BAB IV EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PADA PT. LJF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PADA PT. LJF"

Transkripsi

1 BAB IV EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL PADA PT. LJF IV.1. Evaluasi atas 4 ayat 2 Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Panghasilan menyebutkan bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan berupa pengalihan atas tanah dan/ atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, diatur dengan peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2002 jo KMK Nomor: 120/KMK.03/2002. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002 jo KMK Nomor: 120/KMK.03/2002, atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri dikenakan yang bersifat final dengan tarif 10%. Di dalam rincian biaya operasional yang terdapat dalam laporan laba rugi PT. LJF terdapat biaya sewa gedung kantor sebesar Rp yang merupakan obyek 4 ayat 2 karena biaya tersebut merupakan biaya sewa sehubungan dengan penggunaan tanah dan/ atau bangunan. Tetapi atas sewa gedung kantor tersebut telah dipotong 4 ayat 2 pada saat dilakukan kontrak dan pembayaran sewa pada bulan Maret 2004, yaitu sewa gedung kantor sebesar Rp untuk jangka waktu 2 tahun/ 24 bulan (Maret 2004-Februari 2006). Jumlah Rp yang ada pada laporan laba rugi adalah pengakuan pemakaian uang muka sewa gedung kantor yang 66

2 sudah diakui sebagai beban selama tahun 2005, sehingga atas jumlah tersebut tidak dilakukan pemotongan 4 ayat 2. Pada saat pembayaran sewa gedung kantor (Bulan Maret 2004), jurnalnya: Sewa dibayar dimuka (uang muka sewa) Hutang 4 ayat Bank Pada saat pembayaran 4 ayat 2 (paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya), jurnalnya: Hutang 4 ayat Bank Pada tahun 2005, hanya mencatat uang muka sewa yang sudah terpakai dan diakui sebagai biaya/ beban, sehingga tidak dilakukan lagi pemotongan 4 ayat 2. Jurnalnya hanya: sewa gedung kantor Uang muka sewa gedung kantor Sedangkan di dalam rincian harga pokok produksi terdapat biaya sewa lokasi syuting sebesar Rp yang belum dipotong 4 ayat 2. Hal ini disebabkan karena pemilik tempat tidak mau dipotong 4 ayat 2 dan sebagian besar sewa lokasi untuk syuting besarnya tidak terlalu material. Misalnya, hanya sewa lokasi untuk tempat parkir pada saat syuting yang biaya sewanya tidak terlalu besar. Karena banyak kasus seperti itulah maka jumlah biaya sewa lokasi syuting banyak yang tidak dipotong 4 ayat 2. Penyebab lain yaitu karena yang melakukan pembayaran untuk sewa lokasi syuting biasanya tim produksi lapangan yang tidak 67

3 mengerti tentang pajak. Setelah biaya produksi harian dikeluarkan, barulah laporannya diberikan ke bagian keuangan. Atas permasalahan ini, penulis memberikan saran agar pimpinan tim produksi sebaiknya dibekali pengetahuan tentang pajak sehingga dalam melakukan penawaran kontrak sewa tempat/ lokasi syuting sudah memasukkan kewajiban pemotongan Pasal 4 ayat 2, atau memilih lokasi syuting yang dimiliki oleh PT, bukan perorangan, sehingga pemiliknya mau dipotong 4 ayat 2. Tabel IV.1 sewa sehubungan dengan penggunaan tanah dan atau bangunan No Keterangan 1 Sewa Gedung Kantor 2 Sewa Lokasi Syuting Jumlah Obyek Pajak Sebelum Evaluasi Tarif yang dipotong Jumlah Obyek Pajak Setelah Evaluasi Tarif yang dipotong % % (telah dipotong masa Maret 2004) % %

4 IV.2. Analisis Laporan Keuangan Dalam Kaitannya Dengan Kepatuhan Perhitungan Pada PT. LJF Dalam laporan keuangan perusahaan, penulis menganalisis dan menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan kepatuhan perhitungan, yaitu: 1. Hutang lain-lain yang dimiliki perusahaan Setelah penulis melakukan analisis dan wawancara kepada bagian akuntansi, ditemukan fakta bahwa hutang lain-lain yang dimiliki perusahaan ternyata merupakan hutang kepada pemilik atau pemegang saham. Menurut SE-005/92 Dirjen Pajak, ada beberapa kriteria mengenai hutang pemegang saham dalam kaitannya dengan, yaitu hutang kepada pemegang saham tidak dikenakan jika: Perusahaan yang diberikan pinjaman oleh pemegang saham, dalam kondisi keuangan yang sulit. Perusahaan yang diberikan pinjaman oleh pemegang saham, modal telah seluruhnya disetor. Pemegang saham yang berbentuk badan hukum harus tidak dalam keadaan merugi. Semua data didukung oleh bukti yang kuat. Dan, menurut Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992, pinjaman perusahaan tanpa bunga dari pemegang sahamnya dapat dianggap wajar dan tidak perlu dilakukan koreksi apabila: Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain. 69

5 Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya. Apabila salah satu dari ke empat unsur diatas tidak terpenuhi, maka atas pinjaman tersebut dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar. Namun menurut Pengadilan Pajak, persyaratan untuk bisa diterimanya pinjaman tanpa bunga sesuai S-165/PJ.312/1992 tidak dapat diterima. Jika memang benar kenyataannya pinjaman tersebut tanpa bunga, maka tidak harus dikoreksi. Pada PT. LJF, pinjaman dari pemilik atau pemegang saham memang tidak dikenakan bunga dan dana pinjaman yang diberikan memang berasal dari pemilik dan bukan berasal dari pihak lain, namun pada kenyataannya perusahaan tidak dalam kondisi keuangan yang sulit sehingga tidak memenuhi salah satu syarat bahwa pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga. Oleh karena itu, seharusnya perusahaan dikenakan bunga pinjaman menurut tingkat bunga yang wajar. Ilustrasi perhitungannya: Hutang lain-lain PT. LJF = Rp Asumsi tingkat suku bunga pinjaman = 12% per tahun Besarnya beban bunga pinjaman = Rp yang harus dipotong = 15% x Rp = Rp

6 2. Hutang Bank Setelah penulis melakukan analisis laporan keuangan perusahaan, penulis menemukan kemungkinan terdapatnya penyertaan modal secara terselubung dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai hutang. Dalam hal ini hutang kepada bank yang diperkirakan berasal dari pemilik. Dalam arti, pemilik mungkin memiliki deposito yang cukup besar pada bank yang bersangkutan dan deposito tersebut dijadikan sebagai jaminan hutang bagi perusahaan (metode back to back). Penulis mengambil kesimpulan ini karena beberapa penilaian, yaitu: Perusahaan tidak memiliki tanah dan bangunan kantor permanen, tetapi perusahaan menyewa gedung kantor dari pihak lain. Perusahaan tidak memiliki asset lain yang dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh pinjaman dari bank, tetapi perusahaan mampu mendapatkan pinjaman dari bank dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan kedua hal tersebut, penulis mencoba melakukan analisis dan memberikan penilaian terhadap perilaku perusahaan dalam melaksanakan kepatuhannya terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Pihak fikus berwenang untuk menentukan hutang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan hutang yang lazim terjadi antara pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasarkan data/indikasi lainnya. Hubungan istimewa dianggap ada apabila wajib pajak memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25 % atau lebih pada wajib pajak lain (dalam hal ini, pemilik perusahaan jelas memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan 71

7 yang dimilikinya karena penyertaan modalnya lebih dari 25%). Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak. Berdasarkan ketentuan diatas, apabila hutang bank tersebut memang benar merupakan penyertaan modal terselubung dari pemilik perusahaan, maka perlakuan perpajakan terhadap kasus pinjam meminjam antara perusahaan dengan pemiliknya dalam hal pencatatannya pada buku besar adalah sebagai berikut: Bagi PT. LJF sebagai pihak yang meminjam, maka jurnal biaya bunga pinjaman itu dicatat sebagai: bunga pinjaman xxxx Hutang kepada pemilik (85%) Hutang (15%) xxxx xxxx Bagi pemilik perusahaan sebagai pihak yang meminjamkan uang, maka jurnal dari perolehan bunga pinjaman itu adalah Piutang bunga PT. LJF (85%) Kredit pajak (15%) xxxx xxxx Penghasilan bunga xxxx Namun jika terdapat dokumen-dokumen yang menyatakan bahwa perusahaan memang sedang mengalami kondisi keuangan yang sulit dan permohonan pinjaman kepada bank telah ditolak akibat tidak dapat diajukan jaminan yang disyaratkan, sehingga satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan modal kerja itu ialah 72

8 memperolehnya dari pinjaman pemilik atau perusahaan induk (jika ada), maka pinjaman modal kerja tersebut bukan merupakan modal kerja terselubung, dan bunga pinjaman yang dibayar oleh perusahaan merupakan biaya yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan (deductible expense pasal 6 UU No. 17 tahun 2000) dan tidak terkena pemotongan baik pada saat terhutangnya atau dibayarkannya. Bagi perusahaan sebagai pihak yang meminjam, maka jurnal biaya bunga pinjaman dicatat: bunga pinjaman xxxx Hutang kepada pemilik xxxx Bagi pemilik sebagai pihak yang meminjamkan uang, mencatat junal: Piutang bunga pinjaman xxxx Penghasilan bunga xxxx Untuk menghindar dari koreksi fiskal yang dilakukan oleh fiskus dalam hal bunga pinjaman dalam hubungan istimewa, wajib pajak badan / perusahaan induk / pemilik perusahaan biasanya mendepositokan uangnya ke suatu bank, dan wajib pajak badan / perusahaan anak memperoleh pinjaman dari bank yang bersangkutan dengan jaminan deposito tersebut. Karena antara bank dan perusahaan anak tersebut tidak ada hubungan istimewa, maka dianggap bahwa pemeriksa pajak tidak akan melakukan koreksi fiskal positif terhadap bunga pinjaman yang terutang. 73

9 IV.3. Evaluasi Atas Proses Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan PajakPenghasilan Pasal Untuk mengevaluasi proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pada PT. LJF, tahapan-tahapan yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi setiap pos-pos biaya yang menjadi objek Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk mengelompokkan kembali isi dari setiap pos biaya. Hal ini disebabkan karena isi dari pos-pos biaya tidak semuanya merupakan obyek, oleh karena itu harus ditelusuri ke dalam buku besarnya. Pada tahapan ini penulis membuat kertas kerja pendukung untuk membuat rincian dari pos-pos biaya tersebut. Tabel IV.2 Identifikasi dari Setiap Pos Operasional Pos-pos Operasional Gaji & Sebelum Evaluasi Setelah Evaluasi Selisih Keterangan Obyek / Non Obyek Obyek THR Driver Fee Pasal Transport Non Obyek Entertaiment Iuran,Sumbangan Non Obyek Non Obyek 74

10 Perizinan Non Obyek Bahan Bakar Kendaraan Non Obyek Konsultan Konsultan Obyek Pasal Pos & Meterai Non Obyek Listrik Non Obyek Air Non Obyek Peny. Bangunan Peny. Peralatan Kantor Peny. Kendaraan Kantor Alat Tulis Kantor Perlengkapan Kantor Sparepart Kendaraan Non Obyek Non Obyek Non Obyek Non Obyek Non Obyek Obyek 75

11 Service Pasal Kendaraan Perlengkapan Listrik Non Obyek Perlengkapan Komputer Service Komputer Obyek Pasal Lain-lain Kantor Administrasi Bank Rumah Tangga Sewa Gedung Kantor Non Obyek Non Obyek Non Obyek Obyek Pasal 4 (2) Telepon & Internet Internet Obyek Pasal Fotocopy Non Obyek Percetakan Non Obyek Parkir & Tol Non Obyek 76

12 Pengobatan Asuransi Kendaraan Perjalanan Dinas Non Obyek Non Obyek Non Obyek Iklan Perancangan Obyek Pasal Iklan Keperluan Editing Pinjaman Bank Non Obyek Non Obyek Total Tabel IV.3 Identifikasi dari Harga Pokok Produksi Pos-pos Dari Harga Pokok Produksi Gaji, Upah, Bonus, Honor Kru & Artis Sebelum Evaluasi Setelah Evaluasi Selisih Keterangan Obyek / Non Obyek Obyek Non Pasal 21 Obyek 77

13 Editing (Sewa Ruang Editing) Sewa Lighting Set Belum Dipotong Belum Dipotong Obyek Obyek Royalty Pemakaian Lagu Obyek Sewa Alat Shooting Sewa Audio, TV monitor Sewa Baby Pod, Floid Headtry Sewa Genset, Diesel Belum Dipotong Belum Dipotong Belum Dipotong Belum Dipotong Obyek Obyek Obyek Obyek 78

14 Sewa Dedolight Obyek Sewa Kamera, filter kamera Obyek Sewa Kendaraan Belum Dipotong Obyek Sewa Kinoflo Obyek Sewa Lampu HMI Obyek Sewa Lensa & Lensa Super Wide Sewa Metbox, Wearless Obyek Obyek Hunting Lokasi Non Obyek 79

15 Bensin/ Solar Non Obyek Fotocopy Skenario Non Obyek Telepon, Wartel, Handphone Non Obyek keperluan pembantu umum Non Obyek Obatobatan / PPPK Non Obyek Sewa Lokasi Obyek 80

16 Syuting 4 (2) Pembelian Kaset Betacam Non Obyek Snack, Kopi, Teh, Gula Non Obyek Sewa Sound System Obyek Pembelian Pita Film Non Obyek Pembelian Accu Light / Baterai Non Obyek Tol & Parkir Non Obyek 81

17 Alat Tulis Non Obyek Sewa Kostum Pemain Obyek Promosi Non Obyek Jasa Catering Obyek Total Mengadakan evaluasi pos-pos biaya yang merupakan obyek yang sudah dipotong dan belum dipotong Penulis mengelompokkan lagi setiap biaya yang merupakan obyek baik dari rincian biaya operasional maupun dari rincian harga pokok produksi dan 82

18 menentukan besar tarif nya untuk setiap biaya sehubungan dengan penggunaan jasa yang dipotong. Tabel IV.4 yang merupakan Obyek dari Harga Pokok Produksi Pos-pos Dari Harga Pokok Produksi Editing (Sewa Ruang Editing) Sewa Lighting Set Royalty Pemakaian Lagu Sewa Alat Shooting Sewa Audio, TV monitor Sewa Baby Pod, Floid Headtry Sewa Genset, Diesel Jumlah Obyek Pajak Sebelum Evaluasi Tarif yang telah dipotong Jumlah Obyek Pajak Setelah Evaluasi Selisih Keterangan % Belum Dipotong % Belum dipotong % % Belum dipotong % Belum Dipotong % Belum Dipotong % Belum Dipotong 83

19 Sewa Dedolight Sewa Kamera, filter kamera Sewa Kendaraan Sewa Kinoflo Sewa Lampu HMI Sewa Lensa & Lensa Super Wide Sewa Metbox, Wearless Sewa Sound System Sewa Kostum Pemain Jasa Catering % % % Belum Dipotong % % % % % Belum Dipotong % Belum Dipotong % Belum Dipotong Total

20 Tabel IV.5 yang Merupakan Obyek dari Rincian Operasional Pos-pos Dari Operasional Jasa Service Kendaraan Jasa Service Komputer Jasa Pemakaian Internet Jasa Driver Fee Jasa Perancangan / Desain Iklan Jasa Konsultan Jumlah Obyek Pajak Sebelum Evaluasi Tarif yang telah dipotong Jumlah Obyek Pajak Setelah Evaluasi Selisih Keterangan - 6% Belum Dipotong - 6% Belum dipotong - 6% Belum Dipotong - 6% Belum dipotong - 6% Belum Dipotong % Sudah Dipotong Total

21 Tabel IV.6 Pengelompokkan yang Telah Dipotong Akun-akun Jumlah Perkiraan Tarif yang Obyek Pajak Penghasilan (%) dipotong Netto Dari Rincian Operasional Konsultan % 15% Dari Rincian Harga Pokok Produksi Editing % 15% Sewa Lighting Set % 15% Royalty Pemakaian Lagu % Sewa Alat Shooting % 15% Sewa Audio, TV monitor % 15% Sewa Baby Pod, Floid Headtry % 15% Sewa Genset % 15% Sewa Dedolight % 15% Sewa Kamera, filter kamera % 15% Sewa Kendaraan % 15% Sewa Kinoflo % 15% Sewa Lampu HMI % 15% Sewa Lensa & Lensa Super % 15% Wide Sewa Metbox, Wearless % 15% Total

22 Tabel IV.7 Pengelompokkan yang Belum Dipotong Akun-akun Jumlah Perkiraan Tarif yang Obyek Pajak Penghasilan harus Netto dipotong Dari Rincian Operasional Driver Fee % 15% Jasa Service Komputer % 15% Jasa Pemakaian Internet % 15% Jasa Service Kendaraan % 15% Jasa Perancangan / Desain Iklan % 15% Dari Rincian Harga Pokok Produksi Editing % 15% Sewa Lighting Set % 15% Sewa Alat Shooting % 15% Sewa Audio, TV monitor % 15% Sewa Baby Pod, Floid % 15% Headtry Sewa Genset % 15% Sewa Kendaraan % 15% Sewa Sound System % 15% Sewa Kostum Pemain % 15% Jasa Catering % 15% Dari Hutang Lain-lain 87

23 Beban Bunga Pinjaman % Total yang Belum Dipotong dan Disetor 3. Memeriksa bukti pemotongan dan SSP atas Pada tahapan ini penulis melakukan pemeriksaan bukti potong. Penulis memeriksa apakah bukti potong yang dibuat sudah benar dengan melihat cara pengisian bukti potong. Penulis juga mencocokkan nama, alamat, dan NPWP wajib pajak yang dipotong, jenis jasa yang dipotong, tarifnya, serta tanggal pembuatan bukti potong. Penulis menjabarkannya dengan membuat rekapan atas bukti pemotongan dan SSP atas dalam kertas kerja pendukung (Tabel IV.8). Tabel IV.8 Rekap bukti potong Bulan Tanggal Bukti Potong Nomor Bukti Bukti Potong yang dipotong Januari 31 Januari //I/05 012//I/ Februari 28 Februari //II/05-024//II/ Maret 31 Maret //III/05 039//III/ /LJF/05 April 30 April //IV/05 050//IV/ /LJF/05 88

24 Mei 31 Mei //V/05 054//V/ /LJF/05 005/LJF/05 Juni 30 Juni //VI/05 064//VI/ /LJF/05 Juli 31 Juli ///VII/ //VII/05, 007/LJF/05 Agustus 31 Agustus //VIII/ //VIII/05, 008/LJF/05 September 30 September //IX/05 134//IX/ /LJF/05 Oktober 31 Oktober //X/05 170//X/ /LJF/05 November 30 November //XI/05 186//XI/ /LJF/05 Desember 31 Desember //XII/ //XII/05, 012/LJF/05 013/LJF/05 Total Membuat kertas kerja pada setiap masalah yang ditemukan, khususnya pada pos-pos biaya untuk membandingkan yang telah disetor oleh perusahaan dengan yang terutang setelah dilakukan evaluasi oleh penulis. 89

25 5. Memeriksa tanggal pada surat setoran pajak (SSP) atas dibandingkan dengan bukti potongnya. Pengecekkan ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah pajak yang terutang pada suatu masa pajak telah disetor ke kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 6. Pemeriksaan Bukti Penerimaan Surat, Surat Setoran Pajak dan SPT Masa. Pengecekkan ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah yang terutang pada suatu masa pajak telah disetorkan dan dilaporkan tepat waktu ke Kantor Pelayanan Pajak. Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, penulis menemukan informasi tambahan dalam kaitannya dengan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal adalah: 1. Pada rincian biaya operasional perusahaan, terdapat biaya perbaikan dan pemeliharaan yang meliputi akun-akun biaya sebagai berikut: Tabel IV.9 Jasa yang Digunakan Dehubungan dengan Perbaikan dan Pemeliharaan No. Keterangan Jumlah Perkiraan Penghasilan Netto Tarif Pasal 1. Service Komputer % 15% 90

26 yang termasuk dalam jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin dan peralatan 2. Service Kendaraan % 15% yang termasuk dalam jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan alat-alat transportasi 2. Pada rincian biaya operasional perusahaan, terdapat biaya jasa professional. Tabel IV.10 Jasa yang Digunakan Sehubungan dengan Jasa Professional No. Keterangan Jumlah Perkiraan Penghasilan Netto Tarif Pasal 1. konsultan yang % 15% termasuk dalam jasa akuntan dan pembukuan. 3. Pada rincian biaya operasional perusahaan, terdapat biaya-biaya sehubungan dengan penggunaan jasa-jasa lain yang termasuk dalam obyek. 91

27 Tabel IV.11 -biaya Sehubungan dengan Jasa-jasa Lain yang Digunakan oleh Perusahaan No. Keterangan Jumlah Perkiraan Penghasilan Netto Tarif Pasal 1. Driver Fee yang % 15% termasuk dalam jasa rekruitmen / penyedia tenaga kerja 2. Internet yang % 15% termasuk jasa pemanfaatan di bidang teknologi informasi. 3. perancangan / desain % 15% iklan yang termasuk dalam jasa perancang / desain Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa permasalahan dalam perusahaan dalam kaitannya dengan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal adalah: 1. Adanya biaya-biaya yang seharusnya merupakan obyek dan dipotong tetapi dalam kenyataannya tidak dipotong. 92

28 Setelah penulis melakukan evaluasi terhadap biaya-biaya operasional dan rincian harga pokok produksi yang terdapat dalam laporan laba rugi perusahaan, penulis menemukan adanya biaya-biaya yang merupakan objek yang tidak dipotong. Hal tersebut terjadi karena bagian keuangan dan bagian akuntansi dalam PT. LJF kurang teliti dalam mengidentifikasi apakah suatu biaya merupakan objek atau bukan. -biaya yang berasal dari biaya operasional tersebut adalah: a) Driver Fee driver fee adalah pembayaran kepada jasa penyedia tenaga kerja (PT. Duta Mitra Solusindo) dalam hal penyediaan tenaga driver untuk PT.LJF. Atas jasa tersebut dikenakan dengan tarif 6%, tetapi perusahaan belum melakukan pemotongan atas jasa tersebut. b) Service Kendaraan sevice kendaraan merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk perbaikan dan pemeliharaan kendaraan yang dimiliki perusahaan. ini awalnya masuk dalam biaya sparepart kendaraan karena bagian keuangan tidak meneliti terlebih dahulu ketika melakukan pembayaran atas biaya tersebut sehingga tidak mengetahui bahwa di dalam biaya penggantian sparepart kendaraan terdapat biaya pemasangan sparepart dan service kendaraan. Atas jasa tersebut seharusnya dikenakan dengan tarif sebesar 6%, tetapi perusahaan belum melakukan pemotongan atas pembayaran jasa tersebut. c) Service Komputer sevice komputer merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk perbaikan dan pemeliharaan komputer. ini awalnya masuk dalam biaya 93

29 pelengkapan komputer. Setelah diteliti ternyata di dalam biaya tersebut terdapat biaya service komputer yang di invoice-nya tergabung dengan pembelian perlengkapan komputer lainnya. Atas jasa tersebut seharusnya dikenakan Pasal dengan tarif sebesar 6%, tetapi perusahaan belum melakukan pemotongan atas pembayaran jasa tersebut. d) Internet tersebut merupakan biaya berlangganan internet yang seharusnya dikenakan dengan tarif sebesar 6%. Namun karena bagian keuangan dalam perusahaan tidak mngetahui bahwa biaya tersebut dikenakan, maka perusahaan belum melakukan pemotongan atas pembayaran jasa tersebut. e) Perancangan / Desain Iklan perancangan / desain iklan merupakan biaya perancangan iklan film yang dimuat di media cetak. Atas jasa tersebut seharusnya dikenakan dengan tarif sebesar 6%, tetapi perusahaan belum melakukan pemotongan atas pembayaran jasa tersebut. Penyebab dari permasalahan diatas adalah karena bagian keuanngan serta bagian akuntansi dan pajak dalam perusahaan tidak mengetahui bahwa di dalam biaya operasional peusahaan terdapat biaya driver fee, biaya service kendaraan, biaya service computer, biaya internet, dan biaya perancangan / desain iklan. Mereka tidak mengidentifikasikan dengan benar bahwa biaya-biaya tersebut termasuk dalam obyek. Mereka juga tidak mendapatkan informasi mengenai peraturanperaturan perpajakan yang baru dan kurang memahami isi dari peraturan-peraturan tersebut sehingga tidak tahu biaya-biaya apa saja yang harus dipotong. 94

30 Hal ini mengakibatkan biaya-biaya tersebut diatas tidak dikenakan pemotongan sehingga jumlah yang telah disetorkan selama tahun 2005 lebih kecil dari jumlah yang seharusnya terutang. Atas kewajiban pajak yang tidak dipotong dan disetorkan ini, apabila dilakukan pemeriksaan oleh fiskus maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 2% per bulan maksimal 24 bulan terhitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar. Atas pemasalahan yang ada, penulis merekomendasikan agar bagian keuangan serta bagian akuntansi dan pajak pada PT. LJF lebih teliti dalam mengidentifikasi dan mengelompokkan biaya-biaya yang termasuk dalam obyek Pasal. Selain itu, harus selalu meng-update pengetahuan mereka mengenai peraturan-peraturan perpajakan yang terbaru serta memahami isi dari peraturanperaturan tersebut sehingga bagian keuangan serta bagian akunatansi dan pajak tidak hanya tahu peraturan, tetapi juga dapat menerapkan peraturan pajak tersebut dengan benar sehingga PT. LJF dapat memenuhi kewjiban pajaknya dengan baik. Dari pihak perusahaan sendiri, PT. LJF harus memperbaiki SPTnya dan membuat SPT pembetulan. Menurut UU No. 16 tahun 2000, pasal 8 ayat 1, wajib pajak dapat membetulkan SPT yang telah dilapor dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jendral Pajak. Dan, dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri SPT-nya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT 95

31 sampai dengan tanggal pembayaran karena SPT pembetulan tersebut (UU No. 16 tahun 2000 pasal 8 ayat 2). Di bawah ini merupakan perhitungan terhadap biaya-biaya sehubungan dengan penggunaan jasa rekruitmen / penyedia tenaga kerja, jasa service kendaraan, jasa service komputer, jasa pemakaian internet, dan jasa perancangan/ desain iklan. Tabel IV.12 Perhitungan atas Jasa yang Belum Dilakukan Pemotongan dari Rincian Operasional Jenis Jasa Jumlah Perkiraan Tarif Terutang Jasa Service Penghasilan Pasal Sebelum Setelah Netto Evaluasi Evaluasi % 15% Kendaraan Jasa Service % 15% Komputer Jasa Pemakaian % 15% Internet Jasa Driver Fee % 15% Jasa Perancangan % 15% / Desain Iklan Total

32 -biaya yang berasal dari rincian harga pokok produksi yang juga belum dilakukan pemotongan adalah: a) Sewa Sound System Adalah biaya sewa sound system untuk syuting di lapangan. ini seharusnya dipotong dengan tarif 6%. Namun karena kelalaian dan ketidakmengertian tim produksi lapangan untuk memotong atas biaya sewa tersebut maka biaya tersebut belum dilakukan pemotongan. Penyebab lain yaitu karena pembayarannya dilakukan secara langsung dan tidak ada kontrak perjanjiannya sehingga bagian keuangan juga tidak dapat mengontrol pengeluaran biaya tersebut dan melakukan pemotongan. b) Sewa Kostum Pemain Adalah biaya sewa kostum pemain pada saat syuting di lapangan yang terdiri dari sewa kostum artis dan figuran. ini seharusnya dipotong dengan tarif 6%. Namun karena kelalaian dan ketidakmengertian tim produksi lapangan untuk memotong atas biaya sewa tersebut maka biaya tersebut belum dilakukan pemotongan. Penyebab lain yaitu karena pembayarannya dilakukan secara langsung dan tidak ada kontrak perjanjiannya sehingga bagian keuangan juga tidak dapat mengontrol pengeluaran biaya tersebut dan melakukan pemotongan. c) Jasa Catering Adalah biaya makan kru dan artis pada saat syuting. Tim produksi menggunakan jasa catering untuk penyediaan makanan untuk kru dan artis serta untuk keperluan syuting. Misalnya, di dalam sinetron / film terdapat adegan makan atau minum. ini seharusnya dikenakan dengan tarif 1.5%. Namun karena 97

33 kelalaian dan ketidakmengertian tim produksi lapangan untuk memotong atas biaya sewa tersebut maka biaya tersebut belum dilakukan pemotongan. Penyebab lain yaitu karena pembayarannya dilakukan secara langsung dan tidak ada kontrak perjanjiannya sehingga bagian keuangan juga tidak dapat mengontrol pengeluaran biaya tersebut dan melakukan pemotongan. Tabel IV.13 Perhitungan atas Jasa yang Belum Dilakukan Pemotong dari Rincian HPP Jenis Jasa Jumlah Perkiraan Tarif Terutang Jasa Sewa Sound Penghasilan Pasal Sebelum Setelah % 15% System Jasa Sewa % 15% Kostum Pemain Jasa Catering % 15% Total Adanya hutang yang belum disetorkan ke kas Negara dalam jumlah yang cukup material. Kondisi yang ada di perusahaan sekarang yaitu terdapat yang belum disetorkan ke kas Negara walaupun masa penyetoran pajak telah lewat. Berdasarkan hasil evaluasi yang penulis lakukan dengan membandingkan jumlah yang seharusnya disetor dengan yang telah disetor oleh perusahaan, maka di dapat kewajiban yang belum disetor sebesar Rp 98

34 Jumlah ini berasal dari biaya-biaya operasional perusahaan dan biaya dari rincian harga pokok produksi yang seharusnya dipotong namun belum dipotong, sehingga atas kalalaian tersebut menyebabkan perusahaan memiliki hutang. Disamping itu juga masih ada biaya-biaya yang termasuk dalam harga pokok produksi film yang tidak dipotong. Hal ini disebabkan karena bagian produksi lapangan kurang mengerti tentang perpajakan dan tidak adanya kontrak sewa menyewa yang menyatakan adanya pemotongan. Contoh kasus yang terjadi dalam PT. LJF, bagian produksi lapangan diberi uang oleh bagian keuangan untuk melakukan produksi harian (syuting), dan pada saat pelaksanaan syuting tersebut, bagian produksi lapangan menyewa kendaraan (truk) untuk mengangkut peralatan ke lokasi syuting. Atas transaksi sewa menyewa tersebut, pembayarannya langsung dilakukan pada saat itu juga dan tidak dilakukan pemotongan dengan tarif sebesar 3%. Tim produksi lapangan hanya memasukkan biaya sewa truk tersebut sebagai biaya transport dan mencatatnya dalam form biaya harian. Demikian pula untuk biaya sewa sound system, sewa kostum pemain, dan lain-lain yang belum dipotong. Berdasarkan UU No. 17 tahun 2000, atas setiap yang terutang pada suatu masa pajak harus disetorkan ke kas Negara paling lambat tanggal 10 setelah masa terutangnya pajak tersebut. Penyebabnya yaitu yang pertama, karena bagian keuangan serta bagian akuntansi dan pajak dalam perusahaan tidak mengetahui bahwa ada biaya-biaya yang merupakan obyek namun tidak dipotong, yang kedua, karena ada kemungkinan bahwa tidak semua supplier mau dipotong 99

35 Pasal dengan alasan pemotongan pajak tersebut akan mengurangi penghasilan mereka sehingga dalam negosiasi biasanya mereka akan mengajukan harga netto, dan yang ketiga, transaksi yang merupakan objek dapat dilakukan oleh bagian manapun di perusahaan, khususnya bagian produksi yang berkaitan dengan biaya-biaya yang termasuk dalam harga pokok produksi film sehingga seringkali dalam negosiasi mengabaikan adanya pemotongan walaupun merupakan objek. Dengan banyaknya pembayaran yang tidak dilakukan pemotongan pajak penghasilan, maka banyak yang tidak disetor ke kas Negara. Hal ini juga disebabkan karena perusahaan tidak pernah melakukan pengecekkan ke biayanya karena belum adanya suatu metode yang tepat. Hutang pajak yang tidak disetorkan tersebut mengakibatkan denda administrasi berupa bunga 2% sebulan yang harus dibayar oleh perusahaan pada saat pemeriksaan pajak dengan menerbitkan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar). Atas permasalahan yang ada maka penulis memberikan rekomendasi suatu format rekonsiliasi untuk mengecek yang terutang setiap bulan, sehingga yang disetorkan tidak hanya atas yang telah dilakukan pemotongan dan pemungutan tetapi atas yang terutang secara keseluruhan. 3. Dalam surat perjanjian kerja sama tidak memasukkan kewajiban. Setelah penulis mengadakan pengecekkan terhadap dokumen perjanjian kerjasama maka ditemui kondisi perusahaan yang ada sekarang tidak memasukkan kewajiban pada kontrak kerja tersebut. Dalam surat perjanjian 100

36 kerjasama atau sewa menyewa tersebut hanya terdapat jangka waktu sewa, jenis barang yang disewa, pihak-pihak yang menyewa dan jumlah sewa yang harus dibayar. Kriteria yang seharusnya adalah apabila suatu transaksi merupakan objek, maka dalam kontrak kerjasama harus disebutkan agar pada saat pembayaran, pihak penerima penghasilan bersedia untuk dipotong. Penyebabnya yaitu banyak perusahaan pemberi jasa yang tidak mau penghasilannya dipotong. Contohnya, di PT. LJF sebagian besar pihak pemberi jasa merupakan orang pribadi yang tidak mengerti pajak sehingga mereka tidak mau dipotong (misal: sewa truk pengangkut alat-alat syuting, sewa lampu,dll). Penyebab lain yaitu transaksi dalam perusahaan dapat dilakukan oleh bagian manapun dalam organisasi sehingga mereka tidak mengetahui bahwa transaksi tersebut merupakan obyek. Khususnya bagian produksi film yang berada di lapangan. Ketika mereka membutuhkan truk pengangkut untuk mengangkut alat-alat shooting, mereka akan langsung menyewa tanpa adanya perjanjian sewa menyewa yang memasukkan kewajiban pemotongan atas penghasilan yang diterimanya. Hal tersebut mengakibatkan bagian keuangan dalam perusahaan membayarkan tagihan tanpa pemotongan sehingga mengakibatkan kewajiban tidak disetorkan ke kas Negara. Atas kewajiban pajak yang tidak disetor ini, pada saat pemeriksaan pajak akan diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% per bulan maksimal 24 bulan. Hal ini akan sangat merugikan perusahaan sebagai akibat dari tidak melakukan kewajiban ini. 101

37 Sehubungan dengan permasalahan ini maka penulis akan memberikan rekomendasi yaitu perusahaan harus membuat suatu prosedur kerja yaitu sebelum menandatangani perjanjian kerjasama maka terlebih dahulu suatu departemen / bagian harus mengkonfirmasi hal tersebut ke bagian akuntansi dan pajak untuk mengidentifikasikan apakah transaksi yang akan dilakukan dengan surat perjanjian kerjasama tersebut merupakan obyek. Apabila perusahaan pemberi jasa tidak mau penghasilannya dipotong maka perusahaan harus membuat kesepakatan dengan pihak pemberi jasa untuk menggross-up nilai transaksinya. Dengan metode gross-up ini, penghasilan pihak pemberi jasa / supplier tidak berkurang dan perusahaan tidak harus menanggung tersebut. Hal ini disebabkan karena tersebut dapat dibiayakan. Metode groos-up adalah metode yang menaikkan jumlah / harga transaksi sebesar jumlah pajak yang harus dipotong dari transaksi tersebut. Rumusnya adalah : Jumlah nilai transaksi (100% - tarif ) Contoh : Nilai transaksi Rp ,00, tarif 7.5%, maka nilai setelah di gross-up adalah Rp ,00 = Rp ,41 (100% - 7.5%) Metode ini merupakan salah satu cara yang diterapkan oleh PT. LJF sebagai cara alternatif apabila ada supplier yang tidak mau penghasilannya dipotong Pasal. PT. LJF telah menerapkan metode gross-up dalam transaksi-transaksinya 102

38 yang berhubungan dengan pemotongan dan pemungutan sehingga PT. LJF dapat melakukan penghematan pajak. Berikut ini adalah perbandingan dari perhitungan biaya-biaya operasional dan biaya-biaya yang berhubungan dengan harga pokok produksi apabila PT. LJF melakukan metode gross-up dan tidak melakukan metode gross-up. Tabel IV.14 Perbandingan Sebelum dan Setelah di Gross-up No Jenis Jumlah sebelum di Gross up Jumlah setelah di Gross up Dari Operasional Perusahaan 1. Konsultan Rp ,00 Rp ,00 2. Service Kendaraan Rp ,00 Rp ,00 3. Service Komputer Rp ,00 Rp ,00 4. Internet Rp ,00 Rp ,00 5. Driver Fee Rp ,00 Rp ,00 6. Perancang Iklan Rp ,00 Rp ,00 Dari Rincian Harga Pokok Produksi 1. Editing Rp ,00 Rp ,00 2. Sewa Lighting Set Rp ,00 Rp ,00 3. Royalty Pemakaian Lagu Rp ,00 Rp ,00 4. Sewa Alat Shooting Rp ,00 Rp ,00 103

39 5. Sewa Audio,tv monitor Rp ,00 Rp ,00 6. Sewa Baby Pod, Floid Headtry Rp ,00 Rp ,00 7. Sewa Genset Rp ,00 Rp ,00 8. Sewa Dedolight Rp ,00 Rp ,00 9. Sewa Kendaraan Rp ,00 Rp , Sewa Kinoflo Rp ,00 Rp , Sewa Lampu HMI Rp ,00 Rp , Sewa Lensa dan lensa super wide Rp ,00 Rp , Sewa Metbox, wearless Rp ,00 Rp , Sewa Kamera, filter kamera Rp ,00 Rp ,00 Total Keseluruhan Rp ,00 Rp ,00 Setelah dilakukan perhitungan, maka terdapat selisih sebesar Rp (Rp Rp ). Selisih tersebut merupakan beban yang dapat dibiayakan sehingga PT. LJF dapat melakukan penghematan pajak dalam menghitung 29-nya. 4. Adanya pemotongan dengan dasar dan tarif yang tidak tepat. Berdasarkan pengecekkan ke dokumen perusahaan yaitu bukti pemotongan ditemukan adanya pemotongan dengan tarif dan dasar pemotongan yang tidak tepat. Contohnya, untuk sewa yang berhubungan dengan penggunaan harta dan sewa kendaraan. Pada PT. LJF ditemukan adanya biaya sewa 104

40 kendaraan yang pembayarannya disatukan dengan sewa alat shooting. Karena suppliernya adalah satu pihak yang sama, maka supplier tersebut hanya menerbitkan satu invoice untuk dua pembayaran jasa yang berbeda. Untuk sewa alat dan sewa kendaraan, jumlahnya langsung digabung dan tidak dirinci sehingga bagian akuntansi pada PT. LJF langsung menerbitkan bukti potong dengan memasukkan jumlah pembayaran tersebut ke dalam kategori sewa yang sehubungan dengan penggunaan harta dengan tarif 6%. Hal ini tentu merugikan bagi pihak supplier karena PT. LJF memotong terlalu besar. Seharusnya untuk sewa kendaraan, tarif adalah 3%. Namun ini bukan mutlak kesalahan perusahaan (PT. LJF) karena supplier tidak merinci jumlah pembayaran untuk dua jenis jasa yang dikenakan dua tarif yang berbeda. Hal dan kriteria yang harus diperhatikan dalam melakukan pemotongan dan pemungutan adalah harus sesuai dengan ketentuan UU No.17 tahun 2000 pasal. Sebelum melakukan pemotongan, terlebih dahulu harus diidentifikasi obyek tersebut. Apakah objek pajak tersebut merupakan ojek, termasuk jenis jasa apa serta berapa tarifnya. Terjadinya kesalahan dalam penetapan dasar dan tarif pemotongan disebabkan identifikasi obyek tidak berdasarkan peraturan perpajakan yang terbaru dan keteledoran dari supplier maupun pihak perusahaan. Akibat yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut yaitu terjadinya kurang / lebih pemotongan. Kelebihan pemotongan menyebabkan kerugian bagi wajib pajak, sedangkan kekurangan pemotongan akan menimbulkan denda administrasi berupa sanksi bunga sebesar 2% per bulan. 105

41 Saran dan rekomendasi penulis untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu setiap pemotongan harus berpedoman pada UU No.17 tahun 2000 dan membaca penjelasan dari UU tersebut serta peraturan perpajakan yang terbaru mengenai. 5. Adanya penyetoran yang melampaui tanggal 10. Kondisi perusahaan berdasarkan pengecekkan dokumen, yaitu surat setoran pajak (SSP) dibandingkan dengan bukti pemotongannya, didapat adanya keterlambatan penyetoran. Kriterianya yaitu menurut UU parpajakan, atas yang terutang harus dilakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari masa terutangnya tersebut. Penyebab dari keterlambatan penyetoran adalah banyaknya hari libur yang dekat dengan tanggal pembayaran pajak sehingga yang akan disetor menjadi tertunda. Seringkali tanggal 10 jatuh pada hari minggu atau hari libur Nasional. Hal ini membuat jangka waktu penyetoran pajak menjadi lebih sempit karena perusahaan harus menyetorkan pajak yang telah dipotong sebelum tanggal 10. Bagian akuntansi biasanya disibukkan dengan pekerjaan rutin bulanan mereka sehingga lupa untuk menghitung pajak yang harus disetor ke kas Negara dan tidak disadari sudah mendekati tanggal 10. Ketika hal ini terjadi, penyetoran pajak yang telah dipotong menjadi tertunda. Selain itu, pada saat hari terakhir pembayaran, banyak orang yang mengantri di bank yang telah ditunjuk atau di KPP untuk membayar atau menyetorkan pajak yang telah mereka potong. Pada saat antrian yang 106

42 padat tersebut seringkali terjadi gangguan sistem komputer pada bank sehingga menjadi off-line. Akibatnya, atas yang terlambat disetor tersebut dikenakan denda sebesar 2% per bulan dihitung dari masa pajak seharusnya sampai dengan tanggal surat setoran pajak (SSP). Tabel IV.15 Rekap Tanggal Pembayaran yang Tercantum dalam SSP No. Masa Pajak Tanggal Setor Keterangan Denda Bunga Pasal 19 (1) atau Pasal 19 (2) 1. Januari Februari 2005 Tepat waktu - 2. Februari Maret 2005 Terlambat setor 2% x Rp = Rp ,00 3. Maret April 2005 Tepat waktu - 4. April Mei 2005 Terlambat setor 2% x Rp ,00 = Rp ,00 5. Mei Juni 2005 Tepat waktu - 6. Juni Juli 2005 Tepat waktu - 7. Juli Agustus 2005 Tepat waktu - 8. Agustus September 2005 Terlambat setor 9. September Oktober 2005 Terlambat setor 2% x Rp = Rp % x Rp = Rp Oktober November 2005 Terlambat 2% x Rp = 107

43 setor Rp November Desember 2005 Tepat waktu Desember Januari 2006 Tepat waktu - Untuk permasalahan ini, penulis merekomendasikan agar bagian akuntansi dan pajak memperhitungkan hari libur yang dekat dengan tanggal pembayaran Pasal sehingga besarnya pajak yang telah dipotong dan harus disetorkan telah diketahui lebih awal dan proses permintaan dana untuk pembayaran juga dapat dilakukan lebih awal. 6. Adanya pelaporan yang melampaui tanggal 20. Kondisi yang ada sekarang di perusahaan berdasarkan pengecekkan antara bukti penerimaan surat dari KPP dengan bukti pemotongan yaitu terdapat pelaporan yang lewat dari tanggal 20. Kriteria yang seharusnya yaitu sesuai dengan UU Perpajakan, yaitu pasal 7 KUP. Setiap yang terutang dan telah disetor ke kas Negara harus dilaporkan ke KPP setempat paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak terutang. Keterlambatan pelaporan ini disebabkan karena data-data dari pihak yang dikenakan pemotongan belum lengkap. Contoh: data alamat dan NPWP, sehingga bagian akuntansi dan pajak di perusahaan pemotong (PT. LJF) belum bisa membuat bukti potong. Karena banyak supplier yang belum memberikan data secara lengkap, maka pembuatan bukti potong menjadi sangat banyak yang tertunda sehingga pada saat akan melaporkan SPT Masa, 108

44 bukti potongnya belum lengkap. Hal ini menyebabkan pelaporan pajak menjadi terlambat. Keterlambatan pelaporan ini mengakibatkan perusahaan membayar denda administrasi sebesar Rp ,00 atas keterlambatan setiap pelaporan. Denda ini akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Tabel IV.16 Rekap Tanggal Pelaporan SPT Masa yang Tercantum dalam Bukti Penerimaan Surat No. Masa Pajak Tanggal Lapor Keterangan Denda Bunga Pasal 7 KUP 1. Januari Februari 2005 Tepat waktu - 2. Februari Maret 2005 Tepat waktu - 3. Maret April 2005 Tepat waktu - 4. April Mei 2005 Tepat waktu - 5. Mei Juni 2005 Tepat waktu - 6. Juni Juli 2005 Tepat waktu - 7. Juli Agustus 2005 Tepat waktu - 8. Agustus September 2005 Tepat waktu - 9. September Oktober 2005 Tepat waktu Oktober November 2005 Terlambat Rp Lapor 11. November Desember 2005 Tepat waktu 12. Desember Januari 2006 Tepat waktu - 109

45 Untuk permasalahan ini, penulis merekomendasikan agar semua data pihakpihak yang dipotong dilengkapi pada saat pemotongan tersebut dilakukan. 7. Evaluasi keterlambatan pemotongan atas Konsultan Keadaan yang ada di perusahaan saat ini adalah perusahaan telah melakukan keterlambatan pemotongan atas biaya konsultan untuk bulan Januari dan Februari Seharusnya perusahaan langsung melakukan pemotongan Pasal pada saat pembayaran karena saat terutangnya adalah pada saat pembayaran dilakukan. Tetapi perusahaan baru membuat bukti potong dan melakukan pemotongan untuk biaya konsultan bulan Januari dan Februari pada bulan Mei. Hal ini disebabkan karena bagian akuntansi dan pajak lalai untuk membuat bukti potong dan memotong pada saat pembayaran fee konsultan bulan Januari dan Februari. Mereka baru memotongnya pada bulan Mei. Atas keterlambatan ini menyebabkan kurang bayar pajak untuk masa Januari dan Februari dan perusahaan dapat dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Tabel IV.17 Perhitungan Keterlambatan Pemotongan + Sanksi Masa Pajak Sebelum Evaluasi Penghasilan Bruto yang Telah Disetor Setelah Evaluasi Penghasilan Bruto yang seharusnya Disetor Selisih Kurang Bayar Sanksi Bunga 110

46 Januari % x x 4 bulan = Februari % x x 3 bulan = Total Adanya yang dipotong salah tahun Dalam melakukan usahanya, perusahaan mengunakan jasa sewa kamera dari PT. Taman Kampung Artis. Jasa sewa kamera termasuk dalam sewa sehubungan dengan penggunaan harta dengan tarif 6%. Kondisi yang terjadi, perusahaan telah melakukan pemotongan atas pembayaran jasa tersebut. Tetapi setelah penulis melakukan evaluasi dengan menelusuri surat kontrak dan invoice serta bukti pembayarannya, ternyata pembayaran atas jasa sewa kamera tersebut dilakukan bulan November Namun dalam Surat Setoran Pajak yang ada, perusahaan baru memotong tersebut pada bulan Januari Perusahaan melakukan kesalahan atas pemotongan jasa sewa kamera tersebut sebesar Rp Menurut undang-undang perpajakan, biaya atas sewa harus dipotong pajak pada saat pembayaran telah dilakukan. Permasalahan ini disebabkan karena bagian akuntansi dan pajak kurang teliti dan tidak memeriksa invoice pembayaran atas jasa sewa tersebut sehingga baru memotong biaya sewa tersebut pada masa pajak Januari

47 Tabel IV.18 Jasa yang Dipotong Salah Tahun Jasa-jasa Jasa sewa sehubungan Setelah Evaluasi Perkiraan Tarif terutang Penghasilan tahun 2004 Netto % 15% dengan penggunaan harta (sewa kamera) Keterangan: yang terutang pada bulan Januari 2005 Rp yang dipotong salah tahun Rp yang seharusnya terutang bulan Januari 2005 Rp Setelah penulis melakukan evaluasi dari setiap pos-pos biaya yang ada dalam perusahaan dan telah melakukan tahap-tahap pemeriksaan terhadap dokumendokumen dan bukti pendukung yang berkaitan dengan serta membandingkan SPT Masa PT. LJF yang telah dilapor dan hasil evaluasi penulis, masih ditemukan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi dalam kaitannya dengan pemotongan, penyetoran dan pelaporan yang telah dilakukan dalam perusahaan, yaitu masih ada yang kurang bayar sebesar Rp Perhitungan secara rincinya dapat dilihat pada Tabel IV.19 Rincian Perhitungan pada PT.LJF 112

48 Atas pajak yang kurang bayar tersebut, apabila dilakukan pemeriksaan oleh fiskus dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) pada tahun 2007, maka PT. LJF dapat dikenakan sanksi dengan perhitungan sebagai berikut: Kurang Bayar (Pokok) = Rp Sanksi Administrasi bunga 2% x Rp x 24 bulan = Rp Jumlah yang harus dibayar oleh PT. LJF = Rp Sanksi administrasi dihitung dengan asumsi maksimal 24 bulan karena dihitung dari masa pajak tahun Dalam UU No. 16 tahun 2000 pasal 19 ayat 1, Atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% untuk seluruh masa yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat tagihan pajak. Selain sanksi administrasi yang harus ditanggung, atas permasalahan yang terjadi diatas, PT. LJF dapat dikenakan sanksi pasal 38 UU No. 16 tahun 2000 atau sanksi pasal 39 UU No. 16 tahun 2000 yang berbunyi: Pasal 38 Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling tinggi 2 kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. 113

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, PT APP sebagai pemberi kerja wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan

Lebih terperinci

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE BAB IV EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE IV.1. Evaluasi Jenis-jenis Biaya yang Terdapat dalam Laporan Keuangan Perusahaan Penulis

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA

ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA Wilianto Taufik, Yunita Anwar Universitas Bina Nusantara Jl. K. H. Syahdan No.9 Kemanggisan/Palmerah Jakarta Barat 11480 Phone

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23 PT. AMK merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa ekspor impor barang. Kewajiban perpajakan PT.

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN PEMOTONGAN DAN PENYETORAN SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN PASAL 26 TAHUN (STUDI KASUS: PERUM PERURI)

ANALISIS PENERAPAN PEMOTONGAN DAN PENYETORAN SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN PASAL 26 TAHUN (STUDI KASUS: PERUM PERURI) ANALISIS PENERAPAN PEMOTONGAN DAN PENYETORAN SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN PASAL 26 TAHUN 2010-2012 (STUDI KASUS: PERUM PERURI) Anggraini Larasati, Hanggoro Pamungkas Universitas Bina

Lebih terperinci

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA IV. 1 Penerapan Akuntansi dalam Perhitungan Laba Kena Pajak dan Pajak yang Terutang Laba adalah selisih

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata BAB IV PEMBAHASAN Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata dan beberapa kebijakan akuntansi dan fiskal dalam menjalankan kegiatan bisnisnya yang perlu diketahui agar

Lebih terperinci

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk BAB IV EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk meningkatkan efisiensi perusahaan pada PT SNI, penulis akan menguraikan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN Pada prinsipnya terdapat perbedaan perhitungan penghasilan dan beban menurut Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri Nomor Pokok Wajib Pajak

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri Nomor Pokok Wajib Pajak BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri PT Cipta Sukma Mandiri merupakan wajib pajak badan sesuai yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 36 Pasal 2 ayat 1

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban Pajak pada PT. Malta Printindo. Perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi atas pemotongan, penyetoran, dan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi atas pemotongan, penyetoran, dan BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 SIMPULAN Berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi atas pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 pada PT Bank CNT tbk dan peraturan perpajakan yang mendasarinya,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN 39 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laporan Laba Rugi Fiskal Dalam Menentukan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Pada PT. XYZ PT. XYZ menyajikan informasi yang menyangkut hasil kegiatan operasinya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 72 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kesiapan Wajib Pajak saat dilakukan Pemeriksaan Pajak 1. Kelengkapan dokumen umum, dokumen perpajakan dan dokumen pembukuan. Kelengkapan dokumen umum, dokumen

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI BAB IV PEMBAHASAN IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI Di dalam prakteknya, ada perbedaan perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan menurut ketentuan peraturan perpajakan.

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS Pada laporan rugi laba yang telah dibuat oleh PT TGS yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2003 menunjukkan adanya unsur penjualan yang telah berhasil

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT.

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. UB Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Penghitungan Pajak yang Dilakukan oleh PT Semar Jaya Indah Tahun

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Penghitungan Pajak yang Dilakukan oleh PT Semar Jaya Indah Tahun BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Penghitungan Pajak yang Dilakukan oleh PT Semar Jaya Indah Tahun 2015 PT. Semar Jaya Indah salah satu klien Badan Usaha Kantor Konsultan Pajak Darriono Prajetno. PT. Semar Jaya Indah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisa Pelaksanaan Pemotongan / Pemungutan PPh Pasal 23 PT DEF

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisa Pelaksanaan Pemotongan / Pemungutan PPh Pasal 23 PT DEF BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Pelaksanaan Pemotongan / Pemungutan PPh Pasal 23 PT DEF Selama Tahun 2016 PT.DEF merupakan anak perusahaan yang bergerak dalam bidang Garmen dan bukan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO.

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO. BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO. IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak PT Artha Daya Coalindo Perbedaan antara perlakuan akuntansi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Akuntansi PPN PT. Biro ASRI PT. Biro ASRI dalam menjalankan operasi perusahaan selain berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak Pertambahan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk BAB IV PEMBAHASAN Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk meningkatkan efisien PT.KBI, penulis akan menguraikan perencanaan pajak yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penghasilan badan yang dilakukan oleh PT Bank MAJU, maka dengan hasil penelitian

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penghasilan badan yang dilakukan oleh PT Bank MAJU, maka dengan hasil penelitian BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi atas pelaksanaan perencanaan pajak penghasilan badan yang dilakukan oleh PT Bank MAJU, maka dengan hasil penelitian ini

Lebih terperinci

Apakah Pemilik Indekos Harus Bayar Pajak Juga?

Apakah Pemilik Indekos Harus Bayar Pajak Juga? Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Apakah Pemilik Indekos Harus Bayar Pajak Juga? Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi: Account Representative Aspek Perpajakan bagi Pemilik Indekos Panduan

Lebih terperinci

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian BAB 4 Pembahasan Hasil Penelitian 4.1 Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikomsumsi di dalam daerah

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia

BAB IV PEMBAHASAN. komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Teknik dan Prosedur Pemeriksaan Laporan Keuangan yang disiapkan oleh PT. Dipta Adimulia adalah pencatatan komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia

Lebih terperinci

Abstrak. Kata Kunci: Eksposur Pajak; Pajak Ditanggung Perusahaan; PPh pasal 21; PPh Pasal 23. Abstract

Abstrak. Kata Kunci: Eksposur Pajak; Pajak Ditanggung Perusahaan; PPh pasal 21; PPh Pasal 23. Abstract 1 Pelaksanaan Pajak dan Exposur Pajak, Studi Kasus pada PT ABC Tahun 2012 Melinda Ardhias Debby Fitriasari Program Studi Ekstensi Akuntansi Fakultas Ekonomi Abstrak Skripsi ini menganalisis pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM IV.1. Evaluasi Pelaksanaan PPh Badan PT LAM Sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk IV.1 Laba Rugi Secara Komersial Keuntungan (laba) atau kerugian adalah salah satu tolak ukur

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Beban dan Pendapatan Perusahaan Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan koreksi fiskal atas laporan laba rugi perusahaan sesuai dengan undang-undang

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI LEMIGAS. IV. 1 Objek Penelitian dan Evaluasi mekanisme PPN di LEMIGAS

BAB IV EVALUASI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI LEMIGAS. IV. 1 Objek Penelitian dan Evaluasi mekanisme PPN di LEMIGAS BAB IV EVALUASI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI LEMIGAS IV. 1 Objek Penelitian dan Evaluasi mekanisme PPN di LEMIGAS LEMIGAS merupakan Instansi Pemerintah yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, LEMIGAS

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang yakni barang IT yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI

BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI Pajak merupakan salah satu beban yang sangat material. Oleh karena itu, manajemen pajak harus dilakukan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisa, pembahasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh penulis untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis BAB IV PEMBAHASAN Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis melakukan pemeriksaan pajak dengan menguji dan memeriksa ketaatan perpajakan, serta kebenaran jumlah dalam SPT

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT NANO INFORMATION TECHNOLOGY

BAB IV EVALUASI PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT NANO INFORMATION TECHNOLOGY BAB IV EVALUASI PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT NANO INFORMATION TECHNOLOGY Pada bab ini penulis akan mengevaluasi atas keadaan perpajakan seperti yang telah diuraikan dalam Bab 3. Evaluasi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. hewan) yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. hewan) yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. Biotek Indonesia adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi (obatobatan hewan) yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS. PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.

BAB IV PEMBAHASAN. Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS. PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Selain mendapat imbalan atas jasa pelaksanaan konstruksi yang diberikan, PT

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam kedaan siap dipakai atau dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan,

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK

BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK PENGHASILAN PASAL 25/29 MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PERENCANAAN PAJAK

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara laporan keuangan komersial dengan peraturan perpajakan. Hal

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Ketentuan Formal Pajak Pertambahan Nilai PT TRT 4.2 Analisis Faktur Pajak

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Ketentuan Formal Pajak Pertambahan Nilai PT TRT 4.2 Analisis Faktur Pajak BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Ketentuan Formal Pajak Pertambahan Nilai PT TRT PT. TRT adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang produsen bahan kimia yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi alat laboratorium, reagen kimia klinik dan seluruh perlengkapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Singkat PT. Kencana Megah Logistik PT. Kencana Megah Logistik didirikan oleh Ibu Anggrek Meice pada tahun 2005 dan mulai menjalankan bisnis

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Perhitungan Laba Rugi Secara Komersial Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Evaluasi atas Perencanaan Pajak Penghasilan Pada PT.Cipta Dermato.

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Evaluasi atas Perencanaan Pajak Penghasilan Pada PT.Cipta Dermato. BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Evaluasi atas Perencanaan Pajak Penghasilan Pada PT.Cipta Dermato. Selain dalam pelaksanaan pembukuan yang sudah menggunakan komputer, dalam pembayaran atas pajak-pajak

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. maksud agar perkembangan usaha pada akhir periode tertentu dapat diketahui.

BAB IV PEMBAHASAN. maksud agar perkembangan usaha pada akhir periode tertentu dapat diketahui. BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Penyajian Data Agar penyajian data dapat diketahui setiap kurun waktu (periode akuntansi) tertentu perusahaan perlu menyusun laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan adlah tahap

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS BAB IV PEMBAHASAN IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS Semua badan merupakan Wajib Pajak tanpa terkecuali, mulai saat didirikan atau saat melakukan kegiatan usaha atau memperoleh

Lebih terperinci

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT) 10a. 10b.

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT) 10a. 10b. 77 DEPARTEMEN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERHATIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN h SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN h ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA

BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA PERUSAHAAN PT. RKA 4.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perhitungan Pajak

Lebih terperinci

PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL

PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL Oleh: Amanita Novi Yushita, SE amanitanovi@uny.ac.id *Makalah ini disampaikan pada Program Pengabdian pada Masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. bergerak di bidang teknologi Access Management yang dapat memudahkan konsumen

BAB IV PEMBAHASAN. bergerak di bidang teknologi Access Management yang dapat memudahkan konsumen BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai merupakan salah satu perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang teknologi Access Management yang dapat memudahkan konsumen dalam melakukan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Badan Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara perlakuan akuntansi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Daftar Pajak Penghasilan Pasal 23 yang Dipotong PT.PLN (Persero) Area Garut Periode Tahun 2010

BAB IV ANALISIS. Daftar Pajak Penghasilan Pasal 23 yang Dipotong PT.PLN (Persero) Area Garut Periode Tahun 2010 BAB IV ANALISIS 4.1 Pelaksanaan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas Jasa Teknik pada PT PLN (Persero) Area Garut Sebelum membahas lebih lanjut mengenai

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS Perbedaan antara perlakuan akuntansi dan pajak dalam pengakuan pendapatan dan beban akan mengakibatkan perbedaan laba

Lebih terperinci

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT BAB IV EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT Setelah dievaluasi biaya dan penghasilan dalam laporan laba rugi komersial terdapat perbedaan pengakuan biaya dan

Lebih terperinci

BAB IV. Analisis Hasil Dan Pembahasan

BAB IV. Analisis Hasil Dan Pembahasan 65 BAB IV Analisis Hasil Dan Pembahasan A. Koreksi Fiskal Dalam Penentuan Pajak Penghasilan Badan PT. Anugerah Kemas Indah. Telah diketahui bahwa Laporan Keuangan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

Lebih terperinci

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut : 1. Menyampaikan Surat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Laporan Keuangan Fiskal Sebagai Dasar Penghitungan Penghasilan

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Laporan Keuangan Fiskal Sebagai Dasar Penghitungan Penghasilan 42 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laporan Keuangan Fiskal Sebagai Dasar Penghitungan Penghasilan Wajib Pajak Badan PT. MBPK. Laporan laba rugi yang dibuat oleh PT. MBPK bertujuan untuk informasi

Lebih terperinci

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO IV.I Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. PRIMA SINDO Di dalam prakteknya, ada perbedaan perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. PP (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. PT. PP (Persero) Tbk menyediakan berbagai jasa dan solusi

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN. atau saat melakukan kegiatan usaha atau memperoleh penghasilan. Tidak

BAB 4 PEMBAHASAN. atau saat melakukan kegiatan usaha atau memperoleh penghasilan. Tidak BAB 4 PEMBAHASAN Semua badan merupakan Wajib Pajak tanpa terkecuali, mulai saat didirikan atau saat melakukan kegiatan usaha atau memperoleh penghasilan. Tidak dipersoalkan apakah badan tersebut mengalami

Lebih terperinci

EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PADA PT. LJF

EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PADA PT. LJF EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PADA PT. LJF ABSTRAK Pajak merupakan prioritas utama bagi pendapatan negara bila dibandngkan dengan pendapatan yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN. karyawannya dan PT. pelangi elasindo menanggung semua PPh Pasal 21 yang

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN. karyawannya dan PT. pelangi elasindo menanggung semua PPh Pasal 21 yang BAB IV PEMBAHASAN IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN Sesuai dengan ketentuan UU PPh No. 17 tahun 2000, setiap pemberi kerja wajib untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan atas

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai. IV.1.1 Analisis Perolehan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan)

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai. IV.1.1 Analisis Perolehan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan) BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai IV.1.1 Analisis Perolehan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan) Pajak Masukan adalah pajak yang harus dibayarkan oleh Pengusaha Kena Pajak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Implementasi SKB CV. MMC Sehubungan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 CV. MMC merupakan perusahaan dalam bidang jasa konsultan bisnis yang berdiri pada tahun 2005. Perusahaan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan BAB IV PEMBAHASAN Dalam evaluasi penerapan dan perbandingan Pajak Pertambahan Nilai sebelum dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan penelusuran atas laporan laba rugi, neraca,

Lebih terperinci

Surat Ketetapan Pajak. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Surat Ketetapan Pajak. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Surat Ketetapan Pajak Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Surat ketetapan pajak UU Nomor 28 tahun 2007 Surat ketetapan meliputi Surat ketetapan pajak kurang bayar Surat ketetapan pajak

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung Dalam menghitung laporan laba rugi perusahaan, terdapat perbedaan antara laporan laba rugi berdasarkan peraturan yang sesuai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASILDAN PEMBAHASAN. 1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan PT. Kuei Meng Chain Indonesia

BAB IV ANALISIS HASILDAN PEMBAHASAN. 1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan PT. Kuei Meng Chain Indonesia BAB IV ANALISIS HASILDAN PEMBAHASAN A. Penyajian dan Analisis Data 1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan PT. Kuei Meng Chain Indonesia Mengajukan Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PAJAK BERDASARKAN REVIEW REKONSILIASI FISKAL PADA PT JP

PERENCANAAN PAJAK BERDASARKAN REVIEW REKONSILIASI FISKAL PADA PT JP PERENCANAAN PAJAK BERDASARKAN REVIEW REKONSILIASI FISKAL PADA PT JP Diah Soleha, Gen Norman Thomas, SE., Ak., MM ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi biaya yang boleh dan tidak boleh

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Evaluasi Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. Mejoi merupakan perusahaan distributor yang bergerak dalam

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Evaluasi Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. Mejoi merupakan perusahaan distributor yang bergerak dalam BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 4.1. Evaluasi Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. Mejoi merupakan perusahaan distributor yang bergerak dalam bidang nutrisi anak yang telah dikukuhkan pada tanggal

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Pada bagian ini penulis akan mengamati kasus yang penulis dapatkan selama menjalankan Praktek Kerja Lapangan di KKP Anton dan Rekan yaitu tentang pemeriksaan pajak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP) Dasar Hukum : No. Tahun Undang2 6 1983 Perubahan 9 1994 16 2000 28 2007 16 2009 SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) SPT Surat yg oleh

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN BAB 4 HASIL DAN BAHASAN 4.1 Pemeriksaan Pajak atas SPT WP Badan Salah satu kewajiban setiap Wajib Pajak adalah mengisi dengan benar, jelas, dan lengkap serta menyampaikan secara langsung atau melalui pos

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. memiliki pengenaan pajak pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang penjelasaannya. telah diatur dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.

BAB IV PEMBAHASAN. memiliki pengenaan pajak pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang penjelasaannya. telah diatur dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. BAB IV PEMBAHASAN Sesuai dengan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada perusahaan ini memiliki pengenaan pajak pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang penjelasaannya telah diatur dalam UU PPh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN MAKSUD DAN TUJUAN

I. PENDAHULUAN MAKSUD DAN TUJUAN I. PENDAHULUAN Mengingat pentingnya masalah Perpajakan dalam pengelolaan Dana Pensiun, maka perlu adanya pedoman mendasar tentang Perpajakan. Peraturan Perpajakan Dana Pensiun mengacu pada Undang-undang

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN FORMULIR 1771 KEMENTERIAN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA Didalam bab ini akan dilakukan analisis atau pembahasan hasil pemeriksaan, keberatan sampai dengan keluarnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam evaluasi penerapan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai pada PT

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam evaluasi penerapan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai pada PT BAB IV PEMBAHASAN Dalam evaluasi penerapan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai pada PT TELEKOMUNIKASI INDONESIA Tbk. Divre II, penulis melakukan pemeriksaan pajak dengan menguji dan memeriksa ketaatan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak pada PT ADIS Dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang, PT ADIS

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK ATAS BIAYA KOMERSIAL UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT. BM

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK ATAS BIAYA KOMERSIAL UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT. BM BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK ATAS BIAYA KOMERSIAL UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT. BM IV.1. Evaluasi Pelaksanaan PPh Badan PT. BM Menurut UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum

Lebih terperinci

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011 Pajak Penghasilan Pasal 23 Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Sub Topik 1. UU No. 36 Tahun 2008-Pasal 23 2. Pemotong

Lebih terperinci

SURAT SETORAN PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SSP. 25 April STIE Widya Praja Tanah Grogot

SURAT SETORAN PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SSP. 25 April STIE Widya Praja Tanah Grogot STIE Widya Praja Tanah Grogot Tanggal Penerbitan 25 April 2016 Pertemuan SURAT SETORAN PAJAK Wajib Pajak dapat membayar pajak yang terutang dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1. Dengan menggunakan Surat Setoran

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Materi: 2 & 3 KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Afifudin, SE., M.SA., Ak. (Fakultas Ekonomi-Akuntansi Unisma) Jl. MT. Haryono 193 Telp. 0341-571996, Fax. 0341-552229 E-mail: afifudin26@gmail.com atau

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Penyajian Data 4.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan CV. Mitra Sinergi merupakan salah satu bentuk perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan pipa dan bahan bangunan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN A. Metode Perolehan Aktiva Tetap Aktiva tetap berwujud sebagai salah satu aktiva penting yang dimiliki perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan

Lebih terperinci

Menimbang, bahwa hasil pembahasan tiap pokok sengketa adalah sebagai berikut: Penjualan ke PT FKS Multi Agro Tbk. sebesar Rp

Menimbang, bahwa hasil pembahasan tiap pokok sengketa adalah sebagai berikut: Penjualan ke PT FKS Multi Agro Tbk. sebesar Rp Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.57329/PP/M.XVIIIB/15/2014 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding sebesar

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. MRC adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa konstruksi.

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. MRC adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa konstruksi. BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. MRC adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan ini telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PPh Pasal 21 yang harus dipotong 8,556,000 6,300,000 37,970,000 3,366,000

PPh Pasal 21 yang harus dipotong 8,556,000 6,300,000 37,970,000 3,366,000 NAMA DENI SUGENG RANTUNG AGUS Mulai bekerja Jan-22 40,909 39,630 40,087 Status K/0 K/2 K/3 TK Gaji 96,000,000 84,000,000 216,000,000 60,000,000 THR 8,000,000 7,000,000 18,000,000 5,000,000 PPh Pasal 21

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL. UNTUK MENGEFISIENSIKAN PPh BADAN PADA PT AIDC

BAB IV EVALUASI LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL. UNTUK MENGEFISIENSIKAN PPh BADAN PADA PT AIDC BAB IV EVALUASI LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL UNTUK MENGEFISIENSIKAN PPh BADAN PADA PT AIDC IV.1 Evaluasi Atas Penghasilan Pada PT AIDC Pasal 4 ayat (1) UU No.17 Tahun 2000 secara rinci memberikan pengertian

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci