TINJAUAN PUSTAKA. Tarsius sp.
|
|
- Ari Pranoto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tarsius sp. Tarsius sp. atau monyet hantu diklasifikasikan dalam Kelas Mammalia, Ordo Primata, Subordo Prosimian, Superfamili Tarsoidea, Famili Tarsiidae, Genus Tarsius dan Spesies Tarsius spectrum, Tarsius pumilus, Tarsius dianae, Tarsius bancanus dan Tarsius syrichta (Musser dan Dagosto 1987). Gambar 1. Tarsius sp. (Abdullah 2000) Tarsius syrichta terdapat di Filipina, T. spectrum ditemukan di hutan primer maupun hutan sekunder di Tangkoko-Batuangus Sulawesi Utara yang terletak pada ujung sebelah utara dari semenanjung utara Sulawesi pada ketinggian 500 m di atas permukaan air laut. Tarsius spectrum juga ditemukan di Sulawesi Selatan, pulau Togian dan pulau kecil lainnya (Musser dan Dagosto 1987). Tarsius pumilus ditemukan endemik di Sulawesi Tengah yaitu di gunung Rano-rano (ketinggian 1800 m), di gunung Rorekatimbu Sulawesi Tengah (ketinggian 2200 m), dan di hutan gunung Latimojong Sulawesi Selatan pada ketinggian sekitar 2200 m (Maryanto dan Yani 2000, Jones et al. 2004). Tarsius dianae ditemukan di hutan primer tidak jauh dari batas sebelah utara Taman Nasional Lorelindu pada 001 o 10 S, E, 2 km di sebelah Tenggara Kamarora pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (Niemitz et al. 1991), dan T. bancanus ditemukan di Sumatera Selatan, Borneo dan sekitar Bangka dan Belitung (Musser dan Dagosto 1987). Menurut Shekelle (2003) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi Tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies sendiri dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangiriensis, T. pumilus, T. pelengensis dan T. dianae. Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk keperluan konservasi, seperti terlihat pada Tabel 1. 4
2 Tabel 1. Data yang mendukung 16 Taksa di Sulawesi (Shekelle 2003) Taksa T. tarsier (=spectrum) (i.e. Makassar) Morfologi Tes Spektrogram Hipotesis Molekuler Playback Biogeografi 12 SRNA Status (l) - (l, k) (j) - Terdaftar di IUCN T. sangirensis (c, e, f) (e, j) (e, j) (a, j) (j) Terdaftar di IUCN T. pumilus (b, f) - - (j) - Terdaftar di IUCN T. pelengensis (f) - (m) (a, j) - Terdaftar di IUCN T. dianae (d, tapi lihat e ) (e, g, j) (d, e, g, j) (j) - Terdaftar di IUCN T. sp. (f) - (h, k) (a, j) - Baru (Selayar) Manado form (l) (e, j) (a, d, e, g, (a, j) - Baru j) Gorontalo form (l) (d) (a, d) (a, j) - Baru Palu form (l) - (a, k) (a, j) - Baru Togian form - (e, j) (e, g, j) (j) (j) Baru Sejoli form - (e, j) Baru Tinombo form - (e, j) (e, j) (j) - Baru Kendari form - - (i, m) (j) - Baru Buton form - - (i, m) (j) - Baru Kabaena form - - (i, m) (j) - Baru Tanjung Bira form - - (h, m) - - Baru Keterangan: - : belum diteliti : sudah diteliti oleh: (a) MacKinnon dan MacKinnon (f) Groves (1998) (k) Shekelle (in review) (1980) (b) Musser dandagosto (1987) (g) Nietsch dan Kopp (1998) (l) Groves (in review) (c) Feiler (1990) (h) Nietsch dan Babo (2001) (m) Nietsch (pers. comm.) (d) Niemitz et al. (1991) (i) Nietsch dan Burton (2002) (e) Shekelle et al. (1997) (j) Shekelle (2003) Di Indonesia Tarsius memiliki bermacam-macam nama lokal. Tarsius spectrum disebut juga Tangkasi (Minahasa), Ngasi (Sulteng), Tanda-bona Passo (Wana), Podi (Tolaki), Wengu (Mornene), Tenggahe (Sangir) dan Tanda-bana (Sulut). Tarsius bancanus disebut juga Kera buku, Singapuar (Bengkulu), Krabuku (Lampung), Palele (Belitung), Mentiling ingkir, Ingkit, Linseng (Ngaju), Page (Tidung), Makikebuku (Karimata), Singaholeh (Kutai), Tempiling (Kalbar), Binatang hantu dan Simpalili (Melayu) (Supriatna dan Wahyono 2000). 5
3 Morfologi Tarsius sp. merupakan primata yang mempunyai ukuran tubuh paling kecil dan dapat hidup sampai berumur sekitar 13,5 tahun. Diberi nama Tarsius karena mempunyai tulang tarsal panjang membentuk pergelangan kaki yang mampu meloncat hingga 3 meter dari pohon ke pohon. Tarsius dapat memutar kepalanya hingga 180 derajat. Tibia dan fibula pada bagian bawah bergabung menjadi satu, berfungsi sebagai alat penahan goncangan pada saat hewan meloncat dari pohon ke pohon. Jari kaki dan jari tangan sangat panjang dan ramping, sehingga Tarsius dapat berpegangan erat pada pohon dan ranting. Tarsius memiliki tungkai belakang yang pendek dan tangan yang kecil. Jari kaki dan tangan memiliki bantalan, tetapi pada T. pumilus jari tangan mengalami reduksi dalam ukurannya sehingga T. pumilus memiliki genggaman yang lebih bagus daripada spesies Tarsius lainnya. Tarsius pumilus juga memiliki ujung kuku yang perluasannya melebihi tepi bantalan jari. Pada jari kaki kedua dan ketiga memiliki cakar yang dipergunakan untuk grooming, sedangkan jari lainnya memiliki kuku. Bola mata sangat besar dan setiap mata memiliki lapisan postorbital di belakangnya, yang akan melindungi bola mata dari musculus temporalis yang sangat kuat ke arah samping. Telinga sangat lebar dan aktif (mobile), memiliki gigi taring yang besar dan tajam (Musser dan Dagosto 1987). Kunci identifikasi Tarsius (Storr 1780) menurut Niemitz dan Verlag (1984) adalah sebagai berikut: Tarsius spectrum (Pallas 1778) mempunyai ciri-ciri antara lain muka seperti Galago senegalensis, ekor berambut dengan panjang jumbai kurang-lebih 110 mm, panjang rambut 5-12 mm dan terdapat juga kelompok rambut pendek memiliki sisik menyerupai struktur kulit ekor. Tarsius pumilus (Miller dan Hollister 1921) mempunyai ciri-ciri antara lain hewan dewasa memiliki panjang kepala-badan mm, panjang kranial maksimum 31mm, lebar kranial maksimum 26,3 mm, kulit bagian tarsal berambut dengan baik, dan terdapat titik warna kekuning-kuningan dibelakang telinga. Tarsius bancanus (Horsfield 1821) mempunyai ciri-ciri antara lain panjang kaki belakang antara mm, panjang ekor antara mm, jumbai pada ekor berkembang baik, rambut jumbai memiliki panjang sekitar 7 mm dan kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut dengan baik. Tarsius syrichta (Linnaeus 1758) memiliki ciri- ciri antara lain kaki belakang panjangnya antara mm, panjang ekor antara mm, jumbai pada ekor tidak berkembang baik, rambut pada jumbai panjang kurang lebih 3 mm dan kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut yang 6
4 pendek dan sangat sedikit. Tarsius bancanus, T. spectrum dan T. dianae dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), ukuran tubuh T. bancanus T. spectrum T. dianae Gambar 2. Bentuk jumbai pada ekor T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae (Shekelle 2003) T. dianae sama dengan T. spectrum, namun sedikit lebih besar dibanding dengan T. pumilus. Panjang badan antara mm, panjang ekor antara mm, berat badan antara gram, warna kulit keabu-abuan dengan bintik-bintik hitam pada kedua sisi, hidung sedikit menonjol dibanding T. spectrum dan bagian atas bibir terdapat rambut putih yang tumbuh. Tarsius sangiriensis memiliki warna rambut abu-abu kekuningan, menyerupai T. spectrum; panjang tubuh antara mm, panjang ekor mm, jumbai ditumbuhi rambut yang tumbuhnya jarang, berat tubuh gram, telinga besar bila dibandingkan dengan kepala. Secara morfologi, antara T. bancanus dan Tarsius sp. yang berasal dari Sulawesi dapat dibedakan dengan melihat panjang jumbai pada ekor dan dari lebar telinga, namun diantara spesies Tarsius yang ada di Sulawesi sangat sulit untuk dibedakan. Gambar 3, memperlihatkan perbedaan telinga antara T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae. 7
5 T. bancanus T. spectrum T.dianae Gambar 3. Bentuk telinga pada T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae (Stevan Merker) Karakteristik dan Anatomi T. spectrum dan T. dianae. Rambut abu-abu kekuningan dengan spot hitam T. dianae ditemukan di kedua sisi hidung dan tampak sangat jelas apabila dibanding pada T. spectrum. Rambut pendek keputihan ditemukan di kedua sisi bibir atas dan di bagian tengah bibir bawah. Ada bagian yang tak berambut pada bagian bawah telinga (pada T. spectrum tidak dijumpai). Terdapat celah di bagian tengah yang membagi hidung menjadi dua belahan. Pada saat pelupuk mata tidak terbuka secara penuh bentuk mata tampak lebih tidak simetris dibanding dengan T. spectrum. Kuku jari berwarna gelap dan tajam (tirus). Mata lebih tertarik ke arah samping (kurang pada T. spectrum). Warna rambut pada tubuh hampir sama, tetapi T. dianae memiliki pigmen yang lebih gelap pada ekor, jari kaki, jari tangan dan kuku daripada T. spectrum. Kulit bersisik di bawah ekor pada T. dianae berwarna coklat, sedangkan pada T. spectrum tidak berwarna. Kuku tangan T. dianae lebih sempit dan lebih melengkung daripada T. spectrum (Niemitz et al. 1991). Telinga T. dianae lebih pendek dan lebih sempit dibanding T. spectrum. Telinga T. dianae ditandai dengan daerah yang sebagian besar tak berambut (gundul) pada tragus, antitragus dan lobulus aurikularis. Lobulus aurikularis ini besarnya tiga kali lipat dari T. spectrum. Incisura intertragica pada T. dianae lebih dalam dan lebih sempit. Antitragus T. dianae hanya memiliki rambut yang sedikit pada tepi sebelah tengah, namun pada T. spectrum banyak ditumbuhi rambut. Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum mengikuti Lasinski ditunjukkan pada Tabel 2 (Niemitz et al. 1991). 8
6 Tabel 2: Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum (Niemitz et al. 1991) Deskripsi, Pengukuran (mm) T. dianae T. spectrum 1. Panjang telinga dari ujung pinna ke dalam incisura intertagrica 2. Panjang telinga dari ujung pinna sampai titik paling basal dari telinga luar 3. Lebar telinga yang terbesar 4. Panjang maksimum daerah tak berambut dari ujung tragus ke titik paling basal dari telinga luar 5. Area yang paling lebar 6. Kedalaman incisura intertagrica 7. Lebar incisura intertagrica 28,8 31,7 19,3 7,9 6,0 4,1 2,0 32,2 33,5 23,4 5,0 3,6 3,6 1,0 Index: Lebar x 100 Panjang maksimum 60,8 70,0 Ekologi Tarsius sp. hidup di hutan tropis, hutan primer, hutan sekunder, hutan bambu, semak-semak, perkebunan dan kadang hidup di perkampungan. Tarsius hidup berkelompok, dengan jumlah anggota antara 2-6 individu. Komposisi kelompok bervariasi dari hanya 2 individu (1 ekor jantan dan 1 ekor betina), 1 ekor jantan dewasa, 2 ekor betina dewasa dan anak-anaknya. Struktur sosial sebagian besar monogami dan hanya sedikit yang poligami (Gursky 1995). Penyebaran Data sebaran biogeografi primata dan kodok (Macaca dan Bufo) di Sulawesi, menurut Evans et al. (2003) dapat digunakan untuk memperkirakan 7 daerah endemisitas (oleh Shekelle dan Leksono dianggap 8 daerah endemisitas). Menurut Mac Kinnon dan Mac Kinnon (1980) daerah endemisitas tersebut masih ditambah daerah yang tidak dihuni Macaca tetapi dihuni Tarsius yaitu kepulauan Sangihe, Kepulauan Togian, Kepulauan Banggai, pulau Selayar dan pulau Kabaena. Menurut Shekelle dan Leksono (2004) diperkirakan ada 13 daerah endemisitas di Sulawesi dan sekitarnya (Gambar 4a). 9
7 Menurut Hall (2001), di zaman Miosen sampai dengan Pleistosen Sulawesi merupakan kepulauan yang berasal dari beberapa daratan Asia, Australia dan daratan yang timbul dari dasar lautan. Melalui proses pergeseran lempeng (playtectonic) daratan tersebut (disebut microplates ) membentuk pulau Sulawesi sekarang (Gambar 4b). Pulau Sulawesi sekarang, diduga selesai terbentuk pada zaman Pleistosen yaitu kira-kira 1-2 juta tahun yang lalu. Menurut Shekelle dan Leksono (2004), daerah sebaran Tarsius mempunyai banyak kesamaan dengan sebaran hipotesis biogeografi berdasar data biologi (Gb 4a) dan mempunyai banyak kesamaan dengan microplates Sulawesi seperti terlihat pada gambar 4b. Daerah sebaran Tarsius di Sulawesi 4a 4b 4c Gambar 4. Tiga Hipotesis Biogeografi Sulawesi dan Sekitarnya (Shekelle dan Leksono 2004) 4a : Berdasarkan Data Biologi, 4b : Berdasarkan Data Geologi, 4c : Hipotesis hibrid (Biologi dan Geologi) dengan data daerah sebaran Tarsius Keterangan: (kiri) Daerah 1-8 berdasarkan data genetik Macaca dan Bufo (Evans et al. 2003). Daerah 9-13 berdasarkan hipotesis MacKinnon dan MacKinnon (1980) merupakan daerah yang dihuni Tarsius tetapi tidak dihuni Macaca yang secara alami mempunyai daerah endemisitas sendiri. (tengah) Rekonstruksi geologi peristiwa tektonik dari zaman Cenozoik bahwa Sulawesi terbentuk dari kepulauan dengan beberapa asal (abu-abu muda = Asia, abu-abu sedang = Australia, abu-abu tua =daratan yang timbul dari dasar lautan). (kanan) Hipotesis 4a di padukan dengan 4b dan dibandingkan dengan data sebaran kelompok akustik Tarsius (Shekelle dan Leksono 2004). Keterangan Gambar 4c.(1) T. sangiriensis, (2) Manado form, (3) Gorontalo form, (4) Sejoli form, (5) Tinombo form, (6) Palu form, (7) T. pumilus, (8) Togian form, (9) T. pelengensis, (10) T. spectrum, (11) Tanjung Bira form, (12) Tarsius sp. (Selayar), (13) Kendari form, (14) Buton form, (15) Kabaena form. dan sekitarnya sangat sesuai dengan kombinasi hipotesis biogeografi berdasar data biologi dan geologi (Gb 4c), yang disebut hybrid biogeographic hypothesis 10
8 yang berarti hipotesis biogeografi Sulawesi secara menyeluruh. Hipotesis berdasar data biologi berasumsi bahwa spesies-spesies yang lain pindah ke Sulawesi hampir bersama dengan Macaca dan Bufo, sedangkan hipotesis berdasar data geologi berasumsi bahwa spesies-spesies lain pindah ke Sulawesi pada saat proses pergeseran lempeng dimulai. Menurut Shekelle (2003), berdasar pada data molecular clock kedatangan bajing diperkirakan 11,5 juta tahun yang lalu dan evolusi semua spesies Macaca dari Afrika Utara sampai Sumbawa terjadi kurang dari 7 juta tahun yang lalu. Berdasar data jarak genetik, kedatangan Tarsius ke Sulawesi diperkirakan pada zaman pertengahan Miosen (sekitar 15 juta tahun yang lalu) yang hampir bersama dengan kedatangan bajing. Oleh karena itu menurut Shekelle dan Leksono (2004), hipotesis hibrid biogeografi lebih sesuai untuk sebaran kelompok Tarsius dan merupakan hipotesis yang paling masuk akal dibanding dengan hipotesis biografi lainnya. Usaha Konservasi Sulawesi memiliki luas 187,882 km 2 dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di daerah biogeografi Wallacea. Ditinjau dari sejarah geologi, pulau Sulawesi diduga tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall 2001). Keadaan terisolasi dalam waktu yang lama menimbulkan terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga satwa di pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi. Tingkat endemisitas paling tinggi terjadi pada taksa vertebrata. Pada mamalia, 61% dari 127 jenis yang ada di Sulawesi bersifat endemik. Sedangkan pulau Kalimantan yang mempunyai endemisitas paling tinggi di daratan Asia hanya 18% mammalia yang bersifat endemik (Whitten et al. 1987). Daerah Wallacea mempunyai 529 spesies vertebrata endemik (1,9% dari jumlah di dunia) dan spesies-spesies ini mengalami ancaman yang serius karena hanya 15% habitat alami yang masih tersisa. Sekitar 39,2% dari habitat alami yang tersisa terdapat dalam kawasan konservasi. Habitat alami yang masih tersisa tersebut hanya akan efektif untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi jika tersebar sesuai dengan distribusi, sehingga upaya konservasi di Sulawesi harus dirancang secara komprehensif (Shekelle dan Leksono 2004). Menurut Shekelle dan Leksono (2004), data biogeografi dapat membantu upaya konservasi secara menyeluruh di Sulawesi, yaitu untuk mengidentifikasi 11
9 daerah endemisitas di Sulawesi. Sebaran daerah endemisitas ini sangat penting untuk merancang kawasan konservasi yang sesuai dengan sebaran daerahnya. Selain itu, upaya konservasi juga dapat dibantu dengan menggunakan hewan maskot. Hewan maskot biasanya berupa hewan yang mempunyai karisma yang mempunyai nilai tertentu seperti bentuk yang lucu, langka, unik, mudah diingat, berukuran besar dan endemis. Tarsius tidak berukuran besar tetapi dijadikan maskot di Sulawesi (terutama di Sulawesi Utara, dapat dilihat pada Gambar 5), karena (1) mempunyai sebaran yang luas, sampai ke pulau-pulau sekitar Gambar 5. T. spectrum sebagai maskot di Sulawesi Utara Sulawesi, (2) mempunyai banyak taksa endemik yang tersebar di hampir seluruh daerah endemisitas, (3) berada di lebih banyak tipe habitat, (4) bukan merupakan hama sehingga tidak mengancam produk pertanian, (5) tidak mempunyai nilai ekonomi, misalnya daging atau bagian tubuh lainnya (kecuali sebagai hewan peliharaan), (6) merupakan hewan yang karismatik. Menurut Shekelle dan Leksono (2004), program yang akan dilakukan untuk membantu usaha konservasi adalah melakukan pemberian nama pada 11 spesies Tarsius baru, yaitu dengan menangkap Tarsius hidup-hidup dan memeliharanya dalam kandang sehingga memungkinkan semua untuk melakukan penelitian, pelatihan, pendidikan, penangkaran dan sebagai sumber analisis genetik, sebelum hewan tersebut mati untuk dijadikan contoh spesimen. DNA Mitokondria (mt-dna) Mitokondria merupakan organela di luar inti sel yang mengandung sekitar 16,5 x 10 3 /3,3 x 10 9 pb dari DNA yang ditemukan di dalam sel manusia (Wertz 2000). Menurut Melton (1999), kemungkinan untuk memperoleh kembali mt-dna 12
10 dari sampel biologis dalam jumlah kecil atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi adalah lebih besar daripada DNA inti karena molekul mt-dna terdapat dalam ratusan sampai ribuan kopi dibanding dengan DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan sebagai sumber materi untuk penentuan lokus mt-dna apabila terjadi degradasi oleh karena peralatan atau karena waktu. Runutan mt-dna dipilih sebagai penanda genetik karena berukuran relatif kecil dan jumlah kopi yang banyak sehingga mudah didapat dari sel, diturunkan dari induk betina (maternal) dan beberapa gen dalam mitokondria mutasinya lebih cepat daripada gen inti karena rendahnya aktivitas proof reading dari γ DNA polymerase selama replikasi di dalam mitokondria (Wertz 2000). Menurut Reyes et al. (1998), mutasi pada genom mitokondria juga karena kurangnya sistem reparasi DNA dan adanya kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas, hasil selama transpor elektron ke oksigen pada rantai respirasi kompleks di membran dalam mitokondria. Menurut Majerus (1996) genom mitokondria mempunyai kecepatan evolusi 5-10 kali lebih cepat daripada genom inti, dan satu bagian dari genom mitokondria yang disebut D-loop mengalami evolusi sepuluh kali lebih cepat lagi. Genom mt-dna mamalia berbentuk sirkuler, beruntai ganda, memiliki panjang sekitar 16,5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan cytosine (C) berkisar antara 32-45,6%. Kedua basa G dan C terdistribusi secara tidak merata diantara kedua untai DNA. Berdasar kandungan basa guaninnya, mt-dna dibagi menjadi 2 untai yaitu, untai yang kaya G disebut untai berat (heavy strand) dan yang mengandung sedikit G disebut untai ringan (light strand) (Reyes et al. 1998). Berdasarkan data dari GenBank, organisasi genom mitokondria pada primata yang telah diketahui urutan nukleotidanya masing-masing memiliki jumlah dan susunan gen yang sama dengan mamalia lain, sedangkan perbedaan yang ada hanya jumlah nukleotida penyusun mt-dna. Jumlah nukleotida penyusun genom mt-dna T. bancanus adalah pb (GenBank NC ), Gorilla gorilla pb (GenBank NC ), Pan troglodytes pb (GenBank NC ), Nycticebus coucang pb (GenBank NC ), P. paniscus pb (GenBank NC ), Hylobates lar pb (GenBank NC ), Macaca sylvanus pb (GenBank NC ), 13
11 Cebus albifrons pb (GenBank NC ) dan Homo sapiens pb (GenBank DQ ). Susunan gen dari organisasi genom mitokondria T. bancanus dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasar jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi (non coding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen yaitu 13 gen penyandi protein yang berperan penting di dalam transpor elektron dan fosforilasi oksidatif, 2 gen penyandi rrna dan 22 gen penyandi trna. Gen tersebar secara asimetris pada kedua untai DNA (Reyes et al. 1998). Untai berat mt-dna mengandung 28 gen yaitu 2 gen penyandi ribosomal RNA (12S rrna dan 16S rrna); 12 gen penyandi protein masing-masing NADH dehidrogense (ND1, ND2, ND4, ND5, ND4L), Cytochrome c oxydase (COX1, COX2, COX3), Cytochrome b (Cyt b), D-loop Gambar 6. Susunan gen dari organisasi genom mitokondria T. bancanus (NC ). ATPase (ATP6, ATP8) dan 14 gen penyandi trna masing-masing fenilalanina (trna Phe ), valina (trna Val ), leusina (trna Leu ), isoleusina (trna Ile ), metionina (trna Met ), triptofana (trna Trp ), asam aspartat (trna Asp ), lisina (trna Lys ), glisina (trna Gly ), arginina (trna Arg ), histidina (trna His ), serina (trna Ser ), leusina (trna Leu ) dan treonina (trna Thr ). Sedangkan untai ringan mt-dna mengandung sisanya (9 gen) yaitu, 1 gen penyandi protein yaitu NADH dehidrogense 6 (ND6) dan 8 gen penyandi trna yaitu asam glutamat (trna Glu ), prolina (trna Pro ), serina (trna Ser ), tirosina (trna Tyr ), sistina (trna Cys ), asparagina (trna Asn ), alanina (trna Ala ) dan glutamina (trna Gln ). Daerah bukan penyandi genom 14
12 mitokondria hanya terdiri dari daerah kontrol (control region) (Reyes et al. 1998; Schmitz et al. 2002). Cyt b Gen penyandi Cyt b mempunyai ukuran 1140 pb, terletak diantara gen penyandi trna Glu (di sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi trna Thr (di sebelah kanan atau belakang) pada mt-dna (Gambar 7) (Schmitz et al. 2002). Adanya variasi urutan pada Cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan untuk membandingkan spesies dalam genus yang sama atau famili yang sama (Randi 1996). Protein Cyt b dibagi dalam 3 domain fungsional, yaitu intermembran, matriks dan transmembran. Domain intermembran terbentang antara membran dalam dan luar mitokondria, mengalami evolusi yang lebih lambat daripada ke 2 domain fungsional lainnya. Keadaan ini diduga karena fungsinya sebagai pusat redox Qo (Irwin et al dan Griffiths 1997). Domain intermembran pada mamalia mengandung 105 residu asam amino dengan komposisi terbesar dari ND6 trna Pro Cyt b (1140 pb) 5 3 trna Glu trna Thr Gambar 7. Skema organisasi gen Cyt b pada T. bancanus (Howell 1989 dan Schimtz et al. 2002) Residu asam amino ke Residu asam amino ke Residu asam amino ke asam aminonya adalah yang berhubungan dengan fungsi pusat redox Qo (Zhang et al diacu dalam McClellan and McCracken 2001) dan sekitar 29% bersifat kekal pada metazoa (Degli Esposti et al diacu dalam McClellan 15
13 and McCracken 2001). Domain matriks berlokasi pada permukaan dalam dari membran dalam mitokondria, terdiri dari 65 residu asam amino dan proporsi terbesar adalah residu asam amino polar dan asam amino dasar (Griffiths 1997 diacu dalam McClellan and McCracken 2001). Pada bagian matriks relatif sedikit residu yang bersifat kekal kemungkinan karena sebagian besar bagian dari domain ini tidak diketahui fungsinya. Domain transmembran terdiri dari protein Cyt b yang ditransfer ke membran dalam mitokondria, pada mammalia mengandung 209 residu asam amino yang sebagian besar termasuk asam amino hidrofobik. Penggantian asam amino pada daerah transmembran terjadi antara asam amino hidrofobik leusina, isoleusina dan valina (Irwin et al., 1991; Kornegay et al diacu dalam McClellan dan McCracken 2001), dan 19% dari residu asam amino ini bersifat kekal pada sebagian besar metazoa (Degli Esposti et al diacu dalam McClellan and McCracken, 2001). Banyak dari residu tersebut dikaitkan dalam fungsinya untuk ligasi heme, aktivitas redoks atau stabilitas struktural. Menurut Howell (1989), hasil analisis urutan asam amino pada golongan prokariotik dan eukariotik disimpulkan terdapat 5 region protein yang terdiri atas sekitar 20 residu asam amino yang bersifat kekal selama evolusi. Dua region protein yang sangat kekal diperkirakan terdapat pada residu protein ke dan residu protein ke Kedua region protein ini berlokasi pada loop ekstramembran dan diduga merupakan bagian pusat reaksi Qo. Region residu protein ke yang merupakan bagian dari pusat reaksi Qi juga bersifat kekal di dalam tingkat spesies. Runutan DNA yang menyandi 80 asam amino (posisi ke 47 sampai dengan ke 126) dari Cyt b rodensia, burung, ikan dan manusia (hasil amplifikasi menggunakan primer L14841 dan H15149) setelah disejajarkan berganda didapatkan 129 posisi nukleotida beragam dari 240 nukleotida. Komposisi nukleotida dari ke 4 contoh individu tersebut kandungan Gnya adalah yang paling sedikit, seperti yang dilaporkan pada mt-dna vertebrata. Perubahan nukleotida yang terjadi pada interspesies sebagian besar adalah terjadi secara substitusi transisi, sedangkan untuk antar genera dalam famili atau ordo yang sama perubahan terjadi sebagian besar adalah transversi. Menurut hipotesis struktural Cyt b, runutan DNA hasil amplifikasi primer L14841 dan H15149 terletak pada intermembran mitokondria, yaitu dengan ditandai tidak adanya penggantian asam amino pada posisi ke 80, yaitu asam amino arginina (R), 16
14 posisi ke 83 yaitu histidina (H), posisi ke 97 yaitu H, dan posisi ke 100 adalah R, Tidak adanya penggantian keempat asam amino ini disebabkan fungsi asam amino histidina dalam ligasi heme di domain intermembran (Gambar 8) (Kocher et al. 1989). Berdasar penjajaran urutan basa gen Cyt b, daerah tersebut dapat memberikan informasi filogenetik pada tingkat intraspesies sampai tingkat antar genera. Menurut Schmitz et al. (2002), hasil analisis asam amino pada primata dan nonprimata menunjukkan bahwa primata besar memiliki afinitas yang lebih tinggi basa G+C sedangkan Tarsius dan Slow loris memiliki lebih banyak basa A+T pada gen yang menyandi asam amino seperti yang tampak pada non primata Gambar 8. Posisi 80 asam amino (asam amino ke 47 sampai dengan 126) hasil amplifikai menggunakan primer L14841 dan H Keterangan: asam amino variatif ; asam amino tidak dirunut; (ada huruf di dalamnya) asam amino tidak variatif diantara vertebrata; asam amino kekal yang berhubungan dengan fungsi Cyt b (Kocher et al. 1989) D-loop Daerah bukan penyandi (non coding region) merupakan genom yang tidak membawa urutan informasi untuk pembentukan protein maupun RNA. Tingginya angka dari polimorfisme nukleotida atau adanya perbedaan runutan pada kedua bagian hipervariabel dari non coding region digunakan untuk membedakan di antara individu dan atau sampel biologis (Melton 1999). Daerah bukan penyandi (non coding region) atau disebut juga daerah kontrol (control region) atau D-loop terletak di antara gen penyandi trna Pro (di 17
15 sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi trna Phe (di sebelah kanan atau belakang). Jumlah dan runutan nukleotida penyusun D-loop dari beberapa spesies primata dapat dilihat pada Lampiran dan 26. D-loop merupakan bagian dari mt-dna yang sangat variatif dalam substitusi nukleotida, insersi atau delesi pendek (indels) dan memiliki variable number tandem repeat (VNTRs) yang dinamis yang terletak pada bagian yang hipervariatif dan domain yang khusus (Fumagalli et al. 1996). Daerah D-loop dibagi menjadi 3 domain, yaitu domain I yang berbatasan dengan trna Pro, terdiri dari runutan yang diasosiasikan dengan termination of H-strand replication (TAS) yang sering mengandung VNTRs (R1 repeats), domain II yang terdapat di bagian sentral dan bersifat kekal, terdapat conserved sequence block (CSB B, C, D,E dan F) dan domain III yang berbatasan dengan trna Phe, terdiri dari runutan yang variabilitasnya tinggi karena substitusi nukleotida, insersi dan delesi (indels) serta VNTRs (R2 repeat) dan runutan nukleotida bersifat kekal yang merupakan promotor untuk transkripsi untai berat (heavy strand) dan untai ringan (light strand) berturut-turut HSP dan LSP, titik awal replikasi strand H (OH) dan daerah blok runutan pendek yang kekal (short conserved sequence block) (CSB1, CSB2 dan CSB3) (Sbisa et al diacu dalam Randi dan Lucchini 1998). Menurut Southern et al. (1988), blok runutan kekal (Conserved sequence block, CSB) merupakan daerah yang homologinya tinggi yang ditemukan pada mt-dna lumba-lumba, sapi, manusia dan tikus. Variasi ukuran panjang dari D-loop mt- DNA disebabkan oleh variasi jumlah runutan kopi berulang (sequence tandem repeat) (Fumagalli et al. 1996). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan Chapman (1991), bahwa adanya runutan nukleotida yang berbeda panjangnya antara anak dan induk evening bat disebabkan oleh duplikasi atau delesi runutan sebesar 81pb yang berulang dengan kopi sebanyak 5-8 kali di daerah D-loop. Demikian juga menurut Greenberg et al. (1983), runutan nukleotida di sekitar daerah awal replikasi untai H pada manusia lebih dari 96% perubahan basanya adalah transisi dan variasi panjang nukleotida disebabkan oleh penambahan atau delesi mono atau dinukleotida dalam repeat yang berurutan. Pada vertebrata, susunan dari repeat tersebut ditemukan dalam 5 posisi, dinyatakan sebagai runutan berulang (repetitive sequence) (RS) 1-5 (Hoelzel et al. 1994) dan semua terletak di region replikasi untai H diatur (Gambar 9). RS1 dan RS2 berada di ujung 5 dari CR dimana replikasi untai H berhenti sebentar, 18
16 membentuk untai tiga D-loop. RS3, RS4 dan RS5 berada di ujung 3 dari CR, upstream dari titik awal replikasi untai H (Hoelzel et al. 1994). Susunan pada RS1, RS2, RS4 dan RS5 memiliki kopi antara pb, sedangkan pada RS3 memiliki kopi yang lebih pendek yaitu antara 6-22 pb dengan jumlah pengulangan yang lebih tinggi (lebih dari 40) dan tingkat heteroplasmiknya juga lebih tinggi. Susunan kopi berulang pada RS3 ditemukan pada beberapa mamalia yaitu, anjing dan srigala (Savolainen et al. 2000), pada 14 spesies tupai (Fumagalli et al. 1996), babi (Ghivizzani et al. 1993), kelinci (Mignotte et al. 1990), Lagomorph (Casane et al. 1997), Tupaia belangeri (Schmitz et al. 2000), Nycticebus coucang (GenBank NC ) dan T. bancanus (Schmitz et al. 2002). trna Thr Gambar 9. Skema organisasi daerah kontrol mt-dna pada mamalia. CSB1, CSB2, CSB3:blok runutan berulang; OH:titik awal replikasi untai H; HSP: promotor replikasi untai H; LSP: promotor transkripsi untai L; RS1-RS5: lokasi runutan kopi berulang pada spesies yang berbeda (Savolainen et al. 2000). genom mt-dna Berdasar hasil penelitian Schmitz et al. (2002) panjang T. bancanus adalah pb dan terdapat VNTRs sebanyak 22 pb dengan urutan basa TACACCCATGCGTACACGCACG dalam jumlah yang bervariasi antara 4-15 dan terletak di antara CSB1 dan CSB2 atau pada daerah RS3. Pada Tupaia belangeri, VNTRs sebanyak 26 pb yang memiliki runutan basa CACACATACACACACATACACACATA (Schmitz et al. 2000), pada anjing memiliki 2 tipe kopi sebanyak 10 pb dengan runutan basa yang berbeda yaitu ACACGTGCGT dan ACACGTACGT, jumlah pengulangan antara 8-46 (Sovalainen et al. 2000) sedangkan pada Nycticebus coucang memiliki VNTRs sebanyak 12 pb, dengan runutan basa TACGTATACACA dan jumlah pengulangan sekitar 21 (GeneBank accession number NC ). 19
17 20 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Pusat Studi Ilmu Hayati, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor (PSIH-PAU, IPB), Bogor. Penelitian ini telah dilakukan sejak Juni 2003 sampai dengan Juni Rancangan Penelitian Koleksi Contoh Darah dan Otot Isolasi DNA Total PCR D-Loop Parsial Gen Cyt b Parsial Perunutan Nukleotida Analisis dengan Program MEGA 3.1 Koleksi Contoh Darah dan Otot Sebanyak 5 contoh darah T. spectrum asal Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara dan 4 contoh otot T. spectrum asal Air Madidi, Sulawesi Utara diperoleh dari penangkaran Tarsius di Manado, Sulawesi Utara. Sebanyak 1 contoh otot telinga T. dianae asal Kamarora, Sulawesi Tengah dan 8 contoh otot T. bancanus diperoleh dari Lampung, Sumatera Selatan. Lokasi pengambilan contoh Tarsius dapat dilihat pada Gambar
18 21 Laut Cina Selatan Samudra Pasifik Sumatera TANGKOKO AIR MADIDI LAMPUNG KAMARORA Samudra Hindia Jawa Laut Timor Laut Arafura Gambar 10. Peta pengambilan contoh T. spectrum, T. dianae dan T. bancanus Keterangan: T. bancanus (Lampung), T. spectrum (Air Madidi), T. spectrum (Tangkoko), T. dianae (Kamarora) Isolasi DNA Total DNA total diekstraksi dari darah, otot dan telinga. Darah diambil dari pembuluh darah pada pangkal ekor, ditambah larutan EDTA 10% sebagai antikoagulan. Otot diambil dari Tarsius yang sudah mati dan potongan telinga diambil dari hewan yang masih hidup. Preparasi contoh darah dan otot mengikuti metode Duryadi (1993). Setiap otot (50-100mg) secara terpisah digerus dalam larutan STES {1% (W/V) SDS; 50 mm Tris-HCl, ph 9,0; 0,1 M EDTA, ph 8,0; 0,2 M NaCl}. Darah sebanyak μl ditambah 1X volume larutan lisis {0,32M Sucrose, 1% (V/V) Triton X- 100, 5 mm MgCl 2 dan 10 mm Tris-HCl, ph 7,4}. Organel sel dalam larutan diendapkan dengan sentrifugasi 6500 rpm selama 1 menit. Endapan ditambah dengan 1X volume larutan pencuci (75 mm NaCl, 50 mm EDTA, ph 8,0). Contoh otot yag sudah digerus dan darah selanjutnya ditambah dengan digestion buffer (larutan STES + 0,5 mg/ml Proteinase K) sebanyak 500 ul, kemudian diinkubasi pada penangas air suhu 55 o C selama + 16 jam atau semalam. Purifikasi DNA Total mengikuti Sambrook et al. (1989) dimodifikasi Duryadi (1993). Suspensi setelah diambil dari penangas air ditambah larutan fenol 1x volume, dicampur rata kemudian disentrifugasi rpm selama 3 menit. Fase air di bagian atas yang mengandung DNA dipindah ke tabung baru, kemudian ditambah kloroform:isoamil-alkohol (24:1, CIAA) dan dicampur rata. Fase atas dipisahkan dengan sentrifugasi rpm selama 3 menit. Cairan 21
19 22 bagian atas dipindahkan ke tabung baru, ditambah etanol absolut 2x volume. Gumpalan DNA diendapkan dengan sentrifugasi rpm selama 5 menit. Endapan DNA dicuci menggunakan alkohol 70% 1x volume dengan sentrifugasi rpm selama 3 menit. DNA yang diperoleh dikeringkan di suhu ruang. DNA dilarutkan dalam larutan TE (10 mm Tris-HCl; 1 mm EDTA, ph 8,0), kemudian diinkubasi pada penangas air suhu 37 o C selama 15 menit. Sampel DNA disimpan pada suhu 20 o C. DNA dilihat kwalitasnya dengan dimigrasikan pada gel agarosa 1,2% dengan menggunakan buffer 1xTBE (89 mm Tris, 89 mm asam borat dan 2 mm EDTA, ph 8,0) dalam piranti Submarine Electrophoresis (Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ = 300 nm) setelah gel diwarnai dengan ethidium bromide (0,5 μg/ml). Amplifikasi DNA dengan PCR DNA total hasil ekstraksi digunakan sebagai DNA cetakan untuk proses amplifikasi. Primer-primer yang digunakan dalam penelitian ini didisain untuk mengamplifikasi gen Cyt b parsial dan D-loop parsial (Tabel 3). Primer untuk Cyt b menggunakan primer L14841 dan H15149 (Kocher et al. 1989). Primer untuk D-loop didisain berdasarkan data runutan T. bancanus (Kode akses Genbank NC_002811) yang dibandingkan dengan primer-primer yang telah dipakai untuk mengamplifikasi daerah D-loop (Wilkinson et al. 1991; Hapke et al. 2001). Program primer 3 ( digunakan untuk menyeleksi primer-primer yang dapat memberikan kemungkinan hasil yang baik. Lokasi penempelan primer untuk mengamplifikasi gen Cyt b dan daerah D-loop berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Tabel 3. Urutan basa dan suhu penempelen primer untuk mengamplifikasi gen Cyt b dan D-loop Tarsius sp. PRIMER TARGET NAMA Urutan Basa Cyt b parsial D-loop parsial L14841 H15149 DLTARPROF DLTARBFR (F) 5 AAAGCTTCCATCCAACATCTCAG CATGATGAAA 3 (R) 5 AAACTGCAGCCCCTCAGAATGAT ATTTGTCCTCA 3 (F) 5 CTGGCATTCTCCATAAACT 3 (R) 5 GTTGCTGATTTCACGGAGGAAG 3 Suhu Penempelan Produk PCR (pb) 60 O C O C
20 23 Komposisi 50 μl campuran pereaksi PCR terdiri dari 2,5 mm MgCl 2, 10 mm dntps, ng DNA cetakan, pmol masing-masing primer dan 2 U Taq polimerase (Bio lab) beserta bufernya. Amplifikasi DNA dengan PCR pada penelitian ini menggunakan mesin GeneAmp R PCR system 2400 (Perkin Elmer). Amplifikasi gen Cyt b parsial dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94 o C selanjutnya diikuti dengan 94 o C selama 30 detik untuk denaturasi, 60 o C selama 45 detik untuk penempelan primer (annealing), 72 o C selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation); amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri 5 menit pada 72 o C. Amplifikasi PCR D-loop utuh dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94 o C selanjutnya diikuti dengan 94 o C selama 30 detik untuk denaturasi, 53 o C selama 45 detik untuk penempelan primer (annealing), 72 o C selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation); reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan pemanjangan (extension) selama 5 menit pada 72 o C. Amplifikasi PCR D-loop parsial dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94 o C selanjutnya diikuti dengan 94 o C selama 30 detik, 55 o C selama 45 detik, 72 o C selama 1 menit; sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri 5 menit pada 72 o C. Produk PCR dideteksi dengan cara dimigrasikan pada gel agarosa 1,2% dengan menggunakan buffer 1xTBE dalam piranti Submarine Electrophoresis (Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ = 300nm) setelah gel diwarnai dengan ethidium bromide. Penanda DNA dengan ukuran 100 pb digunakan sebagai penunjuk berat molekul. Penentuan Runutan Nukleotida Produk PCR hasil amplifikasi dimurnikan dengan menggunakan GFX Column purification kit (Amersham, USA), selanjutnya dipergunakan sebagai DNA cetakan untuk reaksi penentuan runutan nukleotida. Runutan nukleotida gen Cyt b parsial diperoleh dengan menggunakan alat pennentuan runutan DNA otomatis ABI Prism versi (USA). Kondisi untuk reaksi penentuan runutan adalah sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94 o C selanjutnya diikuti dengan 94 o C selama 30 detik, 60 o C 23
21 24 selama 45 detik, 72 o C selama 1 menit; reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan (extension) selama 5 menit pada 72 o C. Reaksi untuk penentuan runutan D-loop parsial menggunakan larutan pereaksi Thermo Sequenase Cy5 Dye Terminator Cycle Sekuencing Kit (Amersham, USA) dengan mesin GeneAmp R PCR system 2400 (Perkin Elmer). Kondisi untuk reaksi penentuan runutan adalah sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94 o C selanjutnya diikuti dengan 94 o C selama 30 detik, 55 o C selama 45 detik, 72 o C selama 1 menit; reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan (extension) selama 5 menit pada 72 o C. Produk reaksi penentuan runutan dipurifikasi menggunakan kolom autoseq G-50, kemudian DNA dikonsentrasikan dengan penambahan alkohol absolut yang dilanjutkan pencucian menggunakan alkohol 70%. Setelah kering, ditambahkan ke dalamnya 6 μl stop solution. Larutan diinkubasi pada 72 o C selama 5 menit dan kemudian dimasukkan ke dalam es. Runutan nukleotida diperoleh dengan menggunakan alat perunut DNA otomatis ALFexpress II (Amersham pharmacia biotech), pada kondisi 1500 V, arus listrik 60mA, daya 25 W, suhu 55 o C, selama 700 menit. Analisis Data Penjajaran berganda homologi runutan nukleotida gen Cyt b dan D-loop dianalisis dengan bantuan perangkat lunak Genetyx-Win versi 3.0 dan Clustal W (Thompson et al. 1994). Selain berdasarkan runutan nukleotida, gen Cyt b dianalisis berdasarkan runutan asam amino dari basa-basa yang diterjemahkan mengikuti vertebrate mitochondrial translation code yang ada dalam MEGA versi 3.1. Runutan asam amino sinonimus dianalisis secara manual berdasarkan runutan triplet kodon yang mengalami mutasi. Sebagai spesies pembanding digunakan T. bancanus (Nomor akses NC_002811), Nycticebus coucang (NC_002765), Lemur catta (NC_004025), Cebus albifrons (NC_002763), Lagothrix lagotricha (AF ), Macaca sylvanus (NC_002764), M. mulatta (NC_005943), Hylobates lar (NC_002082), Pongo pygmaeus (NC_002083), Pan paniscus (NC_001644), Pan troglodytes (NC_001643), Gorilla gorilla (NC_001645), Homo sapiens (NC_001807). 24
22 25 Analisis filogeni menggunakan perangkat lunak MEGA versi 3.1 (Kumar et al. 2001) dengan metode bootstrapped Neighbor-Joining dengan 1000 kali pengulangan. 25
BAB 4. METODE PENELITIAN
BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian penanda genetik spesifik dilakukan terhadap jenis-jenis ikan endemik sungai paparan banjir Riau yaitu dari Genus Kryptopterus dan Ompok. Penelitian ini bertujuan untuk
Lebih terperinci4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel
7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi fauna melimpah yang tersebar di
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang berada di antara dua wilayah biogeografis utama yaitu Benua Asia dan Australia yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang
Lebih terperinciPenelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB.
Kolokium Ajeng Ajeng Siti Fatimah, Achmad Farajallah dan Arif Wibowo. 2009. Karakterisasi Genom Mitokondria Gen 12SrRNA - COIII pada Ikan Belida Batik Anggota Famili Notopteridae. Kolokium disampaikan
Lebih terperinciKeragaman Genetik Gen Penyandi Dehydrogenase Sub-unit 3 Mitokondria pada Monyet Hantu (Tarsius sp.)
Jurnal Veteriner Maret 2011 Vol. 12 No. 1: 26-33 ISSN : 1411-8327 Keragaman Genetik Gen Penyandi Dehydrogenase Sub-unit 3 Mitokondria pada Monyet Hantu (Tarsius sp.) (GENETIC DIVERSITY OF MITOCHONDRIAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih kurang 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa. Posisi geografis yang terletak di antara dua benua dan
Lebih terperinciKajian Molekular Tarsius sp. Pada Gen Penyandi Cytochrome Oxidase Subunit 2 Mitokondria
Biota Vol. 15 (1): 98 106, Februari 2010 ISSN 0853-8670 Kajian Molekular Tarsius sp. Pada Gen Penyandi Cytochrome Oxidase Subunit 2 Mitokondria The Molecular Study on Mitochondrial Cytochrome Oxidase 2(COX2)
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;
BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Lebih terperinci4 Hasil dan Pembahasan
4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied
Lebih terperinciBAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel
16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik
Lebih terperinciTabel 1. Komposisi nukleotida pada gen sitokrom-b parsial DNA mitokondria Cryptopterus spp.
12 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan Lais Cryptopterus spp. yang didapatkan dari S. Kampar dan Indragiri terdiri dari C. limpok dan C. apogon. Isolasi DNA total dilakukan terhadap cuplikan otot ikan Lais Cryptopterus
Lebih terperinciJurnal Kedokteran Hewan Vol. 7 No. 2, September 2013 ISSN : X
ISSN : 1978-225X KAJIAN DEOXYRIBONUCLEIC ACID (DNA) BARCODE PADA SPESIES Tarsius bancanus, Tarsius spectrum, DAN Tarsius dianae DENGAN MENGGUNAKAN GEN CYTOCHROME OXIDASE SUB-UNIT I () Genetic Diversity
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap
BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masuk dalam urutan ketiga dari ketujuh negara dunia lainnya sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling
16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi
Lebih terperinciPRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas
PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian
12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Lebih terperinciPokok Bahasan: Ekspresi gen
Pokok Bahasan: Ekspresi gen Sub Pokok Bahasan : 3.1. Regulasi Ekspresi 3.2. Sintesis Protein 3.1. Regulasi ekspresi Pengaruh suatu gen dapat diamati secara visual misalnya pada anggur dengan warna buah
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi
Lebih terperinci3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan
Lebih terperinciBAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan
BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Tahapan Analisis DNA S. incertulas
11 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Koleksi sampel dilakukan pada beberapa lokasi di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:
BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan
Lebih terperinciKryptopterus spp. dan Ompok spp.
TINJAUAN PUSTAKA Kryptopterus spp. dan Ompok spp. Kryptopterus spp. dan Ompok spp. merupakan kelompok ikan air tawar yang termasuk dalam ordo Siluriformes, famili Siluridae. Famili Siluridae dikenal sebagai
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian
Lebih terperinciKolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria
Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DNA Mitokondria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul
Lebih terperinciKERAGAMAN GENETIK CYTOCHROME B PADA BURUNG MAMBRUK (Goura sp.)
KERAGAMAN GENETIK CYTOCHROME B PADA BURUNG MAMBRUK (Goura sp.) Oleh: Lasriama Siahaan G04400032 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK LASRIAMA
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2001 sampai dengan September 2005. Pengamatan dan pengukuran morfologi (morfometri), pengamatan aktivitas
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian
14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Morfologi Pada penelitian ini digunakan lima sampel koloni karang yang diambil dari tiga lokasi berbeda di sekitar perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Pramuka
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Materi
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (6) P. t. sumatrae (7) P. t. virgata (8) P. t. sondaica (9) P. t. balica
TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) Klasifikasi harimau berdasarkan Nowak & Paradiso (1983) adalah sebagai berikut: Kingdom Animal, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mammalia,
Lebih terperinciKeanekaragaman Genetika Ikan Lais Cryptopterus spp. dari Propinsi Riau Berdasarkan Sitokrom-b DNA Mitokondria
Ill Keanekaragaman Genetika Ikan Lais Cryptopterus spp. dari Propinsi Riau Berdasarkan Sitokrom-b DNA Mitokondria Yusnarti Yus' dan Roza Elvyra' 'Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Riau,
Lebih terperinciKAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI
KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i ABSTRACT RINI WIDAYANTI. The Study of Genetic
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini
BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop
Lebih terperinciFAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI
Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA
LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI DNA SEL MUKOSA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi dan Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria berfungsi sebagai organ respirasi dan pembangkit energi dengan
Lebih terperinciFAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI
ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,
Lebih terperinciII. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR
II. BAHAN DAN METODE Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hibrida hasil persilangan resiprok 3 strain BEST, Nirwana dan Red NIFI koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor.
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b
TINJAUAN PUSTAKA Tikus (Rattus norvegicus) Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang terdapat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode
16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,
Lebih terperinciBAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN
14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas
Lebih terperinciLampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid
LAMPIRAN 9 Lampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid Satu ruas tungkai udang mantis dalam etanol dipotong dan dimasukkan ke dalam tube 1,5 ml. Ruas tungkai yang telah dipotong (otot tungkai)
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe
Lebih terperinciLAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM)
LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DNA GENOM TUJUAN 16s rrna. Praktikum
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat
12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2006 sampai dengan bulan April 2007. Penelitian dilakukan di rumah kaca, laboratorium Biologi Molekuler Seluler Tanaman, dan
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth
III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan kebutuhan gizi. Bahan pangan asal hewan
Lebih terperinciKajian Molekuler Daerah D-Loop Parsial DNA Mitokondria Kuda (Equus caballus) Asli Tengger
Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 1-6 ISSN : 1411-8327 Kajian Molekuler Daerah D-Loop Parsial DNA Mitokondria Kuda (Equus caballus) Asli Tengger (MOLECULER STUDY ON PARTIAL D-LOOP OF MITOCHONDRIAL
Lebih terperinciBAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan berdasarkan langkah-langkah penelitian yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya dalam empat bagian yang meliputi; sampel mtdna,
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Analisis Kekerabatan Rayap Tanah M. gilvus dengan Pendekatan Perilaku
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Sampel rayap diambil dari Cagar Alam Yanlappa-Jasinga dan Kampus IPB- Dramaga, Bogor. Rayap diidentifikasi dan diuji perilaku agonistiknya di Laboratorium Biosistematika
Lebih terperinciAsam amino dan Protein
Asam amino dan Protein Protein berasal dari kata Yunani Proteios yang artinya pertama. Protein adalah poliamida dan hidrolisis protein menghasilkan asam- asam amino. ' suatu protein 2, + kalor 22 + 22
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut
Lebih terperinciLampiran 1 Persiapan sebelum tahapan kuantitasi DNA dengan RT-PCR. a. Penempatan larutan di dalam well sebelum DNA dikuantitasi dengan RT- PCR
55 Lampiran 1 Persiapan sebelum tahapan kuantitasi DNA dengan RT-PCR. a. Penempatan larutan di dalam well sebelum DNA dikuantitasi dengan RT- PCR Keterangan : Std 1 Std 1 1A EC Std 2 Std 2 1 B Std 3 Std
Lebih terperinciThe Origin of Madura Cattle
The Origin of Madura Cattle Nama Pembimbing Tanggal Lulus Judul Thesis Nirmala Fitria Firdhausi G352080111 Achmad Farajallah RR Dyah Perwitasari 9 Agustus 2010 Asal-usul sapi Madura berdasarkan keragaman
Lebih terperinciANALISIS VARIASI NUKLEOTIDA DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA PADA SATU INDIVIDU SUKU BALI NORMAL
ISSN 1907-9850 ANALISIS VARIASI NUKLEOTIDA DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA PADA SATU INDIVIDU SUKU BALI NORMAL Ketut Ratnayani, I Nengah Wirajana, dan A. A. I. A. M. Laksmiwati Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Lebih terperincimenggunakan program MEGA versi
DAFTAR ISI COVER... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x INTISARI... xi ABSTRACT... xii PENDAHULUAN...
Lebih terperinciSAIN VETERINER JURNAL DITERBITKAN OLEH FAKULTA KEDOKTERAN HEWM UNIVERSITAS GADJAH MADA
ISSN : 0126-0421 JURNAL SAIN VETERINER (JOURNAL OF VETERINARY SCIENCE) DITERBITKAN OLEH FAKULTA KEDOKTERAN HEWM UNIVERSITAS GADJAH MADA PUBLISHED BY FACULTY OF VETERINARY MEDICINE GADJAH MADA UNIVERSITY
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode
24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Objek Penelitian Empat spesies burung anggota Famili
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode
22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium
Lebih terperinciISOLASI DNA DAN AMPLIFIKASI FRAGMEN D-LOOP MITOKONDRIAL PADA IKAN Ompok hypophthalmus (Bleeker, 1846) DARI SUNGAI KAMPAR PROVINSI RIAU
ISOLASI DNA DAN AMPLIFIKASI FRAGMEN D-LOOP MITOKONDRIAL PADA IKAN Ompok hypophthalmus (Bleeker, 1846) DARI SUNGAI KAMPAR PROVINSI RIAU Della Rinarta, Roza Elvyra, Dewi Indriyani Roslim Mahasiswa Program
Lebih terperinciBAB III. SUBSTANSI GENETIK
BAB III. SUBSTANSI ETIK Kromosom merupakan struktur padat yg tersusun dr komponen molekul berupa protein histon dan DNA (kumpulan dr kromatin) Kromosom akan tampak lebih jelas pada tahap metafase pembelahan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk
Lebih terperinciANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI
1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Lebih terperinciketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di
Membran Inti Inti sel atau nukleus sel adalah organel yang ditemukan pada sel eukariotik. Organel ini mengandung sebagian besar materi genetik sel dengan bentuk molekul DNA linear panjang yang membentuk
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Kuantitas DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dengan Spektrofotometer Pengujian kualitas DNA udang jari (Metapenaeus
Lebih terperinciBAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI
BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan
Lebih terperincin. TINJAUAN PUSTAKA 2,1. Sistimatika dan Ciri Morfologi Ikan Lais Cryptopterus spp.
1 I. PENDAHULUAN Ikan Lais Cryptopterus spp. biasa hidup pada ekosistem sungai rawa banjiran. Ikan Lais merupakan salah satu ikan yang bemilai ekonomis tinggi. Di propinsi Riau, ikan Lais digemari oleh
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA
LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN IV (ISOLASI RNA DARI TANAMAN) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI RNA DARI TANAMAN TUJUAN Tujuan
Lebih terperinciPolimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging
DNA membawa informasi genetik dan bagian DNA yang membawa ciri khas yang diturunkan disebut gen. Perubahan yang terjadi pada gen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada produk gen tersebut. Gen sering
Lebih terperinciLAMPIRAN. Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer
LAMPIRAN Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. LARUTAN STOK CTAB 5 % (100 ml) - Ditimbang NaCl sebanyak 2.0 gram - Ditimbang CTAB sebanyak 5.0 gram. - Dimasukkan bahan kimia ke dalam erlenmeyer
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis Aves memiliki pembuluh
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. dua lembar plastik transparansi dan semua sisinya direkatkan hingga rapat.
(Polyacrilamide Gel Elektroforesis) 5,5% pada tegangan 85 V selama 6 jam. Standar DNA yang digunakan adalah ladder (Promega) Gel polyacrilmide dibuat dengan menggunakan 30 ml aquades, 4 ml 10xTBE, 5,5
Lebih terperinci3 Metodologi Penelitian
3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Biokimia, Program Studi Kimia, Institut Teknologi Bandung. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
Lebih terperinciPENYORTIRAN PROTEIN INTRASELULAR
PENYORTIRAN PROTEIN INTRASELULAR PENYORTIRAN PROTEIN INTRASELULAR Achmad Farajallah, Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi FMIPA IPB Setiap organel sel yang mengalami pertumbuhan
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and
23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis
Lebih terperinci