DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL, DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL, DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi)"

Transkripsi

1 DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL, DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi) Oleh: MADA SANJAYA WS G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 007

2 ABSTRAK Mada Sanjaya WS. Dinamika Orde Pertama Sistem Nonlinier Terkopel dengan Relasi Predasi, Mutual, dan Siklik (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi). Dibimbing oleh Husin Alatas. Pengontrolan terhadap populasi suatu spesies tertentu diperlukan untuk menghindari berbagai bencana seperti kekurangan pangan, ledakan hama, dan kepunahan suatu spesies. Penelitian ini dilaksanakan untuk mempelajari sebuah model dinamika mangsa pemangsa menggunakan persamaan Lotka-Volterra termodifikasi melalui analisis numerik dan semi analitik. Model yang diajukan dalam penelitian ini yaitu model mutualisme antara dua spesies dengan kehadiran pemangsa, model dua mangsa satu pemangsa, dan model rantai makanan siklik serta aplikasi model dinamik pengendalian hama pertanian. Telah ditemukan bahwa model dinamika dua spesies hierarki dua tingkat dengan pendekatan persamaan Lotka-Volterra menunjukkan suatu kemiripan dengan data pengamatan fluktuasi populasi kelinci dan Lynx di mana populasi mangsa dan pemangsa berfluktuasi membentuk suatu siklus. Pada model dinamika tiga spesies ini menunjukkan banyak fenomena menarik mengenai keterkaitan antara parameter model dengan fluktuasi populasi ketiga spesies. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa pada parameter kritis tertentu diagram fase sistem dinamika tiga spesies akan mengalami bifurkasi yang bisa menunjukan fluktuasi spesies tertentu ke arah kepunahan sementara yang lainya akan mengalami booming hingga akan mencapai keseimbangan kembali. Melalui analisis optimasi dan bifurkasi keterkaitan antara parameter-parameter sistem seperti laju kelahiran dan efektivitas serta produktivitas pemangsa terhadap populasi spesies lainya dapat ditentukan. Titik kritis terjadinya kepunahan dapat diprediksi sehingga pengontrolan bagi ahli biologi untuk memverifikasi sejauh mana kesesuaiannya dengan ekosistem tertentu dan pada akhirnya dapat membantu kita mengatasi atau setidaknya memahami proses kepunahan suatu spesies tertentu.

3 3 DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi) Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Oleh : MADA SANJAYA WS G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 007

4 4 Judul : Dinamika Orde Pertama Sistem Nonlinier Terkopel dengan Relasi Predasi, Mutual, dan Siklik (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi). Nama : Mada Sanjaya WS NIM : G Menyetujui : Pembimbing I Dr. Husin Alatas, M.Si NIP Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. NIP Tanggal Lulus:

5 5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, pada tanggal Oktober 985 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Waryano Sunaryo dan Eti. Penulis menyelesaikan studinya di SMU Negeri Lemah Abang-Cirebon pada tahun 003 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama duduk di bangku kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan (kepanitiaan) dan organisasi intra kampus seperti menjadi anggota DKM Al Hurriyyah IPB pada tahun , Departemen Kerohanian Himpunan Mahasiswa Fisika (HiMaFi) IPB pada tahun , staff Departemen kerohanian BEM FMIPA pada tahun , staff Departemen Kebijakan Nasional BEM KM IPB pada tahun 005 serta aktif sebagai ketua Rohis OMDA Cirebon pada tahun 005. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Dasar I dan II , penulis juga aktif mengajar private di kota Bogor, menjadi staff pengajar A-Project, Physics Challange dan Best Student Program pada tahun Serta menjadi tutor di Bimbingan Belajar Bintang Pelajar Regional Bogor pada tahun 006 sampai sekarang.

6 6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul Dinamika Orde Pertama Sistem Nonlinier Terkopel dengan Relasi Predasi, Mutual, dan Siklik (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi)., yang dilakukan dalam rangka tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Husin Alatas atas segala bimbingan dan motivasinya yang diberikan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini, juga kepada Bapak Irzaman dan Bapak Kiagus Dahlan selaku penguji dari skripsi ini. Kepada orangtua dan seluruh sanak keluarga penulis, juga kepada Dinda yang selalu berada di hatiku, seluruh staff dan dosen Fisika khususnya, dan IPB pada umumnya. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis yang tak mungkin disebutkan satu-persatu, juga kepada semua teman-teman seperjuangan Fisika. Penulis memahami bahwa tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, segala macam saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Semoga apa yang disampaikan oleh penulis akan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Bogor, Maret 007 Penulis

7 7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii PENDAHULUAN.... Latar Belakang... Tujuan... TINJAUAN PUSTAKA... Persamaan Differensial Orde Pertama... Model Dinamik untuk Interaksi Multispesies... Titik Kritis (critical point)... Kontruksi Matrik Jacobi... Vektor Eigen dan Nilai Eigen... Model Dinamik Lotka-Volterra Dua Spesies... Analisis Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies... 3 Kontruksi Matriks Jacobi... 3 Analisis Kestabilan Titik Kritis... 3 Titik Kritis T... 3 Titik Kritis T... 3 Orbit dan Kestabilan Sistem... 3 Kesesuaian Model dengan Hasil Pengamatan Lapangan... 4 METODOLOGI PENELITIAN... 4 Waktu dan Tempat Penelitian... 4 Peralatan... 4 Studi Pustaka... 4 Pembuatan Program... 4 Analisis Output HASIL DAN PEMBAHASAN... 5 PEMODELAN Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik... 5 Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik dengan Kehadiran Pemangsa Model Dinamik Dua mangsa Satu Pemangsa tanpa Kompetisi Intraspesifik... 5 Model Dinamik Dua mangsa Satu Pemangsa dengan Kompetisi Intraspesifik... 6 Model Dinamik Rantai Makanan Siklik... 6 ANALISIS MODEL... 6 Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik... 6 Penentuan Titik Kritis Kontruksi Matriks Jacobi... 7 Analisis Kestabilan Titik Kritis... 7 Titik Kritis T... 7 Titik Kritis T... 7 Titik Kritis T Titik Kritis T Orbit dan Kestabilan Sistem... 8 Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik dengan Kehadiran Pemangsa

8 8 Penentuan Titik Kritis... 0 Kontruksi Matriks Jacobi... 0 Analisis Kestabilan Titik Kritis... Titik Kritis T... Titik Kritis T... Titik Kritis T 3... Titik Kritis T 4... Titik Kritis T 5... Titik Kritis T Model Dinamik Dua mangsa Satu Pemangsa tanpa Kompetisi Intraspesifik... 9 Penentuan Titik Kritis... 9 Kontruksi Matriks Jacobi... 9 Analisis Kestabilan Titik Kritis... 9 Titik Kritis T... 9 Titik Kritis T... 0 Titik Kritis T Hasil Numerik... 0 Kasus ad bc Kasus ad > bc... 0 Kasus ad < bc... Model Dinamik Dua mangsa Satu Pemangsa dengan Kompetisi Intraspesifik... 4 Penentuan Titik Kritis... 4 Kontruksi Matriks Jacobi... 4 Analisis Kestabilan Titik Kritis... 4 Titik Kritis T... 4 Titik Kritis T... 4 Titik Kritis T Titik Kritis T Titik Kritis T Titik Kritis T Titik Kritis T Hasil Numerik... 6 Parameter Parameter Parameter Attractor Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa... 9 Hasil Eksperimen Lapangan Model Dinamik Rantai Makanan Siklik... 3 Penentuan Titik Kritis... 3 Kontruksi Matriks Jacobi... 3 Analisis Kestabilan Titik Kritis Hasil Numerik Kasus beh fic Kasus beh > fic Kas Aplikasi Model Dinamik Pengendalian Hama pertanian Analisis Model Dinamik Pengendalian Hama pertanian Penentuan Titik Kritis Kontruksi Matriks Jacobi Analisis Kestabilan Titik Kritis Hasil Numerik Kasus ag fb Kasus ag > fb... 4 Kasus ag < fb... 4 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR GAMBAR

9 9 Gambar. Dinamika populasi dua spesies... 3 Gambar. Orbit kestabilan mangsa pemangsa dua spesies... 4 Gambar 3. Dinamika Populasi Hare dan Lynx oleh Hudson Bay Company... 4 Gambar 4. Orbit Kestabilan Populasi Hare s dan Lynx oleh Hudson Bay Company Gambar 5. (a) Grafik ruang phasa bidang xy dengan kondisi awal x dan y (b) Grafik laju populasi dengan kondisi awal x dan y... 8 Gambar 6. Grafik kestabilan titik kritis T 4 saat ad > bc (a) ruang phasa bidang xy dengan memvariasikan kondisi awal dan t 00 (a) laju populasi kondisi awal x dan y (b) laju populasi kondisi awal, x dan y, dan (c) laju populasi kondisi awal x dan y... 9 Gambar 7. (a) Grafik ruang phasa bidang xy dengan kondisi awal x dan y dan (b) grafik laju perubahan populasi dengan kondisi awal x dan y... 0 Gambar 8. Grafik ruang phasa titik kritis T 4 dengan kondisi awal x, y, z, t 000 dan parameter a.5, b, c, dan d.5... Gambar 9. Grafik ruang phasa dengan kondisi awal x dan y... Gambar 0. Grafik ruang phasa titik kritis T 4 dengan kondisi awal x, y, z, t 000 dan parameter a 0.5, b, c dan d Gambar. Grafik ruang phasa dengan kondisi awal x dan y... Gambar. Bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 5 dengan t 000 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter d.5 dan l.5 (b) parameter d. dan l. (c) parameter d dan l (d) parameter d 0.7 dan l 0.7 (e) parameter d 0.5 dan l 0.5 serta (f) parameter d 0.3 dan l Gambar 3. Grafik Laju Perubahan Populasi pada Titik Kritis T 5 dengan beberapa parameter, (a) parameter d.5 dan l.5 (b) parameter d. dan l. (c) parameter d dan l (d) parameter d 0.7 dan l 0.7 (e) parameter d 0.5 dan l 0.5 serta (f) parameter d 0.3 dan l Gambar 4. Bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 6 dengan t 000 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter b 0. dan c 0. (b) parameter b 0.5 dan c 0.5 (c) parameter b 0.8, c 0.8 (d) parameter b dan c (e) parameter b. dan c. serta (f) parameter b. dan c.. 7 Gambar 5. Grafik Laju Perubahan Populasi pada Titik Kritis T 6 dengan beberapa parameter, (a) parameter b 0. dan c 0. (b) parameter b 0.5 dan c 0.5 (c) parameter b 0.8, c 0.8 (d) parameter b dan c (e) parameter b. dan c. serta (f) parameter b. dan c... 8 Gambar 6. Bifurkasi yang terjadi pada model dua mangsa satu predator dengan t 500 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter a, b, c dan d (b) parameter a, b, c dan d (c) parameter a 0, b, c dan d 0 (e) parameter a, b, c dan d (f) parameter a, b 0, c 0, dan d Gambar 7. Grafik Laju Perubahan Populasi pada model dua mangsa satu predator dengan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter a, b, c dan d (b) parameter a, b, c dan d (c)

10 0 Gambar 8. parameter a 0, b, c dan d 0 (e) parameter a, b, c dan d (f) parameter a, b 0, c 0 dan d... 3 Bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 7 dengan t 000 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) bersifat periodik dengan c (b) bersifat periodik dengan c (c) bersifat periodik dengan c (d) bersifat periodik dengan c (e) bersifat periodik dengan c serta (f) bersifat chaotik dengan c Gambar 9. Laju Perubahan populasi yang terjadi pada titik kritis T 7 dengan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) laju populasi tiga spesies dengan c (b) populasi tiga spesies dengan c (c) populasi tiga spesies dengan c (d) Plot x dan z terhadap waktu t dengan c bersifat periodik (e) Plot x dan z terhadap waktu t dengan c bersifat periodik (f) Plot x dan z terhadap waktu t dengan c bersifat chaotik... 8 Gambar 0. Attractor model dinamik dua mangsa satu pemangsa dengan kondisi awal populasi predator divariasikan z0, z0. dan z0. sedangkan parameter c 0.0 (a) ruang fase tiga spesies t 3000, (b) laju populasi mangsa x, (c) laju populasi mangsa y dan (d) laju populasi pemangsa z... 9 Gambar. Attractor model dinamik dua mangsa satu pemangsa saat kondisi awal populasi predator divariasikan z0, z0. dan z0. sedangkan parameter c 0.0 (a) ruang fase tiga spesies, t 3000 (b) ruang fase bidang xy, (c) ruang fase bidang yz dan (d) ruang fase bidang xz Gambar. Hasil Experimental Dinamika Populasi sistem chemostat bacteria ciliate... 3 Gambar 3. Bifurkasi ruang phasa pada model siklik dengan t 0 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter c 0.6 (b) parameter c 0.8 (c) parameter c 0.96 (d) parameter c. (e) parameter c.35 (f) parameter c Gambar4. Laju perubahan populasi pada model siklik dengan memvariasikan parameter yang digunakan,(a) parameter c 0.6 (b) parameter c 0.8 (c) parameter c 0.96 (d) parameter c. (e) parameter c.35 (f) parameter c Gambar 5. Skema daur hidup hama ulat buah (Helicoverpa armigera) yang merusak tanaman kapas beserta musuh alaminya Gambar 6. Diagram rantai makanan pada tanaman kapas Gambar 7. Orbit kestabilan pada bidang 3-dimensi kasus ag fb Gambar 8. Dinamika populasi tiga spesies dengan nilai awal x, y, z.5 dan t 0 kasus ag fb... 4 Gambar 9. Orbit kestabilan pada bidang 3-dimensi kasus ag > fb... 4 Gambar 30. Dinamika populasi tiga spesies dengan nilai awal x, y, z dan t 0 kasus ag > fb Gambar 3. Orbit Kestabilan pada bidang 3-dimensi kasus ag < fb... 4 Gambar 3. Dinamika populasi tiga spesies dengan nilai awal x, y, z dan t 0 kasus ag < fb

11 DAFTAR TABEL Tabel. Tabel. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam titik kritis T 4 Model Mutualisme... Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam titik kritis T 5 Model Mutualisme... Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam titik kritis T 6 Model Mutualisme... 6 Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam Model dua mangsa satu pemangsa... Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam Model Rantai Makanan Siklik Nilai-nilai parameter yang digunakan Rantai Makanan pada Tanaman Kapas... 40

12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran. Analisis Titik Kritis Model Dinamik Tiga Spesies Lampiran. Analisis Nilai Eigen Model Dinamik Tiga Spesies Lampiran 3. Sintaks Plot Grafik Dengan Software Matlab Lampiran 4. Diagram Alir Penelitian... 56

13 3 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu cabang sains yang sedang berkembang dewasa ini adalah sains nonlinier. Dasar dari ilmu ini berpijak pada fakta bahwa gejala yang terjadi di alam secara umum tidak memenuhi prinsip linieritas, tetapi bersifat nonlinier. Gejala nonlinier pertama kali diprediksi oleh Henri Poincare pada tahun 880-an, ketika mencoba memecahkan permasalahan stabilitas dari suatu sistem dinamis, seperti gerak tiga benda langit di bawah pengaruh gaya gravitasi (rigid body problem). Pada tahun 963 Edward Lorenz pertama kali menyelidiki gejala nonlinieritas pada sistem cuaca dengan menyederhanakan sistem cuaca yang kompleks ke bentuk persamaan yang sederhana dan berkelakuan chaotic. Gejala nonlinieritas ini dapat dianalisis melalui pendekatan system dinamik (dynamical system approach). Selain dalam fisika, bidang lain yang terkait dengan gejala nonlinieritas antara lain adalah analisis populasi pada ekologi, analisis keuangan dalam ekonomi, reaksi kimia, ataupun analisis kriminalitas bahkan sifat nonlinieritas ini dapat dipakai juga untuk memprediksi banjir di suatu daerah dengan menggunakan asumsi tertentu. Dalam penelitian ini yang akan dikaji dengan lebih mendalam adalah fenomena nonlinieritas dalam suatu sistem ekologi. Dengan memanfaatkan analisis sistem dinamik maka gejala nonlinieritas pada sistem ekologi dapat dipelajari dan diaplikasikan secara nyata untuk berbagai kepentingan. Pada penelitian ini akan dibahas beberapa model dinamik interaksi antara tiga spesies, yaitu interaksi dua spesies yang saling menguntungkan (Simbiosis Mutualisme) dengan kehadiran pemangsa, model dua mangsa satu pemangsa, dan model rantai makanan serta aplikasinya dalam proses pengendalian hama tanaman pertanian dengan mengembangkan musuh alaminya. Tujuan Penelitian ini bertujuan: ) Mempelajari model dinamika nonlinier yang berlaku pada sistem simbiosis mutualisme, model dua mangsa satu pemangsa, dan model rantai makanan siklik. ) Menganalisis kondisi kestabilan pada ketiga model dinamik tersebut. 3) Mengetahui bentuk kestabilan di sekitar titik kritisnya 4) Mengetahui arti fisis dari grafik yang diperoleh. 5) Mengaplikasikan model dinamik dalam pengendalian hama pada tumbuhan dengan mengembangkan musuh alaminya. TINJAUAN PUSTAKA. Persamaan Differensial Orde Pertama Sistem persamaan differensial orde pertama interaksi dua spesies dapat dinyatakan sebagai: dx f( xy, ) dt () dy f( xy, ) dt Sedangkan untuk interaksi tiga spesies dapat dinyatakan sebagai: dx f( x, y, z) dt dy () f ( x, y, z) dt dz f3 ( x, y, z) dt () f, f dan f 3 adalah fungsi kontinu bernilai real dari x dan y, dengan laju perubahan x dan y sendiri dan tidak mengandung t di dalamnya. Sistem persamaan differensial disebut sebagai sistem persamaan differensial mandiri (Autonomous).

14 4. Model Dinamik untuk Interaksi Multispesies Generalisasi dari model dinamik Lotka-Voltera klasik dari n-spesies yang berinteraksi dapat dinyatakan dengan n dx i xi ri + αijxj, dt (3) j i,, Titik Kritis (critical point) Analisis sistem persamaan differensial sistem dua spesies sering digunakan untuk menentukan solusi yang tidak berubah terhadap waktu, yaitu untuk tiap dx / dt 0, dy / dt 0. Titik kritis * ( x *, y ) dari sistem dapat diperoleh dengan menentukan dx / dt 0, dy / dt 0 (4) * * Sedangkan untuk interaksi tiga spesies titik kritis ( x, y, z ) dapat diperoleh dengan menentukan dx / dt 0, dy / dt 0, dz / dt 0 (5) 4. Kontruksi Matrik Jacobi Dengan melakukan pelinieran pada persamaan interaksi dua spesies maka diperoleh matriks Jacobi berikut f f x x J (6) i f f x x Sedangkan untuk interaksi tiga spesies diperoleh matrik Jacobi J f f f x x x3 f f f i x x x3 f3 f3 f 3 x x x3 (7) 5. Vektor Eigen dan Nilai Eigen Diberikan matrik dengan koefisien konstan J berukuran x & Jx, x ( 0) x (8) 0 Suatu vektor tak nol x dalam ruang berlaku: Jx λx (9) n n dan SPD homogen berikut: n R disebut vektor eigen dari J jika untuk suatu skalar λ Nilai skalar λ dinamakan nilai eigen dari J. Untuk mencari nilai eigen λ dari matrik J maka persamaan (9) dapat ditulis kembali sebagai:

15 5 ( J λ I ) x 0 (0) Dengan I matrik diagonal satuan. Persamaan (0) mempunyai solusi tak nol jika dan hanya jika p( λ ) det( J λi) J λi 0 () Persamaan () disebut persamaan karakteristik dari matrik Jacobi. 5. Model Dinamik Lotka-Volterra Untuk Interaksi Dua Spesies Model mangsa-pemangsa klasik yang telah banyak dikenal adalah model Lotka-Volterra untuk dua spesies, yaitu: dx ax bxy dt () dy cy + dxy dt Keterangan: a : menunjukkan kelahiran rata-rata dari mangsa tanpa adanya pemangsa. b : merupakan jumlah mangsa yang dimangsa oleh pemangsa. c: menunjukkan angka kematian pemangsa secara alami tanpa pengaruh ada atau tidak adanya mangsa. d : menunjukkan jumlah kelahiran dari pemangsa yang dipengaruhi oleh adanya mangsa. Pada model mangsa-pemangsa dua spesies di atas, misalkan x menyatakan banyaknya spesies sebagai mangsa di level pertama pada waktu t, y menyatakan banyaknya spesies sebagai pemangsa di level dua pada waktu t. Dari persamaan tersebut perubahan laju populasi spesies x dipengaruhi oleh tingkat reproduksi yaitu laju pertumbuhan alami spesies tersebut. Kemudian terjadi proses pemangsaan terhadap spesies x oleh spesies y, sehingga efek yang ditimbulkan dari pemangsaan tersebut akan mempengaruhi laju populasi spesies x. Perubahan laju populasi spesies y dipengaruhi oleh laju kematian alami yang terjadi tanpa kehadiran spesies x sebagai mangsanya. Laju pemangsaan spesies x juga bergantung pada kontak atau bertemunya mangsa dan pemangsa. Ada lima tahap yang dilakukan untuk menganalisis kondisi kastabilan pada model tersebut antara lain:. menentukan titk kritis. mengkontruksi matrik komunitas (Jacobian) dan mengevaluasinya di titik kritis yang telah diperoleh. matrik komunitas menyatakan efek dari spesies ke-j terhadap spesies ke-i di sekitar titik kritisnya 3. Menentukan nilai eigen dan menganalisis kondisi kestabilan 4. Menentukan orbit kestabilan 5. Menafsirkan secara ekologis. 6. Analisis Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Penentuan titik kritis Sesuai persamaan (4) maka untuk interaksi dua spesies diperoleh: x( a by) 0 y( c + dx) 0 (3) Dari persamaan tersebut diperoleh dua titik kritis sebagai berikut: T (0,0) T ( c / d, a / b) (4)

16 6 Kontruksi Matriks Jacobi Dengan melakukan pelinieran pada persamaan () maka diperoleh matriks Jacobi: a by bx J i (5) dy c + dx Matriks komunitas diperoleh dengan mensubstitusikan titik kritis T dan T yang telah diperoleh ke dalam matriks J i (5) yaitu: a J 0 0 J da b 0 c bc d 0 (6) (7) Analisis Kestabilan Titik kritis Kondisi kestabilan dari setiap titik kritis dapat dianalisis dan dapat dilihat dari nilai eigennya. Berikut beberapa persamaan karakteristik untuk tiap titik kritis: P ( λ ) det( J λi ) (8) [ a λ ][ c λ ] 0 P ( λ ) det( J λi) λ + ac 0 (9) Titik kritis T Nilai eigen yang diperoleh dari persamaan (8) yaitu, λ a dan λ c. Agar sistem di titik T stabil maka harus dipenuhi syarat λ < 0, λ < 0. diketahui bahwa a dan c positif sehingga mengakibatkan λ > 0, λ < 0. (dua bilangan real dengan tanda berbeda). Sehingga dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa tipe titik kritis T adalah titik sadel. Titik kritis T Nilai eigen yang diperoleh dari persamaan (9) yaitu, λ, ± aci. Jadi pada titik kritis T nilai eigen merupakan konjugat kompleks, karena bagian realnya sama dengan nol maka dapat disimpulkan bahwa tipe titik kritis T adalah titik fokus (center point). Orbit dan Kestabilan Sistem Bentuk kestabilan orbit dan laju perubahan populasi dua spesies hasil simulasi model diperoleh: Gambar. Dinamika populasi dua spesies

17 7 Gambar. Orbit kestabilan mangsa pemangsa dua spesies Kesesuaian Model Dengan Hasil Pengamatan Lapangan Model mangsa Pemangsa Lotka- Volterra memprediksi suatu siklus periodik dengan perbedaan fase kecil antara populasi mangsa dengan pemangsa. Perilaku ini dapat dilihat dari pengamatan terkenal di Hudson bay Company yang mencatat jumlah mangsa kelinci (hare) dan pemangsa (lynx) dari tahun berikut: Gambar 3.Dinamika Populasi Hare dan Lynx oleh Hudson Bay Company Gambar 4.Orbit kestabilan populasi Hare s dan Lynx Oleh Hudson Bay Company Secara kasar terlihat adanya kemiripan antara grafik model dinamika dua spesies dengan grafik dinamika populasi hasil observasi di alam. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah selesai dilaksanakan di laboratorium Fisika Teori, Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor dimulai dari bulan September 006 sampai dengan bulan Februari 007. kegiatannya meliputi penelitian pendahuluan, pembuatan program, analisis output, pengolahan data, dan penyusunan laporan.

18 8 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa komputer intel(r)pentium(r) 4 CPU 3.00 GHz,5 MB of RAM. Software yang digunakan untuk proses komputasi adalah bahasa pemrograman Matlab 7.0 dari Mathwork, Inc.dan bahasa pemrograman Maple 9.5. Untuk mendukung penelitian ini sumber referensi yang digunakan selain buku (literature) juga informasi yang diperoleh dari internet yang dapat diakses dari Laboratorium. Studi Pustaka Studi pustaka diperlukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan yang telah dicapai dalam bidang yang diteliti. Pembuatan Program Pembuatan program dengan bahasa pemrograman Maple 9.5 dan Matlab 7.0 diperlukan untuk memudahkan perhitungan secara numerik maupun eksak juga memudahkan dalam pembuatan grafik solusi persamaan baik ruang fasenya maupun laju perubahan populasi pada model ekologi yang dibuat. Analisis Output Analisis output diperlukan untuk menguji apakah output yang didapat sesuai dengan teori yang ada dalam literatur. Sistematika penelitian yang lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 4. HASIL DAN PEMBAHASAN PEMODELAN. Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik Model ini mengasumsikan bahwa interaksi setiap spesies mendapat keuntungan karena berinteraksi dengan spesies yang lain. Tetapi kelangsungan hidup suatu populasi tidak bergantung pada interaksi itu (mutualisme facultatif). Sedangkan interaksi antar spesies yang sama dapat menurunkan laju pertumbuhan kedua populasi spesies, karena kedua spesies yang sama di dalam populasi berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan dari spesies lain yang berbeda. Model tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan logistik berikut: dx x( j ax + by) dt dy y( k + cx dy) dt 0 < j, k <,. a, d > 0, b, c 0 Dengan, (0) a : besarnya laju penurunan pertumbuhan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi. b : besarnya laju peningkatan pertumbuhan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. c : besarnya laju peningkatan pertumbuhan spesies y akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi d : besarnya laju penurunan pertumbuhan spesies y akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi j : laju pertumbuhan intrinsik spesies x. k : laju pertumbuhan intrinsik spesies y.. Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik dengan kehadiran Pemangsa. Interaksi ini dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan logistik berikut:

19 9 dx x( j ax + by) dt dy () y( k + cx dy ez) dt dz z( l + fy) dt 0 < j, k, l <, a, d, e, f > 0, b, c 0 Dengan, Dimana a, b, c, d, k dan l memiliki tafsiran seperti pada model (0) e : besarnya laju penurunan spesies y akibat bertambahnya satu individu pemangsa z di dalam populasi. f : besarnya laju peningkatan pertumbuhan pemangsa z akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. l : laju penurunan intrinsik pemangsa z 3. Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa tanpa Kompetisi Intraspesifik. Untuk model dinamik dua mangsa satu pemangsa dapat dibentuk dengan Persamaan Lotka- Volterra yang dimodifikasi sebagai berikut: dx ax bxz dt dy cy dyz dt dz ez + fxz + gyz dt () a,b,c,d,e,f,g >0 Dengan, a : laju pertumbuhan intrinsik spesies x. b : besarnya laju penurunan spesies x akibat bertambahnya satu individu pemangsa z di dalam populasi. c : laju pertumbuhan intrinsik spesies y. d : besarnya laju penurunan spesies x akibat bertambahnya satu individu pemangsa z di dalam populasi. e : laju penurunan intrinsik pemangsa z. f : besarnya laju peningkatan pertumbuhan pemangsa z akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi. g : besarnya laju peningkatan pertumbuhan pemangsa z akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. 4. Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa dengan Kompetisi Intraspesifik. Untuk model dinamik dua mangsa satu pemangsa dapat dibentuk dengan persamaan Lotka- Volterra yang dimodifikasi sesuai Model Gilpin (979) sebagai berikut: dx dt dy dt dz lz + gxz + hyz dt jx ax bxy cxz ky dy exy fyz (3) Dengan, j, k dan l memiliki tafsiran seperti pada model () a : besarnya laju penurunan pertumbuhan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi. b : besarnya laju penurunan pertumbuhan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. c : besarnya laju penurunan spesies x.

20 0 d : besarnya laju penurunan pertumbuhan spesies y akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. e : besarnya laju penurunan spesies y akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi. f : besarnya laju penurunan spesies y karena pemangsaan oleh predator z. g : besarnya laju peningkatan pertumbuhan pemangsa z akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi. h : besarnya laju peningkatan pertumbuhan pemangsa z akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. 5. Model Dinamik Rantai Makanan Siklik Untuk model dinamik rantai makanan siklik dapat dibentuk dengan persamaan Lotka-Volterra yang dimodifikasi sebagai berikut: dx ax + bxz cxy dt dy dy + exy fyz dt dz gz + hyz ixz dt (4) Dengan, a : laju pertumbuhan intrinsik spesies x. b : besarnya laju peningkatan pertumbuhan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies z di dalam populasi. c : besarnya laju penurunan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi. d : laju pertumbuhan intrinsik spesies x. e : besarnya laju peningkatan pertumbuhan spesies x akibat bertambahnya satu individu spesies z di dalam populasi. f : besarnya laju penurunan spesies y akibat bertambahnya satu individu spesies z di dalam populasi. g : laju pertumbuhan intrinsik spesies z. h : besarnya laju peningkatan pertumbuhan spesies z akibat bertambahnya satu individu spesies y di dalam populasi i : besarnya laju penurunan spesies z akibat bertambahnya satu individu spesies x di dalam populasi. ANALISIS MODEL Ada lima tahap yang dilakukan untuk menganalisis kondisi kastabilan pada kedua model tersebut antara lain: menentukan titik kritis mengkontruksi matrik komunitas (Jacobian). Menentukan nilai eigen dan menganalisis kondisi kestabilan. Menentukan orbit kestabilan Menafsirkan secara ekologis.. Analisis Model Dinamik untuk Interaksi Dua Spesies Mutualistik. Penentuan titik kritis Dari persamaan (4) diperoleh empat titik kritis sebagai berikut: a. Pilih x 0 dan y 0 sehingga diperoleh titik kritis T (0, 0). b. Pilih j ax + by 0 dan y 0 maka diperoleh titik kritis T (j/a, 0) c. Pilih x 0 dan k + cx - dy 0 maka diperoleh titik kritis T 3 (0, k/d)

21 d. Pilih j ax + by 0 dan k + cx - dy 0 maka akan diperoleh titik kritis T 4 dj + bk cj + ak, ad bc ad bc. Kontruksi Matrik Jacobi Dengan melakukan pelinieran pada sistem persamaan (0) maka diperoleh matrik komunitas j ax + by bx J () i cy k + cx dy Matrik komunitas diperoleh dengan mensubstitusikan titik kritis T,T,T 3 dan T 4 yang telah diperoleh ke dalam matrik J i () yaitu: J j 0 0 k (3) b j j a (4) J c 0 k + j a b j + k 0 d (5) J 3 c k k d A A J (6) 4 A A Dengan, A A A A a( dj + bk) ad bc b( dj + bk) ad bc c( cj + ak) ad bc d( cj + ak) ad bc.3 Analisis kestabilan titik kritis Melalui persamaan () dapat diperoleh persamaan karakteristik pada titik kritis masingmasing, yaitu: [ j λ][ λ] P ( λ) det( J λi) k 0 (7) P ( λ) det( J λi) [ j λ] (8) c k + λ 0 a b P 3 ( λ) det( J 3 λi) j + k λ (9) d [ k λ] 0 P 4 ( λ) det( J 4 λi) λ τλ + δ 0 (0) Dengan,

22 τ tr J ) A + A ( 4 a( dj + bk) d( cj + ak) τ + ad bc ad bc δ det( J ) A A A A 4 a( dj + bk) d( cj + ak) δ ad bc ad bc bdj + b k c j + ack ad bc ad bc Titik Kritis T Nilai eigen dari persamaan (7) yaitu, λ j dan λ k Diketahui j dan k positif (0<j<,0<k<), a, d > 0 dan b,c 0 sehingga λ > 0, dan λ > 0 (bilangan real dengan tanda sama). Dari hasil tersebut tipe titik kritis T merupakan simpul yang tidak stabil. Titik Kritis T Nilai eigen persamaan (8) yaitu: c λ j, danλ k + j a Karena (0<j<,0<k<) dan a, d > 0, b, c 0 mengakibatkan λ < 0, dan λ > 0 (real berbeda dengan tanda berlawanan) maka titik kritis T adalah titik sadel yang tak stabil. Titik Kritis T 3 Nilai eigen persamaan (9) yaitu: b λ j + k, danλ k d Karena ( 0 < j <, 0 < k <) dan a, d > 0, b, c 0 mengakibatkan λ > 0, dan λ < 0 maka titik kritis T 3 merupakan sadel tak stabil. Titik Kritis T 4 Agar titik kritis T 4 stabil maka harus memenuhi kriteria kestabilan berikut: τ < 0, dan δ > 0 diketahui (0<j<,0<k<), a, d > 0 dan b,c 0 sehingga kondisi τ < 0 terpenuhi jika ad bc > 0 dan δ > 0 sudah terpenuhi..4 Orbit dan kestabilan sistem Orbit dan model dapat diperoleh dari dua tipe dinamik, yaitu: kasus ad > bc Dengan parameter a, d, b 0.5, c 0.5, j k 0.8 dan kondisi awal bervariasi, maka diperoleh grafik ruang fase dan grafik laju populasinya sebagai berikut:

23 3 (a) (b) Gambar 5. (a) Grafik ruang fase bidang xy dengan kondisi awal x, y dan t 00 (b) Grafik laju populasi dengan kondisi awal x dan y Gambar 5 memperlihatkan bahwa titik kritis T merupakan titik simpul tak stabil, dari Gambar 5 terlihat orbit bergerak menjauhi T (0,0) dan bergerak menuju titik kritis T 4 (.6,.6), sehingga titik kritis tersebut merupakan titik simpul yang stabil. Kondisi ini diperoleh karena pada saat ad > bc maka akan diperoleh nilai eigen untuk T merupakan dua buah nilai real positif λ > 0, dan λ > 0 sedangkan untuk titik kritis T 4 saat ad > bc akan diperoleh nilai eigen berupa dua buah real negatif λ < 0, dan λ < 0. Gambar 6 memperlihatkan ruang fase bidang xy untuk berbagai variasi, dari gambar terlihat bahwa orbit bergerak dari kondisi awal menuju titik kritis T 4. Dari gambar 6 (a) terlihat lintasan orbit membelok, hal ini terjadi karena adanya titik kritis T dan T 3 yang merupakan titik sadel yang bersifat tak stabil. Saat kondisi parameter berapapun pada titik kritis T dan T 3 akan tetap diperoleh dua buah nilai eigen real berlawananan tanda. Gambar 6 memperlihatkan pada kondisi parameter ad > bc semua sistem bergerak menuju kestabilan asimtotik. Pada kondisi ini kedua spesies dapat hidup bersama dan bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu dengan syarat interaksi intraspesifiknya (interaksi antaspesies itu sendiri) harus lebih besar dibandingkan dengan interaksi interspesifiknya (interaksi dengan spesies yang berbeda). (a) (b)

24 4 (c) (d) Gambar 6. Grafik kestabilan titik kritis T 4 saat ad > bc (a) ruang fase bidang xy dengan memvariasikan kondisi awal dan t 00 (a) laju populasi kondisi awal x dan y (b) laju populasi kondisi awal x dan y dan (c) laju populasi kondisi awal x dan y. kasus ad < bc Dengan parameter a d 0.5, b c, j k 0.8 dan kondisi awal bervariasi, maka diperoleh grafik ruang fase dan grafik laju populasinya sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut. Gambar 7 memperlihatkan bahwa pada saat parameter ad < bc (interaksi interspesifiknya lebih dominan dari interaksi intraspesifik) maka ruang fase tersebut memperlihatkan perilaku dinamik yang tidak stabil, karena orbit bergerak menjauhi titik kritis T 4. Pada kondisi tersebut kedua populasi spesies memperoleh keuntungan yang berlebihan sehingga laju pertumbuhan kedua spesies mengalami peningkatan tanpa batas dan terjadi peledakan populasi. (a) (b) Gambar 7.(a) grafik ruang fase bidang xy dengan kondisi awal x, y dan t (b) grafik laju perubahan populasi dengan kondisi awal x dan y. Analisis Model Dinamik Interaksi Dua Spesies Mutualistik dengan kehadiran Pemangsa. Penentuan titik kritis Melalui persamaan (5) diperoleh titik kritis sebagai berikut: T (0,0,0). () T (j/a,0,0), () T 3 (0,k/d,0), (3)

25 5 T dj + bk cj + ak 4,,0, (4) ad bc ad bc T 5 l fk+ dl 0,, f fe T 6 fj + bl l afk adl + cfj + cbl,, fa f afe. Kontruksi Matriks Jacobi (5) (6) Dengan melakukan pelinieran pada persamaan, maka diperoleh matriks komunitas sebagai berikut: A A A A A A A A A a ( bk + dj ) ad bc b ( bk + dj ) ad bc 0 c ( jc + ak ) ad bc d ( jc + ak ) ad bc e ( jc + ak ) ad bc 0 0 l + f jc ad + ak bc j ax+ by bx 0 J i cy k+ cx dy ez ey (7) 0 fz + l fy Matrik komunitas diperoleh dengan mensubstitusikan titik kritis yang telah diperoleh ke dalam matrik J i (9) yaitu: J J J 3 j k l bj j a cj 0 k + a 0 0 bk j + ck d 0 k d 0 0 A J 4 A A Dengan, 3 A A A l 0 ek d fk l + d A3 A 3 A 33 (8) (9) (30) (3) J J 5 6 bl j + f cl f 0 B B B B B3 B Dengan, B B B B B B B dl f fk dl e B3 B 3 B 33 3 a( fj + bl) af b( fj + bl) af 0 cl f dl f el f 0 0 el f 0 afk adl + cfj + cbl B3 ae B 0 (3) (33).3 Analisis kestabilan titik kritis Titik Kritis T

26 6 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ j, λ k, λ l (34) 3 Sehingga trayektor pada titik tersebut merupakan titik stabil. Sehingga, karena pada titik kritis ini nilai eigen terdiri dari dua real positif dan satu real negatif maka trayektor pada titik ini merupakan titik tak stabil. Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: ka + cj λ j, λ, λ3 l (35) a Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real negatif dan satu real positif. Sehingga aliran vektor pada titik kritis ini juga merupakan titik tak stabil. Gambar 8. Grafik ruang fase titik kritis T 4 dengan kondisi awal x, y, z, t 000 dan parameter a.5, b, c dan d.5 Titik Kritis T 3 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: bk dj fk dl λ +, λ k, λ 3 (36) d d Dari nilai eigen tersebut dapat diperoleh bahwa pada titik kritis tersebut merupakan titik tak stabil. Titik Kritis T 4 Kondisi kestabilan pada T 4 terjadi saat pemangsa punah, sehingga analisis dari titik kritis ini sama dengan model interaksi mutualisme dua spesies tanpa kehadiran pemangsa. Untuk menganalisis kondisi kestabilan dari titik kritis T 4, maka diperlukan analisis tiap parameter yang digunakan sebagai berikut: Tabel. Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam titik kritis T 4 Model Mutualisme Kasus a b c d ad > bc ad < bc Kasus ad > bc Pada saat ad > bc maka akan diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ 0.333, λ.000, λ Gambar 9. Grafik ruang fase dengan kondisi awal x dan y Kasus ad < bc Pada saat ad < bc maka akan diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ 3.000, λ.000, λ Sehingga trayektor pada titik tersebut merupakan titik tak stabil, karena ada satu nilai eigennya yang bernilai real positif.

27 7 fk < dl.5.5 fk < dl.. fk dl fk > dl fk > dl fk > dl Gambar 0. Grafik ruang fase titik kritis T 4 dengan kondisi awal x, y, z, t 000 dan parameter a 0.5, b, c dan d 0.5 Dari beberapa parameter tersebut dapat diperoleh grafik ruang fase yang mamperlihatkan gejala bifurkasi pada titik kritis T 5. Gambar memperlihatkan gejala bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 5. Gambar (a) memperlihatkan orbit kestabilan di sekitar titik kritis T 5 yang merupakan titik stabil kemudian dengan mengubah parameter, secara perlahan titik tersebut berubah menjadi spiral yang stabil seperti yang terlihat pada gambar (d), (e) dan (f). Terlihat trayektor memiliki lintasan periodik spiral di sekitar titik kritis yang semakin memenuhi bidang spiral. Gambar. Grafik ruang fase dengan kondisi awal x dan y Titik Kritis T 5 Untuk menganalisis kondisi kestabilan dari titik kritis T 5 maka diperlukan analisis tiap parameter yang digunakan sebagai berikut: Tabel. Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam titik kritis T 5 model mutualisme Kasus f k d l Gambar 3 memperlihatkan laju perubahan populasi ketika spesies x tetap, dari grafik tersebut terlihat ketika populasi spesies x tetap maka populasi spesies y akan mengalami penurunan secara periodik hingga mencapai keseimbangan populasi, penurunan ini disebabkan karena laju pertumbuhan populasi dipengaruhi secara mutual oleh spesies x sehingga ketika interaksi interspesifiknya berkurang dibandingkan dengan interaksi intraspesifiknya maka populasinya akan mengalami penurunan secara periodik. Dari gambar terlihat pula ketika spesies x dibuat tetap populasi pemangsa z akan mengalami penurunan juga seiring dengan menurunnya spesies y yang menjadi mangsanya sampai pada suatu keseimbangan populasi tertentu. Analisis Titik Kritis T 5 Parameter Jika parameter yang dipakai adalah f, k, d.5 dan l.5 maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ.500, λ 0.647, λ

28 8 Diperoleh dua buah nilai eigen positif yang bersesuaian dengan bidang tak stabil dan satu nilai eigen real negatif yang bersesuaian dengan garis stabil, sehingga dari nilai eigen tersebut diketahui pada titik kritis tersebut dengan kondisi parameter fk < dl merupakan titik sadel. Parameter Jika parameter yang dipakai adalah f, k, d. dan l. maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ.00, λ 0.30, λ Diperoleh dua buah nilai eigen positif yang bersesuaian dengan bidang tak stabil dan satu nilai eigen real negatif yang bersesuaian dengan garis stabil. Dari nilai eigen tersebut diketahui pada titik kritis tersebut dengan kondisi parameter fk < dl merupakan titik sadel. Parameter 3 Jika parameter yang dipakai adalah f, k, d dan l, maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ.000, λ 0.000, λ Diperoleh sebuah eigen positif yang bersesuaian dengan bidang tak stabil dan satu nilai eigen real negatif yang bersesuaian dengan garis stabil. Sehingga, dari nilai eigen tersebut maka diketahui pada titik kritis tersebut dengan kondisi parameter fk dl merupakan titik stabil. Parameter 4 Jika parameter yang dipakai adalah f, k, d 0.7 dan l 0.7 maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ.700, λ i λ i 3 Sehingga diperoleh dua buah nilai eigen kompleks dengan bagian realnya bernilai negatif sehingga orbit yang dihasilkan membentuk sebuah bidang bersifat spiral stabil. Dan sebuah garis tak stabil yang bersesuaian dengan niali eigen real positifnya. Parameter 5 Jika parameter yang dipakai adalah f, k, d 0.5 dan l 0.5 maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ.500, λ i λ i 3 Sehingga diperoleh dua buah nilai eigen kompleks dengan bagian realnya bernilai negatif sehingga orbit yang dihasilkan membentuk sebuah bidang bersifat spiral stabil. Dan sebuah garis tak stabil yang bersesuaian dengan niali eigen real positifnya. Parameter 6 Jika parameter yang dipakai adalah f, k, d 0.3 dan l 0.3 maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ.300, λ i λ i Sehingga diperoleh dua buah nilai eigen kompleks dengan bagian realnya bernilai negatif sehingga orbit yang dihasilkan membentuk sebuah bidang bersifat spiral stabil. Dan sebuah garis tak stabil yang bersesuaian dengan nilai eigen real positifnya.

29 9 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar. Bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 5 dengan t 000 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter d.5 dan l.5 (b) parameter d. dan l. (c) parameter d dan l (d) parameter d 0.7 dan l 0.7 (e) parameter d 0.5 dan l 0.5 serta (f) parameter d 0.3 dan l 0.3.

30 30 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 3. Grafik Laju Perubahan Populasi pada Titik Kritis T 5 dengan beberapa parameter, (a) parameter d.5 dan l.5 (b) parameter d. dan l. (c) parameter d dan l (d) parameter d 0.7 dan l 0.7 (e) parameter d 0.5 dan l 0.5 serta (f) parameter d 0.3 dan l 0.3.

31 3 Titik Kritis T 6 Untuk menganalisis kondisi kestabilan dari titik kritis T 6 maka diperlukan analisis tiap parameter yang digunakan sebagai berikut: Tabel 3. Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam titik kritis T 6 model mutualisme Kasus a b c d ad > bc ad > bc ad > bc ad bc ad < bc ad < bc Gambar 4. memperlihatkan terjadinya bifurkasi pada titik kritis T 6 sesuai dengan perubahan pada parameter yang diberikan. Pada gambar 4(a) dengan parameter b 0. dan c 0., di sekitar titik kritisnya masih bersifat sebagai Simpul Stabil. Sedangkan pada gambar 4(b), 4(c), 4(d), dan 4(e) memperlihatkan bahwa terjadi bifurkasi dari simpul stabil menjadi Spiral Stabil. Jika parameter yang digunakan yaitu b. dan c. maka orbit di sekitar titik kritis tersebut akan bersifat Spiral Tak Stabil. Sehingga pada titik kritis T 6 terjadi tiga kali bifurkasi yang memiliki sifat yang berbeda tergantung pada parameter yang digunakan. Gambar 5 memperlihatkan laju perubahan populasi dengan memvariasikan parameter yang digunakan.pada gambar 5(a), 5(b), 5(c), 5(d), dan 5(e) memperlihatkan adanya kestabilan populasi karena parameter yang digunakan yaitu ad > bc, atau terjadinya interaksi antar spesies itu sendiri lebih besar (intraspesifik) dibandingkan dengan interaksi antar spesies yang berbeda (interspesifik) sehingga populasi ketiga spesies berada pada kondisi stabil. Sedangkan pada gambar 5(f) dengan parameter ad < bc atau interaksi antar spesies berbeda lebih besar dari interaksi antar spesies sejenis maka akan terjadi ketidakstabilan sehingga populasi ketiga spesies akan meningkat secara drastis, dalam hal ini pemangsa merupakan spesies yang paling diuntungkan sehingga populasinya meningkat paling tinggi dibandingkan spesies x dan spesies y. Kasus ad > bc Jika parameter yang dipakai adalah a,b 0., c 0., d, e, f, g, h, j, k, l. maka akan di peroleh nilai eigen: λ -.45, λ -0.86, λ Dari nilai eigen yang diperoleh dapat dianalisis bahwa pada kondisi parameter ini maka akan diperoleh orbit di sekitar titik kritis yang bersifat simpul stabil karena nilai eigennya merupakan real negatif. Sehingga, jika interaksi antarspesiesnya lebih diperkecil maka akan diperoleh titik kritis yang bersifat simpul stabil seperti terlihat pada gambar 4(a). Pada gambar 5(a) terlihat laju perubahan populasi menuju suatu kestabilan asimtotik dimana populasi spesies x dan spesies y memiliki populasi tertinggi, sedangkan pemangsa z mengalami populasi terendah yang juga stabil. Kasus ad bc Jika parameter yang dipakai adalah a.0, b.0, c, d, e, f, g, h, j, k, l. maka akan diperoleh nilai eigen: λ -.808, λ i λ i 3 Dari nilai eigen yang diperoleh dapat dianalisis bahwa pada kondisi parameter ini maka akan diperoleh orbit di sekitar titik kritis yang bersifat spiral stabil seperti terlihat pada gambar 4(d). karena nilai eigennya merupakan kompleks dengan bagian realnya bernilai negatif sehingga bersifat stabil. Pada gambar 5(d) terlihat laju perubahan populasi menuju suatu kestabilan asymtotic dimana populasi spesies x dan pemangsa z memiliki populasi tertinggi sedangkan populasi spesies y yang menjadi mangsa dari predator z memiliki populasi yang paling rendah karena adanya pemangsaan dari pemangsa z, sedangkan interaksi interspesifiknya dan interaksi intraspesifiknya sama besar, populasi spesies y inipun menuju suatu kestabilan populasi.

32 3 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 4. Bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 6 dengan t 000 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter b 0. dan c 0. (b) parameter b 0.5 dan c 0.5 (c) parameter b 0.8, c 0.8 (d) parameter b dan c (e) parameter b. dan c. serta (f) parameter b. dan c..

33 33 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 5. Grafik Laju Perubahan Populasi pada Titik Kritis T 6 dengan beberapa parameter, (a) parameter b 0. dan c 0. (b) parameter b 0.5 dan c 0.5 (c) parameter b 0.8, c 0.8 (d) parameter b dan c (e) parameter b. dan c. serta (f) parameter b. dan c..

34 34 Kasus ad < bc Jika parameter yang dipakai adalah a, b., c., d, e, f, g, h, j, k, l. maka akan di peroleh nilai eigen: λ -3.37, λ i λ i 3 Dari nilai eigen yang diperoleh dapat dianalisis bahwa pada kondisi parameter ini maka akan diperoleh orbit di sekitar titik kritis yang bersifat spiral tak stabil sebagaimana diperlihatkan pada gambar 4(f). Karena nilai eigen yang diperoleh merupakan kompleks dengan bagian real bernilai positif sehingga bersifat tak stabil. Gambar 5(f) memeperlihatkan laju perubahan populasi dengan parameter yang digunakan dalam hal ini yaitu ad < bc sehingga interaksi antarspesies yang berbeda lebih besar dibandingkan dengan interaksi antar spesies sejenisnya sehingga menimbulkan pengaruh pada pemangsaan spesies y oleh pemangsa z. Jadi ketika interaksi intraspesifik lebih kecil dari interaksi interspesifiknya maka pengaruh pemangsaan spesies y oleh pemangsa juga akan amat mempengaruhi kestabilan spesies x meski tak terkait secara langsung dengan pemangsa z. Spesies x dan spesies y akan mengalami fluktuasi secara periodik, sedangkan pemangsa z akan mengalami peningkatan populasi secara drastis namun tetap periodik menuju ketidakstabilan populasi. 3. Analisis Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa tanpa Kompetisi Intraspesifik. 3. Penentuan titik kritis Melalui persamaan (5) diperoleh titik kritis sebagai berikut: T (0, 0, 0) (37) T (0, e/g, c/d) (38) T 3 (e/f, 0, a/b) (39) 3. Kontruksi Matriks Jacobi Dengan melakukan pelinieran pada persamaan () maka diperoleh matriks komunitas a bz J i 0 fz 0 c dz gz bx dy e+ fx+ gy (40) Matrik komunitas diperoleh dengan mensubstitusikan titik kritis yang telah diperoleh ke dalam matrik J i (9) yaitu: a 0 0 (4) J 0 c e J J 3 a bc d 0 fc d 0 0 fa b 0 c ga b 0 0 gc d da b 0 de g 0 be f Analisis kestabilan titik kritis Titik Kritis T (4) (43) Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ a, λ c, λ e (44) 3 Karena terdapat dua buah nilai eigen bernilai real positif, maka titik kritis T bersesuaian dengan bidang tak stabil dan juga terdapat satu nilai eigen bernilai real negatif yang bersesuaian dengan sebuah garis bersifat stabil. Jadi pada titik kritis T merupakan titik sadel.

35 35 Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: ad bc λ d λ ce λ ce 3 (45) Dari nilai eigen tersebut terdapat dua buah nilai eigen imajiner murni λ, ± cei maka titik kritis ini membentuk sebuah bidang fokus (Center Point). Sedangkan nilai eigen ad bc λ akan mevariasikan kondisi d kestabilan sebuah garis terhadap titik kritisnya. Jika ad > bc maka diperoleh nilai eigen real positif yang bersesuaian dengan titik tak stabil. Jika ad < bc maka diperoleh nilai eigen real negatif yang bersesuaian dengan titik stabil. Sedangkan jika ad bc maka nilai eigen akan sama dengan nol sehingga sifat titik kritis T membentuk titik fokus (Center Point). Titik Kritis T 3 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: ad bc λ b λ ae λ ae 3 (46) Dari nilai eigen tersebut terdapat dua buah nilai eigen imajiner murni λ, ± aei maka titik kritis ini membentuk sebuah bidang fokus (Center Point). Sedangkan nilai eigen ad bc λ akan mevariasikan kondisi b kestabilan sebuah garis terhadap titik kritisnya. Jika ad > bc maka diperoleh nilai eigen real positif yang bersesuaian dengan titik tak stabil. Jika ad < bc maka diperoleh nilai eigen real negatif yang bersesuaian dengan titik stabil. Sedangkan jika ad bc maka nilai eigen akan sama dengan nol sehingga sifat titik kritis T 3 membentuk fokus (Center Point). pada kondisi parameter ad bc maka titik kritis T 3 akan memiliki dua buah nilai eigen imajiner murni dan semua bagian realnya akan bernilai nol. Gambar 7(a) memperlihatkan grafik laju perubahan populasi ketiga spesies. saat parameter ad bc maka pertumbuhan dan penurunan karena pemangsaan pada spesies x akan sama besarnya dengan pertumbuhan dan penurunan karena pemangsaan pada spesies y. Sehingga spesies x dan spesies y akan mengalami laju pertumbuhan populasi yang sama. Sedangkan pemangsa z akan memiliki laju pertumbuhan terbesar karena dalam hal ini spesies yang paling diuntungkan adalah spesies pemangsa z. Laju pertumbuhan populasi ketiga spesies akan menuju kestabilan periodik. Kasus ad > bc Gambar 6(b) memperlihatkan sebuah ruang fase yang bersifat spiral tak stabil pada titik kritis T 3. Hal ini terjadi karena pada kondisi parameter ad > bc maka titik kritis T 3 akan memiliki dua buah nilai eigen imajiner murni yang bersesuaian dengan bidang xz yang bersifat spiral stabil sehingga spesies x dan predator z akan mengalami keseimbangan populasi dan pada titik kritis T 3 terdapat juga nilai eigen real positif yang bersesuaian dengan sebuah garis sumbu y tak stabil yang artinya spesies y akan mengalami kepunahan. Gambar 7(b) memperlihatkan grafik laju perubahan ketiga spesies. saat parameter ad > bc maka spesies x akan memiliki laju pertumbuhan intrinsik yang lebih besar dari spesies y dan laju penurunan populasi karena pemangsaan oleh pemangsa pun lebih kecil dibandingkan dengan spesies y sehingga dalam kehidupannya spesies x akan mengalami kestabilan secara periodik karena laju pertumbuhan besar sedangkan pemangsaannya kecil. Sedangkan spesies y akan mengalami kepunahan karena laju pertumbuhan intrinsiknya yang kecil tidak sebanding dengan pemangsaan yang dilakukan pemangsa z. Dari gambar terlihat pemangsa z akan memiliki laju pertumbuhan terbesar karena dalam hal ini spesies yang paling diuntungkan adalah spesies pemangsa z. laju pertumbuhan spesies z akan bertambah karena pemangsaanya, dan akan distabilkan dengan adanya kematian alami dari pemangsa z. kasus ad bc Gambar 6(a) memperlihatkan sebuah ruang fase yang bersifat titik fokus (center point) pada titik kritis T 3. Hal ini terjadi karena

36 36 Kasus ad < bc Gambar 6(e) memperlihatkan sebuah ruang fase yang bersifat spiral stabil pada titik kritis T 3. Hal ini terjadi karena pada kondisi parameter ad < bc maka titik kritis T 3 akan memiliki dua buah nilai eigen imajiner murni yang bersesuaian dengan bidang yz yang bersifat spiral stabil, sehingga spesies y dan pemangsa z akan mengalami keseimbangan populasi dan pada titik kritis T 3 terdapat juga nilai eigen real positif yang bersesuaian dengan sebuah garis sumbu x tak stabil yang artinya spesies x akan mengalami kepunahan. Gambar 7(e) memperlihatkan grafik laju perubahan populasi ketiga spesies. Saat parameter ad < bc maka spesies y akan memiliki laju pertumbuhan intrinsik yang lebih besar dari spesies x dan laju penurunan populasi karena pemangsaan oleh pemangsapun lebih kecil dibandingkan dengan spesies x, sehinggga dalam kehidupannya spesies y akan mengalami kestabilan secara periodik karena laju pertumbuhan besar, sedangkan pemangsaannya kecil. Sedangkan spesies x akan mengalami kepunahan karena laju pertumbuhan intrinsiknya yang kecil tidak sebanding dengan pemangsaan yang dilakukan pemangsa z. Dari gambar terlihat pemangsa z akan memiliki laju pertumbuhan terbesar karana dalam hal ini spesies yang paling diuntungkan adalah spesies pemangsa z. laju pertumbuhan spesies z akan bertambah karena pemangsaanya dan akan distabilkan dengan adanya kematian alami dari pemangsa z. Hasil Numerik Secara numerik diperoleh grafik ruang fase dan laju populasi dengan memvariasikan beberapa parameter yang terkait, sebagai berikut: Tabel 4. Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam model dua mangsa satu pemangsa a b c d ad bc ad > bc ad > bc ad > bc ad < bc ad < bc Dalam model interaksi dua spesies mangsa satu pemangsa tidak terdapat hubungan interaksi intraspesifik. dari analisis model terlihat adanya gejala bifurkasi pada ruang phasanya. Saat parameter ad bc maka ruang fasenya pada titik kritisnya merupakan titik center, sehingga ketiga spesies dapat hidup untuk jangka waktu lama dengan stabil. Saat parameternya ad < bc maka ruang fasenya bersifat spiral tak stabil sehingga saat kondisi ini spesies x mengalami kepunahan, sedangkan spesies y dan pemangsa z memiliki laju populasi stabil periodik. Sedangkan saat ad < bc maka ruang fasenya bersifat spiral stabil.namun dalam kondisi ini spesies y mengalami kepunahan sedangkan spesies x dan pemangsa z memiliki populasi stabil

37 37 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 6. Bifurkasi yang terjadi pada model dua mangsa satu pemangsa dengan t 500 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter a, b, c dan d (b) parameter a, b, c dan d (c) parameter a 0, b, c dan d 0 (d) parameter a 8, b, c dan d 8 (e) parameter a, b, c dan d (f) parameter a, b 0, c 0 dan d

38 38 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 7. Grafik Laju Perubahan Populasi pada model dua mangsa satu pemangsa dengan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter a, b, c dan d (b) parameter a, b, c dan d (c) parameter a 0, b, c dan d 0 (d) parameter a 8, b, c dan d 8 (e) parameter a, b, c dan d (f) parameter a, b 0, c 0 dan d

39 39 4. Analisis Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa dengan Kompetisi Intraspesifik 4. Penentuan titik kritis Melalui persamaan (5) diperoleh titik kritis sebagai berikut: { 0, 0, 0} T x y z j T x, y 0, z 0 a (47) k T3 x 0, y, z 0 d l dl kh T4 x 0, y, z h hf l al gj T5 x, y 0, z g gc bk jd ak je T6 x, y, z 0 ad be ad be lcd + lfb + hck hfj x cgd ceh fgb fah + cgk cel + fal fgj T7 y cgd ceh fgb + fah gbk bel kha gjd + jeh + ald z cgd ceh fgb + fah (48) 4. Kontruksi Matriks Jacobi Dengan melakukan pelinieran pada persamaan (3) maka diperoleh matriks komunitas j ax by cz bx cx Ji ey k dy ex fz fy gz hz + l gx+ hy 4.3 Analisis kestabilan titik kritis (49) Untuk melihat terjadinya bifurkasi, maka dibuat beberapa parameter yang dianggap tetap yaitu a 0.00, b 0.00, d 0.00, e 0.005, f 0.00, g 0.005, h , j, k, l dan memvariasikan variabel c. Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ j λ k λ l 3 (50) Jika parameter j k l maka akan diperoleh nilai eigen : λ λ λ 3 Karena terdapat dua buah nilai eigen bernilai real positif maka titik kritis T bersesuaian dengan bidang tak stabil dan juga terdapat satu nilai eigen bernilai real negatif yang bersesuaian dengan sebuah garis bersifat stabil. Jadi pada titik kritis T merupakan titik Sadel. Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ j ( ka + ej ) λ a ( la + gj ) λ 3 a (5) Jika parameter j k l maka akan diperoleh nilai eigen : λ ( a + e) λ a ( a + g ) λ 3 a Terdapat tiga kondisi kestabilan pada titik kritis ini, yaitu bisa bersifat titik stabil jika semua parameter menghasilkan nilai eigen real negatif, bersifat titik tak stabil jika semua parameter menghasilkan nilai eigen real positif dan bersifat sadel jika semua parameter menghasilkan real positif dan negatif.

40 40 Titik Kritis T 3 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ k ( jd bk ) (5) λ d ( ld hk ) λ 3 d Jika parameter j k l maka akan diperoleh nilai eigen : λ ( d b ) λ d ( d h ) λ 3 d Terdapat tiga kondisi kestabilan pada titik kritis ini, yaitu bisa bersifat titik stabil jika semua parameter menghasilkan nilai eigen real negatif, bersifat titik tak stabil jika semua parameter menghasilkan nilai eigen real positif dan bersifat sadel jika semua parameter menghasilkan real positif dan negatif. Titik Kritis T 4 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 4 yaitu: ( jhf blf + cld chk ) λ hf ld l d + 4hl d 4h lk (53) λ h ld + l d + 4hl d 4h lk λ 3 h Jika parameter j k l maka akan diperoleh nilai eigen : ( hf bf + cd ch) λ hf d d + 4hd 4h l λ h d + d + 4hd 4h λ 3 h Terdapat tiga kondisi kestabilan pada titik kritis ini, yaitu bisa bersifat spiral stabil jika parameter menghasilkan sebuah nilai eigen real negatif dan terdapat dua buah nilai eigen kompleks, bersifat spiral tak stabil jika parameter menghasilkan sebuah nilai eigen real positif dan terdapat dua buah nilai eigen kompleks, sedangkan jika parameter menghasilkan nilai eigen real sama dengan nol dan dua buah nilai eigen bersifat imajiner murni maka pada titik kritis tersebut bersifat titik fokus (Center Point). Titik Kritis T 5 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 5 yaitu: ( kgc elc + fla fgj ) λ gc la λ l a + 4 gl g a 4 g la + l a + 4 gl a 4 g lj λ 3 g Jika parameter j k l maka akan diperoleh nilai eigen : ( gc ec + fa fg ) λ gc a λ a + λ 3 a a g + 4 ga 4 g + 4 ga 4 g g lj (54) Terdapat tiga kondisi kestabilan pada titik kritis ini, yaitu bisa bersifat spiral stabil jika parameter menghasilkan sebuah nilai eigen real negatif dan terdapat dua buah nilai eigen kompleks, bersifat spiral tak stabil jika parameter menghasilkan sebuah nilai eigen real positif dan terdapat dua buah nilai eigen kompleks, sedangkan jika parameter menghasilkan nilai eigen real sama dengan nol dan dua buah nilai eigen bersifat imajiner murni maka pada titik kritis tersebut bersifat titik fokus (Center Point). Titik Kritis T 6 Dari persamaan karakteristik dan parameter j k l maka akan diperoleh nilai eigen: ( ad be gd + gb ha + he) λ ( be ad) λ ( ad ab de + be) λ3 ( be ad) (55) Terdapat tiga kondisi kestabilan pada titik kritis ini, yaitu bisa bersifat titik stabil jika semua parameter menghasilkan nilai eigen real negatif, bersifat titik tak stabil jika

41 4 semua parameter menghasilkan nilai eigen real positif dan bersifat sadel jika semua parameter menghasilkan real positif dan negatif. Titik Kritis T 7 Untuk menganalisis kondisi kestabilan dari titik kritis T 7 maka diperlukan analisis tiap parameter yang digunakan sebagai berikut: Parameter Jika parameter yang dipakai adalah c maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ 0.96, λ λ i i Sehingga diperoleh dua buah nilai eigen kompleks sehingga orbit yang dihasilkan membentuk sebuah bidang bersifat spiral stabil. Dan sebuah garis stabil yang bersesuaian dengan nilai eigen real negatifnya. Parameter Jika parameter yang dipakai adalah c maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ 0.949, λ 0.0 λ i i Sehingga diperoleh dua buah nilai eigen kompleks sehingga orbit yang dihasilkan membentuk sebuah bidang bersifat spiral stabil. Dan sebuah garis stabil yang bersesuaian dengan nilai eigen real negatifnya. Parameter 3 Jika parameter yang dipakai adalah c maka secara numerik diperoleh nilai eigen sebagai berikut: λ 0.96, λ 0.05 λ i i Sehingga diperoleh dua buah nilai eigen kompleks sehingga orbit yang dihasilkan membentuk sebuah bidang bersifat spiral stabil. Dan sebuah garis stabil yang bersesuaian dengan nilai eigen real negatifnya.

42 4 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 8. Bifurkasi yang terjadi pada titik kritis T 7 dengan t 000 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) bersifat periodik dengan c (b) bersifat periodik dengan c (c) bersifat periodik dengan c (d) bersifat periodik dengan c (e) bersifat periodik dengan c serta (f) bersifat chaotik dengan c

43 43 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 9. Laju Perubahan populasi yang terjadi pada titik kritis T 7 dengan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) Laju Populasi tiga spesies dengan c (b) Populasi tiga spesies dengan c (c) Populasi tiga spesies dengan c (d) Plot x dan z terhadap waktu t dengan c bersifat peridik (e) Plot x dan z terhadap waktu t dengan c bersifat periodik (f) Plot x dan z terhadap waktu t dengan c bersifat chaotik.

44 44 (a) (b) (c) (d) Gambar 0. Attractor model dinamik dua mangsa satu pemangsa dengan kondisi awal populasi pemangsa divariasikan z0, z0.dan z0. sedangkan parameter c 0.0 (a) ruang fase tiga spesies t 3000, (b) laju populasi mangsa x, (c) laju populasi mangsa y dan (d) laju populasi pemangsa z. Attractor Model Dua Mangsa Satu Pemangsa Dalam model sistem dua mangsa satu pemangsa ternyata memiliki kondisi chaotik pada parameter tertentu. Beberapa parameter yang dibuat tetap yaitu a 0.00, b 0.00, d 0.00, e 0.005, f 0.00, g 0.005, h , j, k, l dan memvariasikan variabel c. Pada gambar 9(d) memperlihatkan gejala chaotik saat parameter c yang digunakan adalah c Salah satu sifat gejala chaotik memiliki sifat yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi awal (initial condition) sebagaimana di perlihatkan dalam gambar 0. Dalam hal ini kondisi awal sistem dibuat secara bervariasi terhadap kondisi awal dari populasi pemangsa z (predator) dan membuat parameter c 0.0.

45 45 (a) (b) (c) (c) Gambar. Attractor model dinamik dua mangsa satu pemangsa saat kondisi awal populasi pemangsa divariasikan z0, z0.dan z0. sedangkan parameter c 0.0 (a) ruang fase tiga spesies, t 3000 (b) ruang fase bidang xy, (c) ruang fase bidang yz dan (d) ruang fase bidang xz. Gambar 0 dan gambar memperlihatkan gejala sifat chaotic ketika salah satu kondisi awalnya dirubah dalam hal ini katika parameter z0 divariasikan. lintasan yang ditempuh oleh atraktor akan sangat berbeda ketika kondisi awalnya divariasikan sedikit saja. Untuk memahami gejala chaotic pada model dinamik perlu analisis lebih lanjut. HASIL EKSPERIMEN LAPANGAN Hasil eksperimen lapangan terhadap laju perubahan populasi tiga spesies menunjukkan kemiripan dengan hasil simulasi dari model ekologi. Hasil eksperimen lapangan dilakukan terhadap tiga spesies, dengan kondisi dua mangsa satu predator. Dalam eksperimen ini yang menjadi spesies pemangsa adalah Ciliate Tetrahymena pyriformis sedangkan yang menjadi mangsanya yaitu bakteri Pedobacter dan bakteri Brevundimonas. Dalam eksperimen ini parameter pertumbuhan intrinsik bakteri dan kematian intrinsik Ciliate dapat diatur sehingga dapat divariasikan. (Becks L., F. M. Hilker, H. Malchow, K. Jurgens and H. Arndt: Experimental demonstration of chaos in a microbial foodweb. Nature (435) 6-9 (005)) Dalam eksperimen tersebut terlihat beberapa kondisi yang dapat terjadi pada sistem dinamik dua mangsa satu pemangsa. Gambar (a) dan gambar (b) memperlihatkan kondisi ketika spesies mencapai kondisi kestabilan asimtotik. pemangsa dan salah satu mangsa akan bertahan hidup sedangkan spesies mangsa lainya akan mengalami kepunahan.

46 46 Gambar (h) dan gambar (i) memperlihatkan kondisi semua spesies menuju sebuah kestabilan periodik. Ketiga spesies akan hidup dalam sebuah keseimbangan dinamik. Sedangkan pada gambar (c), (d), (e), (f) dan (g) memperlihatkan adanya gejala chaotik dimana dimana semua spesies akan berlangsung hidup secara tak periodik (chaotic). Gambar. Hasil Experimental dinamika Populasi sistem chemostat bacteria ciliate. Dengan memvariasikan nilai Dilution: a, 0.90 d, b, 0.75 d; c, 0.50 d; d g, 0.50 d; h, i, 0.45 d.lingkaran terbuka, Pedobacter (prey); lingkaran hitam, Brevundimonas (prey); bar horizontal, Tetrahymena (predator).

47 47 5. Analisis Model Dinamik Rantai Makanan Siklik 5. Penentuan titik kritis Melalui persamaan (5) diperoleh titik kritis sebagai berikut: T (0,0,0) (56) T ( g/i,0,-a/b) (57) T 3 (-d/e,a/c,0) (58) T 4 (0,-g/h,d/f) (59) ( dbh + fah + fcg) x, ( beh ifc) T 5 : ( beg + bid + ifa) y, ( beh ifc) (60) ( aeh + ceg + cid) z ( beh ifc) 5. Kontruksi Matriks Jacobi Dengan melakukan pelinieran pada persamaan maka diperoleh matriks Jacobi a+ bz cy cx bx (6) J i ey d + ex fz fy iz hz g+ hy ix Matrik komunitas Jacobi diperoleh dengan mensubstitusikan titik kritis yang telah diperoleh ke dalam matrik J i (6) yaitu: a 0 0 J 0 d g cg bg 0 i i eg fa J 0 d i b ia ha 0 b b (53) (6) cd ba 0 e c ea fa J3 0 c c ha id 0 0 g + + c e bd cg a f h eg fg J 0 4 h h id hd 0 f f A A A3 J 4 A A A3 A 3 A3 A33 Dengan, A A A A A A 3 A A A c( dbh + fah + fcg) beh ifc b( dbh + fah + fcg) beh ifc e( beg + bid + ifa) beh ifc 0 f ( beg + bid + ifa) beh ifc i( aeh + ceg + cid) beh ifc h( aeh + ceg + cid) beh ifc 0 (63) (64) (65)

48 48 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 3. Bifurkasi ruang fase pada model siklik dengan t 0 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter c 0.6 (b) parameter c 0.8 (c) parameter c 0.96 (d) parameter c. (e) parameter c.35 (f) parameter c.6

49 49 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 4. Grafik Laju Perubahan Populasi pada model siklik dengan dengan t 0 dan memvariasikan parameter yang digunakan, (a) parameter c 0.6 (b) parameter c 0.8 (c) parameter c 0.96 (d) parameter c. (e) parameter c.35 (f) parameter c.6.

50 Analisis kestabilan titik kritis Untuk melihat terjadinya bifurkasi maka dibuat beberapa parameter yang dianggap tetap yaitu a, b, d, e, g,dan h. dan beberapa parameter dibuat bervariasi yaitu parameter b, e, dan h. Tabel 5. Nilai-nilai parameter yang di gunakan dalam model rantai makanan siklik Parameter c Model interaksi rantai makanan siklik memiliki jumlah populasi yang selalu sama sesuai parameter yang digunakan. Saat parameter beh fic yaitu laju pertumbuhan dan penurunan spesies seimbang maka ruang fase pada titik kritisnya akan bersifat spiral tak stabil. Hal ini menunjukkan bahwa populasi ketiga spesies secara periodik selalu meningkat menuju ketidakstabilan. Saat parameter beh > fic yaitu laju pertumbuhan lebih besar dari laju penurunan spesies maka ruang fase pada titik kritisnya akan bersifat spiral tak stabil. Secara ekologis, saat pertumbuhan lebih besar dari penurunannya maka populasi akan meledak tak stabil. Sedangkan saat parameter beh < fic yaitu laju pertumbuhan lebih kecil dari laju penurunan spesies maka ruang fase pada titik kritisnya akan bersifat spiral menuju stabil periodik. Secara ekologis, saat pertumbuhan lebih kecil dari penurunannya maka populasi akan menuju kestabilan periodik. Kasus beh fic Jika parameter yang digunakan yaitu beh fic, maka secara numerik akan diperoleh nilai eigen untuk tiap titik kritis yaitu: Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ.000, λ.000, λ Karena pada titik kritis ini semua nilai eigen berniali real positif maka pada titik merupakan titik tak stabil sehingga orbit akan menjauhi titik T seperti terlihat pada gambar 3(a) semua trayektor menjauhi titik kritis T. Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ.000, λ.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 3 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ.000, λ.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 4 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ.000, λ.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 5 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ i, λ i λ Dari nilai eigen yang diperoleh dapat dianalisis bahwa pada kondisi parameter ini maka akan diperoleh orbit disekitar titik kritis yang bersifat spiral tak stabil seperti terlihat

51 5 pada gambar 3(c) karena nilai eigennya merupakan kompleks dengan bagian realnya bernilai positif sehingga bersifat tak stabil. Pada gambar 4(c) terlihat semua spesies memiliki laju pertumbuhan populasi yang hampir sama besarnya namun berbeda fase nya. Semua spesies akan berkembang terus secara periodik menuju ketidakstabilan atau populasinya akan meningkat secara periodik sampai tak hingga. Kasus beh > fic Jika parameter yang digunakan yaitu beh < fic, maka secara numerik akan diperoleh nilai eigen untuk tiap titik kritis yaitu: Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ.000, λ.000, λ Sehingga karena pada titik kritis ini semua nilai eigen berniali real positif maka pada titik merupakan titik titik tak stabil sehingga orbit akan menjauhi titik T seperti terlihat pada gambar 3(a) semua trayektor menjauhi titik kritis T. Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ.000, λ -.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 3 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ.000, λ -.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 4 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 4 yaitu: λ.000, λ -.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 5 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ i, λ i λ Dari nilai eigen yang diperoleh dapat dianalisis bahwa pada kondisi parameter ini maka akan diperoleh orbit disekitar titik kritis yang bersifat simpul tak stabil seperti terlihat pada gambar 4(a) karena nilai eigennya merupakan kompleks dengan bagian realnya bernilai positif sehingga bersifat tak stabil tapi tidak membentuk spiral karena nilai imajinernya terlalu kecil. Pada gambar 4(a) terlihat semua spesies memiliki laju pertumbuhan populasi yang sama hampir sama besarnya namun berbeda fasenya. Terjadi ledakan populasi yang begitu drastis menuju tak hingga (tak stabil) Kasus beh < fic Jika parameter yang digunakan yaitu beh > fic maka, secara numerik akan diperoleh nilai eigen untuk tiap titik kritis yaitu: Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ.000, λ.000, λ Sehingga karena pada titik kritis ini semua nilai eigen bernilai real positif maka

52 5 pada titik merupakan titik titik tak stabil sehingga orbit akan menjauhi titik T seperti terlihat pada gambar 3(e) semua trayektor menjauhi titik kritis T. Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T yaitu: λ.000, λ -.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 3 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 3 yaitu: λ.000, λ -.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. λ.000, λ -.000, λ Diperoleh bahwa nilai eigen dari titik kritis ini terdiri dari dua nilai real positif dan satu real negatif. Sehingga trayektor pada titik kritis ini juga merupakan titik titik sadel atau merupakan titik belokan dari lintasan orbit. Titik Kritis T 5 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 5 yaitu: λ i, λ i λ Dari nilai eigen yang diperoleh dapat dianalisis bahwa pada kondisi parameter ini maka akan diperoleh orbit disekitar titik kritis yang bersifat spiral tak stabil pada awalnya kemudian menuju stabil. Seperti terlihat pada gambar 3(e) karena nilai eigennya merupakan kompleks dengan bagian realnya bernilai positif sehingga bersifat tak stabil. Pada gambar 4(e) terlihat semua spesies memiliki laju pertumbuhan populasi yang sama besarnya. Semua spesies akan berkembang terus secara periodik tak stabil namun pada saat tertentu populasinya akan bergerak secara periodik stabil mencapai sebuah keseimbangan populasi. Titik Kritis T 4 Dari persamaan karakteristik diperoleh nilai eigen T 4 yaitu:

53 Gambar 5. Skema daur hidup hama ulat buah (Helicoverpa armigera) yang merusak tanaman kapas beserta musuh alaminya. (Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat Direktorat Proteksi Tanaman Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan Jakarta, 000) 53

54 54 6. Aplikasi Model Dinamik Pengendalian Hama Pertanian Penerapan model dinamik interaksi tiga spesies dapat diterapkan secara langsung untuk mengendalikan hama pada tanaman pertanian dengan mengembangkan musuh alaminya seperti yang terjadi dalam budidaya tanaman kapas. Pada budidaya tanaman kapas terdapat beberapa hama diantaranya yang paling merusak yaitu Ulat buah (Helicoverpa armigera). Ulat buah adalah hama penting pada kapas. Hama ini memakan daun, bunga dan buah kapas. Ia merusak buah kapas dengan melobangi bagian bawah. Buah yang terserang sering menjadi busuk. Selain kapas, ulat buah juga memakan banyak tanaman lain, seperti kacangkacangan (polong yang dimakan), jagung (tongkol), tembakau (kuncup), tomat (buah), kentang. dan juga memakan beberapa jenis gulma. Musuh alami dari ulat buah terdiri dari pemangsa dan parasit. Pemangsa adalah serangga dan laba-laba yang makan serangga lain. Kadang-kadang disebut predator. Predator berguna karena memakan hama tanaman. Semua laba laba adalah pemangsa. Parasit adalah serangga yang hidup di dalam serangga lain, dan membunuhnya secara pelan-pelan dari dalam. Parasit berguna karena membunuh hama. Ada banyak jenis tawon kecil yang memarasit hama di kebun kapas. Salah satu pemangsa ulat buah yaitu Laba-laba lompat (Salticidae). Laba laba lompat aktif sepanjang hari Laba laba ini dapat menerkam mangsanya dengan cepat, bahkan dapat menangkap lalat yang terbang cepat. Kaki depannya kuat dan panjang. Laba-laba dapat menangkap mangsa yang lebih besar darinya, seperti ngengat. Laba-laba kecil merupakan pemangsa penting kepik dan hama lain. Laba-laba menusukkan racun yang melumpuhkan mangsa, kemudian mengisap cairannya. Laba-laba (salticidae) Ulat buah (Helicoverpa) Tanaman kapas Gambar 6. Diagram rantai makanan pada tanaman kapas Model mangsa pemangsa untuk rantai makanan tiga spesies dalam kasus ini dapat dimodelkan seperti pada model yang disusun oleh Chauvet, 00 sebagai berikut dx ax bxy dt dy (66) cy + dxy eyz dt dz fz + gyz dt Keterangan : a : menunjukkan kelahiran rata-rata dari tanaman kapas tanpa adanya ulat buah. b : merupakan jumlah tanaman kapas yang dimangsa oleh ulat buah c: menunjukkan angka kematian ulat buah secara alami tanpa pengaruh ada atau tidak adanya tanaman kapas. d : menunjukkan jumlah kelahiran dari ulat buah yang di pengaruhi oleh adanya tanaman kapas. e : merupakan jumlah ulat buah yang dimangsa oleh laba-laba.

55 55 f : menunjukkan angka kematian laba-laba secara alami tanpa pengaruh ada atau tidak adanya ulat buah. g : menunjukkan jumlah kelahiran laba-laba yang di pengaruhi oleh adanya ulat buah. 7. Analisis Model Dinamik Pengendalian Hama Tanaman Kapas dengan Kehadiran Musuh Alami. 7. Penentuan titik kritis Sesuai persamaan (5) diperoleh: x( a by) 0 y( c + dx ez) 0 z( f + gy) 0 (67) Dari persamaan tersebut diperoleh dua titik kritis sebagai berikut: T (0,0,0) (68) T ( c / d, a / b,0) 7. Kontruksi Matriks Jacobi Dengan melakukan pelinearan pada persamaan maka diperoleh matriks Jacobi a by bx 0 J dy c+ dx ez ey (69) i 0 gz f + gy Matriks komunitas diperoleh dengan mensubstitusikan titik kritis T dan T yang telah diperoleh ke dalam matriks J i (x) yaitu: a J da J b c 0 0 f bc 0 d ae 0 b ga 0 f + b (70) (7)

56 Analisis kestabilan titik kritis Titik Kritis T Dari persamaan karakteristik dapat diperoleh nilai eigen dari matrik J yaitu: λ i ac λ i ac ag bf λ3 b (7) Untuk ag bf, dari matrik Jacobi akan diperoleh ketiga nilai eigen bernilai nol pada bagian realnya. Dengan demikian menurut Teorema Manifold Pusat, terdapat manifold pusat 3-dimensi yang bersesuaian dengan ketiga nilai eigen tersebut. Sedangkan untuk ag bf, menurut Teorema Manifold Pusat bahwa nilai eigen ( ag bf ) bersesuaian dengan kurva invarian -dimensi yang b menyinggung vektor eigennya pada titik kritis (c/d, a/b, 0). Kurva ini stabil jika ag bf < 0 dan tak stabil ag - bf > 0. Bersesuaian dengan nilai eigen yang bagian realnya bernilai bernilai nol, terdapat manifold pusat -dimensi yang bersifat invarian melalui (c/d, a/b, 0) dan menyinggung subruang real -dimensi yaitu bidang-xy. Perilaku parameter yang berbeda pada titik kritis T ini memberikan pengaruh bagi kestabilan populasi untuk ketiga spesies yang berinteraksi. Sehingga berikutnya akan di bahas perilaku solusi di sekitar titik kritisnya yang dikelompokan menjadi tiga kasus yang berbeda parameternya. Untuk melihat perilaku solusinya kemudian akan diperlihatkan dengan menggambarkan grafik orbit kestabilan dari ketiga spesies tersebut. Dalam hal ini parameter yang akan dibahas yaitu yang berkaitan dengan harga eigennya dengan metode numerik. Dalam hal ini yang divariasikan adalah nilai g nya yang menggambarkan bentuk kestabilan dari tiga tipe tersebut. Tabel 6. nilai-nilai parameter yang digunakan Rantai makanan pada tanaman Kapas a b c d e f g ag bf ag > bf ag < bf Kasus ag bf Dengan menggunakan nilai parameter seperti pada tabel 6, di peroleh grafik ruang fase (solusi) dan grafik ruang konfigurasi (dinamika populasi) untuk kasus nilai parameter ag bf sebagai berikut: Gambar 7. Orbit Kestabilan pada bidang 3dimensi dengan t 00. Pada gambar 7 di atas terlihat bahwa orbit kestabilan 3-dimensi pada kasus ag bf ini merupakan solusi periodik yang terus menerus berosilasi dan cenderung tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi pada ketiga spesies tersebut saling proporsional

57 57 artinya tidak ada populasi suatu spesies yang pertumbuhannya meningkat tajam maupun populasi yang pertumbuhannya menurun drastis. Berdasarkan perilaku parameter yang diamati pada kasus ini laju pertumbuhan alami spesies x sebanding dengan efek pemangsaan terhadap spesies x oleh spesies y. Hal ini akan memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan populasi spesies z pada level paling atas yaitu keseimbangan populasi spesies y sebagai sumber makanan dapat menunjang pertumbuhan populasi spesies z. Maka ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa untuk kasus nilai parameter ag bf, interaksi pemangsaan antar ketiga spesies menghasilkan siklus rantai makanan yang terus akan berlangsung seimbang sehingga tidak ada spesies yang akan punah. Berikut akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi untuk ketiga spesies pada kasus ag bf. Gambar 8. Dinamika populasi tiga spesies dengan nilai awal x, y, z.5 dan t 0. Pada gambar 8 diatas dengan nilai awal x(0 ), y(0),dan z(0).5 terlihat bahwa secara biologis ketiga spesies dapat bertahan hidup dan mempunyai jumlah populasi yang berubah-ubah secara periodik sepanjang waktu pada periode yang sama. Pada grafik tersebut terlihat pula posisi relatif dari titik stasioner ketiga spesies yaitu puncak tertinggi menyatakan populasi spesies x pada level pertama, di ikuti populasi spesies y pada level kedua dan puncak yang paling rendah menyatakan populasi spesies z pada level yang paling atas. Hal tersebut disebabkan oleh saling bergantungnya spesies pada level berikutnya terhadap jumlah populasi spesies pada level sebelumnya sebagai sumber makanannya. Misalkan kelangsungan hidup spesies y dipengaruhi oleh jumlah populasi x sebagai mangsanya, begitu pula yang terjadi pada kelangsungan hidup spesies z dipengaruhi oleh jumlah populasi spesies y sebagai mangsanya. Kasus ag > bf Dengan menggunakan nilai parameter yang ada pada tabel 6. di peroleh grafik ruang fase ( solusi ) dan grafik dinamika populasi ( ruang konfigurasi ) untuk kasus nilai parameter ag > bf sebagai berikut : Gambar 9. Orbit Kestabilan pada bidang 3-dimensi dengan t 00. Pada gambar di atas dengan menggunakan nilai awal x(0), y(0) dan z(0) terlihat bahwa orbit kestabilan populasi ketiga spesies berawal dari titik P ( x 0, y0, z0 ) dengan arah keatas menuju titik Q, sehingga membentuk spiral tak stabil.

58 58 Sedangkan untuk grafik dinamika populasinya cenderung bersifat divergen. Hal ini menunjukan bahwa terdapat spesies yang populainya cenderung meningkat, yaitu spesies x dan spesies z seperti terlihat pada grafik dinamika populasinya. Berikut akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi untuk tiga spesies pada kasus ag > bf. Gambar 30. Dinamika populasi tiga spesies dengan nilai awal x, y, z dan t 0 Pada gambar 30 terlihat dari hasil pengamatan b dan f bahwa spesies z dapat terus bertahan selama populasi spesies x masih ada sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada spesies yang akan punah selama populasi spesies x masih bertahan. Hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa populasi dari spesies x dan z cenderung menuju +, walaupun secara tidak monoton, saat populasi spesies y melalui fluktuasi yang cukup besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa spesies y berperan sebagai penyalur makanan atau perantara antara spesies x dan z dalam siklus rantai makanan tersebut. Kasus ag < bf Dengan menggunakan nilai parameter pada tabel 6. Diperoleh grafik solusi dan grafik dinamika populasi untuk kasus nilai parameter ag < bf sebagai berikut : Gambar 3. Orbit Kestabilan pada bidang 3-dimensi dengan t 00. Pada gambar 3 di atas dengan menggunakan nilai awal x(0), y(0) dan z(0). terlihat bahwa orbit kestabilan populasi ketiga spesies berawal dari titik P ( x0, y0, z0 ) dengan arah masuk menuju arah osilasi pada bidang xy, kemudian terus menerus berosilasi pada batas titik

59 59 tertentu. Seperti terlihat pada gambar bahwa orbit tersebut berbentuk spiral dengan arah turun menuju bidang xy dan cenderung ke arah solusi periodik sehingga dapat dikatakan bahwa orbit kestabilannya merupakan spiral stabil. Karena pada kasus ini nilai parameter ag < bf dapat membawa pengaruh yang bersifat negatif bagi kelangsungan hidup spesies z, sehingga untuk nilai z tertentu yaitu pada saat s mendekati nol orbit kestabilannya akan membentuk suatu osilasi pada bidang xy. Hal ini menunjukan bahwa pada dinamika populasinya untuk jangka waktu yang panjang terdapat populasi spesies yang akan mengalami kepunahan yaitu spesies z. pada saat jumlah populasi spesies z mendekati nol atau mendekati kepunahan maka akan terjadi siklus pemangsaan yang seimbang antara spesies x dan spesies y. Berikut akan diperlihatkan grafik dinamika populasi untuk ketiga spoesies pada kasus ag < bf. Gambar 3. Dinamika populasi tiga spesies dengan nilai awal x, y, z dan t 0 Pada gambar 3 diatas terlihat bahwa pada awal periode ketiga spesies saling berosilasi hingga pada periode waktu tertentu yaitu pada saat t 5 spesies z berfluktuasi turun hiongga mendekati titik nol, sedangkan spesies x dan y terus berosilsi secara periodik. Secara biologis, hal tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa populasi spesies z sebagai pemangsa pada level atas akan cenderung mendekati kepunahan, saat spesies x dan y cenderung memperlihatkan perilaku periodik dari sistem mangsa pemangsa pada saat ketidakhadiran dari spesies z. berdasarkan perilaku parameter yang diamati yaitu untuk b dan f bahwa pada kasus ketiga ini efek pemangsaan terhadap spesies x oleh spesies y dan laju kematian alami spesies z lebih besar dibandingkan dengan laju efisiensi dan penyebaran spesies z. maka dapat disimpulkan bahwa ilustrasi di atas menyebabkan semakin menurunnya kelangsungan hidup populasi spesies z hingga dapat mengakibatkan kepunahan. Dari model rantai makanan tiga spesies bertingkat tersebut diperoleh bahwa saat pertumbuhan intrinsik tanaman kapas dan pertumbuhan laba-laba karena adanya pemangsaan terhadap ulat buah sama dengan jumlah populasi tanaman kapas yang mati karena ulat buah dan jumlah kematian laba-laba (ag bf) maka terjadi keseimbangan antara jumlah populasi tanaman kapas, ulat buah dan laba-laba. Namun jika pertumbuhan intrinsik tanaman kapas dan pertumbuhan laba-laba karena adanya pemangsaan terhadap ulat buah lebih besar dari jumlah populasi tanaman kapas yang mati karena ulat buah dan jumlah kematian laba-laba (ag > bf) maka populasi hama ulat buah akan menurun menuju keseimbangan sedangkan tanaman kapas dan laba-laba akan meningkat secara periodik. Sedangkan jika pertumbuhan intrinsik tanaman kapas dan pertumbuhan laba-laba karena adanya pemangsaan terhadap ulat buah lebih kecil dari jumlah populasi tanaman kapas yang mati karena ulat buah dan jumlah kematian laba-laba (ag < bf) maka populasi laba-laba punah sedangkan hama ulat buah dan populasi tanaman kapas akan stabil periodik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis pada pembahasan di atas menunjukkan bahwa laju perubahan populasi pada sistem dinamik model ekologi interaksi dua spesies maupun tiga spesies sangat tergantung pada kondisi awal dan parameter yang digunakan. Model interaksi saling menguntungkan (mutualisme) anatara dua spesies dengan kehadiran predator dapat diaplikasikan secara nyata pada dua buah spesies mutualis dan satu spesies predator yaitu semut pekerja, benih violet dan hewan pengerat (rodent) yang merupakan predator pada benih bunga violet. tanpa adanya predator maka populasi bunga violet dan semut akan mengalami

60 60 ledakan populasi yang mengganggu kestabilan ekosistem. Adanya predator dapat berperan menyetabilkan populasi kedua spesies. Interaksi antara dua mangsa dan satu pemangsapun merupakan kasus yang sangat umum yang dapat terjadi bukan hanya ekologi tetapi juga dunia usaha dimana terdapat perusahaan besar yang berperan sebagai predator dan perusahaan kecil yang berperan sebagai mangsanya. Dan model dinamika rantai makanan siklik tiga spesies dapat terjadi dalam siklus reaksi biokimia. Model dinamik interaksi tiga spesies ini dapat diaplikasikan dalam banyak bidang. Model dinamik rantai makanan dapat diaplikasikan dalam pengendalian hama pada tanaman menggunakan musuh alami (Biological Control) sehingga dapat diprediksi parameter apa yang dapat menyebabkan peningkatan hama penyakit serta mengatasinya dengan mengembangkan musuh alami dari hama tersebut. Dari permasalahan ekologi tersebut terlihat jelas bahwa pada sistem tersebut memiliki sifat nolinieritas yang mirip seperti sistem dinamika nonlinier yang terjadi dalam sistem fisika. Sehingga pendekatan sistem dinamika (Dynamical System Approach) dalam fisika juga dapat dipakai untuk menganalisis dan mempelajari gejala yang terjadi di alam secara umum, baik dalam sistem fisis maupun sistem sosial. Saran Analisis sistem dinamik merupakan alat yang sangat baik dalam menganalisis berbagai permasalahan, baik yang terjadi di alam fisis maupun permasalahan sosial termasuk didalamnya untuk menganalisis laju perubahan populasi dalam ekologi. Masih banyak model yang perlu dikaji dan dianalisis lebih lanjut seperti model dinamik populasi Rozeinwig - Mcarthur yang mengandung variabel saturasi dalam modelnya. Selain itu perlu pengkajian dan analisis lebih mendalam mengenai perilaku chaotik dari model sistem ekologi yang dibuat. DAFTAR PUSTAKA Anonim Musuh alami dan hama pada kapas. ( Februari 007 ). Arhami, Muhammad Pemrograman Matlab. Yogyakarta: Penerbit Andi. Becks L., F. M. Hilker, H. Malchow, K. J urgens and H. Arndt: Experimental demonstration of chaos in a microbial foodweb. Nature (435) 6-9 (005) Chauvet E, Paullet JE, Ptevite JP, Walls Z. 00. A Lotka-Volterra Three Species Food Chain. ( September 006) Cheon, Taksu Evolutionary Stability of Ecological Hierarchy. Desember 006) Deng, Bo and Gwendolen Hines. 00. Food chain chaos due to Shilnikov s orbit. ( Desember 006) Dudek, Miroslaw.R Lotka-Volterra population model of geneticevolution. ( 5 Februari 007). Edelstein, Leah Mathematical models in Biology. New York: The Random House. Gilpin.979. Spiral Chaos in a predator-prey models. The American Naturalist.3.pp Guckenheimer J, Holmes P Nonlinear Oscillations, Dynamical Sstems and Bifurcation of vector Fields. Applied Mathematical Sciences, vol. 4. New York: Springer-Verlag. Hardhienata, H. Prediksi Populasi Mangsa Pemangsa dengan Pendekatan teori Chaos. 00. Huppert, A., Blasius, B., Stone, L., 00. A model for seasonal phytoplankton blooms. (5 Januari 007)

61 6 Idema, Timon The behaviour and attractiveness of the Lotka-Volterra equations. (5 April 006) Leon, Steven J. 00. Aljabar Linear dan Aplikasinya. Jakarta: Erlangga. McGill, Brian A mechanistic model of a mutualism and its ecological and evolutionary dynamics. (5 Desember 006) Verhulst F Nonlinear Differential Equation and Dynamical Syatems. Heidenberg: Springer- Verlag. Wang, Hao and Yang Kuang Alternative models for cyclic Lemming Dynamics. (5 Januari 007)

62 LAMPIRAN 6

63 63 Lampiran. Analisis Titik Kritis Model Dinamika Analisis sistem persamaan differensial sering digunakan untuk menentukan solusi yang tidak berubah terhadap waktu, yaitu untuk tiap dx / dt 0, dy / dt 0, dz / dt 0. * * * Titik kritis ( x, y, z ) dari sistem persamaan dapat diperoleh dengan menentukan dx / dt 0, dy / dt 0, dz / dt 0, sehingga dengan menggunakan software Maple 9.5 dapat diperoleh titik kritis tiap model dinamik sebagai berikut:. Titik Kritis Model Dinamik Mutualisme dengan Kehadiran Pemangsa > per:x*(j-a*x+b*y); per : x ( j - a x + b y) > per:y*(k+c*x-d*y-e*z); per : y ( k + c x - d y - e z) > per3:z*(-l+f*y); per3 : z (-l + f y) > solve({per0,per0,per30},{x,y,z}); {x 0, z 0, y 0}, {x 0, z 0, y k/d}, {x 0, z -(-fk+dl)/(fe), y l/f}, {z 0, y 0, x j/a}, {z 0, x (bk+dj)/(-bc+da), y (jc+ak)/(-bc+da)}, {y l/f, z (afk-adl+cfj+cbl)/(afe), x (fj+bl)/(fa)}. Titik Kritis Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa Tanpa Kompetisi Intraspesifik > per:a*x-b*x*z; > per:c*y-d*y*z; per : a x - b x z per : c y - d y z > per3:-e*z+f*x*z+g*y*z; per3 : -e z + f x z + g y z > solve({per0,per0,per30},{x,y,z}); {z 0, x 0, y 0}, {x 0, z c/d, y e/g}, {y 0, x e/f, z a/b} 3. Titik Kritis Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa Dengan Kompetisi Intraspesifik > per:j*x-a*x*x-b*x*y-c*x*z; per : j x - a x - b x y - c x z > per:k*y-d*y*y-e*x*y-f*y*z; per : k y - d y - e x y - f y z > per3:-l*z+g*x*z+h*y*z; per3 : -l z + g x z + h y z > solve({per0,per0,per30},{x,y,z});

64 64 { 0, 0, 0} T x y z j T x, y 0, z 0 a k T3 x 0, y, z 0 d l dl kh T4 x 0, y, z h hf l al gj T5 x, y 0, z g gc bk jd ak je T6 x, y, z 0 ad be ad be lcd + lfb + hck hfj x cgd ceh fgb fah + cgk cel + fal fgj T7 y cgd ceh fgb + fah gbk bel kha gjd + jeh + ald z cgd ceh fgb + fah 4. Titik Kritis Model Dinamik Rantai Makanan Siklik > per:a*x+b*x*z-c*x*y; per : a x + b x z - c x y > per:d*y+e*x*y-f*y*z; per : d y + e x y - f y z > per3:g*z+h*y*z-i*x*z; per3 : g z + h y z - i x z > solve({per0,per0,per30},{x,y,z}); {x 0, z 0, y 0},{x 0, y -g/i, z d/f}, {y 0, x g/h, z -a/c},{z 0,x -d/e,y a/b}, {x (fi*+fbg+icd)/(fbh-ice),z(dbh+eia+ebg)/(fbh-ice), y (gce+hfa+hcd)/(fbh-ice)}

65 65 Lampiran. Analisis Nilai Eigen Model Dinamik Tiga Spesies Dengan melakukan pelinearan pada persamaan maka diperoleh matriks Jacobi J f f f x x x3 f f f i x x x3 f3 f3 f 3 x x x3 Kondisi kestabilan dari tiap titik kritis dapat diperoleh dengan mengetahui terlebih dahulu nilai eigen. Nilai eigen tersebut dapat diperoleh melalui persamaan karakteristiknya, sebagai berikut: p( λ ) det( J λi) J λi 0 Dengan Menggunakan software Maple 9.5 dapat diperoleh nilai eigen dari tiap titik kritis dari model dinamik tiga spesies sebagai berikut:. Analisis Nilai Eigen Model Dinamik Mutualisme dengan Kehadiran Predator Dengan melakukan pelinearan pada persamaan maka diperoleh matriks komunitas j ax+ by bx 0 J i cy k cx dy ez ey + 0 fz + l fy Solusi Eksak Nilai Eigen Dengan Maple Solusi ini di peroleh dengan memvariasikan parameter b dan c sedangkan parameter a,d,e,f,j,k,dan l dianggap tetap bernilai. > restart; > with(linalg): Warning, the protected names norm and trace have been redefined and unprotected > a : ; b : B; c : B;d:;e:;f:;j:;k:;l:; a : b : B c : B d : e : f : j : k : l : > J:matrix(3,3,[j-*a*x+b*y,b*x,0, c*y,k+c*x-*d*y-e*z,-e*y, 0,f*z,-l+f*y]); J : matrix([[-x+by, Bx, 0], [By, +Bx-y-z, -y], [0, z, -+y]])

66 66 > y: 0; z: 0; x: 0; > nilai_e:eigenvals(j); > y: 0; z: 0; x: j/a; y : 0 z : 0 x : 0 nilai_e :,, - y : 0 z : 0 x : > nilai_e:eigenvals(j); nilai_e : -, -, + B > z: 0; x: 0; y: k/d; z : 0 x : 0 y : > nilai_e3:eigenvals(j); nilai_e3 : + B, -, 0 > z: 0; y: (a*k+c*j)/(a*d-c*b); x: (j*d+b*k)/(a*d-c*b); z : 0 > nilai_e4:eigenvals(j); nilai_e4 : - y : + B - B x : + B - B B B -, -, + B B - > x: 0; z: (f*k-d*l)/(f*e); y: l/f; x : 0 z : 0 y : > nilai_e5:eigenvals(j); nilai_e5 : + B, -, 0 > y: l/f; z: (a*f*k-a*d*l+c*f*j+c*b*l)/(a*f*e); x: (f*j+b*l)/(f*a); y : > nilai_e6:eigenvals(j); z : B + B x : + B nilai_e6:/6*(8-4*b-9*b^-88*b^3-36*b^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)-6*(-/9+/9*B-/3*B^3-/9*B^)/(8-4*B- 9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)-/3-/3*B, -/*(8-4*B-9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-

67 67 3*B^8)^(/))^(/3)+3*(-/9+/9*B-/3*B^3-/9*B^)/(8-4*B- 9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)-/3-/3*B+/*I*3^(/)*(/6*(8-4*B-9*B^- 88*B^3-36*B^4+*(-4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7- *B^9-3*B^8)^(/))^(/3)+6*(-/9+/9*B-/3*B^3-/9*B^)/(8-4*B- 9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)), -/*(8-4*B-9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)+3*(-/9+/9*B-/3*B^3-/9*B^)/(8-4*B- 9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)-/3-/3*B-/*I*3^(/)*(/6*(8-4*B-9*B^- 88*B^3-36*B^4+*(-4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7- *B^9-3*B^8)^(/))^(/3)+6*(-/9+/9*B-/3*B^3-/9*B^)/(8-4*B- 9*B^-88*B^3-36*B^4+*(- 4*B^+48*B^3+34*B^4+345*B^6+49*B^5+4*B^7-*B^9-3*B^8)^(/))^(/3)). Analisis Nilai Eigen Model Dinamik Dua Mangsa Satu Pemangsa Dengan melakukan pelinearan pada persamaan maka diperoleh matriks komunitas a bz J i 0 fz 0 c dz gz bx dy e+ fx+ gy Solusi Eksak Nilai Eigen Dengan Maple > restart; > with(linalg): Warning, the protected names norm and trace have been redefined and unprotected > J:matrix(3,3,[a-b*z,0,-b*x, 0,c-d*z,-d*y, f*z,g*z,-e+f*x+g*y]); J : matrix([[a-bz, 0, -bx], [0, c-dz, -dy], [fz, gz, -e+fx+gy]]) > x:0;y:0;z:0; > nilai_e:eigenvals(j); > x: 0; y: e/g; z: c/d; x : 0 y : 0 z : 0 nilai_e : a, c, -e x : 0 y : e g > nilai_e:eigenvals(j); > x: e/f; y: 0; z: a/b; z : c d nilai_e : a d - b c, -c e, - -c e d

68 68 x : e f y : 0 z : a b > nilai_e3:eigenvals(j); nilai_e3 : - a d - b c, -a e, - -a e b 3. Analisis Nilai Eigen Model Dinamik Rantai Makanan Siklik Dengan melakukan pelinearan pada persamaan maka diperoleh matriks komunitas J i a + bz cy ey iz cx d + ex fz hz bx fy g+ hy ix Solusi Eksak Nilai Eigen Dengan Maple > restart; > with(linalg): Warning, the protected names norm and trace have been redefined and unprotected > a : ; b : A; c : B;d:;e:A;f:B;g:;h:A;i:B; a : b : A c : B d : e : A f : B g : h : A i : B > J:matrix(3,3,[a+b*z-c*y,-c*x,b*x, e*y,d+e*x-f*z,-f*y, - i*z,h*z,g+h*y-i*x]); J : matrix([[+az-by, -Bx, Ax], [Ay, +Ax-Bz, -By], [-Bz, Az, +Ay-Bx]]) > y: 0; z: 0; x: 0; > nilai_e:eigenvals(j); > y: 0; z: -a/b; x: g/i; y : 0 z : 0 x : 0 nilai_e :,, y : 0 z : - A

69 69 x : B > nilai_e:eigenvals(j); nilai_e : -,, B A + A + B B A > z: 0; x: -d/e; y: a/c; z : 0 x : - A y : B > nilai_e3:eigenvals(j); nilai_e3 : -,, B A + A + B B A > x: 0; y: -g/h; z: d/f; x : 0 y : - A > nilai_e4:eigenvals(j); z : B nilai_e4 : B A + A + B,, - B A > x: -(d*b*h+f*a*h+f*c*g)/(b*e*h-i*f*c); y: - (b*e*g+b*i*d+i*f*a)/(b*e*h-i*f*c); z: - (a*e*h+c*e*g+c*i*d)/(b*e*h-i*f*c); x : - B A + A + B > nilai_e5:eigenvals(j); nilai_e5 : -, A 3 - B 3 y : - B A + A + B A 3 - B 3 z : - B A + A + B A 3 - B 3 A - B + I 3 A + I 3 B A - B, A - B - I 3 A - I 3 B A - B

70 70 Lampiran 3. Sintaks Plot Grafik Dengan Software Matlab 7 % GRAFIK RUANG FASA DUA SPESIES MUTUALISME DENGAN ADANYA PREDATOR % MADA SANJAYA % Departemen Fisika IPB 006 % Orbit dan Kestabilan system Mutualisme dua spesies. % System mutualisme dua spesies % models System mutualisme dua spesies dapat di bentuk dari persamaan: % y'y( j - a*y + b*y ) % y'y( k + c*y - d*y-e*y3 ) % y3'y3(-l + f*y) % function yp T6a(t,y) % yp ( y; y; y3 ) % kondisi pertama:ad-bc<0 % a;b0.;c0.;d;e; % f % jkl % kondisi awal saat t0,y,y,y3 function yp T6a(t,y) yp [*y()-*y()*y()+0.*y()*y();*y()+0.*y()*y()- *y()*y()-*y()*y(3);-*y(3)+*y()*y(3)];. Plot Grafik Ruang phasa Mutualisme Dengan Kehadiran Predator tspan[0 000]; y0[ ]; [t,y]ode3('t6a',tspan,y0); plot3(y(:,),y(:,),y(:,3)) grid on title('ruang phasa Mutualisme 3 spesies'); xlabel('spesies x'); ylabel('spesies y'); zlabel('predator z'); legend('y_','y_','y_3'). Plot Grafik Laju Pertubahan Populasi Mutualisme Dengan Kehadiran Predator tspan[0 00]; y0[ ]; [t,y]ode3('t6a',tspan,y0); plot(t,y) title('ruang konfigurasi prey predator 3 spesies'); xlabel('time t'); ylabel('populasi y'); legend('y_','y_','y_3')

71 Grafik yang di hasilkan : 7

72 Lampiran 4. Diagram Alir Penelitian 7

DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL, DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi)

DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL, DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi) 1 DINAMIKA ORDE PERTAMA SISTEM NONLINIER TERKOPEL DENGAN RELASI PREDASI, MUTUAL, DAN SIKLIK (Tinjauan Kasus Mangsa-Pemangsa pada Sistem Ekologi) Oleh: MADA SANJAYA WS G74103018 DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

Bab 16. Model Pemangsa-Mangsa

Bab 16. Model Pemangsa-Mangsa Bab 16. Model Pemangsa-Mangsa Pada Bab ini akan dipelajari model matematis dari masalah dua spesies hidup dalam habitat yang sama, yang dalam hal ini keduanya berinteraksi dalam hubungan pemangsa dan mangsa.

Lebih terperinci

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO 4.1 Model Dinamika Neuron Fitzhugh-Nagumo Dalam papernya pada tahun 1961, Fitzhugh mengusulkan untuk menerangkan model Hodgkin-Huxley menjadi lebih umum, yang

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar teori untuk menganalisis simulasi kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan. 2.1 Persamaan Diferensial Biasa

Lebih terperinci

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk memeriksa kelakuan sistem dinamik kompleks, biasanya dengan menggunakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

Bab 15. Interaksi antar dua spesies (Model Kerjasama)

Bab 15. Interaksi antar dua spesies (Model Kerjasama) Bab 15. Interaksi antar dua spesies (Model Kerjasama) Dalam hal ini diberikan dua spesies yang hidup bersama dalam suatu habitat tertutup. Kita ketahui bahwa terdapat beberapa jenis hubungan interaksi

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial Biasa Persamaan Diferensial Biasa Titik Tetap dan Sistem Linear Toni Bakhtiar Departemen Matematika IPB Oktober 2012 Toni Bakhtiar (m@thipb) PDB Oktober 2012 1 / 31 Titik Tetap SPD Mandiri dan Titik Tetap Tinjau

Lebih terperinci

Simulasi Kestabilan Model Predator Prey Tipe Holling II dengan Faktor Pemanenan

Simulasi Kestabilan Model Predator Prey Tipe Holling II dengan Faktor Pemanenan Prosiding Matematika ISSN: 2460-6464 Simulasi Kestabilan Model Predator Prey Tipe Holling II dengan Faktor Pemanenan 1 Ai Yeni, 2 Gani Gunawan, 3 Icih Sukarsih 1,2,3 Prodi Matematika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persamaan diferensial sangat penting dalam pemodelan matematika khususnya

BAB II KAJIAN TEORI. Persamaan diferensial sangat penting dalam pemodelan matematika khususnya BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Persamaan Diferensial Persamaan diferensial sangat penting dalam pemodelan matematika khususnya untuk pemodelan yang membutuhkan solusi dari sebuah permasalahan. Pemodelan matematika

Lebih terperinci

SEMINAR HASIL TUGAS AKHIR Jurusan Matematika FMIPA ITS

SEMINAR HASIL TUGAS AKHIR Jurusan Matematika FMIPA ITS SEMINAR HASIL TUGAS AKHIR Jurusan Matematika FMIPA ITS Pengendalian Populasi Hama pada Model Mangsa-Pemangsa dengan Musuh Alaminya Nabila Asyiqotur Rohmah 1209 100 703 Dosen Pembimbing: Dr Erna Apriliani,

Lebih terperinci

Model Mangsa-Pemangsa dengan Dua Pemangsa dan Satu Mangsa di Lingkungan Beracun

Model Mangsa-Pemangsa dengan Dua Pemangsa dan Satu Mangsa di Lingkungan Beracun SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 05 Model Mangsa-Pemangsa dengan Dua Pemangsa dan Satu Mangsa di Lingkungan Beracun Irham Taufiq, Imam Solekhudin, Sumardi 3 Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

Karena v merupakan vektor bukan nol, maka A Iλ = 0. Dengan kata lain, Persamaan (2.2) dapat dipenuhi jika dan hanya jika,

Karena v merupakan vektor bukan nol, maka A Iλ = 0. Dengan kata lain, Persamaan (2.2) dapat dipenuhi jika dan hanya jika, BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai definisi-definisi dan teorema-teorema dari nilai eigen, vektor eigen, dan diagonalisasi, sistem persamaan differensial, model predator prey lotka-voltera,

Lebih terperinci

Simulasi Model Mangsa Pemangsa Di Wilayah yang Dilindungi untuk Kasus Pemangsa Tergantung Sebagian pada Mangsa

Simulasi Model Mangsa Pemangsa Di Wilayah yang Dilindungi untuk Kasus Pemangsa Tergantung Sebagian pada Mangsa Simulasi Model Mangsa Pemangsa Di Wilayah yang Dilindungi untuk asus Pemangsa Tergantung Sebagian pada Mangsa Ipah Junaedi 1, a), Diny Zulkarnaen 2, b) 3, c), dan Siti Julaeha 1, 2, 3 Jurusan Matematika,

Lebih terperinci

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2 BAB Konsep Dasar BAB 2 PDB Linier Order Satu 2 BAB 3 Aplikasi PDB Order Satu 3 BAB 4 PDB Linier Order Dua 4 BAB 5 Aplikasi PDB Order Dua 5 BAB 6 Sistem PDB 6 BAB 7 PDB Nonlinier dan Kesetimbangan Dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. Model ini memiliki nilai kesetimbangan positif pada saat koordinat berada di titik

LANDASAN TEORI. Model ini memiliki nilai kesetimbangan positif pada saat koordinat berada di titik LANDASAN TEORI Model Mangsa Pemangsa Lotka Volterra Bagian ini membahas model mangsa pemangsa klasik Lotka Volterra. Model Lotka Volterra menggambarkan laju perubahan populasi dua spesies yang saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA MODEL SILKUS BISNIS KALDOR-KALECKI TANPA WAKTU TUNDA

BIFURKASI HOPF PADA MODEL SILKUS BISNIS KALDOR-KALECKI TANPA WAKTU TUNDA BIFURKASI HOPF PADA MODEL SILKUS BISNIS KALDOR-KALECKI TANPA WAKTU TUNDA NURRACHMAWATI 1) DAN A. KUSNANTO 2) 1) Mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai nilai eigen dan vektor eigen, sistem dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan sistem dinamik, kriteria Routh-Hurwitz,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan setiap makhluk hidup tidak dapat terlepas dengan yang namanya interaksi. Interaksi merupakan suatu jenis tindakan yang terjadi ketika dua atau lebih

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Asumsi yang digunakan dalam sistem mangsa-pemangsa. Dimisalkan suatu habitat dimana spesies mangsa dan pemangsa hidup

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Asumsi yang digunakan dalam sistem mangsa-pemangsa. Dimisalkan suatu habitat dimana spesies mangsa dan pemangsa hidup IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asumsi yang digunakan dalam sistem mangsa-pemangsa Dimisalkan suatu habitat dimana spesies mangsa dan pemangsa hidup berdampingan. Diasumsikan habitat ini dibagi menjadi dua

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR Oleh: Drs. M. Setijo Winarko, M.Si Drs. I Gusti Ngurah Rai Usadha, M.Si Subchan, Ph.D Drs. Kamiran, M.Si Noveria

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang akan digunakan pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan matematika, teorema Taylor, nilai eigen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens), biasa disebut hama WBC. Hama ini merupakan hama umum tanaman padi di Indonesia, yaitu sudah lebih dari 80 tahun menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN MODEL INTERAKSI PEMANGSA DAN MANGSA PADA DUA HABITAT YANG BERBEDA ADE NELVIA

ANALISIS KESTABILAN MODEL INTERAKSI PEMANGSA DAN MANGSA PADA DUA HABITAT YANG BERBEDA ADE NELVIA ANALISIS KESTABILAN MODEL INTERAKSI PEMANGSA DAN MANGSA PADA DUA HABITAT YANG BERBEDA ADE NELVIA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN HELICOVERPA ARMIGERA

ANALISIS KESTABILAN HELICOVERPA ARMIGERA ANALISIS KESTABILAN HELICOVERPA ARMIGERA (HAMA PENGGEREK BUAH) DAN PAEDERUS FUSCIPES SP (TOMCAT) DENGAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DAN RESPON FUNGSIONAL MICHAELIS MENTEN DENGAN METODE BEDA HINGGA MAJU SKRIPSI

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL MANGSA PEMANGSA PADA PENANGKAPAN IKAN YANG DIPENGARUHI OLEH KONSERVASI

ANALISIS MODEL MANGSA PEMANGSA PADA PENANGKAPAN IKAN YANG DIPENGARUHI OLEH KONSERVASI ANALISIS MODEL MANGSA PEMANGSA PADA PENANGKAPAN IKAN YANG DIPENGARUHI OLEH KONSERVASI Eka Yuniarti 1, Abadi 1 Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya Jurusan Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA MODIFIKASI MODEL PREDATOR-PREY LESLIE GOWER DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING TIPE II

BIFURKASI HOPF PADA MODIFIKASI MODEL PREDATOR-PREY LESLIE GOWER DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING TIPE II BIFURKASI HOPF PADA MODIFIKASI MODEL PREDATOR-PREY LESLIE GOWER DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING TIPE II skripsi disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika

Lebih terperinci

MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM

MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 011 ABSTRAK RIDWAN IDHAM. Model

Lebih terperinci

PEMODELAN DAN SIMULASI SISTEM DINAMIKA PROPAGASI POTENSIAL AKSI TERSTIMULASI ARUS EKSTERNAL SERTA SINKRONISASI CHAOTIK JARINGAN SYARAF MADA SANJAYA WS

PEMODELAN DAN SIMULASI SISTEM DINAMIKA PROPAGASI POTENSIAL AKSI TERSTIMULASI ARUS EKSTERNAL SERTA SINKRONISASI CHAOTIK JARINGAN SYARAF MADA SANJAYA WS PEMODELAN DAN SIMULASI SISTEM DINAMIKA PROPAGASI POTENSIAL AKSI TERSTIMULASI ARUS EKSTERNAL SERTA SINKRONISASI CHAOTIK JARINGAN SYARAF MADA SANJAYA WS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

KESTABILAN SISTEM PREDATOR-PREY LESLIE

KESTABILAN SISTEM PREDATOR-PREY LESLIE Jurnal Matematika Murni dan Terapan Vol. 3 No. Desember 009: 51-59 KESTABILAN SISTEM PREDATOR-PREY LESLIE Dewi Purnamasari, Faisal, Aisjah Juliani Noor Program Studi Matematika Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR TUGAS AKHIR ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR ( S TA B I L I T Y A N A LY S I S O F A P R E D AT O R - P R E Y M O D E L W I T H I N F E C T

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya.

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya. BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model penyebaran penyakit AIDS dengan adanya transmisi vertikal pada AIDS. Dari model matematika tersebut ditentukan titik setimbang dan kemudian dianalisis

Lebih terperinci

BIFURKASI TRANSKRITIKAL PADA SISTEM DINAMIK SKRIPSI

BIFURKASI TRANSKRITIKAL PADA SISTEM DINAMIK SKRIPSI BIFURKASI TRANSKRITIKAL PADA SISTEM DINAMIK SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

Lebih terperinci

MODEL PERSAMAAN DIFERENSIAL PADA INTERAKSI DUA POPULASI

MODEL PERSAMAAN DIFERENSIAL PADA INTERAKSI DUA POPULASI MODEL PERSAMAAN DIFERENSIAL PADA INTERAKSI DUA POPULASI Supandi, Saifan Sidiq Abdullah Fakultas PMIPATI Universitas PGRI Semarang hspandi@gmail..com Abstrak Persaingan kehidupan di alam dapat dikategorikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup lainnya. Interaksi yang terjadi antara individu dalam satu spesies atau

BAB I PENDAHULUAN. hidup lainnya. Interaksi yang terjadi antara individu dalam satu spesies atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap mahluk hidup dituntut untuk senantiasa berinteraksi dengan mahluk hidup lainnya. Interaksi yang terjadi antara individu dalam satu spesies atau interaksi antara

Lebih terperinci

RANCANGAN SOFTWARE UNTUK DESAIN KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI BERBASIS GRAPHICAL USER INTERFACE DICKY ARDIYANTO WIBOWO

RANCANGAN SOFTWARE UNTUK DESAIN KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI BERBASIS GRAPHICAL USER INTERFACE DICKY ARDIYANTO WIBOWO RANCANGAN SOFTWARE UNTUK DESAIN KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI BERBASIS GRAPHICAL USER INTERFACE DICKY ARDIYANTO WIBOWO DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KESTABILAN POPULASI MODEL LOTKA-VOLTERRA TIGA SPESIES DENGAN TITIK KESETIMBANGAN ABSTRACT

KESTABILAN POPULASI MODEL LOTKA-VOLTERRA TIGA SPESIES DENGAN TITIK KESETIMBANGAN ABSTRACT KESTABILAN POPULASI MODEL LOTKA-VOLTERRA TIGA SPESIES DENGAN TITIK KESETIMBANGAN Ritania Monica, Leli Deswita, Rolan Pane Mahasiswa Program Studi S Matematika Laboratorium Matematika Terapan, Jurusan Matematika

Lebih terperinci

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Pendahuluan Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat diferensial Kita akan membahas tentang Persamaan Diferensial Biasa yaitu

Lebih terperinci

Bab II Teori Pendukung

Bab II Teori Pendukung Bab II Teori Pendukung II.1 Sistem Autonomous Tinjau sistem persamaan differensial berikut, = dy = f(x, y), g(x, y), (2.1) dengan asumsi f dan g adalah fungsi kontinu yang mempunyai turunan yang kontinu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Banyak sekali masalah terapan dalam ilmu teknik, ilmu fisika, biologi, dan lain-lain yang telah dirumuskan dengan model matematika dalam bentuk pesamaan

Lebih terperinci

MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM

MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRAK RIDWAN IDHAM. Model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang begitu pesat mengakibatkan perkembangan pengetahuan tentang sistem dinamik juga pesat. Salah satu pengembangan sistem dinamik dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data A. Model Matematika BAB II KAJIAN TEORI Pemodelan matematika adalah proses representasi dan penjelasan dari permasalahan dunia real yang dinyatakan dalam pernyataan matematika (Widowati dan Sutimin, 2007:

Lebih terperinci

Penyelesaian Penempatan Kutub Umpan Balik Keluaran dengan Matriks Pseudo Invers

Penyelesaian Penempatan Kutub Umpan Balik Keluaran dengan Matriks Pseudo Invers Penyelesaian Penempatan Kutub Umpan Balik Keluaran dengan Matriks Pseudo Invers Agung Wicaksono, J2A605006, Jurusan Matematika, FSM UNDIP, Semarang, 2012 Abstrak: Metode matriks pseudo invers merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Chemostat atau disebut juga bioreaktor adalah suatu alat laboratorium (fermentor) untuk budidaya mikroorganisme[18]. Alat tersebut disusun sedemikian rupa

Lebih terperinci

Penentuan Bifurkasi Hopf Pada Predator Prey

Penentuan Bifurkasi Hopf Pada Predator Prey J. Math. and Its Appl. ISSN: 9-65X Vol., No., Nov 5, 5 Penentuan Bifurkasi Hopf Pada Predator Prey Dian Savitri Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya d savitri@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

Pengendalian Populasi Hama pada Model Mangsa-Pemangsa dengan Musuh Alaminya

Pengendalian Populasi Hama pada Model Mangsa-Pemangsa dengan Musuh Alaminya JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol 2, No 1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) 1 Pengendalian Populasi Hama pada Model Mangsa-Pemangsa dengan Musuh Alaminya Nabila Asyiqotur Rohmah, Erna Apriliani Jurusan

Lebih terperinci

Interaksi Antara Predator-Prey dengan Faktor Pemanen Prey

Interaksi Antara Predator-Prey dengan Faktor Pemanen Prey NATURALA Journal of Scientific Modeling & Computation Volume No. 03 58 ISSN 303035 Interaksi Antara PredatorPrey dengan Faktor Pemanen Prey Suzyanna Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Abstrak

Lebih terperinci

KESTABILAN MODEL BIOEKONOMI SISTEM MANGSA PEMANGSA SUMBER DAYA PERIKANAN DENGAN PEMANENAN PADA POPULASI PEMANGSA

KESTABILAN MODEL BIOEKONOMI SISTEM MANGSA PEMANGSA SUMBER DAYA PERIKANAN DENGAN PEMANENAN PADA POPULASI PEMANGSA KESTABILAN MODEL BIOEKONOMI SISTEM MANGSA PEMANGSA SUMBER DAYA PERIKANAN DENGAN PEMANENAN PADA POPULASI PEMANGSA Rustam Jurusan Matematika Universitas Sembilanbelas November Kolaka Email: rustam.math6@gmail.com/rustam.math@usn.ac.id

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk tesis ini, yang selanjutnya akan di perlukan pada Bab 3. Tinjauan pustaka yang dibahas adalah mengenai yang mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diberikan latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut Effendie

Lebih terperinci

Penyelesaian Penempatan Kutub Umpan Balik Keluaran dengan Matriks Pseudo Invers

Penyelesaian Penempatan Kutub Umpan Balik Keluaran dengan Matriks Pseudo Invers Penyelesaian Penempatan Kutub Umpan Balik Keluaran dengan Matriks Pseudo Invers Agung Wicaksono Program Studi Matematika Jurusan Matematika FSM UNDIP Onforest212@gmail.com Abstrak: Metode matriks pseudo

Lebih terperinci

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI Oleh: ALETTA ANGGRAINI KANDI G74102025 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BIFURKASI DARI HASIL MODIFIKASI SISTEM PERSAMAAN LORENZ

BIFURKASI DARI HASIL MODIFIKASI SISTEM PERSAMAAN LORENZ Jurnal Matematika Murni dan Terapan Vol. 6 No. Juni : - 8 BIFURKASI DARI HASIL MODIFIKASI SISTEM PERSAMAAN LOREN Faisal PS Matematika FMIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. Jend. A. ani km. 6 Kampus Unlam

Lebih terperinci

BIFURKASI PADA MODEL INTERAKASI TUMBUHAN DAN HERBIVORA IRMA SAHARA

BIFURKASI PADA MODEL INTERAKASI TUMBUHAN DAN HERBIVORA IRMA SAHARA i BIFURKASI PADA MODEL INTERAKASI TUMBUHAN DAN HERBIVORA IRMA SAHARA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 ii iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas beberapa poin tentang sistem dinamik, kestabilan sistem dinamik, serta konsep bifurkasi. A. Sistem Dinamik Secara umum Sistem dinamik didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi

Lebih terperinci

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan 4 3.2 Peralatan..(9) dimana,, dan.(10) substitusi persamaan (10) ke persamaan (9) maka diperoleh persamaan gelombang soliton DNA model PBD...(11) agar persamaan (11) dapat dipecahkan sehingga harus diterapkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan diferensial Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang di dalamnya terdapat turunan-turunan. Jika terdapat variabel bebas tunggal, turunannya merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS BIFURKASI PADA MODEL MATEMATIS PREDATOR PREY DENGAN DUA PREDATOR SKRIPSI

ANALISIS BIFURKASI PADA MODEL MATEMATIS PREDATOR PREY DENGAN DUA PREDATOR SKRIPSI ANALISIS BIFURKASI PADA MODEL MATEMATIS PREDATOR PREY DENGAN DUA PREDATOR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

SKEMA NUMERIK PERSAMAAN LESLIE GOWER DENGAN PEMANENAN

SKEMA NUMERIK PERSAMAAN LESLIE GOWER DENGAN PEMANENAN Skema Numerik ersamaan Leslie Gower dengan emanenan SKEMA NUMERIK ERSAMAAN LESLIE GOWER DENGAN EMANENAN Trija Fayeldi Jurusan endidikan Matematika Universitas Kanjuruhan Malang Email: trija_fayeldi@yahoocom

Lebih terperinci

BIFURKASI PITCHFORK PADA SISTEM DINAMIK DIMENSI-n SKRIPSI

BIFURKASI PITCHFORK PADA SISTEM DINAMIK DIMENSI-n SKRIPSI BIFURKASI PITCHFORK PADA SISTEM DINAMIK DIMENSI-n SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan Latar BelakangMasalah

BAB I Pendahuluan Latar BelakangMasalah BAB I Pendahuluan 1.1. Latar BelakangMasalah Model matematika merupakan representasi masalah dalam dunia nyata yang menggunakan bahasa matematika. Bahasa matematika yang digunakan dalam pemodelan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara organisme dengan organisme lain serta dengan lingkungannya. Pada dasarnya organisme tidak dapat

Lebih terperinci

ANALISIS TITIK EKUILIBRIUM DAN SOLUSI MODEL INTERAKSI PEMANGSA-MANGSA MENGGUNAKAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN

ANALISIS TITIK EKUILIBRIUM DAN SOLUSI MODEL INTERAKSI PEMANGSA-MANGSA MENGGUNAKAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN ANALISIS TITIK EKUILIBRIUM DAN SOLUSI MODEL INTERAKSI PEMANGSA-MANGSA MENGGUNAKAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN TESIS diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sistem dinamik merupakan formalisasi Matematika untuk menggambarkan konsep-konsep ilmiah dari proses deterministik yang bergantung terhadap waktu (Kuznetsov,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cerita dongeng mengenai serigala dengan kambing-kambing (sebagai gantinya domba) cukup familiar di telinga anak-anak. Dengan mengesampingkan aspek fiksi, rupanya

Lebih terperinci

Suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut : Misalkan suatu sistem persamaan diferensial (SPD) dinyatakan sebagai

Suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut : Misalkan suatu sistem persamaan diferensial (SPD) dinyatakan sebagai 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [ Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL) ] Jika suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut : x=ax+b,x(0)=x0,x~%"

Lebih terperinci

APLIKASI BASIS L 2 LAGUERRE PADA INTERAKSI TOLAK MENOLAK ANTARA ATOM TARGET HIDROGEN DAN POSITRON. Ade S. Dwitama

APLIKASI BASIS L 2 LAGUERRE PADA INTERAKSI TOLAK MENOLAK ANTARA ATOM TARGET HIDROGEN DAN POSITRON. Ade S. Dwitama APLIKASI BASIS L 2 LAGUERRE PADA INTERAKSI TOLAK MENOLAK ANTARA ATOM TARGET HIDROGEN DAN POSITRON Ade S. Dwitama PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA MODEL KOMPETISI DUA POPULASI YANG HIDUP BERSAMA DI TITIK KESETIMBANGAN TIDAK TERDEFINISI

ANALISIS DINAMIKA MODEL KOMPETISI DUA POPULASI YANG HIDUP BERSAMA DI TITIK KESETIMBANGAN TIDAK TERDEFINISI Buletin Ilmiah Mat. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 02, No. 3 (2013), hal 197 204. ANALISIS DINAMIKA MODEL KOMPETISI DUA POPULASI YANG HIDUP BERSAMA DI TITIK KESETIMBANGAN TIDAK TERDEFINISI Eka

Lebih terperinci

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

Friska Erlina, Yuni Yulida, Faisal

Friska Erlina, Yuni Yulida, Faisal MODEL MATEMATIKA KOMENSALISME ANTARA DUA SPESIES DENGAN SUMBER TERBATAS Friska Erlina, Yuni Yulida, Faisal Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. Jend. A. Yani. Km. 36

Lebih terperinci

KESTABILAN MODEL POPULASI SATU MANGSA-DUA PEMANGSA DENGAN PEMANENAN OPTIMAL PADA PEMANGSA

KESTABILAN MODEL POPULASI SATU MANGSA-DUA PEMANGSA DENGAN PEMANENAN OPTIMAL PADA PEMANGSA Seminar Nasional Matematika dan Aplikasinya 21 Oktober 2017 Surabaya Universitas Airlangga KESTABILAN MODEL POPULASI SATU MANGSA-DUA PEMANGSA DENGAN PEMANENAN OPTIMAL PADA PEMANGSA Muhammad Ikbal 1) Syamsuddin

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN PADA MODEL DUA MANGSA- SATU PEMANGSA DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING DAN PEMANENAN

ANALISIS KESTABILAN PADA MODEL DUA MANGSA- SATU PEMANGSA DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING DAN PEMANENAN Seminar Nasional Matematika dan Aplikasinya 21 Oktober 2017 Surabaya Universitas Airlangga ANALISIS KESTABILAN PADA MODEL DUA MANGSA- SATU PEMANGSA DENGAN FUNGSI RESPON HOLLING DAN PEMANENAN Armin 1) Syamsuddin

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. jika λ 1 < 0 dan λ 2 > 0, maka titik bersifat sadel. Nilai ( ) mengakibatkan. 4.1 Model SIR

IV PEMBAHASAN. jika λ 1 < 0 dan λ 2 > 0, maka titik bersifat sadel. Nilai ( ) mengakibatkan. 4.1 Model SIR 9 IV PEMBAHASAN 4.1 Model SIR 4.1.1 Titik Tetap Untuk mendapatkan titik tetap diperoleh dari dua persamaan singular an ) sehingga dari persamaan 2) diperoleh : - si + s = 0 9) si + )i = 0 didapat titik

Lebih terperinci

T 3 Model Dinamika Sel Tumor Dengan Terapi Pengobatan Menggunakan Virus Oncolytic

T 3 Model Dinamika Sel Tumor Dengan Terapi Pengobatan Menggunakan Virus Oncolytic T 3 Model Dinamika Sel Tumor Dengan Terapi Pengobatan Menggunakan Virus Oncolytic Oleh : Ali Kusnanto, Hikmah Rahmah, Endar H. Nugrahani Departemen Matematika FMIPA-IPB Email : alikusnanto@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

PEMANENAN OPTIMAL PADA MODEL REAKSI DINAMIK SISTEM MANGSA-PEMANGSA DENGAN TAHAPAN STRUKTUR. Yuliani, Marwan Sam

PEMANENAN OPTIMAL PADA MODEL REAKSI DINAMIK SISTEM MANGSA-PEMANGSA DENGAN TAHAPAN STRUKTUR. Yuliani, Marwan Sam Jurnal Dinamika, September 2015, halaman 25-38 ISSN 2087-7889 Vol. 06. No. 2 PEMANENAN OPTIMAL PADA MODEL REAKSI DINAMIK SISTEM MANGSA-PEMANGSA DENGAN TAHAPAN STRUKTUR Yuliani, Marwan Sam Program StudiMatematika,

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA HOLLING-TANNER TIPE II INTAN SELVYA

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA HOLLING-TANNER TIPE II INTAN SELVYA ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA HOLLING-TANNER TIPE II INTAN SELVYA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISA KESEIMBANGAN INTERAKSI POPULASI TERUMBU KARANG, SIPUT DRUPELLA DAN PREDATORNYA MELALUI PHASE PORTRAIT

ANALISA KESEIMBANGAN INTERAKSI POPULASI TERUMBU KARANG, SIPUT DRUPELLA DAN PREDATORNYA MELALUI PHASE PORTRAIT JIMT Vol. 11 No. 1 Juni 2014 (Hal. 82 93) Jurnal Ilmiah Matematika dan Terapan ISSN : 2450 766X ANALISA KESEIMBANGAN INTERAKSI POPULASI TERUMBU KARANG, SIPUT DRUPELLA DAN PREDATORNYA MELALUI PHASE PORTRAIT

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL MATEMATIKA TENTANG PENGARUH TERAPI GEN TERHADAP DINAMIKA PERTUMBUHAN SEL EFEKTOR DAN SEL TUMOR DALAM PENGOBATAN KANKER SKRIPSI

ANALISIS MODEL MATEMATIKA TENTANG PENGARUH TERAPI GEN TERHADAP DINAMIKA PERTUMBUHAN SEL EFEKTOR DAN SEL TUMOR DALAM PENGOBATAN KANKER SKRIPSI ANALISIS MODEL MATEMATIKA TENTANG PENGARUH TERAPI GEN TERHADAP DINAMIKA PERTUMBUHAN SEL EFEKTOR DAN SEL TUMOR DALAM PENGOBATAN KANKER SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

Oleh Nara Riatul Kasanah Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si

Oleh Nara Riatul Kasanah Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si Oleh Nara Riatul Kasanah 1209100079 Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PENGARUH SCAVENGER (Pemakan Bangkai) TERHADAP KESTABILAN POPULASI MANGSA PEMANGSA PADA MODEL LOTKA VOLTERRA ELI WAHYUNI

PENGARUH SCAVENGER (Pemakan Bangkai) TERHADAP KESTABILAN POPULASI MANGSA PEMANGSA PADA MODEL LOTKA VOLTERRA ELI WAHYUNI PENGARUH SCAVENGER (Pemakan Bangkai) TERHADAP KESTABILAN POPULASI MANGSA PEMANGSA PADA MODEL LOTKA VOLTERRA ELI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN MODEL RANTAI MAKANAN TIGA SPESIES DENGAN MANIFOLD PUSAT

ANALISIS KESTABILAN MODEL RANTAI MAKANAN TIGA SPESIES DENGAN MANIFOLD PUSAT ANALISIS KESTABILAN MODEL RANTAI MAKANAN TIGA SPESIES DENGAN MANIFOLD PUSAT Oleh: Novi Oktaria Ekawati G545 PROGRAM STUDI MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA HUTCHINSON DENGAN WAKTU TUNDA DAN PEMANENAN KONSTAN LILIS SAODAH

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA HUTCHINSON DENGAN WAKTU TUNDA DAN PEMANENAN KONSTAN LILIS SAODAH ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA HUTCHINSON DENGAN WAKTU TUNDA DAN PEMANENAN KONSTAN LILIS SAODAH DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN WAKTU TUNDA NI NYOMAN SURYANI

BIFURKASI HOPF MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN WAKTU TUNDA NI NYOMAN SURYANI BIFURKASI HOPF MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN WAKTU TUNDA NI NYOMAN SURYANI DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

DESKRIPSI PENGARUH PARAMETER TERHADAP KESTABILAN PERILAKU SISTEM BANDUL GANDA SEDERHANA

DESKRIPSI PENGARUH PARAMETER TERHADAP KESTABILAN PERILAKU SISTEM BANDUL GANDA SEDERHANA DESKRIPSI PENGARUH PARAMETER TERHADAP KESTABILAN PERILAKU SISTEM BANDUL GANDA SEDERHANA Thoufina Kurniyati Mahasiswa Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang E-mail:

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA MANGSA-PEMANGSA DENGAN SEBAGIAN MANGSA SAKIT

MODEL MATEMATIKA MANGSA-PEMANGSA DENGAN SEBAGIAN MANGSA SAKIT Vol 10 No 2, 2013 Jurnal Sains, Teknologi dan Industri MODEL MATEMATIKA MANGSA-PEMANGSA DENGAN SEBAGIAN MANGSA SAKIT Mohammad Soleh 1, Siti Kholipah 2 1,2 Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi

Lebih terperinci

MODEL PREDATOR-PREY MENGGUNAKAN RESPON FUNGSIONAL TIPE II DENGAN PREY BERSIMBIOSIS MUTUALISME

MODEL PREDATOR-PREY MENGGUNAKAN RESPON FUNGSIONAL TIPE II DENGAN PREY BERSIMBIOSIS MUTUALISME 1 JMP : Volume 5 Nomor 1, Juni 013, hal. 35-44 MODEL PREDATOR-PREY MENGGUNAKAN RESPON FUNGSIONAL TIPE II DENGAN PREY BERSIMBIOSIS MUTUALISME Ahmad Nasikhin dan Niken Larasati Prodi Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Titik Tetap Analisis titik tetap pada sistem persamaan diferensial sering digunakan untuk menentukan suatu solusi yang tidak berubah menurut waktu, yaitu pada saat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan diferensial Persamaan diferensial merupakan persamaan yang melibatkan turunanturunan dari fungsi yang tidak diketahui (Waluya, 2006). Contoh 2.1 : Diberikan persamaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian dari persamaan diferensial biasa (PDB) yaitu suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian dari persamaan diferensial biasa (PDB) yaitu suatu 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Biasa Pengertian dari persamaan diferensial biasa (PDB) yaitu suatu persamaan yang melibatkan turunan pertama atau lebih dari suatu fungsi yang telah

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIK MODEL PREDATOR-PREY PADA POPULASI ECENG GONDOK DENGAN ADANYA IKAN GRASS CARP DAN PEMANENAN

ANALISIS DINAMIK MODEL PREDATOR-PREY PADA POPULASI ECENG GONDOK DENGAN ADANYA IKAN GRASS CARP DAN PEMANENAN ANALISIS DINAMIK MODEL PREDATOR-PREY PADA POPULASI ECENG GONDOK DENGAN ADANYA IKAN GRASS CARP DAN PEMANENAN Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi

Lebih terperinci

PEMODELAN MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT VIRUS EBOLA DAN ANALISIS PENGARUH PARAMETER LAJU TRANSMISI TERHADAP PERILAKU DINAMISNYA TUGAS AKHIR SKRIPSI

PEMODELAN MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT VIRUS EBOLA DAN ANALISIS PENGARUH PARAMETER LAJU TRANSMISI TERHADAP PERILAKU DINAMISNYA TUGAS AKHIR SKRIPSI PEMODELAN MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT VIRUS EBOLA DAN ANALISIS PENGARUH PARAMETER LAJU TRANSMISI TERHADAP PERILAKU DINAMISNYA TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIK MODEL POPULASI MANGSA PEMANGSA DENGAN WILAYAH RESERVASI DAN PEMANENAN PEMANGSA Aidil Awal 1*), Syamsuddin Toaha 2), Khaeruddin 2)

ANALISIS DINAMIK MODEL POPULASI MANGSA PEMANGSA DENGAN WILAYAH RESERVASI DAN PEMANENAN PEMANGSA Aidil Awal 1*), Syamsuddin Toaha 2), Khaeruddin 2) ANALISIS DINAMIK MODEL POPULASI MANGSA PEMANGSA DENGAN WILAYAH RESERVASI DAN PEMANENAN PEMANGSA Aidil Awal 1*) Syamsuddin Toaha 2) Khaeruddin 2) Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR. Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5.

SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR. Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5. SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5. Lisa Risfana Sari Sistem Dinamik D Sistem dinamik adalah sistem yang dapat diketahui

Lebih terperinci

APLIKASI METODE TRANSFORMASI DIFERENSIAL PADA SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA PENDAHULUAN

APLIKASI METODE TRANSFORMASI DIFERENSIAL PADA SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA PENDAHULUAN APLIKASI METODE TRANSFORMASI DIFERENSIAL PADA SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA E. KHATIZAH 1, P. T. KARIMA 2, D. I. ASTUTI 2 Abstrak Metode transformasi diferensial merupakan salah satu metode pendekatan

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA HOLLING-TANNER TIPE II DENGAN MANGSA YANG TERLINDUNG DAN ADANYA PEMANENAN POPULASI EKA PUJIYANTI

ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA HOLLING-TANNER TIPE II DENGAN MANGSA YANG TERLINDUNG DAN ADANYA PEMANENAN POPULASI EKA PUJIYANTI ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA HOLLING-TANNER TIPE II DENGAN MANGSA YANG TERLINDUNG DAN ADANYA PEMANENAN POPULASI EKA PUJIYANTI DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci