IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tepung Talas Tahap awal dalam pembuatan tepung talas adalah pengupasan umbi yang bertujuan untuk menghilangkan kulit. Selanjutnya dilakukan pengirisan untuk memperkecil ukuran umbi talas menjadi lebih tipis sehingga bidang permukaan untuk penguapan menjadi lebih besar sehingga mempercepat pengeringan. Setelah itu irisan talas direndam dalam water bath dengan suhu 40ºC selama 3 jam. Setelah direndam dalam air hangat dilanjutkan dengan perendaman dengan larutan NaCl 10% selama 1 jam. Perendaman dengan air hangat dan larutan NaCl bertujuan untuk mengurangi kadar asam oksalat yang menimbulkan rasa gatal saat memakan talas (Mayasari 2010). Setelah dilakukan perendaman terbentuk lendir gatal yang menyelimuti talas maka setelah perendaman dengan NaCl dilakukan pencucian dengan air mengalir terlebih dahulu untuk menghilangkan lendir tersebut. Diagram pembuatan tepung talas dapat dilihat pada Gambar 6. Pengeringan dilakukan setelah pencucian. Pengeringan ini dilakukan dengan menggunakan oven pengering tipe rak pada suhu ± 60ºC selama 6 jam pengeringan. Pada oven pengering tidak terdapat mekanisme penstabil suhu otomatis, oleh karena itu suhu dipertahankan dengan cara mengatur api pembakaran (sumber panas). Setelah umbi talas kering dilakukan penggilingan sampai menjadi tepung dengan menggunakan mesin penggiling tipe discmill. Penggiling tersebut dilengkapi ayakan 60 mesh. Setelah dilakukan penggilingan, tepung yang lolos dan tidak lolos ayak dipisahkan. Tepung yang lolos ayak kemudian diayak kembali menggunakan ayakan 80 mesh untuk mendapatkan tepung yang lebih halus. Pembuatan tepung talas dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Talas yang digunakan untuk ketiga ulangan tersebut adalah g umbi talas segar dan dihasilkan g tepung talas lolos ayak mesh 80. Hal ini menunjukkan rendemen penepungan bernilai 19.7%. Dalam proses perubahan dari umbi segar sampai menjadi tepung talas, banyak terjadi kehilangan bobot. Susut bobot dalam pengolahan tepung talas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Susut bobot dalam pengolahan tepung talas Tahapan Nilai Talas segar (g) Talas kupas (g) Talas iris (g) Talas kering (g) Tepung Talas (g) Tepung talas setelah diayak mesh 80 (g) Rendemen (%) 19.7 Kehilangan bobot pada pembuatan tepung talas terjadi mulai pada proses awal yaitu pengupasan sampai dengan proses akhir yaitu pengayakan tepung. Pada proses awal yaitu pengupasan, bobot umbi berkurang karena adanya kehilangan kulit umbi. Selanjutnya pada proses pengirisan juga terjadi kehilangan bobot. Kehilangan bobot pada proses pengirisan dihasilkan dari pembuangan bagian umbi yang busuk atau menghitam. Selanjutnya pada proses pengeringan terjadi kehilangan bobot yang paling besar. Pada proses pengeringan terjadi kehilangan kandungan air dari umbi talas. Ketika proses penepungan menggunakan discmill terjadi kehilangan bobot akibat tepung yang mengalami pelayangan dan menempel pada mesin. Kehilangan bobot juga diakibatkan oleh adanya tepung talas kasar yang tidak lolos dari ayakan dalam mesin penggiling. Pada proses selanjutnya yaitu proses 23

2 penyakan masih terdapat kehilangan bobot. Hal ini diakibatkan oleh tepung talas yang tidak cukup halus untuk lolos ayakan 80 mesh sehingga tertinggal di atas ayakan. 1. Analisa Tepung Talas a. Karakteristik Fisika 1) Derajat putih (Whiteness) Sifat atau mutu suatu komoditi banyak dikaitkan dengan warna. Produk tepung-tepungan sangat berkaitan dengan warna putih bersih. Jika warnanya menyimpang maka mutunya dinilai kurang baik. Nilai derajat putih dari tepung talas dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Derajat putih tepung talas Kehalusan Tepung Derajat Putih > mesh 60 (tidak lolos grinder) 42.8 > mesh 80 (tidak lolos ayak) 51.7 < mesh 60 (lolos grinder) 68.7 < mesh 80 (lolos ayak) 71.6 Dari Tabel 8 dapat dilihat hubungan antara kehalusan tepung dan derajat putihnya. Semakin halus tepung maka semakin tinggi derajat putihnya. Hal ini dikarenakan saat pengeringan terjadi perubahan warna pada bagian luar irisan talas. Perubahan warna tersebut membuat bagian luar irisan talas semakin gelap tetapi tidak pada bagian dalamnya. Banyak makanan berpati juga mengandung dextrin. Pada talas yang dipanaskan akan menyebabkan dextrin terpolimerisasi membentuk senyawa kompleks yang berwarna coklat yaitu pirodextrin. Perubahan warna ini disertai dengan pengerasan bagian luar irisan talas. Saat irisan talas kering digiling, bagian luarnya yang lebih keras tidak ikut tergiling dan tidak lolos ayak. Maka dari itu tepung talas kasar yang tidak lolos ayak nilai derajat putihnya lebih rendah daripada tepung talas halus yang lolos ayak. Pada Gambar 8 dapat dilihat perbandingan visual tepung talas yang dihasilkan. 24

