PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN"

Transkripsi

1 PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN SKRIPSI FITRI KARTIKA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 21

2 RINGKASAN FITRI KARTIKA SARI. D Pengamatan Keluarnya Ngengat Attacus atlas Berdasarkan Bobot Kokon pada Berbagai Kondisi Lingkungan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si Pembimbing Anggota : Yuni Cahya Endrawati, S.Pt Ngengat sutera liar Attacus atlas merupakan ngengat terbesar di dunia yang memiliki rentangan sayap terbesar diantara ordo Lepidoptera lainnya. Ngengat betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan, hal ini menyebabkan kokon betina memiliki bobot yang lebih besar daripada kokon jantan. Pupa akan keluar dari dalam kokon menjadi ngengat dewasa. Pada saat ngengat berada di dalam pupa inilah terjadi proses pembentukan organ-organ tubuh baru (organogenesis). Berbagai faktor, seperti suhu dan kelembaban akan mempengaruhi pertumbuhan ngengat. Penelitian ini bertujuan untuk memilih lokasi pengokonan yang ideal untuk keluarnya ngengat sebagai tahap awal pembudidayaan A. atlas. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, dari bulan Mei-Juli 29. Materi yang digunakan adalah 12 kokon ulat sutera liar A. atlas yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dimana kondisi lingkungan lokasi pemeliharaan sebagai faktor pertama dan bobot kokon sebagai faktor kedua. Lokasi pemeliharaan terdiri dari lokasi pertama adalah lokasi yang beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur (L 1 ), lokasi kedua adalah lokasi yang beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan (L 2 ), dan lokasi ketiga adalah lokasi tanpa naungan yang langsung terkena panas dan hujan (L 3 ). Bobot kokon terdiri dari bobot berat, sedang, dan ringan dengan ulangan yang berbeda-beda. Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui keluarnya ngengat A. atlas, meliputi jumlah ngengat yang keluar, waktu keluar ngengat, dan kondisi pupa yang tidak keluar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah ngengat terbanyak yang keluar di semua bobot kokon terdapat pada L 1. Lokasi ini merupakan lokasi terbaik (ideal) yang memiliki kisaran suhu 24,93±2,34 o C dengan kelembaban sebesar 69,63±11,5 %. Rataan umum waktu keluar ngengat pada penelitian ini yaitu 28,67 hari, dimana betina membutuhkan waktu keluar yang lebih lama dibandingkan jantan. Kondisi pupa yang tidak keluar menjadi ngengat terbanyak terdapat pada L 3. Kondisi pupa tersebut mengalami diapause atau mati. Pupa betina yang dicirikan dengan kokon berat lebih banyak berdiapause pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Pencahayaan, sirkulasi udara, dan predator harus diperhatikan pada manajemen pemeliharaan kokon. Kata-kata kunci : Attacus atlas, bobot kokon, kondisi lingkungan

3 ABSTRACT The Observation of Attacus atlas Moth s Emerging Based on Weight Of Cocoon in Many Enviromental Condition Sari, F.K., H.C.H. Siregar, and Y.C. Endrawati Attacus atlas is the biggest moth in the world which has the longest reach of wings. The female moth s body is longer than the male, so her cocoon is heavier. The perfect environment condition (like temperature and humidity) during organogenesis will influence the moth s growth. The aim of this research was to find the perfect environment condition for various weight of cocoon. A. atlas cocoon samples were obtained from tea plantation in Purwakarta. Factorial experiment (3x3) with Completely Randomize Design was used in this research. The data were analyzed descriptively. The variable observed were the number of moth, emerging period, and unemerging pupae condition. The results showed that the perfect environment condition was L 1, which has the moth mostly emerged for all cocoon weight. The average days of moth emergence was 28,67 days, where the female took longer time to emerge than the male (29,17 vs 27,43). Unemerging pupae s condition were caused by diapause or death where the most number was in L 3. Light, air circulation, and predator must be taken into account in cocoon management. Keywords : Attacus atlas, weight of cocoon, environmental condition

4 PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN FITRI KARTIKA SARI D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 21

5 Judul Skripsi : Pengamatan Keluarnya Ngengat Attacus atlas Berdasarkan Bobot Kokon pada Berbagai Kondisi Lingkungan Nama NIM : Fitri Kartika Sari : D Menyetujui : Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si NIP Yuni Cahya Endrawati, S.Pt NIP Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP Tanggal Ujian : 23 Desember 29 Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 2 Juni 1987, dari pasangan Bapak Agung Susetyanto dan Ibu Tri Lestari Soniyati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Pengadilan III, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan tahun 22 di SMPN 4 Bogor dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 25 di SMAN 5 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 25 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 26. Selama mengikuti pendidikan, Penulis pernah aktif sebagai anggota divisi syiar Lembaga Dakwah Fakultas Famm Al An aam fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

7 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr wb. Alhamdulillahi Robbil aalamiin, segala puji hanya bagi Allah, yang telah memberikan rahmat, karunia, rizki dan hidayah-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, atas keluarganya dan para sahabat serta para pengikut sunnahnya hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul "Pengamatan Keluarnya Ngengat Attacus atlas Berdasarkan Bobot Kokon Pada Berbagai Kondisi Lingkungan" merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok C, Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei- Juli 29. Materi kokon A. Atlas diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Penelitian ini dilakukan karena informasi mengenai A. atlas masih kurang sehingga diharapkan dapat memberikan satu ilmu pengetahuan bagi dunia peternakan, khususnya Non Ruminansia Satwa Harapan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan ilmu dan informasi mengenai A. atlas. Bogor, Januari 21 Penulis

8 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Taksonomi Ulat Sutera Liar Attacus atlas... 4 Siklus Hidup... 4 Morfologi... 6 Telur... 6 Larva... 6 Kokon dan Pupa... 7 Imago... 9 Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Pemeliharaan Kokon... 1 Suhu... 1 Kelembaban Cahaya dan Sirkulasi Udara METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan Percobaan Analisis Data Peubah yang Diamati Jumlah Ngengat yang Keluar Waktu Keluar Ngengat Kondisi Pupa yang Tidak Keluar Prosedur Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kandang i ii v vi vii ix x xi

9 Jumlah Ngengat yang Keluar Jumlah Ngengat yang Keluar pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan Waktu Keluar Ngengat Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan Kondisi Pupa yang Tidak Keluar Pupa dalam Kondisi Diapause Tingkat Kematian Pupa... 3 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMAKASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 35

10 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ketiga Lokasi Pemeliharaan Jumlah Ngengat A. atlas yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Persentase Ngengat yang Waktu Keluarnya Melebihi Kisaran Awan (27) Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan Persentase Ngengat Jantan dan Betina yang Waktu Keluarnya Lebih Cepat dari Rataan Persentase Pupa A. atlas yang Mengalami Diapause atau Mati... 29

11 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago Lokasi Pemeliharaan Diagram Penelitian Grafik Suhu Harian pada Lokasi Pemeliharaan L 1, L 2, dan L Grafik Kelembaban Harian pada Lokasi Pemeliharaan L 1, L 2, dan L

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Kondisi Pupa Mati yang Dicirikan dengan Berkerut Kondisi Pupa Mati yang Dicirikan dengan Munculnya Jamur Pembentukan Pupa Pupa yang Mengalami Diapause Kulit Pupa Ngengat yang Baru Keluar dari Kokon... 37

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan dunia, khususnya Jepang akan sutera sangat tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pengembangan produk sutera alam, terutama budidaya ulat sutera liar Attacus atlas memiliki potensi yang besar dalam berbagai macam bidang industri. Budidaya A. atlas masih terpusat di daerah Yogyakarta dan Jawa Barat dengan kapasitas produksi benang sutera terbatas. Ulat sutera liar A. atlas merupakan jenis serangga asli Indonesia yang banyak ditemui di pulau Jawa. A. atlas merupakan ngengat terbesar di dunia yang memiliki rentangan sayap terbesar diantara ordo Lepidoptera lainnya. Tubuh ngengat yang kecil akan terhindar dari bahaya karena dikelilingi sayap yang lebar. Warna dan pola sayap yang dimiliki oleh ngengat ini memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan. Pada saat ngengat terganggu, titik pada sayap menyerupai mata diekspos untuk mengejutkan atau menakuti predator. A. atlas adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosis sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan ngengat. Ngengat A. atlas terbentuk pada saat pupa berada di dalam kokon. Pupa yang berada di dalam kokon akan mengalami pembentukan organ-organ tubuh baru, seperti sayap, antena, dan mata sehingga ngengat akan keluar dengan sempurna. Proses pembentukan organ-organ tubuh baru tersebut disebut organogenesis. Bobot kokon merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan A. atlas. Kokon dengan pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon dengan pupa jantan. Begitu pula dengan ukuran tubuh ngengat betina juga lebih besar dibandingkan jantan, hal ini disebabkan betina memiliki abdomen yang besar sebagai tempat telur. Ngengat A. atlas akan keluar dari lubang ujung anterior kokon. Banyak faktor yang mempengaruhi keluarnya ngengat, salah satunya adalah kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban). Kondisi lingkungan yang ideal akan mempengaruhi keluarnya ngengat dengan sempurna. Suhu yang dibutuhkan saat stadium pupa sampai pengawinan ngengat adalah o C (Awan, 27). Suhu yang terlalu tinggi dan kelembaban yang rendah akan mengakibatkan diapause (masa istirahat pada

14 pupa A. atlas, dimana organogenesis mengalami penghentian yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang) sehingga pupa membutuhkan waktu yang lama untuk keluar menjadi ngengat. A. atlas memiliki potensi yang lebih besar dari ulat sutera murbei (Bombyx mori). A. atlas merupakan hewan polifagus yang berarti dapat memakan 9 golongan tanaman. Kokon A. atlas yang telah diolah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Satu kilogram benang A. atlas bernilai Rp sedangkan 1 kg benang B. mori bernilai Rp (Damardono, 28). Benang yang dihasilkan dari A. atlas lebih panjang dengan warna yang eksklusif. Prospek industri benang sutera dari kokon A. atlas sangat cerah, namun masih terkendala dalam hal budidaya. Pemeliharaan A. atlas masih dilakukan di alam bebas dengan tingkat keberhasilan menjadi kokon sangat rendah, yaitu hanya sekitar 1% (Situmorang, 1996), jika hal ini terus terjadi maka populasi A. atlas akan terus berkurang dan bahkan punah. Faktor abiotik seperti hujan, angin, dan panas serta faktor biotik seperti predator dapat mengganggu proses organogenesis yang mengakibatkan ngengat tidak keluar dengan sempurna. Ketidaksempurnaan ngengat akan berakibat gagalnya proses perkawinan sehingga siklus hidup A. atlas akan mengalami gangguan. Mengingat tingkat keberhasilan pemeliharaan A. atlas di alam bebas masih sangat rendah maka perlu dilakukan budidaya yang tepat untuk kelangsungan hidup A. atlas. Salah satu cara pembudidayaan A. atlas adalah dengan menciptakan kondisi ruangan yang ideal bagi kokon sehingga faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan di alam bebas dapat diminimalisasi. Suhu lingkungan pemeliharaan untuk pengokonan A. atlas berdasarkan penelitian sebelumnya berkisar antara o C dengan kelembaban sebesar 6-75 % (Awan, 27). Penelitian tentang pemilihan lokasi dengan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) yang tepat untuk penanganan kokon sangat diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi teknik budidaya A. atlas yang tepat untuk menghasilkan ngengat yang sempurna dan dalam penelitian ini akan dicobakan berbagai jenis kondisi lingkungan lokasi pemeliharaan. Tersedia tiga lokasi pemeliharaan yang dapat digunakan sebagai tempat pemeliharaan kokon. Lokasi pertama adalah lokasi yang beratap genteng, berdinding kasa, dan menghadap ke arah timur. Lokasi kedua adalah lokasi

15 yang beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke arah selatan. Lokasi ketiga adalah lokasi tanpa naungan yang terkena panas dan hujan secara langsung. Perumusan Masalah Kokon A. atlas mulai terbentuk ketika larva instar enam mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau daun. Pada siklus hidup A. atlas terdapat kesalingtergantungan mulai dari tahap telur hingga ngengat. Apabila pada tahap telur hingga larva (instar 1-6) A. atlas mendapat perlakuan tepat maka kokon yang dihasilkan akan berkualitas baik dan ngengat akan keluar dengan sempurna. Tingkat mortalitas pemeliharaan A. atlas yang dilakukan di alam bebas masih sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor abiotik (suhu dan kelembaban) serta faktor biotik (predator). Pengambilan kokon di alam bebas merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kondisi pemeliharaan ideal kokon agar dapat menghasilkan ngengat yang sempurna. Kokon yang dihasilkan oleh pemeliharaan A. atlas dari tahap telur akan menentukan ngengat yang keluar. Kualitas kokon yang rendah akibat kondisi lingkungan pemeliharaan sangat mempengaruhi ngengat yang dihasilkan. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian tentang pengaruh suhu dan kelembaban lingkungan terhadap keluarnya ngengat A. atlas. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memilih lokasi pengokonan yang ideal untuk keluarnya ngengat sebagai tahap awal pembudidayaan A. atlas.

16 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar Attacus atlas Ulat sutera liar A. atlas adalah serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur, daerah selatan China, melintasi kepulauan Malaysia, Thailand, dan Indonesia (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir di seluruh wilayah Indonesia, diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Awan, 27). Ulat sutera A. atlas termasuk hewan polivoltin yang berarti hewan ini memiliki siklus lebih dari satu kali dalam setahun dan termasuk serangga polifagus yang dapat hidup pada 9 golongan tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan oleh larva A. atlas (Peigler, 1989). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Super famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub famili : Saturniinae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas Attacus atlas memakan daun teh (Camellia sinensis), sirsak (Annona muricata), rambutan (Nephelium lappaceum), cengkeh (Syzygium aromaticum), dadap (Erythrina spp), mangga (Mangifera indica), jambu biji (Psidium guajava L), dan tanaman dikotil lainnya (Kalshoven, 1981). Imago A. atlas dapat ditemui sepanjang tahun (Peigler, 1989). Siklus Hidup Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yaitu mengalami siklus kehidupan mulai dari fase telur larva pupa imago (Chapman, 1998 dalam Awan 27). Hasil penelitian Awan (27) yang menjelaskan tentang siklus hidup ulat sutera A. atlas dengan pakan daun sirsak dapat dilihat pada Gambar 1.

17 Telur (1-4 minggu) Imago (2-1 hari) Instar I (5-8 hari) Pupa (2-29 hari) Instar II (5-7 hari) Instar VI (1-12 hari) Instar III (4-6 hari) Instar V (6-8 hari) Instar IV (4-6 hari) Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago (Sumber : dan Awan, 27)

18 Ulat sutera ini memiliki bentuk telur bulat agak pipih. Stadium larva berlangsung dalam enam instar dengan tipe erusiform atau polypoid, dimana tubuhnya silindris (Borror et al, 1992). Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu hari. Instar pertama berlangsung selama 5-8 hari, instar kedua selama 5-7 hari, instar ketiga dan instar keempat membutuhkan waktu yang sama selama 4-6 hari, instar kelima selama 6-8 hari, dan instar keenam berlangsung selama 1-12 hari. Larva instar keenam memiliki waktu yang lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi pupa dan akan mengokon. Pada instar keenam warna ulat kehijauan ditutupi tepung putih, di bagian punggung terdapat tonjolan putih, dan segmen badan agak panjang (Awan, 27). Kalshoven (1981) menyatakan stadium telur berlangsung selama 1-4 minggu, larva 4-75 hari, sedangkan pupa 2-29 hari. Kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah hari dan 2-28 hari. Morfologi Telur Telur ulat sutera liar A. atlas dihasilkan oleh ngengat betina yang telah kawin maupun yang tidak kawin. Betina yang kawin akan menghasilkan telur yang fertil yang akan menetas menjadi larva, sedangkan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan tidak akan menetas menjadi larva karena infertil. Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga coklat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 27). Ukuran telur A. atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm, dan tinggi 2,1 mm. Bentuk telur A. atlas adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Larva Ulat sutera liar memiliki enam tahapan instar pada stadium larva, yang dimulai dari instar satu hingga instar enam. Setiap pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak tanpa serbuk putih. Instar kedua memiliki ciri-ciri kepala berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badannya

19 ditutupi oleh serbuk putih. Instar ketiga memiliki ciri-ciri hampir sama dengan instar kedua hanya saja ukuran tubuh lebih besar dan panjang (Awan, 27). Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar kelima memiliki ciri yang hampir sama dengan instar keempat, hal yang membedakannya hanya pada ukuran tubuh yang semakin membesar, gemuk, dan kokoh. Instar keenam merupakan tahap akhir stadium larva. Larva pada instar keenam memiliki ciri-ciri kepala yang berkilau warna hijau terang, tubuh berwarna hijau cerah dengan bintik-bintik berwarna hitam, gerakan lebih lamban, tubuh gemuk dan kokoh, pada badannya terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar, segmen badan panjang mencapai 15 cm (Pracaya, 23). Awan (27) menambahkan aktivitas makan pada instar keenam tinggi karena pada tahapan ini larva mengumpulkan cadangan makanan sebanyakbanyaknya sebelum membentuk kokon dan menjadi pupa. Menjelang berakhirnya instar keenam larva menjadi kurang aktif makan dan cenderung bergerak ke sudut-sudut untuk bersiap mengokon. Larva instar keenam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan instar lain. Hal ini dikarenakan pada instar keenam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya (Awan, 27). Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga membutuhkan waktu cukup lama. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain karena terjadi pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu, terjadi proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, dan sekresi protein sutera. Hampir seluruh rongga tubuh larva instar terakhir dipenuhi oleh kelenjar sutera. Ulat sutera menggunakan sebagian besar protein yang dikonsumsinya selama stadium larva untuk mensintesis sutera cair (Awan, 27). Kokon dan Pupa Larva instar enam akan membuat kokon sesuai dengan ukuran tubuhnya. Pembentukan kokon dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering, bagian ini

20 biasanya disebut floss. Larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut setelah menguatkan agar tidak jatuh ketika daun mengering, bagian inilah yang biasanya digunakan untuk dipintal menjadi benang yang disebut kulit kokon tanpa floss. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna (kokon utuh) yaitu floss dengan kulit kokon (Awan, 27). Larva akan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat di bagian ujung dan tepi daun, kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva (Awan, 27). Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon juga berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa tetap sesuai dan terjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips silindris, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, dengan pengaruh sinar matahari, dan gerakan angin kokon akan menjadi lebih kuat dan kering (Awan, 27). Warna kokon bervariasi dari orange hingga coklat tua, tetapi pada umumnya kokon berwarna coklat muda, tekstur permukaan kesat dan terkadang mengkerut (Peigler, 1989). Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago, antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala, dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan pupa menjadi imago (Awan, 27). Mulyani (28)

21 menambahkan bahwa beragam faktor seperti suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, dan fotoperiodisme akan berpengaruh terhadap keluarnya ngengat. Pupa dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi atau setahun kemudian, atau bahkan lebih dari dua tahun kemudian (Peigler, 1989). Fenomena ini menandakan bahwa terjadi diapause pada pupa A. atlas. Diapause adalah tertundanya perkembangan yang muncul sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Proses diapause (masa istirahat) tidak terganggu dengan pemeliharaan di dalam ruangan. Organogenesis mengalami penghentian selama diapause pada telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Indikator yang paling dipercaya dan konsisten dalam peristiwa diapause adalah musim, yaitu panjang hari (fotoperiodisme) dan ini merupakan hal paling penting pada diapause yang mengawali stimuli (Chapman, 1998). Imago A. atlas adalah ngengat terbesar di dunia dengan rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera lainnya (Peigler, 1989). Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, dan sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Kondisi sayap yang baru mengembang ini masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan terbang (Awan, 27). Mulyani (28) menambahkan warna dan pola sayap pada A. atlas memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan dari serangan predator. Secara keseluruhan ukuran betina lebih besar daripada jantan (Mulyani, 28). Ngengat betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan ukuran tubuhnya labih besar daripada ngengat jantan. Ngengat jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ciri-ciri antenanya, dimana antena jantan lebih besar daripada antena betina. Ngengat betina memiliki panjang antena mm dan lebar 3 mm sedangkan panjang antena yang dimiliki ngengat jantan adalah 23-

22 3 mm dan lebar 1-13 mm (Peigler, 1989). Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing. Ngengat betina biasanya lebih pasif dan mengeluarkan zat pemikat atau feromon yang bisa dideteksi oleh kemoreseptor yang ada di antena ngengat jantan. Beberapa jam setelah melakukan perkawinan, ngengat betina akan segera bertelur dan mampu menghasilkan telur sebanyak 1 sampai 36 butir. Umur imago jantan adalah 2-4 hari dan umur imago betina adalah 2-1 hari (Awan, 27). Awan (27) menyatakan bahwa variasi waktu keluar ngengat disebabkan adanya perbedaan kepribadian tiap individu pupa yang telah ada, mulai dari stadium telur sampai pupa. Ngengat betina membutuhkan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan jantan, hal ini disebabkan pada betina terjadi pembentukan telur (oogenesis). Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Pemeliharaan Kokon Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup A. atlas adalah hal penting untuk diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, sirkulasi udara, cahaya, dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan A. atlas menjadi terganggu. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stress pada larva sehingga larva tidak mau makan yang akan mempengaruhi produktivitas kokon. Meskipun udara panas dan lembab, namun bila ventilasi tempat pemeliharaan baik maka kepadatan dapat dikurangi dan evaporasi dapat ditingkatkan. Bila cuaca dingin dan lembab maka dengan pemanasan dan ventilasi udara yang baik kenaikan suhu serta penurunan kelembaban dapat tercapai (Atmosoedarjo et al., 2). Suhu Ulat sutera adalah hewan berdarah dingin, maka secara alami suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu tempat pemeliharaannya (lingkungan). Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 o C daripada lingkungan di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga memberi kemungkinan terjadi variasi pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 3 o C atau kurang dari 2 o C akan

23 mengakibatkan aktivitas kehidupannya menjadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan memburuk. Suhu yang ideal bagi pemeliharaan larva A. atlas antara o C sedangkan suhu ideal bagi A. atlas yang sedang mengokon hingga pengawinan ngengat adalah o C (Awan, 27). Kelembaban Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban tinggi akan meningkatkan berkembangbiaknya bibit penyakit sedangkan kelembaban yang terlalu rendah akan menyebabkan kondisi pemeliharaan menjadi kering yang mengakibatkan stress pada ulat sutera (Atmosoedarjo et al., 2). Kelembaban untuk pemeliharaan larva instar kecil umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 8-95 %, sedangkan pada larva instar besar sekitar 68-7 %. Kelembaban ideal pada saat A. atlas sedang mengokon hingga pengawinan ngengat adalah 6-75 % (Awan, 27). Cahaya dan Sirkulasi Udara Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx mori adalah 15-3 lux sedangkan pada saat pengokonan membutuhkan cahaya yang remang-remang dengan intensitas 1-2 lux sedangkan sirkulasi udara yang dibutuhkan pada budidaya B. mori adalah,2-1 m/s (Atmosoedarjo et al., 2).

24 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok C, Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari bulan Mei sampai Juli 29. Materi Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 12 kokon ulat sutera liar Attacus atlas yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah kokon berupa kotak plastik berukuran 37 x 29 x 13 cm 3, timbangan digital dengan ketelitian,1, termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban), kain kasa, masker, tisu, kamera digital, label, gunting, tali rafia, alat tulis, dan lokasi pemeliharaan kokon, yaitu lokasi pertama (L 1 ), lokasi kedua (L 2 ), dan lokasi ketiga (L 3 ). Lokasi pertama (L 1 ) merupakan ruangan beratap genteng dengan dinding tembok 1 m dan dinding kawat kasa setinggi 2 m. Lokasi kedua (L 2 ) merupakan ruangan beratap asbes dengan dinding tembok setinggi 2,45 m dan jendela penerangan cahaya dengan ukuran 3,72 x,47 m 2. Lokasi ketiga (L 3 ) merupakan lokasi di luar ruangan yang hanya sedikit ternaungi atap. L 1 L 2 Gambar 2. Lokasi Pemeliharaan L 3

25 Rancangan Percobaaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial 3x3. Faktor pertama adalah kondisi lingkungan lokasi pemeliharaan kokon yang terdiri atas lokasi pertama (L 1 ), lokasi kedua (L 2 ), dan lokasi ketiga (L 3 ) sedangkan faktor kedua adalah bobot kokon yang terdiri dari bobot kokon berat, sedang, dan ringan. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif karena data yang diperoleh adalah data kategorik. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui keluarnya ngengat A. atlas meliputi jumlah ngengat yang keluar, waktu keluar ngengat, dan kondisi pupa yang tidak keluar. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel yang berisikan rataan dan simpangan baku masing-masing peubah yang diamati. Peubah jumlah ngengat yang keluar dan kondisi pupa yang tidak keluar dihitung dengan cara membagi peubah dengan jumlah ulangan pada setiap bobot kokon ataupun membagi peubah dengan jumlah masing-masing jenis kelamin (jantan atau betina) yang terdapat pada setiap lingkungan lokasi pemeliharaan. Peubah yang Diamati 1. Jumlah Ngengat yang Keluar Jumlah ngengat adalah banyaknya ngengat yang keluar dari sejumlah kokon. 2. Waktu Keluar Ngengat Waktu keluar ngengat adalah waktu yang dibutuhkan ngengat untuk menyelesaikan pembentukan organ-organ imago (organogenesis) dan keluar dari kokon. Waktu keluar ngengat dihitung dari awal pembentukan kokon hingga ngengat keluar dari kokon. Ngengat keluar dari kokon pada malam hingga pagi hari, antara pukul 21. hingga sekitar pukul Kondisi Pupa yang Tidak Keluar Kondisi pupa yang tidak keluar adalah keadaan pupa di dalam kokon yang tidak keluar menjadi ngengat karena berdiapause atau mati.

26 Prosedur Penelitian Peralatan yang digunakan untuk penelitian dipersiapkan seminggu sebelumnya. Wadah kokon dibersihkan menggunakan detergen kemudian dibilas dengan air bersih. Penelitian ini dilakukan menggunakan contoh kokon berisi pupa A. atlas berumur satu minggu. Kokon diambil dari perkebunan teh di daerah Purwakarta sebanyak 12 kokon yang diambil secara purposive yaitu kokon yang berisi pupa yang dapat diketahui dari bobot kokon. Kokon yang berat mencirikan kokon tersebut berisi pupa sedangkan kokon yang ringan mencirikan bahwa pupa dalam kokon mati. Ciri-ciri kokon yang sempurna adalah apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan, hal ini mengindikasikan bahwa pupa telah terbentuk sempurna dan kokon siap dipanen. Kokon dibersihkan terlebih dahulu dari daun dan kotoran yang menempel pada kokon. Kokon yang telah bersih kemudian ditimbang satu persatu untuk mengetahui bobot kokon utuh (kokon dengan floss). Kokon utuh yang telah ditimbang tersebut kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh rataan umum ( ) lalu dihitung pula simpangan baku (sb) dari total keseluruhan kokon. Kokon dikelompokkan menjadi tiga menurut rataan umum dan simpangan baku bobot kokon, yaitu bobot kokon berat (BKB), bobot kokon sedang (BKS), dan bobot kokon ringan (BKR) dimana masing-masing kelas tersebut berjumlah 7 kokon untuk BKB, 22 untuk BKS, dan 5 kokon untuk BKR. Bobot kokon berat adalah kokon yang memiliki bobot di atas 1,41 g, bobot kokon sedang adalah kokon yang memiliki bobot diantara 5,41-1,41 g sedangkan bobot kokon kecil adalah kokon yang memiliki bobot di bawah 5,41 g (Noor et al., 26). Belum ada standar yang ideal untuk pengelompokkan kokon menurut bobotnya. Pengelompokkan bobot ini berdasarkan olahan statistik menurut panduan diktat kuliah rancangan percobaan. Masing-masing kokon yang telah dikelompokkan menjadi tiga tersebut kemudian diletakkan pada masing-masing wadah yang telah diberi kode dimana pada bagian atas wadah ditutup kain kasa agar ngengat tidak dapat keluar dari dalam wadah dan dapat diidentifikasi jenis kelaminnya. Masing-masing kokon yang berada di dalam wadah dan telah ditutupi kain kasa kemudian diberi perlakuan dengan cara ditempatkan pada lokasi pemeliharaan yang berbeda (L 1, L 2, dan L 3 ). Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mencatat

27 jumlah ngengat yang keluar, waktu (hari) yang dibutuhkan ngengat untuk keluar dari kokon, dan kondisi pupa yang tidak keluar menjadi ngengat pada masing-masing perlakuan. Ngengat yang keluar kemudian diidentifikasi jenis kelaminnya. Identifikasi ngengat dilihat dari antena, dan ukuran tubuh ngengat. Ngengat jantan memiliki antena yang besar dibandingkan dengan antena pada ngengat betina tetapi ukuran tubuh ngengat jantan lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tubuh ngengat betina. Kokon yang telah kosong (ngengat sudah keluar) diberi tanda untuk memudahkan penanganan. Wadah kokon dibersihkan setiap hari dari kotoran ngengat. Ngengat yang keluar dari kokon akan mengeluarkan cairan keruh sehingga wadah kokon perlu dibersihkan. Pencatatan suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan setiap pagi (8.), siang (12.3), dan sore (16.3) hari selama penelitian.

28 Gambar 3. Diagram Penelitian

29 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kandang Laboratorium Lapang Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) berlokasi di laboratorium lapang blok C Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dengan ketinggian 25 m di atas permukaan laut. Suhu lingkungan berkisar antara o C dengan kelembaban 66-7 % seperti tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ketiga Lokasi Pemeliharaan Suhu ( o C) Kelembaban (%) Lingkungan Pagi Siang Sore Rataan±SD Pagi Siang Sore Rataan±SD L 1 L 2 L 3 22,35 24,21 23,9 27,31 28,14 3,6 25,12 25,8 24,9 24,93±2,34 25,81±2,26 26,29±3,26 78,66 75,75 75,12 55,49 51,17 48,8 74,75 74,18 75,7 69,63±11,5 67,3±12,39 66,33±13,92 Keterangan : L 1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L 2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L 3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan Rataan Suhu dan kelembaban pada ketiga lokasi pemeliharaan ini diperoleh selama 4 hari masa penelitian. Rataan suhu terendah terdapat pada L 1 sebesar 24,93±2,34 o C dengan kelembaban tertinggi sebesar 69,63±11,5 %. Rataan suhu L 2 adalah 25,81±2,26 o C dengan kelembaban sebesar 67,3±12,39 %. L 3 memiliki rataan suhu tertinggi sebesar 26,29±3,26 o C dengan kelembaban terendah sebesar 66,33±13,92 %. Budidaya A. atlas memerlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang tepat mulai dari tahap telur sampai menjadi ngengat. Kondisi lingkungan ini dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, udara, dan pencahayaan yang akan mendukung siklus hidup A. atlas. Suhu dan kelembaban yang diperlukan untuk budidaya A. atlas berkisar antara o C dengan kelembaban sebesar 6-95 % (Awan, 27) sedangkan udara dan pencahayaan yang dibutuhkan untuk budidaya A. atlas belum diteliti lebih lanjut sehingga digunakan pedoman budidaya pada B. mori, yaitu membutuhkan sirkulasi udara,2-1 m/s dan pencahayaan 15-3 lux (Atmosoedarjo et al., 2).

30 Suhu ( o C) Pagi Siang Sore Hari ke- L 1 Suhu ( o C) Pagi Siang Sore Hari ke- L 2 Suhu ( o C) Hari ke- Pagi Siang Sore L 3 Gambar 4. Grafik Suhu Harian pada Lokasi Pemeliharaan L 1, L 2, dan L 3

31 L 1 merupakan lokasi pemeliharaan kokon yang terletak di dalam ruangan, menghadap ke arah Timur, beratap genteng dan dinding terbuat dari kawat kasa. L 2 merupakan lokasi yang terletak di dalam ruangan, menghadap ke arah Selatan, beratap asbes, dan berdinding tembok. L 3 merupakan lokasi yang terletak di luar ruangan sehingga sinar matahari dan hujan secara langsung mengenai kokon. Ketiga lokasi pemeliharaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. dan kisaran suhunya dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa suhu pada sore hari relatif stabil (±25 o C) dibandingkan dengan suhu di pagi dan siang hari pada ketiga lokasi pemeliharaan. Suhu pagi, siang, dan sore hari di L 1 terlihat lebih stabil. Hal ini disebabkan ruangan pemeliharaan menggunakan atap genteng yang tidak menyerap panas, selain itu dinding ruangan menggunakan kawat kasa sehingga sirkulasi udara dan pencahayaan pada L 1 baik (L 1 menghadap ke Timur). Suhu pagi hari pada L 2 cenderung fluktuatif, suhu tertinggi pagi hari pada lokasi ini mencapai 32 o C. Hal ini disebabkan ruangan yang menggunakan atap asbes sehingga menyerap panas dan dinding yang terbuat dari tembok menyebabkan tidak adanya sirkulasi udara sehingga suhu ruangan tinggi pada pagi hari. Grafik suhu pada siang hari di ketiga lokasi pemeliharaan terlihat tinggi, terutama pada L 3. Suhu tertinggi pada L 3 mencapai 35 o C pada beberapa hari selama penelitian. L 3 merupakan lokasi tanpa naungan yang terkena sinar matahari dan hujan secara langsung sehingga mengakibatkan suhu fluktuatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan suhu pada L 1 (24,93 o C) dan L 2 (25,81 o C) lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (27) yang menyatakan bahwa suhu yang dibutuhkan pada periode pengokonan hingga pengawinan ngengat A. atlas adalah o C. Rataan suhu pada L 3 (26,29 o C) berada dalam kisaran suhu penelitian Awan (27). Fluktuasi suhu harian selama 4 hari masa penelitian di ketiga lokasi pemeliharaan adalah 22,59-27,27 o C pada L 1, 23,55-28,7 o C pada L 2 dan 23,3-29,55 o C pada L 3.

32 Kelembaban (%) Hari ke- Pagi Siang Sore L 1 Kelembaban (%) Hari ke- Pagi Siang Sore L 2 Kelembaban (%) Hari ke- Pagi Siang Sore L 3 Gambar 5. Grafik Kelembaban Harian pada Lokasi Pemeliharaan L 1, L 2, dan L 3

33 Kelembaban lingkungan mempengaruhi perkembangan siklus hidup A. atlas baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban tinggi akan menyebabkan berkembangbiaknya bibit penyakit sedangkan kelembaban yang terlalu rendah menyebabkan kondisi lingkungan pemeliharaan kering. Kisaran kelembaban pada ketiga lokasi pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa kelembaban pagi dan sore hari relatif stabil dan lebih tinggi dari siang hari pada ketiga lokasi pemeliharaan. Kelembaban harian yang terjadi di siang hari selama penelitian terlihat fluktuatif pada L 2 dan L 3. Hal ini karena tidak ada ventilasi udara pada L 2 yang menyebabkan sirkulasi udara tidak lancar. L 3 yang langsung terkena panas (tanpa naungan) menyebabkan kelembaban lebih berfluktuatif. Kelembaban pada L 1 cenderung stabil karena L 1 merupakan lokasi yang cukup menerima pencahayaan dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Awan (27) menyatakan bahwa kelembaban yang dibutuhkan pada periode pengokonan hingga pengawinan ngengat adalah 6-75 %. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, rataan kelembaban lingkungan pada ketiga lokasi pemeliharaan berada dalam kisaran Awan, yaitu 66,3-69,7 %. Kelembaban harian selama 4 hari masa penelitian pada ketiga lokasi pemeliharaan adalah 58,58-8,68 % pada L 1, 54,64-79,42 % pada L 2, dan 52,41-8,25 % pada L 3. Jumlah Ngengat yang Keluar Jumlah Ngengat yang Keluar pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Ngengat keluar dari dalam kokon melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembentukan kokon. Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon juga berfungsi untuk menjaga agar kondisi dalam kokon tetap sesuai dan terjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Jumlah ngengat yang keluar pada ketiga lokasi pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 2.

34 Tabel 2. Jumlah Ngengat A. atlas yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Lingkungan Peubah Bobot Kokon Rataan±SD KK L 1 L 2 L 3 Jumlah kokon Jumlah ngengat keluar dari kokon Persentase ngengat keluar dari kokon Jumlah kokon Jumlah ngengat keluar dari kokon Persentase ngengat keluar dari kokon Jumlah kokon Jumlah ngengat keluar dari kokon Persentase ngengat keluar dari kokon B S R , , ,9 Rataan±SD 52,38±5,17 4,91±35,5 13,33±23,9 KK (%) 95,78 86,78 173,22 Keterangan: B = Berat ; S = Sedang ; R = Ringan KK = Koefisien Keragaman (%) 4 67,88±3,22 44, ,74±33,57 86,65 5 -

35 Rataan persentase ngengat yang keluar pada L 1, L 2, dan L 3 berturut-turut adalah 67,88%, 38,74%, dan %. Begitu pula koefisien keragaman di L 1 (44,52%) lebih rendah dari L 2 (86,65%) sedangkan di L 3 koefisien keragamannya tak terhingga. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda di ketiga lokasi pemeliharaan tersebut. Perbedaan ini terutama terletak pada kelembaban lingkungan. Kelembaban pada L 2 dan L 3, terutama pada siang hari sangat rendah, yaitu berturut-turut adalah 51,17%, 48,8% dibandingkan dengan L 1 yaitu 55,49%. Kelembaban yang relatif rendah akan menyebabkan kokon menjadi kering sehingga mengakibatkan organogenesis terhenti. Pada L 3 tidak ada ngengat yang keluar, hal ini disebabkan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) lebih berfluktuatif dari L 1 dan L 2, yaitu 23,3-29,55 o C dengan kelembaban 52,41-8,25 %. Selang yang sangat besar terutama terlihat pada kelembaban lingkungan, yang mencapai 28%. Kelembaban yang ekstrim (sangat rendah) pada lokasi ini mengakibatkan organogenesis terhambat pada periode pupa. L 3 yang tanpa naungan menyebabkan kokon langsung terkena sinar matahari yang mengakibatkan kokon menjadi kering. Pada sore hingga malam hari sering terjadi hujan lebat sehingga kokon tergenang beberapa milimeter (mm). Kondisi lingkungan yang ekstrim ini menyebabkan organogenesis terhenti sehingga tidak ada ngengat yang keluar pada L 3. Kondisi ini sama seperti pada L 2 yang juga memiliki kelembaban rendah. Mulyani (28) menyatakan bahwa beragam faktor seperti suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, dan fotoperiodisme akan berpengaruh terhadap keluarnya ngengat. Hasil penelitian Awan (27) menyatakan bahwa suhu yang dibutuhkan pada periode pupa hingga pengawinan ngengat adalah o C. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organogenesis pada suhu yang lebih rendah (22,59 o C) pada L 1 masih dapat terjadi, hal ini ditandai dengan jumlah ngengat yang keluar pada lokasi ini banyak. Kelembaban lingkungan yang dibutuhkan pada periode pupa hingga pengawinan ngengat adalah 6-75 % (Awan, 27). Kelembaban terendah pada penelitian ini jauh di bawah kelembaban Awan (27), yaitu 48% pada L 3, dimana tidak ada ngengat yang keluar. Hal ini mengindikasikan bahwa organogenesis akan terhambat pada kondisi lingkungan yang kering (Rh = 52%), namun pada kelembaban 58% (L 1 ) organogenesis dapat berlangsung baik, terlihat dari banyaknya

36 ngengat yang keluar pada L 1. Kelembaban tertinggi pada penelitian ini mencapai 8% pada L 1 dan L 3 dimana kelembaban ini lebih tinggi dari Awan (27), yaitu 75% namun kelembaban yang sangat tinggi ini tidak menghambat organogenesis. Manajemen pemeliharaan (budidaya) pupa A. atlas dapat terjadi pada kelembaban yang berkisar 58-8 % karena organogenesis dapat berlangsung dengan baik. Persentase ngengat yang keluar pada bobot kokon berat, sedang, dan ringan berturut-turut adalah 52,38%, 4,91%, dan 13,33% sedangkan koefisien keragaman pada ketiga bobot tersebut adalah 95,78%, 86,78%, 173,22%. Semakin ringan bobot kokon, tingkat keberhasilan pupa menjadi ngengat semakin rendah. Hal ini disebabkan cadangan makanan yang sedikit pada pupa ringan sehingga lebih rentan (tidak mampu bertahan hidup) serta proses organogenesis menjadi tidak sempurna. Pemeliharaan kokon yang baik disarankan pada L 1 karena memiliki persentase terbesar untuk ngengat yang keluar pada semua bobot kokon, sebaliknya pemeliharaan kokon tidak disarankan pada L 3 karena tidak ada ngengat yang keluar dari kokon di semua bobot kokon. Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan Persentase ngengat betina yang keluar pada kedua L 1 dan L 2 relatif sama (±7%), namun persentase ngengat jantan yang keluar pada L 2 berbeda dari L 1. Tidak adanya ngengat yang keluar pada L 3 disebabkan kondisi lingkungan pemeliharaan yang tidak sesuai bagi keluarnya ngengat. Jumlah ngengat jantan dan betina yang keluar pada lingkungan yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan Total Keluar menjadi Ngengat Lingkungan Jantan Betina Jantan Betina L 1 L 2 L (ekor)--- (ekor) (%) (ekor) (%) ,78 46, ,19 71,43 Keterangan : L 1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L 2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L 3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan

37 Tabel 3 memperlihatkan bahwa persentase ngengat jantan yang keluar pada L 1 (77,78%) tidak begitu berbeda dari betina (76,19%), namun sebaliknya pada L 2, persentase ngengat jantan (46,67%) lebih sedikit dari betina (71,43%). Hal ini menunjukkan bahwa jantan lebih mampu bertahan pada L 1 dengan suhu 22,6-27,3 o C dan kelembaban sebesar 58,6-8,7 %. Kondisi lingkungan pada L 2 yang kurang sesuai menyebabkan ngengat jantan keluar dalam jumlah yang sedikit. Hal ini disebabkan ukuran tubuh jantan yang kecil dari betina sehingga lebih rentan terhadap cekaman akibat kondisi lingkungan pemeliharaan yang kurang sesuai bagi pengeluaran ngengat. Persentase ngengat betina yang keluar lebih banyak karena betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar sebagai penyimpan cadangan makanan sehingga betina lebih mampu bertahan walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang sesuai. Persentase betina yang keluar pada kedua lokasi pemeliharaan (L 1 dan L 2 ) tidak berbeda signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ngengat betina dapat bertahan pada kondisi lingkungan L 1 dan L 2, meskipun L 2 kurang sesuai untuk keluarnya ngengat. L 3 merupakan lokasi dimana tidak ada ngengat yang keluar. Hal ini disebabkan oleh suhu dan kelembaban yang berubah-ubah secara ekstrim yang mengakibatkan pupa tidak keluar menjadi ngengat. Waktu Keluar Ngengat Ngengat membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk keluar dari kokon. Waktu keluar ngengat dihitung dari pembentukan kokon hingga ngengat keluar dari kokon. Waktu keluar ngengat mengindikasikan pembentukan organ-organ imago (organogenesis) telah sempurna sehingga ngengat dapat keluar dengan sempurna pada waktu yang tepat. Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Diantara ketiga lokasi pemeliharaan, pada L 3 tidak ada ngengat yang keluar. Sebagian pupa (5%) pada lokasi ini berada dalam kondisi hidup. Pupa seperti ini merupakan pupa yang mengalami penundaan perkembangan (diapause) akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Faktor yang tidak mendukung pada L 3 adalah kondisi kokon yang terkena hujan dan panas secara bergantian. Pupa dapat menjadi ngengat beberapa minggu atau bulan setelah pupasi atau setahun kemudian, atau

38 bahkan lebih dari dua tahun kemudian ketika mengalami diapause (Peigler, 1989). Waktu keluar ngengat pada lingkungan dan bobot yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Waktu Keluar (hari) KK Lingkungan Berat Sedang Ringan Rataan±SD (%) Rataan±SD Rataan±SD Rataan±SD L 1 L 2 L 3 29,71±4,35 29,±4,24 29,7±4,27 28,23±2,92 24,5±,71 27,76±2,84 Rataan±SD 29,35±,5 28,65±,59-28,67 * KK (%) 1,7 2, ,23 Keterangan : L 1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L 2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L 3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan KK = Koefisien Keragaman * = Rataan umum seluruh data waktu keluar ngengat Rataan waktu keluar ngengat pada bobot berat dan sedang dihitung tanpa memasukkan L 3 karena tidak ada ngengat yang keluar pada lokasi ini. Rataan dan koefisien keragaman bobot ringan tidak dihitung karena ngengat hanya keluar pada bobot ringan di L 1. Rataan umum waktu keluar ngengat pada kedua lokasi pemeliharaan (L 1 dan L 2 ) dan bobot kokon yang berbeda yaitu 28,67 hari. Kisaran waktu keluar ngengat pada penelitian ini berkisar antara hari. Waktu tersebut sesuai (tidak melampaui) dengan hasil penelitian Awan (27) yang menunjukkan bahwa ngengat akan keluar dari kokon selama 2-29 hari, namun ada beberapa ngengat yang waktu keluarnya melebihi kisaran waktu Awan. Tabel 5. Persentase Ngengat yang Waktu Keluarnya Melebihi Kisaran Awan Waktu Keluar (hari) Lingkungan Berat Sedang L 1 L (%) , ,14 3,77 Keterangan : L 1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L 2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan - -

39 Tabel 5 menunjukkan bahwa kokon berukuran sedang pada L 2 memiliki waktu keluar yang melebihi kisaran Awan, sebanyak 3,77%. Hal ini menunjukkan bahwa bobot sedang lebih sedikit yang mengalami diapause. Keseluruhan ngengat yang berada di dalam kokon sedang adalah ngengat yang berjenis kelamin jantan. Ngengat jantan lebih rentan karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil sehingga hanya sedikit pupa yang mampu bertahan pada cekaman akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Jumlah ngengat terbanyak yang waktu keluarnya melebihi kisaran Awan terdapat pada bobot kokon berat dan sedang pada L 1. Hal ini disebabkan pada kedua bobot kokon tersebut ngengat yang keluar adalah betina. Begitu pula dengan bobot berat pada L 2 yang seluruhnya menghasilkan ngengat betina sehingga pupa betina membutuhkan waktu keluar yang lebih lama untuk proses pembentukan telur. Koefisien keragaman pada penelitian ini meliputi lokasi pemeliharaan (L 1 ) dan bobot kokon (berat dan sedang) berkisar antara 1-1 %. L 1 memiliki koefisien keragaman yang seragam dibandingkan lokasi lainnya, yaitu 1,23%. Nilai koefisien keragaman yang kecil ini berarti bahwa keseragaman tinggi pada waktu keluar tetapi waktu keluar tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini misalnya genetik (Awan 27). Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan Pada L 3 tidak ada ngengat yang keluar, namun 5% pupa yang berada di lokasi ini dalam kondisi hidup (diapause). Waktu keluar ngengat jantan dan betina pada berbagai kondisi lingkungan disajikan pada Tabel 6. Seperti waktu keluar ngengat pada lingkungan dan bobot kokon di atas, waktu keluar ngengat jantan dan betina ini dihitung tanpa memasukkan L 3 karena tidak ada ngengat yang keluar. Rataan waktu keluar ngengat jantan dan betina pada kedua lokasi pemeliharaan (L 1 dan L 2 ) ini adalah 28,3 hari. Waktu keluar ngengat jantan lebih cepat (27,43 hari) dari betina (29,17 hari) karena pada betina terjadi pembentukan telur.

40 Tabel 6. Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan Waktu Keluar (hari) Lingkungan L 1 L 2 L 3 Jantan Rataan±SD 26,43±2,99 28,43±3,5 Betina Rataan±SD 29,94±4,33 28,4±3,6 Rataan±SD 28,18±2,48 28,41±,2 Rataan±SD 27,43±1,41 29,17±1,9 28,3 KK (%) 5,14 3,74 KK (%) 8,8,7 Keterangan : L 1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L 2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L 3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan KK = Koefisien Keragaman Nilai koefisien keragaman pada penelitian ini berkisar antara,7-8,8 %, baik untuk masing-masing jenis kelamin ataupun lokasi pemeliharaan. Nilai koefisien keragaman yang rendah ini berarti bahwa waktu keluar ngengat jantan dan betina seragam, tetapi waktu keluar tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini, yaitu genetik. Tabel 7. Persentase Ngengat Jantan dan Betina yang Waktu Keluarnya Lebih Cepat dari Rataan Lingkungan Waktu Keluar (hari) L 1 L 2 Jantan Betina (%) ,43 42,86 31,25 Keterangan : L 1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L 2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan Tabel 7 memperlihatkan bahwa waktu keluar ngengat betina pada L 1 yang lebih cepat dari rataan (28,3 hari) yaitu 31,25%. Hal ini mengindikasikan bahwa pupa betina membutuhkan waktu keluar yang lama dari rataan (68,75%). Awan (27) menyatakan bahwa ngengat betina membutuhkan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan jantan, hal ini disebabkan pada betina terjadi pembentukan telur (oogenesis). 6 -

41 Persentase waktu keluar ngengat jantan yang lebih cepat dari rataan pada L 2 sebesar 42,86%, hal ini berarti pupa jantan pada L 2 lebih banyak mengalami diapause (57,14%) dikarenakan kondisi L 2 yang kurang sesuai terutama bagi jantan yang memiliki tubuh lebih kecil (cadangan makanan dalam tubuh sedikit) sehingga rentan terhadap cekaman akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Kondisi Pupa yang Tidak Keluar Pupa yang tidak keluar menjadi ngengat pada L 1, L 2, dan L 3 masing-masing berjumlah 7 ekor, 12 ekor, dan 31 ekor dimana kondisi pupa tersebut diapause ataupun mati (Tabel 8). Hasil ini dapat diketahui dari pengguntingan ujung anterior kokon untuk melihat kondisi ngengat yang tidak keluar. Tabel 8. Persentase Pupa A. atlas yang Mengalami Diapause atau Mati Peubah L 1 L 2 L 3 Diapause Mati Diapause Mati Diapause Mati (%) Bobot Kokon Berat Sedang Ringan 9,9 13,64 4 4, ,57 31, ,71 45, , Jenis Kelamin Jantan Betina 9,52 22,22 14,29 13, ,57 43,75 66,67 56,25 33,33 Pupa dalam Kondisi Diapause Diapause adalah perkembangan yang tertunda sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Organogenesis A. atlas mengalami penghentian selama diapause (Chapman, 1998). Tabel 8 memperlihatkan bahwa L 3 merupakan lingkungan yang pupanya paling banyak mengalami diapause, baik pada semua bobot kokon dan jenis kelamin. Kondisi lingkungan L 3 yang terkena panas dan hujan secara bergantian mengakibatkan kokon menjadi kering ketika panas atau terendam ketika hujan. Kondisi yang ekstrim ini tidak menyebabkan kematian pada sebagian pupa, melainkan menyebabkan pupa mengalami diapause. Kokon yang paling banyak

42 mengalami diapause terutama pada bobot berat (85,71%), sedangkan pada bobot sedang 45,45%, dan bobot ringan 2%. Hal ini disebabkan cadangan makanan pada pupa berat lebih banyak sehingga lebih dapat bertahan hidup. Begitu pula pada pupa betina yang lebih banyak mengalami diapause (66,67%) disebabkan ukuran tubuhnya yang lebih besar dari jantan. Ukuran tubuh yang lebih besar ini disebabkan pupa betina memerlukan cadangan makanan yang lebih banyak untuk oogenesis. Cadangan makanan inilah yang dibutuhkan pupa untuk berdiapause. Pada L 1 pupa yang berdiapause terdapat pada bobot sedang (9,9%) dan semuanya berjenis kelamin betina (9,52%). Hal ini disebabkan betina lebih banyak memiliki cadangan makanan yang digunakan untuk diapause. Pada L 2 pupa yang paling banyak mengalami diapause adalah bobot ringan (2%) dan semuanya berjenis kelamin jantan, meskipun cadangan makanan pada pupa jantan lebih sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh cahaya pada ruangan pemeliharaan kokon, karena suhu dan kelembaban pada L 1 dan L 2 tidak begitu berbeda (L 1 : 22,59-27,27 o C ; 58,58-8,68%) ; (L 2 : 23,55-28,7 o C ; 54,64-79,42%). Pada L 1 dan L 2 jumlah pupa yang mengalami diapause lebih sedikit dari L 3 karena lokasi pemeliharaan berada di dalam ruangan sehingga kondisi lingkungan relatif stabil daripada L 3 yang tanpa naungan. Peigler (1989) menyatakan bahwa proses diapause (masa istirahat) tidak terganggu dengan pemeliharaan di dalam ruangan. Peigler (1989) menambahkan bahwa pupa A. atlas yang mengalami diapause dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi atau setahun bahkan lebih dari dua tahun kemudian. Inilah perbedaan diapause antara Bombyx mori dengan A. atlas. Pada B. mori diapause terjadi di stadium telur sedangkan pada A. atlas terjadi di stadium pupa sehingga kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan kokon A. atlas harus diperhatikan karena proses pemintalan kokon dilakukan setelah ngengat keluar dari kokon. Tingkat Kematian Pupa Selama perkembangan didapatkan bahwa sebagian pupa A. atlas mati dan penyebabnya adalah predator serta kondisi lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kematian pupa yang terjadi pada L 1 dan L 2 disebabkan oleh predator (semut). Kondisi pupa yang telah dimakan oleh semut hanya tinggal

43 kulitnya saja. Kematian pupa pada L 3 lebih banyak dari L 1 dan L 2. Hal ini selain disebabkan oleh predator (semut) juga karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai (ekstrim). Kondisi pupa yang mati akibat lingkungan ekstrim ini dicirikan oleh munculnya jamur pada pupa dan kondisi pupa yang berkerut. Awan (27) menyatakan bahwa stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ sehingga akan menyebabkan kematian (kegagalan dalam penyelesaian imago). Manajemen pemeliharaan (budidaya) pupa A. atlas harus terhindar dari predator, terutama semut.

44 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lokasi pemeliharaan pertama (L 1 ) yang beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur merupakan lokasi terbaik karena menghasilkan jumlah ngengat keluar terbanyak, baik untuk bobot berat, sedang, dan ringan. Lokasi ini memiliki waktu keluar ngengat yang seragam dibandingkan lokasi lainnya, dimana ngengat betina membutuhkan waktu keluar yang lebih lama dibandingkan jantan. Kondisi pupa yang tidak keluar (diapause atau mati) terbanyak terdapat pada L 3 akibat terkena panas secara langsung ataupun terendam air ketika hujan. Dibandingkan pupa jantan, pupa betina lebih mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang kurang sesuai dengan cara berdiapause. Saran Lokasi pemeliharaan kokon yang ideal perlu memperhatikan pengaruh cahaya dan sirkulasi udara, selain itu juga pada lokasi pengokonan pun harus terhindar dari predator yang akan memakan pupa. untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pencahayaan dan udara pada pemeliharaan kokon A. atlas serta melakukan desinfeksi ruangan dan pengolesan oli pada kaki rak pemeliharaan kokon sebelum penelitian dimulai.

45 UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas perkenan- Nya skripsi dapat diselesaikan yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara langsung atau tidak langsung sejak penelitian sampai penyelesaian skripsi ini. Terima kasih yang tak terhingga Penulis ucapkan kepada Ibu dan Bapak tercinta, yang telah memberikan doa, kasih sayang dan perhatian dengan penuh keikhlasan untuk kesuksesan dan keberhasilan Penulis. Terima kasih kepada adikadikku, Ratih dan Puspa yang telah memberikan semangat selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si dan Yuni Cahya Endrawati, S.Pt selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar mengarahkan dan membimbing, memberikan waktu, saran dan kritik sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada Ir. B.N. Polii, SU selaku dosen pembahas seminar yang telah memberikan saran. Terima kasih kepada Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas dorongan semangat dan bimbingannya. Terima kasih juga untuk Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS dan Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc selaku penguji sidang yang telah memberikan banyak saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Tak lupa Penulis sampaikan terima kasih kepada staf Fakultas Peternakan, IPB dan pegawai Laboratorium Lapang Non Ruminansia Satwa Harapan atas segala bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian. Terima kasih disampaikan kepada Rizki Fadillah atas semua doa, pengertian, motivasi, dukungan dan bantuannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada tim ulat sutera (Ninu, Anggi, Erly, dan Fery) atas bantuan dan kebersamaannya selama penelitian, serta sahabatku Niken, Fika dan teman-teman IPTP 42 atas segala dukungan dan doa yang telah diberikan. Bogor, Januari 21 Penulis

46 DAFTAR PUSTAKA Atlas Moth Caterpillar. 29. Attacus atlas. [23 Mei 29]. Atmosoedarjo, H., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh dan W. Moerdoko. 2. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Awan, A. 27. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi. Program Studi Sains Veteriner. Sekolah Pasca Sarjana. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Jhonson Pengenalan Pelajaran Serangga (Terjemahan). Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Chapman, R. F The Insect Structure and Function. 4 th English Universities Press Ltd. London. Edition. The Damardono, Haryo. 28. Ulat Sutera, Uluran Tangan dari Saudara Tua /ulat.sutra.uluran.tangan.dari.saudara.tua [16 Mei 29]. Kalshoven, L. G. E The Pest Crop in Indonesia. Reviced and Translated by P. A. Van Der Laan. P. T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Mulyani, N. 28. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Noor, R.R., B. Pangestu, R. H. Mulyono, T. Suryati, N. Ulupi, M. Baihaqi, A. Gunawan dan C. Budiman. 26. Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan. Departemen Produksi Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Peigler, R A Revision of Indo Australian Genus Attacus. The Lepidoptera Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California. Pracaya. 23. Hama Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Situmorang, J An attemp to produce Attacus atlas L., using baringtonia leaves as plant fooder. International Journal Of Wild Silkmoth and Silk.

47 LAMPIRAN

48 Lampiran 1. Kondisi Pupa Mati yang Dicirikan dengan Berkerut Lampiran 2. Kondisi Pupa Mati yang Dicirikan dengan Munculnya Jamur Lampiran 3. Pembentukan Pupa

49 Lampiran 4. Pupa yang Mengalami Diapause Lampiran 5. Kulit Pupa Lampiran 6. Ngengat yang Baru Keluar dari Kokon

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai bakteri yang bersifat sebagai flora normal atau berperan sebagai patogen yang terdapat pada saluran reproduksi imago betina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN SKRIPSI RADEN RUVITA DESIANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB SKRIPSI NUNIEK SETIORINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Y.C.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2011 Vol. 13 (3) ISSN 1907-1760 Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta The Characteristics of Fresh

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Bangsa : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD SKRIPSI RISNA HAIRANI SITOMPUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. RINGKASAN Nur Aini. D24103025. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA. (Mangifera indica L.) SKRIPSI.

STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA. (Mangifera indica L.) SKRIPSI. STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA (Mangifera indica L.) SKRIPSI Oleh : NI KADEK NITA KARLINA ASTRIYANI NIM : 0805105020 KONSENTRASI PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

Attacus atlas SKRIPSI

Attacus atlas SKRIPSI PENGARUH PENYIMPANAN DAN HARI OVIPOSISI TERHADAP WAKTU PENETASAN DAN DAYAA TETAS TELUR Attacus atlas SKRIPSI ANGGISTHIA DEWI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan 12 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh I. Latar Belakang Tanaman pala merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) Serangga betina yang telah berkopulasi biasanya meletakkan telurnya setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Aneka Ternak Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret-April

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

Pengorok Daun Manggis

Pengorok Daun Manggis Pengorok Daun Manggis Manggis (Garcinia mangostana Linn.) merupakan tanaman buah berpotensi ekspor yang termasuk famili Guttiferae. Tanaman manggis biasanya ditanam oleh masyarakat Indonesia di pertanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Insekta :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINGKAT SERANGAN HAMA PBK PADA KAKAO DI WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR BULAN SEPTEMBER Oleh : Amini Kanthi Rahayu, SP dan Endang Hidayanti, SP

TINGKAT SERANGAN HAMA PBK PADA KAKAO DI WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR BULAN SEPTEMBER Oleh : Amini Kanthi Rahayu, SP dan Endang Hidayanti, SP TINGKAT SERANGAN HAMA PBK PADA KAKAO DI WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR BULAN SEPTEMBER 2013 Oleh : Amini Kanthi Rahayu, SP dan Endang Hidayanti, SP Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penelitian ini melibatkan objek yang diberikan berbagai perlakuan. Objek pada penelitian ini ialah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan Pertanian (SPP) Fakultas Pertanian Universitas Riau, Laboratorium Hama Tumbuhan selama tiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR PERFORMA ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) INSTAR I-III DENGAN PEMBERIAN PAKAN DAUN SIRSAK (Annona muricata) DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus) DAN DAUN KENARI (Canarium cummune L.) SKRIPSI MEGA SULISTYANINGRUM

Lebih terperinci