BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL"

Transkripsi

1 103 BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL 7.1. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II Dampak Sosial Pemberian sertifikat ini memberikan dampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banjaranyar. Dampak sosial yang dimaksud adalah perubahan pada kehidupan sosial masyarakat disini maksudnya adalah perubahan sikap masyarakat terhadap perjuangan akan lahan serta perubahan sikap mereka akan organisasi SPP itu sendiri. Berkembang pandangan di SPP Ciamis bahwa OTL Banjaranyar II mengalami penurunan partisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan SPP. Opini yang beredar bahwa setelah mendapatkan rakyat maka OTL Banjaranyar II tidak memiliki minat lagi dalam perjuangan-perjuangan SPP lainnya. Sebagai contoh, mereka tidak aktif mengirimkan anggotanya jika ada aksi-aksi yang diprakarsai SPP, begitupun dengan rapat-rapatnya. Gambar 7.1. Sertifikat Hak Milik Menurut koordinator OTL setempat, masyarakat anggota OTL Banjaranyar ini merasa perjuangan mereka dalam memperjuangankan hak atas tanah ini selesai setelah

2 104 mereka mendapat sertifikat. Di samping itu, masyarakat merasa tertekan dengan banyaknya pungutan yang dibebankan pada mereka. Mereka menganggap SPP tidak adil dalam memberlakukan sumbangan-sumbangan. Sebagai contoh, masyarakat mengeluhkan besarnya sumbangan untuk melakukan aksi yang biasanya dipukul rata. Menurut masyarakat, pungutan yang diminta oleh SPP itu seharusnya jangan ditetapkan berdasarkan jumlah anggota di OTL, tetapi harus berdasarkan luasan tanah yang dikuasai dalam satu OTL. Hal ini kemudian menimbulkan semacam kecemburuan. Menurut beberapa responden, beban mereka yang berupa sumbangan tersebut bisa dari beberapa sumber, antara lain pajak desa, organisasi desa, pajak sertifikat, dan iuran SPP jika sewaktu-waktu ada kegiatan. Hal ini sangat membebani masyarakat, selain luas tanah yang tidak seberapa serta pengeluaran yang juga terus meningkat. Apalagi jika tanaman mereka mulai diserang hama. Tanah yang tidak seberapa tersebut menjadi benar-benar tidak menghasilkan. Implikasinya, masyarakat menjadi jenuh untuk terus bergabung dengan SPP. Setelah pemberian sertifikat, terjadi konsentrasi pemilikan tanah. Artinya, terkumpulnya tanah dalam jumlah yang sangat luas di satu orang. Hal ini terjadi akibat adanya transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat anggota OTL Banjaranyar II. Konsentrasi tanah ini biasanya terjadi di kalangan elit, baik elit SPP maupun elit desa. Namun, hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak karena ada juga masyarakat non-elit yang menguasai tanah dalam jumlah yang banyak. Setelah ditelusuri, konsentrasi tanah ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang orang tersebut sebelum bergabung dengan SPP. Jika orang itu sebelumnya memiliki tanah, maka peluang untuk mengakumulasi tanah semakin besar. Dan ini yang terjadi di OTL Banjaranyar II.

3 105 Kondisi ini turut mendorong rumah tangga petani lainnya, ketika mereka terdesak secara ekonomi, maka sertifikat pun menjadi jalan keluar, yakni dijual atau di gadai. Kondisi ini menyebabkan penumpukan kekayaan terjadi hanya di sebagian elit dan pemilik modal. Di sisi yang lain, tingkat partispasi anggota menjadi menurun karena kehilangan kepercayaan terhadap cita-cita perjuangan organisasi. Sebenarnya sebelum sertifikasi dibagikan kepada masyarakat, transaksi jual beli lahan garapan sudah terjadi di desa Banjaranyar, saat sertifikasi sudah dibagikan hal ini memperlancar proses transaksi tersebut, jika dahulu polanya tanah plus tanamannya, saat ini disertai dengan sertifikat sah, hal ini tentunya menambah nilai jual pada tanah tersebut (lihat lampiran 8 dan 9). Hal ini dapat dimaklum i terjadi saat, masyarakat mendapatkan tanah pada kondisi perekonomian mereka yang masih terpuruk, belum ada penataan produksi, akses jalan yang belum mendukung sehingga ketika tanah didapat, kondisi nya petani tidak serta merta berangsur jauh lebih baik dalam seketika, bahkan ketika sertifikat didapatkan, tidak banyak yang bisa dilakukan pada penataan produksi, karena proses acces reform yang seharusnya berfungsi sebagai penguatan pasca pengakuan tanah tidak berjalan. Di sisi lain, melambungnya harga barang-barang konsumsi yang harus dibeli tidak terimbangi dengan hasil produksi yang dihasilkan, sehingga setiap panen, petani selalu mengalami minus (persoalan tata produksi yang tak selesai), hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak menikmati kesejahteraan yang seharusnya didapatkan dari legalisasi tanah. Perubahan yang begitu dirasakan masyarakat adalah adanya rasa tenang dalam menggarap tanah serta masyarakat merasa sepenuhnya sebagai warga Negara. Rasa tenang dirasakan warga karena sebelum adanya sertifikat ini, masyarakat merasa ada pihak-pihak yang mengganggu mereka dalam menggarap tanah guna memenuhi kebutuhan hidupnya serta tanaman yang akan ditanam terbatas pada tanaman-tanaman

4 106 yang sudah ditentukan oleh perkebunan. Sekarang, tidak ada pihak yang mengganggu mereka dalam menggarap tanah karena tanah tersebut sudah sah secara hukum menjadi milik mereka. Begitu juga dengan tanaman yang akan ditanam, mereka bebas menanam apa yang mereka inginkan yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan tanahnya. Selain itu, masyarakat benar-benar merasa sebagai warga Negara karena ikut membangun Negara melalui pembayaran pajak. Sebelumnya masyarakat hanya menggarap tanah tanpa ada kontribusi apapun terhadap Negara. Sekarang, dengan sudah membayar pajak, mereka merasa memberikan kontribusi atas tanah yang mereka garap. Berikut pengakuan salah seorang responden: anu nyata pisan mah, tina ayana satupikat urang ngarasa tenang dina ngagarap lahan. Moal aya deui nu ngaganggu, urang bebas melak naon wae. Terus, urang ngarasa dianggep sebagai warga Negara sabab mayar pajak, jadi ikut membangun nagara lah.. ( yang paling nyata, dengan adanya sertifikat kita merasa tenang dalam menggarap lahan. Tidak aka nada lagi yang mengganggu, kita bebas menanam apa saja. Terus, kami merasa dianggap sebagai warga Negara sebab bayar pajak, ikut membangun Negara lah ) Dampak Terhadap Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah Perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Banjaranyar dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama (Pra SPP), fase kedua (Pasca Reklaiming) dan fase ketiga (Pasca Sertifikasi). Luasan tanah di masing-masing fase dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori sempit (tanah < 0,5 hektar), kategori sedang (tanah antara 0,5-1,5 hektar), dan kategori luas (tanah > 1,5 hektar). Fase pertama adalah fase ketika sebagian besar masyarakat belum tergabung dalam SPP. Ketika itu banyak dari mereka yang tidak memiliki tanah atau memiliki

5 107 tanah yang berada di luar tanah HGU. Pemilikan tanah pada fase ini, dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini: Tabel 7.1. Luas Pemilikan Tanah Sebelum Bergabung dengan SPP (Pra SPP) di OTL Banjaranyar II Valid Frequency Valid Cumulative Sempit Sedang Luas Total Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebaran pemilikan tanah pra SPP ini didominasi pada kategori tanah yang sempit yaitu sebanyak 20 orang responden (66,7 persen). Sedangkan untuk pemilikan tanah kategori sedang sebanyak delapan orang responden (26,7 persen) dan untuk kategori luas hanya sebanyak dua orang responden (6,7 persen). Fase kedua adalah pasca bergabungnya masyarakat dengan SPP. Pada fase ini masyarakat melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang ketika itu sudah habis masa berlaku HGU-nya. Disini, tanah yang dimiliki masyarakat belum diatur. Artinya luasan tanah yang dimiliki tergantung dari kemampuan yang dimiliki orang tersebut dalam menggarap tanah di tambah luas tanah yang mereka miliki di luar tanah HGU. Karena jumlah tanah yang tersedia tidak begitu luas, maka luasan tanah pada fase ini juga terbatas, biasanya tidak lebih dari 250 bata. Luas kepemilikan tanah pada fase ini dapat dilihat dari tabel 7.2. berikut ini:

6 108 Tabel 7.2. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Banjaranyar II Valid Frequency Valid Cumulative Sempit Sedang Luas Total Berdasarkan data di atas, terjadi peningkatan jumlah responden pada kategori tanah sempit dan luas. Jumlah responden yang mempunyai luas tanah dengan kategori sempit meningkat dari sebelumnya 20 orang responden (66,7 persen) menjadi 21 orang responden (70 persen). Jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori luas juga meningkat dari sebelumnya dua orang responden (6,7 persen) menjadi lima orang responden (16,7 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori sedang justru menurun hingga setengahnya dari sebelumnya delapan orang responden (26,7 persen) menjadi empat orang responden (13,3 persen). Hal ini terjadi akibat pada fase ini luas tanah yang dimiliki petani tergantung dari luas tanah yang digarapnya. Dalam kasus ini, terjadi pergeseran luas pemilikan tanah dari yang berkategori sedang menjadi luas karena tanah yang sebelumnya dimiliki (di luar tanah HGU) diakumulasi dengan tanah yang mereka dapatkan dari hasil reklaiming. Sedangkan bertambahnya jumlah responden yang memiliki kategori sempit disebabkan oleh alasan jual beli. Artinya, tanah yang ia miliki di luar tanah reklaiming ia jual dan akhirnya ia hanya memiliki tanah hasil reklaiming saja. Fase ketiga adalah fase di mana sertifikat hak milik sudah diberikan melalui PPAN. Pada fase ini adalah luas pemilikan tanah diatur oleh kelembagaan di dalam OTL itu sendiri yang kemudian dilegalkan oleh BPN. Luas tanah pada fase ini adalah akumulasi dari luas tanah pada fase Pra SPP, Pasca Reklaiming dan proses jual beli

7 109 yang terjadi di kalangan masyarakat petani. Hal ini menyebabkan terjadinya konsentrasi kepemilikan tanah di antara masyarakat sendiri. Ada yang memiliki tanah sangat luas dan bahkan yang tidak memiliki tanah sama sekali (kembali menjadi landless). Lebih lanjut sebaran pemilikan tanah pada fase ini dapat dijelaskan melalui tabel 7.3. berikut ini: Tabel 7.3. Luas Pemilikan Tanah Pasca Sertifikasi di OTL Banjaranyar II Valid Frequency Valid Cumulative Sempit Sedang Luas Total Dari data di atas, jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori sempit jauh berkurang dari sebelumnya menjadi 16 orang responden (53,3 persen). Sedangkan jumlah responden dengan kategori tanah sedang dan luas meningkat dengan angka berturut-turut delapan orang responden (16,7 persen) dan enam orang responden (20 persen). Dapat dilihat bahwa dengan adanya sertifikat hak milik ini, memberi perubahan terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah meskipun tidak terlalu besar. Hal ini terjadi karena pada saat penelitian dilakukan telah terjadi proses jual beli sehingga jumlah responden yang memiliki tanah pasca sertifikasi ini kembali berkurang setelah mereka menjual kembali tanahnya. Sedangkan untuk responden yang bertambah, ia membeli tanah bersertifikat pada sesama anggota OTL. Lama kelamaan hal ini akan mengakibatkan konsentrasi tanah pada seseorang/kelompok menjadi sangat tinggi. Mekanisme jual beli tanah yang dilakukan di OTL Banjaranyar II ada jual beli di bawah tangan, artinya jual beli tersebut tidak di sahkan secara hukum. Untuk bisa melakukan jual beli, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan melapor pada koordinator OTL, walaupun tidak semua melakukannya, hal ini dilakukan agar tidak

8 110 terjadi perselisihan di kemudian hari. Setelah itu koordinator membuatkan surat perjanjian jual beli tanah, dapat juga dilakukan hanya oleh pihak penjual dan pembeli tanpa melalui koordinator OTL. Gambar 7.2. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah Dampak Terhadap Kesejahteraan Pemberian sertifikat di OTL Banjaranyar II ini memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat. Memang, terdapat dua pendapat berkaitan dengan dampak yang timbul setelah adanya pemberian sertifikat dari BPN ini. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan masyarakat desa. Peningkatan kesejahteraan masyarakat disini dapat dilihat dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat desa setelah mendapatkan sertifikat. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari bangunan rumah yang mulai permanen dan masyarakat yang sudah mempunyai kendaraan bermotor. Masyarakat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini mempunyai dampak terhadap peningkatan kesejahteraan justru merupakan masyarakat yang mampu mengakumulasi lahannya dengan cara membeli lahan dari masyarakat lain yang justru kesulitan dalam mengusahakan lahan yang telah disertifikasi itu. Pak N misalnya, ia menjual satu bidang lahannya (15 bata) untuk membangun rumah karena sebelumnya

9 111 rumah yang ia tempati tidak memiliki dinding dan hampir roboh. Namun kini keadaan rumahnya tidak seperti itu lagi. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini sebenarnya tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di sini, meskipun sebagian besar tanah garapan masyarakat sudah bersertifikat, namun tetap saja dengan kondisi tanah yang ada, masyarakat hanya bisa mengusahakan tanahnya dengan sedikit intensif pada musim penghujan. Dengan keterbatasan ini, ada kecenderungan masyarakat hidup seadanya mengandalkan hasil dari alam yang ada terutama tanah. Dari sejumlah 365 bidang tanah yang sudah bersertifikat, sekitar 30 bidang tanah sama sekali tidak bisa diusahakan karena tanahnya berbatu-batu sehingga hanya tumbuhan alam yang bisa tumbuh diatasnya. Artinya, tanah tersebut tidak bisa dibudidayakan. Bahkan menurut keterangan salah satu warga, tanah yang disertifikasi ini bukanlah tanah yang benar-benar diinginkan warga yang memperjuangkan tanah. Akhirnya, meskipun tanah tersebut sudah bersertifikat, tetap saja kehidupan petani masih belum bisa tercukupi dengan layak. Adapun di lokasi lainnya, masyarakat bisa berusaha tani khususnya usaha tani pertanian tanah kering pada musim kemarau, dan berusaha tani tanaman semusim pada saat musim penghujan. Dengan berusaha tani seperti itulah satu-satunya penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya tentu saja juga adanya faktor produksi yaitu tanah. Selain berusaha tani tersebut, sebagian penduduk juga menanam pohon albasia yang mempunyai nilai ekonomis yang agak tinggi termasuk mudah dalam pemasarannya karena hasilnya bisa dijual di tempat. Saat ini, kondisi di OTL Banjaranyar II tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tanaman-tanaman jangka panjang yang tadinya memiliki peran penting bagi

10 112 masyarakat Desa Banjaranyar karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi mulai mengalami kerusakan akibat mulai menjamurnya hama Ulat Gantung yang menghambat pertumbuhan tanaman albasia mereka. Dengan demikian, masyarakat yang awalnya berharap pada hasil penjualan albasia maka mereka harus mulai berfikir untuk mencari sumber pendapatan lainnya. Tanaman yang terkena hama ini sebagian besar di diamkan begitu saja oleh para petani. Seperti diungkapkan salah satu warga berikut ini: Nya diantepkeun we, da rek dikumahakeun deui (Ya dibiarkan saja, mau diapakan lagi). Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya jual-beli lahan oleh masyarakat penerima sertifikat. Jual-beli ini dilakukan terhadap sesama masyarakat SPP ataupun terhadap masyarakat lain yang bukan merupakan anggota SPP. Jual-beli lahan ini sebenarnya tidak diizinkan dan tidak dibenarkan oleh organisasi (SPP). Namun SPP tidak bisa juga menghalangi masyarakat pemilik sertifikat menjual lahannya. Alasan masyarakat menjual lahan yang bersertifikat kepada orang lain. Faktor ekonomi merupakan alasan yang paling sering mengemuka. Menurut masyarakat, sulit mengusahakan lahan ketika terjadi serangan hama yang melanda akhir-akhir ini. Mereka juga tidak mendapatkan pelatihan-pelatihan atau penyuluhan dari pihak terkait untuk membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Namun, bukan faktor ekonomi semata yang menyebabkan masyarakat menjual lahannya. Ada juga masyarakat yang menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan sekundernya, misalnya mereka yang menjual lahan untuk membelikan anaknya sepeda motor. Lahan yang tidak subur dan masyarakat yang berpindah tempat juga menjadi salah satu alasan mereka mau menjual lahan yang sudah susah payah mereka usahakan. Berikut hasil wawancara dengan Kepala Desa Banjaranyar yang juga menjadi tokoh di OTL Banjaranyar II:

11 113 ada beberapa alasan masyarakat menjual lahannya. Ada faktor ekonomi, lahan nu teu subur, pindah tempat. Tapi nu paling teu resep mah jalma nu ngajual lahan demi untuk memenuhi kemewahan pribadi (...ada beberapa alasan masyarakat menjual lahannya. Ada faktor ekonomi, lahan yang tidak subur, pindah tempat. Tapi yang paling tida (saya) sukai itu orang yang menjual lahan demi untuk memenuhi kemewahan pribadi... Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Banjaranyar II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui tabel 7.4. berikut ini: Tabel 7.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Banjaranyar II Frequency Valid Cumulative Rendah Valid Sedang Sejahtera Total Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 56,7 persen responden justru berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 33,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 10 persen responden saja yang berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi.

12 Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Pasawahan II Dampak Sosial Rencana penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional ini memberikan dampak sosial terhadap masyarakat OTL Pasawahan II. Dampak itu adalah masyarakat merasa sangat senang karena apa yang mereka tunggu selama ini akan terwujud, dalam hal ini perjuangan mereka terhadap tanah akan segera dilegalkan. Disamping suka cita tersebut, ternyata muncul dampak lainnya. Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, rencana pemberian sertifikat ini menimbulkan ketegangan antara masyarakat OTL dengan para pendamping SPP. Ketegangan ini dilatarbelakangi oleh bentuk sertifikat yang akan mereka terima. Pendamping menginginkan sertifikat yang diberikan berupa sertifikat kolektif. Mereka khawatir kejadian di OTL Banjaranyar II terulang kembali di sini. Namun sebagian masyarakat tetap ingin sertifikat tersebut diberikan pada masing-masing individu. Mereka beralasan, apa yang dikhawatirkan pendamping sangat tidak beralasan karena bubar atau tidaknya SPP di suatu tempat tergantung manajemen dan kemauan masyarakat itu sendiri. Ketegangan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena diantara keduanya hanya terjadi salah paham. Dengan komunikasi yang baik dan pemberian pemahaman yang lebih mendalam, ketegangan tersebut kana segera terselesaikan Dampak Terhadap Perubahan Struktur Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Pasawahan II hanya dibagi menjadi dua fase. Fase pertama (Pra SPP) dan fase kedua (pasca reklaiming). Fase pertama adalah fase di mana masyarakat belum tergabung dengan SPP. Tanah yang mereka miliki berupa tanah

13 115 warisan maupun tanah yang mereka beli dan berada di luar tanah reklaiming. Frekuensi pemilikan tanah yang dibedakan dalam tiga kategori (sempit, sedang, luas) dapat dijelaskan melalui tabel 7.5. berikut ini: Tabel 7.5. Luas Pemilikan Tanah Pra SPP di OTL Pasawahan II Valid Frequency Valid Cumulative Sempit Sedang Total Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan SPP sebanyak 25 dari 30 orang responden (83,3 persen) memiliki tanah dengan kategori sempit. Sisanya sebanyak lima orang responden (16,7 persen). Disini sama sekali tidak terdapat responden yang memiliki tanah dengan kategori luas. Fase kedua adalah fase di mana masyarakat sudah tergabung dengan SPP (OTL Pasawahan II). Pada fase ini masyarakat SPP secara bersama-sama melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang pada dasarnya sudah habis masa berlakunya. Setelah melakukan reklaiming ini, terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari tabel 7.6. berikut ini:

14 116 Tabel 7.6. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Pasawahan II Valid Frequency Valid Cumulative Sempit Sedang Luas Total Berdasarkan data yang disajikan Tabel 7.6. di atas. Perubahan signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah terjadi pada kategori tanah yang luas dari sebelumnya tidak ada satu orang respondenpun menjadi tujuh orang responden (23,3 persen). Peningkatan juga terjadi pada golongan responden dengan kategori tanah sedang menjadi 15 orang responden (50 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah berkategori sempit turun menjadi delapan orang responden (25,7 persen). Dari sini terlihat bahwa upaya reklaiming yang dilakukan masyarakat terbukti tepat sasaran Dampak Kesejahteraan Membandingkan kesejahteraan masyarakat antara OTL Pasawahan II dengan OTL Banjaranyar II sebenarnya kurang begitu relevan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dari luasan tanah yang dimiliki dan dikuasainya berbeda jauh. Di OTL Banjaranyar II, luas tanah yang dimiliki rata-rata hanya berkisar bata. Artinya, kebanyakan masyarakat OTL Banjaranyar II hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan di OTL Pasawahan II per-kepala mendapatkan tanah sebanyak 75 atau 175 bata tergantung keinginan menggarap tanah bagian dalam bagian atau luar". Jika dalam satu keluarga ada 3-4 orang dan semuanya memilih tanah bagian dalam, maka dalam satu keluarga itu akan menguasai tanah sebanyak 600 bata. Kedua, kondisi tanah yang ada di kedua tersebut. Kondisi tanah di OTL Pasawahan II relatif lebih subur sehingga apa yang akan ditanam masayarakat kemungkinan besar bisa

15 117 tumbuh seperti yang diharapkan. Terbukti dengan berhasilnya mereka menikmati hasil panen tanaman jangka panjangnya. Sedangkan di OTL Banjaranyar II, selain tanahnya yang sempit, kondisi tanahnya tidak subur dan banyak berupa cadas. Ketiga, selain pengeluaran bahan pokok (yang dianggap relatif sama), di OTL Pasawahan II pengeluaran untuk pertanian akan lebih sedikit karena mereka tidak menggunakan pupuk untuk tanah darat mereka, sesuai dengan pengakuan salah satu responden:.da tara di gemuk, keun we kitu.. (..tidak pernah (diberi) pupuk, diarkan begitu saja) Berbeda dengan yang terjadi di OTL Banjaranyar II yang harus mengeluarkan biaya pupuk untuk bisa menggarap di tanah darat mereka. Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Pasawahan II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui Tabel 7.7. berikut ini: Tabel 7.7. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Pasawahan II Valid Frequency Valid Cumulative Rendah Sedang Sejahtera Total Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 16,7 persen responden berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 63,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 20 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena

16 118 indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi. Secara umum, jika hendak dibandingkan, kesejahteraan masyarakat di OTL Pasawahan II lebih tinggi daripada masyarakat di OTL Banjaranyar II Arah Transfer Manfaat Aksi reklaiming yang dilakukan kedua OTL, OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II, ditujukan agar masyarakat anggotanya memperoleh akses terhadap tanah. Dengan adanya tanah garapan, diharapkan terjadi perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat anggota masing-masing OTL tersebut. Muara dari ini semua dapat dilihat dari bagaimana sebenarnya rute transformasi dapat ditimbulkan dari pembaruan kebijakan. Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), arah transformasi yang ditimbulkan oleh kebijakan landreform dapat dibedakan menjadi empat kemungkinan, yaitu (1) redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi. Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan pertanahan, khususnya untuk memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau (re)konsentrasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat kerangka umum pelaksanaan kebijakan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II. Mengacu pada arah transfer yang dikemukakan Borras dan Franco (2008) di atas, arah transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah di kedua OTL termasuk arah redistribusi. Di sini, terjadi transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau negara atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma. Dalam konteks OTL

17 119 Banjaranyar II, transfer ini terjadi dari PT. Mulya Asli pada petani anggota OTL tersebut. Sedangkan untuk OTL Pasawahan II, anggota OTL ini menerima transfer dari negara karena perusahaan pemegang HGU sudah tidak beroperasi lagi. Ditinjau dari segi dinamika perubahan dan pembaruan dari arah transformasi redistribusi, pembaruan di kedua OTL terjadi di tanah private dan tanah negara. Dalam kasus Banjaranyar, transfer kepemilikannya sebagian yaitu hanya tanah HGU yang dilepas oleh pihak perkebunan dan diterima oleh masyarakat secara individu. Hal ini terlihat dari sertifikat hak milik yang berasal dari PPAN. Untuk kasus Pasawahan, transfer kepemilikannya penuh walaupun belum secara resmi di legalkan dengan sertifikat hak milik. Dikatakan penuh, karena tanah yang direklaim dan dimohon oleh anggota OTL Pasawahan II adalah seluruh tanah eks HGU PT. Cipicung yang beroperasi di Desa Pasawahan. Rencana terkait pembagian tanah ini masih dalam perdebatan apakah akan diberikan secara kolektif atau individu. Mengingat sulitnya melarang masyarakat melakukan jual beli tanah, maka paya perbaikan kelembagaan yang mungkin dilakukan antara lain. Pertama, dalam jual beli tanah harus dibuat suatu kelembagaan kolektif (seperti koperasi) sehingga ketika masyarakat membutuhkan modal untuk usaha pertanian, mereka dapat menjual atau menggadaikan tanahnya pada badan kolektif tersebut, bukan pada individu. Kedua, perlunya di buat mekanisme pembatasan tanah sehingga tanah hasil reklaiming tidak dikuasai oleh satu orang saja. Jadi, sebisa mungkin sistem jual beli tanah tidak terjadi dan digantikan sistem gadai. Selain mekanisme kelambagaan yang perlu diperbaiki, untuk mencegah rekonsentrasi tanah ini, perlu juga perubahan paradigma SPP itu sendiri. Jika dilihat dari sudut pandang orang luar SPP, akan terlihat bahwa target atau tujuan SPP ini hanya

18 120 sebatas memperoleh tanah, meskipun sebenarnya tidak demikian. Oleh karena itu, setelah dilakukannya reklaiming, SPP maupun masyarakat harus langsung merancang targetan mereka selanjutnya. Misalnya, menguasai pemerintahan daerah hingga sampai tingkat kecamatan. Tujuannya agar keberpihakan pemerintahan lokal terhadap perjuangan masyarakat tetap terjaga. Kemudian, perlu juga diadakan pelatihan-pelatihan yang terkait dengan perbaikan sistem pertanian di kedua tempat tersebut. Yang terakhir adalah mengembangkan model penjualan hasil pertanian yang dapat meningkatkan nilai jual produk pertanian tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum perbandingan antara OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II dilihat dari inisiatif lokal untuk akses tanah, respon kebijakan dan arah dampak yang ditimbulkannya dapat dilihat dari tabel 7.8 berikut ini: Tabel 7.8. Perbandingan Inisiatif Lokal untuk Akses Tanah, Respon Kebijakan, dan Arah Dampak yang Ditimbulkannya Lokasi OTL Banjaranyar II Tipe Inisiatif Lokal Integrasi di lokasi reklaiming OTL Pasawahan II Aneksasi di wilayah eks HGU PT. Cipicung Respon Kebijakan PPAN Belum ada (Rencana PPAN) Arah Dampak Redistribusi Redistribusi Arah transfer manfaat kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah yang terjadi di kedua OTL tersebut tidak mutlak, artinya masih bisa berubah menjadi distribusi, non- (re) distribusi maupun (re) konsentrasi. Jika terjadi (re) konsentrasi, maka apa yang

19 121 sudah dilakukan selama ini oleh masyarakat maupun pemerintah akan sia-sia saja. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa usaha agar tidak terjadi rekonsentrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di kedua OTL tersebut, usaha tersebut antara lain ada upaya dalam membentuk kelembagaan masyarakat yang kuat serta perubahan paradigma perjuangan yang dilakukan SPP. Perubahan arah transfer manfaat di kedua OTL tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain jika: jual beli tanah terus berlanjut, petani kehilangan tanahnya lagi dan menjadi landless lagi, tanah dikuasai oleh pemodal, tidak ada upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di kedua tempat tersebut khususnya OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan dalam gmabar berikut ini: Arah transfer saat ini: redistribusi Akan menjadi Jika Rekonsentrasi a. Jual beli tanah terus berlanjut b. Petani kehilangan tanah dan menjadi landless lagi c. Tanah dikuasai oleh pemodal d. Tidak ada upaya untuk mensejahterakan masyarakat Untuk mencegahnya a. SPP harus kembali mendekati OTL Banjaranyar II melalui program-program pemberdayaan b. BPN segera merealisasikan access reform di OTL Banjaranyar II c. Kolaborasi para pihak/instansi terkait dalam upaya mensejahterakan masyarakat OTL Banjaranyar II Gambar 7.3. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II Perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II akan berbeda dengan yang terjadi di OTL Pasawahan II. Hal ini terjadi karena kondisi yang terjadi di OTL Pasahawan II berbeda dengan kondisi yang terjadi di OTL Banjaranyar II. Ilustrasi

20 122 perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II dapat dilihat pada gambar berikut ini: Arah transfer saat ini: redistribusi Akan menjadi Jika Rekonsentrasi a. Ada jual beli tanah baik sesama ataupun di luar OTL b. SPP melepas control terhadap OTL Pasawahan II c. Jika disertifikasi, BPN tidak segera melakukan access reform di OTL tersebut Untuk mencegahnya a. Peran aktif SPP dalam mencegah jual beli tanah b. Tetap menjaga control terhadap OTL tanpa adanya pengekangan c. Lakukan access reform segera setelah asset reform dilakukan d. Koordinasi dengan para pihak terkait dengan upayaupaya pemberdayaan di TL Pasawahan II Gambar 7.4. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkup Agraria Seperti kita ketahui bahwa konsep agraria tidak hanya sebatas pada tanah atau tanah pertanian saja. Secara etimologis, istilah agraria berasal dari sebuah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (survey). Pendekatan kualitatif menekankan pada proses-proses

Lebih terperinci

BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS

BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS 85 BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS 6.1. Landasan Hukum Bersamaan dengan lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998,

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan Organisasi

Lebih terperinci

BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE)

BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) 58 BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) 5.1. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Banjaranyar II Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Banjaranyar

Lebih terperinci

BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN

BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN 6.1 Struktur Kepemilikan Lahan sebelum Program Reforma Agraria Menurut penjelasan beberapa tokoh Desa Pamagersari, dahulu lahan eks-hgu merupakan perkebunan

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS PETANI 32 REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Reforma Agraria di Desa Sipak Reforma agraria adalah program pemerintah yang melingkupi penyediaan asset reform dengan melakukan redistribusi tanah dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data

LAMPIRAN. Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data LAMPIRAN Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data 1 Konteks Umum Lokasi Studi Dokumen, Interview, Pengamatan Lapang Primer, Sekunder

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI 46 REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI Kesejahteraan Petani Reforma agraria merupakan suatu alat untuk menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, tidak serta merta begitu saja kesejahteraan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah 5 TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah Tanah merupakan salah satu sumber agraria selain perairan, hutan, bahan tambang, dan udara (UUPA 1960). Sebagai negara agraris yang memiliki jumlah

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi 1 Lampiran 1 Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi Untuk dapat membayangkan sebuah model pembangunan ekonomi pertanian secara kolektif, maka mestilah dilihat dan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS

TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS LAMPIRAN 89 TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS Tabel Frekuensi Distribusi Penguasaan Lahan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Rendah 24 60.0 60.0 60.0 Sedang 11 27.5 27.5 87.5

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan tempat di mana manusia berada dan hidup. Baik langsung

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan tempat di mana manusia berada dan hidup. Baik langsung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan tempat di mana manusia berada dan hidup. Baik langsung maupun tidak manusia hidup dari tanah. Bahkan bagi mereka yang hidup bukan dari tanah pertanian,

Lebih terperinci

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN NASIONAL (BAPPENAS) SEKRETARIAT REFORMA AGRARIA NASIONAL

Lebih terperinci

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG Aladin Nasution*) Abstrak Secara umum tingkat pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi suatu rumah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Kepada Yth. Bapak/Ibu/Responden Warga Pematang Raya, Sondi Raya Merek Raya

Kepada Yth. Bapak/Ibu/Responden Warga Pematang Raya, Sondi Raya Merek Raya SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM STUDI PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN Jalan Sivitas Akademika, Tel. 8212453, Kode Pos 20155 - Medan Perihal: Mohon Kesediaan Mengisi

Lebih terperinci

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 83 BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 7.1 Persepsi Masyarakat Umum Desa Pangradin Terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN 68 BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN Pengorganisasian lebih dimaknai sebagai suatu kerangka menyeluruh dalam rangka memecahkan masalah ketidakadilan sekaligus membangun tatanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor andalan perekonomian di Propinsi Lampung adalah pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilepaskan dari sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830-an.

BAB I PENDAHULUAN. dilepaskan dari sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830-an. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi jenis Arabika masuk ke Jawa dari Malabar pada tahun 1699 dibawa oleh kapitalisme Belanda perkembangannya sangat pesat dan hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Petani Salah satu indikator utama untuk mengukur kemampuan masyarakat adalah dengan mengetahui tingkat pendapatan masyarakat. Pendapatan menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Agenda pembaruan agraria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 salah satunya adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

Lebih terperinci

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA 6.1 Motif Dasar Kemitraan dan Peran Pelaku Kemitraan Lembaga Petanian Sehat Dompet Dhuafa Replubika

Lebih terperinci

BAB VI TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT YANG TERGABUNG DALAM OTL PASAWAHAN II PASCA RECLAIMING

BAB VI TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT YANG TERGABUNG DALAM OTL PASAWAHAN II PASCA RECLAIMING BAB VI TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT YANG TERGABUNG DALAM OTL PASAWAHAN II PASCA RECLAIMING Menurut Sadiwak (1985) dalam Munir (2008) bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

BAB V BENTUK DAN SISTEM KELEMBAGAAN PERTANIAN PASCA RECLAIM

BAB V BENTUK DAN SISTEM KELEMBAGAAN PERTANIAN PASCA RECLAIM BAB V BENTUK DAN SISTEM KELEMBAGAAN PERTANIAN PASCA RECLAIM Menduduki obyek reclaiming merupakan cara yang paling lazim dilakukan oleh rakyat untuk merebut kembali akses sumberdaya alam, baik menggarap

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL DI KABUPATEN KAMPAR PROPINSI RIAU TESIS Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S2 Program Studi Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan lingkungan, permasalahan, dan faktor lain yang dimiliki oleh pelakunya.

BAB I PENDAHULUAN. keadaan lingkungan, permasalahan, dan faktor lain yang dimiliki oleh pelakunya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses adaptasi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Untuk dapat bertahan hidup di dalam lingkungannya manusia harus mampu beradaptasi. Proses adaptasi satu dengan

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi I. PEMOHON 1. Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi

Lebih terperinci

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan meningkat, ketika masyarakat

BAB V PENUTUP. kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan meningkat, ketika masyarakat 160 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, dapat diketahui bahwa kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan meningkat, ketika masyarakat panen padi. Karena mereka dapat memenuhi

Lebih terperinci

Sebuah Kerangka untuk Mengintegrasikan Tata Pengurusan Tanah yang Demokratis dan Memihak Kelompok Miskin (Pro-Poor) Moh. Shohibuddin (Mei 2010)

Sebuah Kerangka untuk Mengintegrasikan Tata Pengurusan Tanah yang Demokratis dan Memihak Kelompok Miskin (Pro-Poor) Moh. Shohibuddin (Mei 2010) Sebuah Kerangka untuk Mengintegrasikan Tata Pengurusan Tanah yang Demokratis dan Memihak Kelompok Miskin (Pro-Poor) Moh. Shohibuddin (Mei 2010) What is Democratic Governance? Inclusive citizens participation

Lebih terperinci

Pada gambar 2.3 diatas, digambarkan bahwa yang melatarbelakangi. seseorang berpindah tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian

Pada gambar 2.3 diatas, digambarkan bahwa yang melatarbelakangi. seseorang berpindah tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian 31 Pada gambar 2.3 diatas, digambarkan bahwa yang melatarbelakangi seseorang berpindah tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dilatar belakangi oleh alih fungsi lahan. Lalu, perpindahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG DI KABUPATEN ACEH TENGGARA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG DI KABUPATEN ACEH TENGGARA Lampiran 1 Questioner ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG DI KABUPATEN ACEH TENGGARA 1. Pertanyaan dalam Kuisioner ini tujuannya hanya semata-mata untuk penelitian

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian Bandung Berkebun di usia pergerakannya yang masih relatif singkat tidak terlepas dari kemampuannya dalam

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924 Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL Indeks: HASIL.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut

Lebih terperinci

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO Purwanto 1) dan Dyah Panuntun Utami 2) 1)Alumnus Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian 2) Dosen Program

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah 8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Tanah Obyek Landreform 2.1.1 Pengertian Tanah Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sudah disadari bersama bahwa masalah agraria adalah masalah yang rumit dan

I. PENDAHULUAN. Sudah disadari bersama bahwa masalah agraria adalah masalah yang rumit dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sudah disadari bersama bahwa masalah agraria adalah masalah yang rumit dan peka, menyangkut berbagai aspek kehidupan. Hal ini terjadi dikarenakan masalah agraria sudah

Lebih terperinci

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011 59 BAB VII HUBUNGAN PENGARUH TINGKAT PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI 7.1 Hubungan Pengaruh Luas Lahan Terhadap Tingkat Pendapatan Pertanian Penguasaan lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA

BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA 5.1 Latar Belakang Lokasi Reforma Agraria 5.1.1 Sejarah Lahan Eks-HGU Jasinga Indonesia merupakan negara agraris, karena memiliki sumber daya alam agraria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. merupakan salah satu keunggulan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. merupakan salah satu keunggulan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian adalah salah satu wujud dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu keunggulan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang pokok dan bersifat mendesak. Tanpa hal-hal tersebut, manusia

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang pokok dan bersifat mendesak. Tanpa hal-hal tersebut, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan primer manusia adalah sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Kebutuhan primer berarti kebutuhan manusia yang pokok dan bersifat mendesak.

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Sesuai penegasan Kepala BPN RI: Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) bukanlah sekedar proyek bagi-bagi tanah, melainkan suatu program terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial dan

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG Bab ini mendeskripsikan profil rumahtangga peserta PNPM MP di Desa Kemang yang di survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih tinggi. Seperti yang dituangkan dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1999), pembangunan nasional merupakan usaha

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih tinggi. Seperti yang dituangkan dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1999), pembangunan nasional merupakan usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya adalah usaha yang terus menerus untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, baik secara materiil maupun spiritual yang lebih tinggi. Seperti

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG ALIH FUNGSI LAHAN DARI EKS KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI (HPK) SELUAS + 145.125 HEKTAR MENJADI KAWASAN BUKAN HPK DALAM RANGKA

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ideologi kanan seperti : Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina dan Brazil, maupun

BAB I PENDAHULUAN. ideologi kanan seperti : Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina dan Brazil, maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reforma Agraria merupakan penyelesaian yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan ketahanan pangan, dan pengembangan wilayah pedesaan di

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara agraris yang artinya sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara agraris yang artinya sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara agraris yang artinya sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pertanian. Oleh karena itu, pertanian memegang peranan penting

Lebih terperinci

VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN

VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN Pola penguasaan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan dan pengusahaan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desa yang amat kecil dan terpencil dari desa-desa lain yang ada di Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. desa yang amat kecil dan terpencil dari desa-desa lain yang ada di Kecamatan BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Sembunglor merupakan sebuah desa yang terletak dalam cakupan wilayah Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro. Desa Sembunglor itu desa yang amat kecil dan terpencil

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih menghadapi sejumlah permasalahan, baik di bidang ekonomi, sosial, hukum, politik, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi

METODE PENELITIAN. deskriptif bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Metode dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek,

Lebih terperinci

Historiografi. (Jakarta: PT Gramedia.1985) Hal Wawancara dengan Adi Waluyo, 40. tahun peteni etnis Jawa desa Rami Mulya, 29 Desember

Historiografi. (Jakarta: PT Gramedia.1985) Hal Wawancara dengan Adi Waluyo, 40. tahun peteni etnis Jawa desa Rami Mulya, 29 Desember 2 PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia pernah mengalami goncangan yang berat di bidang perekonomian dan juga politik yang terjadi pada tahun 1950-an yang disebabkan karena tidak puas terhadap keputusan

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan

Lebih terperinci

BAB 1 BUKU SAKU PERPAJAKAN BAGI UMKM

BAB 1 BUKU SAKU PERPAJAKAN BAGI UMKM BAB 1 Pendahuluan BAB 1 BUKU SAKU PERPAJAKAN BAGI UMKM 1. PENDAHULUAN Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan

I. PENDAHULUAN. buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, hasil buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan alam yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan 51 BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Harga pasaran yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi I. PEMOHON 1. Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur,

Lebih terperinci

PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) SERI REGIONAL DEVELOPMENT ISSUES AND POLICIES (15) PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) 11 November 2011 1 KATA PENGANTAR Buklet nomor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 8

DAFTAR ISI II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISTILAH... ix I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pembangunan di Indonesia memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar terhadap perubahan dalam perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Dusun Selo Ngisor, Desa Batur, Kecamatan getasan terletak sekitar 15 km dari Salatiga, dibawah kaki gunung Merbabu (Anonim, 2010). Daerah ini

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan di masa lalu telah menumbuhkan suatu kesenjangan yang besar, dimana laju pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan peningkatan

Lebih terperinci

G U B E R N U R L A M P U N G

G U B E R N U R L A M P U N G G U B E R N U R L A M P U N G KEPUTUSAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG ALIH FUNGSI LAHAN DARI EKS KAWASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional Indonesia adalah negara agraris yang banyak bergantung pada aktivitas dan hasil pertanian, dapat diartikan juga sebagai negara yang mengandalkan sektor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan fakta

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan fakta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah sehingga menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan fakta bahwa sebagian besar mata

Lebih terperinci

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan Rappler.com Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan Ari Susanto Published 12:00 PM, August 23, 2015 Updated 4:48 AM, Aug 24, 2015 Selama 20 tahun, Sadiman mengeluarkan uangnya sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pertanian yang dimaksud adalah pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

I PENDAHULUAN. pertanian yang dimaksud adalah pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Sektor pertanian yang

Lebih terperinci