3 Gambar 8. Tepung talas 2) Densitas kamba Densitas kamba adalah sifat bahan pangan dari tepung-tepungan yang merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan. Suatu bahan dikatakan kamba apabila nilai densitas kambanya kecil, berarti dibutuhkan ruang (volume) yang besar untuk berat yang ringan. Densitas kamba tepung talas yang dihasilkan adalah g/ml. Densitas kamba tepung talas lebih besar jika dibanding dengan tepung talas belitung dan hampir sama dengan densitas kamba tepung terigu protein lunak. Nilai perbandingan densitas kamba tepung talas dengan tepung talas belitung dan tepung terigu protein lunak dapat dilihat pada Tabel 9. 25

4 Tabel 9. Perbandingan densitas kamba tepung talas, tepung talas belitung, dan tepung terigu protein rendah Densitas Kamba (g/ml) Tepung Talas Tepung Talas Belitung a Tepung Terigu Protein Rendah b Sumber : a. Indrasti, 2004 b. Kusfriadi, 2004 Dengan mengetahui densitas kamba, kita dapat memperkirakan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan pangan dengan berat tertentu. Semakin besar nilai densitas kamba maka semakin efektif dan efisien dalam penyimpanannya karena dengan jumlah volume (ruang) penyimpanan yang sama maka jumlah (bobot) bahan yang dapat ditampung akan lebih banyak. Hal ini dapat berperan penting seperti dalam proses pengisian silo, alat pencampur maupun konveyor. Oleh karena itu nilai densitas kamba juga dapat digunakan dalam merencanakan gudang penyimpanan, volume alat pengolahan atau pun sarana transportasinya. 3) Profil gelatinisasi Salah satu sifat fungsional karbohidrat yang penting dalam proses pengolahan pangan adalah sifat gelatinisasi pati. Granula pati bila disuspensikan dalam air dan dipanaskan akan mengalami proses gelatinisasi, yaitu dapat mengental selama proses pemanasan dan membentuk gel setelah didinginkan. Hal ini disebabkan oleh granula pati dapat menyerap air ketika dipanaskan dan mengalami proses pengembangan yang menyebabkan viskositasnya meningkat adanya sifat gelatinisasi pati ini menyebabkan pati banyak digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel dalam proses pengolahan pangan. Ditinjau dari sifat rheologinya, pati yang telah tergelatinisasi memiliki sifat mengalir sehingga yang diukur adalah nilai kekentalannya. Tetapi setelah proses gelatinisasinya selesai, maka sifatnya dapat berubah menjadi lebih bersifat elastis dan yang dapat diukur adalah nilai kekuatan gelnya. Salah satu metode untuk mengetahui profil gelatinisasi pati adalah dengan menggunakan instrumen Rapid Visco Analyzer (RVA). Amilogram dari suspensi tepung talas yang diukur menggunakan RVA dapat dilihat pada Gambar 9 dan amilogram yang diperoleh akan memberikan data-data seperti yang tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Data amilogram tepung talas Ulangan PV HPV BD CPV SV Peak Time I II III Rata-rata PT Keterangan : PT = Pasting Temperature (Suhu awal gelatinisasi dalam ºC) PV = Peak Viscosity (Viskositas puncak dalam cp) HPV = High Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 95ºC setelah 5 menit dalam cp) BD = Breakdown (Perubahan viskositas selama pemanasan atau PV HPV dalam cp) CPV = Cold Peak Viscosity (viskositas pada suhu 50ºC setelah 5 menit dalam cp) SV = Setback Viscosity (Perubahan viskositas selama pendinginan atau CPV HPV dalam cp) Peak Time = Waktu granula pecah (menit) 26

5 Keterangan : Ulangan I Ulangan II Ulangan III Suhu Gambar 9. Amilogram dari suspensi tepung talas yang diukur dengan RVA Berdasarkan kurva RVA pada Gambar, maka tepung talas memiliki profil gelatinisasi pati tipe A berdasarkan pengelompokkan oleh Schoch dan Maywald (1968). Profil gelatinisasi pati tipe A ini ditandai dengan nilai viskositas puncak yang cukup tinggi dan viskositas breakdown yang cukup tajam. Profil gelatinisasi tepung talas mirip dengan profil gelatinisasi pati garut. Perbandingan data amilogram antara tepung talas dan pati garut dapat dilihat pada Tabel 11 dan amilogram pati garut dapat dilihat pada Gambar 10. Tabel 11. Profil gelatinisasi tepung talas dan pati garut Parameter Tepung Talas * Pati Garut a Suhu awal gelatinisasi (ºC) Viskositas puncak (cp) Viskositas pada suhu 95ºC setelah 5 menit (cp) Viskositas breakdown (cp) viskositas pada suhu 50ºC setelah 5 menit (cp) Viskositas setback (cp) *) Hasil rata-rata tiga kali ulangan tepung talas Sumber : a) Faridah (2011) 27

6 Gambar 10. Amilogram pati garut (Faridah 2011) Suhu awal gelatinisasi (PT) merupakan suhu dimana granula tepung mulai menyerap air atau dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas. Suhu awal gelatinisasi tepung talas yang dihasilkan adalah 82.9ºC. Suhu gelatinisasi merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Kadar lemak atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi (Glicksman 1969 dalam Richana dan Sunarti 2004). Suhu awal gelatinisasi tepung talas termasuk tinggi, hal ini dapat diakibatkan oleh kandungan protein tepung talas yang cukup tinggi. Peak viscosity atau viskositas puncak menunjukkan kondisi awal tepung tergelatinisasi atau mencapai pengembangan maksimum hingga selanjutnya akan pecah. Viskositas puncak pada tepung talas adalah cp. Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringence-nya dan granula sudah tidak mempunyai kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat kristal dan birefringence adalah amilopektin. Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil terhadap panas. Penurunan viskositas yang terjadi selama pemanasan bernilai cp. Penurunan viskositas yang terjadi selama pemanasan pasta tepung cukup tinggi. Hal ini menunjukkan tepung talas tidak stabil terhadap pemanasan. Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan. Setback diperoleh dari selisih antara viskositas akhir dengan viskositas setelah pemanasan (T=95ºC selama t=5 menit). Semakin tingginya nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Fenomena retrogradasi pati disebabkan oleh terjadinya pembentukan kembali ikatan hidrogen antar molekul amilosa dan amilopektin. Perubahan viskositas yang terjadi selama pendinginan sebesar cp. Hal ini menunjukkan kecenderungan tepung talas untuk mengalami retrogradasi cukup tinggi. Satuan Sistem Internasional (SI) untuk koofisien viskositas adalah Ns/m2 = Pa.s (pascal sekon). Satuan poise digunakan untuk mengenang seorang Ilmuwan Perancis yaitu Jean Louis Marie Poiseuille. 1 poise = 10-1 N.s/m 2 maka 1 cp = 10-3 N.s/m 2 = 1 mpa.s 28

7 4) Karakteristik aliran bahan kering Karakteristik curah bahan pangan berbentuk tepung kering memegang peranan penting dalam dalam berbagai proses, operasi penanganan, dan penyimpanan. Kesulitan untuk mengalir dan terjadinya caking merupakan masalah yang umum pada industri yang memproduksi atau menggunakan bahan pangan berbentuk bubuk. Beberapa bahan pangan bubuk seperti buah dan sayuran bubuk cenderung menyebabkan terjadinya kesulitan aliran, sedangkan tepung dan pati di bawah kondisi penyimpanan yang normal relatif lebih bebas untuk mengalir. Kelembaban yang tinggi, tekanan pemadatan, dan ukuran partikel yang kecil adalah beberapa penyebab terjadinya kesulitan mengalir (Peleg 1973). Cara bagaimana bahan makanan berbentuk granular atau tepung mengalir ke dalam atau ke luar wadah merupakan hal yang dibutuhkan oleh pabrik pengolahan. Sudut peluncuran adalah sudut dari posisi horisontal yang dibutuhkan oleh tepung untuk kehilangan posisinya dari atas plat. Plat yang digunakan dalam pengujian ini berbahan stainless steel. Hal ini dikarenakan sebagian besar pabrik pengolahan pangan menggunakan bahan tersebut untuk pengolahan ataupun pemindahan tempat bahan. Sudut peluncuran tepung talas dapat dilihat pada Tabel 12. Ulangan Tabel 12. Sudut peluncuran tepung talas Sudut Luncur (º) Rata-rata I II III Dari hasil percobaan, sudut peluncuran tepung talas berkisar antara 33.33º sampai 33.67º. Dapat dikatakan sudut peluncuran efektif untuk mengalirkan tepung talas adalah 34º. 5) Karakteristik organoleptik tepung talas a) Warna Tepung talas memiliki warna khas yaitu sedikit kecoklatan. Hal ini dipengaruhi oleh warna umbi talas segar dan juga warna talas kering yang telah mengalami reaksi pencoklatan akibat pengeringan. Warna tepung talas relatif lebih gelap dibandingkan dengan tepung terigu protein sedang. Perbandingan warna tepung terigu dan tepung talas yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini. Tepung terigu dapat lebih putih daripada tepung talas juga dapat diakibatkan oleh proses pemutihan yang telah dialami tepung terigu. Gambar 11. Perbandingan warna tepung talas dan tepung terigu 29

8 b) Tekstur dan kehalusan Perbandingan tekstur dan kehalusan dilakukan antara tepung terigu protein sedang dan tepung talas. Hasil perbandingan menunjukkan tepung talas terasa lebih kasar dibanding tepung terigu. Selain itu tepung talas terasa lebih kering saat disentuh. b. Karakteristik Kimia Sifat kimia tepung talas dipengaruhi oleh sifat kimia umbi talas segar dan kondisi selama pembuatan tepung. Sifat kimia yang dianalisa dari tepung talas adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Hasil analisa kimia tepung talas secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 13. Persentase komposisi kimia tepung talas tersebut dihitung dalam persen basis basah. Pada Tabel 13 dapat dilihat pula perbandingan komposisi kimia tepung talas dan dua tepung umbi lainnya yaitu tepung pati garut dan tepung gembili. Komposisi kimia proksimat tepung yang paling mirip dengan tepung talas adalah tepung gembili. Profil gelatinisasi tepung talas mirip dengan profil gelatinisasi tepung pati garut, namun proksimatnya berbeda. hal ini dikarenakan profil gelatinisasi lebih dipengaruhi kandungan pati (amilosa dan amilopektin). Walaupun fraksi amilosa dan amilopektin terhadap pati tepung gembili hampir sama dengan tepung talas, namun kandungan pati tepung gembili jauh lebih rendah dibandingkan pati tepung talas dan tepung pati gembili sehingga amilogram dari tepung talas dan tepung pati gembili memiliki kesamaan. Kandungan amilosa dan amilopektin pada tepung juga mempengaruhi kegunaan dari tepung tersebut. Pati dengan kadar amilosa tinggi banyak digunakan untuk berbagai produk seperti pada biodegradable film yang berfungsi sebagai substrat enzim maupun sebagai pengikat pada pembuatan tablet. Sebaliknya pati dengan kadar amilopektin tinggi sangat sesuai untuk bahan roti dan kue karena sifat amilopektin yang sangat berpengaruh terhadap swelling properties (sifat mengembang pada pati). Sedangkan pati free amylose sangat diperlukan untuk bahan baku makanan bayi dan kertas film. Amilosa juga berfungsi sebagai pelindung terhadap dehidrasi maupun mengurangi penyerapan minyak yang terlalu banyak saat proses penggorengan seperti pada produksi keripik kentang. Tabel 13. Komposisi kimia tepung talas, tepung gembili, dan tepung pati garut Komposisi Kimia Tepung Talas Tepung Gembili a Tepung Pati Garut b Proksimat Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat * (%) Pati (%) c Amilosa (%) c Amilopektin (%) c Energi (kkal) *) hasil perhitungan metode by different Sumber : a) Richana dan Sunarti (2004) b) Faridah (2011) c) Hartati dan Titik (2003) 30

9 1) Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan tersebut. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan tingkat penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Kadar air tepung talas dipengaruhi oleh kadar air awal umbi talas segar, lama pengeringan, dan suhu pengeringan. Kadar air tepung talas yang dihasilkan adalah 7.84% dalam basis basah (Tabel 13). Kadar air tepung talas masih lebih kecil dari kadar air tepung terigu untuk bahan pangan yang diperbolehkan SNI yaitu maksimal 14.5% basis basah (SNI 3751:2009). SNI terigu dapat dilihat pada Lampiran 3. Kadar air yang rendah ini memberikan keuntungan pada saat penyimpanan. Umur simpan tepung yag dihasilkan akan lebih panjang dibandingkan umur simpan umbi segarnya. Kadar air yang rendah dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga aktivitas mikroorganisme dapat dicegah. Selain itu bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak, dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi (Muchtadi dan Sugiyono 1989). 2) Kadar abu Kadar abu yang terdapat dalam suatu bahan pangan menunjukkan jumlah kandungan mineralnya. Mineral-mineral tersebut terdiri atas kalsium, natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium, dan komponen lain dalam jumlah kecil. Dari hasil pengujian diperoleh kandungan abu dalam tepung talas sebesar 0.46% basis basah. Nilai tersebut masih di bawah nilai kadar abu yang diperbolehkan untuk tepung terigu yaitu 0.7% (SNI 3751:2009). 3) Kadar protein Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Fungsi utama protein bagi tubuh adalah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh. Kadar protein tepung talas yang diperoleh adalah 6.56% (bb). Hasil ini menunjukkan bahwa tepung talas merupakan jenis tepung yang memiliki kadar protein rendah. Jika dibandingkan dengan klasifikasi tepung terigu berdasarkan kandungan proteinnya, jumlah protein yang terdapat dalam tepung talas masih lebih rendah dari jenis tepung terigu protein sedang yang biasa digunakan dalam pembuatan cake yang mempunyai kandungan protein 10%. Menurut U.S. Wheat Associates (1983) tepung yang cocok untuk pembuatan cake adalah tepung dengan kadar protein 7 sampai 9%. Hal ini membuat cake yang dihasilkan memiliki daya kembang yang lebih rendah dibanding dengan cake yang dibuat dari tepung terigu. 4) Kadar lemak Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk kesehatan tubuh dan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak atau lemak menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kkal. Kadar lemak dalam tepung talas yang dihasilkan adalah 0.44% basis basah. Kandungan lemak yang sangat rendah ini membuat tepung talas yang dihasilkan tidak mudah rusak (tengik) akibat reaksi oksidasi dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. 5) Kadar karbohidrat Karbohidrat terdiri atas unsur C, H, dan O. Dalam bentuk sederhana, formula umum 31

10 karbohidrat adalah C n H 2n O n. Karbohidrat pada tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula sederhana, pentosa, dektrin, selulosa, dan pati. Perhitungan karbohidrat dalam tepung talas dilakukan dengan metode perhitungan by difference. Kandungan karbohidrat tepung talas yang dihasilkan adalah 84.70% (bb). Tingginya kandungan karbohidrat dalam tepung talas diharapkan membuat tepung ini dapat menjadi bahan pangan sumber karbohidrat alternatif. 6) Energi Tepung talas mempunyai kadar karbohidrat yang cukup tinggi dan menyumbang proporsi terbesar dari total energi yang terkandung dalam tepung talas dibandingkan dengan lemak dan protein. Jumlah energi yang terkandung dalam 100 gram tepung talas adalah kkal. Tingginya energi dalam tepung talas menjadikan tepung ini sebagai bahan pangan sumber energi alternatif yang potensial. B. Cake Talas Berdasarkan penelitian terdahulu telah banyak dibuktikan bahwa penggunaan tepung nonterigu sebagai bahan subtitusi dalam pembuatan pangan dapat dilakukan dengan berbagai tingkat konsentrasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dibuktikan penerimaan konsumen terhadap cake yang dibuat dari tepung talas. 1. Kualitas Cake Tepung Talas Selain dinilai dari uji organoleptik, kualitas cake tepung talas juga dinilai dari warna yang diukur menggunakan chromameter, keadaan kerak, bentuk simetri dan daya kembang. a. Warna Cake Selain perlu diuji secara organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap cake tepung talas, warna cake juga diuji secara percobaan menggunakan chromameter untuk mengetahui tingkat kecerahan dari cake tepung talas. Nilai dari chromameter dari cake tepung talas dapat dilihat pada Tabel 14. Nilai L menunjukkan kecerahan (brightness) dan mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Dimana semakin besar nilai L maka sampel akan berwarna semakin cerah. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai adari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai b dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Pada cake talas tersebut yang menjadi ukuran kesukaan adalah tingkat kecerahan (L) dan tingkat kekuningan cake (+b). Tabel 14. Nilai L, a, b hasil pengukuran menggunakan chromameter Konsentrasi Tepung Talas (%) Bagian cake L A B 0 (kontrol) Kerak Atas Kerak Bawah Dalam Kerak Atas Kerak Bawah Dalam Kerak Atas Kerak Bawah Dalam

11 Dari Tabel 14 dapat dilihat nilai L yang beragam namun memiliki hubungan antara tingkat kecerahan dengan kandungan tepung talas. Hal ini dipengaruhi oleh warna tepung talas. Tepung terigu memiliki warna yang lebih putih dibandingkan dengan tepung talas sehingga cake kontrol (0% tepung talas) memiliki warna yang lebih cerah baik warna kerak maupun warna remahnya. Cake dengan kandungan tepung talas lebih tinggi memiliki warna yang lebih gelap. Perbandingan warna cake talas dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Warna remah cake kontrol (kiri), cake 50% tepung talas (tengah), cake 100% tepung talas (kanan) Warna remah lebih cerah dibanding warna keraknya terutama warna kerak pada bagian bawah. Hal ini dipengaruhi reaksi pencoklatan yang dialami kerak karena efek pemanggangan pada suhu tinggi. Perbandingan warna remah dan kerak dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Perbandingan warna kerak dan remah pada cake b. Keadaan Kerak Pada cake yang dihasilkan terdapat retakan pada kerak bagian atasnya seperti pada Gambar 14. Menurut U.S. Wheat Associates (1983) kesalahan pada kerak (crust faults) ini dapat diakibatkan oleh oven terlalu panas, udara dalam oven kering, terlalu sedikit pemakaian gula, adonan terlalu tegar, terlalu banyak adonan dalam cetakan, dan kurang udara dalam adonan. Pada kasus ini retakan pada kerak atas cake diakibatkan oleh kurangnya udara dalam adonan. 33

12 Gambar 14. Retakan yang terdapat pada permukaan atas cake Adonan yang terlalu dingin atau terlalu panas, udaranya tidak cukup untuk dapat mengembangkan susunan cake. Hal serupa ini dapat terjadi bila pengkreman adonan terlalu singkat. Bila adonan kurang berudara cakenya cenderung akan retak-retak selama pembakaran. Aturlah sedemikian rupa agar pemasukan udara selama pencampuran benar-benar cukup dengan pengkremannya menurut waktu dan suhu yang tepat. c. Bentuk dan Daya Kembang Cake talas yang dihasilkan memiliki bentuk yang asimetris dapat dilihat pada Gambar 15. Nilai pengukuran tinggi cake sebelum dan setelah dibakar dapat dilihat pada Tabel 15. Gambar 15. Bentuk cake talas tampak samping Pengukuran tinggi cake yang asimetris dilakukan di tiga titik pengukuran. Ketiga titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 16. Dengan mengukur ketiga titik tersebut sehingga dapat mengetahui kecenderungan bentuk dari cake tersebut Gambar 16. Titik pengukuran tinggi cake setelah dibakar 34

13 Konsentrasi Tepung Talas (%) Tabel 15. Tinggi cake sebelum dan setelah dibakar Tinggi Cake (cm) Sebelum Setelah Dibakar Dibakar t1 t2 t3 rata-rata Rasio Pengembangan Volume 0 (kontrol) Dilihat dari Tabel 15 tinggi cake pada titik pengukuran 1 lebih tinggi dibandingkan kedua titik pengukuran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cake yang dihasilkan memiliki bentuk yang memuncak di tengah. Menurut U.S. Wheat Associates (1983) bentuk cake yang memuncak di tengah dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu tepung yang digunakan terlalu kuat, pengadukan yang kurang memadai, dan terlalu panas di bagian atas. Pada kasus ini yang menyebabkan bentuk cake yang memuncak di tengah adalah pengadukannya yang kurang memadai. Ini disebabkan oleh pencampuran yang tidak benar, terlalu lama atau terlalu singkat. Pencampuran yang berlebihan (over mixing) mengakibatkan hilangnya udara. Hilangnya udara mengakibatkan cake tidak dapat berkembang rata dan tepat, akibatnya bagian samping cake rendah serta di tengah-tengahnya memuncak. Sedangkan adonan yang pencampurannya kurang (undermixing) cake tidak mempunya cukup udara untuk berkembang dengan sepantasnya. Dengan demikian waktu pencampuran yang tepat dan pengadonannya yang merata harus diperhatikan. Selain dari faktor teknis pembuatan cake, kualitas cake juga dipengaruhi oleh profil gelatinisasi dan komposisi kimia dari tepung talas yang menjadi bahan bakunya. Viskositas maksimum sangat berpengaruh terhadap produk olahan misalnya untuk cake atau produk rerotian, volume cake berkorelasi negatif terhadap viskositas puncak (Mizokushi 1985 dalam Richana dan Sunarti 2004). Hal ini berarti terdapat kecenderungan menurunnya rasio pengembangan cake seiring dengan tingginya viskositas puncak tepung talas. Dengan viskositas puncak yang tinggi, kemungkinan baik untuk bahan pengisi atau pengental. Viskositas puncak tepung terigu protein sedang adalah 210 BU (Winata, 2001). Dari rendahnya nilai viskositas puncak tepung terigu protein sedang tersebut mengakibatkan rasio pengembangan volume cake yang paling tinggi dibandingkan dengan cake tepung talas. Cake yang dibuat dengan campuran tepung terigu dan tepung talas (kandungan tepung talas 50%) akan memiliki nilai rasio pengembangan volume cake yang lebih tinggi dibandingkan cake tepung talas 100% dan lebih rendah dibandingkan dengan cake tepung terigu (kandungan tepung talas 0%). Semakin tinggi viskositas puncak maka kekentalan adonan cake akan meningkat. Adonan cake yang terlalu kental akan menyebabkan udara yang berada pada adonan tidak memiliki cukup ruang untuk mengembang. Oleh karena itu cake dengan 100% tepung talas memiliki rasio pengembangan volume yang paling kecil. Jika digunakan 100% tepung talas, adonan membutuhkan bahan cari yang lebih banyak supaya viskositas adonan tidak terlalu tinggi. Selain dipengaruhi oleh viskositas puncak, pengembangan cake berbahan baku tepung terigu juga dipengaruhi oleh kandungan gluten pada tepung terigu. Pengikatan air pada adonan dipengaruhi oleh gluten pada tepung (Bennion dan Bamford 1979). Pada cake berbahan baku tepung terigu, cairan pada adonan yang terbentuk pada saat pengkreman akan tetap terperangkap pada saat ditambahkan terigu. Pada cake yang dibuat dari 100% tepung talas, air pada adonan menjadi tidak dapat terperangkap dengan baik sehingga cake yang dihasilkan memiliki pengembangan yang rendah dan lebih padat karena air menguap. Pada cake yang dibuat dari 50% tepung talas dan 50% tepung terigu, air pada adonan cukup dapat terperangkap dan mengembang dengan baik walaupun tidak seluruhnya. Viskositas balik mencerminkan kemampuan asosiasi atau retrogradasi molekul pati pada 35

14 proses pendinginan. Tepung talas memiliki viskositas balik yang cukup tinggi, hal ini menunjukkan pati talas lebih cepat mengalami retrogradasi. Fenomena ini biasa terjadi karena pada waktu gelatinisasi granula pati tidak mengembang secara maksimal, akibatnya energi untuk memutuskan ikatan hidrogen intermolekul kurang. Ketika pendinginan terjadi, amilosa dapat bergabung dengan cepat membentuk kristal yang tidak larut. Viskositas balik yang tinggi tidak diharapkan untuk produk kue, cake, maupun untuk rerotian, karena menyebabkan kekerasan sesudah produk dingin. Namun sebagai bahan pengisi dan pengental justru lebih baik, karena akan menghasilkan produk yang lebih stabil. 2. Karakteristik Organoleptik Cake Talas Untuk mengetahui daya terima panelis terhadap cake talas dilakukan uji organoleptik yang meliputi rasa, aroma, tekstur, pori, warna kerak dan warna remah. Penilaian cake talas dilakukan oleh 25 orang panelis. Metode yang digunakan dalam organoleptik cake talas ini adalah metode penerimaan. Oleh karena itu cake dengan 0% tepung talas (kontrol) tidak diikutsertakan dalam pengujian karena panelis akan cenderung membandingkan antara cake dengan komposisi yang berbeda tersebut sedangkan tujuan dari organoleptik metode penerimaan adalah untuk mengetahui daya terima panelis tanpa membandingkan satu sama lain. Pembuatan cake talas dilakukan tanpa tambahan perasa, penambah aroma, dan pewarna makanan. Hal ini ditujukan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap efek penambahan tepung talas secara organoleptik tanpa terpengaruh rasa dan aroma tambahan. Parameter orgaloleptik dipengaruhi oleh lemak, telur, susu skim, gula, dan konsentrasi tepung talas yang digunakan. Bahanbahan yang digunakan dalam pembuatan cake berjumlah sama kecuali konsentrasi tepung talas yang digunakan yaitu 50% dan 100% sehingga yang membedakan rasa, aroma, tekstur, pori, warna remah, dan warna kerak cake talas adalah konsentrasi tepung talas yang digunakan. Hasil penilaian rata-rata karakteristik organoleptik cake talas diuji secara statistik. Hasil ratarata statistik karakteristik organoleptik cake talas dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Rata-rata kesukaan panelis terhadap cake dengan faktor penepungan dan komposisi tepung Komposisi Keseragaman Warna Warna Penepungan Rasa Aroma Tekstur Tepung Pori Remah Kerak 50% I II III % I II III Pada sebagian respon, penepungan yang berbeda memberikan nilai rataan respon yang berbeda (di bagian rasa khususnya), ada indikasi ketiga penepungan memang menghasilkan karakteristik tepung yang berbeda sehingga menghasilkan respon yang berbeda. Dalam kasus ini penepungan didekati sebagai kelompok. Rancangan acak kelompok lengkap sangat baik digunakan jika keheterogenan unit percobaan berasal dari satu sumber keragaman. Percobaan rancangan acak kelompok cukup baik digunakan untuk mengatasi kesulitan dalam mempersiapkan unit percobaan homogen dalam jumlah besar. Proses pengelompokkan disini adalah membuat keragaman dalam kelompok sekecil mungkin dan keragaman antar kelompok menjadi sebesar mungkin. Sintaks SAS untuk pengujian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 4. 36

15 a. Rasa Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indra pencicip (lidah). Kesatuan antara interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa, dan tekstur merupakan keseluruhan rasa makanan yang dinilai. Rasa merupakan faktor yang paling penting dalam keputusan konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun warna, aroma, dan tekstur disukai namun jika rasanya tidak enak maka konsumen akan menolak makanan tersebut. Rasa cake talas dipengaruhi oleh margarin, susu, gula, dan kandungan tepung talas. Cake talas yang dihasilkan memiliki rasa gurih. Hasil analisa SAS untuk rasa (Lampiran 5) menunjukkan nilai p-value(0.0013) lebih kecil dari alpha(0.05) maka model nyata dan minimal ada satu faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon rasa. Coefficient variable (CV) menunjukkan keragaman. Percobaan dengan potensi keragaman hasil percobaan yang besar seperti yang dilakukan di ruangan terbuka dapat ditoleransi pada kisaran CV pada uji rasa bernilai 24.2 maka keragaman hasil percobaan masih dalam batas toleransi. Ulangan yang seimbang dan tidak adanya missing value menyebabkan dua analisis keragaman bernilai sama. Faktor tepung (komposisi tepung) dan pembuatan (penepungan) nyata pada taraf 5% maka dapat dilakukan uji lanjut pada faktor tersebut. Hasil uji lanjut pada komposisi tepung menunjukkan bahwa komposisi tepung 50% (TP50) dan komposisi tepung 100% (TP100) memberikan rasa yang berbeda, ditunjukkan oleh huruf Duncan Grouping yang berbeda. Rasa cake dengan komposisi 50% tepung talas lebih disukai (A) dibandingkan rasa cake dengan 100% tepung talas (B). Hasil uji lanjut pada komposisi tepung menunjukkan bahwa faktor penepungan memberikan rasa yang berbeda, ditunjukkan oleh huruf Duncan Grouping yang berbeda. Penepungan kedua dan ketiga memberikan rasa yang tidak jauh berbeda (kelompok A Duncan Grouping). Penepungan pertama berbeda nyata dengan penepungan kedua dan ketiga karena masuk ke dalam kelompok B. b. Aroma Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf yang berada dalam rongga hidung. Aroma cake keluar pada saat pemanggangan. Hasil uji aroma dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai alpha pada aroma lebih besar dari 0.05 maka tidak tolak H0. Faktor penepungan dan faktor komposisi tepung tidak berpengaruh nyata terhadap aroma. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil uji Duncan yang menunjukkan semua cake berada pada Duncan Grouping yang sama. c. Tekstur Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan/ keempukan, elastisitas, dan kerenyahan. Tekstur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keempukan atau kemudahan dikunyah dan ditelan. Keempukan cake talas dipengaruhi oleh tepung yang digunakan, telur, lemak, gula, emulsifier, dan susu. Cake talas yang dihasilkan memiliki tekstur yang empuk, tidak banyak menghasilkan remah saat dipotong, dan cukup padat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) dapat diketahui bahwa H0 ditolak karena alpha lebih kecil dari Yang mempengaruhi tekstur adalah perbedaan komposisi tepung sedangkan faktor penepungan tidak mempengaruhi tekstur cake. Dari hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat tekstur cake yang lebih disukai adalah cake dengan komposisi 50% tepung talas. d. Pori Sponge cake hampir sepenuhnya tergantung pada kocokan telur supaya ringan dan bergas. 37

16 Keringanan dihasilkan karena pengocokan telur yang teliti dan yang membentuk gelembunggelembung udara. Keadaan panas waktu pembakaran menyebabkan udara dan cairan dalam gelembung-gelembung itu terus berkembang dan menyebabkan reaksinya semakin mengembang (U.S. Wheat Associates, 1983). Jumlah bahan yang digunakan dalam pembuatan cake sama satu dengan yang lainnya kecuali konsentrasi tepung talas yang dipakai. Waktu pengocokan dan pencampuran bahan juga sama satu dengan yang lainnya. Sehingga perbedaan keseragaman pori yang dihasilkan dipengaruhi oleh penggunaan tepung talas yang berbeda. Pori cake yang dihasilkan adalah rapat dan terdapat pori yang lebih besar pada bagian dalam cake. Pori pada remah cake dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Pori remah cake Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan tepung talas berpengaruh nyata terhadap pori cake. Komposisi tepung talas pada cake berpengaruh nyata terhadap pori cake tetapi faktor penepungan tidak mempengaruhi pori cake. Pori cake yang paling disukai panelis adalah cake dengan 50% tepung talas. e. Warna Remah Warna remah cake berlainan satu dengan yang lainnya tergantung dengan bahan baku yang digunakan. Biasanya warna remah yang diinginkan berwarna cerah. Warna merupakan parameter visual yang dinilai panelis sebelum membaui aroma dan mencicipinya. Warna remah dapat dilihat setelah setelah cake dipotong. Analisa sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa alpha lebih kecil dari 0.05 maka minimal terdapat satu faktor yang mempengaruhi warna remah. Faktor yang mempengaruhi warna remah adalah perbedaan komposisi tepung talas pada cake sedangkan faktor penepungan tidak mempengaruhi warna remah. Dengan uji lanjut Duncan diketahui bahwa warna remah cake dengan 50% tepung talas lebih disukai daripada warna remah cake dengan 100% tepung talas. g. Warna Kerak Warna merupakan faktor yang memegang peranan penting. Kesan pertama yang didapat dari produk pangan adalah warna. Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan terhadap suatu produk pangan oleh konsumen. Warna kerak terlebih dahulu dilihat oleh konsumen sebelum melihat warna remahnya. Warna kerak dipengaruhi oleh warna tepung talas dan karamelisasi gula sederhana. Pada saat pembakaran terjadi reaksi pencoklatan yang menyebabkan warna cake menjadi gelap. Nilai p-value uji warna kerak lebih kecil dari 0.05 menunjukkan H0 ditolak dan terdapat minimal satu faktor yang mempengaruhi warna kerak (Lampiran 10). Yang mempengaruhi warna kerak adalah faktor komposisi tepung pada cake. Warna kerak yang lebih disukai panelis adalah cake dengan 50% tepung talas dibanding dengan cake dengan 100% tepung talas. 38

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biskuit Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu atau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kue Bolu Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, lemak, dan telur. Menurut Donald (2013), kue bolu merupakan produk yang di hasilkan dari tepung terigu

Lebih terperinci

LOGO BAKING TITIS SARI

LOGO BAKING TITIS SARI LOGO BAKING TITIS SARI PENGERTIAN UMUM Proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga lebih diterima konsumen KHUSUS Pemanasan adonan dalam

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen di bidang Teknologi Pangan. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat pembuatan cake rumput laut dan mutu organoleptik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di Laboratorium Daya dan Alat, Mesin Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bioproses

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : 1.1 Latar Belakang, 1.2 Identifikasi Masalah, 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian, 1.4 Manfaat Penelitian, 1.5 Kerangka Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis) LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN Disusun Oleh: FERAWATI I 8311017 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 KATA PENGANTAR Segala

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I. PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan mie gembili adalah sebagai berikut: 1. Alat yang digunakan: a. Panci b. Slicer c. Pisau d. Timbangan e. Screen 80 mesh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air BAB V PEMBAHASAN Cake beras mengandung lemak dalam jumlah yang cukup tinggi. Lemak yang digunakan dalam pembuatan cake beras adalah margarin. Kandungan lemak pada cake beras cukup tinggi, yaitu secara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso Ayam Bakso merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari daging. Dihasilkan dengan mencampur daging, garam, bawang, dan tepung tapioka menjadi adonan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melakukan eksperimen, metode ini ditempuh dalam pembuatan Chiffon cake dengan subtitusi tepung kulit singkong 0%, 5%, 10%,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan 14 BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian Penelitian substitusi tepung suweg terhadap mie kering ditinjau dari daya putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Pragel Pati Singkong Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar berwarna putih. Rendemen pati yang dihasilkan adalah sebesar 90,0%.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap Persiapan Penelitian Tahap persiapan penelitian adalah tahap persiapan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung yaitu tepung jagung. Kondisi bahan baku

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 PENGOLAHAN TALAS Ir. Sutrisno Koswara, MSi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 DISCLAIMER This presentation is made possible by the generous support of the American people

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gembili Menurut Nur Richana (2012), gembili diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh- tumbuhan) Divisio : Magnoliophyta ( tumbuhan berbiji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan PROSES PEMBUATAN TELUR ASIN SEBAGAI PELUANG USAHA Oleh : Andi Mulia, Staff Pengajar di UIN Alauddin Makassar Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. L Kadar Protein Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan bahwa penambahan gula aren dengan formulasi yang berbeda dalam pembuatan kecap manis air kelapa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Tepung Bumbu Ayam Goreng Pada proses pengolahan tepung bumbu ayam goreng, formula dasar diperoleh dari hasil survei dari internet dan buku yang kemudian dimodifikasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup saja, tetapi seberapa besar kandungan gizi

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup saja, tetapi seberapa besar kandungan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan bahan pangan bagi manusia bukan hanya sekedar untuk mempertahankan kelangsungan hidup saja, tetapi seberapa besar kandungan gizi bahan makanan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG

PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG Disusun oleh: Ribka Merlyn Santoso 14.I1.0098 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian analisis sifat fisik cookies berbahan baku tepung terigu dengan substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi, Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak. Oleh karena itu memerlukan penanganan pascapanen yang serius

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. waktu penelitian ini dimulai pada bulan April 2016 sampai Desember 2016.

III. METODE PENELITIAN. waktu penelitian ini dimulai pada bulan April 2016 sampai Desember 2016. 23 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Nutrisi dan Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cincau hijau Premna oblongifolia disebut juga cincau hijau perdu atau cincau hijau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cincau hijau Premna oblongifolia disebut juga cincau hijau perdu atau cincau hijau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cincau Hijau Cincau hijau (Premna oblongifolia) merupakan bahan makanan tradisional yang telah lama dikenal masyarakat dan digunakan sebagai isi minuman segar. Cincau hijau

Lebih terperinci

SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott)

SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott) SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott) SUBSTITUTION OF GREEN BEAN FLOUR (Phaseolus radiathus L) IN MAKING KIMPUL BISCUIT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Lampiran 1 BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Bahan Tepung ubi jalar Putih Coklat collata Margarin Gula pasir Telur Coklat bubuk Kacang kenari Jumlah 250 gr 350 gr 380 gr 250 gr 8 butir 55 gr 50 gr Cara Membuat:

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. OPTIMASI FORMULA 1. Penentuan Titik Maksimum Tahap awal dalam penelitian ini adalah penentuan titik maksimum substitusi tepung jagung dan tepung ubi jalar. Titik maksimum

Lebih terperinci

Kue atau yang disebut juga cake merupakan produk bakery yang banyak diminati masyarakat. Dalam membuat kue, ada tiga faktor yang sangat menentukan

Kue atau yang disebut juga cake merupakan produk bakery yang banyak diminati masyarakat. Dalam membuat kue, ada tiga faktor yang sangat menentukan Kue atau yang disebut juga cake merupakan produk bakery yang banyak diminati masyarakat. Dalam membuat kue, ada tiga faktor yang sangat menentukan baik tidaknya kualitas kue yang dihasilkan. Ketiga faktor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Ganyong Tahapan pembuatan tepung ganyong meliputi pemilihan bahan, pengupasan bahan, pembersihan dan pencucian ganyong, serta proses pengeringan dengan drum dryer.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam industri pangan di Indonesia. Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan roti, dan kue kering terbesar di Indonesia mencapai 20 ton/tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci