminkan dari angka inflasi sebesar 0,95% (mtm). Kelompok yang memberikan kontribusi terbesar adalah kelompok Bahan Makanan dengan sumbangan sebesar 0,40% dengan kenaikan harga mencapai 2,11% (mtm), diikuti oleh kelompok Pendidikan, Rekreasi & Olahraga dengan sumbangan sebesar 0,19%. Kenaikan harga bahan makanan didorong oleh kenaikan harga Pisang sebesar 14,79% dengan sumbangan 0,05%. Pada bulan puasa, komoditas ini memang banyak diminati masyarakat, terutama masyarakat muslim, karena banyak diolah sebagai makanan pembuka puasa. Sedangkan kenaikan harga kelompok Pendidikan, Rekreasi & Olahraga didorong oleh peningkatan harga biaya Sekolah Dasar dengan andil sebesar 0,08%. Memasuki bulan Oktober 2007, tekanan inflasi Kota Yogyakarta meningkat, ditandai dengan peningkatan angka inflasi bulanan menjadi 1,09% (mtm). Inflasi Oktober 2007 masih didorong oleh kelompok yang sama dengan periode September 2007, yaitu kelompok Bahan Makanan dan kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar dengan sumbangan masing-masing sebesar 0,51% dan 0,20%. Komoditas penyumbang pembentukan inflasi bulan Oktober 2007 adalah Mie dengan andil sebesar 0,19% (mtm) yang disebabkan oleh kelangkaan minyak tanah sebagai salah satu bahan pendukung pembuatan Mie. Kultur masyarakat dalam menggunakan minyak tanah ternyata sulit dirubah, meskipun pemerintah telah memberikan subsidi kompor gas sebagai minyak tanah. Selain perubahan kultur masyarakat, masih terdapat kendala lain yang menyebabkan program konversi minyak tanah ini belum berjalan dengan baik, antara lain pendataan calon penerima, distribusi kompor gas tidak tepat sasaran hingga kerusakan paket kompor gas. Belum berjalannya program ini justru telah diikuti dengan pengurangan pasokan minyak tanah, sebagai tindak lanjut program konversi minyak tanah. Dengan demikian, minyak tanah DIY menjadi langka sehingga menyebabkan kenaikan harga yang selanjutnya membawa implikasi kenaikan harga komoditas lain. Inflasi Kota Yogyakarta pada bulan selanjutnya, November 2007, sedikit melemah, dengan penurunan angka inflasi bulanan menjadi 1,01% (mtm). Kelompok Bahan Makanan masih mendominasi pembentukan inflasi bulan November 2007 dengan andil sebesar 0,28% (mtm). Sedangkan komoditas penyebab tingginya angka inflasi bulan ini adalah Nasi dengan andil sebesar 0,15%. Bab 2 - Perkembangan Inflasi 45

60 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Pada bulan penutup tahun 2007, tekanan harga barang dan jasa di Kota Yogyakarta semakin melemah, tercermin dari angka inflasi bulanan yang turun menjadi 0,47% (mtm). Kelompok Bahan Makanan masih memberikan kontribusi terbesar dengan andil sebesar 0,27%, yang merupakan andil subkelompok Padipadian, Umbi-umbian sebesar 0,22% dan didorong oleh besarnya kontribusi komoditas Beras sebesar 0,13% (mtm). Gagal panen atau puso yang terjadi hingga pertengahan 2007, diduga mempengaruhi kenaikan harga beras pada Desember Berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi DIY, pada periode Januari-Agustus 2007 luas tanaman padi puso mencapai 365 hektar, dan sekitar 36% diantaranya terjadi di daerah lumbung padi, seperti Sleman dan Bantul. Meskipun luas padi puso hanya 0,42% dari total luas panen hektar, jumlah kehilangan produksi padi DIY cukup banyak. Dengan tingkat produktivitas lima ton per hektar (2006) maka jumlah produksi padi yang hilang mencapai ton. Namun demikian, dengan Operasi Stabilisasi Harga Beras (OSHB) yang secara rutin dilakukan oleh Perum Bulog, tekanan harga pada Beras relatif kecil, hanya 2,95% (mtm). Tabel 2.2 Sumbangan Komponen Inflasi % Tahun Inti Volatile Foods Administered Price Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi IHK ,84 4,77 8,49 1,27 5,94 0,91 6, ,44 6,57 14,96 2,28 40,33 6,13 14, ,23 7,44 16,23 2,47 2,68 0,50 10, ,07 5,38 12,90 2,07 3,18 0,55 7,99 Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. Tekanan inflasi Kota Yogyakarta pada tahun 2007 terutama didorong oleh faktor permintaan yang tercermin dalam dominasi inflasi inti (core inflation) dalam pembentukan inflasi, yakni mencapai 5,38%. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dominasi core Inflation pada pembentukan inflasi mengalami penurunan, dimana pada tahun 2006 memiliki andil 7,44%. Penurunan ini karena masih minimnya pengaruh imported inflation terhadap inflasi Kota Yogyakarta. Selain itu, tekanan imported inflation secara nasional juga teredam oleh relatif stabilnya nilai tukar rupiah. Penurunan ini juga dipengaruhi oleh relatif stabilnya ekspektasi inflasi masyarakat serta faktor interaksi permintaan dan penawaran Grafik 2.2 Andil Komponen Inflasi Core Adm Volatile % 46 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

61 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Grafik 2.3 Disagregasi Inflasi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan-07 Feb Administered Volatile Foods IHK Core Price Grafik 2.4 Perkembangan Harga Emas dan Minyak Dunia Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Emas ($/OZ) Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Minyak (USD/Barrel) Nov-07 Dec-07 % (yoy) Besarnya andil core inflation disebabkan oleh besarnya andil Akademi/ Perguruan Tinggi sebesar 0,78%. Hal ini sesuai dengan karakteristik Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar yang banyak diminati oleh calon mahasiswa baik dari DIY maupun luar DIY sebagai tempat belajar. Selain itu Tukang Bukan Mandor juga memberikan andil besar yakni 0,37%. Andil Tukang Bukan Mandor ini seiring dengan masih berjalannya pembangunan rumah maupun tempat usaha sebagai upaya rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. Sedangkan sumbangan inflasi komoditas makanan (volatile foods) tercatat sebesar 2,07%, turun dari andil volatile foods pada tahun 2006 sebesar 2,47%. Andil volatile foods didorong oleh andil Minyak Goreng sebesar 0,47% yang mengalami kenaikan harga sebesar 49,42%. Kenaikan harga komoditas ini disebabkan penemuan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan bio fuel mengakibatkan ekspor CPO lebih menguntungkan jika dibandingkan sebagai bahan produksi Minyak Goreng. Sehingga produksi Minyak Goreng menjadi terbatas yang selanjutnya membawa implikasi terhadap kenaikan harga minyak goreng yang pada triwulan II-2007 mencapai Rp10.000,00 per liter. Kondisi tersebut terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Selain itu, Bawang Merah juga memberikan andil yang besar sebesar 0,30%. Curah hujan yang tidak menentu sepanjang tahun 2007 akibat anomali musim menyebabkan komoditas ini cepat membusuk sehingga jumlah stoknya menurun. Pada tahun 2007 inflasi komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah (administered prices) memberikan sumbangan sebesar 0,55%, sedikit mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan sumbangannya pada tahun 2006 sebesar 0,50% dan pada tahun 2005 sebesar 6,13%. Tingginya andil administered price inflation pada tahun 2005 diakibatkan kenaikan BBM. Sedangkan pada tahun laporan, sumbangan komponen ini disebabkan oleh Tarip Air Minum PAM sebesar 0,17% dengan kenaikan harga sebesar 39,26% sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Transpor, Komuni kasi & Jasa Keuangan, 0.41 Pendidikan, Rekre asi & Olahraga, 1.36 Bahan Makanan, 2.62 Grafik 2.5 Andil Kelompok Barang Kesehatan, 0.28 Sandang, 0.49 Makanan Jadi, Minuman, Ro kok & Tembakau, 1.49 Perumahan, Air, Li strik, Gas & Bahan Bakar, 1.46 INFLASI MENURUT KELOMPOK BARANG Kelompok barang dan jasa yang memberikan andil terbesar terhadap pembentukan inflasi Kota Yogyakarta pada tahun 2007 adalah kelompok Bahan Makanan yang mencapai 2,62%, selanjutnya diikuti oleh kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau sebesar 1,49%, kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar sebesar 1,46% dan kelompok Pendidikan, Rekreasi & Olahraga sebesar 1,36%. Sedangkan sumbangan kelompok Sandang, kelompok Bab 2 - Perkembangan Inflasi 47

62 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Transportasi, Komunikasi & Jasa Keuangan dan kelompok Kesehatan memiliki sumbangan di bawah 1,00% yaitu masing-masing sebesar 0,49%, 0,41% dan 0,28%. Tabel 2.3 Perubahan Harga Kelompok Barang No Kelompok % Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil 1 Bahan Makanan 8,57 1,55 14,11 2,53 15,61 2,93 13,31 2,62 2 Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 5,72 1,16 12,73 2,53 13,84 2,84 7,33 1,49 3 Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar 6,61 1,68 12,74 3,18 6,68 1,61 6,18 1,46 4 Sandang 6,59 0,37 7,97 0,42 8,04 0,41 9,33 0,49 5 Kesehatan 6,46 0,43 8,88 0,55 16,09 1,06 4,36 0,28 6 Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 10,58 1,09 10,87 1,08 15,36 1,59 12,58 1,36 7 Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan 5,12 0,71 32,40 5,14 1,50 0,22 2,99 0,41 Inflasi IHK Kota Yogyakarta Inflasi IHK Nasional Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. 6,95 14,98 10,40 7,99 6,40 17,11 6,60 6,59 Apabila dilihat dari peningkatan harganya, peningkatan harga tertinggi dialami oleh kelompok Bahan Makanan yang mencapai 13,31% (yoy), namun lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan harga kelompok ini pada tahun 2006 sebesar 15,61% (yoy). Penurunan ini karena pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005 berangsur menghilang. Kelompok lain yang mengalami kenaikan harga mencapai dua digit adalah kelompok Pendidikan, Rekreasi & Olahraga sebesar 12,58% (yoy). Sedangkan kelompok lainnya mengalami peningkatan harga di bawah 10,00%, dengan peningkatan harga terendah pada kelompok Transportasi, Komunikasi & Jasa Keuangan sebesar 2,99% (yoy). Kelompok Kesehatan yang pada tahun 2006 mengalami peningkatan harga tertinggi yaitu sebesar 16,09% (yoy), pada tahun 2007 hanya mengalami peningkatan harga sebesar 4,36%. Kelompok lainnya yaitu kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar, kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau dan kelompok Sandang masing-masing mengalami peningkatan harga sebesar 6,18% (yoy), 7,33% dan 9,33%. Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan Pendidikan, Rekreasi & Olahraga Kesehatan Sandang Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau Bahan Makanan Grafik 2.6 Perubahan Harga Kelompok Barang 1,50 2,99 4,36 6,18 6,68 7,33 8,04 9,33 12,58 13,84 13,31 15,36 16,09 15, % (yoy) INFLASI MENURUT KOMODITAS Berdasarkan komoditas, beberapa komoditas yang mengalami laju peningkatan harga yang sangat cepat pada tahun 2007 dialami oleh komoditas makanan (volatile foods), yaitu Bawang Merah, Kol Putih/Kubis dan Kelapa dengan peningkatan harga masing-masing mencapai 150,45% (yoy), 84,14% (yoy) dan 81,01% (yoy). Selain mengalami peningkatan harga tertinggi, Bawang Merah juga memberikan andil ke-5 dalam pembentukan inflasi Kota Yogyakarta sebesar 0,30%. 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 - Grafik 2.7 Perkembangan Harga Beberapa Komoditas Bahan Makanan Jan/07 Feb/07 Mar/07 Apr/07 May/07 Jun/07 Beras Minyak Goreng Curah Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras Susu Bubuk Bawang Merah Jul/07 Aug/07 Sep/07 Oct/07 Nov/07 Rp/Kg Dec/07 48 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

63 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Tabel 2.4 Perubahan Harga Komoditas Tertinggi dan Terendah % Ranking Peningkatan Harga Tertinggi Penurunan Harga Terendah Ranking Komoditas Inflasi Andil Komoditas Inflasi Andil 1 Bawang Merah Bawang Putih Kol Putih/Kubis Wortel Kelapa Cabe Merah Mie Kering Instan Labu Siam/Jipang Minyak Goreng Kentang Telur Puyuh Ketimun Tomat Sayur Daun Singkong Tepung Terigu Ketela Pohon Pemeliharaan/Service Telepon Seluler Pasir Televisi Berwarna Tarip Air Minum PAM Emping Mentah Bayam Semangka Daun Melinjo Batu Bata/Batu Tela Terong Panjang Sabun Wajah Tarip Gunting Rambut Wanita Bandeng Susu untuk Bayi Kulkas/Lemari Es Daun Bawang Personal Komputer/Desktop Emas Perhiasan Lele Telur Itik Disket Susu untuk Balita CD-Tape-Rec-Radio Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. Komoditas yang memberikan andil tertinggi dalam pembentukan inflasi Kota Yogyakarta adalah Akademi/Perguruan Tinggi dengan andil sebesar 0,78%, diikuti oleh Minyak Goreng, Nasi dan Tukang Bukan Mandor masing-masing sebesar 0,47%, 0,45% dan 0,37%. Tabel 2.5 Komoditas Pemberi Andil Terbesar terhadap Inflasi Kelompok Komoditas Andil Inflasi Minyak Goreng Bawang Merah Mie Kering Instan Kelapa Daging Ayam Ras Bahan Makanan Telur Ayam Ras Susu Bubuk Beras Susu untuk Balita Pisang Jeruk Nasi Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau Mie Rokok Kretek Filter Soto Tukang Bukan Mandor Kontrak Rumah Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar Pasir Tarip Air Minum PAM Semen Sandang Emas Perhiasan Kesehatan Sabun Mandi Akademi/Perguruan Tinggi Pendidikan, Rekreasi & Olahraga SLTA Sekolah Dasar Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan Pemeliharaan/Service Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. Bab 2 - Perkembangan Inflasi 49

64 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Meskipun pada tahun 2007 perkembangan harga secara umum diwarnai oleh tekanan inflasi yang cukup kuat, yaitu 268 komoditas dari 327 komoditas yang disurvei mengalami peningkatan harga, namun masih terdapat 36 komoditas yang mengalami penurunan harga, sedangkan 36 komoditas lainnya tidak mengalami perubahan harga. Penurunan harga tertinggi pada tahun 2007 dialami oleh Bawang Putih yaitu sebesar 40,76% (yoy), diikuti oleh Wortel sebesar 39,15% (yoy), Cabe Merah sebesar 22,66% (yoy) dan Labu Siam/Jipang sebesar 22,51% (yoy). Tabel 2.4 menyajikan masing-masing dua puluh komoditas yang mencatat peningkatan harga dan penurunan harga tertinggi selama tahun laporan. INFLASI KOTA-KOTA DI PULAU JAWA Pada tahun 2007 Kota Yogyakarta tercatat memiliki angka inflasi kedua tertinggi di antara kota-kota di Pulau Jawa lainnya, setelah Kota Tegal dengan 10 Grafik 2.8 Inflasi Kota-kota di Pulau Jawa % (yoy) angka inflasi sebesar 8,89% (yoy). Kota di Pulau Jawa yang mengalami inflasi 9 8 8,89 tertinggi lainnya adalah Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya dan Kota Jember, masingmasing sebesar 7,87%, 7,72% dan 7,25%. Sedangkan inflasi terendah terjadi di Kota Surakarta yang tercatat sebesar 3,28%. Secara umum sebagian besar laju inflasi kota-kota di Pulau Jawa relatif tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional 2007 yang mencapai 6,59% ,04 Jakarta 7,72 Tasikmalaya 5,25 Bandung 7,87 Cirebon 6,15 Purwokerto 3,28 Surakarta 6,75 Semarang Tegal 7,99 Yogyakarta 7,25 Jember 6,85 Kediri 5,93 Malang Surabaya 6,27 Serang 6,31 Di tingkat nasional, Kota Yogyakarta berada pada peringkat ke-13 Kota yang mengalami inflasi tertinggi. Peringkat pertama terdapat pada Kota Banda Aceh sebesar 11,00% (yoy), berturut-turut diikuti oleh Kota Ternate sebesar 10,43% (yoy), Kota Jayapura sebesar 10,35% (yoy) dan Kota Manado sebesar 10,13% (yoy). 41 kota lainnya, dari 45 kota yang masuk dalam perhitungan inflasi nasional, hanya mengalami inflasi satu digit. Tiga kota di Indonesia yang memiliki inflasi terendah adalah Kota Pangkal Pinang sebesar 2,64% (yoy), Kota Surakarta sebesar 3,28% dan Kota Lhokseumawe sebesar 4,18%. 50 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

65 Boks: Jalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadap Inflasi Kota Yogyakarta Inflasi sebagai salah satu indikator perekonomian bermanfaat untuk formulasi kebijakan ekonomi dalam menjaga stabilitas harga. Dalam rangka menguji perilaku inflasi dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, tidak cukup dilakukan studi dengan menggunakan berbagai model ekonometrika melalui permintaan uang, melainkan potensi inflasi juga dapat dicermati dari sisi penawaran. Berkaitan dengan hal tersebut, tidak saja dari masalah jumlah penyediaan barang dan jasa, melainkan juga perilaku distribusinya. Nilai tambah yang tinggi sangat terkait dengan perilaku DISTRIBUTOR BESAR KONSUMEN KIOS/WARUNG DISTRIBUTOR/ PASAR PRODUSEN Gambar 1.1 Alur Penelusuran Nilai Tambah dan Jalur Distribusi dan jalur distribusi dari suatu komoditas dan atau kebijakan. Bank Indonesia Yogyakarta melakukan survei Jalur Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Terbesar di Kota Yogyakarta (bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) bertujuan untuk menjelaskan mekanisme distribusi komoditas penyumbang inflasi terbesar, memberikan informasi proses penentuan harga dari hulu hingga hilir, menjelaskan struktur pasar komoditas penyumbang inflasi, serta memberikan informasi kebijakan yang menyebabkan shock terhadap harga komoditas penyumbang inflasi tersebut. Responden survei adalah pelaku usaha, baik tingkat hulu hingga hilir, termasuk konsumen yang terkait dengan berbagai komoditas terpilih. Penentuan responden dilakukan secara acak, namun tetap memperhatikan sebaran wilayah kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Pengambilan sampel dimulai dari kemungkinan jalur distribusi level paling bawah, yaitu pengecer/ritel tingkat kampung, yaitu kios/warung. Komoditas yang menjadi obyek pengamatan ditentukan berdasarkan informasi dari BPS tentang komoditas yang menyumbang inflasi cukup besar di Kota Yogyakarta. Komoditas terdiri dari kelompok komoditas sektor pertanian (beras, sayur, cabe, bawang merah), komoditas sektor peternakan (telur, daging ayam, daging sapi), komoditas minyak goreng dan mie instan, serta komoditas gula pasir. Komoditas Pertanian Alur distribusi berawal dari petani ke tengkulak lalu ke kios/pedagang pasar dan terakhir ke warung. Para petani menjual hasil pertaniannya lewat tengkulak karena faktor teknis transportasi, waktu kerja dan keterbatasan jaringan pedagang. Daerah yang menjadi sentra untuk penyediaan komoditas pertanian (sayur, cabe, bawang) di DIY antara lain Bantul, Kulonprogo, Kalasan/Boyolali, Muntilan/ Bab 2 - Perkembangan Inflasi 51

66 Magelang dan Wonosobo. Sentra beras di DIY banyak berasal dari Sleman (Godean dan sekitarnya), Bantul dan Jawa Tengah bagian selatan (Sragen dan sekitarnya). Konsumen banyak yang memilih belanja di warung karena faktor lokasi, kuantitas pembelian dan kebutuhan yang mendadak. Pada pasar modern, supplier komoditas pertanian harus memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan, namun pola kerjasama berlaku jangka panjang. Penentuan harga pada komoditas pertanian ditentukan melalui mekanisme pasar, namun tengkulak memiliki peran sebagai price makers. Pasar komoditas pertanian lebih bersifat pasar persaingan, karena jumlah produsen, tengkulak/ pedagang besar dan pedagang berjumlah banyak. Nilai tambah terbesar dinikmati oleh para tengkulak, karena tengkulak lebih banyak menanggung biaya transportasi dan menanggung risiko produk yang sangat rentan dari sisi waktu. Komoditas Peternakan Komoditas peternakan (daging ayam) memiliki pola distribusi dari peternak ke pemotongan dilanjutkan ke pedagang pasar/kios kemudian warung. Para peternak/pedagang ayam, selain menjual ayam sudah dalam kondisi terpotong, juga menjual ayam kondisi hidup. Sementara itu, komoditas daging sapi memiliki pola distribusi yang sedikit berbeda, yaitu berawal dari peternakpemotongan-pedagang pasar/depo daging. Pada komoditas ini, jalur distribusi lebih banyak terhenti pada level pedagang pasar/depo bukan pada warung. Hal ini lebih disebabkan karakter produk, dimana konsumen lebih banyak para pengusaha makanan dan relatif sedikit konsumen akhir yang berasal dari rumah tangga. Implikasinya, pada level warung, jarang yang menjual komoditas secara langsung. Sentra penghasil komoditas peternakan, untuk produk telur banyak berasal dari Kaliurang, Kulonprogo dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Sementara untuk sentra ayam potong ada di Kulonprogo dan Sleman, sedangkan untuk daging sapi, ternak banyak berasal dari Boyolali & sekitarnya serta Magelang & sekitarnya. Pada komoditas telur, para peternak menjual langsung pada para pedagang pasar/kios, namun tetap ada para pedagang/tengkulak yang menjadi intermediator. Mayoritas pengelola pasar modern menyatakan sudah memiliki supplier tetap untuk komoditas telur dan daging, sebagai upaya keterjaminan kualitas produk (quality insurance) dan kontinuitas penyediaan komoditas perternakan. Harga ditentukan melalui mekanisme pasar, bahkan pada produk telur dan daging ayam, posisi peternak memiliki andil yang cukup besar dalam penentuan harga. Pada pasar modern, kebijakan harga dikonfirmasi pada pengelola pasar modern di kantor pusat, dipengaruhi oleh harga dari pedagang besar dan hal lain, seperti ekspektasi permintaan, seperti momentum hari raya keagamaan. Pasar komoditas peternakan lebih bersifat pasar persaingan. Hal tersebut didasarkan pada karakteristik jumlah produsen, jumlah tengkulak/ pedagang besar dan jumlah pedagang yang kesemuanya dalam jumlah banyak. Nilai tambah terbesar dinikmati oleh para pedagang pasar/kios dan posisi kedua pada para tengkulak. Komoditas Minyak Goreng dan Mie Instan Komoditas minyak goreng memiliki pola distribusi dari pabrikan-distributor/agen, yang mayoritas berada diluar DIY, yaitu dari Semarang, Cilacap dan Surabaya, kemudian terdistribusi ke level toko/pedagang-warung. Hal yang sama terjadi pada komoditas mie instan, dengan agen terbesar di DIY bahkan di Indonesia yaitu PT Indomacro. Para agen/pedagang, selain mendistribusikan pada pedagang pasar juga memasok pada pasar modern 52 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

67 juga pada level toko. Dengan demikian, margin harga yang dinikmati relatif kecil, khususnya level toko/pedagang pasar. Harga kedua komoditas ini sangat dipengaruhi kebijakan harga pada tingkat agen/distributor utama dan sangat terkait dengan harga input pada level pabrikan dan dipengaruhi harga input pasar internasional. Dengan demikian, penciptaan harga pada komoditas ini menggunakan mekanisme pasar yang lebih dikendalikan pada level distributor utama dan atau pabrikan. Pada komoditas minyak goreng, meskipun harga sangat dipengaruhi mekanisme pasar, namun untuk melindungi kepentingan konsumen domestik, pemerintah juga melakukan intervensi dengan menerapkan peningkatan pajak ekspor. Pasar komoditas minyak goreng dan mie instan lebih bersifat pasar persaingan, terkait dengan tingkat kompetisi antar produsen serta variasi produk. Komoditas Gula Pasir Komoditas gula pasir memiliki pola distribusi dari pabrikan-distributor/pedagang besar, kemudian terdistribusi ke level toko/pedagang-warung. Meskipun DIY memiliki satu pabrik gula (PT Madukismo), namun produk gula pasir yang beredar di DIY juga berasal dari luar, termasuk gula impor. Harga komoditas ini ditentukan dengan mekanisme pasar. Harga pada tingkat pabrikan ditentukan melalui mekanisme lelang tertutup. Harga pada tingkat kios/pedagang pasar sangat dipengaruhi oleh harga jual yang diberikan para pedagang besar, sehingga posisi pedagang besar dalam penentuan harga cukup besar. Selain itu, penentuan harga komoditas ini juga terkait dengan karakteristik pasar produk di tingkat internasional. Pasar komoditas gula dalam konteks lokal lebih bersifat pasar oligopoli, karena penguasaan harga sangat ditentukan oleh peran pedagang besar yang jumlahnya sedikit. Selain ditentukan dari keputusan lelang, harga juga ditentukan oleh harga komoditas yang berasal dari luar DIY, termasuk dari impor. Rekomendasi Kebijakan 1. Komunikasi pemangku kepentingan dengan para pelaku bisnis pada level tersebut sangat diperlukan, dalam rangka upaya pengendalian harga barang. 2. Dalam pengambilan kebijakan ekonomi yang berimplikasi pada harga suatu komoditas, seperti harga BBM, kampanye bahaya flu burung, subsidi minyak goreng dan kebijakan lainnya, diharapkan mencermati aspek ketepatan waktu sehingga kebijakan efektif dan meminimalkan dampak pada kondisi pasar. 3. Perlu studi serupa dengan skala sampel yang lebih luas, dengan pola pelaksanaan yang kontinyu sehingga ada komplemen informasi untuk pengendalian harga. Bab 2 - Perkembangan Inflasi 53

68 Boks: Pengaruh Suku Bunga Kebijakan terhadap Perbankan dan Inflasi di DIY Latarbelakang Penelitian Bank Indonesia telah mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter dengan inflation targeting framework dengan pendekatan jalur suku bunga atau BI Rate sejak Juli Pengaturan suku bunga oleh BI diharapkan dapat mempengaruhi suku bunga perbankan dan akhirnya berdampak pada aktivitas sektor riil yang tercermin pada aggregate demand dan inflasi. Kebijakan suku bunga ini diduga mempengaruhi perekonomian daerah. Mempertimbangkan perubahan tersebut maka Bank Indonesia Yogyakarta melaksanakan studi untuk mengkaji bagaimana transmisi kebijakan moneter pada perekonomian daerah khususnya bagaimana respon suku bunga perbankan, ekspektasi inflasi dan investasi di DIY terhadap suku bunga kebijakan moneter di Indonesia. Tujuan, Variabel dan Data Penelitian Studi ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme transmisi suku bunga kebijakan berdasarkan data 26 Bank Umum dan 8 Bank Perkreditan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode 2000 sampai Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data runtut waktu bulanan. Ruang lingkup penelitian ini dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu: (1) Bank Umum dan (2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada lingkup Bank Umum, penelitian ini menggunakan 2 (dua) kelompok sampel yaitu: 1. Untuk mengkaji keterkaitan antar variabel suku bunga (pricing) pada Bank Umum di DIY maka digunakan sampel data yang berasal dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Provinsi DIY. 2. Untuk mengkaji keterkaitan antar variabel nominal (quantity) pada Bank Umum di DIY maka digunakan sampel data yang berasal dari 26 Kantor Cabang Bank Umum yang bertindak sebagai Bank Pelapor (Laporan Bank Umum) di Provinsi DIY yang telah beroperasi sejak tahun 2000, yaitu: Bank BRI (3 kantor), Bank BBI, Bank Mandiri, Bank Lippo, Bank BNI (3 kantor), Bank CIC, Bank BDI, Bank BPD (6 kantor), Bank Permata, Bank BTN, Bank BCA, Bank BTPN, Bank BII, Bank Mega, Bank Niaga (2 kantor) dan Bank Bukopin. Sedangkan data dari BPR berasal dari 8 (delapan) BPR di Provinsi DIY dengan kriteria memiliki nilai aset yang relatif besar dan telah beroperasi sejak tahun Konsep pemodelan menggunakan konsep Structural Vector Autoregression (SVAR) Models yang memiliki keunggulan penggunaan restriksi berdasarkan teori ekonomi dalam menganalisis Impulse Response dan Variance Decomposition serta mempertimbangkan skema hubungan dan bentuk urutan yang dimiliki model (ordering). Berdasarkan model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini, maka variabel yang digunakan terdiri dari: 1. Variabel suku bunga kebijakan (policy rates) menggunakan proxy data SBI 1 bulan selama periode sebelum Inflation Targeting dan data BI Rate setelah diberlakukannya kerangka kebijakan meneter Inflation Targeting. 2. Variabel suku bunga simpanan perbankan (funding) menggunakan proxy data suku bunga Deposito 1 bulan dan Tabungan perbankan (Bank 54 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

69 Umum dan BPR) di DIY. Data suku bunga tersebut diperoleh dari laporan masing-masing bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia Yogyakarta. 3. Variabel suku bunga kredit perbankan (lending) menggunakan proxy data suku bunga Kredit Modal Kerja dan Kredit Konsumsi perbankan di DIY berdasarkan laporan masing-masing bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia Yogyakarta. 4. Variabel kuantitas perbankan (quantity) menggunakan proxy data posisi kredit modal kerja dan kredit konsumsi perbankan di DIY berdasarkan laporan masing-masing bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia Yogyakrta. 5. Variabel perkembangan harga (inflation) menggunakan proxy data Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota Yogyakarta yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai dengan Desember 2007 maka disimpulkan: 1. Perubahan suku bunga kebijakan diikuti searah oleh perubahan suku bunga Bank Umum di DIY, terutama pada suku bunga deposito. Cepatnya respon penurunan suku bunga deposito tersebut diduga terkait dengan upaya Bank Umum dalam menurunkan cost of fund dalam menyikapi permasalahan kelebihan likuiditas di Bank Umum DIY. 2. Meskipun memiliki respon sesuai dengan ekspektasi rasional, namun perubahan suku bunga tabungan dan kredit modal kerja membutuhkan waktu respon yang relatif panjang (kurang responsif). Bahkan respon suku bunga kredit konsumsi Bank Umum menunjukkan hal yang berlawanan dengan ekspektasi rasional, yaitu shock penurunan suku bunga kebijakan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit konsumsi. Hubungan anomali antara suku bunga kebijakan dengan suku bunga kredit konsumsi antara lain dipengaruhi oleh ekspektasi rasional masyarakat yang menilai bahwa penurunan suku bunga kebijakan merupakan indikasi membaiknya kondisi makroekonomi, sehingga meningkatkan permintaan kredit konsumsi dan selanjutnya Bank Umum menyikapinya dengan menaikkan suku bunga kredit konsumsi. 4. Berbeda dengan kondisi pada Bank Umum, perubahan suku bunga kebijakan tidak terlalu mempengaruhi pergerakan suku bunga BPR (deposito, tabungan dan kredit modal kerja), kecuali pada suku bunga kredit konsumsi BPR yang merespon pergerakan suku bunga kebijakan meskipun dampaknya relatif kecil. 5. Tidak berjalannya mekanisme transmisi suku bunga kebijakan pada BPR terutama dipengaruhi oleh kondisi BPR yang secara umum masih mengalami permasalahan kekurangan likuiditas, sebagaimana tercermin dari angka LDR yang masih tinggi (rata-rata di atas 100%). Dengan kondisi ini, penentuan suku bunga di BPR lebih dipengaruhi oleh tingkat likuiditasnya bukan pada suku bunga kebijakan BI. 6. Mekanisme pasar pada bisnis perbankan DIY (Bank Umum dan BPR) secara umum berjalan cukup efektif, kecuali pada tabungan, dimana penurunan suku bunga tabungan akan direspon oleh peningkatan volume tabungan. Anomali pada tabungan antara lain karena faktor determinan penanaman dana pada tabungan lebih didominasi oleh motif transaksi sehingga keputusan nasabah tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga tabungan. 7. Studi ini memperoleh temuan bahwa secara tidak langsung suku bunga kebijakan memiliki pengaruh terhadap inflasi. Mekanisme transmisi Bab 2 - Perkembangan Inflasi 55

70 dari suku bunga kebijakan sampai dengan inflasi terutama berlangsung pada jalur kuantitas (dana di Bank Umum), baik melalui jalur volume deposito maupun volume tabungan. Penurunan suku bunga kebijakan pada gilirannya mengakibatkan terjadinya penurunan inflasi, yang nampaknya tidak sejalan dengan standar teori makroekonomi, dimana penurunan suku bunga kebijakan seyogyanya akan meningkatkan tekanan inflasi sebagai dampak naiknya permintaan agregat. Anomali ini terjadi antara lain karena kharakteristik perekonomian DIY didominasi oleh sektor usaha yang bersifat padat tenaga kerja (labor intensive) sehingga penurunan suku bunga kebijakan yang diikuti oleh penurunan suku bunga kredit tidak dapat langsung mendongkrak kenaikan volume kredit, yang pada akhirnya tidak memberi tekanan terhadap inflasi di Kota Yogyakarta. 8. Inovasi penurunan suku bunga kebijakan memiliki implikasi yang berbeda antara volume deposito dengan volume tabungan, yaitu volume deposito turun sedangkan volume tabungan naik. Hal ini merupakan indikasi terjadinya shifting dana simpanan di perbankan dari deposito ke tabungan. Dugaan shifting dana tersebut dikonfirmasi oleh data share deposito yang cenderung menurun dari 36,82% pada akhir tahun 2005 menjadi 33,11% pada triwulan III tahun Terjadinya perpindahan dana ini antara lain dipengaruhi oleh upaya bank untuk mengurangi porsi deposito yang memiliki cost of fund yang realatif tinggi dibandingkan dengan cost of fund tabungan. Di lain pihak, fenomena shifting dana juga terkait dengan preferensi nasabah yang lebih cenderung pada tabungan mengingat suku bunga deposito dirasa semakin tidak menarik pada saat kecenderungan suku bunga sedang mengalami penurunan. 56 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

71 Boks: Model Proyeksi Inflasi Kota Yogyakarta Latarbelakang Penelitian Dalam Inflation Targetting Framework (ITF), instrumen kebijakan moneter yang digunakan adalah suku bunga kebijakan (BI-Rate). Pengaturan BI-rate diharapkan dapat mempengaruhi suku bunga perbankan (pasar) yang pada gilirannya berdampak pada aggregate demand dan inflasi. Penetapan BI rate ini umumnya akan in-line dengan proyeksi (target) inflasi (inflation targeting) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Semakin cepat respon masyarakat terhadap arah suku bunga kebijakan, maka diharapkan semakin kecil perbedaan antara ekspektasi inflasi masyarakat dengan target inflasi yang ditetapkan Pemerintah. Hal ini dapat juga diartikan bahwa kebijakan moneter cukup efektif mempengaruhi ekspektasi masyarakat akan arah inflasi. Oleh karena itu, ketepatan dalam proyeksi/ penentuan target inflasi merupakan prasyarat yang sangat penting bagi Bank Indonesia sebelum memberi masukkan kepada Pemerintah. Masukan dari berbagai pihak khususnya dari kantor-kantor Bank Indonesia di daerah terkait dengan inflasi menjadi sangat krusial, karena Inflasi daerah memegang peran yang penting mengingat kontribusinya yang relatif besar bagi inflasi nasional (daerah 73%, Jakarta 27%). Disamping itu, sebagai negara kepulauan, pembentukan inflasinya tidak terlepas dari andil inflasi daerah, dimana inflasi tersebut umumnya mengikuti alur spiral, semakin banyak kepulaun dan semakin jauh jarak antar pulau/daerah dengan pusat produksi maka akan semakin berpotensi menimbulkan tekanan inflasi (spiral inflation). Dengan kondisi ini, inflasi akan semakin tinggi jika terjadi gangguan jalur distribusi. Hal ini terbukti pada penelitian jalur distribusi komoditas penyumbang terbesar Inflasi Yogyakarta yang dilakukan Bank Indonesia Yogyakarta (2007) dimana menunjukkan bahwa jalur distribusi memegang peranan yang cukup besar dalam pembentukan inflasi DIY. Tujuan Penelitian Dengan kondisi tersebut Bank Indonesia Yogyakarta berinisiatif melakukan penelitian terkait dengan karakteristik dan faktor-faktor pembentuk inflasi Kota Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran terkait faktor-faktor determinan inflasi kota Yogykarta, melalui pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi Yogyakarta berdasarkan teori Phillips Curve; mencari model adhoc Inflasi Kelompok Utama Pembentuk Inflasi Yogyakarta; mencari model adhoc Inflasi Komoditas Utama Pembentuk Inflasi Yogyakarta; dan mencari model proyeksi univariate Inflasi Yogyakarta; serta mencari model proyeksi multivariate Inflasi Yogyakarta. Selanjutnya tujuan tersebut dikemas dalam 3 (tiga) bentuk model yakni model umum, adhoc dan model proyeksi. Intepretasi Model Diperoleh 5 model Inflasi Yogyakarta yakni: (1) model OLS untuk IHK Umum yang berbasis Kurva Phillips, (2) model inflasi pembentuk inflasi (adhoc), yakni: (2.a) model IHK Bahan Makanan [ARCH (1)] dan (2.b) IHK Beras (OLS), (2.c) model univariate IHK Umum [ARIMA(1,1,1) (1,0,1)4] dan (2.d) model multivariate IHK Umum [SVAR(1)] yang berbasis Kurva Phillips. Bab 2 - Perkembangan Inflasi 57

72 Model OLS IHK Umum Berbasis Kurva Phillips Dalam model OLS untuk IHK Umum Kota Yogyakarta dipengaruhi oleh Ekpektasi Inflasi (IHKt- 1), Output Gap dan Harga premium. Semua koefisien variabel bebas menunjukkan nilai yang signifikan. Namun terdapat satu variabel yang tidak sesuai dengan teori yakni variabel Output Gap dimana koefisiennya bertanda negatif. Pergerakan yang berbeda arah ini, kemungkinan disebabkan oleh pengaruh karakteristik ekonomi DIY yang sangat dipengaruhi oleh faktor musiman (panen/liburan). Ketika musim panen telah tiba, produksi pertanian melimpah, harga-harga komoditas pertanian menurun. Sebaliknya, ketika musim tidak panen/ kemarau produksi berkurang maka harga-harga terdorong naik. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sektor dominan pembentuk PDRB DIY selain sektor Perdagangan Hotel & Restoran dan sektor Jasa-jasa, juga sektor Pertanian. Ketika kinerja sektor pertanian mengalami penurunan kinerja, maka dapat diperkirakan bahwa arah pertumbuhan PDRB juga akan menurun. Sedangkan beberapa komoditas sektor Pertanian ini juga merupakan kelompok penyumbang inflasi terbesar Kota Yogyakarta terutama kelompok Bahan Makanan (Subkelompok Padi-padian-Komoditas beras). Temuan lain dari model pertama adalah variabel ekspektasi inflasi (dihkt-1) memiliki nilai koefisien yang paling besar. Hal ini dapat diartikan bahwa arah inflasi Yogyakarta banyak ditentukan oleh ekpektasi masyarakat akan inflasi. Kondisi ini in-line dengan hasil Survei Ekspektasi Konsumen Yogyakarta. Model ARCH IHK Bahan Makanan Dalam model Inflasi pembentuk Inflasi, IHK Bahan Makanan diperoleh persamaan ARCH(1), karena model mengandung autokorelasi, heterokedastisitas dan terdapat efek ARCH. Dalam model ini diperoleh hasil overfitting bahwa variabel harga Premium dan Nilai Tukar mempunyai pengaruh yang signifikan dan arahnya sesuai dengan teori. Model OLS IHK Beras IHK Beras diperoleh model OLS dengan variabel bebas Penyaluran Beras oleh Bulog dan Harga Kerosene. Arah pengaruh masing-masing variabel sudah sesuai dengan logika. Hasil ini juga menunjukkan bahwa peran Bulog dalam periode penelitian dapat mempengaruhi harga beras. Model ARIMA IHK Umum Model Univariate Time Series diperoleh model ARIMA (1,1,1) (1,0,1) 4. Model yang terpilih ini memiliki root mean square error (RMSE) terkecil dan telah memenuhi prinsip parsimonious (model yang paling sederhana). Model SVAR IHK Umum Berbasis Kurva Phillips Model Multivariate Time Series diperoleh model SVAR(1). SVAR ini dikembangkan melalu persamaan structural Kurva Phillips, dimana variabel yang dimasukkan dalam model adalah IHK Umum, Output Gap dan Premium. Variabel Ekpektasi Inflasi dikeluarkan dari model, karena pergerakan datanya identik dengan IHK Umum (near singular matrix). Sehingga orderingnya menjadi Premium, Output Gap dan IHK Umum. Hasil impulse response, menunjukkan bahwa shock variabel premium direspon oleh variabel IHK cukup signifikan dan lama. Sedangkan shock Output Gap, kurang direspon oleh IHK Umum. 58 Bab 2 - Perkembangan Inflasi

73 Kesimpulan Secara umum, Hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk umum model Inflasi Yogyakarta berjalan sesuai teori Philips Curve dimana dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, output gap dan shock harga premium. Selanjutnya, model adhoc Inflasi pembentuk inflasi Kota Yogyakarta, yakni inflasi Kelompok Bahan Makanan dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah dan harga premium, sedangkan model adhoc inflasi Komoditas Beras dipengaruhi oleh penyaluran beras Bulog dan harga Kerosene. Sementara itu, model proyeksi inflasi dengan menggunakan univariate time series yang memiliki Root Mean Square Error (RMSE) terkecil dan paling parsimony adalah model ARIMA (1,1,1) (1,0,1)4, sedangkan model multivariate time series adalah SVAR(1) dengan ordering harga premium, output gap dan IHK Umum. Secara umum, Inflasi Yogyakarta didominasi oleh pengaruh ekspektasi inflasi (t-1) dan shock disisi penawaran khususnya harga premium. Bab 2 - Perkembangan Inflasi 59

74 Halaman ini sengaja dikosongkan.

75 Bab 3: Perkembangan Perbankan GAMBARAN UMUM Perkembangan Kelembagaan Sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah jaringan kantor bank, tidak termasuk kantor kas Bank Perkreditan Rakyat, tercatat sebanyak 865 kantor, atau mengalami penambahan sebanyak 44 kantor (6,74%) jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebanyak 757 kantor. Peningkatan jumlah jaringan kantor ini terutama terjadi pada Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Umum sebanyak 24 kantor. Hal ini merupakan bentuk realisasi komitmen perbankan dalam memberikan fasilitas kemudahan kepada para nasabahnya dalam melakukan transaksi perbankan. Jika ditinjau dari jenisnya, jumlah Kantor Pusat Bank Umum adalah 1 kantor, yaitu Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta, sedangkan Kantor Wilayah juga masih berjumlah 1 kantor, yaitu Bank Rakyat Indonesia. Tabel 3.1 Jaringan Kantor Bank No Uraian Posisi Ptumb 1 Posisi Ptumb 1 A Bank Umum , ,74 1 Kantor Pusat/Kantor Wilayah a. Konvensional b. Syariah Kantor Cabang , ,44 a. Konvensional , b. Syariah ,00 3 Kantor Cabang Pembantu , ,94 a. Konvensional , ,06 b. Syariah Kantor Kas , ,06 a. Konvensional , ,80 b. Syariah , ,67 5 Kas Mobil (40,00) a. Konvensional (40,00) b. Syariah Payment Point ,50 a. Konvensional ,83 b. Syariah Anjungan Tunai Mandiri , ,66 a. Konvensional , ,67 b. Syariah B Bank Perkreditan Rakyat (1,54) 57 (10,94) 1 Kantor Pusat (1,54) 57 (10,94) C Total (A + B) , ,36 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum dan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Sedangkan pada kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengalami penurunan sebanyak 7 kantor. Pengurangan ini merupakan perubahan status kantor beberapa bank sebagai akibat merger dan konsolidasi. Pada bulan April 2007 Bab 3 - Perkembangan Perbankan 61

76 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 terjadi konsolidasi PT BPR Mataram Kasih, PT BPR Mataram Sewon, PT BPR Mataram Banguntapan, PT BPR Mataram Gamping, PT BPR Mataram Godean dan PT BPR Mataram Ngaglik. Konsolidasi yang dilakukan pada bulan Juli ini menjadi PT BPR Mataram Mitra Manunggal. Selain itu, pada bulan Mei 2007 terjadi merger PT BPR Swadharma Banguntapan, PT BPR Swadharma Mlati dan PT BPR Swadharma Godean. Dengan merger ini, PT BPR Swadharma Mlati dan PT BPR Swadharma Godean berubah status menjadi Kantor Cabang, sedangkan PT BPR Swadharma Banguntapan menjadi Kantor Pusatnya. Di sisi lain, terdapat pembukaan 3 (tiga) kantor BPR Syariah (BPRS) baru, yaitu PT BPRS Barokah Dana Sejahtera, PT BPRS Mitra Amal Mulia dan PT BPRS Madina Mandiri Sejahtera yang masing-masing mulai beroperasi pada tanggal 1 November 2007, 22 November 2007 dan 1 Desember Tiga BPRS tersebut menambah jumlah kantor pusat BPR di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Jenis kantor lain yang mengalami pertumbuhan pesat adalah Kantor Kas, dengan jumlah penambahan kantor sebanyak 16 kantor (10,06%). 15 kantor diantaranya merupakan Kantor Kas Bank Umum Konvensional dan 1 kantor lainnya merupakan Kantor Kas Bank Umum Syariah. Tabel 3.2 Aset Perbankan No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Bank ,00 22, ,00 15,55 1 Bank Umum ,13 23, ,33 14,57 2 BPR ,87 11, ,67 28,94 B Jenis Usaha Bank ,00 22, ,00 15,55 1 Konvensional ,71 22, ,22 14,97 2 Syariah ,29 27, ,78 40,27 C Wilayah ,00 22, ,00 15,55 1 Bantul ,13 35, ,91 11,43 2 Gunungkidul ,81 26, ,81 15,75 3 Kulonprogo ,51 27, ,44 13,08 4 Sleman ,59 25, ,58 9,26 5 Yogyakarta ,95 20, ,25 17,74 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum dan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Perkembangan Kinerja Kinerja perbankan pada tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan, seiring dengan kondisi perekonomian yang semakin kondusif. Peningkatan kinerja tersebut terutama tercermin pada penyaluran kredit yang mencapai 21,14% (Tabel 3.4), melampaui angka perkiraan yang telah ditetapkan pada awal tahun 2007 sebesar 19,50%, namun masih berada di bawah pencapaian kredit Nasional sebesar 26,36%. 62 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

77 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Miliar Rp 47,30 Grafik 3.1 Indikator Perbankan 54,83 50,77 55,07 2,04 3,40 4,49 5, Aset Dana Pihak Ketiga Kredit NPLs LDR % Pertumbuhan Aset perbankan sebesar 15,55% juga melampaui perkiraan sebesar 13,50%, dan berada di bawah pertumbuhan Aset Nasional sebesar 17,32%. Namun di sisi lain dana dari masyarakat yang berhasil dihimpun oleh Perbankan DIY, Dana Pihak Ketiga (DPK), hanya tumbuh sebesar 11,68%, di bawah angka perkiraan sebesar 12,50%, dan kembali lagi berada di bawah peningkatan DPK Perbankan Nasional sebesar 17,40% Aset perbankan di DIY naik sebesar Rp2.552 miliar, sebesar Rp2.226 miliar berasal dari peningkatan Aset Bank Umum dan sebesar Rp326 miliar merupakan peningkatan Aset BPR. Berdasarkan jenis usaha bank, peningkatan Aset perbankan Konvensional tercatat sebesar Rp2.400 miliar (14,97%) dan perbankan Syariah sebesar Rp152 miliar (40,27%). Pertumbuhan tinggi aset perbankan Syariah tersebut menyebabkan pangsa aset perbankan Syariah DIY terhadap total aset perbankan mengalami peningkatan dari 2,29% pada tahun 2006 menjadi 2,78% pada tahun Hal ini didorong oleh penambahan jaringan kantor perbankan Syariah, baik Bank Umum maupun BPR. Pada Bank Umum, terdapat pembukaan 1 Unit Usaha Syariah (UUS) milik bank lokal, yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan pada BPR, terdapat pembukaan 3 (tiga) BPRS baru pada akhir November Pangsa perbankan Syariah ini diharapkan dapat terus mengalami peningkatan dan memberikan kontribusi terhadap tercapainya target nasional pangsa perbankan Syariah sebesar 5%. Berdasarkan wilayah, angka pertumbuhan Aset terbesar terdapat pada perbankan di Kota Yogyakarta sebesar 17,74% dari Rp miliar menjadi Rp miliar. Sedangkan pangsa Aset Perbankan DIY terbesar masih terdapat pada perbankan di Kota Yogyakarta yang menguasai sebesar 70,25% dari total Aset perbankan DIY. Hal ini lebih disebabkan karena banyaknya bank yang berkedudukan di Kota Yogyakarta, terutama Bank Umum. Dari sisi penghimpunan dana masyarakat atau yang biasa disebut sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK), pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp miliar, tumbuh 11,68%, berada di bawah angka perkiraan sebesar 12,50%, dan di bawah pertumbuhan DPK Nasional sebesar 17,40%. Peningkatan gaji PNS, peningkatan UMP DIY tahun 2006 ke tahun 2007 dan pencairan dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang sebelumnya diperkirakan mampu mendorong pertumbuhan DPK ternyata belum mampu merealisasikan hal ini terkait dengan tingginya angka inflasi dan mulai selesainya proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. Dana masyarakat tersebut tersimpan di Bank Umum sebesar Rp miliar dan di BPR sebesar Rp1.067 miliar, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 10,60% dan 30,00%. Pertumbuhan DPK tinggi yang dialami oleh BPR Bab 3 - Perkembangan Perbankan 63

78 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 disebabkan beralihnya nasabah penyimpan dari Bank Umum ke BPR terkait dengan penurunan suku bunga simpanan yang merupakan respon dari penurunan BI Rate sebagai suku bunga acuan perbankan. Seiring dengan membaiknya prospek perekonomian, Bank Indonesia secara bertahap menurunkan BI Rate hingga mencapai 8%, atau turun 175 basis poin dibandingkan dengan akhir tahun Penurunan tersebut juga diikuti oleh turunnya suku bunga pasar, termasuk suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. No Uraian Tabel 3.3 Dana Pihak Ketiga Perbankan Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Bank ,00 20, ,00 11,68 1 Bank Umum ,43 21, ,51 10,60 2 BPR ,57 13, ,49 30,00 B Jenis Usaha Bank ,00 20, ,00 11,68 1 Konvensional ,78 20, ,24 11,06 2 Syariah ,22 32, ,76 39,20 C Jenis Simpanan ,00 20, ,00 11,68 1 Giro ,62 40, ,54 11,22 2 Tabungan ,06 23, ,56 17,62 3 Deposito ,32 9, ,90 4,01 D Jenis Valuta ,00 20, ,00 11,68 1 Rupiah ,70 21, ,46 12,59 2 Valuta Asing ,30 15, ,54-4,49 E Wilayah ,00 20, ,00 11,68 1 Bantul ,86 43, ,95 13,36 2 Gunungkidul ,65 36, ,56 7,95 3 Kulonprogo ,49 32, ,34 6,87 4 Sleman ,32 28, ,51 7,04 5 Yogyakarta ,68 16, ,64 13,23 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum dan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan jenis usaha bank, simpanan masyarakat ini sebanyak Rp miliar tersimpan di perbankan Konvensional, sedangkan sebanyak Rp455 miliar lainnya tersimpan di perbankan Syariah dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 11,06% dan 39,20%. Berdasarkan jenis simpanannya, DPK tersebut sebesar 49,56% atau Rp8.153 miliar berbentuk Tabungan, 32,90% berbentuk Deposito, sedangkan 17,54% lainnya berbentuk Giro. Pertumbuhan tertinggi terdapat pada jenis simpanan berbentuk Tabungan yaitu sebesar 17,62%, diikuti oleh Giro sebesar 11,22% dan Deposito sebesar 4,01%. Sementara itu, stabilnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing pada tahun laporan menyebabkan simpanan dalam bentuk valuta asing mengalami penurunan sebesar 4,49%, sedangkan simpanan dalam bentuk Rupiah mengalami peningkatan sebesar 12,59%. 64 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

79 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Dana masyarakat yang berhasil dihimpun kemudian disalurkan kembali melalui Kredit sebesar Rp9.059 miliar, tumbuh 21,14% jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp7.478 miliar. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, angka pertumbuhan Kredit pada tahun ini lebih besar dari angka pertumbuhan tahun 2006 yang tercatat sebesar 11,88% dan lebih tinggi dari sasaran awal tahun 2007 yang ditetapkan sebesar 19,50%. Penurunan secara bertahap BI Rate sejak pertengahan tahun 2006 yang selanjutnya direspon oleh perbankan dengan menurunkan suku bunga kreditnya, mampu mendorong pertumbuhan Kredit perbankan DIY. Tabel 3.4 Kredit Perbankan No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 I Kredit ,00 11, ,00 21,14 A Jenis Bank ,00 11, ,00 21,14 1 Bank Umum ,48 13, ,19 20,74 2 BPR ,52 3, ,81 24,23 B Jenis Usaha Bank ,00 11, ,00 21,14 1 Konvensional ,44 10, ,77 21,55 2 Syariah ,56 36, ,23 14,13 C Jenis Penggunaan ,00 11, ,00 21,14 1 Modal Kerja ,77 11, ,10 25,18 2 Investasi ,97 28, ,46 8,88 3 Konsumsi ,25 7, ,44 21,64 D Jenis Valuta ,00 11, ,00 21,14 1 Rupiah ,82 13, ,73 19,78 2 Valuta Asing ,18-18, ,27 62,50 E Wilayah ,00 11, ,00 21,14 1 Bantul ,01 4, ,97 20,65 2 Gunungkidul ,92 17, ,90 20,79 3 Kulonprogo ,35 10, ,34 20,90 4 Sleman ,03 12, ,50 17,94 5 Yogyakarta ,69 12, ,28 22,29 II Non Performing Loans A Jenis Bank ,00 47, ,00 36,25 1 Bank Umum ,29 58, ,61 51,72 2 BPR ,71 23, ,39-6,19 B Jenis Usaha Bank ,00 47, ,00 36,25 1 Konvensional ,61 50, ,60 36,24 2 Syariah ,39-14, ,40 37,01 C Wilayah ,00 47, ,00 36,25 1 Bantul ,77 21, ,42-25,70 2 Gunungkidul ,79 97, ,30 12,63 3 Kulonprogo ,88 0, ,12-25,71 4 Sleman ,03 4, ,40 399,32 5 Yogyakarta ,53 76, ,76-43,49 III Rasio NPLs (%) A Jenis Bank 2,04 3,40 4,49 5,05 1 Bank Umum 1,40 2,65 3,72 4,67 2 BPR 6,11 8,70 10,41 7,86 B Jenis Usaha Bank 2,04 3,40 4,49 5,05 1 Konvensional 2,07 3,42 4,64 5,20 2 Syariah 1,15 3,08 1,93 2,31 C Wilayah 2,04 3,40 4,49 5,05 1 Bantul 4,88 5,68 6,60 4,06 2 Gunungkidul 1,22 1,51 2,55 2,37 3 Kulonprogo 1,83 3,59 3,25 2,00 4 Sleman 2,11 4,09 3,81 16,15 5 Yogyakarta 1,65 2,99 4,69 2,17 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum dan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Kredit tersebut sebesar Rp7.989 miliar disalurkan oleh Bank Umum dan sebesar Rp1.070 miliar disalurkan oleh BPR. Berdasarkan jenis usaha, penyaluran kredit perbankan Konvensional dan perbankan Syariah masing-masing sebesar Rp8.584 miliar dan Rp474 miliar dan tumbuh masing-masing sebesar 21,55% dan 14,13%. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 65

80 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Konsumsi yang masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia mempengaruhi alokasi Kredit yang disalurkan, yakni memperoleh sebanyak 45,44% dari total Kredit perbankan DIY atau sebesar Rp4.116 miliar. Sedangkan Kredit Modal Kerja memperoleh 41,10% atau Rp3.723 miliar dan Kredit Investasi memperoleh porsi terkecil yaitu sebesar 13,46% atau Rp1.219 miliar. Berdasarkan wilayah, pertumbuhan Kredit di seluruh wilayah mencapai angka di atas 20,00%, kecuali Kabupaten Sleman yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,94%, sedangkan pertumbuhan tertinggi terjadi pada perbankan di Kota Yogyakarta yaitu sebesar 22,29%. Namun demikian, pertumbuhan Kredit perbankan tersebut tidak dibarengi dengan perbaikan kualitas Kredit yang tercermin dari peningkatan angka rasio Non Performing Loans- Gross (NPLs) yang naik 0,56% dari 4,49% pada tahun 2006 menjadi 5,05% pada tahun laporan. Meskipun berada di atas 5,00%, namun angka NPLs tersebut masih wajar karena merupakan NPLs Gross atau belum dikurangi dengan cadangan yang telah dibentuk oleh perbankan dalam rangka meminimalisir risiko kegagalan kredit. Rasio NPLs Bank Umum tercatat sebesar 4,67%, naik 0,95% dari tahun 2006 sebesar 3,72%, sebaliknya rasio NPLs BPR tercatat sebesar 7,86%, turun 2,55% dari tahun 2006 sebesar 10,41%. Berdasarkan jenis usaha bank, rasio NPLs perbankan Konvensional tercatat 5,20% naik 0,56% dari tahun 2006 sebesar 4,64%, dan rasio Non Performing Financing (NPF) perbankan Syariah naik sebesar 0,39% dari 1,93% menjadi 2,31%. Dilihat dari wilayahnya, rasio NPLs tertinggi tercatat pada perbankan di Kabupaten Sleman sebesar 16,15% yang mengalami peningkatan drastis sebesar 12,34% dari tahun 2006 sebesar 3,81%. Angka pertumbuhan Kredit yang lebih besar jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan DPK, selanjutnya menyebabkan peningkatan angka Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 4,30% dari 50,77% pada tahun 2006 menjadi 55,07% pada tahun laporan. Peningkatan LDR tersebut mencerminkan peningkatan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi sekaligus sebagai agent of development. Namun demikian, LDR perbankan DIY tersebut masih berada di bawah LDR perbankan Nasional yang tercatat sebesar 66,85%. Nampaknya perbankan DIY harus lebih giat mendorong pertumbuhan kreditnya dalam rangka mendukung harapan peningkatan LDR Nasional menjadi 70,00%. Secara rinci, LDR BPR tercatat sebesar 100,26%, jauh diatas LDR Bank Umum yang tercatat sebesar 51,93%. Berdasarkan jenis usaha bank, Financing to Deposit Ratio (FDR) perbankan Syariah tercatat sebesar 104,28% sedangkan Miliar Rp Grafik 3.2 Non Performing Loan Perbankan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Nominal Rasio % Bab 3 - Perkembangan Perbankan

81 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 perbankan Konvensional sebesar 53,67%. Perbankan di Kabupaten Gunungkidul masih tercatat memiliki angka LDR tertinggi yakni sebesar 105,36%, diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Bantul yakni masing-masing sebesar 88,04% dan 73,83%. Tabel 3.5 Loan to Deposit Ratio Perbankan % No Uraian A Jenis Bank 47,30 54,83 50,77 55,07 1 Bank Umum 43,45 51,04 47,57 51,93 2 BPR 109,79 114,69 104,93 100,26 B Jenis Usaha Bank 47,30 54,83 50,77 55,07 1 Konvensional 46,41 53,42 49,04 53,67 2 Syariah 95,89 123,47 127,19 104,28 C Wilayah 47,30 54,83 50,77 55,07 1 Bantul 90,15 94,97 69,38 73,83 2 Gunungkidul 99,92 109,73 94,15 105,36 3 Kulonprogo 82,12 92,92 77,82 88,04 4 Sleman 53,55 59,99 52,65 58,01 5 Yogyakarta 39,41 47,23 45,60 49,25 Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum dan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Miliar Rp Grafik 3.3 Dana Pihak Ketiga Perbankan dan BI Rate I II III IV I II III IV DPK BI Rate Grafik 3.4 Pertumbuhan Kredit Perbankan I II III IV I II III IV I II III IV YoY YtD % Miliar Rp Stabilitas makroekonomi yang relatif terjaga namun disertai kinerja di sektor mikro yang masih belum bergerak secara cukup optimal menyebabkan ruang gerak untuk meningkatkan peran perbankan terbatas. Insentif untuk mendorong agar sektor riil bergerak perlu terus diberikan, baik yang berasal dari Bank Indonesia maupun Pemerintah. Namun demikian, kondisi internal dan eksternal yang kurang menguntungkan menyebabkan akselerasi pertumbuhan perekonomian belum sesuai harapan yang pada giirannya juga berdampak pada kegiatan perbankan. Dalam tahun 2007, risiko kredit perbankan secara agregat meningkat. Salah satu indikator peningkatan tingkat risiko tercermin pada NPLss Gross bank yang berada di ambang batas aman sebesar 5,00%. Risiko Pasar perbankan DIY yang dapat dilihat dari pertumbuhan DPK ternyata tetap terjaga. Meskipun suku bunga acuan menurun sebesar 175 poin sepanjang tahun 2007 yang kemudian diikuti oleh penurunan suku bunga simpanan, namun DPK perbankan tetap mengalami pertumbuhan. Risiko Likuiditas perbankan DIY yang tercermin dari komposisi DPK dibedakan berdasarkan jangka waktunya serta penyaluran Kreditnya, menunjukkan peningkatan namun diiringi dengan perbaikan Risk Control System. Komposisi Bab 3 - Perkembangan Perbankan 67

82 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 dana jangka pendek (Giro dan Tabungan) meningkat, sedangkan dana jangka panjang (Deposito) menurun namun penyaluran Kredit yang juga memiliki jangka waktu panjang mengalami peningkatan yang lebih besar. Peningkatan komposisi simpanan jangka pendek ini sengaja dilakukan oleh perbankan karena untuk menurunkan cost of fund, dimana suku bunga Giro dan Tabungan lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga Deposito. Langkah ini terlihat dari promosi secara gencar oleh perbankan yang menawarkan banyak hadiah dalam produk tabungan. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, fungsi intermediasi perbankan terus mengalami peningkatan. Peningkatan fungsi intermediasi ini dicerminkan dari pertumbuhan kredit, dimana penyalurannya terus meningkat, meskipun dalam akselerasi sedikit melambat Grafik 3.4 Komposisi Dana Pihak Ketiga dan Kredit Perbankan I II III IV I II III IV I II III IV Giro+Tab Deposito Kredit Miliar Rp BANK UMUM Kelembagaan Sampai dengan akhir tahun laporan, jaringan kantor Bank Umum masih terkonsentrasi di wilayah Kota Yogyakarta dengan pangsa 74,89% dari total keseluruhan kantor Bank Umum. Peringkat kedua diduduki oleh Kabupaten Sleman dengan pangsa sebesar 13,35%. Sedangkan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul memiliki pangsa masing-masing sebesar 4,13%, 3,92% dan 3,71%. Grafik 3.6 Penyebaran Jaringan Kantor Bank Umum Yogyakarta 74,894% Sementara itu penyerapan tenaga kerja di Bank Umum pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 2,19% lebih rendah dari angka pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,30%, atau dari sebanyak orang karyawan menjadi sebanyak orang karyawan. Aset dan Aktiva Produktif Aset Bank Umum sampai dengan akhir tahun 2007 tercatat sebesar Rp miliar dengan pertumbuhan sebesar 14,57% dari tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp miliar. Aset Bank Umum secara Nasional tumbuh sebesar 17,28%. Berdasarkan jenis usaha, Bank Umum Konvensional memiliki Aset sebesar Rp miliar dan Bank Umum Syariah sebesar Rp494 miliar, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 13,99% dan 38,96%. Berdasarkan wilayah, pertumbuhan Aset tertinggi dialami oleh Bank Umum di Kota Yogyakarta sebesar 17,39% dan Kabupaten Gunungkidul sebesar 13,71%. Sedangkan Aset di wilayah lainnya hanya tumbuh di bawah 10,00%, dengan peningkatan terkecil pada Bank Umum di Kabupaten Kulonprogo sebesar 5,23% Gunungkidul 3,708% Kulonprogo 3,919% Bantul 4,131% Sleman 13,347% Grafik 3.7 Jaringan Kantor dan Karyawan Bank Umum Jaringan Kantor Karyawan Kantor/Karyawan 68 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

83 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Penyaluran dana Bank Umum yang lebih dikenal dengan istilah Aktiva Produktif pada tahun laporan tercatat sebesar Rp9.368 miliar, naik 21,25% dari tahun 2006 sebesar Rp7.948 miliar. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan penyaluran kredit yang diberikan sebesar Rp1.372 miliar (20,74%), diikuti oleh Penempatan pada Bank Indonesia sebesar Rp264 miliar (23,11%). Sedangkan komponen Aktiva Produktif lainnya yaitu Penempatan pada Bank Lain dan Surat Berharga & Tagihan Lainnya mengalami peningkatan masing-masing sebesar Rp45 miliar (27,42%) dan Rp9 miliar (31,29%). Sedangkan Bank Garansi masih menunjukkan angka nihil seperti tahun-tahun sebelumnya. Tabel 3.6 Aset dan Aktiva Produktif Bank Umum No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 I Aset ,00 23, ,00 14,57 A Jenis Usaha Bank ,00 23, ,00 14,57 1 Konvensional ,67 23, ,18 13,99 2 Syariah ,33 28, ,82 38,96 B Wilayah ,00 23, ,00 14,57 1 Bantul ,94 45, ,58 6,38 2 Gunungkidul ,70 24, ,68 13,71 3 Kulonprogo ,02 34, ,77 5,23 4 Sleman ,01 32, ,82 6,06 5 Yogyakarta ,34 19, ,15 17,39 II Aktiva Produktif ,00 22, ,00 21,25 1 Kredit yang Diberikan ,24 13, ,89 20,74 2 Penempatan pada Bank Indonesia (SBI) ,36 155, ,58 23,11 3 Surat Berharga dan Tagihan Lainnya ,35-18, ,38 31,29 4 Penempatan pada bank lain ,05-2, ,16 27,42 5 Bank Garansi Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Ditinjau dari komposisi portofolio Aktiva Produktif, Kredit yang diberikan masih mendominasi Aktiva Produktif Bank Umum dengan pangsa sebesar 82,89%, angka ini terus mengalami penurunan dari tahun 2006 yang tercatat sebesar 83,24% dan tahun 2005 sebesar 90,03%. Sedangkan pangsa Penempatan pada Bank Indonesia naik dari 14,36% menjadi 14,58%. Peningkatan pangsa Penempatan pada Bank Indonesia terutama pada penempatan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia masih menjadi salah satu pilihan investasi dana bank yang menarik karena memiliki tingkat risiko yang rendah bahkan zero risk. Penghimpunan Dana Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) oleh Bank Umum pada tahun 2007 mencapai Rp miliar atau tumbuh sebesar 10,60% dari periode sebelumnya sebesar Rp miliar. Pertumbuhan DPK pada tahun 2007 ini kembali lagi kepada titik normal setelah pada tahun 2006 mengalami peningkatan Bab 3 - Perkembangan Perbankan 69

84 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 yang pesat sebesar 21,32%, yang merupakan implikasi dicairkannya dana rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa 27 Mei 2006 yang bersumber baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBN Perubahan. Tabel 3.7 Dana Pihak Ketiga Bank Umum No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Simpanan ,00 21, ,00 10,60 1 Giro ,66 40, ,76 11,22 2 Tabungan ,12 24, ,71 16,56 3 Deposito ,23 9, ,53 1,63 B Jenis Usaha ,00 21, ,00 10,60 1 Konvensional ,76 21, ,20 9,97 2 Syariah ,24 33, ,80 38,00 C Jenis Valuta ,00 21, ,00 10,60 1 Rupiah ,38 21, ,15 11,50 2 Valuta Asing ,62 15, ,85-4,49 D Wilayah ,00 21, ,00 10,60 1 Bantul ,88 54, ,77 7,93 2 Gunungkidul ,65 36, ,52 5,29 3 Kulonprogo ,12 37, ,89 2,30 4 Sleman ,11 33, ,14 4,35 5 Yogyakarta ,24 16, ,69 12,81 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Dana yang dihimpun oleh Bank Umum tersebut tersimpan di Bank Umum Konvensional sebesar Rp miliar dan Bank Umum Syariah sebesar Rp430 miliar dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 9,97% dan 38,00%. Berdasarkan jenis simpanan, DPK Bank Umum tersebut sebesar 50,71% atau Rp7.800 miliar disimpan dalam bentuk Tabungan, 30,53% atau Rp4.697 miliar berupa Deposito dan 18,76% lainnya atau Rp2.886 miliar berupa Giro. Angka pertumbuhan tertinggi dialami oleh simpanan dalam bentuk Tabungan yaitu sebesar 16,56%, sesuai dengan promosi yang gencar dari Bank Umum yang menawarkan berbagai macam hadiah menarik bagi para penabungnya. Berdasarkan wilayah, pertumbuhan DPK Bank Umum tertinggi dialami oleh Kota Yogyakarta sebesar 12,81%, sedangkan wilayah lainnya mengalami pertumbuhan DPK kurang dari 10,00%. Pertumbuhan tinggi ini terkait dengan lokasi kantor Bank Umum yang masih terkonsentrasi di wilayah ini. Penyaluran Kredit dan Kualitas Kredit Pertumbuhan Kredit Bank Umum di DIY pada tahun 2007 mengalami percepatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dimana peningkatan kredit pada tahun laporan tercatat sebesar 20,74% sedangkan pada tahun 2006 sebesar 13,07%. Penyaluran Kredit Bank Umum selama tahun 2007 mencapai Rp7.989 miliar, naik dari tahun 2006 sebesar Rp6.616 miliar. 70 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

85 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Pertumbuhan penyaluran Kredit Bank Umum terutama didorong oleh pertumbuhan Kredit Bank Umum Konvensional sebesar 21,27% menjadi Rp7.539 miliar dan Pembiayaan Bank Umum Syariah sebesar 12,49% menjadi Rp449 miliar. Tabel 3.8 Kredit Bank Umum No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Usaha Bank ,00 13, ,00 20,74 1 Konvensional ,96 11, ,38 21,27 2 Syariah ,04 37, ,62 12,49 B Jenis Penggunaan ,00 13, ,00 20,74 1 Modal Kerja ,24 15, ,78 25,48 2 Investasi ,07 25, ,17 6,47 3 Konsumsi ,69 7, ,05 21,70 C Jenis Valuta ,00 13, ,00 20,74 1 Rupiah ,41 14, ,16 19,18 2 Valuta Asing ,59 (18,11) 386 4,84 62,50 D Sektor Ekonomi ,00 13, ,00 20,74 1 Pertanian ,12 17, ,03 17,14 2 Pertambangan ,32 (3,04) 6 0,07 (72,14) 3 Perindustrian ,02 4, ,47 13,30 4 Listrik, Gas dan Air ,02 3,58 1 0,02 (4,40) 5 Konstruksi ,54 27, ,74 (6,72) 6 Perdagangan, Restoran & Hotel ,18 19, ,22 25,73 7 Pengangkutan, Pergudangan ,17 (9,62) 82 1,02 5,07 8 Jasa-jasa Dunia Usaha ,14 26, ,34 36,55 9 Jasa-jasa Sosial Masyarakat ,82 34, ,08 (11,25) 10 Lain-lain ,66 7, ,02 21,70 E Wilayah ,00 13, ,00 20,74 1 Bantul ,38 6, ,34 19,82 2 Gunungkidul ,99 16, ,98 20,42 3 Kulonprogo ,66 17, ,32 11,92 4 Sleman ,58 20, ,39 19,30 5 Yogyakarta ,39 11, ,98 21,78 F Non Performing Loans 1 Jenis Usaha Bank ,00 58, ,00 51,72 a. Konvensional ,14 62, ,37 52,08 b. Syariah ,86 (15,35) 10 2,63 39,33 2 Wilayah ,00 58, ,00 51,72 a. Bantul ,35 (3,11) 4 1,19 (23,35) b. Gunungkidul ,65 72,70 7 1,95 11,58 c. Kulonprogo ,31 0,49 5 1,21 (44,78) d. Sleman ,44 4, , ,75 e. Yogyakarta ,23 73, ,25 (45,51) G Non Performing Loans (%) 1 Jenis Usaha Bank 1,40 2,65 3,72 4,67 a. Konvensional 1,43 2,64 3,84 4,82 b. Syariah 0,82 2,85 1,76 2,18 2 Wilayah 1,40 2,65 3,72 4,67 a. Bantul 1,47 1,50 1,37 0,88 b. Gunungkidul 1,06 1,33 1,98 1,83 c. Kulonprogo 1,19 3,08 2,64 1,30 d. Sleman 1,15 2,04 1,78 19,85 e. Yogyakarta 1,49 2,95 4,58 2,05 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Bila dilihat dari jenis penggunaannya, Kredit Konsumsi masih mendominasi total penyaluran Kredit Bank Umum dengan pangsa 45,05% atau sebesar Rp3.599 miliar, selanjutnya diikuti oleh Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi masingmasing sebesar 40,78% atau sebesar Rp3.258 miliar dan 14,17% atau sebesar Rp1.132 miliar. Pertumbuhan terbesar dialami oleh Kredit Modal Kerja yaitu sebesar 25,48%, diikuti oleh Kredit Konsumsi sebesar 21,70% dan Kredit Investasi sebesar 6,47%. Jika ditinjau secara sektoral, sektor ekonomi yang mendapat kue terbesar Kredit Bank Umum masih dinikmati oleh sektor Lain-lain (termasuk di dalamnya adalah kredit konsumsi untuk perumahan, kendaraan bermotor, dll) sebesar 46,02% atau Rp3.677 miliar, diikuti oleh sektor Perdagangan, Hotel & Restoran sebesar Bab 3 - Perkembangan Perbankan 71

86 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta ,22% atau Rp2.094 miliar dan sektor Jasa-jasa Dunia Usaha sebesar 10,34% atau Rp826 miliar. Sedangkan 7 sektor lainnya hanya mendapatkan porsi masingmasing kurang dari 10,00%. Angka pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor Jasa-jasa Dunia Usaha (real estate dan lainnya) sebesar 36,55%, diikuti oleh sektor Perdagangan, Hotel & Restoran sebesar 25,73%. Sektor Pertanian, sektor Perindustrian dan sektor Pengangkutan & Pergudangan masing-masing tumbuh sebesar 17,14%, 13,30% dan 5,07%. Sedangkan sektor lainnya mengalami pertumbuhan negatif, dengan pertumbuhan negatif terbesar terdapat pada sektor Pertambangan sebesar - 72,14%. Nampaknya beberapa demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan isu perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sektor Pertambangan, menjadikan Bank Umum di DIY lebih hati-hati dalam menyalurkan kreditnya kepada sektor ini. Bank Umum yang menyalurkan Kredit terbesar terdapat pada Bank Umum di Kota Yogyakarta dengan pangsa 68,98% atau sebesar Rp5.510 miliar, kemudian diikuti oleh Kabupaten Sleman sebesar Rp1.229 miliar (15,39%). Sedangkan Bank Umum di wilayah lain hanya menyalurkan Kredit sebesar kurang dari 10,00% dari total Kredit di DIY. Kualitas Kredit Bank Umum di DIY pada tahun 2006 belum menunjukkan perbaikan, tercermin dari rasio NPLs (rasio perbandingan antara Kredit bermasalah dengan total Kredit) yang menunjukkan kecenderungan peningkatan sejak periode sebelumnya, yaitu naik 1,07% dari 2,65% pada tahun 2005, 3,72% pada tahun 2006 dan menjadi 4,67% pada tahun Namun demikian, rasio NPLs ini masih berada di batas aman sebesar 5,00%. Berdasarkan jenis usaha, rasio NPLs Bank Umum Konvensional naik dari 3,84% menjadi 4,82% dan rasio NPF Bank Umum Syariah naik dari 1,76% menjadi 2,18%. Dilihat dari aspek kewilayahan, rasio NPLs tertinggi berada pada Bank Umum di Kabupaten Sleman dengan rasio NPLs sebesar 19,85%, sedangkan wilayah lainnya berada di bawah 2,50%. Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan nominal NPLs didorong oleh peningkatan nominal NPLs Kredit Modal Kerja yang naik dari 3,91% menjadi 8,14%. Besarnya NPLs Kredit Modal Kerja diperkirakan disebabkan terganggunya cash flow dunia usaha terkait dengan mundurnya pembayaran yang diakibatkan oleh lambatnya pengiriman barang sehubungan dengan terhentinya kegiatan usaha sementara waktu karena terkonsentrasinya perhatian masyarakat pada rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. 72 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

87 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 NPLs Kredit Investasi mengalami perbaikan, dari 7,06% pada tahun 2006 menjadi 5,37% pada tahun Meskipun mengalami perbaikan, namun rasio NPLs ini masih di atas batas aman. Tingginya rasio NPLs Kredit Investasi antara lain disebabkan risk profile yang lebih tinggi karena jangka waktunya yang cukup panjang dan dipengaruhi oleh daya saing produk. Sedangkan NPLs Kredit Konsumsi juga mengalami penurunan dari 2,35% menjadi 1,31%. Terjaganya rasio NPLs Kredit Konsumsi antara lain disebabkan oleh jaminan pembayaran kredit ini lebih terjaga, baik dalam bentuk jaminan barang maupun jaminan kepastian pembayaran dari penghasilan debitur. Secara sektoral, sektor ekonomi yang memiliki rasio NPLs di atas 5,00% adalah sektor Konstruksi, sektor Pertambangan dan sektor Perindustrian. Tingginya NPLs di tiga sektor ini dikarenakan tingginya risk profile sektor-sektor tersebut jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Selain itu, sektor-sektor ini adalah sektor yang banyak terkena imbas dari gempa tektonik 27 Mei Undisbursed Loans Miliar Rp 8, Grafik 3.8 Undisbursed Loans 6, , , Undisbursed Loan (UL) Plafon Kredit Proporsi Total UL thd Total Plafon Kredit % Pada tahun 2007, fasilitas pinjaman kepada nasabah yang belum ditarik (Undisbursed Loans/UL) sebesar Rp610 miliar tumbuh sebesar 11,25%. Di sisi lain, total plafon Kredit yang mencerminkan penawaran Kredit tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar 26,14% dari Rp7.497 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp9.457 miliar pada tahun laporan. Rasio perbandingan antara UL dengan total plafon Kredit Bank Umum yang mengalami penurunan sejak tahun 2000 hingga tahun 2005, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2006, kini kembali mengalami penurunan menjadi 6,45%. Meskipun demikian, permintaan nasabah dan penawaran Kredit oleh Bank Umum di DIY masih dapat dikatakan seimbang. Penyaluran Kredit UMKM Penyaluran Kredit Bank Umum kepada sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sampai dengan akhir tahun 2007 tercatat sebesar Rp6.927 miliar dengan pertumbuhan sebesar 19,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan tahun 2006 sebesar 14,25%, namun lebih rendah dari pertumbuhan kredit UMKM Nasional sebesar 22,50%. Namun, peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan pangsa Kredit UMKM, yang mengalami penurunan, dimana pada tahun 2005 tercatat sebesar 86,45%, tahun 2006 sebesar 87,35%, dan pada tahun 2007 hanya sebesar 86,71%. Meskipun demikian, kredit UMKM masih mendominasi penyaluran Kredit Bank Umum, menunjukkan komitmen Bank Umum dalam mendukung pembiayaan UMKM telah direalisasikan Bab 3 - Perkembangan Perbankan 73

88 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 dengan baik sejalan dengan himbauan Bank Indonesia yang diwujudkan antara lain dengan himbauan untuk mencantumkan rencana pembiayaan UMKM dalam business plan-nya. No Uraian Tabel 3.9 Kredit UMKM Bank Umum 2006 Miliar Rp Mi K M Total Pangsa 1 Ptumb 1 Mi K M Total Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Penggunaan ,00 14, ,00 19,86 1 Modal Kerja ,97 19, ,77 22,43 2 Investasi ,86 27, ,47 5,74 3 Konsumsi ,16 8, ,77 21,28 B Sektor Ekonomi ,00 14, ,00 19,86 1 Pertanian ,90-2, ,86 18,51 2 Pertambangan ,36-3, ,08-72,14 3 Perindustrian ,41 11, ,06 12,00 4 Listrik, Gas dan Air ,02 3, ,02-4,40 5 Konstruksi ,76 52, ,21-17,45 6 Perdagangan, Restoran & Hotel ,77 24, ,52 23,23 7 Pengangkutan, Pergudangan ,15-9, ,91-5,42 8 Jasa-jasa Dunia Usaha ,38 35, ,76 25,95 9 Jasa-jasa Sosial Masyarakat ,98 16, ,68 2,24 10 Lain-lain ,27 8, ,89 21,28 C Non Performing Loans 1 Nominal , ,64 2 Rasio (%) 1,52 2,10 1,63 3,66 4,64 3,03 1,29 2,77 3,16 2,26 D Total Kredit E Persentase thd Total Kredit 85,62 86,45 37,10 29,24 21,02 87,35 35,65 28,40 22,66 86,71 Keterangan: 1) %. Mi = Kredit Usaha Mikro (0-50 juta) K = Kredit Usaha Kecil ( juta) M = Kredit Usaha Menengah (500 juta - 5 miliar) Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum 2007 Berdasarkan jenis penggunaan, Kredit sektor UMKM masih didominasi oleh kegiatan Konsumsi, yaitu sebesar 51,77% atau Rp3.586 miliar. Sedangkan porsi untuk Modal Kerja dan Investasi masing-masing sebesar 37,77% dan 10,47% dengan nilai masing-masing sebesar Rp2.616 miliar dan Rp725 miliar. Sementara itu, ditinjau dari sektor ekonomi, sektor yang paling banyak dibiayai adalah sektor Lain-lain sebesar Rp3.664 miliar atau 52,89% dari total Kredit kepada sektor UMKM, dimana sebagian besar dari sektor Lain-lain termasuk dalam kegiatan Konsumsi, kemudian diikuti oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar Rp1.907 miliar (27,52%). Peningkatan penyaluran Kredit UMKM ini diikuti dengan penurunan NPLs Kredit UMKM dari 3,03% pada tahun 2006 menjadi 2,26% pada tahun NPLs tertinggi justru terdapat pada Kredit kepada Usaha Menengah dengan NPLs sebesar 3,16%, diikuti oleh Usaha Kecil dan Usaha Mikro masing-masing sebesar 2,77% dan 1,29%. Penyaluran Kredit Properti Penyaluran Kredit Properti Bank Umum pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp1.319 miliar, mengalami peningkatan sebesar 16,45%, namun lebih lambat jika dibandingkan dengan peningkatan pada tahun 2006 yang tercatat sebesar 33,78%. Pangsa Kredit Properti pun mengalami penurunan, dari 17,12% pada tahun 2006 menjadi 16,51% pada tahun Bab 3 - Perkembangan Perbankan

89 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 No Uraian Tabel 3.10 Kredit Properti Bank Umum Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Kredit Properti kepada Pengembang ,00 45, ,00-54,93 1 Modal Kerja ,11 11, ,61 16,54 2 Investasi ,89 72, ,39-90,31 B Kredit Properti kepada Konsumen ,00 31, ,00 29,75 1 Kredit Rumah & Apartemen s.d Tipe ,30 66, ,24 32,40 2 Kredit Rumah & Apartemen > Tipe ,80 11, ,76 24,64 3 Kredit Ruko & Rukan ,91 17, ,00 104,17 C Total Kredit Properti ,12 33, ,51 16,45 D Total Kredit ,00 13, ,00 20,74 E 1 Non Performing Loans Kredit Properti kepada Pengembang ,00 978, ,00-29,68 a. Modal Kerja ,10 368, ,34-49,81 b. Investasi , ,66-19,26 2 Kredit Properti kepada Konsumen ,00 690, ,00-44,44 a. Kredit Rumah & Apartemen s.d Tipe , , ,23-42,40 b. Kredit Rumah & Apartemen > Tipe ,69 490, ,75-48,51 c. Kredit Ruko & Rukan ,72-1 4,02-3 Total Kredit Properti ,61 748, ,80-40,68 4 Total Kredit ,00 58, ,00 51,72 F 1 Rasio Non Performing Loans Kredit Properti kepada Pengembang 1,85 1,32 9,73 15,17 a. Modal Kerja 2,76 2,38 10,02 4,31 b. Investasi - 0,50 9,58 79,81 2 Kredit Properti kepada Konsumen 0,83 0,88 5,30 2,27 a. Kredit Rumah & Apartemen s.d Tipe 70 0,93 0,68 5,10 2,22 b. Kredit Rumah & Apartemen > Tipe 70 0,79 1,04 5,49 2,27 c. Kredit Ruko & Rukan - - 4,79 3,04 3 Total Kredit Properti 0,97 0,95 5,99 3,05 4 Total Kredit 1,40 2,65 3,72 4,67 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Kredit Properti Bank Umum tersebut sebesar 93,92% atau Rp1.239 miliar diberikan kepada Konsumen dan sebesar 6,08% atau Rp80 miliar diberikan kepada Pengembang dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 29,75% dan -54,93%. Pertumbuhan negatif yang dialami oleh Kredit kepada Pengembang tersebut merupakan faktor koreksi setelah pada tahun 2006 tumbuh sebesar 45,97%. Porsi penggunaan Kredit kepada Pengembang berubah pada tahun laporan, dimana sebelumnya Kredit untuk tujuan investasi mendominasi penyalurannya, namun pada tahun 2007 justru Kredit Modal Kerja yang mendominasi dengan pangsa sebesar 85,61% atau Rp69 miliar. Sedangkan untuk membiayai keperluan investasi hanya sebesar Rp12 miliar. Pengadaan barangbarang modal memang bersifat memiliki jangka waktu yang lama, sehingga perkembangannya juga akan memakan waktu lama. Sedangkan Kredit Properti kepada Konsumen sebagian besar dialokasikan untuk kepemilikan rumah di atas tipe 70, yaitu sebesar Rp617 miliar (49,76%). Sedangkan untuk pembelian atau perbaikan rumah yang termasuk tipe sederhana, sangat sederhana maupun kapling siap bangun (di bawah tipe 70) tercatat sebesar Rp585 miliar (47,24%) dan pemilikan rumah dan toko (ruko) atau rumah dan kantor (rukan) hanya sebesar Rp37 miliar (3,00%). Peningkatan penyaluran Kredit Properti kepada Konsumen sebesar 29,75% menunjukkan bahwa trauma masyarakat untuk tinggal DIY karena gempa, mulai berangsur menghilang. Kualitas Kredit Properti Bank Umum pada tahun 2007 menunjukkan perbaikan, dimana rasio NPLs total Kredit Properti yang pada tahun 2006 tercatat Bab 3 - Perkembangan Perbankan 75

90 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 sebesar 5,99%, pada tahun laporan turun menjadi 3,05%. Perbaikan NPLs Kredit Properti tersebut terutama didorong oleh perbaikan NPLs Kredit Properti kepada Konsumen yang mengalami penurunan dari 5,30% pada tahun 2006 menjadi 2,27% pada tahun Perbaikan ini dialami oleh semua komponennya, yaitu NPLs Kredit Rumah dan Apartemen di bawah tipe 70 turun dari 5,10% menjadi 2,22%, NPLs Kredit Rumah dan Apartemen di atas tipe 70 turun dari 5,49% menjadi 2,27% dan Kredit Ruko & Rukan turun dari 4,79% menjadi 3,04%. Perbaikan rasio NPLs ini memberikan sinyalemen bahwa dampak gempa yang mempengaruhi kemampuan membayar telah berangsur menghilang sehingga NPLs Kredit Konsumen mengalami perbaikan yang berarti dan berada di dalam batas aman sebesar 5%. Di sisi lain, rasio NPLs Kredit Properti kepada Pengembang tercatat sebesar 15,17%, terutama didorong oleh Kredit untuk tujuan Investasi, dengan rasio NPLs sebesar 79,81%, sebaliknya Kredit Modal Kerja hanya sebesar 4,31%. Memburuknya kualitas Kredit kepada Pengembang dengan tujuan investasi ini merupakan dampak gempa yang baru dirasakan akibatnya oleh pengembang. Pasca gempa, Pengembang mengalami kesulitan cash flow karena banyaknya pembatalan yang dilakukan oleh konsumen dan penarikan modal oleh investor luar. Di sisi lain, pengembang juga memiliki kewajiban untuk memperbaiki rumahrumah yang rusak akibat gempa. Fungsi Intermediasi, Likuiditas dan Profitabilitas Loan to Deposit Ratio (LDR) Bank Umum pada tahun 2007 naik dari 47,57% menjadi 55,07%, namun masih lebih rendah dari LDR Bank Umum yang secara nasional tercatat sebesar 69,20%. Jika ditinjau dari jenis usaha bank, peningkatan LDR Bank Umum didorong oleh peningkatan LDR Bank Umum Konvensional yang naik dari 45,73% menjadi 53,67%, sebaliknya Financing to Deposit Ratio (FDR) Bank Umum Syariah turun dari 128,08% menjadi 104,28%. Berdasarkan wilayah, semua wilayah di DIY mengalami peningkatan LDR, dimana peningkatan tertinggi terdapat pada Kabupaten Kulonprogo dari 71,09% menjadi 88,04%, diikuti oleh Kabupaten Gunungkidul dari 89,67% menjadi 105,36%, Kabupaten Sleman dari 43,31% menjadi 58,01%, Kabupaten Bantul dari 62,18% menjadi 73,83% dan Kota Yogyakarta dari 45,03% menjadi 49,25%. Likuiditas Bank Umum yang terdiri dari Kas, Giro dan Tabungan pada bank lain pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp532 miliar atau turun sebesar 1,39% dari tahun 2006 sebesar Rp540 miliar. Peningkatan ini terutama disebabkan posisi 76 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

91 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Kas Bank Umum di DIY yang turun dari Rp537 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp530 miliar. Sedangkan Giro pada bank lain turun dari Rp3 miliar menjadi Rp2 miliar, dan Tabungan pada bank lain tercatat sebesar Rp1 miliar. Rasio Likuiditas Bank Umum yang merupakan perbandingan antara Alat Likuid dengan Pendanaan tercatat mengalami penurunan dari 3,84% pada tahun 2006 menjadi 3,38% pada tahun Miliar Rp 173,12 174,87 Grafik 3.9 Net Interest Margin 141, Net Interest Income Net Interest Expense Rasio NIM 263,17 % Tabel 3.11 Rasio Keuangan Bank Umum No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Aset ,00 23, ,00 14,57 B Pendanaan ,00 21, ,00 12,13 1 Dana Pihak Ketiga ,94 21, ,60 10,60 2 Kewajiban kepada bank lain ,55 145, ,08 120,37 3 Pinjaman yang Diterima & Setoran Jaminan ,46 54, ,30 214,06 4 Surat Berharga yang Diterbitkan ,04-30,08 3 0,02-41,65 C Aktiva Produktif ,00 22, ,00 21,25 1 Kredit yang Diberikan ,24 13, ,89 20,74 2 Penempatan pada Bank Indonesia (SBI) ,36 155, ,58 23,11 3 Surat Berharga dan Tagihan Lainnya ,35-18, ,38 31,29 4 Penempatan pada bank lain ,05-2, ,16 27,42 5 Bank Garansi , ,00 - D Alat Likuid ,00 38, ,00-1,39 1 Kas ,49 39, ,57-1,32 2 Giro pada bank lain ,51-6,87 2 0,43-16,39 3 Tabungan pada bank lain ,00-1 0,20 - E Laba / Rugi ,00-7, ,00 4,37 1 Pendapatan Operasional , ,50 2 Pendapatan Bunga , ,62 3 Beban Operasional , ,54 4 Beban Bunga , ,28 F Aktiva Produktif/Total Aset (%) = (C)/(A) 46,63 52,50 52,02 55,06 G Rasio Likuiditas (%) = (D)/(B) 3,02 3,37 3,84 3,38 H Rasio Rentabilitas (%) = (E)/(A) 1,49 1,28 0,96 0,87 I Rasio Net Interest Margin (%) = (E.2)/(E.4) 173,12 174,87 141,93 263,17 J Rasio BOPO (%) = (E.1)/(E.3) 103,51 99,67 117,80 86,58 K LDR (%) 1 Jenis Usaha Bank 43,45 51,04 47,57 55,07 a. Konvensional 42,47 49,51 45,73 53,67 b. Syariah 96,33 125,12 128,08 104,28 2 Wilayah 43,45 51,04 47,57 55,07 a. Bantul 81,54 90,45 62,18 73,83 b. Gunungkidul 96,33 105,58 89,67 105,36 c. Kulonprogo 71,81 83,28 71,09 88,04 d. Sleman 41,69 47,87 43,31 58,01 e. Yogyakarta 39,10 46,82 45,03 49,25 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Profitabilitas Bank Umum pada tahun laporan naik 4,37% menjadi Rp153 miliar setelah sebelumnya berada pada posisi Rp146 miliar, sehingga rasio perbandingan antara Laba yang diperoleh dengan Aset atau lebih dikenal dengan rasio Return On Asset (ROA) turun dari 0,96% pada tahun 2006 menjadi 0,87% pada tahun Sedangkan rasio Net Interest Margin (NIM), yang merupakan perbandingan antara Pendapatan Bunga dengan Biaya Bunga mengalami peningkatan dari 141,93% pada periode sebelumnya menjadi 263,17% pada tahun Sementara itu, efisiensi Bank Umum DIY yang tercermin dari rasio antara Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO) mengalami penurunan dari 117,80% pada tahun 2006 menjadi 86,58% pada tahun Bab 3 - Perkembangan Perbankan 77

92 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Peningkatan Kompetensi Karyawan Komitmen Bank Umum dalam meningkatkan kompetensi karyawan masih menunjukkan peningkatan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan Biaya Pendidikan dan Pelatihan bagi karyawan Bank Umum yang mencapai orang tercatat sebesar Rp10 miliar, naik 53,52% dari tahun 2006 yang hanya tercatat sebesar Rp6 miliar. Dengan demikian, rasio Biaya Pendidikan dan Pelatihan terhadap total Biaya Tenaga Kerja naik dari 2,18% menjadi 5,92%. Biaya Tenaga Kerja yang terdiri dari gaji, honorarium dan biaya tenaga kerja lainnya pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp162 miliar. 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 Juta Rp Grafik 3.10 Biaya Pendidikan dan Latihan Karyawan Bank Umum 1,60 2,49 2,18 5, Biaya Diklat per Karyawan Rasio Biaya Diklat terhadap Biaya Tenaga Kerja % No Tabel 3.12 Jumlah dan Biaya Tenaga Kerja Bank Umum Uraian Posisi Ptumb 1 Posisi Ptumb 1 1 Jumlah Karyawan (orang) , ,19 2 Biaya Tenaga Kerja (Miliar Rp) , ,50 3 Biaya Pendidikan dan Pelatihan (Miliar Rp) , ,52 4 Biaya Tenaga Kerja per Karyawan (Juta Rp) 53,302 58,622 65,982 12,56 0,036-99,94 5 Biaya Pendidikan per Karyawan (Juta Rp) 0,869 1,459 1,437-1,53 0,002-99,85 6 Rasio Biaya Pendidikan thd Biaya Tenaga Kerja (%) 1,63 2,49 2,18 5,92 Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Jika dilihat dari rata-rata biaya Tenaga Kerja per Karyawan, pada tahun 2007 terjadi penurunan sebesar -44,71% dari Rp66 juta per orang per tahun menjadi Rp36 juta per orang per tahun. Di sisi lain, angka pertumbuhan biaya Pendidikan dan Pelatihan per Karyawan justru mengalami pertumbuhan sebesar 50,23%, dari Rp1,4 juta per orang per tahun pada tahun 2006 menjadi Rp2,2 juta per orang per tahun pada tahun Komitmen untuk peningkatan kompetensi karyawan ini hendaknya senantiasa menjadi prioritas perbankan demi terciptanya sumber daya manusia yang handal dan pada gilirannya dapat ikut serta menciptakan sistem perbankan yang sehat. BANK PERKREDITAN RAKYAT Kelembagaan Sampai dengan posisi akhir tahun 2007, jumlah Bank Perkredita Rakyat (BPR) yang beroperasi di wilayah DIY secara nominal berkurang sebanyak 4 BPR dari 64 BPR pada tahun 2006 menjadi 60 BPR pada tahun laporan. Perubahan tersebut sebagai akibat adanya pembukaan BPR baru, proses merger dan proses konsolidasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. 78 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

93 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Sleman 54% Grafik 3.11 Penyebaran Jaringan Kantor BPR Bantul 27% Dilihat dari penyebaran jaringan kantor BPR, sampai saat ini masih terkonsentrasi di Kabupaten Sleman sebesar 53,55% dari total jaringan kantor BPR, kemudian diikuti oleh Kabupaten Bantul sebesar 27,10%. Sedangkan Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul masing-masing sebesar 9,03%, 6,45% dan 3,87%. Yogyakarta 9% Kulonprogo 6% Gunungkidul 4% Aset Sampai dengan akhir tahun 2007, Aset BPR DIY tercatat sebesar Rp1.454 miliar, tumbuh 28,94% dari tahun sebelumnya sebesar Rp1.128 miliar. Angka pertumbuhan Aset BPR di DIY ini melampaui angka pertumbuhan Aset BPR secara nasional yaitu sebesar 20,38%. Tabel 3.13 Aset Bank Perkreditan Rakyat No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Usaha Bank ,00 11, ,00 28,94 1 Konvensional ,18 10, ,70 28,30 2 Syariah ,82 17, ,30 62,89 B Wilayah ,00 11, ,00 28,94 1 Bantul ,34 13, ,93 26,57 2 Gunungkidul ,30 45, ,44 33,07 3 Kulonprogo ,25 5, ,48 44,39 4 Sleman ,63 3, ,84 22,22 5 Yogyakarta ,47 66, ,31 53,91 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Peningkatan Aset BPR ini didorong oleh pertumbuhan Aset BPR Konvensional sebesar 28,30% dari Rp1.107 miliar menjadi Rp1.420 miliar dan pertumbuhan Aset BPR Syariah sebesar 62,89% dari Rp21 miliar menjadi Rp34 miliar, sebagai akibat dari prmbukaan 3 BPR Syariah baru. Berdasarkan wilayah, pertumbuhan tertinggi dialami oleh BPR yang berkedudukan di Kota Yogyakarta yaitu sebesar 53,91% menjadi Rp164 miliar, diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo sebesar 44,39% menjadi Rp167 miliar. Sedangkan Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman tumbuh masing-masing sebesar 33,07%, 26,57% dan 22,22% menjadi sebesar Rp65 miliar, Rp319 miliar dan Rp739 miliar. Penghimpunan Dana Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) BPR di DIY pada tahun 2007 mencapai sebesar Rp1.067 miliar, naik 30,00% jika dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar Rp821 miliar. Peningkatan DPK BPR ini merupakan shifting dari DPK Bank Umum di DIY, karena suku bunga simpanan yang ditawarkan oleh BPR lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga Bank Umum. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 79

94 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Penghimpunan dana masyarakat tersebut disimpan di BPR Konvensional sebesar 97,71% atau Rp1.043 miliar dan sisanya disimpan di BPR Syariah sebesar Rp24 miliar. Tabel 3.14 Dana Pihak Ketiga Bank Perkreditan Rakyat No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Usaha ,00 13, ,00 30,00 1 Konvensional ,19 13, ,71 29,37 2 Syariah ,81 8, ,29 64,29 B Jenis Simpanan ,00 13, ,00 30,00 1 Tabungan ,20 13, ,05 47,16 2 Deposito ,80 13, ,95 22,93 C Wilayah ,00 13, ,00 30,00 1 Bantul ,36 13, ,96 33,49 2 Gunungkidul ,71 34, ,17 51,82 3 Kulonprogo ,80 11, ,92 31,54 4 Sleman ,75 7, ,72 20,78 5 Yogyakarta ,37 71, ,23 74,36 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Deposito sebagai simpanan berjangka masih menjadi preferensi nasabah BPR yakni sebesar Rp715 miliar (66,95%), sedangkan Tabungan hanya sebesar Rp353 miliar (33,05%), dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 22,93% dan 47,16%. Berdasarkan wilayah, Kabupaten Sleman berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp563 miliar atau 52,72% dari total DPK BPR sesuai dengan konsentrasi jaringan kantornya, diikuti oleh Kabupaten Bantul sebesar Rp245 miliar (22,96%). Sedangkan Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul memiliki pangsa di bawah 10,00% yaitu masing-masing sebesar Rp120 miliar (11,23%), Rp106 miliar (9,92%) dan Rp34 miliar (3,17%). Penyaluran Kredit dan Kualitas Kredit Hingga akhir tahun 2007, BPR di wilayah DIY telah menyalurkan Kredit sebesar Rp1.070 miliar, tumbuh 24,23% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp861 miliar. Pencapaian ini berada di atas pertumbuhan Kredit BPR secara nasional yang tercatat sebesar 21,19% pada tahun Kredit BPR tersebut sebesar 97,67% atau Rp1.045 miliar disalurkan melalui BPR Konvensional dan 2,33% lainnya atau sebesar Rp25 miliar disalurkan melalui BPR Syariah. Berdasarkan tujuan penggunaannya, sebagaimana fenomena yang terjadi pada Perbankan DIY secara umum dan Bank Umum, pangsa terbesar penyaluran Kredit BPR dimiliki oleh Kredit Konsumsi yaitu sebesar 48,39% atau Rp518 miliar, diikuti oleh Kredit Modal Kerja sebesar 43,50% atau Rp465 miliar. Sedangkan 80 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

95 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Kredit Investasi hanya memiliki pangsa sebesar 8,12% atau Rp87 miliar dari total Kredit BPR, namun memiliki angka pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 54,31%. Tabel 3.15 Kredit Bank Perkreditan Rakyat No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 A Jenis Usaha Bank ,00 3, ,00 24,23 1 Konvensional ,13 3, ,67 23,65 2 Syariah ,87 23, ,33 54,69 B Jenis Penggunaan ,00 3, ,00 24,23 1 Modal Kerja ,88-8, ,50 23,16 2 Investasi ,53 126, ,12 54,31 3 Konsumsi ,59 8, ,39 21,21 C Sektor ,00 3, ,00 24,23 1 Pertanian ,07 4, ,19 31,23 2 Industri ,85 23, ,97 31,76 3 Perdagangan ,26-9, ,79 26,26 4 Jasa-jasa ,34 3, ,51 25,98 5 Lain-lain ,47 12, ,55 22,05 D Wilayah ,00 3, ,00 24,23 1 Bantul ,46 1, ,20 22,63 2 Gunungkidul ,35 27, ,34 24,10 3 Kulonprogo ,66-6, ,97 51,11 4 Sleman ,27-2, ,22 14,95 5 Yogyakarta ,26 62, ,28 48,60 F Non Performing Loans 1 Jenis Usaha Bank a. Konvensional b. Syariah Wilayah a. Bantul b. Gunung Kidul c. Kulon Progo d. Sleman e. Yogyakarta G Non Performing Loans (%) 1 Jenis Usaha Bank 6,11 8,70 10,41 7,86 a. Konvensional 6,09 8,71 10,49 7,93 b. Syariah 7,36 8,24 6,04 4,69 2 Wilayah 6,11 8,70 10,41 7,86 a. Bantul 11,86 15,27 19,13 11,53 b. Gunungkidul 2,81 3,25 7,55 7,00 c. Kulonprogo 3,58 4,96 5,31 3,73 d. Sleman 3,72 7,76 8,31 7,68 e. Yogyakarta 15,20 5,74 10,60 7,21 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Persentase alokasi Kredit yang disalurkan BPR kepada sektor-sektor usaha tidak mengalami perubahan dari tahun-tahun sebelumnya, dimana sektor Lainlain mendapat porsi terbesar yaitu 51,55% dengan nilai Rp552 miliar, kemudian diikuti oleh Sektor Perdagangan dengan nilai Rp351 miliar (32,79%) dan sektor Jasa-jasa dengan nilai Rp123 miliar (11,51%) dan angka pertumbuhan masingmasing sebesar 22,05%, 26,26% dan 25,98%. Kredit BPR terutama disalurkan oleh BPR di Kabupaten Sleman sebesar Rp537 miliar (50,22%), diikuti oleh Kabupaten Bantul sebesar Rp216 miliar (20,20%), dan Kabupaten Kulonprogo sebesar Rp139 miliar (12,97%). Kualitas Kredit BPR pada tahun 2007 mengalami perbaikan, tercermin dari penurunan rasio NPLss menjadi sebesar 7,86% yang pada tahun 2006 tercatat sebesar 10,41%. Perbaikan ini merupakan hasil dari upaya BPR untuk melakukan penagihan secara intensif. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 81

96 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Penurunan rasio NPLss ini didorong oleh penurunan rasio BPR Konvensional dari 10,49% pada tahun 2006 menjadi 7,93% pada tahun 2007, sedangkan rasio NPF BPR Syariah turun dari 6,04% pada tahun 2006 menjadi 4,69% pada tahun Jika dirinci berdasarkan wilayah, Kabupaten Bantul masih memiliki rasio NPLs tertinggi yaitu sebesar 11,53%, diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 7,68% dan 7,21%. Tabel 3.16 Loan to Deposit Ratio Bank Perkreditan Rakyat % No Uraian A Jenis Usaha Bank 109,88 114,69 104,93 100,26 1 Konvensional 110,16 115,07 104,86 100,22 2 Syariah 88,32 95,25 108,48 102,14 B Wilayah 109,88 114,69 104,93 100,26 1 Bantul 86,97 93,24 95,99 88,18 2 Gunungkidul 62,53 56,46 168,18 137,47 3 Kulonprogo 74,04 74,09 114,10 131,08 4 Sleman 98,44 91,11 100,34 95,51 5 Yogyakarta 81,77 73,66 128,58 109,59 Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Fungsi Intermediasi Dalam kurun waktu 1 tahun, rasio Lending to Deposit Ratio (LDR) BPR turun sebesar 4,66% dari 104,93% pada tahun 2006 menjadi 100,26% pada tahun Hal ini disebabkan pertumbuhan Kredit lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan DPK-nya, sebagai akibat shifting dana masyarakat dari Bank Umum ke BPR sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh turunnya FDR BPR Syariah sebesar 6,34% dari 108,48% menjadi 102,14% dan LDR BPR Konvensional turun sebesar 4,64% dari 104,86% pada tahun sebelumnya menjadi 100,22%. Berdasarkan lokasi kantor BPR, rata-rata LDR BPR berada di atas 90%, kecuali Kabupaten Bantul sebesar 88,18%. LDR BPR tertinggi terdapat pada BPR di wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar 137,47%. 82 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

97 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Miliar Rp 95,89 Grafik 3.12 Indikator Perbankan Syariah 123,47 127,19 104,28 1,15 3,08 1,93 2, Aset Dana Pihak Ketiga Pembiayaan NPF FDR % PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH Kelembagaan Jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha Syariah pada tahun 2007 mengalami penambahan sebanyak 4 bank, yaitu 1 Bank Umum Syariah (BUS) dan 3 BPR Syariah (BPRS). Penambahan dari Bank Umum tersebut merupakan pembukaan Unit Usaha Syariah milik PT Bank Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan penambahan BPRS tersebut adalah PT BPRS Barokah Dana Sejahtera, PT BPRS Mitra Amal Mulia dan PT BPRS Madina Mandiri Sejahtera. Dengan demikian, pembukaan 3 BPR Syariah tersebut melengkapi 3 BPRS Syariah yang telah ada sebelumnya yaitu BPRS Margirizki Bahagia, BPRS Bangun Drajat Warga dan BPRS Dana Hidayatullah. Sedangkan Bank Umum lain yang telah melakukan kegiatan perbankan syariah tercatat sebanyak 5 bank yang merupakan Kantor Cabang, yaitu Bank Negara Indonesia Syariah, Bank Rakyat Indonesia Syariah, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Tabungan Negara. Aset Aset perbankan Syariah DIY mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, tercermin dari pertumbuhan Aset sebesar 40,27% dari Rp376 miliar menjadi Rp528 miliar, dimana Aset Bank Umum Syariah naik sebesar 38,96% dari Rp356 miliar menjadi Rp494 miliar, sedangkan BPR Syariah naik sebesar 62,89% dari Rp21 miliar menjadi Rp34 miliar. Pertumbuhan tinggi aset perbankan Syariah tersebut menyebabkan pangsa aset perbankan Syariah DIY terhadap total aset perbankan mengalami peningkatan dari 2,29% pada tahun 2006 menjadi 2,78% pada tahun Pangsa perbankan Syariah ini diharapkan dapat terus mengalami peningkatan dan memberikan kontribusi terhadap tercapainya target nasional pangsa perbankan Syariah sebesar 5%. Penghimpunan Dana Seiring dengan pertumbuhan Aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun oleh perbankan Syariah pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 39,20% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari Rp327 miliar menjadi Rp455 miliar, sebesar 94,63% atau Rp430 miliar disimpan di BUS, sedangkan sebesar 5,37% atau Rp24 miliar disimpan di BPR Syariah. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 83

98 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Berdasarkan jenis simpanan, dana masyarakat tersebut sebagian besar disimpan dalam bentuk Tabungan (52,48%) atau sebesar Rp239 miliar dengan pertumbuhan 37,58%, Deposito (40,70%) atau sebesar Rp185 miliar dengan pertumbuhan 51,69% dan Giro (6,82%) atau sebesar Rp31 miliar dengan angka pertumbuhan negatif yaitu -0,65%. Tabel 3.17 Indikator Perbankan Syariah No Uraian Miliar Rp Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 Posisi Pangsa 1 Ptumb 1 I Aset ,00 27, ,00 40,27 1 BU Syariah ,53 28, ,65 38,96 2 BPR Syariah ,47 17, ,35 62,89 II Penghimpunan Dana (Deposit) ,00 32, ,00 39,20 A Jenis Bank ,00 32, ,00 39,20 1 BU Syariah ,45 33, ,63 38,00 2 BPR Syariah ,55 8, ,37 64,29 B Jenis Simpanan ,00 32, ,00 39,20 1 Giro ,56 99, ,82-0,65 2 Tabungan ,10 51, ,48 37,58 3 Deposito ,35 4, ,70 51,69 C Jenis Valuta ,00 32, ,00 39,20 1 Rupiah ,75 32, ,58 38,95 2 Valuta Asing ,25 9,15 6 1,42 58,58 III Penyaluran Dana (Financing) ,00 36, ,00 14,13 A Jenis Bank ,00 36, ,00 14,13 1 BU Syariah ,12 37, ,74 12,49 2 BPR Syariah ,88 23, ,26 54,69 B Jenis Penggunaan ,00 36, ,00 14,13 1 Modal Kerja ,54 31, ,21 39,49 2 Investasi ,99 106, ,46-5,10 3 Konsumsi ,47 22, ,33 9,56 IV Rasio A Non Performing Financing (NPF) ,00-14, ,00 37,01 1 BU Syariah ,85-15, ,34 39,33 2 BPR Syariah ,15-9, ,66 20,18 B Rasio Non Performing Financing 1,15 3,08 1,93 2,31 1 BU Syariah 0,82 2,85 1,76 2,18 2 BPR Syariah 7,36 8,24 6,04 4,69 C Financing to Deposit Ratio (FDR) 1 95,89 123,47 127,19 104,28 1 BU Syariah 96,33 125,12 128,08 104,40 2 BPR Syariah 88,32 95,25 108,48 102,14 V Jumlah Bank Syariah BU Syariah BPR Syariah Keterangan: 1) %. Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Penyaluran Pembiayaan dan Kualitas Pembiayaan Sampai dengan akhir tahun 2007, Pembiayaan yang telah disalurkan oleh perbankan Syariah mengalami peningkatan sebesar 14,13% dari Rp415 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp474 miliar pada tahun Meskipun mengalami pertumbuhan, namun pertumbuhan ini lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2006 sebesar 36,44% dan tahun 2005 sebesar 62,69%. Perlambatan ini disebabkan karena pelunasan pembiayaan yang belum jatuh tempo karena debitur mengalihkan pinjamannya ke Perbankan Konvensional. Hal ini terjadi karena pembiayaan pada Perbankan Syariah menganut pada sistem margin, atau pada Perbankan Konvensional dikenal dengan fixed rate, yang disepakati pada awal perjanjian. Penurunan BI Rate sebagai suku bunga acuan, direspon perbankan dengan menurunkan suku bunganya, termasuk suku bunga kredit. Dengan demikian, suku bunga Perbankan Konvensional menjadi lebih murah yang selanjutnya menyebabkan pergeseran pembiayaan Perbankan Syariah kepada Perbankan konvensional. 84 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

99 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Pembiayaan perbankan Syariah berdasarkan jenis bank berasal dari pembiayaan Bank Umum Syariah sebesar Rp449 miliar, tumbuh 12,49% dari tahun 2006 sebesar Rp399 miliar, dan BPR Syariah sebesar Rp25 miliar yang tumbuh 54,69% dari Rp16 miliar. Pembiayaan dengan tujuan Konsumsi masih menjadi primadona penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah, dengan pangsa 51,33% atau sebesar Rp243 miliar, kemudian diikuti dengan Pembiayaan untuk kegiatan Modal Kerja dengan pangsa 31,21% atau sebesar Rp148 miliar, dan terakhir adalah pembiayaan untuk kegiatan Investasi dengan pangsa 17,46% atau sebesar Rp83 miliar. Kualitas penyaluran dana Perbankan Syariah pada tahun 2007 mengalami penurunan, dibuktikan dengan naiknya rasio Pembiayaan Non Lancar (Non Performing Financing) dari 1,93% menjadi 2,31%. Rasio NPF Bank Umum Syariah tercatat sebesar 2,18%, naik dari tahun 2006 sebesar 1,76%. Sedangkan yang menggembirakan, rasio NPF BPR Syariah pada tahun 2007 berhasil ditekan sehingga berada di bawah 5,00%, yakni 4,69%, turun dari tahun 2006 sebesar 6,04%. Fungsi Intermediasi Pertumbuhan penghimpunan dana perbankan Syariah yang lebih besar dari pertumbuhan pembiayaannya, mendorong penurunan rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) dari 127,19% pada tahun 2006 menjadi 104,28% pada tahun laporan. Jika dirinci berdasarkan jenis bank, FDR masing-masing jenis bank mengalami penurunan yang cukup signifikan. FDR BUS turun dari 128,08% pada tahun 2006 menjadi 104,40% pada tahun Sedangkan FDR BPR Syariah turun dari 108,48% pada tahun 2006 menjadi 102,14% pada tahun Meskipun mengalami penurunan, rasio FDR Perbankan Syariah masih berada di atas 100,00%, menunjukkan dana milik Perbankan Syariah selain DPK juga disalurkan dalam bentuk pembiayaan, yang juga berarti merupakan realisasi komitmen Perbankan Syariah dalam menggerakkan perekonomian DIY. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 85

100 Boks: Pembia embiayaan aan UMKM Sektor Pertanian Kebijakan Secara umum kebijakan Pemerintah maupun Bank Indonesia yang terkait dengan pengembangan UMKM cukup banyak, namun belum terkomunikasikan secara baik sehingga implementasi dari kebijakan tersebut kurang optimal. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan UMKM diantaranya adalah: 1. Berperan dalam penyediaan pendanaan secara tak langsung melalui penerbitan SUP No. 005 dan penyaluran kembali kredit eks KLBI (relending) kepada BUMN Koordinator (PT PNM, BTN dan BRI). 2. Penerbitan dan penyempurnaan pengaturan kepada perbankan dalam rangka mendukung penyaluran kredit kepada UMKM. 3. PBI No. 3/2/PBI/2001 perihal Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK). BI menganjurkan bank untuk menyalurkan kredit Usaha Kecil. 4. PBI No. 7/39/PBI/2005 perihal Pemberian Bantuan Teknis dalam pengembangan UMKM. 5. PBI No. 6/25/PBI/2004 dan SE-BI No. 6/44/DPNP perihal Rencana Bisnis Bank Umum. 6. PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimal Pemberian Kredit Bank Umum. 7. PBI No. 7/45/PBI/2005 mengenai Perlakuan Khusus terhadap Bank Umum Pasca Bencana Nasional. 8. PBI No. 7/8/PBI/2005 mengenai Sistem Informasi Debitur. 9. PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Penghitungan ATMR. 10. PBI No. 9/6/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Perubahan Kedua PBI No. 8/2/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif. Terkait dengan ketentuan yang terakhir, bahwa ketentuan ini merupakan ketentuan relaksasi yang memberi kelonggaran penilaian kualitas linkage program dengan BPR. Dalam ketentuan sebelumnya penilaian kualitas linkage program dengan BPR tidak diatur secara khusus. Persisnya kriteria lama tunggakan pokok/bunga untuk kategori kurang lancar dan macet diubah dari 5 hari menjadi 30 hari. Menetapkan bahwa kredit usaha kecil dan menengah dapat ditetapkan kualitasnya hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok/bunga dengan batasan plafond kredit yang dikaitkan dengan penilaian atas Risk Control System kredit dan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan masingmasing bank. Dalam ketentuan sebelumnya kredit usaha menengah belum dapat ditetapkan kualitasnya hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok/bunga. Adanya penambahan item agunan yang dapat digunakan sebagai pengurang pembentukan PPAP: dari semula 4 item menjadi 6 item dengan tambahan Resi Gudang dan mesin. Selanjutnya SE 8/3/DPNP yang memberikan bobot ATMR terhadap kredit KUK sebesar 85%, KPR 40% dan pegawai/pensiunan 50% apabila syarat yang ditetapkan dipenuhi. Sebelumnya kredit tersebut dibobot 100%, kecuali apabila dijamin pemerintah/bumn maka dibobot 0%. 86 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

101 Resi Gudang Ada satu item dalam ketentuan di atas yang memberi angin segar bagi sektor pertanian. Dengan diperhitungkannya Resi Gudang sebagai pengurang pembentukan PPAP hingga sebesar 70%, diharapkan akan mendorong industri perbankan untuk membiayai sektor Pertanian, karena bank bisa memanfaatkan Resi Gudang sebagai menjadi agunan kredit. Dasar hukum keberadaan Resi Gudang juga sangat kuat, diantaranya UU No.9 Tahun 2006 : Sistem Resi Gudang dan PP No.36 tgl 22 Juni 2007 terkait dengan barang-barang yang dapat disimpan di gudang. Sehingga, sangat optimis implementasi PBI No.9/6/2007 dapat terlaksana, tinggal menunggu kesiapan SDM perbankan dalam memahami karakteristik usaha pertanian. Secara ringkas, Resi Gudang merupakan tanda bukti yang dikeluarkan perusahaan pergudangan. Resi Gudang ini bisa dijadikan agunan untuk memperoleh kredit dengan jangka waktu palin lama 1 tahun (tergantung komoditinya). Cara memperolehnya : Setelah panen, petani bisa menyerahkan hasil panennya ke perusahaan pergudangan yang berhak mengeluarkan Resi Gudang. Petani nanti memperoleh Resi Gudang sebagai tanda bukti. Resi Gudang ini mencantumkan kuantitas dan kualitas barang yang disimpan. Ini bisa diajukan ke bank sebagai agunan. Bank bisa memberikan kredit atau pembiayaan sampai 70% dari nilai agunan, tergantung jenis dan kualitas barangnya. Pola pembiayaan yang mirip dengan mekanisme pembiayaan dengan agunan Resi Gudang tersebut sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh beberapa bank nasional. Pembiayaan Bank Syariah untuk Produk Sektor Pertanian Selain itu, masih banyak pola pembiayaan perbankan untuk produk-produk sektor pertanian, diantaranya adalah pembiayaan melalui perbankan syariah. 1. Bai Salam (Up front financing) Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera sebelum muslam fiih diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Piutang salam harus diselesaikan dalam bentuk penyerahan barang bukan penerimaan dalam bentuk uang tunai. Hutang salam adalah modal usaha salam yang diterima oleh bank sebagai penjual dari pembeli. Harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. NASABAH /PENJUAL Pemesanan barang nasabah dan bayar tunai Kirim pesanan Kirim dokumen Bayar PEMBELI Negosiasi pesanan dengan kriteria BANK Barang yang diterima harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang diterima bank salah atau cacat maka penjual (supplier) harus bertanggung jawab atas kelalaiannya. Apabila nilai pasarnya lebih rendah daripada nilai akad maka bank mengakui sebagai kerugian salam. Apabila nilai pasarnya lebih tinggi daripada nilai akad maka bank tidak mengakui sebagai keuntungan salam. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 87

102 Bank sebagai pembeli dapat meminta jaminan untuk menghindari risiko yang merugikan. Barang pesanan yang disepakati antara penjual dan pembeli harus diketahui karakterisktiknya secara umum jenis, macam, kualitas dan kuantitasnya. Apabila barang yang dikirim tidak sesuai karakteristiknya maka penjual harus bertanggung jawab. Hutang salam merupakan kewajiban bank yang harus diselesaikan dalam bentuk penyerahan barang bukan pembayaran dalam bentuk uang tunai. Spesifikasi dan harga barang harus disepakati di awal akad dan harga barang tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat: akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah. 2. Muzaraah Pembiayaan ini melibatkan tiga pihak yakni Bank, Pemilik Lahan dan Petani. Pembiayaan ini, dana berasal dari Bank, sedangkan benih dan lahan dari pemilik, serta benih dan ketrampilan dari petani. 3. Musaqah Sama halnya dengan pembiayaan Muzaraah, Pembiayaan ini juga melibatkan tiga pihak yakni Bank, Pemilik Lahan dan Petani. Dimana dana berasal dari Bank, sedangkan benih dan lahan dari pemilik, serta ketrampilan dari petani. Namun sejauh ini pembiayaan Muzaraah dan Musaqah belum ada yang mengajukan, sehingga aturan dari Bank Indonesia belum dikeluarkan. Seandainya ada petani yang menginginkan pembiayaan seperti ini untuk sementara bisa dibiayai melalui mekanisme pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah. 4. Mudharabah Mutlaqah (Bagi hasil) Pembiayaan mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah pembagian hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan dimuka. Pembiayaan mudharabah dapat diberikan dalam bentuk kas dan atau non-kas yang dilakukan secara bertahap atau sekaligus. Pengembalian pembiayaan mudharabah dapat dilakukan bersamaan dengan distribusi bagi hasil atau pada saat diakhiri-nya akad mudharabah. Perjanjian/ Akad bagi hasil Nasabah (Ketrampi Bank lan/ Keahli (Modal an) 100%) Proyek/ Usaha Nisbah Nisbah x% Pembagian y% Keuntungan MODAL Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Sedangkan bagi pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah. Dalam hal terjadi kerugian dalam usaha pengelola dana (mudharib),bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) akan menanggung semua kerugian sepanjang kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengelola dana (mudharib). 88 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

103 Kelalaian atau kesalahan pengelola dana, antara lain, ditunjukkan oleh tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan di dalam akad, tidak terdapat kondisi force majeur dan/atau yang telah ditentukan di dalam akad atau hasil putusan dari badan arbitrase atau pengadilan. Pada prinsipnya pembiayaan mudharabah tidak mensyaratkan jaminan, kecuali dalam hal pengelola dana tidak memenuhi syarat yang ditetapkan. Pencairan jaminan dapat dilakukan apabila pengelola terbukti melakukan pelanggaran kesepakatan. Persyaratan Mudharabah: modal berupa uang tunai atau barang yang dapat dinilai dengan uang. Jumlah modal harus jelas, nyata dan bisa dilihat, harus diserahkan kepada pelaksana dan keuntungan harus jelas pembagian keuntungannya dan sebaiknya berbentuk nisbah. 5. Mudharabah Muqayyadah (Bagi hasil) Pembiayaan mudharabah (muqayyadah) adalah akad kerjasama usaha antara nasabah pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah pengelola dana (mudharib) dimana pihak bank bertindak sebagai perantara pembiayaan. Pemilik dana menetapkan pelaksanaan kegiatan dengan syarat-sayarat tertentu berupa jenis usaha, tempat, waktu maupun tatacara pelaksanaannya. Nisbah pembagian hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan dimuka. Bank Perantara Nasabah Perjanjian/ (Shahibul Akad bagi Nasabah Maal) hasil (Mudharib) Proyek/ Usaha Nisbah Nisbah x% Pembagian y% Keuntungan Syarat-syarat lainnya mengacu kepada Pembiayaan mudharabah. Bank dalam kegiatan ini bertindak sebatas perantara/penghubung antar pemilik dana dan pengelola. Oleh sebab itu memiliki tanggung jawab yang terbatas. Apabila bank sebagai chanelling agent maka dibukukan dalam laporan perubahan dana investasi terikat. Apabila sebagai executing agent maka dibukukan sebesar porsi risiko yang ditangung bank. Sebagai agen/perantara pembiayaan bank dapat meminta fee sebagai imbalan. 6. Musyarakah (Perkongsian) Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi diantara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal. NASABAH BANK parsial: asset parsial: asset value value Proyek/ Usaha Keuntungan Bagi hasil keuntungan sesuai kesepakatan nisbah)/ kerugian sesuai porsi kontribusi modal Musyarakah dapat berupa musyarakah permanen maupun musyarakah menurun. Musyarakah permanen adalah musyarakah yang jumlah modalnya tetap sampai akhir masa musyarakah. Sedangkan di dalam musyarakah menurun, jumlah modalnya secara berangsur menurun karena dibeli oleh mitra musyarakah. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 89

104 Keuntungan atau pendapatan musyarakah dibagi di antara mitra musyarakah berdasarkan kesepakatan awal sedangkan kerugian musyarakah dibagi diantara mitra musyarakah secara proporsional berdasarkan modal yang disetorkan. Pembiayaan musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva non-kas, termasuk aktiva tidak berwujud seperti lisensi dan hak paten yang sesuai dengan syariah. Dalam pembiayaan musyarakah setiap mitra tidak dapat menjamin modal mitra lainnya, maka setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja. Kelalaian atau kesalahan pengelola dana, antara lain, ditunjukkan oleh tidak dipenuhinya persyaratan sesuai akad; tidak terdapat kondisi force majeur dan/atau yang telah ditentukan di dalam akad; atau hasil putusan dari badan arbitrase atau pengadilan 90 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

105 Boks: Refleksi Satu Tahun Restrukturisasi Kredit Paska Gempa Peristiwa bencana alam yang melanda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan daerah sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah telah memberikan dampak yang mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Upaya antisipasi yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia adalah memberikan bantuan kemanusian baik dalam bentuk Charity (tahap tanggap darurat) maupun Community Development (pengembangan komunitas). Disamping itu, dari sisi kebijakan Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan perlakuan khusus terhadap kredit Bank berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas penyediaan dana dan kredit, serta penyediaan dana dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam dimaksud melalui dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) relending yaitu dana angsuran KLBI yang belum jatuh tempo dan Eks Relending. Terkait dengan Charity Bank Indonesia Yogyakarta sampai dengan 31 Maret 2007 telah menyalurkan dana sebesar Rp ,00. Dana tersebut bersumber dari partisipasi Pegawai dan Anggota Dewan Gubernur. Sementara itu terkait dengan Community Development, Bank Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Bantul, Ikatan Sarjana EKonomi (ISEI) DIY dan salah satu NGO mengembangan Program Desa Kita di Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Kec. Bantul, Kabupaten Bantul, yang dilaksanakan kurang lebih 2 tahun, yaitu mencakup Pembangunan Infrastruktur Fisik, Peningkatan sumber daya dan kualitas hidup manusia dan Penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Selain itu, sebagai perwujudan rasa kepedulian dan turut membantu pemulihan kehidupan sosial dan ekonomi di daerah yang terkena bencana gempa, Bank Indonesia dan Kementrian Negara Perumahan Rakyat telah menandatangani Nota Kesepahaman tentang Kredit Pembangunan/Perbaikan Rumah Sederhana Secara Swadaya untuk Daerah Gempa di Provinsi DIY dan Jawa Tengah pada tanggal 23 Agustus 2006, dengan jumlah dana yang siap disalurkan adalah sebesar Rp239 miliar bersumber dari dana KLBI relending. Penyaluran dana KLBI relending untuk korban gempa di DIY sampai dengan 4 Juni 2007 sebanyak debitur dengan nilai sebesar Rp36,76 miliar. Selanjutnya, berkaitan dengan bencana alam yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Bank Indonesia juga memberikan insentif berupa kebijakan di bidang perbankan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/10/PBI/2006 tanggal 7 Juni 2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat perbankan DIY juga peduli terhadap dampak gempa di Provinsi DIY dengan melakukan berbagai upaya untuk meringankan beban masyarakat antara lain dengan cara melaksanakan tanggung jawab social (Corporate Social Responsibility) dengan aktivitas CSR antara lain ikut membantu pembangunan lebih dari 15 gedung sekolah, lebih dari 200 ruangan kelas, Bab 3 - Perkembangan Perbankan 91

106 beberapa unit rumah, bantuan program pendidikan berupa pemberian computer, beasiswa maupun pelatihan bagi guru, pembangunan beberapa rumah peribadatan, renovasi pasar maupun bantuan pemberian dana dan bentuk natura lainnya. Upaya yang telah dilakukan oleh perbankan tentu saja bukan merupakan penyelesaian masalah secara tuntas karena disadari bantuan tersebut sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan kerugian dan penderitaan yang dirasakan masyarakat DIY terutama di wilayah bencana. Namun demikian perbankan bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat lainnya sangat peduli dan berkepentingan atas pulihnya kondisi perekonomian masyarakat DIY. Perkembangan Restrukturisasi Kredit/ Pembiayaan Paska Gempa Untuk mempercepat pemulihan kondisi perekonomian didaerah tersebut, Bank Indonesia menganjurkan perbankan DIY untuk memberlakukan debitur korban gempa sesuai PBI No.8/10/PBI/2006. Peraturan ini memungkinkan bank (Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perbankan) dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana lain untuk Bank Umum bagi nasabah dengan lokasi proyek dan lokasi usaha didaerah tersebut sampai dengan Rp 5 milyar hanya dinilai berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/ atau bunga. Hal ini berbeda dengan ketentuan normal yang mengharuskan penentuan kualitas kredit dan penyediaan dana lain dengan jumlah diatas Rp500 juta dinilai berdasarkan prospek usaha, kondisi keuangan, dan ketepatan pembayaran (3 pilar). b. Restrukturisasi kredit bagi Bank Umum dan BPR yang dilakukan untuk debitur yang terkena dampak bencana alam tersebut langsung dikategorikan dengan kualitas Lancar selama 3 tahun sejak ketentuan ini berlaku. Dalam ketentuan yang berlaku untuk kondisi normal, kualitas kredit yang direstrukturisasi harus digolongkan Kurang Lancar dan kemudian dapat menjadi kualitas Lancar apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga dari debitur setelah 3 kali periode pembayaran terakhir untuk Bank Umum atau setelah periode 6 bulan untuk BPR. Kredit yang dapat direstrukturisasi berdasarkan ketentuan ini tidak dibatasi jumlah nominalnya. c. Bank Umum dan BPR diperkenankan memberikan kredit baru kepada debitur di daerah tersebut meskipun kredit awalnya telah bermasalah dengan adanya bencana alam tersebut. d. Kebijakan di atas berlaku juga bagi Bank Umum konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan BPR berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam, atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh) dan penyediaan dana lain. e. Kebijakan tersebut diatas didasarkan kepada pendekatan pemulihan ekonomi di daerah bencana alam, dengan demikian debitur yang terkena bencana maupun yang tidak terkena bencana tetap dapat menikmati insentif tersebut. Adapun pertimbangan bagi debitur yang tidak terkena bencana untuk diberikan insentif adalah karena debitur yang bersangkutan juga mengalami kesulitan usaha karena adanya kesulitan yang dialami produsen dan konsumen. Namun pelaksanaan dari peraturan tersebut terdapat beberapa kendala. Dari sisi perbankan, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia 92 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

107 ini tidak diikuti oleh ketentuan yang terkait dengan perlakuan pajak untuk kredit/pembiayaan debitur korban gempa. Hal ini penting bagi perbankan, karena debitur yang telah direstrukturisasi tersebut kolektibilitasnya menjadi lancar selama 3 tahun dan bank mencatat adanya pendapatan bunga yang masuk (meskipun pada kenyataannya tidak ada aliran dana karena kondisinya macet), oleh karena pendapatan tersebut diakhir tahun otomatis akan dikenai pajak. Debitur Korban Gempa Yang Telah Direstrukturisasi 4,456 12,470 11,884 18,977 Bank Umum BPR Korban Gempa Telah Dilakukan Restrukturisasi Sementara itu, disisi UMKM, sebagaimana yang diketahui banyak UMKM yang mengeluhkan bahwa perbankan belum sepenuhnya melaksanakan PBI tersebut dan bahkan beberapa bank telah melakukan penyitaan jaminan. Meskipun pengertian perbankan oleh UMKM tidak hanya mencakup perbankan sesuai ketentuan berlaku (Bank Umum & BPR) tapi juga non bank. Kendala yang dihadapi UMKM ini ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia Yogyakarta melakukan penelitian terkait sejauh mana pelaksanaan atas peraturan dimaksud di lapangan termasuk kendala yang dihadapi oleh masing-masing bank di wilayah kerja Bank Indonesia Yogyakarta. Penelitian ini telah dilakukan untuk data sampai dengan Desember 2006 dan sampai ini dilanjutkan kembali penelitiannya sampai Juni Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Non Performing Loan, 9.26% Kondisi Debitur Setelah Direstrukturisasi Lunas, 15.93% Performing Loan, 74.82% Debitur perbankan yang menjadi korban gempa di DIY mencapai debitur (60,35% debitur Bank Umum dan 39,65% BPR) dan yang telah direstrukturisasi sebanyak debitur (72,73% debitur Bank Umum dan 27,27% debitur BPR). Hasil dari restrukturisasi tersebut terdapat 74,82% telah menjadi performing, 9,26% masih non performing dan sisanya telah lunas. Sedangkan bentuk restrukturisasi yang paling banyak dipilih adalah rescheduling 80,60%, kemudian diikuti oleh restructuring 11,64% dan sisanya reconditioning. Bentuk dari penyelamatan kredit dapat berupa: (a) Penjadualan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadual pembayaran dan atau jangka waktunya. (b) Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. (c) Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut (penambahan dana bank dan/ atau ; konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/ atau; konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadualan kembali dan/atau persyaratan kembali. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 93

108 60% Alasan Tidak Direstrukturisasi 50% 40% 30% 20% 10% 0% Agunan & kondisi Usaha Karakter Tidak pingin direstruk Bermasalah Hapus Buku Meninggal sebelum dunia gempa Lain-lain Dengan demikian masih terdapat debutur yang belum diputuskan untuk direstrukturisasi. Dalam action plan perbankan dalam tahun ini terdapat debitur (19,27% untuk debitur Bank Umum dan 80,73% debitur BPR) yang direncanakan akan direstrukturisasi tahun Sedangkan yang telah diidentifikasi untuk tidak direstrukturisasi dalam tahun ini terdapat debitur (15,63% debitur Bank Umum dan 84,37% debitur BPR). Alasan utama tidak akan direstrukturisasi diantaranya karena terkait dengan ketidakinginan debitur untuk direstrukturisasi 19,88%, terkait dengan agunan dan kondisi usaha yang tidak mungkin direstrukturisasi 15,28%, terkait dengan karakter yang kurang bagus 9,70%, kolektibilitas debitur non performing sebelum gempa terjadi 3,29%, hapus buku 1,11%, debitur meninggal dunia 0,25% dan sisanya 50,49% dengan alasan lain-lain. 94 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

109 Boks: Survei ei Persepsi Masyar arakat akat Non Muslim terhadap Perbankan Syariah di DIY Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang melambat, sehingga target pencapaian porsi aset terhadap perbankan nasional belum tercapai. Hingga Juni 2007 total aset perbankan syariah di Indonesia mencapai Rp 29,2 trilyun atau sekitar 1,65% dari aset perbankan nasional (Investor, Oktober 2007). Fenomena tersebut jika dikaitkan dengan tingginya penduduk Muslim di Indonesia menjadi sangat ironis. Jumlah penduduk Muslim di negeri ini hingga Juli 2007 diperkirakan mencapai 200 juta jiwa, dan mencapai urutan pertama negara terbesar penduduk Muslimnya. Di atas kertas tentu orang memperkirakan bahwa Indonesia cukup potensial dalam pengembangan ekonomi, keuangan, dan perbankan Islam. Tetapi sayang peluang ini masih sebatas potensi. Hingga kini berbagai produk syariah (Islam) belum digarap secara maksimal, bahkan Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negaranagara yang potensi pasarnya di bawahnya, sebut saja Malaysia dan Singapura. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan suatu provinsi dengan penduduk Muslim lebih dari 90% dari sekitar 3,15 juta jiwa. Meski demikian pencapaian pasar perbankan syariah di DIY relatif lebih ringgi dibandingkan angka rata-rata nasional, dimana pangsa asetnya per Agustus 2007 mencapai 2,58%. Lambatnya perkembangan perbankan syariah dibandingkan dengan target ini diduga disebabkan oleh beberapa hal, seperti kurangnya jaringan perbankan syariah, kurangnya pemahaman masyarakat tentang perbankan syariah dan kurangnya keunggulan yang mampu ditawarkan oleh perbankan syariah, disamping aspek regulasi dan peran pemerintah. Nasabah perbankan syariah juga ditemukan sebagian besar merupakan masyarakat mengambang (floating mass), yang selalu memandang bank syariah sebagai bank alternatif perbankan konvensional. Kelompok masyarakat ini menggunakan jasa perbankan syariah dengan pertimbangan rasional dan membandingkan dengan bank lain termasuk dengan bank konvensional. Di sisi lain, penggunakan istilah-istilah berbahasa Arab dalam produk maupun proses yang ada di perbankan hingga dewasa ini masih melekat di banyak perbankan syariah di negeri ini. Banyak terma-terma yang dalam perbankan konvensional telah mengalami perubahan dalam perbankan syariah, seperti istilah pembiayaan digunakan untuk menggantikan istilah kredit, istilah kafalah untuk menggantikan istilah penjaminan atau garansi, dan sebagainya. Dari latar belakang inilah maka Bank Indonesia Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Pengkajian & Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan survei persepsi masyarakat non-muslim terhadap perbankan syariah dan preferensi mereka terhadap penggunaan jasa perbankan syariah di masa kini dan mendatang. Survei ini bertujuan (1) memperoleh informasi awal mengenai persepsi masyarakat non-muslim di DIY terhadap bank syariah, (2) mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi masyarakat non-muslim dalam memilih produk perbankan, dan (3) mengetahui preferensi masyarakat non-muslim terhadap perbankan syariah. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 95

110 Survei ini ditentukan dengan pendekatan purposive sampling, yaitu dipilih sejumlah 100 individu dan 20 lembaga dengan distribusi sebagai berikut: nasabah (15 responden), bukan nasabah (85 responden), institusi pendidikan (10 responden) dan rumah sakit, asosiasi & lembaga lainnya (10 responden). Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif analisis content, yaitu dengan mengelaborasi suatu variabel yang mengungkap jawaban atas pertanyaan bagaimana, mengapa dan apakah kejadian yang mengikutinya. Analisis ditekankan pada distribusi frekuensi yang dilengkapi dengan pendekatan grafis dan statistik deskriptif. Diharapkan dengan analisis ini diperoleh gambaran secara umum mengenai peta persepsi dan preferensi responden mengenai perbankan syariah. Kesimpulan 1. Sebagian besar masyarakat non-muslim menganggap bahwa bunga bank tidak dipermasalahkan (dibolehkan) oleh setiap agama. Hanya sebagian kecil (25%) masyarakat non-muslim menganggap bahwa bunga tidak dilarang oleh agama. 2. Informasi tentang perbankan syariah bagi masyarakat non-muslim merupakan hal yang relatif baru. Rata-rata masyarakat non-muslim mendengarkan informasi tentang bank syariah kurang dari dua tahun. Hal ini dimungkinkan terkait dengan kebijakan Bank Indonesia baru memberlakukan kebijakan dibolehkannya gerai syariah (office channeling) dua tahun lalu. Dengan kebijakan ini maka informasi dan layanan perbankan syariah dapat dilayani oleh bank konvensional yang satu induk. 3. Sebagian besar masyarakat non-muslim menganggap bank syariah berbeda dengan bank konvensional, karena penerapan prinsip tanpa bunga, penerapan prinsip bagi hasil dan lebih adil dalam transaksi. Hal ini mengesankan bahwa produk-produk perbankan syariah yang berbasis bagi-hasil, seperti mudharabah, lebih dikenal daripada produk lainnya. 4. Secara umum, masyarakat non-muslim memiliki pemahaman dan kesan bahwa bahwa bank syariah hanyalah diperuntukan bagi orang Islam. Keinginan untuk mencoba menggunakan bank syariah terkendala oleh persepsi sekaligus kurangnya sosialisasi oleh perbankan syariah itu sendiri. 5. Pertimbangan utama masyarakat non-muslim memilih suatu bank adalah (1) kemudahan akses (2) kemudahan prosedur (3) fasilitas (4) reputasi dan (5) kualitas layanan. Tingginya manfaat finansial (bunga) yang ditawarkan bank adalah juga dipertimbangkan namun hal ini bukanlah hal utama yang menjadi bahan pertimbangan. 6. Sebagian besar masyarakat non-muslim pernah mendengar adanya bank syariah DIY, namun sebagian besar mereka belum berminat untuk menggunakan jasa bank syariah. 7. Faktor utama yang mendorong rendahnya minat terhadap bank syariah adalah (1) kurangnya informasi tentang bank syariah (2) layanan bank (konvensional) selama ini cukup memuaskan dan (3) faktor kenyamanan dengan lingkungan sosial nasabah. 8. Kurangnya informasi mengenai bank syariah terkait dengan dominannya peran media cetak dan elektronik nasional di daerah (DIY) yang kurang banyak dimanfaatkan oleh perbankan syariah (DIY) sebagai media iklan dan sosialisasi. Disamping itu, sosialisasi pada tingkat lokal juga belum banyak menyentuh masyarakat nonmuslim. 9. Bagi masyarakat non-muslim yang menggunakan bank syariah, pertimbangan utama mereka adalah sama dengan ketika memilih bank konvensional. (1) kemudahan 96 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

111 prosedur (2) kemudahan akses (3) kelengkapan fasilitas (4) keinginan uji coba serta (5) kualitas layanan. Faktor manfaat/laba yang ditawarkan bank adalah penting namun bukanlah hal utama. Pelayanan dan prosedur yang nyaman serta akses mudah yang diberikan oleh bank syariah mampu menjadi daya pikat bagi masyarakat non muslim. 10. Bagi masyarakat non-muslim, aspek syariah Islam di bank syariah belum mampu dipandang sebagai hal yang mampu membedakan antara bank syariah dan bank konvensional 11. Sebenarnya, layanan yang diberikan oleh bank syariah selama ini cukup kompetitif dan memuaskan. Namun, karena kurangnya jaringan kantor dan akses terhadap perbankan syariah maka hal ini memposisikan bank syariah menjadi belum banyak diminati oleh masyarakat non-muslim. 12. Penggunaan istilah berbahasa Arab di perbankan syariah masih dirasa kurang nyaman dan dinilai mengurangi minat masyarakat untuk mengenali lebih jauh terhadap bank syariah. syariah yang ada di perbankan syariah. Sosialisasi terhadap prinsip dan mekanisme inilah yang diperlukan dilakukan secara masif dan universal. 4. Industri perbankan syariah pelu meningkatkan akses dan jariangannya, baik melalui penambahan jaringan kantor maupun melalui pembukaan gerai syariah (office channeling). 5. Bahasa komunikasi perbankan syariah perlu dikemas secara dengan mengakomodir aspek budaya lokal, meminimisir eksklusifitas. Penggunaan istilah-istilah berbahasa Arab perlu lagi dipertimbangkan, tanpa menghilangkan esensi prinsip kesyariahaan yang diterapkan. 6. Kepatuhan syariah di perbankan tidak selalu harus diwujudkan dalam suatu hal yang visual, seperti istilah atau penampilan, namun perlu diwujudkan dalam bentuk produk, mekanisme dan layanan yang diberikan ke nasabah. Rekomendasi 1. Perlu diperbanyak forum sosialisasi dan promosi produk dan jasa perbankan syariah. Perbankan syariah perlu merencanakan dan meningkatkan anggaran untuk iklan dan sosialisasi yang lebih besar pada tahun-tahun ke depan. 2. Media cetak dan elektronik berskala nasional perlu dimanfaatkan untuk sosialisasi. Media lokal dapat dipergunakan untuk diperkuat sosialasi berskala nasional 3. Perlu ada penekanan dalam sosialisasi bahwa perbankan syariah tidak hanya melayani orang Islam, namun masyarakat semua lapisan. Segmentasi perbankan syariah bukan hanya orang Islam, namun siapa-pun yang cocok terhadap prinsip dan mekanisme keuangan Bab 3 - Perkembangan Perbankan 97

112 Boks: Survei ei Identifikasi Sumber Pembia embiayaan aan Alternatif Non Bank Peranan perbankan sangat diperlukan untuk meningkatkan volume usaha sektor riil yang selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perbankan adalah salah satu sektor kunci yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, yaitu menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Fungsi intermediasi adalah salah satu fungsi yang penting dalam perbankan, diindikasikan dengan Loan to Deposits Ratio (LDR), merupakan perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan terhadap jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat. Asumsinya jika LDR tinggi, berarti banyak kredit yang terserap di masyarakat yang selanjutnya akan meningkatkan perkembangan sektor riil. Namun LDR Perbankan di DIY masih berkisar pada angka 55%, berada di bawah target nasional sebesar 60%. Hal ini diduga akan mempengaruhi volume usaha sektor riil yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan akan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, pertumbuhan sektor riil di DIY tetap menunjukkan angka + 8%, yang menunjukkan kondisi asimetris. Ditengarai ada peran yang cukup signifikan dari sumber pembiayaan alternatif selain bank. Temuan ini ditunjukkan pula oleh survei Bank Indonesia Yogyakarta pada tahun 2005 menyatakan bahwa masalah utama rendahnya LDR adalah karena minat konsumen untuk meminjam di bank rendah yang disebabkan adanya alternatif meminjam. Selain itu memunculkan dugaan adanya masalah dalam penyaluran kredit dari sektor perbankan, sehingga debitur beralih ke sumber pembiayaan lain. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Bank Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan melakukan survei mengenai peta pembiayaan alternatif non-bank di DIY serta motif pelaku ekonomi dalam memilih lembaga pembiyaan tersebut. Tujuan dari survei ini adalah (1) memperoleh gambaran mengenai peta pembiayaan alternatif non-bank; (2) memperoleh gambaran motif nasabah memilih lembaga/sumber pembiayaan alternatif bukan bank; (3) memperoleh gambaran mengenai kapitalisasi dan penyaluran dana yang dilakukan lembaga keuangan bukan bank. Responden survei terdiri dari 100 responden dari pelaku usaha dan 58 lembaga pembiayaan bukan bank. Pelaku usaha meliputi kelompok pedagang eceran berdasar Klasifikasi Lapangan Usaha Industri (KLUI) yaitu bahan konstruksi, suku cadang & kendaraan, peralatan tumah tangga, kerajinan, seni & mainan anak, makanan, minuman & tembakau, pakaian & perlengkapannya, bahan kimia, bahan bakar, dan peralatan alat tulis. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank meliputi Leasing, BMT dan Koperasi. Kesimpulan 1. Sumber pembiayaan alternatif non-bank di DIY meliputi Kerabat & Rekanan (43%), BUMN (19%), Koperasi (15%), Leasing (15%), Supplier (6%). Hal ini menunjukkan, bahwa sumber pembiayaan alternatif bukan bank yang paling 98 Bab 3 - Perkembangan Perbankan

113 dominan digunakan oleh responden adalah kerabat/rekanan. 2. Motif nasabah memilih lembaga/sumber pembiayaan alternatif bukan bank adalah prosedur yang mudah, pelayanan yang diberikan memuaskan, waktu pencairan cepat, waktu pengembalian & jumlah dana fleksibel, lokasi yang dekat, dan agunan yang mudah dipenuhi yaitu sertifikat dan BPKB. 3. Motif responden menggunakan modal sendiri sebagai sumber pembiayaannya adalah karena simpanan yang dimiliki cukup untuk membiayai usaha responden, prosedur meminjam ke lembaga keuangan rumit, tidak memiliki agunan, lokasi jauh, rasa tentram karena tidak memiliki utang dan tingkat bunga yang tinggi. 4. Keluhan yang disampaikan oleh nasabah mengenai lembaga keuangan bukan bank adalah tingkat bunga yang tinggi, prosedur yang sulit, masalah agunan dan pelayanan. 5. Sumber pembiayaan lembaga keuangan bukan bank berasal dari modal sendiri, bank, nasabah, anggota dan lainnya. 6. Intermediasi lembaga bukan bank terlihat dari Pembiayaan Yang Digulirkan (PYD) oleh LKM (Koperasi dan BMT) dan Leasing. Nilainya PYD 2007 cukup tinggi yaitu 90,2%, bandingkan dengan LDR Bank Umum yang mencapai 51,53%. Hal ini mengindikasikan adanya substitusi antara perbankan (Bank Umum khususnya) dengan lembaga pembiayaan alternatif. Pada saat LDR Bank Umum rendah, PYD lembaga pembiayaan alternatif kebetulan menunjukkan angka yang tinggi, namun masih perlu dibuktikan dengan uji statistik yang memadai. 7. Pembiayaan yang diberikan sebagian besar untuk kegiatan produktif, kemudian untuk konsumtif. Adapun nasabah yang melakukan pinjaman didominasi oleh wanita. Besarnya pinjaman relatif kecil dan jangka waktu pengembalian relatif singkat. 8. Untuk menghadapi persaingan usaha, strategi yang dilakukan dengan cara meningkatkan pelayanan, ekspansi cabang, promosi dan selebihnya adalah fokus pada keunggulan, segmentasi pasar, dan peningkatan sumber daya manusia. Bab 3 - Perkembangan Perbankan 99

114 Halaman ini sengaja dikosongkan.

115 Bab 4: Perkembangan Sistem Pemba embayar aran an SISTEM PEMBAYARAN TUNAI Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) Inflow/Outflow (Miliar Rp) 1,250 1, Grafik 4.1 Aliran Kas dan PTTB I-05 II-05 III-05 IV-05 I-06 II-06 III-06 IV-06 I-07 II-07 III-07 IV-07 Aliran Masuk Aliran Keluar Net Aliran Masuk PTTB 1, Net Inflow/PTTB (Miliar Rp) Pada tahun 2007, perkembangan transaksi tunai antara perbankan dan Bank Indonesia Yogyakarta dibandingkan dengan transaksi tahun 2006 mengalami penurunan baik dari sisi uang masuk maupun uang keluar. Rata-rata inflow per bulan pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp416 miliar per bulan, turun 52,77% dari posisi tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp880 miliar per bulan. Sedangkan rata-rata outflow pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp229 miliar per bulan, mengalami penurunan yang lebih drastis sebesar 67,59% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp706 miliar per bulan. Karena rata-rata inflow lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata outflownya, maka pada tahun 2007 terjadi net inflow sebesar Rp187 miliar per bulan, naik 7,46% dari net inflow pada tahun 2006 sebesar Rp174 miliar per bulan. Tabel 4.1 Indikator Sistem Pembayaran Tunai No Uraian Trw-I Trw-II Trw-III Trw-IV Total Miliar Rp Ptumb 1 ( ) 1 Posisi Kas 1,255 1, Rata-rata Inflow/Bulan 1, Rata-rata Outflow/Bulan 1, Net Flow (2)-(3) (35) Keterangan: 1) %. Kondisi penurunan aliran uang tersebut, baik inflow maupun outflow, disebabkan telah diberlakukannya metode Setoran dan Penarikan yang baru di Bank Indonesia Yogyakarta. Sebelumnya setoran oleh Bank Umum ke Bank Indonesia boleh dilakukan untuk semua pecahan tanpa melihat tingkat kelusuhannya, namun sekarang hanya boleh dilakukan untuk uang lusuh saja. Sementara itu, untuk penarikan hanya dilakukan antar sesama perbankan saja yang teknis pelaksanaanya diatur oleh focus group, yang sebelumnya penarikannya hanya dilakukan di Bank Indonesia. Selain itu yang menarik adalah pada triwulan II-2007 terjadi net outflow sebesar Rp35 miliar, yang disebabkan oleh pencairan dana APBN maupun APBD Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran 101

116 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 yang akan dialokasikan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa dari Pemerintah Pusat telah dicairkan kepada kelompok masyarakat. Sedangkan posisi kas di Bank Indonesia Yogyakarta yang merupakan posisi pada akhir laporan, mengalami peningkatan sebesar 674,36% atau naik dari Rp104 miliar menjadi Rp807 miliar. Peningkatan posisi kas ini merupakan antisipasi Bank Indonesia Yogyakarta dalam menghadapi peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat dalam liburan panjang akhir tahun, serta dalam rangka pencairan dana program rekonstruksi. Penukaran Uang Penukaran uang pecahan kecil maupun uang tidak layak edar di loket Bank Indonesia Yogyakarta selama tahun 2007 tercatat sebesar Rp166 miliar, atau tumbuh sebesar 10,47% jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp150 miliar. Peningkatan kegiatan penukaran uang di loket Bank Indonesia Yogyakarta didorong oleh peningkatan penukaran uang kertas sebesar 11,79% dari Rp147 miliar menjadi Rp165 miliar, sebaliknya penukaran uang logam turun sebesar -49,75% dari Rp3 miliar menjadi Rp2 miliar. Peningkatan penukaran uang kertas ini terutama terjadi pada triwulan III-2007 yang merupakan fenomena yang biasa terjadi pada saat menjelang hari Raya Idul Fitri. Biasanya pada saat itu animo masyarakat untuk memperoleh uang asil Hasil Cetak Sempurna (HCS) meningkat disebabkan kebiasaan masyarakat berbagi rejeki kepada sanak saudaranya. Tabel 4.2 Penukaran Uang Pecahan Kecil Pecahan Juta Rp 2007 Ptumb 1 Trw-I Trw-II Trw-III Trw-IV Total ( ) Uang Kertas 87, , ,255 39,146 32,629 43,022 49, , ,709 40,949 69,825 18,874 20,121 24,834 25,922 89, ,128 47,901 53,829 16,699 10,491 14,619 18,166 59, ,257 19,921 23,601 3,573 2,018 3,569 5,735 14, Uang Logam 3,288 4,064 3, , , ,120 1,921 1, Total 90, , ,498 39,487 32,940 43,627 50, , Keterangan: 1) %. Jika dilihat dari denominasi uang, pertumbuhan tertinggi kegiatan penukaran uang terdapat pada uang kertas pecahan Rp yaitu sebesar 28,54% diikuti oleh uang kertas pecahan Rp5.000 yaitu sebesar 11,41%, sedangkan uang kertas pecahan Rp1.000 mengalami penurunan sebesar 36,89%. Hal ini terkait 102 Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran

117 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 dengan pembatasan penukaran uang pecahan Rp1.000 per orang terutama pada saat-saat permintaan masyarakat meningkat sebagai salah satu upaya pemerataan pemenuhan kebutuhan masyakarat. Kegiatan penukaran uang pecahan kecil dan uang tidak layak edar senantiasa diupayakan baik dari sisi kualitas maupun dari sisi kuantitas oleh Bank Indonesia Yogyakarta melalui kas keliling (kas mobil) dan kerjasama dengan 2 (dua) Perusahaan Penukar Uang Pecahan Kecil (PPUPK) yaitu PT Trans Dana Pratama dan PT Kelola Jasa Artha. PPUPK ini melayani penukaran uang di semua wilayah di DIY pada pasar-pasar tradisional dan pusat perbelanjaan dengan jadwal waktu tertentu. Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal yang layak edar, Bank Indonesia Yogyakarta secara rutin melakukan penyortiran dan peracikan menggunakan Mesin Sortir Uang Kertas (MSUK) dan Mesin Racik Uang Kertas (MRUK). Uang yang termasuk dalam kategori tidak layak edar dicatat sebagai Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) yang untuk selanjutnya dimusnahkan. Tabel 4.3 Pemberian Tanda Tidak Berharga Pecahan Juta Rp 2007 Ptumb 1 Trw-I Trw-II Trw-III Trw-IV Total ( ) 100, , , , ,112 52,741 42, , , ,000 2,173,320 2,152,358 1,907, , ,897 86,979 97, , , , , ,930 51,304 33,734 31,619 34, , , , , ,716 34,041 24,418 23,327 26, , , , , ,074 21,330 14,013 11,601 15,954 62, ,000 42,165 44,876 35,266 10,045 5,000 3,006 5,757 23, Total 3,386,091 3,208,110 3,206, , , , ,789 1,326, Keterangan: 1) %. Jumlah PTTB atas uang lusuh dan uang yang ditarik dari peredaran pada tahun 2007 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar -58,64%, yaitu dari sebesar Rp3.207 miliar menjadi sebesar Rp1.327 miliar. Penurunan ini merupakan salah bentuk respon Bank Indonesia Yogyakarta untuk menjaga kecukupan uang kartal yang siap diedarkan kepada masyarakat. Berdasarkan denominasi, penurunan pemusnahan uang atau PTTB terbesar adalah untuk pecahan Rp yaitu sebesar -68,51%, diikuti oleh pecahan Rp100 sebesar -55,99% dan Rp sebesar -50,91%. Sedangkan pecahan lainnya mengalami penurunan kurang dari 50,00%. Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran 103

118 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Temuan Uang Palsu Selama tahun 2006, laporan temuan uang palsu ke Bank Indonesia Yogyakarta mengalami peningkatan di sisi nominalnya, namun turun jika dilihat dari jumlah lembarnya. Uang palsu yang dilaporkan adalah sebanyak 188 lembar, turun 38,76% dari tahun 2006 yang tercatat sebanyak 307 lembar. Sedangkan secara nominal, uang palsu yang dilaporkan adalah sebesar Rp ,00, naik 2,89% dari tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp ,00. Tabel 4.4 Temuan Uang Palsu yang Dilaporkan Lembar Pecahan Tahun 2007 Ptumb Emisi Trw-I Trw-II Trw-III Trw-IV Total ( ) 100, , , , , , , , , , Total (Rp) 13,910,000 7,845,000 12,100, ,000 2,540,000 3,855,000 5,385,000 12,450, Keterangan: 1) Termasuk uang palsu yang dilaporkan kepada Poltabes Kota Yogyakarta yang terdiri dari 3 lembar Rp ,- dan 150 lembar Rp ) %. Hal ini disebabkan pecahan uang yang banyak dipalsu adalah pecahan besar, yaitu pecahan Rp tahun emisi 2004 dan tahun emisi 1999 masingmasing sebesar 69 lembar dan 31 lembar serta pecahan Rp tahun emisi 1999 sebanyak 30 lembar. Kecanggihan teknologi yang semakin berkembang dewasa ini rupanya telah digunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab dengan membuat uang palsu. Namun demikian, Bank Indonesia telah melakukan upaya prefentif dengan menambahkan security feature setiap mencetak uang dengan emisi baru. Upaya lainnya dilakukan dengan memberikan sosialisasi secara berkala kepada masyarakat mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah. Dengan demikian, diharapkan ruang gerak para pemalsu uang semakin terbatas. SISTEM PEMBAYARAN NON TUNAI Transaksi Kliring Pada tahun 2007 penyelesaian rata-rata transaksi harian melalui kliring di pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan, baik dilihat dari sisi rata-rata warkat per hari maupun rata-rata nominal per hari. Rata-rata warkat kliring per hari pada tahun 2007 tercatat sebanyak warkat per hari, turun 41,41% dari 104 Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran

119 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Miliar Rp Grafik 4.2 Transaksi Kliring Lembar 5,000 4,500 4,000 tahun 2006 yang tercatat sebanyak warkat per hari. Sedangkan rata-rata nominal kliring pada tahun 2007 sebesar Rp28 miliar per hari, turun 22,97% dari tahun 2006 sebesar Rp37 miliar per hari I-05 II-05 III-05 IV-05 I-06 II-06 III-06 IV-06 I-07 II-07 III-07 IV-07 Nominal Kliring Warkat Kliring 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 Penurunan transaksi kliring diduga karena bergesernya preferensi masyarakat dalam memilih sistem pembayaran non tunai, yang cenderung lebih memilih ke Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), karena transaksi dapat lebih cepat, meskipun membawa konsekuensi biaya transaksi yang lebih mahal. Namun biaya penyelesaian transaksi melalui BI-RTGS ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pada saat pertama kalinya BI-RTGS diluncurkan. Tabel 4.5 Indikator Sistem Pembayaran Non Tunai No Uraian Trw-I Trw-II Trw-III Trw-IV Total Miliar Rp Ptumb 1 ( ) KLIRING 1 Rata-rata Warkat Kliring/Hari (lembar) 3,375 3,693 2,637 1,551 1,496 1,576 1,559 1, Rata-rata Warkat Ditolak/Hari (lembar) Rasio (2)/(1) dalam % Rata-rata Nominal Kliring/Hari Rata-rata Nominal Ditolak/Hari Rasio (5)/(4) dalam % RTGS 1 Rata-rata Warkat Keluar/Bulan (lembar) 2,418 2,447 2,476 2,103 2,113 2,575 3,141 2, Rata-rata Warkat Masuk/Bulan (lembar) 1,631 2,038 2,623 2,782 2,887 3,490 3,865 3, Rata-rata Incoming Transfer/Bulan 3,053 2,687 4,316 6,202 5,419 6,134 6,028 5, Rata-rata Outgoing Transfer/Bulan 2,248 2,527 3,418 2,804 3,259 3,849 4,365 3, Net Transfer (3)-(4) ,398 2,160 2,285 1,663 2, Keterangan: 1) %. Demikian juga dengan rata-rata kliring yang ditolak, pada tahun 2007 mengalami penurunan, masing-masing sebesar 26,30% untuk rata-rata warkat ditolak per hari, yaitu dari 23 lembar per hari pada tahun 2006 menjadi 17 lembar per hari pada tahun 2007, dan sebesar 29,29% untuk rata-rata nominal ditolak per hari, yaitu dari Rp0,49 miliar per hari pada tahun 2006 menjadi Rp0,35 miliar per hari pada tahun Sejumlah alasan dapat melatarbelakangi penolakan kliring, antara lain Miliar Rp 7,000 6,000 5,000 Grafik 4.3 Transaksi BI-RTGS Lembar 4,000 3,500 3,000 tidak dipenuhinya syarat-syarat administrasi bank penerima pada fisik warkat. Alasan lainnya adalah rekening tutup dan saldo tidak cukup yang selanjutnya akan diadministrasikan oleh Bank Indonesia pada Tata Usaha Cek Kosong (TUCK) dan Tata Usaha Daftar Hitam (TUDH). 4,000 3,000 2,500 2,000 Transaksi Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) 2,000 1,000 I-05 II-05 III-05 IV-05 I-06 II-06 III-06 IV-06 I-07 II-07 III-07 IV-07 Nominal Incoming Transfer Nominal Outgoing Transfer Warkat Incoming Transfer Warkat Outgoing Transfer 1,500 1,000 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas sistem pembayaran non tunai pada Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) melalui Bank Indonesia Yogyakarta pada tahun 2007 mengalami peningkatan, baik dari Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran 105

120 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 sisi nominal maupun warkat. Peningkatan ini dicerminkan melalui rata-rata transfer masuk dan keluar yang merupakan transaksi antara wilayah DIY dan luar DIY. Dalam hal ini, laporan transaksi sudah mengeluarkan transaksi antar bank yang sama-sama berada di wilayah DIY. Dari sisi nominal, rata-rata transfer masuk (incoming transfer) per bulan naik 37,77% dari Rp4.316 miliar per bulan pada tahun 2006 menjadi Rp5.946 miliar per bulan pada tahun Sedangkan rata-rata transfer keluar (outgoing transfer) per bulan naik 4,44% dari Rp3.418 miliar per bulan pada tahun 2006 menjadi Rp3.569 miliar per bulan pada tahun Dengan demikian maka transfer masuk bersih (net-incoming transfer) ke sistem perbankan di wilayah DIY mengalami peningkatan drastis sebesar 164,57% dari Rp898 miliar menjadi Rp2.376 miliar. Di sisi warkat, rata-rata warkat masuk per bulan naik 24,13% dari warkat per bulan pada tahun 2006 menjadi warkat per bulan, sedangkan rata-rata warkat keluar per bulan naik 0,30% dari warkat per bulan pada tahun 2006 menjadi warkat per bulan pada tahun Peningkatan aktivitas BI-RTGS pada tahun 2007 terutama pada transfer masuk disebabkan masih adanya pencairan dana rekonstruksi maupun rehabilitasi baik dari pemerintah pusat maupun lembaga donor dan meningkatnya animo masyarakat dalam menggunakan alat transfer yang lebih cepat karena penyelesaian yang seketika sekaligus aman karena risiko settlement-nya kecil. Dua hal ini merupakan prasyarat penting dalam penyelesaian transaksi pembayaran dalam mendukung kegiatan ekonomi yang bergerak cepat. Peningkatan aktivitas BI-RTGS ini dapat dikatakan sebagai peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran non tunai, sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mendorong masyarakat lebih banyak melakukan transaksi non tunai (less cash society). Peningkatan penggunaan transaksi non tunai juga dapat dijadikan sebagai cerminan kemajuan suatu daerah, terutama dalam menilai efisiensi dan intensitas aktivitas perekonomian. 106 Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran

121 Boks: Peningkatan Permintaan Uang Kecil Menjelang Lebaran an Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia terutama bagi mereka yang merayakan Lebaran, untuk membagi rezeki baik dalam bentuk zakat, infak dan shodaqoh. Pembagian rezeki ini ditujukan bagi mereka yang berhak mendapatkannya. Namun demikian, bagi-bagi rezeki ini juga banyak dilakukan orang dengan tujuan memberi sanak saudara terutama yang masih anak-anak atau yang belum menikah dalam bentuk salam tempel. Salam tempel ini hanya bertujuan untuk pemanis bagi perayaan Lebaran, sehingga biasanya diberikan dalam pecahan kecil (di bawah Rp20.000) berupa uang baru atau yang lebih dikenal dengan istilah uang dengan kualitas Hasil Cetakan Sempurna (HCS). Kebiasaan ini kemudian menjadikan instansi, perusahaan swasta maupun pemberi kerja lainnya juga memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) dalam bentuk pecahan kecil dengan kualitas HCS. Kondisi ini kemudian menjadikan kegiatan penukaran uang pecahan kecil menjadi meningkat sejak awal bulan puasa hingga mendekati Lebaran. Kegiatan Penukaran Uang Pecahan Kecil (Juta Rupiah) Denominasi No Tanggal Jumlah 20,000 10,000 5,000 1, Sep , Sep , Sep , Sep , , Sep ,820 1,850 1, , Okt ,420 1, , Okt , Okt , Okt ,620 2,460 1, , Okt ,200 1,860 1, , Okt ,200 1,200 1, , Okt ,200 1,200 1, , Okt ,200 1,860 1, ,150 T o t a l 13,160 15,800 14,210 5, ,788 Rata-rata per hari 1,012 1,215 1, ,753 Kondisi Normal Peningkatan (%) 1) , Keterangan : 1) Rata-rata per hari pada Puasa dibandingkan dengan rata-rata per dalam kondisi normal bulan hari Berdasarkan catatan Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, sejak 13 September 2007 yang merupakan awal puasa, kegiatan penukaran uang pecahan kecil (denominasi Rp20.000,00 ke bawah) mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Kegiatan penukaran uang pecahan kecil selama bulan puasa (13 September sampai dengan 11 Oktober 2007) tercatat sebesar Rp49 miliar Ribu Lembar Sep Sep Sep 07 Penukaran Uang Pecahan Kecil 24 Sep Sep 07 1 Okt 07 2 Okt 07 Jika dibandingkan dengan kondisi normal, kegiatan penukaran uang pecahan kecil mengalami peningkatan sebesar 867,24% dari Rp388 juta per hari pada kondisi normal menjadi Rp4 miliar per hari selama bulan puasa. Transaksi tertinggi terjadi pada 4 Oktober 2007 sebesar Rp7 miliar, sedangkan transaksi terendah terjadi pada 13 September 2007 sebesar Rp1 miliar. Berdasarkan denominasi, permintaan HCS tertinggi terjadi pada denominasi Rp1.000 dimana selama bulan puasa penukarannya tercatat sebanyak ribu lembar atau dengan rata-rata harian sebanyak 394 ribu lembar, naik 838,28% dari rata-rata harian pada kondisi normal yaitu sebanyak 42 ribu lembar. Melihat animo masyarakat untuk menukarkan uang pecahan kecil yang diperkirakan akan semakin meningkat hingga saat lebaran, Kantor Bank Indonesia Yogyakarta menetapkan kebijakan sebagai berikut : (1) Terhitung tanggal 1 hingga tanggal 11 Oktober 2007, kegiatan pelayanan penukaran uang pecahan kecil dilaksanakan oleh 3 Okt Okt 07 8 Okt 07 9 Okt 07 Juta Rupiah Okt Total 20,000 10,000 5,000 1, Okt Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran 107

122 Bank Indonesia Yogyakarta setiap hari Senin sampai dengan hari Kamis, bertempat di loket belakang Bank Indonesia Yogyakarta; (2) Jumlah penukaran akan dibatasi, yaitu 1 orang hanya dapat menukarkan maksimal 3 pak untuk denominasi Rp1000,00. Jumlah maksimum penukaran ini ditambah menjadi 4 pak pada tanggal 9 Oktober 2007, dan 5 pak pada tanggal 10 dan 11 Oktober 2007; dan (3) Pelayanan Penukaran Uang Rusak dan Emisi Lama ditiadakan, dan dilayani kembali mulai tanggal 22 Oktober Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran

123 Bab 5: Keuangan Pemerintah GAMBARAN UMUM Berdasarkan data gabungan rencana dan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk tahun 2007, kinerja keuangan Pemerintah Daerah (sebelum dilakukan audit) dilihat dari sisi penerimaan pencapaiannya cukup baik, namun terlihat belum optimal pada sisi pengeluarannya. Pos Pendapatan mampu terealisasi sebesar Rp4.599 miliar atau 113,28% dari anggaran yang ditetapkan sebesar Rp4.060 miliar. Sedangkan pos Belanja hanya terealisasi sebesar Rp4.015 miliar atau 88,96% dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp4.513 miliar. Dengan demikian, terjadi surplus anggaran sebesar Rp584 miliar, dimana sebelumnya direncanakan defisit sebesar Rp453 miliar. Tabel 5.1 APDB No U r a i a n RAPBD Realisasi APBD Juta Rupiah % Realisasi thd RAPBD A PENDAPATAN ,28 1 Pendapatan Asli Daerah ,43 2 Pendapatan Transfer ,50 3 Lain-lain Pendapatan Yang Sah ,43 B BELANJA ,96 1 Belanja Operasi ,19 a. Belanja Pegawai ,16 b. Belanja Barang ,17 c. Belanja Bunga ,35 d. Belanja Subsidi ,89 e. Belanja Hibah ,00 f. Belanja Bantuan Sosial ,98 g. Belanja Bantuan Keuangan ,19 2 Belanja Modal ,47 3 Belanja Tidak Terduga ,50 4 Transfer ,24 C SURPLUS/DEFISIT ( ) ,94 D PEMBIAYAAN ,85 1 Penerimaan Daerah ,01 2 Pengeluaran Daerah ,89 Keterangan : 1) Sebelum Audit Sumber : BPKD Prov. DIY Bab 5 - Keuangan Pemerintah 109

124 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Berdasarkan wilayah, realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota mencapai di atas 100%. Realisasi Pendapatan tertinggi terdapat pada Pemerintah Provinsi sebesar 143,40% atau Rp1.307 miliar di atas anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp912 miliar. Sedangkan realisasi Pendapatan terendah terdapat pada Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dengan realisasi sebesar 103,10%, atau Rp522 miliar dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp507 miliar. Di sisi pengeluaran, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki persentase realisasi terendah, yaitu sebesar 83,64% atau Rp571 miliar dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp683 miliar. Sedangkan persentase realisasi tertinggi dialami oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sebesar 98,43%, kemudian berturut-turut diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Kulonprogo sebesar 91,64%, Kabupaten Bantul 89,89%, Pemerintah Provinsi 89,48% dan Pemerintah Kabupaten Sleman dengan realisasi sebesar 83,86%. Dengan demikian, di semua wilayah terjadi surplus anggaran, dimana berdasarkan APBD yang telah ditetapkan pada semua wilayah justru diperkirakan mengalami defisit anggaran. Surplus tertinggi terdapat pada Pemerintah Provinsi sebesar Rp329 miliar, diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Bantul Rp83 miliar, Pemerintah Kabupaten Sleman Rp71 miliar, Pemerintah Kota Yogyakarta Rp44 miliar, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo Rp30 miliar dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Rp27 miliar. PENDAPATAN PEMERINTAH Realisasi penerimaan/pendapatan 6 pemerintah daerah di Provinsi DIY pada tahun 2007 mencapai 117,43%, didorong oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di DIY dan sisa alokasi bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. Pendapatan Daerah tersebut terdiri dari realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp850 miliar, Pendapatan Transfer Rp3.318 miliar dan Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp432 miliar. PAD DIY terdiri dari Pajak Daerah sebesar Rp559 miliar, Retribusi Daerah sebesar Rp155 miliar, Lain-lain PAD sebesar Rp100 miliar dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan sebesar Rp35 miliar. Persentase realisasi APBD tertinggi terdapat pada pos Lain-lain PAD sebesar 174,38%, diikuti Pajak Daerah sebesar 115,08%, Retribusi Daerah sebesar 107,21% dan selanjutnya realisasi terkecil terdapat pada pos Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan sebesar 99,26%. 110 Bab 5 - Keuangan Pemerintah

125 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Namun demikian, porsi realisasi Pendapatan terbesar terdapat pada Pajak Daerah yaitu sebesar 65,76%, yang sebagian besar merupakan Pajak Pemilikan Kendaraan Bermotor. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah kendaraan di DIY mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan DIY dikatakan sebagai Daerah Sejuta Motor. Pajak Daerah dari kendaraan bermotor ini diperkirakan terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang memilih melakukan studi di DIY. Tabel 5.2 Pendapatan Pemerintah No U r a i a n RAPBD Realisasi APBD Juta Rupiah % Realisasi thd RAPBD A Pendapatan Asli Daerah ,43 1 Pajak Daerah ,08 2 Restribusi Daerah ,21 3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan ,26 4 Lain - lain Pendapatan Asli Daerah ,38 B Pendapatan Transfer ,50 1 Transfer Pemerintah Pusat - Dana Perimbangan ,62 a Dana Bagi Hasil Pajak ,74 b Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA) ,44 c Dana Alokasi Umum ,32 d Dana Alokasi Khusus ,02 2 Transfer Pemerintah Pusat - Lainnya ,92 a Dana Otonomi Khusus ,00 b Dana Penyesuaian ,65 3 Transfer Pemerintah Provinsi ,81 a Penciptaan Bagi Hasil Pajak ,24 b Penciptaan Bagi Hasil Lainnya ,49 C Lain-lain Pendapatan Yang Sah ,43 a Pendapatan Hibah ,66 b Pendapatan Lainnya ,60 Jumlah ,28 Keterangan : 1) Sebelum Audit Sumber : BPKD Prov. DIY Berdasarkan wilayah, persentase realisasi PAD tertinggi terdapat pada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sebesar 129,92% atau Rp29 miliar dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp22 miliar, sedangkan wilayah lainnya yang memiliki persentase realisasi PAD diatas 100,00%, dengan persentase realisasi terendah terdapat pada Kabupaten Kulonprogo sebesar 108,47% atau Rp38 miliar dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp35 miliar. Bab 5 - Keuangan Pemerintah 111

126 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Selanjutnya realisasi Pendapatan Transfer pada tahun 2007 sebesar Rp3.318 miliar terbentuk dari Transfer Pemerintah Pusat - Dana Perimbangan sebesar Rp3.124 miliar (100,62% dari anggaran sebesar Rp3.105 miliar), Transfer Pemerintah Pusat Lainnya sebesar Rp45 miliar (115,92% dari anggaran sebesar Rp39 miliar) dan Transfer Pemerintah Provinsi sebesar Rp148 miliar (118,81% dari anggaran sebesar Rp125 miliar). Realisasi Transfer Pemerintah Pusat - Dana Perimbangan sebesar 86,85% merupakan Dana Alokasi Umum (DAU), sedangkan sisanya masing-masing adalah Dana Bagi Hasil Pajak sebesar 7,49%, Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5,63% dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak sebesar 0,03%. Realisasi tertinggi terdapat pada pos Dana Bagi Hasil Pajak sebesar 104,74% dan terendah terdapat pada pos Dana Bagi Hasil Bukan Pajak sebesar 78,44%. Berdasarkan wilayahnya, pemerintah yang mampu merealisasikan Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat - Dana Perimbangan tertinggi adalah Pemerintah Kabupaten Bantul yaitu sebesar 101,63% atau Rp603 miliar, dan persentase terendah terdapat pada Pemerintah Provinsi sebesar 98,42% atau Rp481 miliar. Realisasi Transfer Pemerintah Pusat Lainnya terdiri dari Dana Otonomi Khusus sebesar Rp12 miliar dan Dana Penyesuaian sebesar Rp33 miliar. Transfer Pemerintah Pusat Lainnya ini hanya terdapat pada Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo yang terealisasi masing-masing sebesar 126,53%, 100,00% dan 90,00%. Transfer Pemerintah Provinsi sebesar Rp148 miliar merupakan Pendapatan Bagi Hasil Pajak sebesar Rp124 miliar dan Pendapatan Bagi Hasil Lainnya sebesar Rp25 miliar. Pos pendapatan yang hanya terdapat di Pemerintah Kabupaten ini, mampu direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Kulonprogo sebesar 133,76%, diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sebesar 126,04%, Pemerintah Kabupaten Bantul sebesar 114,75% dan Pemerintah Kabupaten Sleman sebesar 113,00%. Pos Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp432 miliar terdiri dari Pendapatan Hibah dan Pendapatan Lainnya masing-masing sebesar Rp358 miliar dan Rp74 miliar. Semua pemerintah daerah telah merealisasikan pos ini kecuali Pemerintah Kabupaten Sleman. Realisasi tertinggi terdapat pada Pemerintah Provinsi sebesar ,89% atau Rp336 miliar, sedangkan realisasi terendah terdapat pada Pemerintah Kota Yogyakarta sebesar 121,78% atau Rp59 miliar. Tingginya persentase realisasi Pendapatan yang Sah didorong oleh tingginya realisasi 112 Bab 5 - Keuangan Pemerintah

127 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta ,0 80,0 70,0 Grafik 5.1 Proporsi PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Pendapatan Pemerintah 71,05 79,26 67,92 % Pendapatan Hibah, yang merupakan sisa alokasi dana bantuan baik dari pemerintah, swasta maupun lembaga donor baik nasional maupun internasional terkait dengan proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa. 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0-24,08 19,91 18, PAD Dana Perimbangan Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, proporsi PAD dan Dana perimbangan terhadap total penerimaan relatif hampir sama, walaupun di tahun 2007 keduanya agak menurun. Penurunan tersebut sifatnya relatif, antara lain dikarenakan pos lain-lain penerimaan yang sah di tahun 2007 ini meningkat cukup tinggi, yaitu sebesar Rp432 miliar. Tabel 5.3 Belanja Pemerintah No U r a i a n RAPBD Realisasi APBD Juta Rupiah % Realisasi thd RAPBD A Belanja Operasi ,19 1 Belanja Pegawai ,16 2 Belanja Barang ,17 3 Belanja Bunga ,35 4 Belanja Subsidi ,89 5 Belanja Hibah ,00 6 Belanja Bantuan Sosial ,98 7 Belanja Bantuan Keuangan ,19 B Belanja Modal ,47 C Belanja Tidak Terduga ,50 D Transfer ,24 Jumlah ,96 Keterangan : 1) Sebelum Audit Sumber : BPKD Prov. DIY BELANJA PEMERINTAH Belanja Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di DIY pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp4.015 miliar atau terealisasi 88,96% dari RAPBD 2007 sebesar Rp4.513 miliar. Belanja Daerah tersebut mencakup Belanja Operasi sebesar Rp miliar (78,24%), Belanja Modal sebesar Rp588 miliar (14,66%), Belanja Transfer sebesar Rp244 miliar (6,07%) dan Belanja Tidak Terduga sebesar Rp42 miliar (1,03%). Realisasi tertinggi terdapat pada pos Belanja Transfer sebesar 98,24%, diikuti oleh Belanja Operasi sebesar 90,19%, Belanja Modal dan Belanja Tidak Terduga masing-masing sebesar 84,47% dan 48,50%. Belanja Operasi didominasi oleh Belanja Pegawai sebesar Rp2.154 miliar (68,57%), selanjutnya diikuti oleh Belanja Barang sebesar Rp640 miliar (20,37%). Sedangkan pos belanja lainnya hanya memiliki porsi kurang dari 10,00%, yaitu Bab 5 - Keuangan Pemerintah 113

128 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Belanja Bantuan Sosial Rp234 miliar (7,45%), Belanja Bantuan Keuangan Rp103 miliar (3,27%), Belanja Subsidi Rp8 miliar (0,26%) serta Belanja Bunga dan Belanja Hibah masing-masing sebesar Rp1 miliar (0,02%). Pada pos Belanja Operasi, realisasi belanja terbesar pada tahun 2007 berturut-turut terjadi pada Belanja Hibah, Belanja Subsidi dan Belanja Bantuan Keuangan. Wilayah yang mampu merealisasikan Belanja Operasi tertinggi adalah Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp427 miliar atau 101,87% dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp419 miliar. Sedangkan wilayah yang memiliki persentase realisasi Belanja Operasi terendah adalah Pemerintah Kota Yogyakarta sebesar Rp479 miliar atau 85,67% dari anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp559 miliar. Sementara itu, pada pos Belanja Modal yang merupakan cerminan berjalannya proyek-proyek Pemerintah belum optimal realisasinya, yaitu sebesar 84,47%. Penyebab utama belum optimalnya realisasi Belanja Modal terutama 100,0 90,0 80,0 90,19 Grafik 5.2 Belanja Modal 82,76 84,47 % adalah karena keterlambatan pengesahan RAPBD 2007 yang baru dilakukan pada 70,0 60,0 bulan triwulan II-2007 yang menyebabkan pelaksanaan dropping anggaran 50,0 40,0 terhambat dan proses pengadaan proyek menjadi tertunda, padahal proses pengadaan proyek membutuhkan waktu yang relatif lama. 30,0 20,0 10,0-13,13 13,53 14, Berdasarkan wilayah, Pemerintah Kabupaten Bantul memiliki persentase Proporsi thd Total Belanja Realisasi thd Rencana realisasi Belanja Modal tertinggi, yaitu sebesar 93,45%, sedangkan persentase realisasi terendah terdapat pada Pemerintah Kabupaten Sleman yaitu sebesar 71,50%. Besarnya persentase realisasi Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten Bantul disebabkan karena banyaknya proses pembangunan sebagai bentuk perbaikan terhadap infrastruktur yang rusak akibat gempa. Pos Belanja Tidak Terduga pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp42 miliar, atau terealisasi 48,50% dari anggaran sebesar Rp86 miliar. Realisasi tertinggi pos ini terdapat pada Pemerintah Provinsi yakni sebesar 80,70%. 114 Bab 5 - Keuangan Pemerintah

129 Bab 6: Prospek Perekonomian PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INFLASI Secara umum, dalam kurun waktu lima tahun terakhir perkembangan ekonomi DIY cukup menggembirakan dengan rata-rata laju pertumbuhan sekitar 4-5% per tahun. Namun, pada tahun 2006 sedikit mengalami perlambatan terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan gas elpiji pada akhir 2005 dan gempa bumi pada paruh terakhir tahun Sementara itu, laju perekonomian tahun 2007 tumbuh lebih tinggi dibanding tahun Percepatan pertumbuhan pada tahun 2007 terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas ekonomi dan meningkatnya daya beli masyarakat karena kembali pulihnya perekonomian DIY setelah terpuruk akibat gempa bumi. Kondisi perekonomian yang kondusif pada tahun 2007 diprakirakan menjadi sentimen positif bagi pertumbuhan ekonomi tahun Namun, sentimen positif diprakirakan sedikit terganggu dengan adanya gejolak perekonomian global yang diwarnai oleh kenaikan harga komoditas dunia. Tabel 6.1 Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi % No Indikator Tahun * 2007** 2008 f 1 Pertumbuhan Ekonomi a. DIY 4,27 4,50 4,58 5,12 4,74 3,69 4, b. Nasional 3,80 4,40 4,90 5,10 5,60 5,50 6, Inflasi a. Kota Yogyakarta 12,56 12,01 5,73 6,95 14,98 10,41 7, b. Nasional 12,55 10,03 5,06 6,40 17,11 6,60 6, Keterangan: *) Angka sementara, kecuali angka inflasi. **) Angka sangat sementara, kecuali angka inflasi. f) Angka perkiraan/proyeksi. Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. Dengan berdasarkan asumsi bahwa perekonomian nasional 2008 tumbuh dengan kisaran 5,7%-6,4%, inflasi nasional berkisar antara 6,0%-6,5%, perkembangan ekspor yang cenderung menurun, maka pada tahun 2008 diprakirakan perekonomian DIY tumbuh sedikit melambat dibandingkan dengan tahun Dari sisi permintaan, diprakirakan masih didorong oleh konsumsi rumah tangga dan investasi, sedangkan dari sisi penawaran, kinerja sektor-sektor unggulan yang terkait dengan karakteristik Kota Yogyakarta sebagai kota Jasa (sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Jasa-jasa dan sektor Pertanian) diprakirakan masih berperan sebagai motor pertumbuhan. Bab 6 - Prospek Perekonomian 115

130 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Laju pertumbuhan ekonomi DIY tahun 2008 diprakirakan sekitar 4,0%- 4,5%, dengan estimasi titik sebesar 4,09%. Lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi Nasional yang diprakirakan mencapai kisaran 5,7%-6,4%. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi tahun 2008 terutama didorong oleh andil sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang diprakirakan mencapai 1,16% dengan pertumbuhan sebesar 5,61%, diikuti sektor Pertanian andil 0,56% dengan pertumbuhan 3.61%, sektor Jasa-jasa andil 0,55% dengan pertumbuhan 3,30%, sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan andil 0,49% dengan pertumbuhan 5,40%, dan sektor Bangunan andil 0,47% dengan pertumbuhan 5,02%. Dengan estimasi ini, diprakirakan pangsa pembentukan PDRB DIY tidak banyak mengalami perubahan, dengan pangsa terbesar masih pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 20,93%, diikuti sektor Pertanian 18,45%, sektor Jasa-jasa 16,55% dan sektor Industri Pengolahan 13,56%. Tabel 6.2 Perkiraan Pertumbuhan PDRB Sisi Penawaran No Sektor * 2007** 2008 f Nilai 1 Ptumb Andil 2 Pangsa Nilai 1 Ptumb Andil 2 Pangsa 1 Pertanian ,307 3, , Penggalian Industri Pengolahan ,481 2, , Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan ,580 1, , Perdagangan, Hotel & Restoran ,570 3, , Pengangkutan & Komunikasi ,762 1, , Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan ,592 1, , Jasa-jasa ,965 3, , Total ,535 18, , Keterangan: 1) PDRB Harga Konstan Tahun 2000 (miliar Rp). 2) Andil terhadap pertumbuhan tahunan (%). *) Angka sementara. f) Angka perkiraan/proyeksi. Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008, kenaikan andil sektor Pertanian pada tahun 2008, diprakirakan karena adanya peningkatan pada kegiatan holtikultura dan subsektor peternakan selama tahun 2007 yang menjadi sentimen positif di tahun 2008 serta didukung dengan upaya peningkatan produktivitas pertanian melalui penggunaan bibit unggul. Selanjutnya, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran diprakirakan cenderung meningkat, diduga karena adanya rencana program pariwisata untuk memperpanjang lama menginap menjadi 2,5 hari, rencana pembukaan kembali jalur penerbangan internasional, serta rencana pembangunan Koridor Magelang-Sragen oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang kemungkinan memberi dampak peningkatan jumlah arus barang dan penumpang ke Provinsi DIY. Sektor Jasa-jasa diprakirakan juga meningkat pada tahun Hal ini diprakirakan karena adanya peningkatan jasa hiburan dan rekreasi sebagai akibat peningkatan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pariwisata, penyebaran informasi negatif mengenai pergaulan bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa yang sudah mulai menghilang, serta kenaikan jasa %(yoy) 116 Bab 6 - Prospek Perekonomian

131 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah. Sementara itu, sektor Pengangkutan dan Komunikasi diprakirakan cenderung menurun pada tahun Hal ini diprakirakan karena pengaruh kenaikan harga minyak dunia. Selain itu, pertumbuhan sektor Bangunan diprakirakan juga mengalami sedikit penurunan dibanding dengan tahun 2007, karena pencairan dana rekonstruksi sudah mulai berkurang, sehingga properti swadaya masyarakat kembali ke posisi normal dan peran properti komersial kembali lagi menjadi lebih dominan dalam menyokong kinerja sektor Bangunan. Sementara itu, perkembangan harga yang diukur oleh inflasi IHK diprakirakan cenderung meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya. Peningkatan ini diduga karena adanya gejolak perekonomian global yang diwarnai oleh harga komoditas dunia yang tinggi. Kondisi ini diprakirakan akan berpengaruh pada perkembangan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang cenderung lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, sehingga dapat mendorong peningkatan inflasi global. Dengan asumsi ini, inflasi DIY tahun 2008 diprakirakan lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya atau pada kisaran 9,0%-10,0%, dengan estimasi titik sebesar 9,37%. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan prediksi inflasi nasional yang berkisar antara 6,0%-6,5%. Secara umum, peningkatan inflasi DIY diprakirakan didorong oleh peningkatan diseluruh kelompok barang. Peningkatan terbesar terjadi pada kelompok Bahan Makanan, karena kenaikan harga minyak dunia memberikan kemungkinan terjadinya konversi ke komoditas tanaman pangan sebagai bahan biofuel, yang akhirnya berdampak pada peningkatan harga jual produk pertanian. PROSPEK PERBANKAN Pada tahun 2008 kondisi Perbankan DIY diprakirakan cenderung membaik dibandingkan dengan tahun Aset Perbankan DIY diprakirakan akan tumbuh dalam kisaran 12%-15% menjadi kurang lebih Rp21 triliun. Proyeksi ini diperkuat dengan rencana pembukaan beberapa Bank Umum dan BPRS di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia (KBI) Yogyakarta. Penghimpunan DPK pada tahun 2008 diprakirakan tumbuh di kisaran angka 11%-13%. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan daya beli masyarakat seiring dengan peningkatan pendapatan. Selain itu, masih berlangsungnya pencairan dana rekonstruksi pasca gempa, adanya peningkatan UMP DIY, serta gencarnya promosi produk-produk Tabungan dan Deposito juga diprakirakan menyebabkan peningkatan DPK. Bab 6 - Prospek Perekonomian 117

132 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Sementara itu, Kredit Perbankan DIY diprakirakan akan tumbuh sebesar 17%-19%. Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang mengeluarkan paket regulasi perbankan tentang Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil (KUK). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keleluasaan bank dalam menyalurkan kredit, sehingga diharapkan laju penyaluran kredit tidak menurun. Tabel 6.3 Prospek Perbankan % No Indikator f 1 Aset 10,46 13,05 22,47 15,55 13,44 2 DPK 12,55 12,39 20,83 11,68 11,78 3 Kredit 39,67 30,30 11,88 21, * 4 LDR 47,30 54,83 50,77 55,07 57,85 Keterangan: f) Angka perkiraan/proyeksi. *) Target BI. Proyeksi pertumbuhan Kredit yang lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan DPK, menyebabkan angka LDR diprakirakan mampu mencapai angka 55%-59%. Bank Indonesia pada tahun 2008 akan terus mendorong fungsi intermediasi Perbankan dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan. PROSPEK KEUANGAN PEMERINTAH Untuk tahun 2008, berdasarkan data gabungan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota, tampak bahwa rencana yang diajukan oleh pemerintah daerah realistis, karena tidak terlalu berbeda secara signifikan dengan RAPBD 2007 maupun realisasinya. Jika dibandingkan dengan RAPBD 2007, peningkatan rencana Pendapatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan anggaran belanja, yaitu 16,90% untuk Pendapatan dan 10,39% untuk Belanja. Sedangkan jika dibandingkan dengan realisasi RAPBD 2007, justru terjadi sebaliknya, peningkatan rencana Belanja lebih tinggi jika dibandingkan dengan rencana Pendapatannya, yaitu 24,09% untuk Belanja dan 3,20% untuk rencana Pendapatan. Hal ini disebabkan realisasi Pendapatan pada tahun 2007 mengalami lonjakan sebagai akibat besarnya realisasi Pendapatan Hibah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. 118 Bab 6 - Prospek Perekonomian

133 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Secara gabungan, keuangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota pada tahun 2008 diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp236 miliar, sebagaimana yang terjadi pada tahun Namun perkiraan defisit ini tidak terdapat pada Pemerintah Kabupaten Bantul dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul yang merencanakan surplus masing-masing sebesar Rp216 miliar dan Rp94 miliar. Tabel 6.4 Rencana APBD 2008 APBD APBD 2008 Juta Rupiah No U r a i a n Ptumb thd APBD (%) Rencana Realisasi Nilai Rencana Realisasi A PENDAPATAN ,90 3,20 1 Pendapatan Asli Daerah ,08-2,85 2 Pendapatan Transfer ,52 9,88 3 Lain-lain Pendapatan Yang Sah ,55-36,22 B BELANJA ,39 24,09 1 Belanja Operasi ,36 47,86 a. Belanja Pegawai ,59 25,70 b. Belanja Barang ,51 25,06 c. Belanja Bunga , ,82 d. Belanja Subsidi ,48 921,63 e. Belanja Hibah , ,51 f. Belanja Bantuan Sosial ,67 27,92 g. Belanja Bantuan Keuangan ,84 238,58 2 Belanja Modal ,65-49,86 3 Belanja Tidak Terduga ,37 2,33 4 Transfer ,00-100,00 C SURPLUS/DEFISIT ( ) ( ) -47,95-140,37 D PEMBIAYAAN ,89 19,49 1 Penerimaan Daerah ,72 21,50 2 Pengeluaran Daerah ,30 41,23 Keterangan : 1) Sebelum Audit Sumber : BPKD Prov. DIY Sumber Pendapatan RAPBD 2008 yang tercatat sebesar Rp4.746 miliar sebagian besar diharapkan masih berasal dari Pendapatan Transfer sebesar Rp3.645 miliar yang lebih dari 90,00%nya merupakan Dana Perimbangan. Peningkatan pos Pendapatan Dana Perimbangan tertinggi terdapat pada Pemerintah Provinsi yang menganggarkan pos ini sebesar Rp585 miliar. PAD pada RAPBD 2008 dianggarkan sebesar Rp825 miliar, naik 14,08% dari RAPBD 2007, namun turun sebesar 2,85% jika dibandingkan dengan realisasi RAPBD Pos PAD ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di DIY yang pada tahun 2007 tumbuh sekitar 10,00%. Untuk pos Lain-lain Pendapatan yang Sah pada RAPBD 2008 dianggarkan sebesar Rp276 miliar, naik tiga kali lipat (306,55%) dari RAPBD 2007 yang tercatat sebesar Rp68 miliar, namun mengalami penurunan sebesar 36,22% jika dibandingkan dengan realisasi RAPBD Bab 6 - Prospek Perekonomian 119

134 Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007 Pengeluaran Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota pada tahun 2008 yang direncanakan sebesar Rp4.981 miliar, sebagian besar dialokasikan untuk Belanja Operasi sebesar Rp4.644 miliar. Pos Belanja ini naik 33,36% jika dibandingkan dengan RAPBD 2007 yang tercatat sebesar Rp3.483 miliar, atau naik 47,86% jika dibandingkan dengan realisasinya. Lebih dari separuh Belanja Operasi ini ditujukan untuk Belanja Pegawai sebesar Rp2.707 miliar. Jika dilihat dari peningkatannya, Belanja Hibah dan Belanja Bunga mengalami peningkatan secara drastis baik dibandingkan dengan RAPBD 2007 maupun realisasinya. Belanja Hibah mengalami peningkatan terkait dengan perkiraan sisa alokasi dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang masih ada. Sedangkan peningkatan Belanja Bunga didorong oleh pinjaman pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang digunakan untuk pembangunan sarana daerah. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi memiliki pinjaman dalam rangka pembangunan kembali Pasar Beringharjo. Pada RAPBD 2008, secara gabungan, pos Belanja Modal terlihat mengalami penurunan yang drastis. Hal ini dikarenakan Pemerintah Kabupaten dan Kota belum memisahkan rencana Belanja Modal dari kegiatan-kegiatan yang telah dianggarkan. Belanja Modal sendiri masih termasuk ke dalam Belanja Operasi. Namun, sebagai ilustrasi rencana peningkatan pos ini dapat dilihat dari Pemerintah Pemerintah Provinsi yang telah melakukan pemisahan pos. Dari RAPBD 2008, terlihat Pemerintah Provinsi merencanakan peningkatan sebesar 69,41% jika dibandingkan dengan RAPBD 2007 atau 98,28% jika dibandingkan dengan realisasinya. Hal ini memperlihatkan komitmen pemerintah daerah untuk membangun daerahnya dengan melaksanakan proyek-proyek untuk fasilitas masyarakat. Namun optimalnya komitmen ini sangat tergantung dengan waktu pengesahannya, yang akan membawa implikasi kepada pelaksanaannya terkait dengan pengadaan proyek-proyek pemerintah yang memerlukan waktu lama. 120 Bab 6 - Prospek Perekonomian

135 L a m p i r a n

136 Halaman ini sengaja dikosongkan.

137 Lampiran Sejarah ah Singkat Bank Indonesia Yogy ogyakarta Kantor Cabang (KC) Djokdjakarta dibuka pada 127 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 1 April 1879, sebagai KC De Javache Bank ke-8. Pendirian KC Djokdjakarta terutama untuk mengakomodasi usulan sebuah perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis di daerah ini yakni Firma Dorrepaal & Co., Semarang. Usulan tersebut langsung disampaikan kepada President De Javache Bank ke-7, Mr. N.P. Van den BERG sekitar bulan Agustus-September Usulan pendirian KC De Javanche Bank DIY langsung disambut baik oleh Direksi dan Dewan Komisaris pada saat itu, mengingat volume perdagangan di daerah Yogyakarta sudah cukup besar yang antara lain tercermin dari jumlah transfer ke Yogyakarta melalui KC Soerakarta yang mencapai 2 s.d. 3,5 juta gulden. Produksi gula per tahun pada tempo itu mencapai pikol atau setara dengan ton. Pada tanggal 9 Maret 1942 kegiatan De Javache Bank sempat terhenti bersamaan dengan dimulainya masa pendudukan tentara Jepang yang selanjutnya disusul dengan penglikuidasian bank-bank milik Belanda, Inggris dan Cina. Bersamaan dengan itu, Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan sebagai bank sirkulasi untuk wilayah P. Jawa. Pada tanggal 30 Desember 1948 KC Djokdjakarta mulai beroperasi kembali namun tak lama kemudian ditutup kembali pada tanggal 30 Juni 1949 bersamaan dengan masa Agresi Belanda ke-2. Akhirnya baru pada tanggal 22 Maret 1950 KC Djokdjakarta beroperasi kembali. Dengan diberlakukannya UU No.11/1953 pada tanggal 1 Juli 1953, De Javache Bank berubah menjadi Bank Indonesia sehingga seluruh KC De Javache Bank berubah menjadi KC Bank Indonesia, termasuk KC Yogyakarta. Pada awal masa peralihan KC Yogyakarta dikategorikan sebagai kantor cabang kelas III dengan wilayah kerja DIY dan Karesidenan Kedu, yang kemudian pada tahun 1980 hanya dibatasi pada wilayah Provinsi DIY. KC Yogyakarta naik status menjadi kantor cabang kelas II pada tahun Seiring dengan perkembangan kegiatan operasional yang meningkat, pada tanggal 4 Februari 1993 gedung baru yang bersebelahan dengan gedung lama diresmikan. Selanjutnya sebutan Kantor Cabang Yogyakarta sejak tanggal 1 Agustus 1996 berubah menjadi Kantor Bank Indonesia Yogyakarta atau disingkat dengan Bank Indonesia Yogyakarta. Berikut ini daftar nama-nama pejabat yang telah tercatat sebagai pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga saat ini: Periode Nama Pemimpin Periode Nama Pemimpin C.H. de Veer Isbianto P J.G.J. Wagener Suparman Wijaya E.A. Olive Sukanto R.W.L. Echter Mohd. Kurdi E. Soekasah S Aibar Durin I. Nyoman Moena Sri Hastjarja P. R.R. Wenas Warsono Santoso R. Soewignjo S Adji Mulawarman Hasan M.P. Hutabarat Achil Ridwan Djajadiningrat Sukiyanto Ny. Hirawati Suhirman R. Kardana H Amril Arief R. Soetrisno Djarot Sumartono W.T. Lunggono Ny. Endang Sedyadi Soeparto W. April Tjahjo Oetomo K. 123

138 Lampiran Peta Strategi Bank Indonesia Yogy ogyakarta Stakeholders Eksternal SS.1. Tersedianya informasi & Rekomendasi ekonomi regional dalam rangka mendukung kebijakan Kantor Pusat Bank Indonesia (SS.BI.3) 16,20% SS.2 Tersedianya informasi & Rekomendasi untuk mendukung pembangunan ekonomi di wilayah kerja (SS.BI.3) SS.3 Peningkatan kesehatan sistem perbankan dan kelancaran serta keamanan sistem pembayaran dalam rangka mendukung perekonomian daerah (SS.BI.4&5) 10,30% Misi Visi 17,70% Proses & Pelaksanaan Tugas BI SS.5. Mengoptimalkan hasil kajian dan penyediaan informasi ekonomi di wilayah kerja.(ss.bi.3) 11,20% SS.8. Meningkatkan pemberdayaan sektor riil dan UMKM (SS.BI.3&4) SS.6. Meningkatkan pelayanan dan prasarana sistim pembayaran. (SS.BI.5) 8,40% 11,30% SDM, Kultur & Manajemen Perubahan SS.9. Meningkatkan efektivitas pelaksanaan Good Governance. (SS.BI.6) SS.10. Memperkuat institusi BI melalui penciptaan sinergi antara SDM, Informasi, pengetahuan, dan rancangan organisasi dengan strategi Bank Indonesia.(SS.BI.7) 7,00% 3,70% Keuangan BI SS.4. Pengelolaan keuangan satuan kerja secara efektif dan efisien. (SS.BI.2) SS.7. Meningkatkan pengawasan bank yang efektif. (SS.BI.4) 5,90% 8,40% 124

139 Lampiran Tim Ekonomi Moneter (Ameriza M. Moesa) Kelompok Pemberdayaan Sektor Riil & UMKM (Usep Sukarya ) Kelompok Kajian Ekonomi (Dwi Suslamanto) Kelompok Statistik & Survei (Asna Amalia) Struktur Organisasi Bank Indonesia Yogy ogyakarta Pemimpin Bank Indonesia (Ny. Endang Sedyadi / Tjahjo Oetomo) s.d. 23 April 2008 sejak 23 April 2008 Deputi Pemimpin Bank Indonesia (Pranoto) Seksi Operasional Kas (I Nyoman Darma Susila) Seksi Layanan Nasabah & Penyelenggaraan Kliring Seksi Sumber Daya (Tatag Eko Wibowo) Seksi Sekretariat, Pengamanan & Protokol (Chairil Syam) Tim Pengawasan Bank (Bramono Sidik) Kelompok Pengawasan Bank I (Ny. Esti Sasanti ) Kelompok Pengawasan Bank II (AY Eka Putra) Kelompok Pengawasan Bank III Kelompok Pengawasan Bank IV (Ny. Uun Ilyana) 125

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III-2008

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III-2008 Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III-2008 YOGYAKARTA VISI BANK INDONESIA Menjadi KBI yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI ACEH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI ACEH KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI ACEH VISI Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan. MISI Mendukung

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan I 2013 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui

Lebih terperinci

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I 2014

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I 2014 Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ...Memberikan saran kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Banten

Kajian Ekonomi Regional Banten Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan I - 2009 i Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala rahmat-nya sehingga penyusunan buku Kajian Ekonomi Regional

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan III 2012 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II 2013 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL No. Sektor 2006 2007 2008. 1 Pertanian 3.90% 4.01% 3.77% 0.31% 2.43% 3.29% 2.57% 8.18% 5.37% 4.23% 2.69% -0.49% 2 Pertambangan dan Penggalian -3.24% 77.11% 8.98%

Lebih terperinci

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan III 2015 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-nya (KEKR) Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan III

Lebih terperinci

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III 2014

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III 2014 Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III 2014 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ...Memberikan saran kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH Perbankan Aceh PERKEMBANGAN PERBANKAN DI ACEH KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROV. ACEH TRIWULAN 4-2012 45 Perkembangan Perbankan Aceh Kinerja perbankan (Bank

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan II 2012 tercatat sebesar 7,25%, mengalami perlambatan dibandingkan

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Jawa Barat Triwulan IV-211 Kantor Bank Indonesia Bandung KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia- Nya, buku

Lebih terperinci

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2013 Secara triwulanan, PDRB Kalimantan Selatan triwulan IV-2013 menurun dibandingkan dengan triwulan III-2013 (q-to-q)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 SEBESAR -0,03 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 SEBESAR -0,03 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 25/11/34/Th. IX, 15 November 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 SEBESAR -0,03 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT TRIWULAN I-2008 KANTOR BANK INDONESIA BANDUNG Kantor Bank Indonesia Bandung Jl. Braga No. 108 BANDUNG Telp : 022 4230223 Fax : 022 4214326 Visi Bank Indonesia

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Pada triwulan I 2012 pertumbuhan Kepulauan Riau mengalami akselerasi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 6,34% (yoy)

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN III-2013 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX 2013 KATA PENGANTAR Buku Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Utara merupakan terbitan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA AGUSTUS 2017 Vol. 3 No. 2 Triwulanan April - Jun 2017 (terbit Agustus 2017) Triwulan II 2017 ISSN 2460-490257 e-issn 2460-598212 KATA PENGANTAR RINGKASAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT TRIWULAN IV-2009 KANTOR BANK INDONESIA BANDUNG Kantor Bank Indonesia Bandung Jl. Braga No. 108 BANDUNG Telp : 022 4230223 Fax : 022 4214326 Visi Bank Indonesia

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Asesmen Ekonomi Perekonomian Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II-2013 mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN Transaksi sistem pembayaran tunai di Gorontalo pada triwulan I-2011 diwarnai oleh net inflow dan peningkatan persediaan uang layak edar. Sementara itu,

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 31/05/35/Th. X, 7 Mei 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2012 (c-to-c) mencapai 7,19 persen Ekonomi

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT TRIWULAN IV-28 KANTOR BANK INDONESIA BANDUNG Kantor Bank Indonesia Bandung Jl. Braga No. 18 BANDUNG Telp : 22 423223 Fax : 22 4214326 Visi Bank Indonesia Menjadi

Lebih terperinci

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara Ringkasan Eksekutif Asesmen Ekonomi Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013 No. 027/05/63/Th XVII, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013 Perekonomian Kalimantan Selatan triwulan 1-2013 dibandingkan triwulan 1- (yoy) tumbuh sebesar 5,56 persen, dengan

Lebih terperinci

No. Sektor No. Sektor No. Jenis Penggunaan

No. Sektor No. Sektor No. Jenis Penggunaan PDRB SEKTORAL Berdasarkan Harga Berlaku (Rp Miliar) No. Sektor 2006 2007 1 Pertanian 431.31 447.38 465.09 459.18 462.01 491.83 511.76 547.49 521.88 537.38 2 Pertambangan dan Penggalian 11.48 11.44 11.80

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT TRIWULAN II-2008 KANTOR BANK INDONESIA BANDUNG Kantor Bank Indonesia Bandung Jl. Braga No. 108 BANDUNG Telp : 022 4230223 Fax : 022 4214326 Visi Bank Indonesia

Lebih terperinci

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia Dasar Hukum Bank Indonesia Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. ~UUD 1945 Pasal 23 D~ Bank Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Halaman ini sengaja dikosongkan. 2 Halaman ini sengaja dikosongkan. KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan ridha- IV Barat terkini yang berisi mengenai pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III 2004 185 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan III 2004, Bank Indonesia

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan IV 2012 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan III 2010 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan II2009 Kantor Bank Indonesia Palangka Raya KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat Nya sehingga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Tahun 28 Perekonomian Indonesia tahun 28 tumbuh 6,6%(yoy), mengalami perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahun 27 (6,28%). Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI 2017 1 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia- Ekonomi dan Keuangan Regional

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI

BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI BAB 7 OUTLOOK EKONOMI BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI Perekonomian Gorontalo pada triwulan II- diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan I-. Kondisi ini diperkirakan didorong oleh proyeksi kenaikan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan I2009 Kantor Bank Indonesia Palangka Raya KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga Laporan

Lebih terperinci

Triwulan III Kajian Ekonomi Regional Banten

Triwulan III Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan III 212 Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan III 212 1 Triwulan III 212 Halaman ini sengaja dikosongkan 2 Triwulan III 212 KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 08/02/34/Th. XI, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan -2012 Asesmen Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2012 tercatat 8,21% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2011 yang tercatat

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan I2010 Kantor Bank Indonesia Palangka Raya KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat Nya sehingga Kajian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 No. 10/02/63/Th XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 010 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2010 tumbuh sebesar 5,58 persen, dengan n pertumbuhan tertinggi di sektor

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/36/Th. VIII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian Banten pada triwulan IV-2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014 No.22/05/36/Th.VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014 PDRB Banten triwulan I tahun 2014, secara quarter to quarter (q to q) tumbuh positif 0.87 persen, setelah triwulan sebelumnya

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia Dasar Hukum Bank Indonesia Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. ~UUD 1945 Pasal 23 D~ Bank Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Jawa Barat Triwulan I-212 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat & Banten) KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th.XI, 5 Februari 2013 Ekonomi Jawa Timur Tahun 2012 Mencapai 7,27 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Lebih terperinci

Pertumbuhan Ekonomi Kepulauan Riau

Pertumbuhan Ekonomi Kepulauan Riau Ringkasan Eksekutif Asesmen Ekonomi Kondisi perekonomian provinsi Kepulauan Riau triwulan II- 2008 relatif menurun dibanding triwulan sebelumnya. Data perubahan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 63/11/73/Th. VIII, 5 November 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 6,06 PERSEN Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan III tahun 2014 yang diukur

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan I 2012 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui

Lebih terperinci

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara No. 063/11/63/Th.XVII, 6 November 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2013 Secara umum pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan triwulan III-2013 terjadi perlambatan. Kontribusi terbesar

Lebih terperinci

KAJIAN. Triwulan II Kantor Bank Indonesia

KAJIAN. Triwulan II Kantor Bank Indonesia KAJIAN EKONOMI PROVINSI REGIONAL RIAU Triwulan II - 200 7 Kantor Bank Indonesia P e k a n b a r u KATA PENGANTAR BUKU Kajian Ekonomi Regional (KER) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin triwulanan

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN I-2013

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN I-2013 KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN I-2013 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX 2013 KATA PENGANTAR Buku Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Utara merupakan terbitan rutin

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Visi Bank Indonesia Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 1.2 SISI PENAWARAN Di sisi penawaran, hampir keseluruhan sektor mengalami perlambatan. Dua sektor utama yang menekan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2012 adalah sektor pertanian dan sektor jasa-jasa mengingat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI A. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat

Lebih terperinci

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan IV 2010 Visi Bank Indonesia : Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 53/08/35/Th. X, 6 Agustus 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Semester I Tahun 2012 mencapai 7,20 persen Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia pernah mengalami krisis pada tahun 1997, ketika itu nilai tukar rupiah merosot tajam, harga-harga meningkat tajam yang mengakibatkan inflasi yang tinggi,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI 2017

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI 2017 MEI KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-nya Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Jawa Tengah Mei dapat dipublikasikan. Buku ini

Lebih terperinci

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan IV 2013

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan IV 2013 Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan IV 213 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA i Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Ekonomi Pemulihan ekonomi Kepulauan Riau di kuartal akhir 2009 bergerak semakin intens dan diperkirakan tumbuh 2,47% (yoy). Angka pertumbuhan berakselerasi

Lebih terperinci

4. Outlook Perekonomian

4. Outlook Perekonomian Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan I-2008 4. Outlook Perekonomian Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,2% atau melambat

Lebih terperinci

6.1. Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi Keuangan Secara Tunai Transaksi Keuangan Secara Non Tunai... 74

6.1. Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi Keuangan Secara Tunai Transaksi Keuangan Secara Non Tunai... 74 i ii ii 1.1. Analisis PDRB Dari Sisi Penawaran... 3 1.1.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan... 4 1.1.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian... 6 1.1.3. Sektor Industri Pengolahan... 8 1.1.4. Sektor

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2014 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Visi Bank Indonesia Menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil

Lebih terperinci

SURVEI PERBANKAN KONDISI TRIWULAN I Triwulan I Perbankan Semakin Optimis Kredit 2015 Tumbuh Sebesar 17,1%

SURVEI PERBANKAN KONDISI TRIWULAN I Triwulan I Perbankan Semakin Optimis Kredit 2015 Tumbuh Sebesar 17,1% Triwulan I - 2015 SURVEI PERBANKAN Perbankan Semakin Optimis Kredit 2015 Tumbuh Sebesar 17,1% Secara keseluruhan tahun 2015, optimisme responden terhadap pertumbuhan kredit semakin meningkat. Pada Triwulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/11/34/Th. XIII, 7 November 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT TRIWULAN II-2010 KANTOR BANK INDONESIA BANDUNG Kantor Bank Indonesia Bandung Jl. Braga No. 108 BANDUNG Telp : 022 4230223 Fax : 022 4214326 Visi Bank Indonesia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat Triwulan I - 29 Kantor Triwulan I-29 BANK INDONESIA PADANG KELOMPOK KAJIAN EKONOMI Jl. Jend. Sudirman No. 22 Padang Telp. 751-317 Fax. 751-27313 Penerbit

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SULAWESI BARAT TRIWULAN-I 2013 halaman ini sengaja dikosongkan iv Triwulan I-2013 Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Barat Daftar Isi KATA PENGANTAR... III DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 No.11/02/63/Th XVII, 5 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2012 tumbuh sebesar 5,73 persen, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor konstruksi

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2010 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2010 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Visi Bank Indonesia Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil Misi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Kalimantan Tengah Triwulan II2009 Kantor Bank Indonesia Palangka Raya KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga Laporan

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci