BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN"

Transkripsi

1 BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara strategi nafkah masyarakat dengan status penguasaan lahan mereka. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut. Pengelolaan Hutan TNGHS Struktur Agraria di Kawasan TNGHS Pengelolaan hutan TNGHS pada awalnya berada pada dua kubu. Wilayah bagian barat (Gunung Halimun) dikelola oleh Taman Nasional sedangkan wilayah bagian timur (Gunung Salak) dikelola oleh Perum Perhutani (Rinaldi et al. 2008). Pada masa itu, masyarakat masih memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan bagian Gunung Salak. Hal ini disebabkan oleh sistem zonasi dimana kala itu kawasan yang dikelola Perum Perhutani termasuk zona penyangga. Mata air, kayu, pohon, dan lahan dalam hutan dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Kawasan zona penyangga TNGHS ketika dipegang oleh Perum Perhutani masih berfungsi sebagai hutan produksi. Sebagai hutan produksi, tentu saja masyarakat bisa memanfaatkan kawasan hutan tersebut sebagai alat pemenuhan ekonomi rumahtangga. Pembukaan hutan dilakukan untuk membangun lahan garapan pertanian hingga perluasan area pemukiman masyarakat. Namun kebebasan akses yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan tidak diikuti dengan adanya hak yang sah yang miliki oleh masyarakat. Hak yang sah yang dimaksud adalah keterangan berupa surat tertulis mengenai hak penguasaan atas lahan tersebut. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari jika terjadi penggusuran terhadap lahan garapan masyarakat. Meskipun lahan tersebut telah menjadi lahan garapan masyarakat selama bertahun-tahun, namun ketika tidak ada hak kepemilikan terhadap lahan tersebut maka bisa saja lahan tersebut diambil kembali oleh Perhutani. Artinya, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan garapan mereka jika digusur oleh Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Bisa dikatakan, masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memiliki. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, dilakukan perluasan kawasan taman nasional menjadi TNGHS. Perluasan yang dimaksud adalah penggabungan kawasan bagian barat (Gunung Halimun) dan kawasan bagian timur (Gunung Salak). Seluruh areal koridor dan kawasan pun menjadi bagian pengelolaan BTNGHS (Rinaldi et al. 2008). Sebagai kawasan hutan yang sepenuhnya ditujukan untuk kebutuhan konservasi, sudah tentu hutan TNGHS tak seharusnya dimanfaatkan selain untuk kegiatan konservasi. Kawasan TNGHS yang telah dibagi-bagi ke dalam beberapa zona ini tidak boleh dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, pertambangan, dan sebagainya.

2 30 Perluasan kawasan menjadi TNGHS pada tahun 2003 ini menjadikan lahan masyarakat masuk ke dalam kawasan TNGHS. Ancaman penggusuran lahan garapan masyarakat pun bermunculan akibat keberadaan status baru TNGHS ini. Meskipun terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, namun lahan-lahan garapan masyarakat sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti atau zona rimba. Pengelolaan kawasan TNGHS yang berada di tangan BTNGHS pada awalnya tidak memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menggarap lahan dalam kawasan TNGHS. Bibit konflik bermula pada saat itu, ketika BTNGHS dan masyarakat saling memiliki kepentingan yang berbeda. BTNGHS dengan kepentingan konservasi sedangkan masyarakat dengan kepentingan ekonomi. Pengelolaan hutan TNGHS setelah perluasan kawasan sebenarnya sama saja seperti pengelolaan kawasan taman nasional lainnya. Kawasan konservasi diperuntukkan untuk perlindungan, bukan untuk pemukiman ataupun budidaya pertanian. Namun masyarakat yang terlanjur bertempat tinggal dan menggarap lahan di dalam kawasan tidak dapat serta merta diusir begitu saja. Apalagi masyarakat memiliki kepentingan ekonomi yakni untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Sistem Zonasi TNGHS Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No. 24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS memiliki aturan zonasi yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) periode tahun adalah: 1. Zona inti dan zona rimba Zona inti dan zina rimba meliputi ekosistem hutan alam yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem. 2. Zona rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal rusak, koridor Gunung Halimun Salah, dan sebagainya. Di masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau zona rimba atau zona pemanfaatan. 3. Zona pemanfaatan Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara-lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung, dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang

3 berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona khusus Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan provinsi dan kabupaten yang melintas TNGHS. 5. Zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional Penentuan zonal religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi dua yaitu: a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makam di puncak Gunung Salak, Situs Cibedug, dan Situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non-kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS. 6. Zona lainnya Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona trtentu melalui komunikasi dengan para pihak. Menurut penuturan beberapa warga, masyarakat telah terlebih dahulu menempati dan memanfaatkan lahan sehingga lahan masyarakat untuk kegiatan pertanian telah masuk ke dalam zona-zona yang ditetapkan oleh pihak BTNGHS. Hutan TNGHS telah mengalami banyak perubahan. Sistem zonasi sudah semakin luas dari sebelumnya. Dulu sebelum perluasan kawasan TNGHS, lahan masyarakat masih berada pada zona pemanfaatan. Namun setelah perluasan, lahan masyarakat ada yang telah memasuki zona inti. Masyarakat menjadi takut untuk bercocok tanam karena aturan dan sistem zonasi tersebut. (AGB, 33 tahun, petani dan aktivis) Untung saja, lahan tersebut masih berada pada zona pemanfaatan sehingga masih bisa digunakan. Namun kemudian, ketika muncul wacana untuk memperluas TNGHS, masyarakat harus kembali terkekang karena sebagian besar lahan masyarakat telah memasuki zona inti akibat perubahan sistem zonasi yang ditetapkan. Hal ini memunculkan ketakutan pada masyarakat akan ditariknya lahan pertanian mereka. 31 Pola Pemilikan Lahan Status Penguasaan Lahan Masyarakat Struktur agraria terdiri dari tiga jenis pola penguasaan atas tanah yaitu pola kepemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pola pemanfaatan lahan. Pada subbab ini akan dibahas mengenai pola kepemilikan lahan. Pola kepemilikan lahan adalah pola penguasaan atas tanah yang paling tinggi tingkatannya karena

4 32 telah memiliki pengukuhan yang sah yaitu hak milik yang bisa ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Pola kepemilikan lahan terdiri dari dua cara yaitu kepemilikan tanah dari proses waris dan kepemilikan tanah dari proses jual beli. Kepemilikan tanah dari proses waris terjadi ketika sebuah tanah diwariskan dari seseorang kepada orang lain dengan mengalihkan nama atas kepemilikan tanah tersebut. Biasanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Ketika orang tua meninggal dunia, mereka mewariskan tanah tersebut kepada anaknya yang memiliki hak waris. Di Desa Cipeuteuy, mayoritas kepemilikan tanah atau lahan berasal dari kepemilikan melalui proses warisan. Ketika orang tua meninggal, maka hak waris atas tanah tersebut jatuh kepada anaknya. Biasanya tanah tersebut adalah tanah yang telah dibangun rumah di atasnya. Pola kepemilikan yang kedua berasal dari proses jual beli. Kepemilikan tanah dari proses ini terjadi ketika seseorang ingin menjual tanahnya kepada orang lain yang ditandai dengan akta jual beli dan alih nama sertifikat. Di Desa Cipeuteuy sendiri, jual beli tanah jarang dilakukan karena mayoritas warga tidak memiliki tanah untuk dijual. Bahkan jika memiliki tanah, biasanya warga akan mengusahakan kegiatan pertanian di atasnya. Maka dari itu, proses jual beli tanah jarang dilakukan di desa ini. Kepemilikan tanah, baik melalui proses waris maupun jual beli tentu ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Hal tersebut menjadi salah satu cara yang sah sebagai pengukuhan atas sebuah tanah yang dimiliki. Sayangnya di desa ini, kepemilikan tanah yang ditandai dengan adanya sertifikat masih sedikit. Mayoritas kepemilikan tersebut hanya ditandai dengan surat pengukuhan atau pengakuan dari kepala desa. Tabel 5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2012 Kepemilikan tanah Persentase (%) Tanah milik negara 72,01 % Tanah milik sendiri (masyarakat) 27,99 % Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011 Dari tabel 5 di atas, telihat bahwa kepemilikan tanah milik sendiri hanya sekitar 27,99 persen, sedangkan tanah milik negara yang berada di desa mencapai 72,01 persen. Tanah milik negara di sini terdiri dari tanah dalam koridor TNGHS dan tanah eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan cengkeh. Sedangkan untuk tanah milik sendiri pun hanya sedikit yang memiliki sertifikat sebagai tanda pengesahan kepemilikan tanah. Sebagian besar masyarakat hanya bermodalkan surat keterangan dri pihak desa.

5 33 Biasanya pemilik tanah hanya dibuatkan surat oleh pihak desa sebagai tanda bahwa ia adalah pemilik tanah. Masalahnya adalah biaya membuat sertifikat cukup mahal dan prosesnya lama. Kalau ada tanah bersertifikat, biasanya karena dari orang tuanya yang mewariskan sehingga sudah ada sertifikatnya. Dulu biaya membuat sertifikat belum semahal sekarang. (RSD, 36 tahun, IRT) Alasan terkait biaya dan proses pembuatan sertifikat yang lama sehingga masyarakat tidak mau membuat sertifikat atas tanahnya. Mereka hanya bergantung pada surat pengakuan kepala desa tersebut. Padahal sebenarnya, hal tersebut rentan terhadap adanya klaim ganda atas kepemilikan sebuah tanah. Pola Penguasaan Lahan Setelah membahas mengenai pola kepemilikan tanah, pada subbab ini akan dibahas pola lain yaitu pola penguasaan tanah. Pola penguasaan tanah adalah penggunaan tanah yang terdiri dari tiga jenis cara yaitu melalui sewa-menyewa, pinjam-pakai, dan sistem bagi hasil. Pola penguasaan tanah melalui sewamenyewa tidak ada di Desa Cipeuteuy. Masyarakat tidak pernah menyewa tanah untuk kegiatan pertaniannya. Mereka cenderung bergantung pada lahan yang bisa dipakai secara cuma-cuma tanpa harus mengeluarkan biaya sewa. Lahan yang digarap oleh masyarakat kebanyakan merupakan lahan di dalam Taman Nasional. Sebenarnya, pada awalnya lahan tersebut merupakan lahan di bawah pengelolaan pihak Perhutani. Namun setelah terjadi perluasan areal TNGHS, lahan tersebut menjadi bagian dari kawasan konservasi. Masyarakat kemudian menggunakan lahan tersebut atas pola penguasaan pinjampakai lahan. Masyarakat menggunakan lahan tersebut secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya sewa atau semacamnya. Namun karena masyarakat menggunakan lahan taman nasional yang seharusnya menjadilahan konservasi, aturan dan larangan dari pihak TNGHS pun tak dapat dielakkan. Alhasil, warga tidak dapat bertani dengan tenang karena sewaktu-waktu lahan tersebut dapat diambil kembali oleh sang pemilik lahan. Namun jika dilihat lagi, sekarang ini akses masyarakat terhadap lahan dalam TNGHS cukup besar.meski terdapat resot yang mengontrol keberadaan lahanlahan kosong di TNGHS, namun luasnya lahan yang harus dikontrol dan sedikitnya personil pengawas dari pihak TNGHS membuat kontrol tersebut tidak berfungsi dengan baik. Pihak TNGHS memutuskan bahwa masyarakat boleh tetap mempergunakan lahan pertanian mereka sekarang, namun tidak boleh memperluas. Jika masyarakat ketahuan memperluas lahan maka seluruh lahan akan diambil alih kembali oleh pihak TNGHS. (DYT, 38 tahun, tokoh masyarakat) Selain itu, ada juga lahan desa yang merupakan milik orang lain di luar desa, yaitu pemilik dari Jakarta. Lahan tersebut dibeli namun tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Karena berada dalam kawasan Desa Cipeuteuy, warga pun memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam.

6 34 Sistem pemakaian pada lahan ini adalah melalui sistem bagi hasil. Namun sistem bagi hasil yang dilakukan tidak berpatokan pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya secara kekeluargaan. Pemilik lahan tersebut merupakan orang yang pernah meneliti di desa tersebut dan menjadi penyumbang rutin untuk beberapa kegiatan desa seperti qurban ketika Hari Raya Idul Adha. Petani yang akan mengusahakan kegiatan pertanian di lahan tersebut meminta izin kepada pemilik lahan untuk bercocok tanam dan melakukan kegiatan pertanian di sana. Sebagai ucapan terima kasih, petani akan memberikan sebagian kecil hasil panen mereka kepada sang pemilik lahan. Mereka biasanya akan mengirim hasil panen seperti sayuran atau buah-buahan ketika selesai panen kepada pemilik lahan. Selain itu, ada juga responden penelitian yang menyebutkan tentang lahan yang menggunakan HGU. Sejarah lahan ini berawal dari adanya PT. Intan Hepta yang bergerak di bidang perkebunan cengkeh sekitar tahun Namun masyarakat tidak terlalu bergantung pada keberadaan perkebunaan ini. Hanya sedikit dari masyarakat yang bekerja di perkebunan ini, sebagian besar dari mereka bekerja di bidang pertanian atau bekerja di kota. Sekitar awal tahun 1990, PT. Intan Hepta menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan sebelum HGU habis pada tahun Pada tahun-tahun itu pula mulai banyak lahan bekas perkebunan cengkeh yang terlantar. Sekitar tahun 1996 sampai tahun 1997, masyarakat desa mulai menggarap lahan-lahan yang dianggap terlantar tersebut. Penggarapan lahan HGU eks PT. Intan Hepta ini tetap berlangsung sampai sekarang. Meskipun sebenarnya HGU lahan tersebut telah habis pada tahun Lahan tersebut tetap dimanfaatkan oleh beberapa warga masyarakat untuk melakukan kegiatan pertanian di atasnya. Bahkan saat ini menurut penuturan aparat desa, hampir seluruh lahan eks HGU PT. Intan Hepta yang memiliki luas sekitar 583 hektar dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian. Beberapa sistem dan bentuk penguasaan lahan yang dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa kawasan hutan TNGHS dan lahan-lahan lain yang ada di wilayah Desa Cipeuteuy telah dimanfaatkan oleh warga masyarakat melalui berbagai cara perizinan. Semua bentuk penguasaan lahan tersebut dilakukan guna menjadi pendukung sumber nafkah mereka sebagai petani. Pola Hubungan Sosial Agraria Pola hubungan sosial agraria berkaitan dengan hubungan-hubungan yang berlangsung dari kegiatan interaksi dalam proses penggunaan lahan. Misalnya saja hubungan buruh tani dan petani pemilik, hubungan pemilik lahan dan penyewa lahan, dan sebagainya. Pola hubungan pemilik lahan dan penyewa lahan bisa dibilang tidak ada di Desa Cipeuteuy. Hal ini karena sewa-menyewa tanah tidak pernah dilakukan di desa ini. Warga lebih cenderung menggunakan lahan di TNGHS untuk kegiatan pertanian karena dapat digunakan secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya sewa. Pola hubungan buruh tani dan petani pemilik pada dasarnya berjalan atas dasar kekeluargaan. Buruh tani bekerja membantu petani pemilik untuk menggarap, mengolah, hingga memanen hasil pertanian sesuai dengan waktu yang disepakati. Biasanya mereka bekerja dalam satu kali musim tanam. Proses

7 pembayarannya dilakukan setiap hari setelah bekerja. Rata-rata buruh tani akan dibayar rupiah per harinya. Hubungan sosial lainnya terjadi pada sistem bagi hasil antara pemberi lahan dan pemakai lahan. Tanah milik orang Jakarta menjadi salah satu contoh berjalannya hubungan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab pola penguasaan lahan, sistem bagi hasil yang dilakukan tidak berpatokan pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya secara kekeluargaan. Petani pemakai lahan akan menggunakan lahan tersebut untuk kegiatan pertaniannya setelah meminta izin kepada pemilik lahan. Sebagai ucapan terima kasih, petani akan memberikan sebagian kecil hasil panen mereka kepada sang pemilik lahan. Mereka biasanya akan mengirim hasil panen seperti sayuran atau buah-buahan ketika selesai panen kepada pemilik lahan. 35 Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan Lahan Penguasaan lahan masyarakat di Desa Cipueteuy memang bermacammacam jenisnya, mulai dari lahan milik sendiri, pinjam pakai, eks HGU PT. Intan Hepta, hingga bagi hasil. Namun mayoritas lahan yang digunakan oleh petani di desa ini adalah lahan pinjam pakai dari pihak TNGHS. Tabel 4 telah memperlihatkan bahwa persentase petani pengguna lahan TNGHS dari 35 responden penelitian mencapai 54 persen. Angka tersebut memastikan bahwa petani di desa ini cukup bergantung pada keberadaan lahan TNGHS. Ketergantungan terhadap lahan TNGHS ini tentu mempengaruhi cara berstrategi petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Apalagi lahan TNGHS ini bukanlah lahan milik petani sendiri melainkan lahan yang hanya berstatus pinjam pakai. Tidak ada perjanjian sewa menyewa ataupun bagi hasil untuk lahan ini sehingga bisa dikatakan lahan ini memiliki status yang tidak jelas dalam penggunaannya. Status penguasaan lahan yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakamanan petani dalam menggunakan lahan tersebut. Apalagi mayoritas petani di desa ini memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan pertaniannya. Secara tidak langsung, hal ini mempengaruhi keberlangsungan kegiatan pertanian masyarakat. Masyarakat akan merasa tidak bebas dalam memanfaatkan lahan tersebut. Mereka akan dihantui rasa cemas akibat status penguasaan lahan yang tidak jelas. Ketakutan akan ditariknya lahan tersebut sewaktu-waktu oleh pihak TNGHS membuat mereka tidak bebas menjalankan kegiatan bercocok tanamnya. Pengelolaan kawasan hutan TNGHS pada awalnya dipegang oleh Perhutani yang mana masyarakat masih bebas memanfaatkan lahan untuk berbagai kegiatan pertanian. Ketika pengelolaan beralih kepada BTNGHS, sempat terjadi kekosongan kekuasaan dan pengelolaan yang menjadikan masyarakat bebas mengambil alih dan menjarah sumberdaya dalam kawasan hutan. kemudian sekitar tahun 2003, ketika masa perluasan lahan TNGHS, perhatian BTNGHS terbagi antara pengawasan kawasan dan perluasan terjadiperluasan kawasan TNGHS. Hal tersebut dimanfaatkan masyarakat menjarah sumberdaya dalam kawasan hutan. Penebangan kayu serta perburuan binatang-binatang dalam kawasan hutan banyak terjadi. Kawasan TNGHS pun banyak yang menjadi tandus.

8 36 Bibit konflik mulai muncul ketika masa perluasan lahan TNGHS tersebut. Pasalnya, lahan desa yang telah lama dimanfaatkan masyarakat telah dibungkus oleh aturan-aturan hukum dari hutan konservasi, Akses masyarakat terhadap lahan pada masa itu memasuki masa sulit dikarenakan ketika perluasan, lahan-lahan masyarakat beralih dari zona pemanfaatan menjadi zona inti. Masyarakat dibebankan aturan untuk tidak lagi menggunakan lahan taman nasional untuk kegiatan pertanian. Dulu ketika masa peralihan dari Pihak Perhutani kepada BTNGHS, sempat terjadi kekosongan pengelolaan. Masyarakat menjadi bebas memanfaatkan sumberdaya di hutan. Kayu-kayu banyak ditebang dan dijual karena harganya yang tinggi. Hewan-hewan pun banyak diburu. Biasanya setiap hari kita akan mendengar suara tembakan yang artinya mulai banyak orang yang berburu. (DYT, 38 tahun, tokoh masyarakat) Setelah pengelolaan kembali baik, masyarakat pun dituntut untuk mengganti rugi semua kerusakan hutan yang terjadi. Ancaman terhadap penggusuran lahan pertanian masyarakat menjadi bibit konflik antara masyarakat dan pihak TNGHS. Masyarakat mengancam akan terus melakukan pengrusakan jika lahannya digusur, sedangkan pihak TNGHS bersikeras menginginkan penggusuran jika masyarakat tidak beritikad baik memperbaiki kerusakan yang telah mereka lakukan. Sejarah konflik laten yang diceritakan di atas berkaitan pula dengan perjanjian yang dihasilkan antara dua pihak yang berkonflik. Masyarakat memang boleh menggunakan lahan tersebut untuk becocok tanam, namun mereka tidak boleh memperluas lahan. Lahan yang boleh dimanfaatkan hanya lahan yang sekarang mereka gunakan. Perjanjian ini sebenarnya cukup berpihak pada masyarakat karena lahan pertanian emreka tidak jadi digusur. Namun bentuk perjanjian yang hanya berupa perjanjian lisan bukan tulisan membuat rasa cemas masyarakat tak bisa hilang sepenuhnya. Akibatnya, masyarakat menjadi takut mengembangkan usaha pertaniannya. Mereka cemas jika kegiatan pertanian mereka dikembangkan sedemikian rupa kemudian tiba-tiba lahan pertanian tersebut diambil alih kembali oleh pihak TNGHS, mereka akan mengalami kerugian. Maka dari itu, masyarakat perlu memanfaatkan strategi lain untuk bertahan hidup. Masyarakat harus bisa memanfaatkan sektor-sektor lain selain pertanian untuk menggantungkan hidupnya. Sewaktu-waktu jika benar lahan pertanian mereka di kawasan TNGHS diambil, mereka tetap bisa bertahan hidup dari sektor lain dan tetap bisa memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Strategi nafkah yang dijalankan oleh masyarakat pun tidak hanya bergantung pada pertanian melainkan juga memanfaatkan sektor lain. Sektor nonpertanian dilihat memiliki peran yang besar dalam hal ini. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sektor non-pertanian telah memiliki tempat tersendiri mendampingi sektor pertanian dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga petani. Strategi nafkah masyarakat di desa ini cukup banyak memanfaatkan sektor nonpertanian seperti menjadi pedagang di pasar, pedagang ternak, pedagang warung, buruh bangunan, buruh hutan, hingga tukang ojek. Macam-macam mata pencaharian yang dilakukan oleh rumahtangga petani ini berdasarkan hasil

9 penelitian memperlihatkan bahwa mereka telah cukup jauh memanfaatkan sektor ini di samping basis nafkah utama mereka yaitu pertanian. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Status penguasaan lahan yang berada di atas perjanjian yang tidak jelas membuat masyarakat takut untuk mengembangkan pertaniannya. Jika begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat. 37 Ikhtisar Pengelolaan hutan TNGHS pada masa sebelum ditunjuk menjadi areal konservasi berada di tangan Perum Perhutani. Pada masa itu, masyarakat masih memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan. Namun kebebasan akses yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan tidak diikuti dengan adanya hak yang sah atas penguasaan atas lahan tersebut. Artinya, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan garapan mereka jika digusur oleh Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Bisa dikatakan, masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memiliki. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, dilakukan perluasan kawasan taman nasional menjadi TNGHS. Perluasan kawasan TNGHS ini menjadikan lahan masyarakat masuk ke dalam kawasan TNGHS. Meskipun terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, namun lahan-lahan garapan masyarakat sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti atau zona rimba. Tentu saja status penguasaan lahan kawasan TNGHS yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakamanan petani dalam menggunakan lahan tersebut. Apalagi mayoritas lahan yang digunakan oleh petani di desa ini adalah lahan pinjam pakai dari pihak TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta. Kedua jenis lahan tersebut merupakan lahan milik negara. Ketergantungan terhadap lahan milik negara ini tentu mempengaruhi cara berstrategi petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sektor non-pertanian telah menjadi tempat bergantung masyarakat selain pertanian. Strategi nafkah masyarakat di desa ini cukup banyak memanfaatkan sektor non-pertanian seperti menjadi pedagang di pasar, pedagang ternak, pedagang warung, buruh bangunan, buruh hutan, hingga tukang ojek. Macam-macam mata pencaharian yang dilakukan rumahtangga petani ini memperlihatkan bahwa mereka telah cukup jauh memanfaatkan sektor ini di samping basis nafkah utama mereka yaitu pertanian. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Status penguasaan lahan yang berada di atas perjanjian yang tidak jelas membuat masyarakat takut untuk mengembangkan pertaniannya. Jika begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat.

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI Analysis of Household Livelihood Structure and Strategies of Farmers In ConservationForest

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI Analysis of Household Livelihood Structure and Strategies of Farmers In ConservationForest

Lebih terperinci

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai 163 BAB IX KESIMPULAN 9.1. Kesimpulan Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai mengenai status anak laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian 17 BAB III METODOLOGI Metode penelitian memuat informasi mengenai lokasi dan waktu penelitian, teknit penentuan responden dan informan, teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan analisis data

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN 6.1. Strategi Nafkah Sebelum Konversi Lahan Strategi nafkah suatu rumahtangga dibangun dengan mengkombinasikan aset-aset

Lebih terperinci

BAB VII PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH

BAB VII PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH 59 BAB VII PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH Bab strategi nafkah ini berisi materi mengenai hasil analisis dari bentukbentuk penerapan strategi nafkah dan pemanfaatan livelihood studies dalam penerapan strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Taman Nasional Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Gambaran Umum Desa Pangradin Desa Pangradin adalah salah satu dari sepuluh desa yang mendapatkan PPAN dari pemerintah pusat. Desa Pangradin memiliki luas 1.175 hektar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 9.1. Kondisi Ekonomi Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Areal Konservasi dan Taman Nasional Secara umum hutan konservasi sebagai pengemban misi pelestarian plasma nutfah, prioritas pengelolaannya diarahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta kawasan Kasepuhan Citorek di kawasan TNGHS.

Gambar 2 Peta kawasan Kasepuhan Citorek di kawasan TNGHS. 6 BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012. Pengumpulan data sosial masyarakat dilaksanakan di Kasepuhan Citorek Kecamatan Cibeber Kabupaten

Lebih terperinci

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN 1 LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN SEKARANG KITA BERSAMA!!!! LANGKAH AWAL UNTUK PENGELOLAAN HUTAN KORIDOR SALAK-HALIMUN YANG ADIL, SEJAHTERA, DAN LESTARI Apa itu

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)

BAB III GAMBARAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD) BAB III GAMBARAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD) Pada bab ini akan dijelaskan mengenai gambaran umum kawasan TNBD yang meliputi sejarah pembentukan TNBD dan usulan penataan zona di kawasan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak dan Luas Desa Curug Desa Curug merupakan sebuah desa dengan luas 1.265 Ha yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan sebagai sumberdaya alam fisik mempunyai peranan sangat penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal

Lebih terperinci

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN 6.3. Gambaran Umum Petani Responden Gambaran umum petani sampel diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan para petani yang menerapkan usahatani padi sehat dan usahatani

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin 67 BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin 6.1.1 Kependudukan Desa Pangradin secara Administratif memiliki dua dusun yaitu dusun Pangradin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG PEMBANGUNAN, HAK MASYARAKAT DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MUSYAWARAH PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Taman Nasional Gunung Halimun

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UMUM Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang disisihkan untuk masa depan

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN DISAMPAIKAN OLEH PROF. DR. BUDI MULYANTO, MSc DEPUTI BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEMENTERIAN AGRARIA, TATA

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 83 BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 7.1 Persepsi Masyarakat Umum Desa Pangradin Terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT Menimbang BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan hutan lindung, khususnya hutan yang menjadi perhatian baik tingkat daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa ekosistem. Sebuah taman nasional memegang peranan yang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Alam Nomor : SK. 32/IV-SET/2015 tentang Zonasi Taman Nasional Siberut, Kabupaten

BAB IV PENUTUP. Alam Nomor : SK. 32/IV-SET/2015 tentang Zonasi Taman Nasional Siberut, Kabupaten BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses penetapan zonasi Taman Nasional Siberut yang dilaksanakan ditahun 2014 dan telah disahkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN LAHAN DI LOKAPURNA TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN LAHAN DI LOKAPURNA TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 0, No April 0: 0- STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN LAHAN DI LOKAPURNA TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Conflict Land Tenure Resolution Strategies In Halimun Salak Mountain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan. dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan. dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Bagi Rakyat, Bangsa dan Negara Indonesia Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci