BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN UMUM. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM. Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 245/Menkes/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

Oleh : Bambang Priyambodo

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

CPOB. (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

B. Tujuan Tujuan Qualiy Assurance adalah untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Belanda, pada tahun 1958 pemerintah melebur sejumlah perusahaan farmasi

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. bawah pengelolaan Drs. Handoko Prayogo, Apt. Berawal dari industri rumah

KATA PENGANTAR QUALITY CONTROL

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. PT. Combiphar didirikan pada tahun 1971 di Jl. Sukabumi no. 61,

UNIVERSITAS INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Tugas Individu Farmasi Industri. Uraian Tugas Kepala Bagian Produksi, Pengawasan Mutu dan Pemastian Mutu

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt.

Produksi di Industri Farmasi

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. COMBIPHAR JL. RAYA SIMPANG NO. 383 PADALARANG PERIODE MARET 2012

2. KETENTUAN UMUM Obat tradisional Bahan awal Bahan baku Simplisia

BAB III KEGIATAN DI INDUSTRI FARMASI P.T. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

UNIVERSITAS INDONESIA DI PT. MOLEX AYUS JL. RAYA SERANG KM 11,5 CIKUPA TANGERANG PERIODE 16 JANUARI - 27 JANUARI 2012

Penggunaan terbesar herbal. Fitofarmaka. supplement. kosmetik

BAB 1 MANAJEMEN MUTU

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Viddy A R. II Selasa, 5 September 2017

PERSYARATAN TEKNIS CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK BAB 1

2 Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125); 3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.

Aspek-aspek CPOB. Manajemen Mutu Personalia Bangunan dan Fasilitas Peralatan Sanitasi dan Higiene Produksi

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:. TENTANG PEDOMAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN KOSMETIKA YANG BAIK

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JL. RAYA BOGOR KM 38, DEPOK PERIODE 1 FEBRUARI 28 MARET 2013

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 2.1 Tinjauan Lembaga Farmasi Angkatan Udara (LAFIAU) Sejarah dan Perkembangan Lembaga Farmasi Angkatan Udara

UNIVERSITAS INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Tugas dan tanggungjawab Quality Assurance (QA) / Jaminan Mutu

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM PT. PRADJA PHARIN (PRAFA) mengalami perkembangan pesat. PT. Prafa didirikan pada tahun 1960 oleh Tjipto

UNIVERSITAS INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN (SMK3)

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN FASILITAS DAN KEGIATAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk telah

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. SOLAS LANGGENG SEJAHTERA BANDUNG

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

2. Rencana K3 yang disusun oleh perusahaan paling sedikit memuat : a. Tujuan dan Sasaran

BAB II PT. KIMIA FARMA. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

DOKUMENTASI

1 dari1717 I. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

A. KRITERIA AUDIT SMK3

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

BAB II. TINJAUAN UMUM DI PT. INDOFARMA (Persero) Tbk. 2.1 Sejarah dan Perkembangan PT. Indofarma (Persero) Tbk.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian industri farmasi Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi (Badan POM, 2012). 2.1.2 Persyaratan industri farmasi Industri Farmasi wajib memperoleh izin usaha dalam melaksanakan kegiatannya. Oleh karena itu, industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1799/MENKES/PER/XII/2010 untuk memperoleh izin mendirikan Industri Farmasi, suatu usaha Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas. 2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. 3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab Pengawasan Mutu, Produksi, dan Pemastian Mutu. 5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan dibidang kefarmasian. 2.1.3 Pencabutan izin usaha industri farmasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/MENKES/PER/XII/2010, izin usaha industri farmasi dapat dicabut apabila industri tersebut: 1. Melakukan pemindah tanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan usaha tanpa memiliki izin. 2. Tidak menyampaikan laporan mengenai perkembangan industri selama tiga kali berturut-turut atau menyampaikan informasi yang tidak benar. 3. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu. 4. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku. 5. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha Industri Farmasi. 2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) CPOB merupakan pedoman yang harus diterapkan dalam seluruh rangkaian proses di industri farmasi dalam pembuatan obat jadi, sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan RI No.43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik. Pedoman CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten,

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaanya (Badan POM, 2012). CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada proses pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat penting untuk menjamin bahwa obat yang bermutu tinggi tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut (to build quality into the product). Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan pengemas, proses produksi, pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai, serta personel yang terlibat. Oleh karena itu, Pemastian Mutu suatu obat hendaknya dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat (Badan POM, 2012). Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Konsep CPOB bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan teknologi di bidang farmasi. Ruang lingkup CPOB 2012 meliputi 12 aspek yaitu: 1. Manajemen Mutu 2. Personalia 3. Bangunan dan Fasilitas 4. Peralatan 5. Sanitasi dan Higiene 6. Produksi 7. Pengawasan Mutu 8. Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok 9. Penanganan Keluhan terhadap Produk dan Penarikan Kembali Produk

10. Dokumentasi 11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak 12. Kualifikasi dan Validasi 2.2.1 Manajemen Mutu Industri Farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunaannya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen Mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu kebijakan mutu yang memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta menginkorporasi cara pembuatan obat yang baik termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor efektifitasnya. Unsur dasar Manajemen Mutu adalah: a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya. b. Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk atau jasa pelayanan yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.

Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek Manajemen Mutu yang saling terkait. Konsep tersebut diuraikan di sini untuk menekankan hubungan dan betapa penting konsep tersebut dalam produksi dan pengawasan produk (Badan POM, 2012). 2.2.2 Personalia Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem Pemastian Mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu, Industri Farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personel yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personel hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personel hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya. Industri Farmasi hendaklah memiliki personel yang terkualifikasi dan berpengalaman praktris dalam jumlah yang memadai. Tiap personel hendaklah tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan untuk menghindarkan risiko terhadap mutu obat. Suatu Industri Farmasi harus memiliki struktur organisasi yang menguraikan tugas dan kewenangan masing-masing personel sesuai dengan posisinya. Tugas tersebut boleh didelegasikan kepada wakil yang ditunjuk dengan syarat wakil tersebut memiliki tingkat kualifikasi yang memadai. Personel kunci yang harus ada di suatu industri farmasi, mencakup Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu, dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

Tugas spesifik dan kewenangan dari personel pada posisi penanggung jawab hendaklah dicantumkan dalam uraian tugas tertulis sebagai berikut: 1. Personel Kunci a. Personel Kunci mencakup kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian Manajemen Mutu. b. Kepala bagian Produksi dan kepala bagian Manajemen Mutu/kepala bagian Pengawasan Mutu harus independen satu dengan yang lain. 2. Organisasi, Kualifikasi dan tanggung jawab a. Pada struktur organisasi perusahaan, bagian Produksi dan Pengawasan Mutu harus dipimpin oleh seorang Apoteker yang berbeda, yang tidak saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain. Keduanya tidak boleh mempunyai kepentingan di luar organisasi perusahaan, yang dapat menghambat atau membatasi tanggung jawabnya. b. Manajer produksi harus seorang apoteker yang terlatih serta memiliki pengalaman praktis yang memadai, diberikan wewenang dan tanggung jawab penuh mengelola produksi obat. c. Manajer Pengawasan Mutu harus seorang Apoteker yang handal, terlatih dan memiliki pengalaman praktis yang memadai, memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh dalam penyusunan, verifikasi dan pelaksanaan seluruh prosedur Pengawasan Mutu. d. Manajer Produksi dan Pengawasan Mutu bersama-sama bertanggung jawab dalam penyusunan dan pengesahan prosedur-prosedur tertulis, pemantauan dan pengawasan lingkungan pembuatan obat, kebersihan pabrik dan validasi proses produksi, kalibrasi alat-alat pengukur, latihan personel, pemberian

persetujuan terhadap pemasok bahan dan kontraktor, pengamanan produk dan bahan terhadap kerusakan serta kemunduran mutu serta penyimpanan dokumen-dokumen. e. Tersedia tenaga yang terampil dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan supervisi langsung di bagian Produksi dan Pengawasan Mutu. Setiap supervisor tersebut harus terlatih dan memiliki keterampilan teknis, pengalaman praktis dan bertanggung jawab kepada manajer Produksi dan Pengawasan Mutu. f. Tersedia tenaga yang terlatih secara teknis dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan kegiatan produksi dan Pengawasan Mutu sesuai prosedur dan spesifikasi yang telah ditentukan. g. Tanggung jawab yang diberikan pada setiap personel harus tidak terlalu berlebihan sehingga dapat menimbulkan resiko terhadap mutu obat. h. Tugas dan tanggung jawab harus diberikan dengan jelas serta dapat dipahami dengan baik oleh setiap personel. 3. Pelatihan a. Seluruh personel yang terlibat dalam kegiatan pembuatan obat, harus dilatih mengenai kegiatan yang sesuai dengan tugasnya maupun mengenai prinsip CPOB. b. Pelatihan harus diberikan oleh orang yang ahli. Perhatian khusus diberikan bagi mereka yang bekerja di daerah steril dan daerah bersih atau yang bekerja dengan bahan yang mempunyai resiko tinggi, atau yang menimbulkan sensitisasi.

c. Pelatihan mengenai CPOB dilakukan secara berkesinambungan dengan frekuensi yang memadai untuk menjamin agar personel terbiasa dengan persyaratan CPOB. d. Pelatihan CPOB dilaksanakan menurut program tertulis yang disetujui oleh manajer Produksi dan Pengawasan Mutu. e. Catatan pelatihan mengenai CPOB kepada personel harus disimpan dan efektivitas program pelatihan dan prestasi personel harus dinilai secara berkala untuk menentukan apakah mereka telah memiliki kualifikasi yang memadai untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. 2.2.3 Bangunan dan fasilitas Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadi risiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Untuk mencegah terjadinya pencemaran yang berasal dari lingkungan dan sarana maka perlu: 1. Disiapkan ruang terpisah yang dirancang khusus untuk menghindari kontaminasi. 2. Kelas A atau kelas 100, berada di bawah aliran udara laminer dan memiliki efisiensi saringan udara akhir sebesar 99.995%.

3. Kelas B atau kelas 100, merupakan ruangan steril, kelas ini adalah lingkungan latar belakang untuk zona kelas A dan memiliki efisiensi saringan udara akhir sebesar 99.995%. 4. Kelas C atau kelas 10.000, merupakan ruang bersih, memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95 %. 5. Kelas D atau kelas 100.000, adalah ruangan bersih, memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95 % bila menggunakan sistem resirkulasi ditambah make-up air (10-20 % fresh air). 6. Kelas E adalah ruangan umum dan ruangan khusus, memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95% bila menggunakan sistem resirkulasi ditambah make-up air (10-20 % fresh air). 7. Kelas F adalah ruangan pengemasan sekunder. 8. Kelas G adalah ruang gudang. Bangunan suatu industri farmasi permukaan bagian dalam ruangan seperti dinding, lantai dan langit-langit hendaklah licin, bebas dari keretakan dan sambungan terbuka serta mudah dibersihkan dan bila perlu mudah didesinfeksi. Lantai di daerah pengolahan hendaklah dibuat dari bahan kedap air, permukaan yang rata dan memungkinkan pembersihan secara cepat dan efisien. Dinding juga hendaklah kedap air dan memiliki permukaan yang mudah dicuci. Sudut-sudut antara dinding, lantai dan langit-langit dalam daerah-daerah kritis hendaklah berbentuk lengkungan. 2.2.4 Peralatan Peralatan yang digunakan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat yang dihasilkan dapat terjamin, seragam dari bets ke

bets, dan memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk. a. Desain dan konstruksi 1) Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorpsi yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan. 2) Hendaklah tersedia alat timbang dan alat ukur dengan rentang dan ketelitian yang tepat untuk proses produksi dan pengawasan. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, memeriksa dan mencatat hendaklah diperiksa ketepatannya dan dikalibrasi sesuai program dan prosedur yang ditetapkan. Hasil pemeriksaan dan kalibrasi hendaklah dicatat dan disimpan dengan baik. b. Pemasangan dan penempatan 1) Peralatan hendaklah ditempatkan sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pencemaran silang antar bahan di area yang sama. Peralatan hendaklah dipasang sedemikian rupa untuk menghindari risiko kekeliruan atau pencemaran. 2) Air, uap dan udara bertekanan atau vakum serta saluran lain hendaklah dipasang sedemikian rupa agar mudah diakses pada tiap tahap proses. Pipa hendaklah diberi penandaan yang jelas untuk menunjukkan isi dan arah aliran.

c. Perawatan 1) Peralatan hendaklah dirawat sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau pencemaran yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian produk. 2) Prosedur tertulis untuk perawatan peralatan hendaklah dibuat dan dipatuhi. 3) Peralatan dan alat bantu hendaklah dibersihkan, disimpan dan bila perlu disanitasi dan disterilisasi untuk mencegah kontaminasi. 4) Bila peralatan digunakan untuk produksi produk dan produk antara yang sama secara berurutan atau secara kampanye, peralatan hendaklah dibersihkan dalam tenggat waktu yang sesuai untuk mencegah penumpukan dan sisa kontaminan (misal: hasil urai atau tingkat mikroba yang melebihi batas). 5) Peralatan hendaknya diidentifikasi isi dan status kebersihannya. 6) Buku log hendaknya dibuat untuk pencatatan validasi pembersihan dan pembersihan yang telah dilakukan termasuk tanggal dan personel yang melakukan kegiatan tersebut. 2.2.5 Sanitasi dan higiene Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya dan setiap hal yang merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaknya dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB terbaru adalah terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan higiene

hendaklah divalidasi dan dievaluasi secara berkala agar selalu memenuhi persyaratan. 2.2.6 Produksi Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar. a. Produksi sebaiknya dilakukan dan diawasi oleh personel yang kompeten. b. Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan, pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat. c. Kerusakan wadah dan masalah lain yang dapat berdampak merugikan terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki, dicatat dan dilaporkan kepada Bagian Pengawasan Mutu. d. Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan pada kondisi seperti yang ditetapkan pabrik pembuat dan disimpan secara teratur untuk memudahkan segragasi antar bets dan rotasi stok. e. Produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba atau pencemaran lain pada tiap tahap pengolahan. f. Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau mesin produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi label atau penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah, kekuatan (bila ada) dan

nomor bets. Bila perlu, penandaan ini hendaklah juga menyebutkan tahapan proses produksi. g. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat mungkin dihindarkan. Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ada persetujuan tertulis dari kepala bagian Pemastian Mutu dan bila perlu melibatkan bagian Pengawasan Mutu. h. Sistem penomoran bets/lot Untuk memastikan bahwa tiap bets/lot produk antara, produk ruahan atau produk jadi dapat diidentifikasi. Sistem penomoran bets/lot yang digunakan pada tahap pengolahan dan tahap pengemasan hendaklah saling berkaitan. Sistem penomoran bets/lot hendaklah menjamin bahwa nomor bets/lot yang sama tidak dipakai secara berulang. Alokasi nomor bets/lot hendaklah segera dicatat dalam suatu buku log. Catatan tersebut hendaklah mencakup tanggal pemberian nomor, identitas produk dan ukuran bets/lot yang bersangkutan. 2.2.7 Pengawasan mutu Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi. Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian, serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan memenuhi persyaratan.

Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tetapi juga mencakup semua keputusan yang berhubungan dengan mutu produk, yaitu uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, penyusunan dan perbaharuan spesifikasi bahan dan produk, serta metode pengujiannya. Tiap pemegang izin pembuatan harus mempunyai Bagian Pengawasan Mutu. Bagian ini harus independen dari bagian lain dan di bawah tanggung jawab dan wewenang seorang dengan kualifikasi dan pengalaman yang sesuai, yang membawahi satu atau beberapa laboratorium. Selain itu harus didukung dengan sarana yang memadai. Tugas pokok bagian Pengawasan Mutu, yaitu: a. Membuat dan merevisi prosedur pengawasan dan spesifikasi. b. Menyiapkan prosedur tertulis yang rinci untuk melakukan seluruh pemeriksaan, pengujian dan analisis. c. Menyusun program dan prosedur pengambilan sampel secara tertulis. d. Memastikan pemberian label yang benar pada wadah bahan dan produk. e. Menyimpan sampel pembanding dari bahan dan produk. f. Meluluskan atau menolak tiap bets bahan awal, produk antara, produk ruahan atau produk jadi. g. Melakukan evaluasi stabilitas semua produk jadi secara berkelanjutan dan bahan awal jika diperlukan, serta menetapkan kondisi penyimpanan bahan dan produk berdasarkan data stabilitasnya. h. Menetapkan masa simpan bahan awal dan produk jadi berdasarkan data stabilitas serta kondisi penyimpanannya. i. Berperan atau membantu pelaksanaan program validasi.

j. Menyiapkan baku pembanding sekunder sesuai dengan prosedur pengujian yang berlaku dan menyimpan baku pembanding tersebut pada kondisi yang tepat. k. Menyimpan catatan analitis dari hasil pengujian semua sampel yang diambil. l. Melakukan evaluasi produk jadi kembalian dan menetapkan apakah produk tersebut dapat diluluskan atau diolah ulang atau harus dimusnahkan. m. Ikut serta dalam program inspeksi diri bersama dengan bagian lain dari perusahaan. 2.2.8 Inspeksi diri, audit mutu dan audit & persetujuan pemasok. Inspeksi Diri dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara obyektif. Tujuan Inspeksi Diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek Produksi dan Pengawasan Mutu industri farmasi telah memenuhi ketentuan CPOB. Program Inspeksi Diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi Diri hendaklah dilakukan secara rutin. Prosedur dan Catatan Inspeksi Diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Aspek-aspek untuk Inspeksi Diri meliputi personalia, bangunan termasuk fasilitas untuk personel, perawatan bangunan dan peralatan, penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi, peralatan, pengolahan dan pengawasan-selamaproses, Pengawasan Mutu, Dokumentasi, Sanitasi dan Higiene, Program Validasi dan Revalidasi, Kalibrasi alat atau sistem pengukuran, Prosedur Penarikan Kembali Obat Jadi, penanganan keluhan, pengawasan label dan hasil inspeksi diri sebelumnya serta tindakan perbaikan.

Manajemen hendaklah membentuk tim inspeksi diri dengan anggota yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan memahami CPOB. Inspeksi diri dapat dilakukan per bagian sesuai dengan kebutuhan perusahaan, namun Inspeksi Diri yang menyeluruh hendaklah dilakukan minimal satu kali dalam setahun. Semua hasil pengamatan hendaklah dicatat dan dijadikan laporan. Selain mencakup hasil inspeksi diri, laporan tersebut menyertakan evaluasi serta kesimpulan dan saran tindakan perbaikan. Audit Mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit Mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem Manajemen Mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. 2.2.9 Penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali produk Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran. Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan. Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, kadaluwarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang dapat menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan. Keluhan mengenai produk dapat disebabkan oleh: a. Keluhan mengenai mutu yang berupa kerusakan fisik, kimiawi atau biologis dari produk atau kemasannya.

b. Keluhan karena reaksi yang merugikan seperti alergi, toksisitas, reaksi hampir fatal dan reaksi medis lain. c. Keluhan mengenai efek terapetik produk seperti produk tidak berkhasiat atau respon klinis yang rendah. Pelaksanaan penarikan kembali produk diantaranya: a. Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah diketahui ada produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi yang merugikan. b. Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, hendaklah dihentikan dengan cara embargo yang dilanjutkan dengan penarikan kembali segera. Penarikan kembali hendaklah menjangkau sampai tingkat konsumen. c. Sistem dokumentasi penarikan kembali produk di industri farmasi, hendaklah menjamin bahwa embargo dan penarikan kembali dilaksanakan secara cepat, efektif dan tuntas. d. Pedoman dan prosedur penarikan kembali terhadap produk hendaklah dibuat untuk memungkinkan embargo dan penarikan kembali dapat dilakukan dengan cepat dan efektif dari seluruh mata rantai distribusi. Produk Kembalian dapat dikategorikan sebagai berikut : 1) Produk kembalian yang masih memenuhi spesifikasi dapat dikembalikan ke dalam persediaan. 2) Produk kembalian yang dapat diproses ulang. 3) Produk kembalian yang tidak memenuhi spesifikasi dan tidak dapat diproses ulang.

Produk kembalian yang tidak dapat diolah ulang hendaklah dimusnahkan. Prosedur pemusnahan bahan atau pemusnahan produk yang ditolak hendaklah disiapkan dan mencakup tindakan pencegahan terhadap pencemaran lingkungan dan penyalahgunaan bahan atau produk oleh orang yang tidak mempunyai wewenang. 2.2.10 Dokumentasi Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari Pemastian Mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personel menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting. Dokumen hendaklah didesain, disiapkan, dikaji dan didistribusikan dengan cermat. Bagian dokumen pembuatan dan hendaklah sesuai dengan dokumen persetujuan izin edar yang relevan. Dokumen hendaklah disetujui, ditandatangani dan diberi tanggal oleh personel yang sesuai dan diberi wewenang. Dokumen yang diperlukan sesuai CPOB 2012 adalah sebagai berikut: 1. Spesifikasi bahan awal 2. Spesifikasi bahan pengemas 3. Spesifikasi produk antara dan produk ruahan 4. Spesifikasi produk jadi 5. Dokumen produksi induk

6. Prosedur Pengolahan Induk 7. Prosedur Pengemasan Induk 8. Catatan Pengolahan Bets 9. Catatan Pengemasan Bets 2.2.11 Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar dan disetujui serta dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak haruslah menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets suatu produk yang akan diedarkan. Pelulusan bets tersebut menjadi tanggung jawab penuh Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). a. Pemberi kontrak 1) Bertanggung jawab untuk menilai kompetensi penerima kontrak dalam melaksanakan pekerjaan atau pengujian yang diperlukan dan memastikan bahwa prinsip dan pedoman CPOB diikuti. 2) Memberikan informasi yang diperlukan kepada penerima kontrak untuk melaksanakan pekerjaan kontrak secara benar dan sesuai izin edar dan persyaratan legal lain. 3) Memastikan bahwa semua produk yang diproses dan bahan yang dikirimkan oleh penerima kontrak memenuhi spesifikasi yang telah diluluskan oleh bagian Pemastian Mutu.

b. Penerima kontrak 1) Pembuatan obat berdasarkan kontrak hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB yang diterbitkan oleh Otoritas Pengawasan Obat (OPO). 2) Memastikan bahwa semua produk dan bahan yang diterima sesuai dengan tujuan penggunaannya. 3) Tidak mengalihkan pekerjaan atau pengujian apapun yang dipercayakan kepadanya sesuai kontrak kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu dievaluasi dan disetujui oleh pemberi kontrak. 4) Membatasi diri dari segala aktifitas yang dapat berpengaruh buruk pada mutu produk yang dibuat dan/atau dianalisis untuk pemberi kontrak. 2.2.12 Kualifikasi dan validasi CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan, dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi. a. Kualifikasi 1) Kualifikasi desain adalah unsur pertama dalam melakukan validasi terhadap fasilitas, sistem atau peralatan baru. 2) Kualifikasi instalasi dilakukan terhadap fasilitas, sistem atau peralatan baru atau yang dimodifikasi. 3) Kualifikasi operasional hendaklah mencakup pengujian yang perlu dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang proses, sistem dan peralatan.

4) Kualifikasi kinerja hendaklah mencakup pengujian dengan menggunakan bahan baku, bahan pengganti yang memenuhi spesifikasi atau produk simulasi yang dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang proses, fasilitas, sistem dan peralatan. b. Validasi proses 1) Validasi prospektif`adalah validasi proses yang dilakukan sebelum produk dipasarkan. 2) Validasi konkuren adalah validasi yang dilakukan selama proses produksi rutin dilakukan. 3) Validasi retrospektif adalah validasi terhadap proses yang sudah berjalan. c. Validasi pembersihan hendaklah dilakukan untuk konfirmasi efektivitas prosedur pembersihan. Penentuan batas kandungan residu suatu produk, bahan pembersih dan pencemaran mikroba, secara rasional hendaklah didasarkan pada bahan yang terkait dengan proses pembersihan. d. Validasi metode analisis mempunyai tujuan untuk mengetahui bahwa metode analisis sesuai tujuan penggunaannya. Metode analisa yang divalidasi antara lain: uji identifikasi, penetapan kadar, dan uji impuritas. 2.3 Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Industri farmasi dalam pembuatan produk-produk farmasi menggunakan proses dan teknologi yang sangat kompleks. Ada beberapa bagian yang banyak menghasilkan limbah dalam industri farmasi antara lain adalah : a. Penelitian dan pengembangan b. Laboratorium sintesis kimia

c. Ekstraksi bahan alami d. Fermentasi e. Formulasi Dalam PP No. 18 tahun 1999 disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Limbah industri farmasi merupakan limbah B3 dari sumber yang spesifik. Limbah ini berasal dari : a. Hasil buangan dari fasilitas produksi b. Pelarut bekas c. Produk kadaluarsa dan sisa d. Hasil buangan dari IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) e. Peralatan dan kemasan bekas f. Residu proses produksi dan formulasi g. Adsorben dari filter (karbon aktif) h. Residu proses destilasi, evaporasi, dan reaksi i. Limbah Laboratorium j. Residu dari proses insenerasi Yang termasuk limbah B3 adalah limbah yang mengandung arsen (senyawa arsen), raksa dan senyawanya, kadmium, talium, berilium, senyawa krom (VI), timbal, antimon, fenol dan senyawa fenol, sianida organik dan anorganik, isosianat, senyawa organoklor, pelarut terklorinasi, pelarut organik, zat-zat biosida dan

fitofarmasi (pestisida), ter dan residu kilang minyak, senyawa obat, peroksida, klorat, perklorat, eter, bahan kimia dari laboratorium, asbes, polisiklik aromatis hidrokarbon (PAH), metalkarbonil, senyawa tembaga yang larut asam dan basa yang digunakan dalam proses pengolahan permukaan dan finishing logam. Dalam rekomendasi UNIDO (United Nation Industrial Development Organization) tentang penanganan limbah farmasi memuat : pengolahan air limbah meliputi 3 proses, yaitu : 1. Proses fisik Tujuannya untuk memisahkan bahan pencemar yang tidak larut dalam air, termasuk proses ini adalah : a. Penyaringan Air limbah dialirkan melalui saringan yang akan menahan padatan kotor yang dapat merusak atau mengganggu peralatan pengolahan (kran pompa dan lain sebagainya). Penyaringan ini dilakukan sesuai dengan situasi setempat. b. Pemisahan pasir Pasir dalam air limbah harus dipisahkan karena cenderung untuk mengendap pada pipa-pipa yang akan mengganggu kerja. c. Pemisahan minyak Minyak dan lemak-lemak yang tidak dapat diemulsikan harus dipisahkan, sebab akan menempel pada peralatan pengolahan dan akan mengganggu pada pengolahan biologis berikutnya. Minyak dipisahkan dengan mengapungkannya pada permukaan air limbah, sedangkan air dikeluarkan dari bagian bawah.

d. Sedimentasi, pengapungan dan koagulasi Proses ini untuk memisahkan partikel padat berukuran 0,4 mm dari dalam air limbah yang berat dengan sedimentasi sedang, yang ringan dengan pengapungan. 2. Proses secara biologis Untuk memisahkan pencemaran organik yang dapat dipecahkan secara biologis oleh mikroorganisme. Organisme mencerna bahan pencemar organik dengan proses aerob ataupun anaerob. 3. Proses secara kimia fisika Tujuannya untuk memisahkan bahan pencemar yang tidak larut dalam air tetapi tidak dapat didegradasi secara biologis, baik organik (bahan warna organik, fenol dan sebagainya) maupun bahan anorganik seperti Cu, Hg, CN, PO 4 dan lain sebagainya. 2.4 Peran Apoteker dalam Industri Farmasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, industri farmasi harus memiliki tiga orang apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang Pemastian Mutu, Produksi, dan Pengawasan Mutu setiap produksi sediaan farmasi sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam CPOB. Selain dalam tiga bidang tersebut, Apoteker di industri farmasi juga berperan dalam berbagai bidang lainnya, diantaranya bidang penelitian dan pengembangan (research and development), validasi, perencanaan produksi, pergudangan, serta dalam bidang pemeliharaan instalasi dan sistem penunjang.