BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, PT APP sebagai pemberi kerja wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak para pegawainya. Perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional mengelompokkan pegawainya ke dalam 2 kelompok, yaitu: 1. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima gaji dan tunjangan dalam jumlah tertentu secara berkala dan teratur sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Direktur, Manajer, Kepala Bagian dan Staf yang semuanya berjumlah 18 orang. 2. Pegawai tidak tetap yaitu pegawai yang menerima atau memperoleh upah berdasarkan jumlah hari kerja. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah karyawan yang bekerja di proyek. Pajak penghasilan Pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang jumlahnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan pegawai tetap pada umumnya terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 karena penghasilan yang diperoleh melebihi dari Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan penghasilan pegawai tidak tetap tidak terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 karena penghasilan mereka tidak melebihi dari jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak

2 77 Yang merupakan subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 pada PT APP adalah 1. Pegawai tetap yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima / memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala. 2. Penerima upah (pegawai tidak tetap) yaitu orang pribadi yang menerima upah harian dan upah borongan. 3. Penerima honorarium yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 PT APP adalah: a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, tunjangan istri, tunjangan jabatan, tunjangan anak, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun. b. Upah harian adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar jumlah dari hari kerja (pegawai tidak tetap). c. Upah borongan adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar borongan kepada mandor, dimana dalam pelaksanaan kerja di proyek, mandor borongan ini mempekerjakan lagi pegawai harian yang merupakan tanggung jawab mandor atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. d. Honorarium yang diterima oleh tenaga ahli arsitek dan komisi yang diterima oleh perantara proyek.

3 Perhitungan dan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pelaksanaan Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh PT APP adalah sebagai berikut: a. Untuk Pegawai Tetap Untuk menentukan besarnya penghasilan neto dilakukan dengan cara: Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto (setinggi-tingginya Rp ,- setahun atau Rp per bulan), jika perusahaan ikut program Jamsostek dikurangi juga dengan iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai seperti iuran pensiun, iuran THT, kemudian untuk mendapatkan penghasilan kena pajak, penghasilan neto dikurangi lagi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan keadaan status pegawai pada awal tahun takwim. Tarif pemotongan untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan UU RI No.17 Tahun PT APP tidak ikut program Jamsostek, Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai tetap ditanggung oleh perusahaan dalam perhitungannya tidak memperhatikan adanya Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (KMK No.70/KMK.03/2003 dan KMK No.486/KMK.03/2003). Menurut keputusan Menteri Keuangan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah dapat mengurangi Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang. Perhitungan

4 79 Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pegawai tetap tahun 2003 yang dilakukan oleh PT APP dapat dilihat pada Lampiran 1. b. Untuk Honorarium Bagi Tenaga Ahli Dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan menggunakan tenaga ahli arsitek. Atas penghasilan bruto yang diterima akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan cara sebagai berikut: Pajak Penghasilan Pasal 21 = 15% x 50% x Penghasilan Bruto Selama tahun 2003, honorarium yang dibayarkan kepada tenaga ahli arsitek berjumlah Rp dan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong sebesar 15% x 50% x Rp ,- = Rp ,- c. Untuk Komisi (Fee Proyek) bagi perantara Dalam usaha untuk mendapatkan pekerjaan atas proyek kadang-kadang perusahaan melalui referensi atau perantara. Atas jasa tersebut, perusahaan membayar komisi perantara yang jumlahnya bervariasi, ada yang dinyatakan dalam prosentase dari nilai proyek, dan ada juga dalam jumlah tetap, tergantung pada kesepakatan bersama. Atas penghasilan yang diterima oleh perantara orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menerapkan tarif pasal 17 UU No.17 Tahun Selama tahun 2003, perusahaan membayar komisi perantara sebesar Rp ,- untuk 32 orang dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong sebesar 5% x Rp ,- = Rp ,-. Komisi yang diterima oleh masing-masing perantara selama tahun 2003

5 80 jumlahnya masih di bawah Rp ,- sehingga pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan tarif 5% dari penghasilan bruto. Perincian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium arsitek dan komisi perantara orang pribadi selama tahun 2003 oleh PT APP adalah sebagai berikut: Tabel 4.1. Ikhtisar Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang Dipotong Dari Honorarium Arsitek dan Komisi Proyek Tahun 2003 Bulan Januari Pajak Jumlah Komisi Honorarium Penghasilan Orang Proyek Pasal Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah

6 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan UU No.7 tahun 1983 yang telah diubah dengan UU No.17 Tahun 2000, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong harus disetor dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank BUMN atau BUMD atau Bank Lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak Anggaran selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Kekurangan setoran atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada akhir tahun harus disetor paling lambat pada tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir. Kemudian untuk pelaporan pajak yang terhutang setiap bulan digunakan SPT Masa dengan lampiran SSP lembar ke-3, sedangkan pelaporan pajak terhutang tahunan digunakan SPT Tahunan SPT Masa harus disampaikan oleh perusahaan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak, sedangkan SPT Tahunan paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak yaitu tanggal 31 Maret. Berikut ini adalah pelaksanaan penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh PT APP setiap bulan selama tahun 2003 adalah sebagai berikut:

7 82 Tabel 4.2. Ikhtisar Tanggal Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Pajak Penghasilan Bruto PPh. Pasal 21 yang dipotong dan dibayar Tanggal Penyetoran Tanggal Pelaporan Rp. Rp. Januari /2/ /2/2003 Februari /3/ /3/2003 Maret /4/ /4/2003 April /5/ /5/2003 Mei /6/ /6/2003 Juni /7/ /7/2003 Juli /8/ /8/2003 Agustus /9/ /9/2003 September /10/ /10/2003 Oktober /11/ /11/2003 November /12/ /12/2003 Desember /1/ /1/2004 Jumlah

8 Hasil Analisis Pajak Penghasilan Pasal 21 Dari perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh PT APP dapat dilihat bahwa perusahaan tidak memperhitungkan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah yang telah dihitung selama tahun 2003 berjumlah Rp ,- (Lihat Lampiran 4). Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah dapat mengurangi jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang. Jika dilihat dari segi perencanaan pajak, jumlah tersebut merupakan pengeluaran atau pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 yang tidak seharusnya dilakukan oleh perusahaan. Selain itu perusahaan juga menanggung Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pegawai tetap yang dibukukan sebagai beban perusahaan. Pajak Penghasilan Pasal 21 ini menurut ketentuan dan peraturan perpajakan yang berlaku merupakan pemberian kenikmatan/ natura kepada pegawai dan merupakan non deductible expense bagi perusahaan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Badan. Untuk tujuan perencanaan pajak dalam menghindari pengenaan pajak penghasilan badan yang lebih besar, sebaiknya perusahaan memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 karena tunjangan ini dapat dianggap sebagai penghasilan bagi pegawai perusahaan yang merupakan objek pajak penghasilan pasal 21 dan bagi perusahaan merupakan beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense). Pada dasarnya perlakuan Pajak Penghasilan pasal 21 yang terhutang ada 4 alternatif sebagai berikut:

9 84 1. Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh pegawai yang bersangkutan 2. Perusahaan menanggung Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai 3. Perusahaan memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal Perusahaan menggunakan gross up income dalam menghitung tunjangan pajak bagi pegawai. Perusahaan yang memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pegawainya memiliki perbedaan dengan perusahaan yang menggunakan metode gross up income dalam menghitung tunjangan pajak bagi pegawai. Pemberian tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 jumlahnya tidak boleh melebihi dari Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai yang terhutang. Perusahaan yang memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21, besarnya tunjangan pajak belum tentu sama dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pegawai terhutang. Selisih antara Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang dengan tunjangan pajak yang diberikan dapat ditanggung oleh pegawai yang akan dipotong dari penghasilan pada bulan yang bersangkutan, atau ditanggung oleh perusahaan yang merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible expense), sedangkan untuk perusahaan yang menggunakan metode gross up income akan menghasilkan tunjangan pajak yang jumlahnya sama dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang pegawai. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut ini diberikan contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas tunjangan pajak:

10 85 Tuan A memperoleh gaji pokok setahun sebesar Rp dengan status K/2. Perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya sebesar Rp dan tunjangan pajak sebesar Rp Perusahaan ikut program Jamsostek dengan menanggung premi asuransi kecelakaan dan kematian masing-masing sebesar 1,23% dan 0,3% dari gaji pokok, sedangkan iuran THT (Tunjangan Hari Tua) yang dibayar sendiri oleh Tuan A sebesar 2% dari gaji pokok. 1. Pemberian Tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 Gaji pokok setahun Rp ,- Tunjangan Hari Raya Rp ,- Premi asuransi kecelakaan Rp ,- Premi asuransi kematian Rp ,- Tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp ,- Total penghasilan bruto setahun Rp ,- Pengurang : Biaya Jabatan (Rp ,-) Iuran THT ( ,-) Total penghasilan neto setahun Rp ,- Dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : Wajib pajak sendiri = Rp ,- Status kawin = Rp ,- Tanggungan 2 orang anak = Rp ,- (Rp ,-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,-

11 86 Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh Rp ,- Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhutang : 5% x Rp = Rp % x Rp = Rp % x Rp = Rp Rp ,- Selisih sebesar Rp (diperoleh dari pajak penghasilan pasal 21 terhutang sebesar Rp dikurangi dengan tunjangan pajak yang diberikan oleh perusahaan sebesar Rp ) ditanggung oleh perusahaan dan merupakan non deductible expense yang berarti tidak diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. 2. Pemberian Tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan Metode Gross Up. Dalam hal ini tunjangan pajak penghasilan pasal 21 yang diberikan kepada pegawai perusahaan adalah sebesar pajak penghasilan pasal 21 pegawai yang terhutang untuk masing-masing pegawai. Untuk mengetahui besarnya tunjangan pajak penghasilan pasal 21 terhutang yang akan diberikan oleh perusahaan harus melalui perhitungan dengan menggunakan rumus gross up income yang terdiri dari 5 (lima) rumus, yaitu:

12 87 1) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih kecil atau sama dengan Rp Pajak Penghasilan pasal 21 terhutang = (PKP x 5%) / 0,95 2) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp sampai dengan Rp Pajak Penghasilan pasal 21 terhutang = ((PKP x 10%)-Rp ) / 0,90 3) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp sampai dengan Rp Pajak penghasilan pasal 21 terhutang = ((PKP x 15%)-Rp ) / 0,85 4) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp sampai dengan Rp Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang = ((PKP x 25%)-Rp ) / 0,75 5) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp Pajak Penghasilan pasal 21 terhutang = ((PKP x 35%) Rp ) / 0,65 Berikut ini adalah contoh perhitungan pajak penghasilan pasal 21 terhutang dengan metode gross up income. Tuan A mempunyai penghasilan setahun adalah sebesar Rp dengan status K/2.

13 88 Perhitungan pajak penghasilan pasal 21 terhutang untuk Tuan A : Penghasilan Neto setahun Rp ,- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): Wajib pajak sendiri : Rp ,- Status kawin : Rp ,- Tanggungan anak 2 : Rp ,- Rp ,- Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp ,- Penghasilan Kena Pajak (PKP) dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh Rp ,- Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan metode gross up income (rumus ketiga) : = ((Rp x 15%) Rp ) /0,85 = Rp setahun Perbandingan dari keempat alternatif perencanaan pajak penghasilan pasal 21 untuk Tuan A dapat dilihat pada Lampiran 2. Kalau dilihat dari perbandingan, metode gross up income akan memberikan beban gaji yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible expense) yang terbesar yaitu Rp ,- sedangkan untuk pajak penghasilan yang dibebankan ke pegawai dan pajak penghasilan pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan sama-sama memberikan beban gaji yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebesar Rp ,- tetapi untuk pajak

14 89 penghasilan pasal 21 sebesar Rp ,- tidak diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (non deductible expense). Jadi perencanaan pajak penghasilan pasal 21 dengan menggunakan metode gross up income merupakan alternatif yang terbaik, karena menghasilkan beban gaji yang paling besar dibandingkan dari alternatif yang lain, akibatnya laba kena pajak perusahaan dapat mengurangi jumlah penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertinggi, yaitu sebesar 30%. Penyajian perhitungan gaji pegawai perusahaan dengan menggunakan metode gross up income secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari lampiran dapat dilihat, bahwa dengan metode gross up income diperoleh Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp ,- yang merupakan deductible expense, sedangkan menurut perhitungan perusahaan (Lihat Lampiran 1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dibayar merupakan non deductible expense. Kalau dibandingkan kedua cara perhitungan tersebut akan diperoleh penghematan pajak (Tax Saving) sebesar Rp ,- dengan perhitungan sebagai berikut: Penghematan dari Pajak Penghasilan Badan : 30% x Rp ,- Rp ,- Tambahan pembayaran PPh Pasal 21 dengan metode gross up: Rp Rp Rp , - Jumlah penghematan pajak (Tax Saving) Rp ,-

15 90 Dalam penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh perusahaan terjadi keterlambatan sebanyak 2 kali dalam tahun 2003 yaitu untuk masa April dan Agustus, sedangkan untuk pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak selama tahun 2003 sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atas keterlambatan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP). 4.2 Pajak Penghasilan Pasal 23 Sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku, apabila wajib pajak dalam negeri memiliki penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan di Indonesia akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 ini dilakukan oleh pihak pemberi kerja dengan memberikan bukti pemotongan yang merupakan kredit pajak bagi pihak yang dipotong. Kegiatan usaha pokok PT APP adalah melakukan penyerahan jasa konstruksi, design dan interior kepada pemberi kerja. Atas penghasilan ini akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto untuk jasa pelaksanaan konstruksi, 6% untuk jasa design dan interior. Dalam menjalankan kegiatannya di proyek, perusahaan menggunakan jasa sub kontraktor perorangan dan perusahaan lain serta menyewa peralatan kerja. Semua jasa ini merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23.

16 Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Yang merupakan subjek Pajak Penghasilan Paal 23 pada PT APP adalah pihak sub kontraktor baik perorangan maupun badan yang memberikan jasa konstruksi, design dan interior serta pihak yang menyewakan peralatan kerja kepada perusahaan. Sedangkan yang merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa yang telah diberikan kepada perusahaan. Atas imbalan jasa ini, perusahaan wajib menghitung, memotong dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 23, kemudian menyampaikan bukti pemotongan kepada pihak yang dipotong sebagai kredit pajak. Besarnya pajak yang harus dipotong atas jasa tersebut adalah 2% dari penghasilan bruto untuk jasa pelaksanaan konstruksi, 6% untuk jasa design, interior dan persewaan peralatan kerja. Dalam pelaksanaannya, PT APP hanya memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas jasa sub kontraktor badan, dan tidak memotong jasa sub kontraktor perorangan dan jasa persewaan peralatan kerja dengan alasan mereka tidak mau dipotong. Dalam pembukuan perusahaan jasa sub kontraktor ini dicatat sebagai upah borongan Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, bahwa Pajak Penghasilan Pasal 23 yang terhutang wajib disetor oleh pemotong pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya dan harus memberikan bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang telah dibebani membayar pajak untuk diperhitungkan sebagai kredit pajak dengan pajak penghasilan

17 92 terhutang. Setelah disetor kemudian harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan dilampiri daftar bukti potong, bukti potong dan SSP lembar ke-3. Berikut di bawah ini adalah ikhtisar pelaksanaan penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah dilakukan oleh perusahaan selama tahun 2003 : Masa Pajak Tabel 4.3 Ikhtisar Tanggal Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23 Penghasilan Bruto Rp. PPh. Pasal 23 yang dipotong Rp. Tanggal Penyetoran Tanggal Pelaporan Januari /2/ /2/2003 Februari /3/ /3/2003 Maret /4/ /4/2003 April /5/ /5/2003 Mei /6/ /6/2003 Juni /7/ /7/2003 Juli /8/ /8/2003 Agustus /9/ /9/2003 September /10/ /10/2003 Oktober /11/ /11/2003 November /12/ /12/2003 Desember /1/ /1/2004 Jumlah

18 Hasil Analisis Pajak Penghasilan Pasal 23 Dilihat dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan oleh PT APP selama tahun 2003 telah sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku yaitu UU No. 7 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 17 tahun Akan tetapi ada objek pajak yang belum dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh perusahaan dengan alasan mereka adalah orang pribadi dan tidak mau dipotong. Objek pajak yang belum dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : a. Jasa sub kontraktor orang pribadi Jasa ini oleh perusahaan dicatat ke akun upah borongan yang selama tahun 2003 berjumlah Rp ,-. Jumlah tersebut terdiri dari jasa pelaksanaan konstruksi, design dan interior yang menurut ketentuan perpajakan yang berlaku harus dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan tarif yang bervariasi tergantung dari jenis jasa yang diberikan. Untuk jasa pelaksanaan konstruksi 2% dari penghasilan bruto dan 6% untuk jasa design dan interior. Besarnya kewajiban perpajakan perusahaan di masa yang akan datang, jika terjadi pemeriksaan atas akun ini adalah : Misalkan pakai tarif pajak penghasilan pasal 23 yang terendah 2% dari penghasilan bruto : Pokok Pajak 2% x Rp = Rp

19 94 Sanksi Administrasi : - Bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan Rp Jumlah estimasi kewajiban perpajakan Rp b. Sewa Peralatan Kerja Menurut ketentuan perpajakan yang berlaku, sewa sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali tanah dan bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan tarif efektif 6% dari penghasilan bruto, jumlah beban sewa peralatan kerja yang terjadi di perusahaan selama tahun 2003 berjumlah Rp ,-. Besarnya kewajiban perpajakan perusahaan di masa yang akan datang, jika terjadi pemeriksaan atas akun ini adalah sebagai berikut : Pokok Pajak 6% x Rp = Rp Sanksi Administrasi : - Bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan 2% x 24 x Rp Rp Jumlah estimasi kewajiban perpajakan Rp Untuk menghindari dari pengenaan sanksi administrasi berupa bunga, sebaiknya perusahaan melakukan pemotongan atau penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan metode gross up. Dilihat dari segi perencanaan pajak, metode ini adalah yang paling menguntungkan dalam kondisi perusahaan laba.

20 95 Dalam pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan oleh perusahaan terjadi keterlambatan sebanyak 2 kali dalam tahun 2003 yaitu untuk masa April dan Agustus, sedangkan untuk pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak selama tahun 2003 sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atas keterlambatan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan yang akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP). 4.3 Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan dalam tahun berjalan. Angsuran ini merupakan kredit pajak yang dapat direstitusi atau diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan Badan yang terhutang pada akhir tahun. Kekurangan Bayar Pajak Penghasilan Badan pada akhir tahun. setelah dikurangi dengan kredit pajak merupakan Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 29) Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terhutang menurut SPT tahun lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan Pasal 22, 23 dan 24 yang telah dipotong dan dipungut oleh pihak lain, kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tiap tahun pajak. Pelaksanaan perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 pada PT APP untuk tahun 2003 adalah sebagai berikut:

21 96 Berdasarkan SPT PPh. Badan Tahun 2002 Penghasilan Neto Rp ,- Kompensasi Kerugian Tahun-tahun Lalu Rp. 0,- Penghasilan Kena Pajak Rp ,- Pajak Penghasilan Terhutang: 10% x Rp ,- = Rp ,- 15% x Rp ,- = Rp ,- 30% x Rp ,- = Rp ,- Jumlah Rp ,- Kredit Pajak: Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp ,- Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri Rp ,- Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun /12 x Rp ,- = Rp , Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak yang bersangkutan berakhir dan harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak yang bersangkutan berakhir. Berikut dibawah ini adalah ikhtisar pelaksanaan

22 97 pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dilakukan oleh PT APP selama tahun 2003: Tabel 4.4. Ikthisar Tanggal Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak PPh. Pasal 25 yang dibayar Tanggal Pembayaran Tanggal Pelaporan Rp. Januari /2/ /2/2003 Februari /3/ /3/2003 Maret /4/ /4/2003 April /5/ /5/2003 Mei /6/ /6/2003 Juni /7/ /7/2003 Juli /8/ /8/2003 Agustus /9/ /9/2003 September /10/ /10/2003 Oktober /11/ /11/2003 November /12/ /12/2003 Desember /1/ /1/2004 Jumlah

23 Hasil Analisis Pajak Penghasilan Pasal 25 Berdasarkan uraian perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dilakukan oleh PT APP telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan yang berlaku dan dalam pembayaran dan pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak selama tahun 2003 tidak ada keterlambatan. 4.4 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik untuk konsumsi barang maupun konsumsi jasa. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai perusahaan. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dilaksanakan berdasarkan sistem faktur, sehingga atas penyerahan barang atau jasa wajib dibuat faktur pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang atau penyerahan jasa yang terhutang pajak. Pengusaha Kena Pajak hanya diharuskan membayar kepada negara sebesar selisih antara Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak (Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak (Pajak Masukan).

24 Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pada PT APP yang menjadi Subjek Pajak Pertambahan Nilai adalah perusahaan sendiri sebagai Pengusaha Kena Pajak yang membeli atau menjual Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Objek Pajak Pertambahan Nilai pada PT APP dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha dimana Jasa Kena Pajak tersebut berupa jasa konstruksi, design dan interior. Penerimaan uang muka proyek dari pemberi kerja juga merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai yang harus dipungut pada saat diterima pembayaran. Rumus menghitung PPN adalah : PPN yang terhutang = tarif PPN x DPP Dimana DPP itu adalah harga jual. PT APP mempunyai Pajak Masukan yang merupakan pajak atas Barang/Jasa Kena Pajak dari perusahaan lain (PKP) dan ada juga Pajak Keluaran yang merupakan pajak yang harus dibayar atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang harus dipungut dari perusahaan lain (PKP). Contoh perhitungan Pajak Pertambahan Nilai bulan Januari 2003 pada PT APP adalah sebagai berikut: Perusahaan selama bulan Januari 2003 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dan menerima Uang Muka Proyek sebesar Rp ,- termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pihak Pemungut PPN

25 100 sebesar Rp ,-. Atas penyerahan dan penerimaan uang muka proyek ini akan terhutang PPN sebesar 10% yang harus dipungut dari penerima Jasa Kena Pajak, kecuali kepada pihak pemungut PPN, dimana PPN yang terhutang akan dipungut dan disetor sendiri oleh pemungut PPN dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama PT APP sebagai pihak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak. Disamping itu, selama bulan Januari 2003 perusahaan juga melakukan pembelian Barang Kena Pajak sebesar Rp ,- dengan PPN yang dipungut sebesar 10% dari pembelian Barang Kena Pajak. Perhitungan PPN yang harus disetor bulan Januari 2003 PPN keluaran 10% x Rp ,- = Rp ,- Dikurangi: PPN atas penyerahan kepada pihak pemungut pajak 10% x Rp ,- ( ),- PPN Keluaran yang harus dipungut Rp ,- Dikurangi: PPN Masukan 10% x Rp ,- ( ),- PPN yang harus disetor Rp , Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang setiap bulan harus disetor selambatlambatnya pada tanggal 15 bulan takwim berikutnya. Jika tanggal 15 tersebut

26 101 jatuh pada hari libur, maka penyetoran harus dilakukan pada hari kerja berikutnya. Setelah disetor, selanjutnya harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa PPN dengan lampiran SPP lembar ke-3 selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Jika tanggal 20 tersebut jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Keterlambatan penyetoran PPN yang terhutang akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan dan keterlambatan pelaporannya akan dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp ,- untuk setiap masa pajak. Penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang pada PT APP selama tahun 2003 adalah sebagai berikut: Tabel 4.5. Ikhtisar Tanggal Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak PPN Keluaran PPN Keluaran kepada pemungut PPN Masukan PPN yang harus disetor Rp. Rp. Rp. Tanggal Penyetoran Tanggal Penyetoran Januari /2/ /2/2003 Februari /3/ /3/2003 Maret /4/2003 1/5/2003 April /5/ /5/2003 Mei /6/ /6/2003 Juni /7/ /7/2003

27 102 Juli /8/ /8/2003 Agustus /9/2003 1/10/2003 September /10/ /10/2003 Oktober /11/ /11/2003 November /12/ /12/2003 Desember /1/ /1/2004 Jumlah Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai Menurut ketentuan UU RI No. 18 Tahun 2000, pembuatan Faktur Pajak Standar dapat dilakukan: 1. Dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya, maka faktur pajak standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau 2. Dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau 3. Dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran termin; atau

28 Dalam hal penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN, harus dibuat paling lambat pada saat Pengusaha Kena Pajak menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN. Akibat adanya perbedaan waktu dalam pembuatan Faktur Pajak Standar dengan pengakuan penghasilan dalam pembukuan akan menyebabkan saldo akhir bulan PPN yang terhutang menurut buku besar berbeda dengan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Perbedaan ini setiap bulan harus dilakukan rekonsiliasi atau menurut fiskus lebih dikenal dengan istilah Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai. Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai bulan Desember 2003 pada PT APP adalah sebagai berikut: Saldo PPN Keluaran menurut Buku Besar Rp ,- Dikurangi: PPN atas penghasilan yang telah dicatat tahun 2003, tetapi Faktur Pajak dilaporkan pada tahun (Rp ),- Saldo PPN Keluaran menurut SPT Masa Rp ,- Saldo PPN Masukan menurut Buku Besar Rp ,- Dikurangi: PPN atas pembelian yang telah dicatat tahun 2003, tetapi Faktur Pajak dilaporkan tahun (Rp ),- Saldo PPN Masukan menurut SPT Masa Rp ,- PPN yang harus disetor. Rp ,-

29 Hasil Analisis Pajak Pertambahan Nilai Dari uraian perhitungan dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh PT APP pada dasarnya telah mengikuti Peraturan dan Ketentuan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, baik dalam penerapan tarif maupun cara perhitungan dan pemungutannya. Tetapi dalam memenuhi kewajiban penyetoran dan pelaporan terdapat keterlambatan yaitu untuk setoran masa pajak bulan Maret, April, Juli dan Agustus 2003, sedangkan untuk pelaporan terjadi keterlambatan pada masa pajak bulan Maret, Juli dan Agustus Atas keterlambatan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda bunga sebesar 2% per bulan dan bagian dari bulan dihitung satu bulan. Untuk keterlambatan pelaporannya akan dikenakan sanksi administrasi Rp ,- untuk setiap masa pajak. Berikut ini adalah perhitungan sanksi adiministrasi atas keterlambatan penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai: 1. Untuk Masa Pajak Maret Terjadi keterlambatan setor selama 13 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp ,- (2% x Rp ,-). Sanksi administrasi keterlambatan lapor Rp ,- untuk setiap masa pajak. 2. Untuk Masa Pajak April

30 105 Terjadi keterlambatan setor selama 4 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp ,- (2% x Rp ,-). 3. Untuk Masa Pajak Juli Terjadi keterlambatan setor selama 6 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp ,- (2% x Rp ,-). Sanksi administrasi atas keterlambatan lapor Rp ,- untuk setiap masa pajak. 4. Untuk Masa Pajak Agustus Terjadi keterlambatan lapor selama 15 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp ,- (2% x Rp ,-). Sanksi administrasi atas keterlambatan lapor Rp ,- untuk setiap masa pajak. Semua sanksi administrasi perpajakan akan ditagih oleh pihak Fiskus dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Mengenai Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai, perusahaan telah melakukan rekonsiliasi setiap bulan antara saldo menurut buku besar dengan saldo menurut SPT Masa. 4.5 Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal Laporan keuangan akuntansi yang dihasilkan oleh suatu perusahaan pada umumnya berbeda dengan laporan keuangan fiskal, karena laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan Peraturan dan Ketentuan Undang-undang perpajakan,

31 106 sedangkan laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan metode atau prinsip dalam pengakuan penghasilan dan beban dalam laporan keuangan yang dapat digolongkan menjadi Perbedaan Temporer (Temporary Difference) dan Perbedaan Tetap (Permanent Difference). Neraca, Laporan Laba Rugi Komersial, Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Fiskal, Perhitungan Pajak Penghasilan, Daftar Penyusutan Aktiva Tetap menurut Komersial dan Fiskal tahun 2003 yang telah dilakukan oleh PT APP masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Fiskal yang dilakukan oleh PT APP berkaitan dengan beban dan penghasilan yang terkena koreksi fiskal yang disebabkan oleh perbedaan temporer dan perbedaan tetap baik koreksi fiskal positif maupun negatif dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perbedaan Temporer (Temporary Difference) a. Beban Penyusutan Aktiva Tetap Beban penyusutan aktiva tetap dilakukan koreksi fiskal positif sebesar Rp ,-, karena adanya perbedaan metode atau tarif dalam perhitungan penyusutan. Untuk komersial, perusahaan menggunakan metode garis lurus dengan taksiran umur manfaat untuk semua aktiva tetap selama 5 tahun tanpa nilai sisa atau dengan tarif 20% per tahun, sedangkan untuk tujuan laporan fiskal perusahaan juga menggunakan metode garis lurus dengan pengelompokkan aktiva tetap menurut ketentuan perpajakan yang berlaku

32 107 yaitu untuk kelompok 1 tarif 25% per tahun dari harga perolehan dan golongan 2 tarif 12,5% dari harga perolehan. b. Piutang Tak Tertagih Beban ini merupakan penghapusan atas piutang usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan secara akuntansi merupakan kerugian piutang, perlakuan perpajakannya menurut UU No.17 tahun 2000 dan Kep.238/PJ/2001 dapat dikurangkan sebagai beban dengan syarat: - Telah dibebankan sebagai beban dalam laporan laba rugi komersial. - Telah diserahkan penagihannya kepada Pengadilan Negeri. - Telah diumumkan dalam penerbitan umum (Koran, majalah, atau media cetak). - Daftar nominatif dilampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Karena perusahaan tidak memenuhi semua syarat tersebut di atas, maka kerugian piutang sebesar Rp ,- dilakukan koreksi fiskal positif. 2. Perbedaan Tetap (Permanent Difference) a. Beban Pengobatan Beban pengobatan untuk pegawai yang dibayarkan langsung oleh perusahaan ke klinik / rumah sakit, dokter dan apotik merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai perusahaan, sehingga beban pengobatan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Beban pengobatan yang terjadi selama tahun 2003 sebesar Rp ,- dilakukan koreksi fiskal positif, karena merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai. Untuk

33 108 tujuan perencanaan pajak, beban pengobatan dapat diberikan dalam bentuk penggantian pengobatan, pemberian uang pengobatan atau pemberian tunjangan pengobatan yang merupakan beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan merupakan objek PPh. Pasal 21. b. Beban Perjamuan dan Sumbangan Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No.27/PJ.22/1986 untuk beban representasi; perjamuan tamu dan sejenisnya dalam rangka untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak penghasilan yang bersifat fiskal, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dengan syarat harus dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Badan. Beban Perjamuan dan Sumbangan perusahaan tahun 2003 sebesar Rp ,- untuk bagian beban pokok proyek dan Rp ,- untuk bagian beban operasi dilakukan koreksi fiskal positif, karena perusahaan tidak membuat daftar nominatif yang harus dilampirkan dalam SPT PPh. Badan c. Beban Lain-lain Beban lain-lain perusahaan yang terjadi selama tahun 2003 untuk bagian beban pokok proyek sebesar Rp ,- dan Rp ,- untuk beban operasi dilakukan koreksi fiskal positif, karena tidak didukung dengan bukti yang cukup.

34 109 d. Beban Telepon Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.220/PJ/2002 yang berlaku efektif tanggal 18 April 2002 untuk telepon selular (handphone) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu, karena jabatan dan pekerjaannya, maka dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebesar 50% dari jumlah beban berlangganan atau pengisian ulang pulsa dalam tahun yang bersangkutan dan penyusutan atas telepon selular tersebut juga diakui sebesar 50% dari beban penyusutan yang dihitung menurut fiskal (termasuk kelompok 1). Beban pengisian ulang pulsa untuk pemakaian telepon selular milik perusahaan oleh pegawai tertentu, karena jabatan dan pekerjaannya selama tahun 2003 adalah sebesar Rp ,-. Beban yang dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto adalah 50% x Rp ,- = Rp ,-. Untuk itu dilakukan koreksi fiskal positif sebesar Rp ,-. e. Beban Pajak Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf h UU Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan Badan serta kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan. Sanksi administrasi perpajakan karena keterlambatan penyetoran dan pelaporan yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) akibat dari hasil pemeriksaan pajak merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

35 110 Beban pajak penghasilan dan denda pajak yang terjadi selama tahun 2003 sebesar Rp ,- dilakukan koreksi fiskal positif karena tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pajak penghasilan yang terjadi pada PT APP adalah PPh Pasal 23 atas penghasilan proyek tahun 2002 yang dipotong pada tahun 2003 dengan bukti pemotongan juga tahun Hal ini menyebabkan kredit pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan Terhutang tahun 2003 dan juga tidak dapat diakui sebagai beban untuk tujuan fiskal. f. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang ditanggung oleh perusahaan merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai. Pengeluaran ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dan bagi pegawai juga bukan merupakan penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21. Selama tahun 2003 perusahaan menanggung PPh Pasal 21 sebesar Rp ,- dan dilakukan koreksi fiskal positif karena merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai (benefit in kind). g. Jasa Giro Jasa Giro sebesar Rp ,- merupakan penghasilan bunga neto atas saldo simpanan uang perusahaan dalam bentuk rekening koran di Bank. Penghasilan Jasa Giro dilakukan koreksi fiskal negatif, karena penghasilan tersebut merupakan objek pajak penghasilan final pasal 4 ayat 2 yang telah

36 111 dipotong dengan tarif 20% oleh Bank. Koreksi fiskal ini dilakukan juga untuk menghindari terjadi pengenaan pajak berganda Hasil Analisis Rekonsiliasi Laporan Keuangan Berdasarkan rekonsiliasi laporan laba rugi fiskal yang telah dilakukan oleh perusahaan, pada dasarnya sudah mengikuti Peraturan dan Ketentuan UU Pajak Penghasilan yang berlaku. Akan tetapi terdapat transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi atas 1 unit kendaraan yang belum dilakukan koreksi fiskal. Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-29/PJ.42/1992 tentang transaksi sewa guna usaha disebutkan: 1. Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa guna usaha, sampai saat Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut. Penyusutan dilakukan mulai tahun pajak digunakannya hak opsi. 2. Dasar penyusutan yang dipakai setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut adalah nilai sisa buku (residual value) barang modal yang bersangkutan. 3. Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terhutang, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut dapat digolongkan sebagai sewa guna dengan hak opsi.

37 112 Selama tahun 2003 jumlah pembayaran sewa guna usaha yang dilakukan oleh perusahaan sebesar Rp ,- (12 bulan x Rp ,-) termasuk bunga sewa guna usaha Rp ,- yang telah dibebankan oleh perusahaan dalam laporan laba rugi komersial, sedangkan penyusutan atas aktiva sewa guna usaha yang telah dibebankan adalah sebesar Rp ,-. Atas transaksi ini menurut Surat Edaran tersebut di atas harus dilakukan koreksi fiskal sebagai berikut: 1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha sebesar Rp ,- yang meliputi cicilan pokok dan bunga sewa guna usaha merupakan pengeluaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga harus dilakukan koreksi fiskal negatif. 2. Beban bunga sewa guna usaha dan penyusutan aktiva sewa guna usaha masing-masing sebesar Rp ,- dan Rp ,- merupakan beban yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga harus dilakukan koreksi fiskal positif. Akibat adanya koreksi fiskal atas transaksi sewa guna usaha pada tahun 2003, perusahaan terjadi kelebihan pembayaran pajak penghasilan badan dengan perhitungan sebagai berikut: Koreksi Fiskal Negatif : - Pembayaran Sewa Guna Usaha Rp ,- Koreksi Fiskal Positif : - Bunga Sewa Guna Usaha Rp ,-

38 113 - Penyusutan Aktiva Sewa Guna Usaha Rp ,- Jumlah bersih koreksi fiskal negatif Rp ,- Tarif Pajak Tertinggi 30% Kelebihan Bayar Pajak Penghasilan 30% x Rp = Rp ,-

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN Pada prinsipnya terdapat perbedaan perhitungan penghasilan dan beban menurut Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA IV. 1 Penerapan Akuntansi dalam Perhitungan Laba Kena Pajak dan Pajak yang Terutang Laba adalah selisih

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara laporan keuangan komersial dengan peraturan perpajakan. Hal

Lebih terperinci

a. Rp ,00 d. Rp ,00 b. Rp ,00 e. Rp ,00.

a. Rp ,00 d. Rp ,00 b. Rp ,00 e. Rp ,00. SOAL PAJAK SMK 1.Penghasilan yang termasuk obyek PPh Pasal 21 (Pajak Penghasilan Pasal 21) adalah. a. bunga b. deviden c. Gaji d. royalty e. sewa 2. Berdasarkan data laporan keuangan atas usaha tahun pajak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Akuntansi PPN PT. Biro ASRI PT. Biro ASRI dalam menjalankan operasi perusahaan selain berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak Pertambahan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata BAB IV PEMBAHASAN Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata dan beberapa kebijakan akuntansi dan fiskal dalam menjalankan kegiatan bisnisnya yang perlu diketahui agar

Lebih terperinci

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT BAB IV EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT Setelah dievaluasi biaya dan penghasilan dalam laporan laba rugi komersial terdapat perbedaan pengakuan biaya dan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak pada PT ADIS Dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang, PT ADIS

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO.

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO. BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO. IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak PT Artha Daya Coalindo Perbedaan antara perlakuan akuntansi

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Evaluasi Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Evaluasi Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN IV.1 Evaluasi Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan Sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000 sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM IV.1. Evaluasi Pelaksanaan PPh Badan PT LAM Sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT.

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. UB Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban

Lebih terperinci

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk BAB IV EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk meningkatkan efisiensi perusahaan pada PT SNI, penulis akan menguraikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI ANALISIS

BAB III METODOLOGI ANALISIS 59 BAB III METODOLOGI ANALISIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembahasan tesis ini, didasarkan pada langkah-langkah pemikiran sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi objek pajak perusahaan dan menganalisis proses

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 72 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kesiapan Wajib Pajak saat dilakukan Pemeriksaan Pajak 1. Kelengkapan dokumen umum, dokumen perpajakan dan dokumen pembukuan. Kelengkapan dokumen umum, dokumen

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA

BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA PERUSAHAAN PT. RKA 4.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perhitungan Pajak

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI BAB IV PEMBAHASAN IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI Di dalam prakteknya, ada perbedaan perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan menurut ketentuan peraturan perpajakan.

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA

ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA Wilianto Taufik, Yunita Anwar Universitas Bina Nusantara Jl. K. H. Syahdan No.9 Kemanggisan/Palmerah Jakarta Barat 11480 Phone

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN A. Metode Perolehan Aktiva Tetap Aktiva tetap berwujud sebagai salah satu aktiva penting yang dimiliki perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS Perbedaan antara perlakuan akuntansi dan pajak dalam pengakuan pendapatan dan beban akan mengakibatkan perbedaan laba

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia

BAB IV PEMBAHASAN. komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Teknik dan Prosedur Pemeriksaan Laporan Keuangan yang disiapkan oleh PT. Dipta Adimulia adalah pencatatan komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Perhitungan Laba Rugi Secara Komersial Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Pendapatan dan Beban Menurut Akuntansi 1. Pendapatan Menurut Akuntansi Suatu perusahaan didirikan untuk memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan penerimaan negara yang paling utama, untuk itu pajak merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penelitian maka dapat ditarik kesimpulan:

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penelitian maka dapat ditarik kesimpulan: BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah melakukan pengamatan, perhitungan, dan pembahasan terhadap Laporan Keuangan dan pelaksanaan perencanaan pajak yang dilakukan

Lebih terperinci

By Afifudin PSP FE Unisma 2

By Afifudin PSP FE Unisma 2 Pengertian Beban dan Kompensasi Kerugian sesuai SAK dan UU Pajak Rekonsiliasi Laporan Keuangan. Beda Tetap dan Beda Waktu Koreksi Fiskal Positif dan Koreksi Fiskal Negatif By Afifudin PSP FE Unisma 2 MEKANISME/SIKLUS

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ABS INDUSTRI INDONESIA

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ABS INDUSTRI INDONESIA BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ABS INDUSTRI INDONESIA IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak PT ABS Industri Indonesia Pajak merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari Pengetahuan atas ketentuan perpajakan yang benar, sangat mutlak diperlukan oleh Wajib Pajak karena dengan pengetahuan itu

Lebih terperinci

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk IV.1 Laba Rugi Secara Komersial Keuntungan (laba) atau kerugian adalah salah satu tolak ukur

Lebih terperinci

MODUL V REKONSILIASI FISKAL

MODUL V REKONSILIASI FISKAL MODUL V REKONSILIASI FISKAL A. Dosen memberikan pengantar sesuai dengan Satuan Acara Perkuliahan ( S. A. P.) yang menjelaskan secara umum sebagai berikut : 1. Definisi Rekonsiliasi (koreksi) Fiskal. 2.

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung Dalam menghitung laporan laba rugi perusahaan, terdapat perbedaan antara laporan laba rugi berdasarkan peraturan yang sesuai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA PT. TS INDONESIA. Analisis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

BAB IV ANALISIS PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA PT. TS INDONESIA. Analisis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda BAB IV ANALISIS PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA PT. TS INDONESIA IV.1 Analisis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Berikut adalah analisis dari hasil temuan yang didapatkan oleh penulis selama penelitian

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK

BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK PENGHASILAN PASAL 25/29 MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PERENCANAAN PAJAK

Lebih terperinci

BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS

BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS IV.1 Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan PPh Pasal 21 PT BPR WS Perencanaan merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen.

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS Pada laporan rugi laba yang telah dibuat oleh PT TGS yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2003 menunjukkan adanya unsur penjualan yang telah berhasil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Ada berbagai pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan,

BAB II LANDASAN TEORI. Ada berbagai pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan, BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pengertian dan Jenis Pajak Ada berbagai pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan, antara lain : Feldmann yang diterjemahkan oleh Resmi (2003) mendefinisikan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN 39 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laporan Laba Rugi Fiskal Dalam Menentukan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Pada PT. XYZ PT. XYZ menyajikan informasi yang menyangkut hasil kegiatan operasinya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

HUTANG JANGKA PENDEK DAN AKUNTANSI UNTUK GAJI DAN UPAH

HUTANG JANGKA PENDEK DAN AKUNTANSI UNTUK GAJI DAN UPAH HUTANG JANGKA PENDEK DAN AKUNTANSI UNTUK GAJI DAN UPAH Hutang merupakan kewajiban untuk memindahkan harta atau memberikan jasa di masa yang akan datang. Kewajiban tersebut muncul karena adanya transaksi

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisa, pembahasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh penulis untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri Nomor Pokok Wajib Pajak

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri Nomor Pokok Wajib Pajak BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri PT Cipta Sukma Mandiri merupakan wajib pajak badan sesuai yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 36 Pasal 2 ayat 1

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi alat laboratorium, reagen kimia klinik dan seluruh perlengkapan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat BAB II LANDASAN TEORI II.1 Gambaran Umum Pajak Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat memahami mengapa kita harus membayar pajak. Dari pemahaman inilah diharapkan muncul kesadaran

Lebih terperinci

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE BAB IV EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE IV.1. Evaluasi Jenis-jenis Biaya yang Terdapat dalam Laporan Keuangan Perusahaan Penulis

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Alasan Perusahaan dalam Strategi tax planning PPh 21 Lebih. Memilih Menggunakan Natura dan kenikmatan.

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Alasan Perusahaan dalam Strategi tax planning PPh 21 Lebih. Memilih Menggunakan Natura dan kenikmatan. BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Pembahaasan Masalah 1. Alasan Perusahaan dalam Strategi tax planning PPh 21 Lebih Memilih Menggunakan Natura dan kenikmatan. Bagi negara semakin besar jumlah pajak

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT. JASA RAHARJA (PERSERO)

BAB IV EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT. JASA RAHARJA (PERSERO) BAB IV EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT. JASA RAHARJA (PERSERO) Perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN. karyawannya dan PT. pelangi elasindo menanggung semua PPh Pasal 21 yang

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN. karyawannya dan PT. pelangi elasindo menanggung semua PPh Pasal 21 yang BAB IV PEMBAHASAN IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN Sesuai dengan ketentuan UU PPh No. 17 tahun 2000, setiap pemberi kerja wajib untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan atas

Lebih terperinci

Daftar Kuesioner. Peranan Perencanaan Pajak. ( Variabel X ) Menerapkan Peraturan Perpajakan. Dengan Benar

Daftar Kuesioner. Peranan Perencanaan Pajak. ( Variabel X ) Menerapkan Peraturan Perpajakan. Dengan Benar Bapak atau ibu yang terhormat, Saya adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Kristen Maranatha ( UKM ) di Bandung yang sedang mengadakan penelitian dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi.

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI ATAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 KARYAWAN PADA PT ADIMITRA KARYA

BAB IV EVALUASI ATAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 KARYAWAN PADA PT ADIMITRA KARYA BAB IV EVALUASI ATAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 KARYAWAN PADA PT ADIMITRA KARYA IV.1 Evaluasi Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Karyawan Sesuai dengan UU PPh no. 17 Tahun 2000, setiap

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI ATAS PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PADA PT BANK MAJU) Rekonsiliasi Laporan Keuangan Fiskal pada PT Bank MAJU.

BAB IV EVALUASI ATAS PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PADA PT BANK MAJU) Rekonsiliasi Laporan Keuangan Fiskal pada PT Bank MAJU. BAB IV EVALUASI ATAS PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PADA PT BANK MAJU) IV.1 Rekonsiliasi Laporan Keuangan Fiskal pada PT Bank MAJU. Hal paling utama dalam melaksanakan perencanaan pajak

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

Abstrak. Kata Kunci: Eksposur Pajak; Pajak Ditanggung Perusahaan; PPh pasal 21; PPh Pasal 23. Abstract

Abstrak. Kata Kunci: Eksposur Pajak; Pajak Ditanggung Perusahaan; PPh pasal 21; PPh Pasal 23. Abstract 1 Pelaksanaan Pajak dan Exposur Pajak, Studi Kasus pada PT ABC Tahun 2012 Melinda Ardhias Debby Fitriasari Program Studi Ekstensi Akuntansi Fakultas Ekonomi Abstrak Skripsi ini menganalisis pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H yang dikutip dalam buku karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam kedaan siap dipakai atau dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan,

Lebih terperinci

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO IV.I Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. PRIMA SINDO Di dalam prakteknya, ada perbedaan perhitungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada Negara

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada Negara BAB II LANDASAN TEORI II.1 II.1.1 Dasar Perpajakan Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kewajiban Perpajakan PT.Klinik Sejahtera PT.Klinik Sejahtera adalah salah satu klien dari KKP Adiyanto Consultant

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kewajiban Perpajakan PT.Klinik Sejahtera PT.Klinik Sejahtera adalah salah satu klien dari KKP Adiyanto Consultant BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Kewajiban Perpajakan PT.Klinik Sejahtera PT.Klinik Sejahtera adalah salah satu klien dari KKP Adiyanto Consultant Management dimana wajib pajak badan ini bergerak di bidang kesehatan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Tax Planning Pada PT. XYZ Penerapan pajak yang dilakukan oleh PT. XYZ tidak dapat dipisahkan dengan upayaupaya yang dilakukan pihak manajemen untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Perencanaan Pajak melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 yang. diterima karyawan dengan menggunakan Metode Net

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Perencanaan Pajak melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 yang. diterima karyawan dengan menggunakan Metode Net BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis penerapan perencanaan pajak melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima karyawan dengan menggunakan metode net dan gross up 1. Perencanaan

Lebih terperinci

RUGI LABA BIAYA FISKAL

RUGI LABA BIAYA FISKAL RUGI LABA BIAYA FISKAL BIAYA YANG TIDAK DAPAT DIJADIKAN PENGURANG PENGHASILAN (PASAL 9) Pengeluaran untuk pemegang saham atau pihak yang memillki hubungan istimewa beserta orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Lebih terperinci

BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI

BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI Pajak merupakan salah satu beban yang sangat material. Oleh karena itu, manajemen pajak harus dilakukan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. kewajiban perpajakannya, khususnya atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. kewajiban perpajakannya, khususnya atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan PT IO merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib menjalankan kewajiban perpajakannya, khususnya atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan analisa dan penelitian

Lebih terperinci

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut : 1. Menyampaikan Surat

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Setelah pembahasan pada bab sebelumnya dimana dilakukan evaluasi

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Setelah pembahasan pada bab sebelumnya dimana dilakukan evaluasi BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Setelah pembahasan pada bab sebelumnya dimana dilakukan evaluasi terhadap laporan laba/ rugi perusahaan, dan melakukan rekonsiliasi perhitungan laba/ rugi, maka dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Penghasilan II.1.1 Pengertian Umum Pajak Definisi pajak menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH. dalam Resmi (2007) adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pajak Pajak merupakan salah satu pungutan negara terhadap rakyatnya. Pada hakekatnya, pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta Wajib

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perencanaan Pajak (Tax Planning) Pada PT. Yusonda

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perencanaan Pajak (Tax Planning) Pada PT. Yusonda BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Perencanaan Pajak (Tax Planning) Pada PT. Yusonda Mahayasa Nusantara Penerapan pajak yang dilakukan oleh PT. Yusonda Mahayasa Nusantara tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN 62 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Koreksi Fiskal atas Laporan Laba Rugi Komersial dalam Penentuan Penghasilan Kena Pajak Laporan keuangan yang dibuat oleh PT. Madani Securities bertujuan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Beban dan Pendapatan Perusahaan Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan koreksi fiskal atas laporan laba rugi perusahaan sesuai dengan undang-undang

Lebih terperinci

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Penghitungan PPh diakhir tahun bagi WP Badan didasarkan atas LK Fiskal (Laba Rugi Fiskal) Laba rugi fiskal disusun berdasarkan Laba Rugi Komersial yang telah disesuaikan

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Perusahaan Dalam Menghitung Penyusutan. 1. Dasar Penyusutan Masing Masing Aktiva dan Metode Penyusutan Yang Digunakan Oleh Perusahaan Setiap aktiva yang

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 Pasal 1 adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami

Lebih terperinci

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17/2000 adalah setiap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Penghasilan II.1.1 Dasar Pengenaan Pajak dan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Wajib Pajak dalam negeri,dan Badan Usaha Tetap (BUT)

Lebih terperinci

By Afifudin PSP FE Unisma 2

By Afifudin PSP FE Unisma 2 Pengertian Penghasilan menurut SAK dan UU Pajak Tata cara Pemotongan PPh Pasal 21/26, dan PPh Pasal 21/23 Tata cara Pemungutan PPh Pasal 22. Penghitungan PPh Pasal 21, Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23 PT. AMK merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa ekspor impor barang. Kewajiban perpajakan PT.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah Iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (Wajib Pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan Negara. Dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan Negara. Dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan Penerimaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi dan perkembangan sosial suatu bangsa diwujudkan karena adanya sumber pendanaan yang tetap. Sampai saat ini sumber pendanaan dan pembiayaan serta

Lebih terperinci

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi. HAKIKAT REKONSILIASI Pelaksanaan pembukuan berdasar kebijakan akuntansi perusahaan menyimpang dari ketentuan perpajakan. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi. Penyesuaian

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS BAB IV PEMBAHASAN IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS Semua badan merupakan Wajib Pajak tanpa terkecuali, mulai saat didirikan atau saat melakukan kegiatan usaha atau memperoleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN A. Pajak Penghasilan atas Kompensasi Opsi Saham untuk Karyawan dari Pekerjaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1. Pengertian Pajak Penghasilan Di Indonesia, pajak atas penghasilan sudah dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu. Dimulai dari dikenalkannya Paten Recht

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban Pajak pada PT. Malta Printindo. Perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL A. Adanya Pengeluaran atau Beban yang Tidak Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto akan Dilakukan KOREKSI FISKAL POSITIF. 1. Pembagian laba dengan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. maksud agar perkembangan usaha pada akhir periode tertentu dapat diketahui.

BAB IV PEMBAHASAN. maksud agar perkembangan usaha pada akhir periode tertentu dapat diketahui. BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Penyajian Data Agar penyajian data dapat diketahui setiap kurun waktu (periode akuntansi) tertentu perusahaan perlu menyusun laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan adlah tahap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memiliki dimensi atau pengertian yang berbeda-beda menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) menyatakan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal. Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal. Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan setiap akhir periode, dan laporan keuangan

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/ Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/2014-00 Apa yang dimaksud Emas Perhiasan? Emas perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan BAB IV PEMBAHASAN Dalam evaluasi penerapan dan perbandingan Pajak Pertambahan Nilai sebelum dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan penelusuran atas laporan laba rugi, neraca,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi PPh Pasal 21 Menurut PER-31/PJ/2012 Pasal 1 ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat atas penghasilan berupa gaji,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat BAB II LANDASAN TEORI II. 1 Pengaruh Pajak Terhadap Perusahaan Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang ( yang dapat dipaksakan )dengan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BIAYA DAN KOMPENSASI KERUGIAN. Aris Munandar, SE., M.Si

KLASIFIKASI BIAYA DAN KOMPENSASI KERUGIAN. Aris Munandar, SE., M.Si KLASIFIKASI BIAYA DAN KOMPENSASI KERUGIAN Aris Munandar, SE., M.Si Tujuan Pembelajaran Jenis biaya yang diperkenankan bagi WP DN dan BUT untuk dibebankan sebagai biaya Jenis yang tidak diperkenankan bagi

Lebih terperinci