DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL"

Transkripsi

1 DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) Oleh: HENDRA HADIYATNA DJATNIKA I DEPARTEMEN SAINSS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti Disanalah aku berdiri, njaga ibu sejati Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi Marilah kita berjanji, Indonesia abadi S lamatlah rakyatnya, s lamatlah putranya Pulaunya, lautnya semuanya Majulah negrinya, majulah pandunya Untuk Indonesia Raya Indonesia Raya Stanza 3

3 ABSTRACT HENDRA HADIYATNA DJ. The Impact Of Landreform By Leverage and Trajectories Of Change and Reform In National Agrarian Reform (Case OTL Banjaranyar II Desa Banjaranyar and OTL Pasawahan II Desa Pasawahan, Subdistric Banjarsari, Ciamis Regency, Jawa Barat). Supervised by Endriatmo Soetarto. To create an equity land structure, it s necessary to change the agrarian structure to increase community wealth. It called landreform. The purpose of this research was to identification land conflict, processes in implementation landreform by leverage, implementation of National Agrarian Reform Program (PPAN), and trajectories of change and reform in land policies in OTL Banjaranyar II and OTL Pasawahan II. The number of respondents in this research were 30 people for each OTL with stratified random sampling. In general, the implementation of land occupation at these place called landreform by leverage integration (at OTL Banjaranyar II) and annexation (at OTL Pasawahan II) type. National Agrarian Reform Program was implemented at Banjaranyar, whereas at Pasawahan it still on process. Impelentation of landreform by leverage and the National Agrarian Reform Program gave social impact, the change of agrarian structure and wealth for people at these place. The trajectories of change and reform in land policies is redistribution. Keywords: Landreform by leverage, agrarian reform, trajectories of land policies PPAN

4 RINGKASAN HENDRA HADIYATNA DJ. DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL. Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Pasawahan dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO) Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Penguasaan tanah tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah tapi juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama menyangkut hubungan antara pemilik tanah dan penggarap (buruh tani). Oleh karena itu perlu adanya suatu upaya untuk merubah kembali struktur penguasaan tanah guna mencapai keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat yaitu berupa pengaturan atau perombakan penguasaan tanah, yang dikenal dengan landrefom. Reforma Agraria harus meninggalkan filsafat paternalisme. Untuk mewujudkan peran sebagai pendongkrak (by leverage), organisasi tani/rakyat haruslah kuat, bukan saja secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi, perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage), pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) dan apa saja faktor penyebabnya serta Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan arah transfer manfaat dalam kebijakan PPAN di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II. Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat anggota Organisasi Tani Lokal (OTL) di Pasawahan II dan Banjaranyar II. Jumlah responden yang diambil adalah 30 orang dari masing-masing OTL. Responden sejumlah 30 orang ini diambil dengan

5 teknik Stratified Random Sampling. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner, data sekunder diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 tipe , tabel frekuensi, tabulasi silang, dengan menggunakan SPSS 17. Aksi reklaiming yang dilakukan masyarakat di kedua OTL tersebut sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan dengan berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya. Sepanjang perjalanan sering terjadi konflik dan perlawanan yang dilakukan petani dengan aktor-aktor berkepentingan yang terlibat dalam proses reklaiming ini. Pelaksanaan reklaiming di kedua tempat ini dikenal dengan landreform dari bawah (by leverage) dengan tipe integrasi (OTL Banjaranyar II) dan tipe aneksasi (OTL Pasawahan II). Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) baru terlaksana di OTL Banjaranyar II sedangkan di OTL Pasawahan II masih dalam proses. Faktor-faktor yang menyebabkan PPAN dilaksanakan di OTL Banjaranyar terlebih dahulu antara lain: tanah tersebut sudah digarap, kemudian tanah tersebut dimohon oleh penggarap, serta perusahaan karet (PT. Mulya Asli) bersedia melepaskan sebagian HGU-nya. Pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN memberikan dampak sosial, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta dampak kesejahteraan bagi masyarakat di kedua OTL tersebut. Arah transfer manfaat perubahan dan pembaruan dalam kebijakan pertanahan di OTL ini adalah arah dampak redistribusi

6 DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE), DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Pasawahan Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) Oleh: HENDRA HADIYATNA DJ I Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

7 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (STUDI KASUS ORGANISASI TANI LOKAL BANJARANYAR II DESA BANJARANYAR DAN ORGANISASI TANI LOKAL PASAWAHAN II DESA PASAWAHAN KECAMATAN BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Juli 2010 HENDRA HADIYATNA DJ I

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 17 Februari Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Nandang dan Ibu Nining. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN Langensari. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri 1 Subang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Subang. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2006 melalui jalur PMDK di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, disamping kegiatan asistensi. Penulis menjadi Asisten M.K. Sosiologi Umum selama dua semester pada tahun Penulis menjadi anggota di Divisi Pengambangan Masyarakat HIMASIERA KPM IPB periode Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan Indonesian Ecology Expo 2008 (INDEX 2008) dan kepanitian-kepanitian lainnya.

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Arah Transfer Manfaat dalam Kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan mata kuliah KPM 499. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi, perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage), pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) dan apa saja faktor penyebabnya serta Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan arah transfer manfaat dalam kebijakan PPAN di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak yang membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penulisan usulan penelitian. Khusus kepada Sajogjo Institut (SAINS), penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala pengetahuan dan pengalamannya selama ini. Dalam pembuatan skripsi ini, penulis juga menggunakan hasil penelitian SAINS sehingga pada beberapa bagian akan terlihat mirip. Penulis berusaha memberikan sumber rujukan pada setiap bagian yang penulis

10 kutip, namun tidak menutup kemungkinan penulis melakukan kesalahan dan khilaf dengan tidak memasukkan rujukan di beberapa bagian dari skripsi ini. Oleh karena itu penulis meminta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah suatu kesengajaan. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta kesabarannya selama ini. 2. M. Shohibuddin, S.Ag. M,Si atas bimbingan dan bantuannya selama penulis mengerjakan studi pustaka hingga selesainya skripsi ini. 3. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional atas ketersediaannya memberikan beasiswa penulisan skripsi kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 4. Keluarga tercinta, mama, papa, kakak dan kakak iparku, adikku Silvy Angelia, yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi. 5. Prima Yustitia dan keluarga yang selalu memberikan dorongan, doa, semangat kepada penulis. 6. Bapak Martua, Ibu Heru, dan Mas Anton yang sudah bersedia memberikan gagasannya dalam proses penyelesaian skripsi ini 7. Teman-teman dari Sajogyo Institute (SAINS) yaitu Mbak Laksmi, Mas Eko, Mas Didi, Mas Cupi, Mas Saluang, Mbak Dian dan Mbak Dewi yang telah menjadi guru lapangan dan menjadi tempat bertukar pikiran.

11 8. Haslinda Q, Saeful Millah, Pak Jalal, Om Beno yang telah bersedia memberikan informasi-informasi berharga dan menjadi tempat bertukar pikiran jika mengalami hambatan dalam penulisan. 9. Seluruh teman-teman dari Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 43 (Cecep dkk) yang telah sama-sama berjuang dan berbagai berbagai informasi. 10. Kepala Desa Banjaranyar (Pak Tata), Pak Jahman, Abah Sa ud, Pak Ahmad dan seluruh anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II yang telah bersedia menjadi responden dan informan dalam penelitian ini. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Bogor, Juli 2010 Hendra Hadiyatna

12 i DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL... vi BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Lingkup Agraria Reforma Agraria Prasyarat Reforma Agraria Perspektif Reforma Agraria Gerakan Reforma Agraria Landreform By Leverage Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah Kerangka Pemikiran Hipotesis Pengarah Definisi Konseptual Definisi Operasional BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian Strategi Penelitian Teknik Pengumpulan Data Metode Triangulasi Metode Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah) Participatory Poverty Assesment (PPA) Metode Survey dengan Kuesioner Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pemilihan Resonden dan Informan Jenis Data... 28

13 ii 3.7. Analisis Data BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PROFIL ORGANISASI TANI LOKAL Konteks Umum Kabupaten Ciamis Kecamatan Banjarasari Desa Banjaranyar Letak dan Keadaan Fisik Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan Mata Pencaharian Penduduk Tingkat Pendidikan Aspek Sosial Budaya Pertanian Desa Pasawahan Letak dan Keadaan Fisik Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan Mata Pencaharian Penduduk Tingkat Pendidikan Aspek Sosial dan Budaya Pertanian Profil Organisasi Tani Lokal (OTL) BAB V Profil OTL Banjaranyar II Profil OTL Pasawahan II SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Banjaranyar II Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan Konflik dan Aksi Perlawanan Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Pasawahan II Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan Konflik dan Aksi Perlawanan Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Banjaranyar II Pengorganisasian Petani Upaya dalam Pengaturan, Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi... 73

14 iii Upaya Kolektif Lainnya Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Pasawahan II Pengorganisasian Petani dalam Reklaiming dan Pembagian Lahan Upaya-upaya Untuk Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi Analisis dan Perbandingan Peran Aktor-aktor Lain BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS Landasan Hukum Konsepsi PPAN Makna dan Tujuan Lingkup Kegiatan Obyek Reforma Agraria Proses Penetapan Subyek Reforma Agraria Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Ciamis Penetapan Lokasi PPAN Mekanisme Pelaksanaan PPAN di Banjaranyar Program-program Pasca Pemberian Hak di Bajaranyar Rencana Penyelesaian Kasus di Pasawahan Analisis Perbandingan BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE), DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II Dampak Sosial Dampak Terhadap Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah Dampak Terhadap Kesejahteraan Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Pasawahan II Dampak Sosial Dampak Terhadap Perubahan Struktur Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Dampak Kesejahteraan

15 iv 7.3. Arah Transfer Manfaat BAB VIII PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

16 v DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002)... 8 Gambar 3.1. Suasana FGD dengan Masyarakat Gambar 4.1. Peta Kabupaten Ciamis Gambar 4.2. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan Gambar 5.1. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Gambar 5.2. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Gambar 6.1. Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek dan Mekanisme & Delivery System Reforma Agraria Gambar 6.2. Kriteria Umum Subyek Reforma Agraria Berdasarkan Prioritas Gambar 6.3. Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria Gambar 7.1. Sertifikat Hak Milik Gambar 7.2. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah Gambar 7.3. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II Gambar 7.4. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II

17 vi DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria Tabel 2.2. Dinamika Perubahan dan Pembaruan dalam Kebijakan Pertanahan Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis Tahun Atas Dasar Harga Berlaku, Menurut Lapangan Usaha (Persen) Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993, Menurut Lapangan Usaha (Persen) Tabel 4.3. Luas Wilayah Desa Banjaranyar Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel 4.4. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel 4.7. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel 4.8. Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel 4.9. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Tabel Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tabel 5.1. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar Tabel 5.2. Pembagian Luasan Tanah Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Tabel 5.3. Harga Jual Albasia Berdasarkan Ukuran dan Harga Tabel 5.4. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar Tabel 6.1. Hubungan Antara Obyek dan Tujuan Reforma Agraria... 90

18 vii Tabel 6.2. Perbandingan Proses Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II Tabel 7.1. Luas Pemilikan Tanah Sebelum Bergabung dengan SPP (Pra SPP) di OTL Banjaranyar II Tabel 7.2. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Banjaranyar II Tabel 7.3. Luas Pemilikan Tanah Pasca Sertifikasi di OTL Banjaranyar II Tabel 7.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Banjaranyar II Tabel 7.5. Luas Pemilikan Tanah Pra SPP di OTL Pasawahan II Tabel 7.6. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Pasawahan II Tabel 7.7. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Pasawahan II Tabel 7.8. Perbandingan Inisiatif Lokal untuk Akses Tanah, Respon Kebijakan, dan Arah Dampak yang Ditimbulkannya

19 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara agraris, oleh karena itu bagi Indonesia dan juga bagi negara-negara agraris lainnya masalah sumber-sumber agraria khususnya tanah adalah masalah yang sangat penting karena kebanyakan masyarakatnya menggantungkan hidup pada tanah, mulai dari bercocok tanam (sebagai faktor produksi utama) hingga menjadikannya sebagai tempat tinggal. Dalam hal ini, sebagai aset sosial, tanah memiliki dua fungsi krusial yaitu untuk memungkinkan dilakukannya produksi pertanian dan untuk memberikan lapangan kerja yang menghasilkan bagi sebagian besar masyarakat (White dan Wiradi, 1984). Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Di satu sisi kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Di sisi lain, kompleksitas ini muncul karena luas tanah relatif tidak bertambah. Kebutuhan tanah yang terus meningkat berdampak pada terjadinya kompetisi di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal, antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta). Penguasaan tanah tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah tapi juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama menyangkut hubungan antara pemilik tanah dan penggarap (buruh tani). Dengan berlangsungnya waktu, dalam masyarakat tumbuh pembagian kerja. Namun justru mereka yang masih menggarap

20 2 tanah dan menghasilkan bahan pangan bagi seluruh manusialah yang sering mengalami kekurangan pangan (Wiradi, 2009a). Hal ini terjadi karena sistem sosial ekonomi yang kurang menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat tersebut (Spitz dalam Wiradi, 2009a). Data index gini-rasio memperlihatkan peningkatan ketimpangan pemilikan tanah yang besar. Bila tahun 1973 index gini rasio untuk Jawa 0,43 maka pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 0,72. Ketimpangan pemilikan tanah ini tercermin juga pada peningkatan persentase petani gurem (pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun Serta perubahan dari rata-rata pemilikan tanah pertanian, dari 0,23 hektar tahun 1995 menjadi 0,19 pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 0,009 pada tahun 2003 (BPS, 2003) Data-data tersebut mengindikasikan fragmentasi tanah yang progresif. terutama dikalangan petani miskin. Dilain pihak data-data memperlihatkan konsentrasi tanah pertanian yang nyata. Data tahun 1999 memperlihatkan bahwa 4 persen yang digolongkan sebagai petani kaya menguasai 33 persen dari tanah pertanian. Artinya fragmentasi lahan terutama terjadi pada petani kecil atau miskin yang berdampak pada terus bertambah rentannya kedudukan golongan petani ini. Fakta-fakta di atas sejalan dengan angka kemiskinan yang memperlihatkan mayoritas penduduk miskin berada di pedesaan. Data tahun 1999 memperlihatkan bahwa 58 persen penduduk miskin berada pada sektor pertanian (BPS, 2003). Masyarakat kecil kesulitan untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria terutama dalam pemanfaatan lahan pertanian (tanah). Setiap tahunnya penguasaan tanah oleh petani kecil semakin menurun dan konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh para pemilik modal semakin mencuat.

21 3 Oleh karena itu perlu adanya suatu upaya untuk merubah kembali struktur penguasaan tanah guna mencapai keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat yaitu berupa pengaturan atau perombakan penguasaan tanah, yang dikenal dengan landreform. Namun berdasarkan pengalaman landreform yang hanya berupa redistribusi tanah ternyata kurang berhasil karena banyak petani yang telah memperoleh tanah namun tidak mampu mengusahakannya karena kekurangan modal, sehingga tanah tersebut akhirnya dijual. Akhirnya, landreform ini perlu didukung oleh programprogram penunjangnya. Inilah yang dinamakan Reforma Agraria. Pada tahun 2006, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI) mulai menjalankan Reforma Agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kemakmuran. Agenda pemerintah ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Secara garis besar mekanisme penyelenggaraan Reforma Agraria mencakup empat lingkup kegiatan utama, yaitu: penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme dan delivery system Reforma Agraria serta Access Reform. Reforma Agraria harus meninggalkan filsafat paternalisme (Wiradi, 2009a) dimana pelaksanaan Reforma Agraria ini dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintah, sehingga dalam pelaksanaannya sering dipengaruhi oleh pasar politik (Hayami dalam Wiradi, 2009a). Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat dimana ketika rakyat mempunyai posisi tawar yang kuat, maka dalam kondisi pasar politik yang bagaimanapun, hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan. Untuk mewujudkan peran sebagai pendongkrak (by leverage), organisasi tani/rakyat haruslah kuat, bukan saja secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Artinya, secara kuantitatif jumlah massa petani harus cukup besar dan secara kualitatif

22 4 organisasi itu harus cukup solid. Agar peran sebagai dongkrak dan pendorong itu dapat lebih efektif, maka diperlukan langkah-langkah konkret, antara lain dengan menjajaki kemungkinan berkembangnya inisiatif lokal. Salah satu contoh pelaksanaan Reforma Agraria adalah pelaksanaan Reforma Agraria di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis terutama pelaksanaan Reforma Agraria di desa Banjaranyar, khususnya Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II (OTL Banjaranyar II) dan di desa Pasawahan, khususnya Organisasi Tani Lokal Pasawahan II (OTL Pasawahan II). Pelaksanaan Reforma Agraria di kedua desa ini dimulai dengan upaya reklaiming terhadap lahan perkebunan oleh masyarakat Serikat Petani Pasundan (SPP) sekitar tahun Dalam pelaksanaannya perjuangan SPP ini juga dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya. Namun, khusus di desa Banjaranyar, selain dukungan dari pihak-pihak tersebut, terdapat juga dukungan dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) berupa legalisasi kepemilikan lahan (sertifikat) pada tahun Pada akhirnya pelaksanaan kebijakan PPAN ini harus dapat menjawab dua tantangan dasar untuk dapat mewujudkan amanat konstitusi, yaitu pertama sejauh mana kebijakan itu memihak kepada rakyat miskin (pro-poor) dan kedua sejauh mana kebijakan itu bisa menciptakan tata kepengurusan yang demokratis dan adil (democratic governance) (Shohibuddin, 2010) Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, masyarakat OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II telah melakukan reklaiming terhadap lahan perkebunan. Upaya melakukan reklaiming ini dilakukan melalui gerakan petani yaitu melalui organisasi SPP. Pada tahun 2007 OTL Banjaranyar II mendapatkan sertifikat hak kepemilkan

23 5 lahan dari BPN melalui PPAN-nya. Pemberian sertifikat ini tentunya memberikan dampak yang berbeda terhadap masyarakat di dua desa tersebut terutama dalam struktur pemilikan dan penguasaan lahan serta kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II? 2. Bagaimana perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II? 3. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II, serta apa saja faktor-faktor penyebabnya? 4. Bagaimana dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap distribusi manfaat di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan yang hendak dicapai adalah: 1. Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 2. Mengidentifikasi perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;

24 6 3. Mengidentifikasi pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II, serta apa saja faktor-faktor penyebabnya; 4. Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap distribusi manfaat di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan. Diharapkan pula penelitian ini dapat menjadi sarana evaluasi dan informasi data baik bagi pemerintah, swasta, LSM, akademisi maupun masyarakat setempat. Di samping itu, penelitian ini mencoba untuk mencari solusi terbaik terhadap permasalahan terkait dengan pelaksanaan landreform by leverage dan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional.

25 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkup Agraria Seperti kita ketahui bahwa konsep agraria tidak hanya sebatas pada tanah atau tanah pertanian saja. Secara etimologis, istilah agraria berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, ager yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara. Dari pengertian-pengertian tersebut nampak jelas bahwa yang dicakup oleh istilah agraria itu bukanlah sekedar tanah atau pertanian saja. Kata-kata wilayah, tanah negara itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Kata tanah negara, misalnya, di situ ada tumbuh-tumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin ada tambang, ada hewan, dan sudah barang tentu ada masyarakat manusia (Wiradi, 2009a). Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut.

26 8 Pemerintah Sumber Agraria Swasta Masyarakat Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002) Keterangan: Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria 2.2. Reforma Agraria Menurut Wiradi (2009a) makna reforma agraria merupakan penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/ wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tak bertanah. Dalam hal ini reforma agraria memiliki dua tujuan utama, yaitu: pertama, mengusahakan terjadinya transformasi sosial, dan kedua, menangani konflik sosial serta mengurangi peluang konflik di masa depan. Oleh karena itu, Soetarto dan Shohibuddin (2006) menyatakan bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur lainnya. Agenda landreform (digunakan secara bergantian dengan Reforma Agraria) di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Secara umum, program pelaksanaan landreform di Indonesia meliputi ketentuan: (a) larangan menguasai tanah pertanian

27 9 yang melampaui batas; (b) larangan pemilikan tanah absentee; (c) redistribusi tanahtanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee; (d) pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; (e) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan; (f) penerapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dengan disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian yang terlalu kecil Prasyarat Reforma Agraria Menurut Wiradi (2009a), berdasar pengamatan berbagai pakar dari FAO yang melakukan studi tentang Reforma Agraria di berbagai negara di dunia, agar suatu program Reforma Agraria mempunyai peluang untuk berhasil, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain: 1. Kemauan politik dari elit penguasa 2. Elit pemerintahan/birokrasi harus terpisah dari elit bisnis 3. Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi Rakyat/Tani yang pro-reform harus ada 4. Data dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada Seperti tertulis di atas, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah partisipasi aktif dari semua kelompok sosial, yaitu organisasi rakyat/tani yang proreform. Organisasi rakyat ini merupakan organisasi rakyat (tani) yang kuat dan mandiri, dipacu cita-cita luhur-jelas, diarahkan oleh program nyata-terukur, ditopang oleh kader terdidik yang militan, dan didukung massa sadar-luas. Organisasi inilah yang menjadi 1 Harsono dalam Andi Achdian Tanah Bagi yang Tak Bertanah; Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin Bogor: KEKAL PRESS bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, hal 72.

28 10 pendorong perubahan sosial yang maha dahsyat. Oleh karena itu, organisasi rakyat, terutama yang menghimpun petani kecil, buruh tani, dan petani penggarap yang sudah menduduki dan menggarap tanah-tanah (bekas) perkebunan, hendaknya berperan dalam (Setiawan dalam Alfurqon, 2006): 1. Melakukan pendataan (ulang) tanah-tanah yang sudah diduduki, digarap dan dijadikan sumber penghidupan penduduk setempat. 2. Mendaftar nama-nama dan jumlah penduduk yang menduduki, menggarap, dan menjadikan tanah tersebut sebagai sumber penghidupan. 3. Menyiapkan aturan main internal organisasi untuk memastikan terhindarnya konflik horizontal dan untuk memastikan legalisasi ini tepat sasaran kepada mereka yang paling membutuhkan. 4. Memastikan adanya komunikasi dan koordinasi yang baik dengan kalangan Ornop pendamping untuk mendapatkan masukan-masukan dalam memperkuat organisasi maupun kelancaran proses legalisasi. 5. Menyiapkan diri untuk siap bernegosiasi dan lobby dalam rangka meyakinkan pejabat dan aparat yang terkait dengan pelaksanaan legalisasi hak atas tanah maupun proses produksi, distribusi, dan penyediaan berbagai sarana pendukung Perspektif Reforma Agraria Dalam model implementasinya berdasarkan cara bagaimana landreform dijalankan, umumnya telah dibedakan pelaksanaan landreform tiga tipe ideal berdasar pelaku utama yang melakukannya, yakni: StateLed Land Reform, MarketLed Land Reform, dan PeasantLed Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley (2007) dalam Fauzi (2008) mengemukakan model keempat yang merupakan suatu

29 11 upaya mewujudkan ProPoor Landreform yang realistis dengan 4 (empat) pilar pokok (lihat Tabel 2.1), yakni: Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria Perspektif Fitur Market-Led Landreform Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis; Memberi peran sekunder pada negara; Petani yang seharusnya menjadi supir dalam reforma pada kenyataannya berada di bawah dominasi aktor-aktor pasar; Pada kenyataannya, terpusat pada dasar artinya terpusat pada tuan tanah/pedagang/tnc di banyak penataan agraria masa kini. State-Led Landreform Peasant-Led Landreform Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/menjaga legitimasi politik, meskipun agendaagenda pembangunan juga penting; Kehendak politik yang kuat sangat dibutuhkan untuk membawa agenda land reform; Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif; Aktor-aktor pasar tingkat rendah, atau yang terpilih berhubungan dengan aktor-aktor pasar bergantung pada aktor-aktor mana yang lebih memiliki pengaruh dalam negara. Asumsi utamanya adalah bahwa negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit secara sosial, sementara kekuatan pasar secara mendasar didominasi oleh kepentingan elit = dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma-agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria. Pro-Poor Landreform Asumsi utama: tidak meromantisasi kemahakuasaan petani dan organisasi mereka; Tidak menetapkan peran pemerintah pada negara; Tidak mementingkan isu peningkatan produktivitas secara ekonomis = meskipun mengenali keberkaitan antara perspektifperspektif tersebut; Menganalisa negara, gerakan-gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok-kelompok yang terpisah-pisah, namun sebagai aktor yang secara inheren terhubung satu sama lain oleh penyatuan mereka pada sumberdaya tanah secara politis dan ekonomis; Memiliki tiga ciri kunci: terpusat pada petani, didorong oleh negara, dan meningkatkan produktivitas secara ekonomis.

30 Gerakan Reforma Agraria Dilihat dari sudat pandang ilmu sosial, yang dimaksud dengan gerakan (movement) adalah gerakan sosial (social movement), yaitu suatu usaha, upaya, dan langkah kolektif untuk menciptakan perubahan keadaan tertentu yang ada dalam masyarkat (Hoult, 1969) 2. Dari uraian tersebut, Wiradi (2009a) merumuskan bahwa gerakan agraria adalah sebagai berikut: suatu usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Landreform By Leverage Gagasan mengenai reforma agraria ini sudah banyak dibahas oleh para ahli. Beberapa menyebutnya sebagai land governance, semuanya ditujukan untuk mewujudkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. Ada beberapa macam tipe reforma agraria, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu mobilisasi massa dari atas (by grace), dari tengah, dan dari bawah (by leverage) 3. Konsep landreform dari bawah (by leverage) ini untuk pertama kalinya ditawarkan pada Munas Pertama Konsorsium Pembaruan Agraria, pada Desember 1995, dengan menerjemahkannya sebagai Pembaruan Agraria Berbasis Rakyat (PABR). PABR ini merupakan gerakan pembaruan agraria yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan kaum tani atau rakyat pedesaan sendiri. Namun ini sama sekali tidak berarti melawan wewenang pemerintah ataupun hendak menghilangkan 2 Hoult dalam Gunawan Wiradi Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung, Jakarta, Bogor: AKATIGA, KPA, SAINS., hal Lihat Saturnino M. Borras Jr dan Jennifer C. Franco tentang Demokra c Land Gorvernance and Some Policy Recommenda on. Discussion Paper 1. Oslo Governance Centre. Mei 2008.

31 13 peran negara. Dalam hal ini kekuatan dan kemampuan kaum tani justru befungsi sebagai dongkrak, sebagai pendorong yang kuat, untuk menggerakkan peran aktif dari pemerintah (Wiradi, 2009b). Berdasar moda gerakan reklaim tanah yang dilakukan masyarakat petani, Sitorus (2006) mengembangkan tipologi landreform dari bawah ini menjadi tiga tipe, yaitu tipe aneksasi, tipe kultivasi, dan tipe integrasi. Tipe Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan illegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan Negara. Tipe integrasi merupakan kebalikan dari tipe aneksasi, yaitu tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi Negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya agraria. Sedangkan tipe kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah yang direklaim; di satu sisi ia di reklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk, tetapi di sisi lain ia masih di klaim dan juga secara faktual dikelola oleh pihak lain Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010) mengenai kualifikasi pro-poor policy menjadi penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan diferensiasi agraria. Kebijakan transfer kemakmuran dan transfer kekuasaan politik berbasis tanah harus didasari atas kesadaran pelapisan kelas serta sensitif terhadap perbedaan gender dan etnis, historical dalam arti memiliki perspektif mengenai penciptaan kemakmuran, transfer kekuasaan politik, dan penentuan penerima manfaat dalam suatu tinjauan historis sehingga kerangka keadilan sosial yang utuh dapat dikembangkan.

32 14 Aliran Struktur Agraria juga menekankan pentingnya rute transformasi. Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), misalnya, membedakan kemungkinan empat arah transformasi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan land reform, yaitu (1) redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi (lihat tabel di bawah). Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan pertanahan, khususnya dalam memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau apalagi (re)konsentrasi 4. Tabel 2.2. Dinamika Perubahan dan Pembaruan dalam Kebijakan Pertanahan Trajectory Redistribusi Distribusi Non- (Re)Distribusi (Re)konsentrasi Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah Transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau negara atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah diterima oleh petani miskin gurem atau tuna kisma, namun kelas tuan tanah dak kehilangan apapun dalam proses ini; transfer oleh negara Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah tetap berada di tangan segelinr kelas tuan tanah atau negara atau komunitas; yaitu tetap bertahannya status quo yang bersifat mengeksklusi petani miskin Transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari negara, komunitas atau petani gurem kepada tuan tanah, badan-badan perusahaan, negara atau kelompok-kelompok komunitas Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010) Dinamika Perubahan dan Pembaruan Pembaruan dapat terjadi di tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer kepemilikan penuh maupun dak; dapat diterima oleh individu ataupun kelompok Pembaruan biasanya terjadi di tanah milik negara; dapat mencakup transfer hak untuk mengalienasi ataupun dak; dapat diterima oleh individu maupun kelompok Tiadanya kebijakan pertanahan adalah satu kebijakan ; termasuk di sini juga kebijakankebijakan pertanahan yang melegalisasikan klaim-klaim/hak-hak yang mengeksklusi dari kelas tuan tanah atau elit kaya, termasuk negara atau kelompok-kelompok komunitas Dinamika perubahan dapat terjadi dalam tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer sepenuhnya maupun kepemilikan penuh atau dak; d apat diterima oleh individu, kelompok atau badan-badan perusahaan 4 Lihat juga Saturnino M. Borras Jr. and Jennifer C. Franco (2008). How Land Policies Impact Land- Based Wealth and Power. Oslo Governance Centre Brief, No. 3, May 2008.

33 Kerangka Pemikiran Struktur Agraria Sebelum Landreform di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II SPP Aktor Lainnya OTL Pasawahan II OTL Banjaranyar II Aktor Lainnya Reklaiming OTL Pasawahan II di tanah perkebunan BPN Reklaiming OTL Banjaranyar II di tanah perkebunan Program Pemberdayaan Pasca Reklaiming PPAN Program Pemberdayaan Pasca Reklaiming Access Reforn Kesejahteraan Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah Kesejahteraan Arah Transfer Manfaat (Land-Based Wealth and Power) antar Anggota Organisasi Tani Lokal Keterangan: : Proses : Mempengaruhi : Aktor yang berperan : Proses yang belum terlaksana

34 16 Permasalahan utama dalam bidang agraria di Indonesia adalah adanya ketimpangan struktur agraria diantara subyek-subyeknya. Ketimpangan ini menimbulkan efek yang sangat luas diantaranya adalah ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah serta timbulnya masalah kesejahteraan bagi masyarakat tani yang tidak mempunyai tanah. Masalah ini dapat dilihat secara umum pada struktur agrarianya. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan landreform. Terdapat dua tipe landreform yang dikenal secara luas, keduanya yaitu landreform by grace dan landreform dari bawah (by leverage). Tipe yang pertama secara umum dikenal dengan landreform yang diinisiasi oleh pemerintah. Dalam hal ini landreform dapat dilaksanakan atas dasar kedermawanan pemerintah. Sedangkan tipe kedua merupakan landreform yang diinisiasi oleh masyarakat tani sendiri. Di sini, petani berperan sebagai dongkrak agar pemerintah melaksanakan landreform. Salah satu contoh pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) adalah pelaksanaan reklaiming yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Dalam penelitian ini, gerakan yang menjadi sorotan utama adalah gerakan yang terjadi di Kabupaten Ciamis khususnya yang dilakukan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II, Desa Banjaranyar, dan OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan. Di kedua tempat tersebut petani melakukan upaya reklaiming (landreform) pada kisaran tahun Pelaksanaan landreform ini tidak dapat dilepaskan dari peran aktor-aktor yang berkepentingan. Antara lain, SPP dan OTL itu sendiri juga aktor-aktor lainnya. Proses selanjutnya setelah pelaksanaan landreform by leverage (reklaiming) ini adalah program-program pemberdayaan. Kemudian, baik landreform by leverage maupun program-program pemberdayaan setelahnya akan memberikan pengaruh

35 17 terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta kesejahteraan masyarakat di kedua OTL tersebut. Selain program pemberdayaan pasca landreform, setelah pelaksanaan landreform by leverage adalah adanya PPAN. Di OTL Banjaranyar II PPAN ini sudah dilaksanakan sedangkan di OTL Pasawahan II PPAN masih dalam proses. Peran SPP sangat dominan dalam upaya mendampingi OTL dalam melakukan landreform, sehingga peran SPP ini terus melekat dalam proses-proses selanjutnya seperti upaya untuk memperoleh pengakuan hak atas tanah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) serta upaya untuk melakukan program pemberdayaan pasca landreform di kedua tempat tersebut, walaupun program pemberdayaan ini belum berhasil dilakukan. Begitu juga dengan aktor-aktor lain seperti pendamping LBH, SAINS dan lainnya dalam membantu proses pelaksanaan landreform di kedua tempat tersebut Hipotesis Pengarah Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan memfokuskan pada pengaruh partisipasi gerakan tani dalam pelaksanaan Reforma Agraria. Untuk memandu penggalian data mengenai fokus penelitian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Diduga terdapat konflik pertanahan sepanjang sejarah penguasaan tanah yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 2. Diduga perbedaan perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;

36 18 3. Diduga pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 4. Diduga terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II dan tidak di OTL Pasawahan II; 5. Diduga terdapat perbedaan dampak antara pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan kesejahteraan di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II; 2.6. Definisi Konseptual 1. Landreform dari bawah (landreform by leverage) adalah gerakan pembaruan agraria yang berfungsi sebagai dorongan dari petani untuk menggugah peran aktif pemerintah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif melalui penelusuran alur sejarah. a. People/peasant led landreform adalah pandangan yang menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai Reforma Agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil inisiatif untuk menerapkan Reforma Agraria. 2. Landasan hukum adalah perangkat aturan-aturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar pemberian sertifikat melalui Program Pembaruan Agraria Nasional. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 3. Pemberdayaan pasca landreform oleh berbagai pihak adalah usaha-usaha yang dilakukan berbagai pihak setelah proses landreform (reklaiming) dilakukan.

37 19 Proses ini mencakup kegiatan access reform. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 4. Reklaiming adalah proses perebutan kembali tanah oleh masyarakat dari pihakpihak yang dianggap sebagai lawan oleh organisasi SPP a. Pra Reklaim adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses reklaiming lahan. b. Pasca Reklaim adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses reklaiming lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan. 5. Okupasi adalah proses perebutan tanah perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat petani dari pihak perkebunan. a. Pra Okupasi adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses okupasi lahan. b. Pasca Okupasi adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses okupasi lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan Definisi Operasional 1. Struktur pemilikan dan penguasaan lahan adalah besarnya luasan lahan yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing individu petani. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif melalui metode survey rumahtangga. Dengan kategori: 1. Sempit: < 0,5 Ha (Skor = 1) 2. Sedang: 0,5 1,5 Ha (Skor = 2) 3. Luas: > 1,5 Ha (Skor = 3) 2. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat di masing-masing OTL.

38 20 Pendekatan yang digunakan adalah metode kuantitatif melalui metode survey rumahtangga. Indikator yang digunakan dalam penentuan kesejahteraan selain tanah (nilai 8) adalah rumah (nilai 7), kendaraan bermotor (nilai 6), penghasilan (nilai 5), pekerjaan (nilai 4), pola makan (nilai 3), elektronik (nilai 2) dan sanitasi (nilai 1) 5. a. Rumah: Bangunan yang ditempati untuk tinggal, dikategorikan menjadi: 1. Sangat sederhana: lantai tanah, bilik dan belum ditembok, tanpa sanitasi (skor = 1) 2. Sederhana: Semi permanen, tegel, atap dengan genteng, ada sanitasi di luar rumah (skor = 2) 3. Bagus: Permanen, luas sanitasi lengkap (skor = 3) b. Kendaraan Bermotor: Jumlah kendaraan bermesin yang digunakan sebagai sarana transportasi (motor). Dengan kategori 1. Miskin: Tidak punya (skor = 1) 2. Sedang: Punya, hanya satu unit (skor = 2) 3. Kaya: Punya, lebih dari dua unit (skor = 3) c. Penghasilan: jumlah uang yang didapatkan dalam satu rumah tangga per hari baik dari hasil usaha tani maupun di luar usaha tani. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: < Rp (skor = 1) 2. Sedang: Rp Rp (skor = 2) 3. Kaya: > Rp (skor = 3) 5 Lihat Lampiran 7 indikator kesejahteraan berdasarkan PPA

39 21 d. Pekerjaan: Mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: Buruh musiman (skor = 1) 2. Sedang: Mengarap lahan sendiri, memiliki upah lainnya (skor = 2) 3. Kaya: Ada penghasilan tetap, memiliki usaha sampingan (skor = 3) e. Pola Makan: Sajian menu yang dikonsumsi dalam satu hari. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: Makan 2 X sehari, dapat Raskin, jarang makan lauk-pauk (skor = 1) 2. Sedang: Makan 3 X sehari, dengan lauk-pauk (skor = 2) 3. Kaya: Makan 3 X sehari, dengan menu lengkap (skor = 3) f. Elektronik: Pemilikan benda elektronik lainnya diluar kebutuhan pangan. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: Maksimal Hanya Hp atau TV Hitam Putih, 1 macam (skor = 1) 2. Sedang: Minimal tv 24 inch warna dan Hp, 2 macam (skor = 2) 3. Kaya: Serba ada, lebih dari 3 macam (skor = 3) g. Sanitasi: Fasilitas MCK yang dimiliki oleh satu rumah tangga. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: tidak ada, Ke sungai, atau MCK umum (skor = 1) 2. Sedang: Memiliki MCK sendiri, tapi di luar rumah (skor = 2) 3. Kaya: Memiliki MCK di dalam rumah m (skor = 3)

40 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (survey). Pendekatan kualitatif menekankan pada proses-proses dan maknamakna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas, ataupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 2000). Penelitian kualitatif ini memiliki ciri khas yaitu menekankan pada pumpunan inter-subyektivitas realitas sosial yang dihasilkan dari interaksi antara peneliti dan tineliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang tentang pelaksanaan reforma agraria dan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional. Peneliti berusaha memahami interpretasi dari subjek penelitiannya untuk kemudian digabungkan dengan interpretasi dari peneliti sendiri. Metode survey adalah metoda penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan dengan cara mengambil contoh (sampel) dari sebuah populasi menurut prosedur tertentu, dengan alat berupa daftar pertanyaan yang terstruktur (Shohibuddin, 2009) 6. Dalam penelitian ini akan dipergunakan survey sampel. Hal ini dilakukan atas pertimbangan derajat keseragaman data, kesesuaian dengan rencana analisa, presisi penelitian yang dikehendaki sekaligus efisiensi serta efektivitas tenaga, waktu dan biaya. 6 Shohibuddin, Moh (ed), Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi, 2009, Sajogyo Institute, Bogor

41 Strategi Penelitian Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Hal ini karena studi kasus merupakan studi aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi-metode (wawancara, observasi dan analisis dokumen). Dalam hal ini, beberapa kasus pada aras mikro (komunitas lokal) akan dipilih adalah masyarakat OTL Banjaranyar dan OTL Pasawahan (Sitorus, 1999) Metode studi kasus yang digunakan adalah bersifat eksplanasi. Artinya penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana peran organisasi tani dalam hal ini adalah Serikat Petani Pasundan (OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II), menjelaskan adanya ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan lahan serta menjelaskan bagaimana pelaksanaan PPAN dilihat dari sudut pandang BPN dan masyarakat penerima program tersebut. Keduanya mempunyai perbedaan pandangan terhadap pelaksanaan program tersebut. Serta melihat perbedaan kesejahteraan antara masyarakat penerima PPAN (OTL Banjaranyar II) dan masyarakat yang tidak menerima PPAN (OTL Pasawahan II). Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali informasi mendalam mengenai kesenjangan dalam pemilikan dan penguasaan lahan serta menjelaskan bagaimana pelaksanaan PPAN dilihat dari sudut pandang BPN dan masyarakat penerima program tersebut sebagai gejala sosial yang banyak ditemukan di pedesaan pada saat ini. Selain itu, juga menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan hanya berdasarkan penafsiran peneliti pribadi (Sitorus. 1999)

42 Teknik Pengumpulan Data Metode Triangulasi Metode triangulasi merupakan model pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode yaitu obervasi lapang, wawancara (wawancara terstruktur dan wawancara mendalam) dan studi dokumen. Ketiga metode tersebut dikombinasikan dengan tujuan untuk saling melengkapi kelemahan masingmasing metode. Observasi lapang dilakukan dengan mengamati sejumlah realitas sosial atau kasus di lapangan berkaitan dengan kondisi kehidupan petani, baik aspek penguasaan lahan, sistem pola nafkah dan pola perubahan yang terjadi di dalamnya. Kegiatan ini dapat dilakukan secara mandiri (sendiri oleh peneliti) atau dengan model observasi berpartisipasi, yaitu dengan melibatkan subyek penelitian (petani atau rumahtangga petani). Wawancara mendalam dilakukan dengan responden penelitian yang dipilih secara sengaja baik yang berada di lokasi penelitian, maupun di luar lokasi penelitian (umumnya di desa-desa sekitar lokasi penelitian). Kegiatan wawancara ditujukan untuk mengetahui dan memahami realitas sosial atau kasus tertentu berdasarkan pemahaman subyek penelitian, seperti kondisi rumahtangga, sistem pola nafkah, model-model kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian, makna tanah serta peran kekuatan eksternal (pemerintah dan NGO s). Kegiatan ini dapat dilakukan kepada sejumlah responden penelitian dan tokoh masyarakat atau petani. Penetapan responden dalam wawancara melalui metode snowballing, yaitu berdasarkan informasi antar responden di lokasi penelitian. Studi dokumen dilakukan melalui strategi penelusuran sejumlah dokumen tertulis. Dokumen yang ditelusuri dapat berupa dokumen sejarah dan lainnya yang

43 25 bersifat formal maupun informal, seperti cerita cerita-cerita cerita mengenai sejarah lokal (desa penelitian). Studii dokumen dapat dilakukan di wilayah lokasi penelitian (misalnya, BPS, Perpustakaan Pemda, BPN, Dokumen NGO mitra, Perguruan Tinggi Lokal dan intansi lainnya) dan di luar lokasi penelitian (instansi instansi instansi terkait, termasuk dari internet) Metode Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah) Metode FGD ditujukan untuk mendapatkan data mengenai aspek tertentu. FGD dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok terarah yang melibatkan sejumlah orang (10 (1015 orang) dengan peneliti sebagai fasilitator. FGD dapat dilakukan lebih dari satu kali, baik karena pertimbangan topik data yang hendak dikumpulkan maupun luasan dari peserta yang terlibat (covarage covarage area). area). Dalam kegiatan ini, kegiatan FGD akan dilakukan pada tingakatan rumahtangga petani khususnya petani yang tergabung dalam Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II dan Pasawahan II. Gambar 3.1. Suasana FGD dengan Masyarakat Participatory Poverty Assesment (PPA) Participatory Poverty Assesment (PPA) dilakukan untuk mengetahui ukuran ukuranukuran lokal tentang tingkat kesejahteraan menurut masyarakat sendiri. PPA sendiri akan dilakukan di OTL setelah diketahui ukuran untuk masyarakat golongan sejahtera sejahtera, sedang dan rendah.. Hal ini dilakukan untuk mengetahui meng apakah reklaiming tanah yang dilakukan masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan (lihat Lampiran 7).

44 Metode Survey dengan Kuesioner Kuesioner, selain digunakan sebagai panduan pertanyaan ketika melakukan indepth interview, juga diharapkan nantinya dapat meng-cover untuk menampilkan pengaruh sertifikasi terhadap perubahan struktur pemilikan dan penguasaan lahan serta peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani yang menggarap, karena didalam kuesioner yang dipakai, lokus dominannya memang ditujukan untuk melakukan analisis Usaha Tani Rumah Tangga Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di OTL Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan OTL Pasawahan II Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pemilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kedua desa telah melakukan reklaiming lahan dengan perbedaan mendasar; yaitu bahwa OTL Banjaranyar II sudah memperoleh sertifikat, sedangkan OTL Pasawahan sampai saat ini belum mendapatkan sertifikat. Perbedaan paska reklaiming ini (sertifikat dan belum sertifikat) dianggap sebagai faktor penting dalam menganalisis struktur kepemilikan dan penguasaan lahan serta kesejahteraan masyarakatnya. Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan selama lima bulan mulai Bulan Maret 2010 hingga bulan Juli Kegiatan yang dilakukan selama rentang waktu penelitian meliputi (1) Pra-studi lapang (penyusunan instrumen penelitian), (2) Kegiatan studilapang (survey, obrservasi, wawancara mendalam, studi dokumen, dan focus group discussion-fgd) dan (3) Pasca studi-lapang (penulisan laporan penelitian) Teknik Pemilihan Resonden dan Informan Salah satu teknik pengambilan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden dan

45 27 informan; responden adalah sumber data tentang keragaman dalam gejala-gejala, berkaitan dengan perasaan, kebiasaan, sikap, motif, dan persepsi; sedangkan informan adalah sumber data yang berhubungan dengan pihak ketiga dan data tentang hal-hal yang melembaga atau gejala umum (Sitorus, 1998). Dalam penelitian ini, pemilahan antara informan dan responden tidak dilakukan secara ketat, subyek yang diwawancara diundang untuk membicarakan apa yang mereka pahami mewakili diri mereka sendiri sebagai pribadi yang unik dan juga untuk membicarakan kondisi yang terjadi di sekitar kehidupan mereka. Pemilihan informan dan responden dalam melakukan wawancara mendalam dilakukan dengan teknik bola salju (snowball). Dalam teknik ini, peneliti berusaha untuk mengenal beberapa informan kunci dan meminta mereka memperkenalkan peneliti kepada informan lain. Wawancara dilakukan terhadap sebanyak mungkin subyek penelitian sampai pada titik jenuh informasi, di mana tambahan responden/ informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru. Merujuk kepada kepentingan penelitian ini yang akan melihat tingkat kesejahteraan rumahtangga petani di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II. Maka pemilihan sampel dilakukan dengan pengambilan sampel acak distratifikasi (Stratified Random Sampling) yaitu populasi yang bersangkutan di bagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam, dan setiap lapisan dapat diambil secara acak (Singarimbun dan Effendi, 2006). 1. Pemilihan Kabupaten dan Kecamatan dilakukan secara sengaja karena lokasi ini menjadi salah-satu basis gerakan tani yang sering disebut SPP (Serikat Petani Pasundan).

46 28 2. Desa Banjaranyar dan Desa Pasawahan terpilih karena di desa ini ada gerakan petani yang lebih unik dengan satuan unit analisis adalah Organisasi Tani Lokal (OTL). Di OTL Banjaranyar II, setelah lahan direklaim oleh masyarakat kemudian disusul dengan tindakan pemerintah yang memberikan sertifikasi melalui program PPAN. Sedangkan di OTL Pasawahan II hingga saat ini belum ada sertifikasi terhadap lahan yang mereka reklaim. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam riset ini adalah melihat perbedaan kesejahteraan antara petani yang memperoleh sertifikat tanah dengan masyarakat yang belum memperoleh sertifikat tanah. 3. Sampel diambil sedikitnya sepuluh persen (10%) dari masing-masing populasi yang ada. Populasi yang dimaksud adalah satuan analisis yang tergabung dalam suatu kelompok, dalam hal ini masyarakat penerima sertifikat di OTL Banjaranyar II dan masyarakat yang tidak menerima sertifikat di OTL Pasawahan II. 4. Pemilihan responden dilakukan dengan melakukan stratifikasi antara berdasarkan luasan lahan yang dimiliki. Kemudian memilih responden secara acak. Satuan respon dalam penelitian ini adalah siapapun yang dapat mewakili jawaban atas pertanyaan mengenai rumahtangga Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data primer merupakan informasi yang dikumpulkan langsung dari lapangan melalui metode survey rumahtangga, observasi lapang, interview maupun FGD. Sedangkan data sekunder berupa data dari sumber-sumber dokumen. Data primer maupun sekunder bisa berbentuk data kuantitatif maupun kualitatif.

47 Analisis Data Sejak awal pengumpulan data kualitatif, secara bersamaan peneliti juga melakukan analisis data. Analisis data primer dan sekunder (bahan empirik) diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Tahap pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian rupa sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Peneliti juga membagi data ke dalam beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan masalah yang ada. Data yang terkait dengan sejarah, dinamika dan gambaran umum desa dikelompokkan tersendiri, dan begitgu pula dengan data yang menerangkan sub-bab lain yang sejenis dikumpulkan sesuai sub-bab yang ditentukan. Tahap kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif) maupun matriks yang menggambarkan proses pelaksanaan landreform by leverage dan pelaksanaan PPAN. Penyajian dalam bentuk ini diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang telah ditetapkan. Tahap ketiga, kesimpulan diperoleh dengan menarik simpulan melalui verifikasi. Verifikasi dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Artinya, terdapat satu tahapan di mana proses menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini. Kemudian, tentunya dalam menarik kesimpulan akhir, peneliti mengonsolidasikan masalah dan tujuan dengan analisis dalam penelitian ini.

48 30 Indikator kesejahteraan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator kesejahteraan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat melalui ukuran-ukuran lokal yang ada di kalangan masyarakat. Metode penentuan indikator ini dinamakan dengan metode Participatory Poverty Assesment (PPA). Penyusunan indikator dilakukan saat melakukan FGD dengan masyarakat. Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan hal yang dianggap paling penting oleh masyarakat, indikator tersebut secara berurutan adalah tanah, rumah, kepemilikan kendaraan bermotor, penghasilan, pola makan, elektronik dan sanitasi. Indikator ini diberi nilai sesuai dengan urutan. Nilai tertinggi adalah 8 dan berkurang satu nilai di setiap urutan. Nilai ini kemudian dikalikan dengan skornya masing-masing. Data yang diperoleh dari hasil survey dianalisis dengan menggunakan SPSS 17 dan disajikan melalui Tabel Frekuensi dan Tabulasi Silang. Dengan penyajian tabel ini, diharapkan dapat terlihat perbedaan-perbedaan yang muncul dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan lahan serta kesejahteraan petani pada saat sebelum dan sesudah di sertifikasi (untuk kasus OTL Banjaranyar II) serta masyarakat yang sama sekali tidak menerima sertifikat (kasus OTL Pasawahan II).

49 31 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PROFIL ORGANISASI TANI LOKAL 4.1. Konteks Umum Kabupaten Ciamis Kabupaten Ciamis, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu kotanya adalah Ciamis Kota. Kabupaten ini berada di bagian tenggara Jawa Barat, berbatasan dengankabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di utara, Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan Kota Banjar di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di barat. Gambar 4.1. Peta Kabupaten Ciamis Kabupaten Ciamis terdiri atas 30 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Ciamis. Kecamatan Banjar, yang dulunya bagian dari Kabupaten Ciamis, ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif, dan sejak tanggal 11 Desember 2002 ditetapkan menjadi kota (otonom), yang terpisah dari Kabupaten Ciamis. Sejak sekira lima tahun silam terdapat wacana untuk memekarkan lagi Kabupaten Ciamis (pasca-lepasnya Banjar dan sekitarnya menjadi Kota definitif), yaitu dengan membuat Kabupaten Ciamis Selatan meliputi paro selatan Kabupaten induk, namun hal ini masih terus dibahas di DPRD Kabupaten Ciamis, mengingat adanya pengetatan aturan tak-tertulis untuk pelaksanaan pemekaran suatu daerah administratif

50 32 (Provinsi maupun Kabupaten/Kota). Patut dimaklum, oleh karena membentuk sebuah daerah administratif baru akan menguras dana yang besar, sementara APBN (dari pusat) dan APBD (dari Provinsi) selayaknya harus dijalurkan kepada hal-hal yang lebih mendesak. Sebagian besar wilayah Kabupaten Ciamis berupa pegunungan dan dataran tinggi, kecuali di perbatasan dengan Jawa Tengah bagian selatan, serta sebagian wilayah pesisir. Pantai selatan Ciamis bagian timur berupa teluk, diantaranya Teluk Pangandaran, Teluk Parigi, dan Teluk Pananjung. Pantai Pangandaran merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Ciamis. Ibu kota kabupaten Ciamis berada di jalan Lintas jalur (Bandung-Yogyakarta- Surabaya). Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas selatan, dengan stasiun terbesarnya di Ciamis. Di bagian selatan Kabupaten terdapat sebuah lapangan terbang perintis, dinamai Nusawiru, tadinya ditujukan untuk membuka lebar peluang pariwisata (Pangandaran dan sekitarnya) dan investasi di pesisir selatan. Namun kini terkesan kurang dirawat 7. Jumlah penduduk di Kabupaten Ciamis adalah sekitar yang terbagi atas jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak jiwa 8. Sedangkan berdasarkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dilihat pada Tabel 4.1. dan Tabel 4.2. berikut ini: 7 diakses tanggal 10 Juni Ciamis dalam angka 2003 ke atas. diakses tanggal 10 Juni Data lengkap terkait dengan Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Distribusi Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Per Kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jumlah Penduduk Usia Tidak Produktif, Usia Produktif dan Angka Beban Tanggungan Menurut Kecamatan di Kabupaten Ciamis dan jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Ciamis terlampir.

51 33 Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis Tahun Atas Dasar Harga Berlaku, Menurut Lapangan Usaha (Persen) Lapangan Usaha *) 2003 **) (1) (2) (3) (4) Pertanian,Perkebunan,Peternakan,Kehutanan, Perikanan 2,28 9,42 4,72 Pertambangan dan Penggalian 32,69 9,28 21,85 Industri Pengolahan 14,32 19,00 7,60 Listrik, Gas dan Air Bersih 14,95 33,91 9,69 Bangunan 11,89 23,19 19,37 Perdagangan, Hotel dan Restoran 8,87 20,88 10,91 Pengangkutan dan Komunikasi 18,67 36,91 10,12 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 45,99 25,60 14,68 Jasa-jasa 27,29 17,18 10,83 Produk Domestik Regional Bruto 11,55 18,07 9,67 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Sumber: hp://jabar.bps.go.id/kab_ci ami s/pdrb_tab3. htm

52 34 Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993, Menurut Lapangan Usaha (Persen) Lapangan Usaha *) 2003 **) (1) (2) (3) (4) Pertanian,Perkebunan,Peternakan,Kehutanan,Perikanan -0,24-5,65 2,29 Pertambangan dan Penggalian 23,18 2,41 14,26 Industri Pengolahan 1,09 5,26 2,08 Listrik, Gas dan Air Bersih 2,38 3,68 2,74 Bangunan 0,36 4,93 3,42 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,62 9,56 6,53 Pengangkutan dan Komunikasi 7,26 16,21 5,05 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 13,48 8,76 0,39 Jasa-jasa 11,62 4,52 4,09 Produk Domestik Regional Bruto 3,44 3,50 3,80 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Sumber: hp://jabar.bps.go.id/kab_ci ami s/pdrb_tab4. htm Kecamatan Banjarasari 9 Banjarsari adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Indonesia. Sebutan yang pernah populer untuk kecamatan ini adalah "Kota Nyari" - nyaman, asri, rindang, dan indah. Kini istilah itu tidak lagi terlalu menggema. 9 Profil Kecamatan Banj arasari hp://wapedi a.mobi /id/banj arsari,_ci ami s diakses tanggal 10 Juni 2010.

53 35 Sebagai bukti keberadaannya, didirikanlah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kotanyari, sebuah sekolah dasar yang cukup baik, menyusul SDN IX Banjarsari. Setelah pernah menempati Desa Sukasari, pusat kecamatan dipindahkan ke Desa Banjarsaripada tahun 1990-an, dengan alasan pengintegrasian wilayah. Di kompleks itu terdapatkantor kecamatan, pusat kesehatan masyarakat, kantor pos Indonesia, taman atau alun-alunkecamatan, dan lapangan upacara yang biasa dipakai untuk tempat peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di sekitar kompleks ini pula terdapat pusat perbelanjaan yang cukup modern. Pasar umum terdapat di Desa Cibadak yang berbatasan langsung dengan pusat kecamatan. Di sana terdapat pula terminal bus dan perwakilan penyedia layanan angkutan bus untuk tujuan Kota Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Bandung, Depok, Jakarta, Tangerang, dan lainlain. Masjid agung sebagai ciri penting kecamatan terletak di depan balai desa Cibadak. Di desa yang sama terdapat pula kantor Kepolisian Sektor Banjarsari yang berseberangan langsung dengan BRI unit Cicapar. Sarana perekonomian yang ada selain BRI Unit Cicapar juga terdapat BRI Unit Sukasari, Banjarsari, dan Sindanghayu. BRI Unit Banjarsari merupakan BRI Unit yang dilengkapi dengan layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) on line 24 jam. Kecamatan Banjarsari khususnya Ibukota Kecamatan Banajrsari dilewati oleh jalan kabupaten yang strategis, yaitu tepat berada di tengah-tengah pusat wilayah Kabupaten Ciamis dan relatif dekat dengan obyek wisata Pantai Pangandaran yang sekarang direncanakan akan menjadi Kabupaten Pangandaran. Adapun jarak antar pusat Kabupaten Ciamis dengan Pangandaran lebih kurang 80 km, memerlukan waktu

54 36 perjalanan bus umum lebih kurang dua jam, sedangkan dari Banjarsari dibutuhkan perjalanan kurang lebih 1 jam untuk mencapai Pangandaran. Akses menuju Kecamatan Banjarsari, dari ibukota provinsi Jawa Barat, biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan layanan mode transportasi darat Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) berupa bus umum yang berada di terminal Cicaheum, Kota Bandung. Untuk perjalanan langsung hanya tersedia kelas ekonomi, dengan tarif bus umum sekitar Rp ,00. Tetapi ada cara lain, misalnya dengan memilih kelas bisnis ber-ac untuk transit di kota Tasikmalaya atau di Kota Banjar, lalu dilanjutkan dengan kendaraan umum lainnya (bus atau elf). Menggunakan kereta api (KA), dari Kota Bandung atau Yogyakarta, persinggahan terakhir kereta adalah di stasiun KA Kota Banjar. Hal ini berlaku karena tidak ada akses langsung KA ke kecamatan ini. Pada dekade hingga akhir tahun 80-an, mode transportasi kereta api ini ada hingga ke Kecamatan Pangandaran melalui KecamatanPadaherang dan Kalipucang dan relatif banyak digunakan oleh masyarakat sekitar pada waktu itu untuk digunakan sebagai fasilitas transportasi umum. Tetapi kemudian ditutup karena pertimbangan alasan ekonomi pada akhir tahun 1980-an. Belakangan ada rencana pembukaan kembali, namun terbengkalai seiring terjadinya krisis moneter yang melanda Asia Timur, Indonesia tanpa terkecuali. Arah barat wilayah Kecamatan Banjarsari memiliki akses yang relatif dekat dengan dengan Provinsi Jawa Tengah, akses ini bisa dicapai melalui arah dari Kecamatan Kalipucang dan dari Kecamatan Lakbok melewati bendungan Manganti melalui jalur jalanbanjarsari-lakbok. Akses ini bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan umum daribanjarsari, Kota Banjar,

55 37 dan Kalipucang atau di wilayah terdekat dengan Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Banyumas dan sekitarnya. Taman kanak-kanak (TK) yang cukup baik di sini adalah TPA/TKA PUI di sekitaran kompleks Masjid Agung. Dulu pernah populer pula TK Merpati yang bertempat di dekat SDN Kotanyari, sekaligus di belakang kantor Komando Rayon Militer. Sekolah dasar SD yang relatif populer diantaranya SDN Kotanyari dan SDN IX Banjarsari. Rata-rata, gedung SD dibangun pada era 1970-an, tidak sedikit di antara gedung-gedung itu begitu memilukan, peremajaan bangunan berjalan lamban, kontras dengan gencarnya kampanye wajib belajar sembilan tahun dan adanya program bantuan operasional sekolah (BOS). Sekolah menengah atas (SMA) atau yang sederajat di kecamatan ini di antaranya adalah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Banjarsari, SMAN 2 Banjarsari, SMA Plus Al-Hasan, SMA Muhammadiyah Banjarsari, dan MA PUI Banjarsari. Kemudian sekolah menengah kejuruan (SMK) di antaranya SMK Siliwangi AMS, SMK Muhammadiyah 1 Banjarsari, dan SMK Muhammadiyah 2 Banjarsari. Sedangkan untuk sekolah menengah pertama (SMP) atau yang sederajat di kecamatan ini di antaranya adalah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Banjarsari (di Desa Cibadak), SMPN 2 Banjarsari (di Desa Cicapar), MTs Al-Hasan, MTs PUI Banjarsari (di Desa Cibadak), dan SMP Plus (di Desa Pasawahan). Untuk perguruan tinggi (PT), di kecamatan ini baru dibuka setelah tahun 2000-an, yakni kelas jauh Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, pada kelas Diploma-2, untuk program penyediaan guru SD yang lebih baik. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam ada juga beberapa di sini. Salah satu di antaranya ialah Pondok Pesantren Miftahul `Ulum Pimpinan K.H. Hasan Bisri yang terletak di Desa Kawasen. Di dalam pondok ini juga dikelola pendidikan formal seperti TK Plus Al-Hasan, MTs Al-Hasan, dan SMA Plus

56 38 Al-Hasan. Para siswa yang datang dari berbagai daerah selain belajar secara formal mereka juga belajar mengaji di pondok ini. Mata pencaharian masyarakat Kecamatan Banjarsari secara mayoritas adalah petani baik dengan mengelola sawah maupun kebun. Sehingga wilayah Kecamatan Banjarsari ini merupakan salah satu wilayah lumbung padi Kabupaten Ciamis selain wilayah sekitarnya seperti Kecamatan Padaherang. Komoditas beras yang dijual dari Banjarsari ini kemudian dijual ke pusat-pusat grosir beras di wilayah Jawa Barat maupun Jawa Tengah seperti KotaBandung, Jakarta, maupun ke Jawa Tengah seperti Surakarta dan sekitarnya. Selain dari komoditas padi, Kecamatan Banjarsari dulu terkenal dengan makanan khas yang terkenal yaitu "galendo". Galendo ini adalah pakan khas berupa hasil residu air santan dalam pembuatan proses minyak kelapa dan biasanya bisa dijadikan pakan khas wilayah CiamisSelatan yang disebut dengan "Dage". Makanan khas ini dapat ditemukan di wilayah Ciamis Selatan dan biasanya dsajikan pada saatsaat tertentu. Selain sektor pertanian, sektor perdagangan juga relatif berkembang karena secara tidak langsung wilayah Kecamatan Banjarsari adalah sebagai hinterland dari Kota Banjar dan merupakan transit barang dan jasa dari dan menuju ke wilayah selatan yaitu Pangandarandan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan eksistensi pasar Banjarsari yang mampu mewadahi barang dan jasa dari dan ke wilayah perbatasan seperti Kecamatan Lakbok, Padaherang, dan Kalipucang, bahkan Pangandaran serta wilayah sekitarnya bahkan Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Banyumas dan sekitarnya. Akhir dekade 90-an, di Banjarsari telah berdiri pusat-pusat perbelanjaan untuk

57 39 mewarnai perekonomian Kecamatan Banjarsari dengan lingkup pasar dari wilayah sekitarnya hingga ke wilayah Ciamis Selatan seperti Kecamatan Pangandaran. Saat ini home industry yang sedang berkembang di Kecamatan Banjarsari berupa penganan kecil, atau cemilan menjadi salah satu industri yang memiliki daya tarik baru. Home industries ini terletak di Desa Cibadak, berupa pengembangan komoditas pisang pisang yang didehidrogenasi (sale goreng), kekewukan, cingir putri, kalatakan, kicimpring, keripik pisang, keripik singkong, dan lain-lain. Selain yang disebutkan eksplisit, bahan pokok mereka adalah terigu dan beras ketan. Selain industri tersebut, di wilayah ini telah dikembangkan juga industri rumah tangga berupa nata de coco yang merupakan industri kecil pengolahan air kelapa yang merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan di wilayah Ciamis Selatan. Lingkup pasar industri ini termasuk wilayah sekitarnya seperti Kota Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, hingga Bandung. Dulu pernah ada sejenis buah unggulan dari sini, yakni rambutan Si Oray, bentuknya kecil, bergerombol banyak, buahnya mudah mengelupas, bulunya cenderung jarang, rasanya manis. Kini sangat sulit dan kurang populer, mungkin karena banyaknya komoditas buah lain yang lebih mengemuka. Potensi tanaman ekonomis adalah pohon Albasia, sementara bahan tambang adalah batu gambit yang selama ini dikenal untuk bahan semen, campuran pasta gigi hingga bahan berbagai industri, baik kertas, gelas hingga cat Desa Banjaranyar Letak dan Keadaan Fisik Desa Banjaranyar berlokasi sekitar 11 km dari Ibukota Kecamatan Banjarsari atau sekitar 66 km dari Ibukota Kabupaten Ciamis. Oleh karena letak desa yang jauh

58 40 dari pusat fasilitas, penduduk terbiasa menggunakan mobil pick-up dan untuk mencapai jalan raya dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti belanja ke pasar untuk keperluan satu bulan dan sekolah ke Kota Banjarsari. Desa Banjaranyar terbagi atas tujuh dusun, enam rukun warga (RW), dan 38 rukun tetangga (RT). Enam dusun tersebut letaknya cukup berjauhan satu dengan yang lainnya, yaitu Dusun Banjaranyar, Dusun Sukanagara, Dusun Karangsari, Dusun Sindang Asih, Dusun Karang Legok, Dusun Bulaksitu, dan Dusun Sukamaju. Dusun Banjaranyar dan Dusun Sukamaju relatif mudah dicapai. Dusun-dusun di Desa Banjaranyar letaknya cukup berjauhan satu sama lain sehingga dapat dikatakan batas antar dusun sangat jelas. Desa Banjaranyar luasnya sekitar 1247,7 hektar dengan tataguna tanah seperti Tabel 4.1. Sebagian besar tanah dimanfaatkan untuk perkebunan dan tegalan yaitu seluas 879,5 hektar (70,49 persen), sedangkan 150,2 hektar (12,04 persen) dari wilayahnya dimanfaatkan untuk sawah dapat lihat Tabel 4.3. dari tabel berikut ini: Tabel 4.3. Luas Wilayah Desa Banjaranyar Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Penggunaan Lahan Luas (Hektar) % Pemukiman dan Pekarangan 13,5 1,08 Persawahan 150,2 12,04 Perkebunan dan Tegalan 879,5 70,49 Lainnya (prasarana umum, kebun milik swasta) 204,5 16,39 Jumlah 1247,7 100 Sumber: Potensi Desa tahun 2008 Jalan di dalam dusun adalah jalan batu yang walaupun sempit ternyata sering dilewati kendaraan kecil yaitu mobil-mobil pick-up yang mengangkut hasil pertanian masyarakat setempat. Dengan ongkos Rp per orang colt mini akan membawa penumpang dari dusun sampai ke pasar Kecamatan yang jauhnya sekitar 11 km.

59 41 Angkutan umum lainnya adalah ojek dengan ongkos yang lebih tinggi yaitu Rp per orang dari dusun Sukamaju ke pasar Kecamatan. Sarana angkutan yang cukup lancar dan ongkos yang terjangkau sangat membantu para pedagang maupun petani dalam menjual hasil produksinya. Fasilitas jalan utama yang ada cukup buruk, namun masih bisa dilalui kendaraan roda empat (lihat Lampiran 11). Apalagi jika berbicara jalan antar dusun, praktis hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor, itupun jika kondisi tanah sedang kering (tidak hujan). Untuk beradaptasi dengan jalan yang rusak dan curam ini, masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor, khususnya motor, harus memodifikasi kendaraan mereka sehingga sesuai dan dapat awet dipergunakan Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan Data monografi desa tahun 2008 mencatat jumlah penduduk Desa Banjaranyar sebanyak 4478 jiwa, yang terdiri dari 50,80 persen laki-laki dan 49,20 persen perempuan. Jumlah tersebut terbagi dalam 1465 kepala keluarga dengan jumlah ratarata tiap keluarga 3 jiwa. Dari jumlah penduduk yang ada, yang termasuk kelompok pemuda (16-25 tahun) sebanyak 864 jiwa atau 17,06 persen dapat lihat Tabel 4.4. berikut ini:

60 42 Tabel 4.4. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Golongan umur Jumlah Persen 0-05 tahun 315 7, tahun 344 7, tahun 334 7, tahun 217 4, tahun , tahun 372 8, tahun 389 8, tahun 400 8, tahun 326 7, tahun 304 6, tahun 249 5, tahun 132 2,95 > 59 tahun ,02 Total Sumber: Data Monografi Desa 2008 Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (52,29 persen) petani memiliki lahan yang sempit yaitu sebanyak 140 keluarga, sedangkan yang memiliki lahan luas yaitu 260 keluarga (16,21 persen). Adapun keluarga petani yang tak berlahan sejumlah 739 keluarga (31,5 persen), yang jumlahnya kurang lebih dua kali dari jumlah petani yang memiliki lahan luas (Tabel 4.5.).

61 43 Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Luas Kepemilikan Lahan Jumlah keluarga % Keluarga tak berlahan ,88 Pemilik lahan sempit (kurang dari 1 hektar) ,29 Pemilik lahan luas (lebih dari 1 hektar) ,83 Jumlah Sumber: Potensi Desa tahun Mata Pencaharian Penduduk Bertani sampai saat ini masih menjadi mata pencaharian utama penduduk Desa Banjaranyar. Tabel 4.6. menunjukkan bahwa 31,34 persen penduduk desa (15,86 persen laki-laki dan 15,48 persen perempuan) mempunyai pekerjaan utama sebagai petani. Namun, jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan utama sebagai buruhtani ternyata jumlahnya lebih besar yakni 61,63 persen (30,66 persen laki-laki dan 30,97 persen perempuan).

62 44 Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Jenis pekerjaan Jumlah % Petani ,17 Buruh tani ,04 PNS 13 0,92 Buruh/Swasta ,85 Pengrajin 5 0,35 Pedagang 99 6,97 Peternak 4 0,28 Montir 3 0,21 TNI/Polri 3 0,21 Pensiunan/Purnawirawan 10 0,70 Jumlah Sumber: Potensi Desa tahun Tingkat Pendidikan Berdasarkan Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (88,13 persen) penduduk Desa Banjaranyar tingkat pendidikan akhirnya yakni tamat SD. Setelah lulus SD, biasanya anak-anak diikutsertakan dalam kegiatan pertanian. Daripada sekolah orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anak-anak mereka karena dianggap lebih produktif dibandingkan mereka sekolah. Berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan persentase antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah (Tabel 4.7.).

63 45 Tabel 4.7. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tingkat pendidikan Jumlah (%) Tidak tamat SD ,87 Tamat SD/ sederajat ,21 Tamat SMP/sederajat 379 9,75 Tamat SMA/sederajat 139 3,58 Tamat D2/sederajat 10 0,26 Tamat D3/sederajat 4 0,11 Tamat S1/sederajat 8 0,21 Tamat S2/sederajat 1 0,02 Sumber: Potensi Desa tahun Aspek Sosial Budaya Pertanian Lahan pertanian yang ada di Desa Banjaranyar merupakan lahan kering. Lahan yang ada berciri-ciri tanah miring, berundak-undak, tanah kering, dan produktivitas yang rendah. Bentuk-bentuk pertanian yang ada di Desa Banjaranyar yaitu sawah, kebun, ladang, dan pekarangan. Bentuk pertanian kebun lebih banyak dibandingkan dengan bentuk pertanian sawah. Tanaman yang ditanam di kebun yaitu jenis tanaman jangka panjang antara lain albasia, kopi, coklat, petai, jengkol, dan lain-lain. Bentuk sawah di Desa Banjaranyar yaitu sawah tadah hujan karena masih mengandalkan air hujan untuk pengairan sawah, namun ada juga sawah yang sudah menggunakan irigasi dari sumber mata air. Teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana, karena lokasi yang tidak mendukung dalam penggunaan teknologi seperti penggunaan traktor. Hal ini mengakibatkan jadwal penanaman padi sawah disesuaikan dengan musim penghujan. Sebagian besar petani menanam padi sawah sebanyak dua kali dalam setahun. Akan tetapi, ada juga yang menanam padi sawah sampai tiga kali setahun, disesuaikan dengan kondisi air di lahan masing-masing. Petani yang ada kebanyakan masih berpendidikan rendah. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang tata cara bertani yang baik pun belum diketahui. Tata cara bertani

64 46 yang dilakukan berdasarkan ajaran orangtua. Mereka berharap kelak anak-anak mereka dapat menjadi petani yang berpendidikan sehingga produktivitas pertanian di Desa Banjaranyar menjadi lebih meningkat dan lebih tersistematis. Budaya bertani yang ada diantara petani, yaitu budaya ikut-ikutan. Hal ini berarti penanaman atau jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pada petani lain yang telah berhasil menanam tanaman tersebut. Sebagai contoh, sejak tahun 2007, banyak petani yang menanam pohon albu (albizea) di kebun mereka. Banyak petani yang menanam albu karena ada salah satu petani yang berhasil menanam tanaman tersebut dan memperoleh keuntungan yang luar biasa hingga mencapai jutaan rupiah. Akibatnya, hasil produksi pertaniannya tidak cukup beragam dan pendapatan pun semakin sedikit karena produk yang dihasilkan. Untuk hasil pertanian, belum ada suatu wadah yang menyalurkan (distributor) hasil pertanian dengan baik. Petani langsung menjual hasil pertanian mereka kepada tengkulak yang tentunya dirasa sangat merugikan karena membayar dengan harga yang sangat murah Desa Pasawahan Letak dan Keadaan Fisik Desa Pasawahan berlokasi sekitar 14 Km dari Ibukota Kecamatan Banjarsari atau sekitar 64 Km dari Ibukota Kabupaten Ciamis. Di sebelah Utara, desa ini berbatasan dengan Desa Langkapsari, di sebelah Selatan dengan Desa Kalijati, di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kalijaya, dan di sebelah Timur dengan Desa Kawasen. Oleh karena letak desa yang jauh dari pusat fasilitas, penduduk terbiasa menggunakan mobil pick-up untuk mencapai jalan raya dan melakukan kegiatan seharihari seperti belanja ke pasar untuk keperluan satu bulan dan sekolah ke Kota Banjarsari.

65 47 Desa Pasawahan terbagi atas enam dusun, enam rukun warga (RW), dan 35 rukun tetangga (RT). Enam dusun tersebut letaknya cukup berjauhan satu dengan yang lainnya, yaitu Dusun Ciakar, Dusun Mekarsari, Dusun Karang Anyar, Dusun Munggang Wareng, Dusun Cisarua, dan Dusun Ciawitali. Dusun Karang Anyar dan Dusun Munggang Wareng relatif mudah dicapai. Dusun-dusun di Desa Pasawahan letaknya cukup berjauhan satu sama lain sehingga dapat dikataka batas antar dusun sangat jelas kecuali untuk Dusun Munggang Wareng dan Dusun Karang Anyar.Dari keenam dusun yang ada, Dusun Ciawitali dan Dusun Cisarua letaknya paling jauh dan akses ke tempat tersebut cukup sulit. Desa Pasawahan luasnya sekitar 2692,9 hektar dengan tataguna tanah seperti Tabel 4.6. Sebagian besar tanah dimanfaatkan untuk perkebunan dan tegalan yaitu seluas 1146 hektar (42,56 persen), sedangkan 894 hektar (33,19 persen) dari wilayahnya dimanfaatkan untuk sawah (lihat Tabel 4.8.). Desa ini terletak pada ketinggian 750 meter dari permukaan air laut dengan topografi wilayah berbukit-bukit, dan suhu ratarata harian 24 o C. Tabel 4.8. Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Penggunaan Lahan Luas (Hektar) Pemukiman dan Pekarangan 245,9 9,13 Persawahan ,19 Perkebunan dan Tegalan ,56 Lainnya (prasarana umum, kebun milik swasta) ,12 Jumlah 2692,9 100 Sumber: Potensi Desa tahun 2008 Jalan di dalam dusun adalah jalan batu yang walaupun sempit ternyata sering dilewati kendaraan berat yaitu truk-truk yang mengangkut bahan bangunan dan %

66 48 mengangkat kayu yang telah ditebang. Selain itu ada pula pick-up yang mengangkut pedagang dan hasil pertanian. Dengan ongkos Rp per orang colt mini akan membawa penumpang dari dusun sampai ke pasar Kecamatan yang jauhnya sekitar 14 km. Angkutan umum lainnya adalah ojek dengan ongkos yang lebih tinggi yaitu Rp per orang dari dusun Munggang Wareng ke pasar Kecamatan. Sedangkan ongkos ojek untuk bepergian antar dusun diseputar desa berkisar antara Rp sampai Rp Sarana angkutan yang cukup lancar dan ongkos yang terjangkau sangat membantu para pedagang maupun petani dalam menjual hasil produksinya. Fasilitas jalan raya yang ada sangat buruk (lihat Lampiran 16). Menurut penduduk sekitar, pada tahun 2008 telah ada perbaikan jalan dari pemerintah desa. Namun, setelah terjadi musim hujan, jalan aspal kembali rusak karena terkikis oleh air hujan, sehingga jalanan menjadi aspal berbatu. Untuk beradaptasi dengan jalan yang rusak dan curam ini, masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor, khususnya motor, harus memodifikasi kendaraan mereka sehingga sesuai dan dapat awet dipergunakan. Desa Pasawahan kegiatan jual beli/pasar berlangsung dua kali seminggu yaitu pada hari selasa dan kamis. Pasar ini baru berfungsi untuk membeli keperluan seharihari saja belum sebagai tempat memasarkan hasil produksi pertanian. Petani lebih sering menjual hasil produksinya ke tengkulak, karena mereka malas untuk menjual ke pasar karena jaraknya relatif jauh dan perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk menyewa pick-up Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan Data monografi desa tahun 2008 mencatat jumlah penduduk Desa Pasawahan sebanyak 4631 jiwa, yang terdiri dari 49,62 persen laki-laki dan 50,38 persen perempuan. Jumlah tersebut terbagi dalam 1522 kepala keluarga dengan jumlah rata-

67 49 rata tiap keluarga 4 jiwa. Dari jumlah penduduk yang ada, yang termasuk kelompok pemuda (16-25 tahun) sebanyak 532 jiwa atau 11,48 persen (Tabel 4.9.). Tabel 4.9. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Golongan umur Jenis kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan 0-05 tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun > 75 tahun Total Sumber: Data Monografi Desa 2008 Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (52,29 persen) petani memiliki lahan yang sempit yaitu sebanyak 800 keluarga, sedangkan yang memiliki lahan luas hanya sedikit yaitu 248 keluarga (16,21 persen). Adapun keluarga petani yang tak berlahan sejumlah 482 keluarga (31,5 persen), yang jumlahnya kurang lebih dua kali dari jumlah petani yang memiliki lahan luas (Tabel 4.10.).

68 50 Tabel Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Luas Kepemilikan Lahan Jumlah keluarga % 1. Keluarga tak berlahan ,5 2. Pemilik lahan sempit (kurang dari 1 hektar) ,29 3. Pemilik lahan luas (lebih dari 1 hektar) ,21 Jumlah Sumber: Potensi Desa tahun Mata Pencaharian Penduduk Bertani sampai saat ini masih menjadi mata pencaharian utama penduduk Desa Pasawahan. Tabel menunjukkan bahwa 31,34 persen penduduk desa (15,86 persen laki-laki dan 15,48 persen perempuan) mempunyai pekerjaan utama sebagai petani. Namun, jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan utama sebagai buruhtani ternyata jumlahnya lebih besar yakni 61,63 persen (30,66 persen laki-laki dan 30,97 persen perempuan).

69 51 Tabel Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 Jenis pekerjaan Laki-laki % Perempuan % Petani , , 48 Buruh tani , , 97 PNS 12 0,45 3 0,1 1 Pedagang keliling 5 0, ,3 9 Pengusaha kecil dan menengah 150 5,66 0 0,0 0 Dusun kampung 6 0,23 0 0,0 0 Jumlah n = 2648 (100%) , , 95 Sumber: Potensi Desa tahun Tingkat Pendidikan Berdasarkan Potensi Desa tahun 2008, sebagian besar (51,23 persen) penduduk Desa Pasawahan tingkat pendidikan akhirnya yakni tamat SD. Setelah lulus SD, biasanya anak-anak diikutsertakan dalam kegiatan pertanian. Daripada sekolah orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anak-anak mereka karena dianggap lebih produktif dibandingkan mereka sekolah. Berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan persentase antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah (Tabel 4.12.).

70 52 Tabel Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun Tingkat pendidikan Usia tahun tidak tamat SD Lakilaki (%) Perempuan (%) , ,95 Tamat SD/ sederajat , ,43 Tamat SMP/sederajat 98 48, ,49 Tamat SMA/sederajat 30 63, ,17 Tamat D1/sederajat - 0, ,00 Tamat D2/sederajat 6 75, ,00 Tamat S1/sederajat 5 62,5 3 37,5 Sumber: Potensi Desa tahun Aspek Sosial dan Budaya Pertanian Lahan pertanian yang ada di Desa Pasawahan merupakan lahan kering. Lahan yang ada berciri-ciri tanah miring, berundak-undak, tanah kering, dan produktivitas yang rendah. Bentuk-bentuk pertanian yang ada di Pasawahan yaitu sawah, kebun, ladang, dan pekarangan. Bentuk pertanian kebun lebih banyak dibandingkan dengan bentuk pertanian sawah. Tanaman yang ditanam di kebun yaitu jenis tanaman jangka panjang antara lain albusia, kopi, coklat, petai, jengkol, dan lain-lain. Bentuk sawah di Desa Pasawahan yaitu sawah tadah hujan karena masih mengandalkan air hujan untuk pengairan sawah. Sawah di desa ini belum memakai sistem irigasi yang menyalurkan pasokan air bagi lahan mereka. Teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana, karena lokasi yang tidak mendukung dalam penggunaan teknologi seperti penggunaan traktor dan irigasi. Hal ini mengakibatkan jadwal penanaman padi sawah disesuaikan dengan musim penghujan. Sebagian besar petani menanam padi sawah sebanyak dua kali dalam setahun. Akan tetapi, ada juga

71 53 yang menanam padi sawah sampai tiga kali setahun, disesuaikan dengan kondisi air di lahan masing-masing. Petani yang ada kebanyakan masih berpendidikan rendah. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang tata cara bertani yang baik pun belum diketahui. Tata cara bertani yang dilakukan berdasarkan ajaran orangtua. Mereka berharap kelak anak-anak mereka dapat menjadi petani yang berpendidikan sehingga produktivitas pertanian di Desa Pasawahan menjadi lebih meningkat dan lebih tersistematis. Budaya bertani yang ada diantara petani, yaitu budaya ikut-ikutan. Hal ini berarti penanaman atau jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pada petani lain yang telah berhasil menanam tanaman tersebut. Sebagai contoh, sejak tahun 2007, banyak petani yang menanam pohon albu (albizea) di kebun mereka. Banyak petani yang menanam albu karena ada salah satu petani yang berhasil menanam tanaman tersebut dan memperoleh keuntungan yang luar biasa hingga mencapai jutaan rupiah. Akibatnya, hasil produksi pertaniannya tidak cukup beragam dan pendapatan pun semakin sedikit karena produk yang dihasilkan. Untuk hasil pertanian, belum ada suatu wadah yang menyalurkan (distributor) hasil pertanian dengan baik. Petani langsung menjual hasil pertanian mereka kepada tengkulak yang tentunya dirasa sangat merugikan karena membayar dengan harga yang sangat murah Profil Organisasi Tani Lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP) adalah serikat petani yang berada di wilayah Tataran Pasundan. Secara resmi SPP dideklarasikan di Garut pada tanggal 24 Januari 2000, tetapi aktivitas menuju pembentukan SPP sudah dilakukan pada tahun 1980-an ketika mulai maraknya kembali gerakan protes petani dan pendampingan oleh kelompok mahasiswa dan pemuda. Kelahiran SPP sendiri dimotori oleh para aktivis

72 54 yang tergabung dalam Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Islam Garut (FPPMIG) yang kemudian diubah menjadi FPPMG untuk membuka ruang partisipasi kalangan lain. Pada awal kemunculannya organisasi ini tidak hanya mengurus masalah agraria, tapi juga masalah-masalah lingkungan, buruh dan miskin kota. Selanjutnya FPPMG bergabung dengan mahasiswa dari Bandung membentuk wadah yaitu Komite Pemuda dan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (KPMURI). KPMURI melakukan upaya pengorganisasian dan penyadaran pada petani di berbagai wilayah di Jawa Barat. Pekerjaan pertama diawali dengan pengorganisasian konflik agraria di wilayah Sagara, kabupaten Garut yang kemudian berkembang ke Kabupaten Tasik, Ciamis, Sukabumi dan Cianjur. Selain FPPMG di Kabupaten Garut, para aktivis Pemuda dan Mahasiswa membentuk Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk rakyat (FPMR) di Tasikmalaya dan Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI) pada tahun Organiasasi ini tidak hanya bekerja pada masalah agraria saja namun menyangkut juga masalah demokratisasi dan penguatan rakyat secara umum. Berkembangnya dinamika pengorganisasian yang tinggi di Garut, Tasik dan Ciamis ini semakin mendorong untuk membentuk organisasi petani di tiga kabupaten ini yaitu Serikat Petani Pasundan (SPP). Sejak itu SPP identik dengan gerakan petani yang memperjuangkan pembaruan agraria di tiga kabupaten tersebut. Sampai saat ini hanya di ketiga kabupaten itulah SPP memiliki basis anggota dan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing Organisasi Tani Lokal (OTL) dimana OTL ini memiliki kewenangan secara otonom dalam menentukan program, kepemimpinan dan mengelola anggaran. Lingkup kegiatan OTL ini tidak dibatasi oleh wilayah administrasi desa. OTL dibentuk berdasarkan lawan yang dihadapi oleh masing-masing OTL, sehingga

73 55 memungkinkan dalam satu OTL mempunyai anggota tidak hanya dari satu desa. Sebaliknya dalam satu desa bisa saja terdapat lebih dari satu OTL. Seperti kasus yang ada di Desa Banjaranyar dan Desa Pasawahan. Perjuangan SPP didasari oleh 3 semangat yaitu perasaan senasib, sepenanggungan dan seperjuangan. Tiga fondasi ini diwujudkan dalam bentuk upaya organiasasi dalam bentuk; penguasaan, penggarapan dan penataagunaan lahan; perbaikan layanan alam; penataan produksi bersama; pembangunan usaha ekonomi bersama; pendidikan dan latihan; pengorganisasian rakyat petani; mendorong keaktifan perempuan dalam organisasi; kampanye; penyelidikan; pembangunan jaringan; demonstrasi; mempengaruhi dan merubah kebijakan pemerintah; penggalangan dana; studi banding; pembelaan lewat pengadilan; pengolahan data dan dokumentasi; dan kaderisasi. Dalam menjalankan rumahtangganya SPP membentuk struktur organisasi SPP yang tertuang dalam gambar berikut ini:

74 56 Kongres Dewan Pimpinan OTL Kesekretariatan Sek.Jen Koor. Kabupaten Garut Koor. Kabupaten Tasikmalaya Koor. Kabupaten Ciamis Kord. Wilayah Kord. Wilayah Kord. Wilayah Kord. Wilayah Kord. Wilayah Kord. Wilayah Peng. OTL Peng. OTL Peng. OTL Peng. OTL Peng. OTL Peng. OTL Keterangan: Garis instruksi Garis koordinasi Gambar 4.2. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan Profil OTL Banjaranyar II Desa Banjaranyar memliki 2 buah OTL, yaitu OTL Banjaranyar 1 dan OTL Banjaranyar II. OTL Banjaranyar 1 berhadapan dengan PT. RSI sedangkan OTL Banjaranyar II berhadapan dengan PT. Mulya Asli. Perjuangan di Banjaranyar dimulai pada tahun 1999, rakyat mulai bangkit dan membentuk Panitia Pembebasan Tanah pimpinan Bapak Eni Subarna. Perjuangan ini dijembatani oleh Komisi A DPRD Ciamis. Tanah yang diperjuangkan masyarakat pada waktu itu adalah seluruh tanah PT. Mulya Asli, yaitu sebanyak 384 Ha. Tahun 2001, Banjaranyar masuk SPP. Namun kemudian keluar lagi karena bapak Eni merubah haluan perjuangannya melalui pak Bayu agar lebih cepat. Setelah dari Pak Bayu, perjuangan dilemparkan ke Pengacara LBH KERIS (Kesejahteraan Rakyat Indonesia) pimpinan Prof. Dr. Tjokrodiningrat. Garis akhir perjuangan Panitia Pembebasan Tanah mulai terlihat ketika pimpinannya, Eni Subarna, mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Ketika itu, di Desa Ciagayam, ia memiliki sekitar 400 orang

75 57 anggota, namun yang memilihnya hanya sekitar 200 suara. Kemudian ia tidak berminat lagi meneruskan perjuangan tanah. Oleh karena itu pada tanggal 24 Januari 2004 Banjarnyar diterima dan resmi menjadi anggota SPP, dengan nama Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II dengan koordinator Bapak Jahman Profil OTL Pasawahan II Desa Pasawahan memiliki 2 buah OTL, yaitu OTL Pasawahan 1 dan Pasawahan II. OTL Pasawahan I berhadapan dengan PT Jonggol Asri. Di Pasawahan II perusahaan yang dihadapi adalah PT Cipicung. Tanah yang sudah habis masa HGU nya, dari tahun , dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan pertanian. Banyak tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh tanah tersebut. Awalnya, hanya sekedar perbincangan saja antara 4 tokoh Munggang Wareng, yaitu abah Sa ud, abah Oyon, Ki Asji, dan Pak Wawan. Dari pembicaraan keempat tokoh ini, ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pesawahan Khususnya, agar masyarakat dapat menghidupi kebutuhan hidupnya. Sehingga tidak perlu lagi pergi keluar daerah untuk mencari nafkah. OTL di pasawahan bisa dibilang OTL yang masih baru, karena daerah sekitarnya seperti Bulak Situ, Kali jati, sudah terlebih dahulu terdapat OTL. Unit penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Organisasi Tani Lokal (OTL). Oleh karena itu, penelitian ini tidak merepresentasikan kondisi sosialekonomi masyarakat di Desa Banjaranyar dan Desa Pasawahan. Penelitian ini hanya merepresentasikan keadaan sosial-ekonomi masyarakat OTL, baik perjuangan akan tanah, kelembagaan produksi dan distribusi hasil panen, konflik hingga upaya legalisasi aset yang dilakukan semuanya bukan representasi perjuangan Desa.

76 58 BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) 5.1. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Banjaranyar II Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Banjaranyar (khususnya OTL Banjaranyar II) tidak bisa dilepaskan dengan hubungan antar subyeksubyek agraria yang ada di sana. Hubungan ini kemudian akan mempengaruhi pola penguasaan tanahnya, seperti sejarah penguasaan tanah di OTL Banjaranyar II, sistem produksi dan kelembagaannya, dan juga terkait dengan berbagai pihak yang ada di OTL tersebut serta kepentingan-kepentingan yang dibawanya. Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut. Berdasarkan pernyataan di atas, subyek agraria di OTL Banjaranyar II dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (masyarakat lokal), pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis BPN Ciamis), dan pihak swasta (PT. Mulya Asli). Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam hubungan ini terdapat pihak lain yang ikut terlibat, antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai wadah organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya. Lingkup hubungan agraria yang terjadi di OTL Banjaranyar II, dapat dilihat dari gambar berikut ini:

77 59 Pemerintah Tanah Perkebunan PT. Mulya Asli Masyarakat Keterangan: Gambar 5.1. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria Untuk kasus OTL Banjaranyar II ini, hubungan antar subyek dimulai ketika PT. Mulya Asli akan memperpanjang HGU-nya. Namun di tempat itu telah terjadi penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat anggota OTL. Disini pihak pemerintah (BPN) menengahi dengan pemberian Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan Awalnya, tanah-tanah di daerah ini merupakan daerah perkebunan dan kehutanan. Salah satu perusahaan yang mengusahakan tanah di desa ini adalah PT. Mulya Asli. Komoditi yang diusahakan oleh PT. Mulya Asli ini adalah komoditas karet. Namun seiring dengan berjalannya waktu perusahaan tidak memanfaatkan tanah yang dikuasainya secara optimal. Di lain pihak masyarakat sekitar membutuhkan tanah untuk menopang kehidupannya, oleh karena itu terjadilah reklaiming 10 yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap tanah perkebunan. Riwayat penguasaan tanah di Desa Banjaranyar dapat dijelaskan bahwa di Desa Banjaranyar terdapat tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang terdaftar atas nama PT 10 Awalnya dalam Penelitian ini digunakan istilah Okupasi namun pada saat penelitian dilakukan muncul keberatan dari para Pendamping SPP. Mereka lebih senang jika istilah Reklaiming digunakan disana. Sebenarnya makna Okupasi dan Reklaiming ini tidak jauh berbeda, jika Okupasi dimaknai sebagai perebutan lahan /penggunaan lahan secara tidak sah, sedangkan reklaiming dimaknai sebagai perebutan kembali tanah yang mereka miliki dari pihak lain dalam hal ini pihak perkebunan.

78 60 Mulya Asli dikenal dengan nama Hak Guna Usaha Nomor 2 Cigayam, yang telah berakhir masa berlakunya. Namun dalam proses perpanjangan HGU, ternyata di dalam tanah perkebunan tersebut telah terjadi penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan adanya penggarapan tersebut maka upaya PT. Mulya Asli untuk mengajukan perpanjangan HGU mengalami kendala. Untuk mempermudah proses perpanjangan HGU tersebut akhirnya PT. Mulya Asli tidak keberatan untuk mepaskan tanah yang sudah digarap oleh masyarakat seluas 69,59 hektar. Diluar tanah tersebut PT Mulya Asli tetap mengajukan permohonan untuk memperbaharui HGU nya di bekas lokasi HGU sebelumnya, setelah dikurangi tanah yang telah dilepaskan menjadi tanah Negara tersebut. Kemudian terbit Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI c.q. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah No: D. III tanggal 23 April 2007 (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009) yang menyatakan pelepasan lahan sebanyak 556 bidang (69,59 Ha), yang dibagikan pada masyarakat sebanyak 554 bidang karena dua bidang lainnya dijadikan sebagai kawasan konservasi air. Oleh masyarakat tanah tersebut diusahakan menjadi areal pemukiman dan pertanian. Lokasi tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai lokasi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dengan pembiayaan melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Setelah dilakukan sertifikasi, sengketa tanah antara Masyarakat dengan PT Mulya Asli menjadi berakhir (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

79 Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan Sebelum terjadi reklaiming oleh masyarakat, seluruh lahan yang ada di kawasan OTL Banjaranyar II ini seluruhnya dikuasai oleh pihak perkebunan PT. Mulya Asli. Namun jauh sebelum itu, menurut pengakuan masyarakat, tanah yang mereka tinggali ini merupakan tanah tidur yang terbengkalai setelah terjadinya bumi hangus yang dilakukan pada masa awal kemerdekaan. Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka ada Gerakan Pejuang Kemerdekaan yang memerintahkan Desa Cigayam 11 untuk membumihanguskan bangunan serta tumbuhan hasil peninggalan Belanda karena ada anggapan bahwa barang peninggalan Belanda hukumnya haram untuk dimiliki bangsa Indonesia. Oleh karena tanahnya adalah kekayaan bangsa Indonesia, maka yang dibumihanguskan adalah tanaman dan bangunan. Bangunan dan sarana infrastruktur seperti jembatan dihancurkan dengan jembatan, sedangkan tanaman-tanaman yang ada diperkebunan karet ditebangi. Perjuangan pembumihangusan ini terkendala kurangnya tenaga masyarakat, jadi sekitar satu per tiga sisanya tidak ditebang masyarakat. Setelah penebangan selesai dilakukan kemudian para tokoh Pejuang Kemerdekaan 1945 seperti Bapak Uhri dan Bapak Din Samsudin memerintahkan para pemuda untuk menggunakan tanah bekas bumi hangus dengan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian juga pemukiman warga. Bahkan pada tahun 1948, pada masa adanya pemberontakan DI TII, pemerintah menyerukan pada masyarakat yang terganggu keamanannya oleh DI TII supaya di tempatkan di Plak 7 (lokasi tanah sertifikasi sekarang). Sejak saat itu mulai banyak masyarakat yang bermukim disana. 11 Desa Banjaranyar dibentuk pada tahun 1979, jadi pada masa ini nama desa yang digunakan adalah Desa Cigayam dimana Desa Banjaranyar ini nantinya merupakan pecahan dari Desa Cigayam

80 62 Cerita perkebunan Mulya Asli di awali ketika setelah terjadi peristiwa G 30 S (1965), Wiyana (Bekas Kadus Sukanagara, Cigayam) berencana akan meneruskan tanah bekas perkebunan Belanda. Namun ia tidak dapat melakukan permohonan tersebut jika tidak ada dukungan dari warga. Oleh karena itu kemudian ia meminta dukungan dari warga dan kemudian mereka mengadakan perjanjian. Seluruh tanah yang sudah dikuasi nantinya, tanah yang masih ada karetnya akan menjadi miliknya (1/3-nya) sedangkan dua per tinganya yang tidak ada tanaman karetnya menjadi milik masyarakat secara kolektif. Kesepakatan ini dilakukan secara lisan, namun masyarakat membubuhkan tandatangannya. Pembicaraan ini dilakukan di rumah Pak Diwangsa (Bapak kunci daerah ini). Namun kemudian setelah tanah berhasil didapatkan, Wiyana ini ingkar janji, semua tanah yang sudah dikuasai diklaim miliknya seorang. Barulah pada tahun an terjadi peralihan pemilikan lahan perkebunan menjadi PT. Mulya Asli Konflik dan Aksi Perlawanan Konflik pertanahan di OTL ini sebenarnya sudah terjadi pada kisaran tahun , rakyat/penggarap sudah mulai memperjuangkan tanah, perjuangan tersebut didasarkan UU No. 5 tahun 1960 (Undang-undang Pokok Agraria), bahkan mereka langsung menjalani siding landreform di Pengadilan Negeri Ciamis. Sayang, pada tahun 1965 masyarakat di PKI -kan karena pada saat itu yang memperjuangkan tanah di Indonesia kebanyakan dimotori oleh pejuang-pejuang PKI sehingga petani yang memperjuangkan tanah dimasukkan sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia). Pada tahun ini juga para penggarap ditangkapi oleh polisi dan harus menjalani sidang di Ciamis. Mereka disuruh membawa alat-alat yang biasa digunakan untuk menebang tanaman karet. Namun masyarakat mengerti dengan membawa alat tersebut, mereka akan dituduh sebagai penebang karet padahal tanaman yang mereka tebang adalah kaso.

81 63 Setelah kejadian itu, para penggarap dijadikan tahanan politik, paling lama mereka ditahan selama tujuh bulan. Tahun 1966/1967 masyarakat sudah mulai kembali menduduki tanahnya. Namun bedanya mereka menempati lahan tersebut dengan sistem sewa kepada pihak perkebunan berupa pungutan kerja sebanyak delapan hari kerja per pekarangan rumah. Sedangkan jika menggarap lahan maka sewa yang harus dibayarkan adalah delapan hari kerja per 100 bata. Pada tahun 1968 pihak perkebunan yang diboncengi Kodim melakukan peremajaan tanaman dengan menebangi pohon-pohon karet yang sudah tua. Setelah penebangan itu, seluruh anggota yang dicap terlibat PKI diwajibkan untuk menggarap lahan sebanyak ¼ hektar per Kepala Keluarga. Waktu itu lahan tersebut masih dimiliki Perkebunan Karet Nasional (PKN). Perusahaan berpindah tangan ke PT. Mulya Asli pada kisaran tahun 1980-an, ternyata konflik yang terjadi antara masyarakat dan pihak perkebunan tidak kunjung berhenti. Pada tahun 1999, rakyat membentuk Panitia Pembebasan Tanah pimpinan Bapak Eni Subarna. Perjuangan ini dijembatani oleh Komisi A DPRD Ciamis. Tanah yang diperjuangkan masyarakat pada waktu itu adalah seluruh tanah PT. Mulya Asli, yaitu sebanyak 384 hektar. DPRD memberikan dua pilihan. Pilihan pertama, pihak perkebunan memberikan lahan sebanyak 100 hektar, tanpa ada syarat apa-apa. Pilihan kedua, jika masyarakat tidak mau menerima tanah yang 100 hektar tersebut, maka masyarakat tetap diperbolehkan menggarap tanpa sewaan, boleh menghuni tanpa adanya teror dari pihak perkebunan, namun tidak dimiliki oleh masyarakat. Pilihan inilah yang kemudian diambil oleh masyarakat. Brimob yang ditunggangi pihak perkebunan mendatangi masyarakat yang tinggal di daerah perkebunan dengan maksud untuk meneror masyarakat (awal tahun

82 ). Masyarakat marah dan mendatangi pihak DPRD untuk meminta pertanggungjawabannya. Kemudian DPRD mendesak Bupati dan Kapolres pada masa itu untuk berkoordinasi menghentikan teror terhadap masyarakat. Upaya ini berhasil. Semenjak itu ekonomi masyarakat meningkat karena tidak ada sewa bagi perkebunan. Sudah setelah diceritakan sebelumnya bahwa pada tahun 2001 Panitia Pembebasan Tanah mulai masuk SPP. Namun kemudian keluar lagi karena bapak Eni merubah haluan perjuangannya melalui pak Bayu agar lebih cepat. Pak Bayu ini termasuk dalam keluarga besar Bung Karno. Waktu itu Megawati Soekarno Putri masih jadi Wakil Presiden, diharapkan perjuangan bisa melewati jalan pintas karena langsung disampaikan pada Wakil Presiden. Setelah dari Pak Bayu, perjuangan dilemparkan ke Pengacara LBH KERIS (Kesejahteraan Rakyat Indonesia) pimpinan Prof. Dr. Tjokrodiningrat. Baru masuk ke pengacara tersebut, penggarap diminta uang Rp. 20 juta untuk biaya operasional menghubungi Menteri Dalam Negeri, BPN Pusat dan lainnya. Oleh karena penggarap tidak memiliki uang sebanyak itu, maka mereka menggunakan aset berharga mereka tanah. Setelah itu penggarap diminta uang lagi sebanyak lima juta rupiah untuk persiapan sidang. Garis akhir perjuangan Panitia Pembebesan Tanah mulai terlihat ketika pimpinannya, Eni Subarna, mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Ketika itu, di Desa Ciagayam, ia memiliki sekitar 400 orang anggota, namun yang memilihnya hanya sekitar 200 suara. Pak Eni kalah dalam pemilihan. Setelah itu, perjuangan di bawah pimpinannya benar-benar berhenti. Oleh karena itu pada tanggal 24 Januari 2004 Banjarnyar diterima dan resmi menjadi anggota SPP, dengan nama Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II dengan koordinator Bapak Jahman (Hasil Riset SAINS: Quo Vadis, Mengayun diantara Idealitas dan Realitas, 2010).

83 Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Pasawahan II Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Pasawahan (khususnya OTL Pasawahan II) tidak bisa dilepaskan dengan hubungan antar subyeksubyek agraria yang ada di sana. Hubungan ini kemudian akan mempengaruhi pola penguasaan tanah di sana, seperti sejarah penguasaan tanah di OTL Pasawahan II, sistem produksi dan kelembagaannya, dan juga terkait dengan berbagai pihak yang ada di kedua OTL tersebut serta kepentingan-kepentingan yang dibawanya. Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut. Berdasarkan pernyataan di atas, subyek agraria di OTL Pasawahan II dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (masyarakat lokal), pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis BPN Ciamis), dan pihak swasta (PT. Cipicung). Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam hubungan ini terdapat pihak lain yang ikut terlibat, antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai wadah organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya. Kasus OTL Pasawahan II, hubungan antar subyeknya dimulai ketika masyarakat yang mengetahui bahwa HGU PT. Cipicung telah habis, berusaha untuk memperoleh tanah guna memenuhi kebutuhannya. Peran pemerintah disini meskipun belum ada upaya nyata, namun kasus PT. Cipicung ini sudah mendapatkan perhatian dan

84 66 direncanakan akan dilakukan program serupa seperti kasus Banjaranyar. Lingkup hubungannya dapat dilihat pada gambar 5.2 berikut ini: Pemerintah Tanah Perkebunan PT. Cipicung Masyarakat Gambar 5.2. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Keterangan: Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, riwayat penguasaan tanah di Desa Pasawahan khususnya kasus OTL Pasawahan II belum menemui titik temu. Tanahtanah yang ada di daerah ini masih berupa tanah sengketa. Di OTL Pasawahan II ini sengketa tanah terjadi antara masyarakat anggota OTL Pasawahan II dengan PT. Cipicung. Permasalahan muncul ketika HGU yang dikuasai oleh PT. Cipicung habis pada tahun 1993 namun pihak perusahaan masih menggarap tanah tersebut. Sedangkan masyarakat juga membutuhkan tanah untuk menopang kehidupannya. Riwayat penguasaan tanahnya 12 adalah bahwa: 12 Diambil dari laporan sistema s: Dinami ka Tata Kuasa, Tata Kel ola dan Tata Produksi di DAS Citanduy: Inisia f Rakyat dal am Pembangunan Sumber-Sumber Penghi dupan Berkel anjutan. Saj ogjo Ins tute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional tahun Halaman 26.

85 67 1. HGU Nomor 1 bekas erfpacht Nomor 158 Desa Pasawahan dan HGU bekas erfpacht Nomor 165 Desa Kersaratu, atas nama Mohammad Suleman, dikuasai dan dimiliki oleh PT. Cipicung Pasawahan. 2. Penguasaan tanah tersebut berdasarkan Jual Beli dari NV. Tambaksari pada Tanggal Nomor 31 yang telah berakhir sampai Tanggal , dan Permohonan perpanjangan HGU nya dilakukan pada Tanggal Nomor 060/CP/III/1998 dan diperbaharui permohonannya pada Tanggal berdasarkan Rekomendasi Bupati Tanggal dan Rekomendasi Dinas Perkebunan Tanggal , serta Fatwa dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Tanggal Nomor (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009) Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan Sebelum pelaksanaan reklaiming oleh masyarakat, tanah di Desa Pasawahan dikuasai oleh pihak perkebunan swasta. Terdapat dua perkebunan yang beroperasi di Desa Pasawahan ini, yaitu PT. RSI dan PT. Cipicung. PT. Cipicung pada awalnya merupakan perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh pengusaha pemerintah kolonial. Disini pekerja perkebunan diambil dari masyarakat yang tinggal disekitar areal perkebunan. Setelah peristiwa bumi hangus, berakhirlah penguasaan oleh pihak kolonial. Kemudian PT. Cipicung diambil alih oleh pengusaha lokal dari Tasikmalaya yaitu Eman Dollar. Berbeda dengan penguasaan oleh pemerintah kolonial, pada masa ini masyarakat lokal sudah mulai jarang bekerja sebagai tenaga kerja perkebunan. Sebagian dari mereka lebih banyak memilih bekerja di tanah sendiri, menjadi buruh di tanah

86 68 orang lain atau bekerja di luar desa. Tenaga kerja perkebunan justru lebih banyak di datangkan dari luar desa (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Luas tanah yang dikuasai oleh PT. Cipicung yang berada di Desa Pasawahan adalah sebanyak 200 hektar 13. Komoditas utama yang diusahakan PT. Cipicung adalah tanaman karet. PT. Cipicung sebenarnya memberikan kebebasan kepada masyarakat di sekitar areal perkebunan untuk menggarap di sela-sela pohon karet. Tanaman yang boleh di tanam disana adalah semua jenis tanaman yang tidak mengganggu tanaman karet dan diutamakan tanaman-tanaman jangka pendek seperti umbi-umbian. Hal ini dilakukan karena jika masyarakat menanam tanaman jangka panjang, pihak perkebunan khawatir tanah tersebut kemudian diklaim oleh masyarakat sebagai tanah miliknya. Mengacu pada hasil Riset Sistematis SAINS-STPN tahun 2009, sistem yang diberlakukan untuk petani yang melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Cipicung adalah sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah 80:20, petani mendapatkan bagian 80 persen dari hasil panen sedangkan 20 persen diserahkan kepada perusahaan. Hal ini juga didukung oleh pengakuan salah seorang informan sebagai berikut: ari tangkal kalapa mah ulah, bisi dijadikeun ciri ku anak cucu maneh engkena. Kitu cenah ceuk pa Mandor basa itu. (jangan pohon kelapa, takutnya dijadikan tanda pemilikan tanah oleh anak-cucumu nantinya. Begitu kata Pa Mandor waktu itu) Konflik dan Aksi Perlawanan Tahun 2002 mulailah perjuangan me-reklaim tanah kasus PT. Cipicung ini. Perjuangan dimulai dengan melakukan pengukuran-pengukuran di tanah perkebunan Data Nominatif Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, SPP, tahun Pada tahun ini produksi karet masih berlangsung walaupun HGU PT. CIpicung sudah habis pada tahun Hal inilah yang mungkin dimaksud Agustiana bahwa kasus CIpicung ini akan sangat mudah

87 69 dan melakukan pengkaplingan terhadap tanah-tanah perkebunan serta melakukan penebangan pohon karet milik perkebunan. Para pekerja perkebunan terheran-heran dengan apa yang dilakukan warga. Proses pengkaplingan ini dilakukan secara bersamasama oleh warga dan kemudian membaginya kepada 200 orang petani anggota OTL. Pada tahun 2003 jumlah petani yang melakukan pengkaplingan bertambah menjadi sekitar 400 orang. Penebangan yang dilakukan petani ini kemudian diadukan pihak perkebunan ke kecamatan dan kemudian pihak kecamatan yang didampingi pihak kepolisian datang untuk menyelidiki apa yang terjadi. Namun petani membantah telah melakukan penebangan, mereka hanya melakukan pengukuran-pengukuran tanah untuk melakukan sistem tumpang sari dengan pihak perkebunan Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Banjaranyar II Pengorganisasian Petani Proses reklaiming di OTL Banjaranyar II ini dimulai pada kisaran tahun 1999/2000 walaupun sebenarnya perjuangan sudah dimulai pada masa awal kemerdekaan. Pada masa ini keran demokrasi mulai terbuka di mana pada tahun-tahun sebelumnya masyarakat berada dibawah rezim Orde Baru yang sangat otoriter. Hal ini membuat peluang masyarakat untuk membentuk organisasi tani sangat kecil, kalaupun ada organisasi tersebut selalu diawasi dengan ketat. Oleh karena itu, sejak runtuhnya rezim otoriter tersebut perjuangan petani akan tanah memperoleh angin segar dan sejak saat itu di desa ini mulai dibentuk Panitia Pembebasan Lahan yang kemudian bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP). karena perusahaan melakukan tindakan yang tidak sah di mata hukum (illegal). Pada tahun ini pohonpohon karet masih utuh, kantor masih berdiri, termasuk masih ada para mandor dan Adm-nya pun masih aktif bekerja.

88 70 Fase awal reklaiming tanah HGU PT. Mulya Asli oleh petani di Dusun Sukamaju-Banjaranyar dan Dusun Cigayam-Desa Cigayam mulai terjadi pada tahun Petani melakukan pengkaplingan terhadap tanah HGU PT. Mulya Asli. Pada saat yang sama, petani membentuk panitia pembebasan tanah untuk petani sebagai langkah menjadikan tanah-tanah HGU PT. Mulya Asli yang direklaiming menjadi hak milik petani atau diredistribusikan pada petani. Proses reklaiming tanah dalam bentuk pengkaplingan berjalan tanpa ada sistem pengaturan yang jelas mengenai penguasaan di tingkat petani. Setiap rumahtangga petani bebas melakukan pengkaplingan di tanah HGU PT. Mulya Asli disesuaikan dengan kemampuannya masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan penguasaan tanah reklaiming di tingkat petani tidak merata. Sebagian petani berhasil menguasai tanah hingga bata, namun di sisi lain terdapat petani yang hanya menguasai tanah di bawah 100 bata Upaya dalam Pengaturan, Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Kelembagaan produksi yang berkembang pada fase sebelum terjadinya reklaiming didominasi oleh perkebunan karet yang bersifat monokultur oleh PT. Mulya Asli. Tanaman karet dibudidayakan secara intensif melalui manajemen perkebunan. Sarana produksi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan perkebunan karet sebagian besar berasal dari luar desa, seperti pupuk, bibit, pestisida/fungisida, dan peralatan lainnya. Penduduk lokal terlibat dalam kelembagaan produksi perkebunan hanya sebagai tenaga kerja buruh, dan hanya oleh sebagian kecil petani di sekitar areal perkebunan Diambil dari laporan sistematis: Dinamika Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi di DAS Citanduy: Inisiatif Rakyat dalam Pembangunan Sumber-Sumber Penghidupan Berkelanjutan. Sajogjo Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional tahun 2009.Halaman Ibid, Halaman 45

89 71 Sebelum adanya perjuangan, masyarakat menggarap tanah perkebunan dengan sistem sewa. Yaitu untuk tanah yang digarap besarnya sewa adalah Rp /100 bata tiap tahunnya dan berubah menjadi Rp /100 bata pertahunnya pada tahun Sedangkan untuk tanah perkebunan yang digunakan masyarakat sebagai rumah dikenakan sewa dengan 8 hari kerja/tahun pada perkebunan. Sebelum masa perjuangan, masyarakat disana tidak bebas menanam tanaman yang mereka butuhkan karena dilarang oleh pihak perkebunan. Jenis tanaman yang bisa ditanam di tanah perkebunan ini adalah Singkong, jangung, kacang, padi. Masalah tidak berhenti sampai disana, karena tidak semua masyarakat bisa menggarap tanah tersebut, karena yang bisa menggarap hanya masyarakat yang mempunyai uang. Bentuk sewa tanah ini dinamakan tumpang sari. Sistem tumpangsari yang dikerjasamakan adalah untuk jenis tanaman yang dalam perkembangannya tidak akan mengganggu tanaman karet sebagai tanaman utama. Beberapa jenis tanaman yang diperbolehkan untuk dikembangkan di dalam areal HGU PT. Mulya Asli antara lain umbi-umbian, singkong, kacang-kacangan, jagung, pisang dan padi. Jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan dalam sistem tumpangsari adalah singkong, jagung dan pisang (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Sebenarnya tanah yang mereka garap itu bukan merupakan sistem tumpang sari, karena mereka menggunakan tanah yang kosong tidak seperti tumpang sari. Pada masa itu, masyarakat hanya bisa tunduk pada aturan pihak perkebunan. Bahkan lebih dari itu, menurut pengakuan masyarakat, tanah warisan yang sudah ada SPPT-nya pun ikut diklaim sebagai tanah perkebunan. Pasca reklaiming terjadi sejumlah perubahan dalam kelembagaan produksi dan distribusi di Dusun Sukamaju. Tanaman karet yang sebelumnya dominan sebagai

90 72 tanaman perkebunan mulai digantikan dengan jenis tanaman yang selama ini biasa dikembangkan oleh petani dalam sistem tumpangsari. Selain itu, petani mulai membudidayakan jenis tanaman jangka panjang seperti kelapa dan albasia. Kedua jenis tanaman ini sebelumnya dilarang ditanam di dalam kawasan HGU PT. Mulya Asli. Penanaman kelapa dan albasia dimaksudkan untuk memberikan keterjaminan jangka panjang pada pendapatan petani dengan memanfaatkan hasil panen dari kedua jenis tanaman tersebut. Kelapa dimanfaatkan buahnya untuk kebutuhan rumah tangga dan dijual pasar lokal. Terdapat beberapa pedagang pengumpul dan penampung yang berada di sekitar Dusun Sukamaju. Mereka biasanya mengambil hasil panen kelapa langsung ke petani yang melakukan panen (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Albasia dimanfaatkan kayunya untuk kebutuhan pasar kayu, baik di dalam desa maupun luar desa. Sama dengan kelapa, di sekitar Dusun Sukamaju terdapat beberapa sawmill (usaha pemotongan kayu) yang dimiliki oleh orang lokal. Para pemilik sawmill biasanya melakukan langsung melakukan pemanenan di lahan jika sudah ada kesepakatan harga dengan petani. Saat ini ada mekanisme penjualan kayu albasia yang merugikan petani, yaitu sistem hijon. Dalam sistem ini, pembeli membeli kayu yang baru berumur sekitar dua tahun, dengan harga kayu muda (harga kayu sesuai ukuran saat pembelian). Namun, mereka tidak langsung memanen kayu tersebut, melainkan menitipkannya kepada petani sampai kayu berumur empat lima tahun, baru kemudian memanennya. Para petani pada umumnya melakukan hal ini saat mereka terdesak secara ekonomi atau saat ada kekhawatiran akan hama ulat bulu yang mematikan pohon albasia (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Jenis tanaman lain yang sudah mulai dikembangkan di daerah ini adalah jenis tanaman kayu, seperti jati dan mahoni. Jati dan mahoni mulai dikembangkan dalam waktu satu hingga dua tahun belakangan. Jati dan mahoni menjadi pilihan setelah

91 73 albasia yang sebelumnya lebih dulu banyak dibudidayakan mengalami permasalahan karena diserang penyakit dan mengkibatkan sejumlah kerugian pada petani. Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan kelembagaan produksi pertanian pra dan pasca reklaiming lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar 17. Tabel 5.1. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar Kelembagaan Produksi Pola Tanam Jenis tanaman Pra-Reklaiming Dominan tanaman karet perkebunan (monokultur). Tanaman semusim hanya ditanam petani penggarap pada sela-sela tanaman karet. Tanaman monokultur karet Tanaman semusim yang biasa dibudidayakan oleh petani antara lain: kacang, jagung, singkong, ada juga yang menanam padi huma Sumber : Hasil Penelitian Riset Sistematis 2009 Sains STPN Pasca Reklaiming Polikultur, yaitu mengkombinasikan tanaman semusim dengan tanaman tahunan/keras dan tanaman buah. Tanaman padi sawah. Tanaman semusim: singkong, jagung, kacang Tanaman buah: mangga, pisang, kedondong Tanaman tahunan/keras: albasia (sengon), petai, kelapa, mahoni dan jati Tanaman perkebunan; cokelat Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi Perjuangan memperoleh hak atas tanah (legalisasi aset melalui sertifikat) yang dilakukan masyarakat OTL Banjaranyar II mencapai keberhasilan pada tahun Pada tahun ini OTL Banjaranyar II berhasil mendapatkan pengakuan hak atas tanah HGU PT. Mulya Asli. Tanah HGU PT. Mulya Asli yang berhasil didapatkan seluas 69,95 Ha dan diserahkan oleh pihak perusahaan perkebunan melalui pemerintah kepada petani yang tergabung dalam OTL Banjaranyar II. Masyarakat awalnya menyambut baik pemberian sertifikat ini dan kemudian mereka melakukan penataan penguasaan tanah yang dilakukan secara musyawarah. Musyawarah ini dilakukan agar tercapai 17 Ibid. Halaman 45-46

92 74 kesepakatan diantara masyarakat terkait dengan luasan tanah yang akan diredistribusikan kepada seluruh petani anggota OTL Banjaranyar II. Hasil musyarawarah menyepakati proses redistribusi tanah HGU PT. Mulya Asli yang diserahkan kepada petani yaitu: (1) petani anggota organisasi tani lokal yang sudah melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Mulya Asli masing-masing mendapatkan luasan tanah 100 bata, (2) petani anggota organisasi tani lokal yang belum melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Mulya Asli mendapatkan tanah seluas 90 bata, (3) pengurus organisasi tani lokal mendapatkan penghargaan dalam bentuk tanah, yaitu untuk pengurus inti (ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara) masing-masing mendapatkan 200 bata. Sedangkan pengurus lain dibawahnya mendapatkan bagian bata. Jumlah petani keseluruhan yang mendapatkan redistribusi tanah HGU PT.Mulya Asli adalah 385 KK, yang terdiri dari petani dari Dusun Sukamaju dan beberapa Dusun lain di Desa Banjaranyar dan Desa Cigayam (Riset Sistematis SAINS- STPN, 2009). Untuk lebih jelasnya, pembagian luasan tanah ini dapat dilihat dari tabel 5.2. berikut ini: Tabel 5.2. Pembagian Luasan Tanah Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Jabatan Koordinator 300 bata Sekretaris/bendahara 250 bata Kelompok 180 bata Divisi 150 bata Satgas 150 bata Tim Inti 130 bata Anggota biasa bata Kepengurusan wanita bata 18 Luas lahan 18 1 Ha = m 2 = 700 bata. Jadi 1 bata = 14 m 2. Sedangkan 1 m 2 = 0,07 bata.

93 75 Tanah yang diperoleh ini ada yang langsung dimanfaatkan sebagai tanah pertanian, pemukiman, dan kolam, namun ada juga masyarakat yang membiarkan tanahnya (tidak langsung menggarap) dan bahkan langsung menjualnya karena tanah yang mereka dapatkan itu merupakan tanah mendem atau tanah cadas. Seperti diungkapkan salah seorang warga dalam kesempatan Focus Group Discussion (FGD) berikut ini: Sabagian aya nu digarap langsung salian nu diimahan, nu dibalongan, itu ieu, ditanami bangsa kalapa, coklat, peuteuy, kadu, bubuahan lah, selain aya kayu-kayuan, jati albasia, mangkit jeung sajaba na. Aya nu langsung, aya oge nu mubah dijual, dijual ka babaturanana. Berdasarkan hak kepemilikan tanah di satupikat bisa dialihtangankan (sebagian ada yang digarap langsung selain yang dibuat rumah, yang dibuat kolam, ditanami kelapa, coklat, petai, durian, selain yang ditanami kayu-kayuan seperti jati, albasia, mangkit dan lainnya. Ada juga yang dijual ke temannya. Berdasarkan hak kepemilikan tanah di sertifikat, (memang) bisa dialihtangankan) Upaya Kolektif Lainnya Saat perjuangan hak atas tanah ini berhasil dilakukan, keberadaan OTL Banjaranyar II ini terancam. Banyak masyarakat yang menganggap perjuangan di organisasi (SPP) ini sudah selesai dengan keluarnya sertifikat hak milik dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Oleh karena itu, minat warga terhadap SPP ini mengalami kemunduran yang signifikan. Hal ini juga diakui oleh koordinator OTL setempat yang mengatakan bahwa masyarakat sudah jenuh dengan organisasi, terlalu banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Selain untuk pajak sertifikat, mereka juga harus membayar pungutan-pungutan yang diminta organisasi untuk keperluan tertentu seperti aksi dan pembangunan sekretariat SPP Ciamis.

94 76 Masyarakat menganggap dengan tanah yang terbatas dan cadas itu, pengeluaran yang harus ditanggung terlalu besar. Penghasilan dari tanah pertanian pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini diperberat dengan tidak adanya perhatian dari SPP Ciamis pada OTL Banjaranyar II ini pasca sertifikasi. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan SPP di OTL Banjaranyar II ini belum memenuhi syarat reforma agraria. Artinya, upaya yang dilakukan SPP ini baru sebatas upaya untuk melakukan penataan pemilikan dan penguasaan tanah saja, tidak lebih dari itu Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Pasawahan II Pengorganisasian Petani dalam Reklaiming dan Pembagian Lahan Proses perjuangan di OTL Pasawahan II ini dimulai sekitar tahun Tidak seperti masyarakat OTL Banjaranyar II yang mereklaim tanah dari awal, sebagian besar masyarakat OTL Pasawahan II ini memulai reklaiming justru dengan bergabung dengan OTL Pasawahan 1 terlebih dahulu yaitu perjuangan melawan PT. RSI pada tahun Kemudian masyarakat mendapatkan pendidikan terkait dengan hak-hak petani penggarap terhadap tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya. Proses inilah yang kemudian menginisiasi terbentuknya organisasi tani lokal di Pasawahan dalam rangka mendapatkan pengkuan hak atas tanah HGU PT. Cipicung yang masa berlakunya sudah habis sejak tahun Uniknya, masyarakat disini baru mengetahui bahwa HGU ini bisa habis. Yang mereka ketahui hanyalah tanah tersebut milik PT dan tidak dapat di ganggu gugat. Pembagian tanah yang telah dikapling dilakukan berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan petani. Musyawarah tersebut memutuskan bahwa tanah kaplingan dibagi menjadi dua jenis, yaitu kapling luar dan kapling dalam. Pembagian ini berdasarkan letak kaplingan tanah dari jalan raya. Kapling luar berarti tanah tersebut

95 77 dekat dengan jalan utama, luas tanah yang diberikan kepada petani perkaplingnya sebanyak 75 bata. Sedangkan kapling dalam berarti tanah tersebut jauh dari jalan utama, luas tanah yang diberikan kepada petani perkaplingnya sebanyak 175 bata. Jumlah tanah yang dimiliki warga tergantung dari jumlah anggota keluarga yang mempunyai KTP dan memohon tanah Upaya-upaya Untuk Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Komoditas utama pertanian di desa ini terutama di kawasan OTL Pasawahan II. Setelah diurutkan, ternyata komoditas pertanian utama disini adalah albasia, kelapa, kapulaga, pisang, padi, umbi-umbian (singkong), kopi, petai, kakao, durian, dan sayursayuran. Sedangkan hasil ternak yang dominan di daerah ini adalah domba, ayam, dan kerbau. Tentunya hasil ikan dari kolam juga termasuk salah satu hasil ternak yang sangat menjanjikan. Hasil panen albasia menjadi komoditas yang paling diharapkan oleh masyarakat karena hasil panennya sangat menjanjikan. Ukuran pohon albasia yang terkecil saja (10-14 cm) dihargai sekitar Rp per kubiknya. Dengan masa tanah sekitar 3-5 tahun, tanaman albasia ini bisa dimanfaatkan sebagai tabungan oleh masyarakat. Harga jual albasia berdasarkan ukuran dan harga dapat dilihat pada table 5.3. berikut ini: Tabel 5.3. Harga Jual Albasia Berdasarkan Ukuran dan Harga Diameter (cm) Harga Jual (Rp)/Kubik

96 78 Hampir semua hasil pertanian ini dijual oleh masyarakat dan hanya sebagian kecil saja yang dikonsumsi sendiri. Sebagai contoh, hasil panen kopi, kapulaga, kelapa, pisang, kakao, gula kelapa, dan albu hampir seluruhnya dijual. Sedangkan padi dan sayuran hampir seluruhnya digunakan untuk konsumsi saja dan hanya 30 persen hasilnya yang dijual. Tanah yang mereka miliki ditanami oleh tanaman campuran untuk lahan kering. Tanaman yang ditanam tidak lain adalah tanaman-tanaman yang sudah disebutkan di atas. Pola tanam seperti ini terbawa pada saat masa-masa perjuangan di mana pada masa itu para petani dianjurkan untuk menanam tanaman apa saja dulu yang penting sudah terlihat ada garapan di tanaman perkebunan ini. Kelembagaan produksi dan distribusi sebelum reklaiming di OTL Pasawahan II di dominasi oleh perkebunan karet miliki PT. Cipicung. Namun masyarakat diperbolehkan untuk menanam tanaman di sela-sela pohon karet selama tidak mengganggu tanaman karet sebagai komoditi utama perkebunan. Sistem yang diterapkan ada sistem bagi hasil dengan pihak perusahaan. Jenis tanaman yang boleh ditanam petani adalah tanaman-tanaman jangka pendek seperti pisang dan singkong. Hasil panen karet yang didapat perkebunan dijual ke luar kawasan desa. Sedangkan hasil panen tanaman yang diusahakan petani hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan subsistennya, hanya sebagian kecil saja yang menjual hasil panennya itupun jika hasil panen berlebih atau ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Setelah proses reklaiming kelembagaan produksi dan distribusi di Pasawahan mengalami perubahan yang signifikan. Tanaman karet yang sebelumnya mendominasi digantikan dengan tanaman perkebunan dan pertanian ala petani. Tanaman karet dianggap tanaman sebagai tanaman yang haram dibudidayakan di atas tanah

97 79 reklaiming. Hal ini disebabkan karet dianggap sebagai simbolisasi tanaman perkebunan, bukan tanaman petani (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Meski begitu, masih ada juga petani yang mempertahankan pohon karet untuk dimanfaatkan getahnya dan kemudian dijual. Kelembagaan produksi pasca reklaim diarahkan pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang. Kebutuhan jangka pendek memungkinkan petani memperoleh hasil panen dari tanaman musiman seperti jagung, kacang, singkong, pisang, cokelat dan sebagainya. Sedangkan tanaman jangka panjang digunakan sebagai tabungan yang bisa dipanen dalam jangka waktu tertentu, biasanya 4-5 tahun. Contoh tanaman ini biasanya adalah kayu-kayuan, seperti albasia dan kelapa (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan kelembagaan produksi pertanian pra dan pasca reklaiming lahan di OTL Pasawahan, Desa Pasawahan. Tabel 5.4. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar Organisasi Produksi Pola Tanam Jenis tanaman Pra-Reklaiming Dominan tanaman karet perkebunan (monokultur). Tanaman semusim hanya ditanam petani penggarap pda sela-sela tanaman karet. Tanaman monokultur karet Tanaman semusim yang biasa dibudidayakan oleh petani antara lain: padi, ubi dan pisang Pasca Reklaiming Polikultur, yaitu mengkombinasikan tanaman semusim dengan tanaman tahunan/keras dan tanaman buah. Tanaman padi sawah Tanaman semusim: singkong, ubi, jagung. Tanaman buah: mangga, pisang, kedondong, durian, Tanaman tahunan/keras: albasia (sengon), petai, kelapa, mahoni. Tanaman perkebunan: cokelat, kopi. Sumber : Hasil Penelitian Riset Sistematis 2009 Sains STPN

98 Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi Berbeda dengan tanah yang digarap masyarakat di OTL Banjaranyar II, tanahtanah yang digarap masyarakat OTL Pasawahan II ini adalah tanah hasil reklaiming yang belum di legalkan (belum ada legalisasi aset). Proses pelegalan lahan atas nama petani melalui redistribusi masih belum dapat dilakukan karena hingga saat ini PT. Cipicung belum melepas HGU agar kembali menjadi tanah Negara. Kasus Pasawahan sebenarnya proses sertifikasi sudah mulai tahap perencanaan. Bahkan sudah dikaji oleh bagian sengketa Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Ciamis. Hampir semua persyaratan sudah terpenuhi, seperti adanya permohonan dari masyarakat (dalam hal ini SPP OTL Pasawahan II), tanah tersebut sudah digarap lebih dari 2 tahun bahkan sudah ada yang mendirikan rumah (dihuni). Namun kendala muncul karena PT. Cipicung sebagai pemegang HGU sulit ditemui, sehingga tidak memungkinkan terjadinya koordinasi antara pihak perusahaan dengan BPN Kantah Ciamis. Pihak BPN tidak dapat begitu saja memberikan hak, meskipun HGU PT. Cipicung tersebut sudah habis masa berlakunya sejak tahun Seperti keterangan salah satu informan di Kantah Ciamis berikut ini Analisis dan Perbandingan Apa yang dilakukan masyarakat anggota OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II merupakan upaya untuk mewujudkan landrefom by leverage yang dimaknai sebagai gerakan pembaruan agraria yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan kaum tani atau rakyat pedesaan sendiri. Namun ini sama sekali tidak berarti melawan wewenang pemerintah ataupun hendak menghilangkan peran negara. Dalam hal ini kekuatan dan kemampuan kaum tani justru befungsi sebagai dongkrak, sebagai pendorong yang kuat, untuk menggerakkan peran aktif dari pemerintah (Wiradi, 2009b).

99 81 Menurut Sitorus (2006) mengenai tipologi landreform, pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) yang dilaksanakan di kedua OTL ini tergolong landreform tipe integrasi (untuk OTL Banjaranyar II) dan aneksasi (untuk OTL Pasawahan II). Tipe aneksasi ini menjelaskan bahwa reforma agraria dari bawah yang dilakukan merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan ilegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah perkebunan. Sedangkan tipe integrasi menjelaskan adanya kolaborasi antara pemerintah, pihak swasta (perkebunan) dan masyarakat dalam upaya mendistribusi tanah. Berdasarkan tipologi landreform ini, sebenarnya tidak ada satu tipologi yang mutlak di suatu tempat khususnya dalam penelitian ini. Sebagai contoh, dalam kasus OTL Banjaranyar II, pada awalnya upaya landreform by leverage yang terjadi disana adalah tipe aneksasi karena masyarakat melakukan tindakan kolektif secara paksadan ilegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah perkebunan. Sedangkan untuk kasus OTL Pasawahan II, memang pada saat ini yang terjadi adalah tipe aneksasi, namun tidak menutup kemungkinan dikemudian hari terjadi kolaborasi antara para pihak yang berkepentingan dalam upaya pemberian tanah pada masyarakat. Jika ini terjadi, maka tindakan berdasarkan tipologi landreform yang diungkapkan Sitorus (2006) berubah menjadi tipe integrasi. Di kasus OTL Banjaranyar II, reklaim tanah yang dilakukan di tanah perkebunan akhirnya berbuah sertifikat hak milik untuk masyarakat dari BPN setelah pihak perkebunan (PT. Mulya Asli) yang hendak memperpanjang HGUnya setuju untuk melepas tanahnya seluas 69,59 hektar. Disini terjadi kolaborasi antara Negara, pihak perkebunan dan masyarakat OTL untuk menemukan titik temu terhadap masalah yang mereka hadapi. Sedangkan untuk kasus OTL Pasawahan II, reklaim tanah dilakukan terhadap tanah milik PT. Cipicung yang memang sudah habis HGUnya. Meski belum

100 82 mendapatkan sertifikat hak milik, namun pendudukan tanah yang dilakukan masyarakat sudah diakui dan sedang dalam rencana pemberian sertifikat hak milik. Kedua aksi reklaim tanah ini sukses menarik perhatian para aktor, aktor-aktor tersebut antara lain SPP sendiri, LSM dan lembaga riset, DPRD dan Pemerintah Ciamis, serta BPN. Selain itu, reklaim yang dilakukan masyarakat juga dilakukan untuk mewujudkan salah satu dari empat perspektif reforma agraria menurut Borras dan Mckinley dalam Fauzi (2008) yaitu Peasant/People-Led Landreform. Dalam perspektif ini asumsi utama yang dibangun adalah bahwa Negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit, sementara kekuatan pasar secara mendasar didominasi juga oleh kepentingan elit. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil inisiatif untuk menerapkan reforma agraria. Untuk mewujudkan Peasant/People-Led Landreform ini maka organisasi dalam hal ini SPP harus melakukan pengawalan dan pendampingan terhadap setiap langkah yang dilakukan masyarakat dalam mencapai reforma agraria. Pendampingan yang dilakukan di OTL Banjaranyar II sebenarnya sudah baik karena dilakukan sejak dari fase perjuangan akan tanah hingga saat ini sertifikasi tanah berhasil dilaksanakan melalui PPAN. Namun sayang, pendampingan ini tidak berlanjut pasca sertifikasi. Mereka menganggap perjuangan sudah selesai dengan turunnya sertifikat hak milik, padahal masih banyak hal-hal mendasar yang belum terpenuhi untuk mencapai reforma agraria seperti pendidikan/penyuluhan mengenai cara bercocok tanam yang baik, bantuan modal, ternak, dan distribusi hasil panen. Begitupun dengan pendampingan yang dilakukan di OTL Pasawahan II, meskipun secara umum masih lebih baik. Di sini, pendampingan juga dilakukan mulai

101 83 dari perjuangan perebutan tanah hingga sekarang di mana sertifikasi akan dilaksanakan. Bahkan di sini telah didirikan sebuah sekolah (SMP Plus Pasawahan dan SMK N 1 Cipaku Kelas Jauh Pasawahan) untuk meningkatkan pendidikan sekaligus sebagai sarana kaderisasi di mana kelak di harapkan akan muncul kader-kader SPP yang cerdas dan berkualitas. Lebih dari itu, sekolah ini juga dibuka untuk umum, jadi tidak hanya meningkatkan pendidikan untuk anggota SPP juga untuk masyarakat umum. Namun begitu, pendampingan di OTL Pasawahan II tidak mencakup pendidikan cara bercocok tanam, bantuan modal, ternak dan distribusi hasil panen karena koperasi baru dibentuk dan belum berjalan Peran Aktor-aktor Lain Upaya untuk mewujudkan reforma agraria yang dilakukan di dua OTL tersebut tidak bisa lepas dari peran-peran aktor lain yang ikut terlibat di dalamnya. Aktor-aktor tersebut turut berperan dalam setiap atau sebagian tahapan pelaksanaan, mulai dari upaya perebutan tanah, pengorganisasian, perlawanan petani, konsolodasi, hingga upaya untuk mewujudkan reforma agraria melalui legalisasi aset. Aktor-aktor ini dapat dibedakan atas aktor yang berasal dari dalam dan aktor luar Aktor-aktor dalam yang terlibat mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ada beberapa aktor yang dominan dalam upaya untuk mewujudkan reforma agraria di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II. Aktor tersebut antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP). SPP ini bisa disebut sebagai aktor utama karena kedua OTL ini merupakan bagian dari SPP. Aktor lainnya yang juga dominan adalah FARMACI, peran mereka sangat dominan dalam upaya-upaya pendampingan masyarakat petani di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II. Pendampingan yang dilakukan mulai dari pengutan organisasi, pendampingan-pendampingan dalam urusan

102 84 hukum, pendampingan dalam memperjuangkan tanah melalui upaya-upaya reklaiming, pendampingan dalam proses produksi dan distribusi hasil pertanian. Meskipun hasilnya belum begitu terlihat. Sebagai contoh, pembangunan koperasi yang dilakukan di OTL Banjaranyar II tidak berjalan sesuai fungsinya, serta belum terealisasinya koperasi di OTL Pasawahan II. Aktor penting lainnya adalah aktor dari luar. Dengan kepentingan yang berbeda, mereka ikut membangun kedua OTL ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktor-aktor ini antara lain berasal dari LSM maupun lembaga riset maupun pihak pemerintah, seperti: Sajogjo Institut (SAINS), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Aktor-aktor ini melakukan riset untuk memahami dan membantu kedua OTL tersebut dalam upaya mewujudkan reforma agraria. Aktor-aktor ini tidak jarang juga bekerjasama dengan aktor lainnya baik dari dalam maupun dari luar negeri.

103 85 BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS 6.1. Landasan Hukum Bersamaan dengan lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998, secara otomatis keran demokrasi menjadi terbuka. Karena pada masa ini pula UU No. 5 Tahun 1960 di peti-eskan, sehingga penantian masyarakat untuk dilaksanakannya reforma agraria masih berlanjut. Setelah runtuhnya Orde Baru, banyak orang yang menaruh harapan bahwa akan terjadi perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal keagrariaan. Namun, harapan tersebut baru muncul pada tahun 2001 melalui TAP MPR no. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Kemudian, MPR mengingatkan kembali perlunya pelaksanaan reforma agraria ini dengan dilahirkannya Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan kepada Pimpinan MPR-RI untuk menyampaikan Saran atas Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPRI-RI tahun 2003, memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk melaksanakan Pembaruan Agraria (Reforma Agraria), antara lain menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari permasalahan hukumnya sampai dengan implementasi di lapangan, menyusun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembaruan agraria (Reforma Agraria), dan mempermudah pemberian akses tanah terhadap masyarakat kecil, khususnya petani. Khusus di Desa Banjaranyar, pelaksanaan PPAN yang dilakukan mempunyai payung hukum yang lebih khusus lagi. Paling tidak ada 13 landasan hukum yang digunakan dalam proses pemberian hak di Desa Banjaranyar tersebut. UU No. 5 Tahun

104 atau yang dikenal dengan UUPA tentu saja menjadi titik tolak pelaksanaan PPAN di Banjaranyar. Dalam upaya penyelesaian kasus, BPN membentuk panitia untuk melakukan penelitian. Pembentukan panitia ini mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 12 Tahun 1992; Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah. Sedangkan dasar dalam melakukan hukum penelitian adalah PP 12 tahun 1992 (saat ini sudah diperbaharui dengan SK BPN RI No. 7 tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah). Setelah proses penelitan selesai dan kondisi di lapangan sudah memenuhi syarat pembagian tanah, maka proses pembagian tanah dilakukan dengan mengacu pada Keputusan BPN melalui Surat Keputusan No. 11 Tahun 1997 tentang penetapan tanah-tanah obyek Redistribusi landreform. SK ini tentu memiliki gandengan, yaitu TAP MPR/XII/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Pemberian hak yang dilakukan di Banjaranyar mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Menurut pengakuan salah satu informan di Kantah Ciamis, sebelum adanya PP No. 11 Tahun 2010 ini, proses penyelesaian dan pembagian tanah hanya menggunakan win-win solution. Proses selanjutnya adalah pemberian hak tanah pada masyarakat OTL Banjaranyar II melalui Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional RI c.q. Deputi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah No D.III tanggal 23 April 2007.

105 Konsepsi PPAN Makna dan Tujuan Reforma Agraria merupakan suatu keharusan, yang dalam pelaksanaanya disebut Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Makna Reforma Agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Komponen-komponen mendasar dalam Reforma Agraria, yaitu: (a) restrukturisasi penguasaan aset tanah kearah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity); (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare); (c) penggunaan atau pemanfaatan dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); (d) keberlanjutan (sustainability); penyelesaian sengketa tanah (harmony). Atas dasar ini, maka Reforma Agraria yang akan dilaksanakan oleh BPN ini didefinisikan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, lalu ditambah dengan access reform. Secara mudah, pengertian ini dapat diringkaskan dalam rumusan sebagai berikut (Winoto, 2007) 20 : Reforma Agraria = Asset Reform (Landreform) + Access Reform 19 Rujukan yang digunakan dalam sub-bab ini diambil dari buku Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Badan Pertanhan Nasional Republik Indonesia. Kecuali bila ada keterangan tambahan dari sumber lainnya. 20 Ibid. dikutip dalam Kata Pengantar

106 88 Berdasarkan pengertian yang menyeluruh semacam ini, maka pelaksanaan reforma agraria diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; 2. mengurangi kemiskinan; 3. menciptakan lapangan kerja; 4. memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; 5. mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; 6. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan 7. meningkatkan ketahanan pangan Lingkup Kegiatan Reforma Agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) merupakan agenda besar bangsa, yang membutuhkan perencanaan penyelenggaraan yang cermat guna memastikan tercapainya tujuan. Secara garis besar mekanisme pelaksanaan Reforma Agraria mencakup empat lingkup kegiatan utama, yaitu: penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme dan delivery system Reforma Agraria serta Access Reform. Keseluruhan proses tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut (BPN, 2007):

107 89 Gambar 6.1. Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek dan Mekanisme & Delivery System Reforma Agraria Obyek Reforma Agrariaa Tanah-tanah obyek reforma agraria adalah tanah-tanah Negara. Keberadaan tanah-tanah ini dapat dikelompokkan berdasarkan kepadatan penduduk, yakni penduduk padat dan kurang padat. Pemilihan obyek reforma agraria dalam wilayah yang berpenduduk padat dipandang strategis dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan pertanahan seperti sengketa dan konflik pertanahan yang diperkirakan lebih terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang padat penduduknya. Selain itu, mengingat makna strategis dari reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria, maka diperlukan juga penyediaan tanah yang cukup baik luasannya maupun kualitasnyaa guna menjamin terselenggaranya restrukturisasi yang dimaksud. Dalam kaitan ini, untuk obyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk kurang padat Presiden SBY telahh mengalokasikan tanah seluas 8,15 juta ha di luar Jawa. Tanah seluas ini diidentifikasi dari areal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnyaa sebagai kawasan hutan. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk padat, BPN telah mengidentifikasi tanah negara seluas 1,1 juta haa dari

108 90 berbagai sumber yang dapat dialokasikan sebagai obyek reforma agraria. Dengan demikian, luasan keseluruhan tanah obyek reforma agraria ini adalah seluas 9,25 juta ha yang berasal dari sejumlah sumber sebagai berikut (Shohibuddin dkk, 2007): Tabel 6.1. Hubungan Antara Obyek dan Tujuan Reforma Agraria Obyek Tujuan Tanah bekas HGU, HGB atau HP 2. Tanah yang terkena ketentuan konversi Tanah yang diserahkan oleh pemiliknya Tanah yang pemegangannya melanggar - 5. Tanah obyek landreform - 6. Tanah bekas obyek landreform - 7. Tanah timbul Tanah bekas kawasan pertambangan 9. Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah 10. Tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah Tanah yang dibeli oleh pemerintah Tanah dari hutan produksi konversi 13. Tanah hutan produksi konversi yang dilepaskan Keterangan: 1. Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil, 2. Mengurangi kemiskinan, 3. Menciptakan lapangan kerja, 4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, 5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, 6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, 7. Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga

109 Proses Penetapan Subyek Reforma Agraria Tingkat keberhasilan program reforma agraria selain ditentukan ketersediaan tanah yang menjadi obyeknya, juga amat tergantung pada penentuan penerima manfaatnya (subyek reforma agraria) secara tepat. Pada prinsipnya, tanah yang dialokasikan untuk reforma agraria adalah untuk rakyat miskin. Kriteria miskin ini disusun secara hati-hati dan mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan. Penyusunan penerima manfaat akan didasarkan pada pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach) yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Dari sini diperoleh tiga variabel pokok dalam menentukan kriteria, yaitu kependudukan, sosial-ekonomi, dan penguasaan tanah (Winoto 2007). Dari ketiga variabel ini ditetapkan kriteria umum, kriteria khusus dan urutan prioritas. Tahapan penentuan rakyat miskin ini mestilah dimulai dari mereka yang tinggal di dalam atau terdekat dengan lokasi, baru selanjutnya dibuka kemungkinan melibatkan kaum miskin dari daerah lain (termasuk dari daerah perkotaan), sejauh punya kemauan tinggi untuk mendayagunakan tanah. Dalam proses seleksi dan penentuan final namanama penerima manfaat ini, Pemerintah Daerah bersangkutan tentunya harus banyak berperan (Shohibuddin dkk, 2007). Secara umum, kelompok-kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima dapat digambarkan dalam pola gambar berikut ini:

110 91 Gambar Kriteria Umum Subyek Reforma Agraria Berdasarkan Prioritas Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria Keberhasilan penataan tanah tanah-tanah tanah obyek reforma agraria kepada subyekny subyeknya penerima tidak terlepas dari penentuan serta pemilihan mekanisme dan delivery system yang tepat. Model-model model alternatif sistem tersebut disusun berdasarkan letak/posisi obyek dan subyek reforma agraria. Secara garis besar mekanisme dan delivery system reforma orma agraria dapat dikelompokkan menjadi tiga model dasar. Ketiga model tersebut adalah: 1. Model I: Mendekatkan Obyek ke Tempat Subyek. Dalam model ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat. 2. Model II: Mendekatkan Subyek Ke Tempat Letak Obyek. Dalam model ini, calon penerima manfaat anfaat (subyek) berpindah secara sukarela ((voluntary voluntary) ke lokasi tanah yang tersedia.

111 92 3. Model III: Subyek dan Obyek di Satu Lokasi yang Sama. Model ini diarahkan untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama. Gambar 6.3. Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria 6.3. Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Ciamis Tahun 2007, secara tegas pemerintahan SBY menetapkan bahwa pelaksanaan reforma agraria ini mutlak perlu dilakukan. Program reforma agraria yang dirancang pemerintah ini, yang disebut Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), telah dinyatakan oleh Presiden SBY untuk dimulai secara bertahap sejak tahun Dalam pidatonya pada 31 Januari 2007, Presiden menyatakan sebagai berikut 21 : 21 Diku p dari Shohi buddi n et. al Laporan Peneli an Pelaksanaan Uji Coba Program Pembaruan Agraria Nasional di Provinsi Lampung: Hasil Kunjungan Singkat Ke Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah. Kerjasama antara Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Sajogjoo Ins tue (SAINS). Halaman 16.

112 93 Program Reforma Agraria secara bertahap akan dilaksanakan mulai tahun Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat (yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan Sesuai kutipan Pidato Presiden SBY di atas bahwa program reforma agraria akan mulai dilaksanakan pada tahun 2007, maka sebagai tindak lanjutnya Kepala BPN RI pada tahun itu telah menginstruksikan kepada seluruh jajaran Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan BPN RI di seluruh Indonesia untuk melakukan inventarisasi atas calon lokasi kegiatan PPAN di wilayahnya masing-masing. Hasil inventarisasi inilah yang kemudian menghasilkan angka calon obyek reforma agraria seluas 1,1 juta ha tanah negara, di luar 8,15 juta ha dari kawasan hutan konversi. Berdasarkan identifikasi tersebut, beberapa daerah yang dipandang sudah siap kemudian diminta untuk menjalankan uji coba pengembangan model-model reforma agraria sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Beberapa daerah tersebut adalah Provinsi Jawa Timur (Kab. Blitar), Provinsi Jawa Barat (Kab. Bogor dan Ciamis), Provinsi Banten (Kab. Lebak), Provinsi Lampung (Kab. Lampung Tengah dan Lampung Selatan), Provinsi Sumatra Selatan (Kab. Ogan Komering Ilir), Provinsi Sumatra Utara (Kab. Langkat dan Asahan), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kab. Kolaka), dan Provinsi Bali (Kab. Karangasem) 22. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di kabupaten ini pelaksanaan reforma agraria baru dilaksanakan di satu desa yaitu Desa Banjaranyar. Sedangkan satu desa lagi yaitu Desa Pasawahan sedang dalam proses pelaksanaan. 22 Ibid. halaman 23.

113 Penetapan Lokasi PPAN Pemberian hak di Desa Banjaranyar dimulai ketika perpanjangan HGU No. 2 Cigayam oleh PT. Mulya Asli, namun dalam prosesnya disana sudah ada masyarakat yang menggarap lahan tersebut. Namun kemudian PT. Mulya Asli ini tidak keberatan untuk melepaskan sebagian lahannya tersebut, yaitu sebanyak 69,59 Ha. Disatu sisi masyarakat mengajukan permohonan penggarapan langsung ke BPN Provinsi hingga ke BPN Pusat. Kemudian setelah melalui beberapa proses, timbul surat dari Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan memberi hak pada penggarap dan menyatakan bahwa tanah tersebut menjadi tanah negara untuk pertanian. Kemudian, terbit SK Kepala BPN RI No D. III tanggal 23 April 2007 yang menyatakan pelepasan lahan sebanyak 556 bidang, yang dibagikan pada masyarakat sebanyak 554 bidang karena dua bidang lainnya dijadikan sebagai kawasan konservasi air. Surat BPN RI ini berasal dari biaya PRONA. Adapun kronologis pemberian hak di OTL Banjaranya 2 akan di bahas pada sub-bab penetapan obyek PPAN Mekanisme Pelaksanaan PPAN di Banjaranyar Mediasi Di kasus Banjaranyar, yang terjadi disana bukanlah legalisasi tanah melainkan berupa penyelesaian sengketa antara Mulya Asli dengan masyarakat. Prosesnya dimulai ketika ada permohonan perpanjangan HGU oleh PT. Mulya Asli namun setelah dilakukan penelitian terhadapnya ternyata tanah HGU tersebut sudah ada masyarakat yang menggarapa lahannya. Oleh karena itu BPN meminta PT. Mulya Asli untuk melepaskan + 70 hektar lahan yang kemudian dibagikan pada sekitar 556 penggarap.

114 95 Lama penyelesaian sengketa + 1 tahun melalui proses mediasi. Prosesnya pertama, diberikan dulu kebebasan PT. Mulya Asli untuk menyelesaikan sengketa sendiri dengan masyarakat. Namun mereka tidak mampu menyelesaikannya, sehingga BPN turun tangan. Hal ini bisa berhasil karena jika PT. Mulya Asli tidak mau melepaskan lahannya maka HGUnya tidak akan diperpanjang (prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan persengketaan dengan Kehutanan). Luas lahan PT. Mulya Asli ini sekitar 369 hektar. Hal ini dapat dilihat dari keterangan salah satu birokrat Kanwil BPN Jawa Barat yaitu Bapak J, berikut ini: Proses penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan cara mengundang pihak-pihak yang bersengketa dalam hal ini masyarakat dengan PT. Mulya Asli untuk duduk berdampingan dan berusaha menyesaikan masalahnya secara kekeluargaan.. Pernyataan ini berbeda dengan apa yang disampaikan warga, mereka tidak pernah merasa bertemu dengan pihak perkebunan. Yang mereka lakukan hanyalah upaya melalui aksi-aksi yang mereka lakukan. Sedangkan dengan pihak perkebunan sendiri tidak pernah ada pertemuan yang membahas pelepasan tanah tersebut. Mereka hanya dihubungi oleh pihak BPN bahwa mereka termasuk daerah yang mendapatkan program PPAN yang kemudian mereka dimintai data nominatifnya Penetapan Obyek Status tanah di Kabupaten Ciamis, khususnya di Desa Banjaranyar adalah tanah bekas HGU yang terdaftar atas nama PT Mulya Asli dikenal dengan nama Hak Guna Usaha Nomor 2/Cigayam, yang telah berakhir masa berlakunya. Tanah yang dilepaskan oleh PT. Mulya Asli telah ditegaskan menjadi tanah negara berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia c.q. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Nomor : D III tanggal 23 April 2007.

115 96 Pada areal seluas 69,59 hektar, oleh masyarakat penggarap telah diusahakan menjadi areal pertanian dan permukiman. Oleh pemerintah, tanah tersebut ditegaskan menjadi Tanah Objek Landreform (TOL) dan diredistribusikan kepada masyarakat (para penggarap). Lokasi tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai lokasi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dengan pembiayaan melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Lama penyelesaian sengketa lahan eks HGU PT.Mulya Asli kurang lebih memakan waktu satu tahun melalui proses mediasi. Proses mediasi diawali dengan BPN memberikan ruang kepada PT. Mulya Asli untuk menyelesaikan sengketa lahan yang berada di areal klaim HGU dengan masyarakat sebelum SK Perpanjangan HGU dikeluarkan dengan prinsip clean and clear. Namun proses dialog antara PT. Mulya Asli dengan masyarakat tidak mencapai kata mufakat, sehingga mendorong BPN terlibat dalam proses negosiasi. Dengan kondisi belum adanya status clean and clear di areal tersebut, kemudian BPN mendesak agar lahan yang menjadi sengketa untuk dilepaskan dari areal HGU. Menurut penuturan salah seorang aparatur BPN Ciamis, pelaksanaan legalisasi aset tanah untuk masyarakat dan penyelesaian sengketa di areal eks HGU swasta relatif lebih mudah jika dibandingkan di areal garapan perusahaan Kehutanan milik negara. Berdasarkan penuturan Kepala Kantah Ciamis berikut ini: Pelaksanaan redistribusi tanah di Banjaranyar ini tidak ada hambatan yang berarti karena tanah tersebut memang telah ditetapkan sebagai tanah untuk redist, jadi BPN Ciamis hanya tinggal meredistribusi saja. Lahan di Banjaranyar ini sebelumnya merupakan tanah yang direklaiming oleh SPP. Redistribusi tanah HGU kepada petani Desa Banjaranyar (OTL Banjaranyar II) ini adalah 20 persen dari total luasan HGU yang dikuasai oleh PT. Mulya Asli (348 Ha). Luasan tanah yang dilepaskan dan diberikan haknya kepada petani hanya setengah dari

116 97 total luasan yang diusulkan oleh petani OTL Banjaranyar II (150 hektar). Adapun secara kronologis, proses pemberian hak di Banjaranyar dapat dijelaskan berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pegawai Kantor Pertanahan Ciamis (Bapak Kustiawan): Ada permohonan dari masyarakat kemudian masyarakat bawa daftar nominatif, masyarakat membawa Surat ke BPN RI (kebetulan ada program PRONA pada saat itu). Selanjutnya ada koordinasi antara PT. Mulya Asli dengan BPN yang kemudian BPN menurunkan 4 tim untuk melakukan penelitian dengan landasan hukum PP 12 tahun 1992 tentang PMNA (saat ini sudah diperbaharui dengan SK BPN RI no. 7 tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Terakhir, keluarlah SK Kepala Kantor Pertanahan Ciamis tentang Pemberian Hak Milik berupa Sertifikat Penetapan Subyek Inisiasi awal pemberian sertifikat adalah adanya permohonan dari penggarap, disamping itu juga ada permohonan perpanjangan HGU. Kemudian BPN menindaklanjutinya. Dalam melaksanakan tugasnya, BPN bersifat pasif yang artinya BPN hanya melakukan pemberian hak ketika ada permohonan..bpn itu bersifat aktif [sic!], ketika ada laporan/permohonan baru ditindaklanjuti, kalau gak ada yang daftar mah ya diam aja. Pasif gitu Program PPAN di desa ini merupakan pengembangan model reforma agraria yang tergolong sederhana. Obyek dan subyek reforma agraria telah berada di lokasi yang sama. Dengan mengacu kepada mekanisme asset reform yang dijelaskan pada Bab 2, maka kondisi di desa ini mewakili Model III (S O). Dalam model ini, maka obyek yang menjadi calon lokasi PPAN pada dasarnya secara de facto sudah dikuasai oleh masyarakat. Dengan demikian, penataan asset reform yang dilakukan sesungguhnya lebih merupakan bentuk penguatan hak masyarakat melalui redistribusi atas tanah yang

117 98 statusnya adalah TOL. Meskipun ada penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, penataan itu dilakukan oleh masyarakat melalui musyawarah di tingkat mereka sendiri (lihat Tabel 5.2.). Ciamis sudah membentuk Tim Terpadu Penyelesaian Masalah Pertanahan di tingkat Pemda dan Agustiana Sekjen SPP ini duduk sebagai wakil ketua, ketuanya Bupati Ciamis dan BPN termasuk di dalamnya sebagai anggota. Berikut potongan wawancara dengan Bapak Mukti mengenai pembentukan Tim Terpadu ini:.jadi di Ciamis mah sudah enak, kalo ada masalah apaapa tinggal duduk bersama. Kalau dulu kan sering sekali demo. Jadi dengan adanya tim ini, apalagi Pak Agus duduk sebagai wakil ketua, Alhamdulillah sudah gak ada masalah lagi Program-program Pasca Pemberian Hak di Bajaranyar Penetapan Reforma Agraria di desa Banjaranyar masih sebatas pada asset reform sehingga tidak ada tindak lanjut setelahnya. Menurut Kepala BPN Kabupaten Ciamis, hal pertama yang harus dilakukan pasca pembagian sertifikat ini adalah memperbaiki akses jalan ke desa Banjaranyar untuk mempermudah distribusi hasil-hasil pertanian (memotong rantai distribusi). Tidak adanya access reform disana salah satunya disebabkan oleh tidak sinkron-nya agenda BPN dengan proyek dari Pemda sehingga seringkali programnya tumpang-tindih. Seharusnya antara Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Bappeda dan BPN duduk bersama dan berkoordinasi agar pelaksanaan masing-masing program dapat berjalan maksimal. Oleh karena itu, pemberian access reform di desa ini diserahkan sepenuhnya kepada SPP selaku organisasi yang mewadahi masyarakat.

118 Rencana Penyelesaian Kasus di Pasawahan Kasus Pasawahan sebenarnya proses sertifikasi sudah mulai tahap perencanaan. Bahkan sudah dikaji oleh bagian sengketa Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Ciamis. Hampir semua persyaratan sudah terpenuhi, seperti adanya permohonan dari masyarakat (dalam hal ini SPP OTL Pasawahan II), tanah tersebut sudah digarap lebih dari 2 tahun bahkan sudah ada yang mendirikan rumah (dihuni). Namun kendala muncul karena PT. Cipicung sebagai pemegang HGU sulit ditemui, sehingga tidak memungkinkan terjadinya koordinasi antara pihak perusahaan dengan BPN Kantah Ciamis. Pihak BPN tidak dapat begitu saja memberikan hak, meskipun HGU PT. Cipicung tersebut sudah habis masa berlakunya sejak tahun Seperti keterangan salah satu informan di Kantah Ciamis berikut ini. Sebenarnya ketika HGU berkahir dan tidak diperpanjang maka tanah tersebut adalah tanah negara, namun yang menjadi perhatian BPN adalah aset yang ada di dalam lahan eks HGU tersebut, siapa tahu masih tersisa sehingga BPN tidak berani untuk memberikan hak atas tanah tersebut selama belum ada kesepakatan hitam di atas putih walaupun secara de facto lahan tersebut sudah dikuasai masyarakat Meski belum terjadi proses sertifikasi di desa Pasawahan, ternyata sudah terjadi perdebatan dikalangan masyarakat SPP itu sendiri. Lebih tepatnya selisih pendapat antara tokoh-tokoh OTL Pasawahan II dengan pendamping SPP (FARMACI dan LBH ). Perdebatan muncul ketika pendamping SPP (FARMACI dan LBH) mengemukakan gagasan agar sertifikat yang akan diperoleh OTL Pasawahan II ini adalah sertifikat kolektif (atas nama OTL), namun para pengurus tidak setuju dengan gagasan tersebut. Pihak pengurus OTL ingin sertifikat yang diberikan adalah sertifikat individu seperti biasanya. Mereka beralasan dengan sertifikat individu, hak-hak individu akan tetap terjamin. Namun pihak pendamping memiliki pandangan lain tentang

119 100 sertifikat, mereka memberi gagasan agar sertifikat ini diberikan sebagai sertifikat kolektif yang dikelola oleh koperasi SPP. Alasan yang dikemukakan pendamping ini adalah pelajaran dari OTL Banjaranyar II. Di OTL ini, pemberian sertifikat yang diberikan adalah sertifikat individu. Yang terjadi adalah organisasi SPP di sana mulai mengalami kemunduran. Masyarakat di sana menganggap perjuangan tanah telah selesai setelah mendapatkan sertifikat tanah. Akibatnya banyak masyarakat yang menjual lagi tanahnya, dampaknya, kesejahteraan masyarakat tidak naik setelah adanya sertifikat, malah menurun karena setelah menjual tanahnya mereka benar-benar seorang landless. Dari sini dapat diketahui bahwa SPP terus mendampingi masyarakat OTL Pasawahan II mulai dari pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, perjuangan reklaiming tanah melalui pengkaplingan hingga proses sertifikasi yang akan dilakukan di OTL Pasawahan II. Ini dilakukan karena SPP tidak ingin kejadian di OTL Banjaranyar II terulang lagi di sini Analisis Perbandingan Terdapat beberapa perbedaan dalam proses pemberian hak di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II antara lain adalah jika di OTL Banjaranyar II sudah diberikan haknya melalui sertifikasi dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sedangkan di OTL Pasawahan II pemberian hak atas tanah ini masih dilangsungkan. Perbedaan lainnya adalah perusahaan perkebunan pemilik HGU di daerah masingmasing. Jika di OTL Banjaranyar II pemilik perkebunannya adalah PT. Mulya Asli dengan status HGU aktif dan diperpanjang (lihat Lampiran 12), begitu juga dengan perusahaannya sendiri yang sampai saat ini masih beroperasi. Sedangkan di OTL Pasawahan II, baik perusahaannya yaitu PT. Cipicung dan HGU-nya sudah sama-sama

120 101 tidak aktif. Artinya, selain perusahaannya sudah tidak beroperasi secara aktif, HGU yang dimiliki PT. Cipicung inipun sudah habis dan tidak diperpanjang lagi. Sebenarnya yang menyebabkan OTL Banjaranyar II ini mendapatkan program sertifikasi terlebih dahulu daripada OTL Pasawahan II adalah terletak pada perusahaan yang memiliki HGU di masing-masing OTL itu sendiri. Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, proses pemberian hak di OTL Banjaranyar II di mulai ketika pihak perkebunan yaitu PT. Mulya Asli hendak memperpanjang HGU-nya dan bersamaan dengan itu ada masyarakat yang melakukan penggarapan di tempat tersebut sehingga proses perpanjangan HGU menjadi terhambat. Namun kemudian PT. Mulya Asli bersedia melepaskan tanah HGU-nya untuk digarap oleh masyarakat sebanyak 69,59 hektar. Bersamaan dengan itu, ada program PPAN yang hendak dilaksanakan oleh BPN. Dengan adanya permohonan perpanjangan HGU oleh perusahaan serta permohonan tanah oleh masyarakat maka BPN bisa dengan mudah menentukan tanah tersebut sebagai obyek PPAN. Sedangkan untuk kasus OTL Pasawahan II, meskipun sudah melakukan penggarapan dan permohonan tanah namun perusahaan yang memegang HGU-nya sudah tidak beroperasi sehingga BPN sulit untuk menetapkan tanah yang direklaiming oleh masyarakat sebagai obyek PPAN. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan bahwa di dalam perkebunan tersebut masih ada aset-aset perkebunan, disini Kantor Pertanahan (Kantah) Ciamis tidak berani mengambil resiko dengan melakukan pemberian hak. Namun setelah diadakan peninjauan lapangan dan penelitian singkat yang dilakukan pihak Kantah Ciamis, pemberian sertifikat di OTL ini mungkin untuk dilaksanakan. Hingga saat ini prosesnya masih berjalan. Untuk lebih memahami perbedaan pemberian sertifikat di kedua OTL tersebut, berikut disajikan tabel perbandingan proses pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di kedua tempat tersebut.

121 102 Tabel 6.2. Perbandingan Proses Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II Pelaksanaan PPAN OTL Banjaranyar II OTL Pasawahan II Permohonan dari Masyarakat Penggarapan oleh Masyarakat Pemberian Sertifikat/Bentuk Perusahaan HGU Komoditas Perkebunan Pemegang Utama Ada Ada Sudah/sertifikat individu PT. Mulya Asli Karet Ada Ada Rencana/sertifikat kolektif PT. Cipicung Karet Status Perusahaan Aktif dan Beroperasi Tidak aktif dan tidak beroperasi Luas Lahan Obyek PPAN 69,59 Ha 200 Ha

122 103 BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL 7.1. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II Dampak Sosial Pemberian sertifikat ini memberikan dampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banjaranyar. Dampak sosial yang dimaksud adalah perubahan pada kehidupan sosial masyarakat disini maksudnya adalah perubahan sikap masyarakat terhadap perjuangan akan lahan serta perubahan sikap mereka akan organisasi SPP itu sendiri. Berkembang pandangan di SPP Ciamis bahwa OTL Banjaranyar II mengalami penurunan partisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan SPP. Opini yang beredar bahwa setelah mendapatkan rakyat maka OTL Banjaranyar II tidak memiliki minat lagi dalam perjuangan-perjuangan SPP lainnya. Sebagai contoh, mereka tidak aktif mengirimkan anggotanya jika ada aksi-aksi yang diprakarsai SPP, begitupun dengan rapat-rapatnya. Gambar 7.1. Sertifikat Hak Milik Menurut koordinator OTL setempat, masyarakat anggota OTL Banjaranyar ini merasa perjuangan mereka dalam memperjuangankan hak atas tanah ini selesai setelah

123 104 mereka mendapat sertifikat. Di samping itu, masyarakat merasa tertekan dengan banyaknya pungutan yang dibebankan pada mereka. Mereka menganggap SPP tidak adil dalam memberlakukan sumbangan-sumbangan. Sebagai contoh, masyarakat mengeluhkan besarnya sumbangan untuk melakukan aksi yang biasanya dipukul rata. Menurut masyarakat, pungutan yang diminta oleh SPP itu seharusnya jangan ditetapkan berdasarkan jumlah anggota di OTL, tetapi harus berdasarkan luasan tanah yang dikuasai dalam satu OTL. Hal ini kemudian menimbulkan semacam kecemburuan. Menurut beberapa responden, beban mereka yang berupa sumbangan tersebut bisa dari beberapa sumber, antara lain pajak desa, organisasi desa, pajak sertifikat, dan iuran SPP jika sewaktu-waktu ada kegiatan. Hal ini sangat membebani masyarakat, selain luas tanah yang tidak seberapa serta pengeluaran yang juga terus meningkat. Apalagi jika tanaman mereka mulai diserang hama. Tanah yang tidak seberapa tersebut menjadi benar-benar tidak menghasilkan. Implikasinya, masyarakat menjadi jenuh untuk terus bergabung dengan SPP. Setelah pemberian sertifikat, terjadi konsentrasi pemilikan tanah. Artinya, terkumpulnya tanah dalam jumlah yang sangat luas di satu orang. Hal ini terjadi akibat adanya transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat anggota OTL Banjaranyar II. Konsentrasi tanah ini biasanya terjadi di kalangan elit, baik elit SPP maupun elit desa. Namun, hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak karena ada juga masyarakat non-elit yang menguasai tanah dalam jumlah yang banyak. Setelah ditelusuri, konsentrasi tanah ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang orang tersebut sebelum bergabung dengan SPP. Jika orang itu sebelumnya memiliki tanah, maka peluang untuk mengakumulasi tanah semakin besar. Dan ini yang terjadi di OTL Banjaranyar II.

124 105 Kondisi ini turut mendorong rumah tangga petani lainnya, ketika mereka terdesak secara ekonomi, maka sertifikat pun menjadi jalan keluar, yakni dijual atau di gadai. Kondisi ini menyebabkan penumpukan kekayaan terjadi hanya di sebagian elit dan pemilik modal. Di sisi yang lain, tingkat partispasi anggota menjadi menurun karena kehilangan kepercayaan terhadap cita-cita perjuangan organisasi. Sebenarnya sebelum sertifikasi dibagikan kepada masyarakat, transaksi jual beli lahan garapan sudah terjadi di desa Banjaranyar, saat sertifikasi sudah dibagikan hal ini memperlancar proses transaksi tersebut, jika dahulu polanya tanah plus tanamannya, saat ini disertai dengan sertifikat sah, hal ini tentunya menambah nilai jual pada tanah tersebut (lihat lampiran 8 dan 9). Hal ini dapat dimaklum i terjadi saat, masyarakat mendapatkan tanah pada kondisi perekonomian mereka yang masih terpuruk, belum ada penataan produksi, akses jalan yang belum mendukung sehingga ketika tanah didapat, kondisi nya petani tidak serta merta berangsur jauh lebih baik dalam seketika, bahkan ketika sertifikat didapatkan, tidak banyak yang bisa dilakukan pada penataan produksi, karena proses acces reform yang seharusnya berfungsi sebagai penguatan pasca pengakuan tanah tidak berjalan. Di sisi lain, melambungnya harga barang-barang konsumsi yang harus dibeli tidak terimbangi dengan hasil produksi yang dihasilkan, sehingga setiap panen, petani selalu mengalami minus (persoalan tata produksi yang tak selesai), hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak menikmati kesejahteraan yang seharusnya didapatkan dari legalisasi tanah. Perubahan yang begitu dirasakan masyarakat adalah adanya rasa tenang dalam menggarap tanah serta masyarakat merasa sepenuhnya sebagai warga Negara. Rasa tenang dirasakan warga karena sebelum adanya sertifikat ini, masyarakat merasa ada pihak-pihak yang mengganggu mereka dalam menggarap tanah guna memenuhi kebutuhan hidupnya serta tanaman yang akan ditanam terbatas pada tanaman-tanaman

125 106 yang sudah ditentukan oleh perkebunan. Sekarang, tidak ada pihak yang mengganggu mereka dalam menggarap tanah karena tanah tersebut sudah sah secara hukum menjadi milik mereka. Begitu juga dengan tanaman yang akan ditanam, mereka bebas menanam apa yang mereka inginkan yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan tanahnya. Selain itu, masyarakat benar-benar merasa sebagai warga Negara karena ikut membangun Negara melalui pembayaran pajak. Sebelumnya masyarakat hanya menggarap tanah tanpa ada kontribusi apapun terhadap Negara. Sekarang, dengan sudah membayar pajak, mereka merasa memberikan kontribusi atas tanah yang mereka garap. Berikut pengakuan salah seorang responden: anu nyata pisan mah, tina ayana satupikat urang ngarasa tenang dina ngagarap lahan. Moal aya deui nu ngaganggu, urang bebas melak naon wae. Terus, urang ngarasa dianggep sebagai warga Negara sabab mayar pajak, jadi ikut membangun nagara lah.. ( yang paling nyata, dengan adanya sertifikat kita merasa tenang dalam menggarap lahan. Tidak aka nada lagi yang mengganggu, kita bebas menanam apa saja. Terus, kami merasa dianggap sebagai warga Negara sebab bayar pajak, ikut membangun Negara lah ) Dampak Terhadap Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah Perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Banjaranyar dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama (Pra SPP), fase kedua (Pasca Reklaiming) dan fase ketiga (Pasca Sertifikasi). Luasan tanah di masing-masing fase dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori sempit (tanah < 0,5 hektar), kategori sedang (tanah antara 0,5-1,5 hektar), dan kategori luas (tanah > 1,5 hektar). Fase pertama adalah fase ketika sebagian besar masyarakat belum tergabung dalam SPP. Ketika itu banyak dari mereka yang tidak memiliki tanah atau memiliki

126 107 tanah yang berada di luar tanah HGU. Pemilikan tanah pada fase ini, dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini: Tabel 7.1. Luas Pemilikan Tanah Sebelum Bergabung dengan SPP (Pra SPP) di OTL Banjaranyar II Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sempit Sedang Luas Total Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebaran pemilikan tanah pra SPP ini didominasi pada kategori tanah yang sempit yaitu sebanyak 20 orang responden (66,7 persen). Sedangkan untuk pemilikan tanah kategori sedang sebanyak delapan orang responden (26,7 persen) dan untuk kategori luas hanya sebanyak dua orang responden (6,7 persen). Fase kedua adalah pasca bergabungnya masyarakat dengan SPP. Pada fase ini masyarakat melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang ketika itu sudah habis masa berlaku HGU-nya. Disini, tanah yang dimiliki masyarakat belum diatur. Artinya luasan tanah yang dimiliki tergantung dari kemampuan yang dimiliki orang tersebut dalam menggarap tanah di tambah luas tanah yang mereka miliki di luar tanah HGU. Karena jumlah tanah yang tersedia tidak begitu luas, maka luasan tanah pada fase ini juga terbatas, biasanya tidak lebih dari 250 bata. Luas kepemilikan tanah pada fase ini dapat dilihat dari tabel 7.2. berikut ini:

127 108 Tabel 7.2. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Banjaranyar II Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sempit Sedang Luas Total Berdasarkan data di atas, terjadi peningkatan jumlah responden pada kategori tanah sempit dan luas. Jumlah responden yang mempunyai luas tanah dengan kategori sempit meningkat dari sebelumnya 20 orang responden (66,7 persen) menjadi 21 orang responden (70 persen). Jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori luas juga meningkat dari sebelumnya dua orang responden (6,7 persen) menjadi lima orang responden (16,7 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori sedang justru menurun hingga setengahnya dari sebelumnya delapan orang responden (26,7 persen) menjadi empat orang responden (13,3 persen). Hal ini terjadi akibat pada fase ini luas tanah yang dimiliki petani tergantung dari luas tanah yang digarapnya. Dalam kasus ini, terjadi pergeseran luas pemilikan tanah dari yang berkategori sedang menjadi luas karena tanah yang sebelumnya dimiliki (di luar tanah HGU) diakumulasi dengan tanah yang mereka dapatkan dari hasil reklaiming. Sedangkan bertambahnya jumlah responden yang memiliki kategori sempit disebabkan oleh alasan jual beli. Artinya, tanah yang ia miliki di luar tanah reklaiming ia jual dan akhirnya ia hanya memiliki tanah hasil reklaiming saja. Fase ketiga adalah fase di mana sertifikat hak milik sudah diberikan melalui PPAN. Pada fase ini adalah luas pemilikan tanah diatur oleh kelembagaan di dalam OTL itu sendiri yang kemudian dilegalkan oleh BPN. Luas tanah pada fase ini adalah akumulasi dari luas tanah pada fase Pra SPP, Pasca Reklaiming dan proses jual beli

128 109 yang terjadi di kalangan masyarakat petani. Hal ini menyebabkan terjadinya konsentrasi kepemilikan tanah di antara masyarakat sendiri. Ada yang memiliki tanah sangat luas dan bahkan yang tidak memiliki tanah sama sekali (kembali menjadi landless). Lebih lanjut sebaran pemilikan tanah pada fase ini dapat dijelaskan melalui tabel 7.3. berikut ini: Tabel 7.3. Luas Pemilikan Tanah Pasca Sertifikasi di OTL Banjaranyar II Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sempit Sedang Luas Total Dari data di atas, jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori sempit jauh berkurang dari sebelumnya menjadi 16 orang responden (53,3 persen). Sedangkan jumlah responden dengan kategori tanah sedang dan luas meningkat dengan angka berturut-turut delapan orang responden (16,7 persen) dan enam orang responden (20 persen). Dapat dilihat bahwa dengan adanya sertifikat hak milik ini, memberi perubahan terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah meskipun tidak terlalu besar. Hal ini terjadi karena pada saat penelitian dilakukan telah terjadi proses jual beli sehingga jumlah responden yang memiliki tanah pasca sertifikasi ini kembali berkurang setelah mereka menjual kembali tanahnya. Sedangkan untuk responden yang bertambah, ia membeli tanah bersertifikat pada sesama anggota OTL. Lama kelamaan hal ini akan mengakibatkan konsentrasi tanah pada seseorang/kelompok menjadi sangat tinggi. Mekanisme jual beli tanah yang dilakukan di OTL Banjaranyar II ada jual beli di bawah tangan, artinya jual beli tersebut tidak di sahkan secara hukum. Untuk bisa melakukan jual beli, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan melapor pada koordinator OTL, walaupun tidak semua melakukannya, hal ini dilakukan agar tidak

129 110 terjadi perselisihan di kemudian hari. Setelah itu koordinator membuatkan surat perjanjian jual beli tanah, dapat juga dilakukan hanya oleh pihak penjual dan pembeli tanpa melalui koordinator OTL. Gambar 7.2. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah Dampak Terhadap Kesejahteraan Pemberian sertifikat di OTL Banjaranyar II ini memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat. Memang, terdapat dua pendapat berkaitan dengan dampak yang timbul setelah adanya pemberian sertifikat dari BPN ini. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan masyarakat desa. Peningkatan kesejahteraan masyarakat disini dapat dilihat dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat desa setelah mendapatkan sertifikat. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari bangunan rumah yang mulai permanen dan masyarakat yang sudah mempunyai kendaraan bermotor. Masyarakat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini mempunyai dampak terhadap peningkatan kesejahteraan justru merupakan masyarakat yang mampu mengakumulasi lahannya dengan cara membeli lahan dari masyarakat lain yang justru kesulitan dalam mengusahakan lahan yang telah disertifikasi itu. Pak N misalnya, ia menjual satu bidang lahannya (15 bata) untuk membangun rumah karena sebelumnya

130 111 rumah yang ia tempati tidak memiliki dinding dan hampir roboh. Namun kini keadaan rumahnya tidak seperti itu lagi. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini sebenarnya tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di sini, meskipun sebagian besar tanah garapan masyarakat sudah bersertifikat, namun tetap saja dengan kondisi tanah yang ada, masyarakat hanya bisa mengusahakan tanahnya dengan sedikit intensif pada musim penghujan. Dengan keterbatasan ini, ada kecenderungan masyarakat hidup seadanya mengandalkan hasil dari alam yang ada terutama tanah. Dari sejumlah 365 bidang tanah yang sudah bersertifikat, sekitar 30 bidang tanah sama sekali tidak bisa diusahakan karena tanahnya berbatu-batu sehingga hanya tumbuhan alam yang bisa tumbuh diatasnya. Artinya, tanah tersebut tidak bisa dibudidayakan. Bahkan menurut keterangan salah satu warga, tanah yang disertifikasi ini bukanlah tanah yang benar-benar diinginkan warga yang memperjuangkan tanah. Akhirnya, meskipun tanah tersebut sudah bersertifikat, tetap saja kehidupan petani masih belum bisa tercukupi dengan layak. Adapun di lokasi lainnya, masyarakat bisa berusaha tani khususnya usaha tani pertanian tanah kering pada musim kemarau, dan berusaha tani tanaman semusim pada saat musim penghujan. Dengan berusaha tani seperti itulah satu-satunya penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya tentu saja juga adanya faktor produksi yaitu tanah. Selain berusaha tani tersebut, sebagian penduduk juga menanam pohon albasia yang mempunyai nilai ekonomis yang agak tinggi termasuk mudah dalam pemasarannya karena hasilnya bisa dijual di tempat. Saat ini, kondisi di OTL Banjaranyar II tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tanaman-tanaman jangka panjang yang tadinya memiliki peran penting bagi

131 112 masyarakat Desa Banjaranyar karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi mulai mengalami kerusakan akibat mulai menjamurnya hama Ulat Gantung yang menghambat pertumbuhan tanaman albasia mereka. Dengan demikian, masyarakat yang awalnya berharap pada hasil penjualan albasia maka mereka harus mulai berfikir untuk mencari sumber pendapatan lainnya. Tanaman yang terkena hama ini sebagian besar di diamkan begitu saja oleh para petani. Seperti diungkapkan salah satu warga berikut ini: Nya diantepkeun we, da rek dikumahakeun deui (Ya dibiarkan saja, mau diapakan lagi). Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya jual-beli lahan oleh masyarakat penerima sertifikat. Jual-beli ini dilakukan terhadap sesama masyarakat SPP ataupun terhadap masyarakat lain yang bukan merupakan anggota SPP. Jual-beli lahan ini sebenarnya tidak diizinkan dan tidak dibenarkan oleh organisasi (SPP). Namun SPP tidak bisa juga menghalangi masyarakat pemilik sertifikat menjual lahannya. Alasan masyarakat menjual lahan yang bersertifikat kepada orang lain. Faktor ekonomi merupakan alasan yang paling sering mengemuka. Menurut masyarakat, sulit mengusahakan lahan ketika terjadi serangan hama yang melanda akhir-akhir ini. Mereka juga tidak mendapatkan pelatihan-pelatihan atau penyuluhan dari pihak terkait untuk membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Namun, bukan faktor ekonomi semata yang menyebabkan masyarakat menjual lahannya. Ada juga masyarakat yang menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan sekundernya, misalnya mereka yang menjual lahan untuk membelikan anaknya sepeda motor. Lahan yang tidak subur dan masyarakat yang berpindah tempat juga menjadi salah satu alasan mereka mau menjual lahan yang sudah susah payah mereka usahakan. Berikut hasil wawancara dengan Kepala Desa Banjaranyar yang juga menjadi tokoh di OTL Banjaranyar II:

132 113 ada beberapa alasan masyarakat menjual lahannya. Ada faktor ekonomi, lahan nu teu subur, pindah tempat. Tapi nu paling teu resep mah jalma nu ngajual lahan demi untuk memenuhi kemewahan pribadi (...ada beberapa alasan masyarakat menjual lahannya. Ada faktor ekonomi, lahan yang tidak subur, pindah tempat. Tapi yang paling tida (saya) sukai itu orang yang menjual lahan demi untuk memenuhi kemewahan pribadi... Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Banjaranyar II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui tabel 7.4. berikut ini: Tabel 7.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Banjaranyar II Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Rendah Valid Sedang Sejahtera Total Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 56,7 persen responden justru berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 33,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 10 persen responden saja yang berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi.

133 Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Pasawahan II Dampak Sosial Rencana penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional ini memberikan dampak sosial terhadap masyarakat OTL Pasawahan II. Dampak itu adalah masyarakat merasa sangat senang karena apa yang mereka tunggu selama ini akan terwujud, dalam hal ini perjuangan mereka terhadap tanah akan segera dilegalkan. Disamping suka cita tersebut, ternyata muncul dampak lainnya. Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, rencana pemberian sertifikat ini menimbulkan ketegangan antara masyarakat OTL dengan para pendamping SPP. Ketegangan ini dilatarbelakangi oleh bentuk sertifikat yang akan mereka terima. Pendamping menginginkan sertifikat yang diberikan berupa sertifikat kolektif. Mereka khawatir kejadian di OTL Banjaranyar II terulang kembali di sini. Namun sebagian masyarakat tetap ingin sertifikat tersebut diberikan pada masing-masing individu. Mereka beralasan, apa yang dikhawatirkan pendamping sangat tidak beralasan karena bubar atau tidaknya SPP di suatu tempat tergantung manajemen dan kemauan masyarakat itu sendiri. Ketegangan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena diantara keduanya hanya terjadi salah paham. Dengan komunikasi yang baik dan pemberian pemahaman yang lebih mendalam, ketegangan tersebut kana segera terselesaikan Dampak Terhadap Perubahan Struktur Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Pasawahan II hanya dibagi menjadi dua fase. Fase pertama (Pra SPP) dan fase kedua (pasca reklaiming). Fase pertama adalah fase di mana masyarakat belum tergabung dengan SPP. Tanah yang mereka miliki berupa tanah

134 115 warisan maupun tanah yang mereka beli dan berada di luar tanah reklaiming. Frekuensi pemilikan tanah yang dibedakan dalam tiga kategori (sempit, sedang, luas) dapat dijelaskan melalui tabel 7.5. berikut ini: Tabel 7.5. Luas Pemilikan Tanah Pra SPP di OTL Pasawahan II Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sempit Sedang Total Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan SPP sebanyak 25 dari 30 orang responden (83,3 persen) memiliki tanah dengan kategori sempit. Sisanya sebanyak lima orang responden (16,7 persen). Disini sama sekali tidak terdapat responden yang memiliki tanah dengan kategori luas. Fase kedua adalah fase di mana masyarakat sudah tergabung dengan SPP (OTL Pasawahan II). Pada fase ini masyarakat SPP secara bersama-sama melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang pada dasarnya sudah habis masa berlakunya. Setelah melakukan reklaiming ini, terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari tabel 7.6. berikut ini:

135 116 Tabel 7.6. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Pasawahan II Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sempit Sedang Luas Total Berdasarkan data yang disajikan Tabel 7.6. di atas. Perubahan signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah terjadi pada kategori tanah yang luas dari sebelumnya tidak ada satu orang respondenpun menjadi tujuh orang responden (23,3 persen). Peningkatan juga terjadi pada golongan responden dengan kategori tanah sedang menjadi 15 orang responden (50 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah berkategori sempit turun menjadi delapan orang responden (25,7 persen). Dari sini terlihat bahwa upaya reklaiming yang dilakukan masyarakat terbukti tepat sasaran Dampak Kesejahteraan Membandingkan kesejahteraan masyarakat antara OTL Pasawahan II dengan OTL Banjaranyar II sebenarnya kurang begitu relevan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dari luasan tanah yang dimiliki dan dikuasainya berbeda jauh. Di OTL Banjaranyar II, luas tanah yang dimiliki rata-rata hanya berkisar bata. Artinya, kebanyakan masyarakat OTL Banjaranyar II hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan di OTL Pasawahan II per-kepala mendapatkan tanah sebanyak 75 atau 175 bata tergantung keinginan menggarap tanah bagian dalam bagian atau luar". Jika dalam satu keluarga ada 3-4 orang dan semuanya memilih tanah bagian dalam, maka dalam satu keluarga itu akan menguasai tanah sebanyak 600 bata. Kedua, kondisi tanah yang ada di kedua tersebut. Kondisi tanah di OTL Pasawahan II relatif lebih subur sehingga apa yang akan ditanam masayarakat kemungkinan besar bisa

136 117 tumbuh seperti yang diharapkan. Terbukti dengan berhasilnya mereka menikmati hasil panen tanaman jangka panjangnya. Sedangkan di OTL Banjaranyar II, selain tanahnya yang sempit, kondisi tanahnya tidak subur dan banyak berupa cadas. Ketiga, selain pengeluaran bahan pokok (yang dianggap relatif sama), di OTL Pasawahan II pengeluaran untuk pertanian akan lebih sedikit karena mereka tidak menggunakan pupuk untuk tanah darat mereka, sesuai dengan pengakuan salah satu responden:.da tara di gemuk, keun we kitu.. (..tidak pernah (diberi) pupuk, diarkan begitu saja) Berbeda dengan yang terjadi di OTL Banjaranyar II yang harus mengeluarkan biaya pupuk untuk bisa menggarap di tanah darat mereka. Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Pasawahan II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui Tabel 7.7. berikut ini: Tabel 7.7. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Pasawahan II Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Rendah Sedang Sejahtera Total Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 16,7 persen responden berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 63,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 20 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena

137 118 indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi. Secara umum, jika hendak dibandingkan, kesejahteraan masyarakat di OTL Pasawahan II lebih tinggi daripada masyarakat di OTL Banjaranyar II Arah Transfer Manfaat Aksi reklaiming yang dilakukan kedua OTL, OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II, ditujukan agar masyarakat anggotanya memperoleh akses terhadap tanah. Dengan adanya tanah garapan, diharapkan terjadi perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat anggota masing-masing OTL tersebut. Muara dari ini semua dapat dilihat dari bagaimana sebenarnya rute transformasi dapat ditimbulkan dari pembaruan kebijakan. Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), arah transformasi yang ditimbulkan oleh kebijakan landreform dapat dibedakan menjadi empat kemungkinan, yaitu (1) redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi. Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan pertanahan, khususnya untuk memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau (re)konsentrasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat kerangka umum pelaksanaan kebijakan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II. Mengacu pada arah transfer yang dikemukakan Borras dan Franco (2008) di atas, arah transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah di kedua OTL termasuk arah redistribusi. Di sini, terjadi transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau negara atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma. Dalam konteks OTL

138 119 Banjaranyar II, transfer ini terjadi dari PT. Mulya Asli pada petani anggota OTL tersebut. Sedangkan untuk OTL Pasawahan II, anggota OTL ini menerima transfer dari negara karena perusahaan pemegang HGU sudah tidak beroperasi lagi. Ditinjau dari segi dinamika perubahan dan pembaruan dari arah transformasi redistribusi, pembaruan di kedua OTL terjadi di tanah private dan tanah negara. Dalam kasus Banjaranyar, transfer kepemilikannya sebagian yaitu hanya tanah HGU yang dilepas oleh pihak perkebunan dan diterima oleh masyarakat secara individu. Hal ini terlihat dari sertifikat hak milik yang berasal dari PPAN. Untuk kasus Pasawahan, transfer kepemilikannya penuh walaupun belum secara resmi di legalkan dengan sertifikat hak milik. Dikatakan penuh, karena tanah yang direklaim dan dimohon oleh anggota OTL Pasawahan II adalah seluruh tanah eks HGU PT. Cipicung yang beroperasi di Desa Pasawahan. Rencana terkait pembagian tanah ini masih dalam perdebatan apakah akan diberikan secara kolektif atau individu. Mengingat sulitnya melarang masyarakat melakukan jual beli tanah, maka paya perbaikan kelembagaan yang mungkin dilakukan antara lain. Pertama, dalam jual beli tanah harus dibuat suatu kelembagaan kolektif (seperti koperasi) sehingga ketika masyarakat membutuhkan modal untuk usaha pertanian, mereka dapat menjual atau menggadaikan tanahnya pada badan kolektif tersebut, bukan pada individu. Kedua, perlunya di buat mekanisme pembatasan tanah sehingga tanah hasil reklaiming tidak dikuasai oleh satu orang saja. Jadi, sebisa mungkin sistem jual beli tanah tidak terjadi dan digantikan sistem gadai. Selain mekanisme kelambagaan yang perlu diperbaiki, untuk mencegah rekonsentrasi tanah ini, perlu juga perubahan paradigma SPP itu sendiri. Jika dilihat dari sudut pandang orang luar SPP, akan terlihat bahwa target atau tujuan SPP ini hanya

139 120 sebatas memperoleh tanah, meskipun sebenarnya tidak demikian. Oleh karena itu, setelah dilakukannya reklaiming, SPP maupun masyarakat harus langsung merancang targetan mereka selanjutnya. Misalnya, menguasai pemerintahan daerah hingga sampai tingkat kecamatan. Tujuannya agar keberpihakan pemerintahan lokal terhadap perjuangan masyarakat tetap terjaga. Kemudian, perlu juga diadakan pelatihan-pelatihan yang terkait dengan perbaikan sistem pertanian di kedua tempat tersebut. Yang terakhir adalah mengembangkan model penjualan hasil pertanian yang dapat meningkatkan nilai jual produk pertanian tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum perbandingan antara OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II dilihat dari inisiatif lokal untuk akses tanah, respon kebijakan dan arah dampak yang ditimbulkannya dapat dilihat dari tabel 7.8 berikut ini: Tabel 7.8. Perbandingan Inisiatif Lokal untuk Akses Tanah, Respon Kebijakan, dan Arah Dampak yang Ditimbulkannya Lokasi OTL Banjaranyar II Tipe Inisiatif Lokal Integrasi di lokasi reklaiming OTL Pasawahan II Aneksasi di wilayah eks HGU PT. Cipicung Respon Kebijakan PPAN Belum ada (Rencana PPAN) Arah Dampak Redistribusi Redistribusi Arah transfer manfaat kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah yang terjadi di kedua OTL tersebut tidak mutlak, artinya masih bisa berubah menjadi distribusi, non- (re) distribusi maupun (re) konsentrasi. Jika terjadi (re) konsentrasi, maka apa yang

140 121 sudah dilakukan selama ini oleh masyarakat maupun pemerintah akan sia-sia saja. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa usaha agar tidak terjadi rekonsentrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di kedua OTL tersebut, usaha tersebut antara lain ada upaya dalam membentuk kelembagaan masyarakat yang kuat serta perubahan paradigma perjuangan yang dilakukan SPP. Perubahan arah transfer manfaat di kedua OTL tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain jika: jual beli tanah terus berlanjut, petani kehilangan tanahnya lagi dan menjadi landless lagi, tanah dikuasai oleh pemodal, tidak ada upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di kedua tempat tersebut khususnya OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan dalam gmabar berikut ini: Arah transfer saat ini: redistribusi Akan menjadi Jika Rekonsentrasi a. Jual beli tanah terus berlanjut b. Petani kehilangan tanah dan menjadi landless lagi c. Tanah dikuasai oleh pemodal d. Tidak ada upaya untuk mensejahterakan masyarakat Untuk mencegahnya a. SPP harus kembali mendekati OTL Banjaranyar II melalui program-program pemberdayaan b. BPN segera merealisasikan access reform di OTL Banjaranyar II c. Kolaborasi para pihak/instansi terkait dalam upaya mensejahterakan masyarakat OTL Banjaranyar II Gambar 7.3. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II Perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II akan berbeda dengan yang terjadi di OTL Pasawahan II. Hal ini terjadi karena kondisi yang terjadi di OTL Pasahawan II berbeda dengan kondisi yang terjadi di OTL Banjaranyar II. Ilustrasi

141 122 perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II dapat dilihat pada gambar berikut ini: Arah transfer saat ini: redistribusi Akan menjadi Jika Rekonsentrasi a. Ada jual beli tanah baik sesama ataupun di luar OTL b. SPP melepas control terhadap OTL Pasawahan II c. Jika disertifikasi, BPN tidak segera melakukan access reform di OTL tersebut Untuk mencegahnya a. Peran aktif SPP dalam mencegah jual beli tanah b. Tetap menjaga control terhadap OTL tanpa adanya pengekangan c. Lakukan access reform segera setelah asset reform dilakukan d. Koordinasi dengan para pihak terkait dengan upayaupaya pemberdayaan di TL Pasawahan II Gambar 7.4. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II

142 123 BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan Aksi reklaiming yang dilakukan masyarakat di kedua OTL tersebut sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan dengan berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya. Sepanjang perjalanan sering terjadi konflik dan perlawanan yang dilakukan petani dengan aktor-aktor berkepentingan yang terlibat dalam proses reklaiming ini. Pelaksanaan reklaiming di kedua tempat ini dikenal dengan landreform dari bawah (by leverage) dengan tipe integrasi (untuk kasus Banjaranyar) dan tipe aneksasi (untuk kasus Pasawahan). Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) baru terlaksana di OTL Banjaranyar II sedangkan di OTL Pasawahan II masih dalam proses. Faktor-faktor yang menyebabkan PPAN dilaksanakan di OTL Banjaranyar terlebih dahulu antara lain: tanah tersebut sudah digarap, kemudian tanah tersebut dimohon oleh penggarap, serta perusahaan karet (PT. Mulya Asli) bersedia melepaskan sebagian HGU-nya. Pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN memberikan dampak sosial, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta dampak kesejahteraan bagi masyarakat di kedua OTL tersebut. Arah transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah di kedua OTL adalah arah dampak redistribusi Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa saran agar pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan pelaksanaan PPAN bisa berjalan secara maksimal. Saran-saran tersebut antara lain:

143 Untuk mewujudkan reforma agraria, SPP harus lebih berperan aktif terutama dalam upaya pendampingan terhadap masyarakat OTL, sehingga ketika upaya reklaiming berhasil dilakukan minat masyarakat terhadap SPP tidak menurun. 2. Ketegangan yang muncul antara masyarakat OTL Pasawahan II dengan pendamping disebabkan oleh kurangnya upaya pendamping dalam mengkomunikasikan maksud mereka terhadap masyarakat. Oleh karena itu para pendamping harus lebih sabar dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat OTL. 3. Saat ini, minat masyarakat OTL Banjaranyar II terhadap SPP mulai menurun. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian yang diberikan SPP terhadap mereka. Disarankan, SPP tetap memberikan pendampingan dan perhatian bagi masyarakat OTL Banjaranyar II. 4. Belum tercapainya access reform oleh berbagai pihak disebabkan oleh tidak adanya dana serta program pemerintah yang berjalan sendiri-sendiri. Disarankan pihak-pihak terkait seperti SPP, BPN, dan badan pemerintahan lainnya melakukan koordinasi ketika hendak melaksanakan suatu program tertentu. 5. Disarankan adanya penelitian lanjutan terkait pelaksanaan reforma agraria dengan metode kuantitatif yang lebih ketat lagi untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakatnya secara lebih mendalam.

144 125 DAFTAR PUSTAKA Alfurqon, Andi Keterkaitan Antara Program Reforma Agraria Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani (Kasus Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Reforma Agraria: Mandat Politik. Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat Borras, Saturnino Jr & Jennifer C. Franco How Land Policies Impact Land- Based Wealth and Power Transfer. Discussion Paper 3. Oslo Governance Centre. United Nation Development Programme. Oslo Denzin, NK & YS Lincoln (editors) Handbook of Qualitatif Research (Second Edition), Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication Fauzi, Noer Gelombang Baru Reforma Agraria: Telaah Perkembangan Gerakan-Gerakan Rakyat di Dunia Ketiga. Makalah disampaikan pada acara Paparan Tim Ahli Reforma Agraria Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) di Jakart pada tanggal 29 Maret 2008 Sitorus, M.T. Felix Reklaim Tanah Hutan: Tipe-tipe Reforma Agraria dari Bawah di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah. Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria. Vol. III/Tahun III (Bogor)

145 126 Sitorus, M.T. Felix Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al (editor) Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: AKATIGA Sitorus, M.T. Felix Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial Soetarto, Endriatmo & Moh. Shohibuddin.Tanpa Tahun. Konsepsi Dasar Reforma Agraria dalam Erpan Faryadi (editor). Reforma Agraria: Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Shohibuddin, Moh. dkk Laporan Penelitian Pelaksanaan Uji Coba Program Pembaruan Agraria Nasional di Provinsi Lampung: Hasil Kunjungan Singkat Ke Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah. Kerjasama antara Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan, dan Sayogyo Institue Wiradi, Gunawan. 2009a. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung, Jakarta, Bogor: AKATIGA, KPA, SAINS Wiradi, Gunawan. 2009b. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Penyunting: Moh. Shohibuddin. Yogyakarta: STPN PRESS Wiradi, Gunawan & Makali Penguasaan Tanah dan Kelembagaan dalam Moh. Sohibuddin (editor) Ranah Studi Agraria. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) White, Benjamin & Gunawan Wiradi. (editor) Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif: Hasil Lokakarya Kebijakan Reforma Agraria di Selabintana. Bogor. Brighten Press

146 LAMPIRAN Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data 1 Konteks Umum Lokasi Studi Dokumen, Interview, Pengamatan Lapang Primer, Sekunder Pemerintah Lokal, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat 2 Struktur Agraria Lokal Indepth interview, kuesioner Primer Kepala Desa, Pemerintah Lokal, tokoh masyarakat dan petani 3 Profil rumahtangga petani (Sosio- Kuesioner, indepth Primer, Petani Ekonomi dan Sosio-Budaya): interview, observsi Sekunder responden, Termasuk kondisi kemiskinan lapang, FGD Tokoh Petani, rumahtangga Pemerintah Lokal, Dinas Pertanian, NGO's Pendamping 4 Profil penguasaan dan pemanfaatan Kuesioner, indepth Primer, Petani lahan serta sumber-sumber agraria interview, observsi Sekunder Responden, lainnya lapang, FGD Tokoh Petani 5 Profil pendapatan rumahtangga Keusioner, indepth Primer, Petani petani (pertanian dan non pertanian) interview, observsi Sekunder Responden, lapang, FGD Tokoh Petani

147 6 Profil usaha tani rumahtangga petani Kuesioner, indepth interview, observsi lapang, FGD Primer, Sekunder Petani Responden, Tokoh Petani 7 Profil kelembagaan lokal Indepth interview, kuesioner Primer Petani Responden, Tokoh Petani 8 Profil Organisasi Tani Lokal Indept Interview, FGD, Studi Dokumen Primer, Sekunder Petani Responden, Tokoh Petani dan Anggota Organisasi Tani 9 Bentuk pelaksanaan reforma agraria Indept interview, observasi lapang, FGD Primer Petani responden, Tokoh Petani, BPN 10 Bentuk-bentuk pemberdayaan Indept interview, Primer Petani ekonomi rumahtangga petani observasi lapang, FGD responden, Tokoh Petani 11 Peran pemerintah dan NGO's dalam Indepth Interview, Primer Petani proses penguatan hak atas lahan dan Observasi Lapang responden, sumber-sumber agraria serta Tokoh Petani, pemberdayaan ekonomi Pemerintah Lokal, Dinas Pertanian, NGO's Pendamping

148 12 Profil BPN Kabupaten Ciamis Studi dokumen Primer BPN Kabupaten Ciamis 13 Profil Program PPAN Studi dokumen Primer BPN Kabupaten Ciamis

149 Lampiran 2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan No Kegiatan Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4 1 Penyusunan Instrumen Penelitian (Kuesioner dan Panduan Pertanyaan, Panduan FGD) Pre-Survey ke lokasi penelitian 4 Pengurusan perizinan untuk pelaksanaan kegiatan penelitian di lapang 5 Pengumpulan data lapangan 6 FGD 7 Penyusunan laporan Kemajuan Penelitian 8 Pengolahan dan Analisis Data dan Informasi dari Lapangan 9 Penyusunan Draf Laporan Hasil Penelitian 10 Penyusunan Makalah Presentasi dan Makalah Publikasi 11 Presentasi Hasil Penelitian

150 Lampiran 3. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Distribusi Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Ciamis 1 KECAMATAN LUAS WILAYAH JUMLAH PENDUDUK KEPADATAN PENDUDUK (orang/km²) DISTRIBUSI PENDUDUK (Km² ) [1] [2] [3] [4] [5] 01 CIMERAK 118, ,77 02 CIJULANG 93, ,72 03 CIGUGUR 97, ,31 04 LANGKAPLANCAR 177, ,05 05 PARIGI 98, ,82 06 SIDAMULIH 73, ,70 07 PANGANDARAN 64, ,09 08 KALIPUCANG 136, ,28 09 PADAHERANG 151, ,15 10 BANJARSARI 162, ,57 11 LAKBOK 97, ,70 12 PAMARICAN 104, ,23 13 CIDOLOG 56, ,25 14 CIMARAGAS 29, ,05 15 CIJEUNGJING 58, ,00 16 CISAGA 60, ,44 17 TAMBAKSARI 64, ,56 18 RANCAH 73, ,81 19 RAJADESA 58, ,24 20 SUKADANA 58, ,53 21 CIAMIS 57, ,10 22 CIKONENG 62, ,00 23 CIHAURBEUTI 36, ,15 24 SADANANYA 43, ,15 25 CIPAKU 65, ,00 26 JATINAGARA 35, ,58 27 PANAWANGAN 80, ,31 28 KAWALI 58, ,38 29 PANJALU 111, ,35 30 PANUMBANGAN 59, ,73 JUMLAH 2.444, ,00 (%) 1 Ciamis dalam Angka 2003 Ke Atas. hp://jabar.bps.go.id/kab_ci ami s/penduduk.html diakses tanggal 10 Juni 2010.

151 Lampiran 4. Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Per Kecamatan di Kabupaten Ciamis K E C A M A T A N P E N D U D U K S E X RATIO LAKI - LAKI PEREMPUAN [1] [2] [3] [4] 01 CIMERAK ,80 02 CIJULANG ,73 03 CIGUGUR ,56 04 LANGKAPLANCAR ,73 05 PARIGI ,70 06 SIDAMULIH ,99 07 PANGANDARAN ,65 08 KALIPUCANG ,78 09 PADAHERANG ,30 10 BANJARSARI ,77 11 LAKBOK ,98 12 PAMARICAN ,28 13 CIDOLOG ,97 14 CIMARAGAS ,07 15 CIJEUNGJING ,71 16 CISAGA ,48 17 TAMBAKSARI ,18 18 RANCAH ,01 19 RAJADESA ,35 20 SUKADANA ,15 21 CIAMIS ,26 22 CIKONENG ,46 23 CIHAURBEUTI ,11 24 SADANANYA ,80 25 CIPAKU ,34 26 JATINAGARA ,39 27 PANAWANGAN ,91 28 KAWALI ,60 29 PANJALU ,65 30 PANUMBANGAN , ,25 JUMLAH

152 Lampiran 5. Jumlah Penduduk Usia Tidak Produktif, Usia Produktif dan Angka Beban Tanggungan Menurut Kecamatan di Kabupaten Ciamis KECAMATAN USIA TIDAK PRODUKTIF USIA PRODUKTIF ANGKA BEBAN TANGGUNAN (15-64 TH) (0-14 & 65 TH +) [1] [2] [3] [4] 01 CIMERAK CIJULANG CIGUGUR LANGKAPLANCAR PARIGI SIDAMULIH PANGANDARAN KALIPUCANG PADAHERANG BANJARSARI LAKBOK PAMARICAN CIDOLOG CIMARAGAS CIJEUNGJING CISAGA TAMBAKSARI RANCAH RAJADESA SUKADANA CIAMIS CIKONENG CIHAURBEUTI SADANANYA CIPAKU JATINAGARA PANAWANGAN KAWALI PANJALU PANUMBANGAN JUMLAH

153 Lampiran 6. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Ciamis KELOMPOK UMUR LAKI - LAKI PEREMPUAN JUMLAH [1] [2] [3] [4] Keatas JUMLAH

154 Lampiran 7. Bahan Participatory Poverty Assesment (PPA) di OTL Banjaranyar 2 dan OTL Pasawahan 2 Kelompok Nilai Kaya (3) Sedang (2) Miskin (1) Ukuran Tanah 8 > 1 ha < 0.5 ha Rumah 7 Permanen, luas, keramik, sanitasi lengkap Kepemilikan kendaraan bermotor 6 Punya, lebih dari dua unit Setengah permanen, lantai tegel, atap genteng Punya, hanya satu unit Penghasilan 5 > Rp Rp Rp Pekerjaan 4 Ada penghasilan Mengarap lahan tetap, memiliki sendiri, memiliki usaha sampingan upah yang agak Pola Makan 3 Makan 3 X sehari, makan daging/ikan (mewah), susu, buah-buahan, kadang-kadang makan di restaurant Elekktronik 2 Serba ada, lebih dari 3 macam Sanitasi 1 Memiliki MCK di dalam rumah tetap Makan 3 X sehari, dengan lauk-pauk Minimal tv 24 inch warna dan Hp (2 macam) Memiliki MCK sendiri, tapi di luar rumah Lantai tanah, bilik, belum tembok, atapnya dafon Tidak punya < Rp Buruh musiman Jumlah Selang Makan 2 X sehari, dapat Raskin, jarang makan laukpauk Maksimal Hanya Hp atau TV Hitam Putih (1 macam) Ke sungai, atau MCK umum

155 Lampiran 8. Sertifikat Hak Milik Lampiran 11. Akses Jalan di Banjaranyar Lampiran 12. Kantor Perkebunan Mulya Asli Lampiran 9. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah Lampiran 13. Tanah Hasil Reklaiming di OTL Banjaranyar 2 Lampiran 10. Kondisi Tanah di Banjaranyar

156 Lampiran 14. Suasana Wawancara dengan Kanwil BPN Jawa Barat Lampiran 17. Lahan Praktek SMP Pasawahan Lampiran 15. Tanah Hasil Reklaiming di OTL Pasawahan 2 Lampiran 18. Suasana FGD di Pasawahan Lampiran 16. Akses jalan di Pasawahan

157 Lampiran 19. Peta Perkebunan PT. Mulya Asli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkup Agraria Seperti kita ketahui bahwa konsep agraria tidak hanya sebatas pada tanah atau tanah pertanian saja. Secara etimologis, istilah agraria berasal dari sebuah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (survey). Pendekatan kualitatif menekankan pada proses-proses

Lebih terperinci

BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL 103 BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL 7.1. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan

Lebih terperinci

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. KAJIAN (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. 2009/10 1 FOKUS Mempelajari hubungan antara manusia yang mengatur penguasaan

Lebih terperinci

Sebuah Kerangka untuk Mengintegrasikan Tata Pengurusan Tanah yang Demokratis dan Memihak Kelompok Miskin (Pro-Poor) Moh. Shohibuddin (Mei 2010)

Sebuah Kerangka untuk Mengintegrasikan Tata Pengurusan Tanah yang Demokratis dan Memihak Kelompok Miskin (Pro-Poor) Moh. Shohibuddin (Mei 2010) Sebuah Kerangka untuk Mengintegrasikan Tata Pengurusan Tanah yang Demokratis dan Memihak Kelompok Miskin (Pro-Poor) Moh. Shohibuddin (Mei 2010) What is Democratic Governance? Inclusive citizens participation

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM GUNAWAN SASMITA DIREKTUR LANDREFORM ALIANSI PETANI INDONESIA JAKARTA 10 DESEMBER 2007 LANDASAN FILOSOFI TANAH KARUNIA TUHAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah 5 TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah Tanah merupakan salah satu sumber agraria selain perairan, hutan, bahan tambang, dan udara (UUPA 1960). Sebagai negara agraris yang memiliki jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Sesuai penegasan Kepala BPN RI: Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) bukanlah sekedar proyek bagi-bagi tanah, melainkan suatu program terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial dan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN 2015-2019 DEPUTI MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH Jakarta, 21 November 2013 Kerangka Paparan 1. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan tempat di mana manusia berada dan hidup. Baik langsung

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan tempat di mana manusia berada dan hidup. Baik langsung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan tempat di mana manusia berada dan hidup. Baik langsung maupun tidak manusia hidup dari tanah. Bahkan bagi mereka yang hidup bukan dari tanah pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan

I. PENDAHULUAN. ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reforma agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan pembangunan pedesaan di berbagai belahan

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) SERI REGIONAL DEVELOPMENT ISSUES AND POLICIES (15) PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) 11 November 2011 1 KATA PENGANTAR Buklet nomor

Lebih terperinci

BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS

BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS 85 BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS 6.1. Landasan Hukum Bersamaan dengan lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998,

Lebih terperinci

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.

Lebih terperinci

TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS

TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS LAMPIRAN 89 TABEL FREKUENSI DAN HASIL UJI CROSSTABS Tabel Frekuensi Distribusi Penguasaan Lahan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Rendah 24 60.0 60.0 60.0 Sedang 11 27.5 27.5 87.5

Lebih terperinci

PERANAN REFORMA AGRARIA DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI RIZKI AMELIA

PERANAN REFORMA AGRARIA DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI RIZKI AMELIA PERANAN REFORMA AGRARIA DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI RIZKI AMELIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis agraria menyebabkan terjadinya kelangkaan tanah, sedangkan kebutuhan tanah bagi manusia semakin besar. Kebutuhan tanah yang semakin besar ini sejalan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual

BAB III METODE PENELITIAN. dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini.

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah 8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Tanah Obyek Landreform 2.1.1 Pengertian Tanah Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Agenda pembaruan agraria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 salah satunya adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

Lebih terperinci

KPM 321 Kajian Agraria REFORMA AGRARIA DEPARTEMEN KOMUNIKASI & PENGEMBANGAN MASYARAKAT. FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010/2011

KPM 321 Kajian Agraria REFORMA AGRARIA DEPARTEMEN KOMUNIKASI & PENGEMBANGAN MASYARAKAT. FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010/2011 KPM 321 Kajian Agraria REFORMA AGRARIA DEPARTEMEN KOMUNIKASI & PENGEMBANGAN MASYARAKAT. FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010/2011 Bagaimana bisa dikatakan seseorang mempunyai negara,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data

LAMPIRAN. Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data LAMPIRAN Lampiran 1. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data 1 Konteks Umum Lokasi Studi Dokumen, Interview, Pengamatan Lapang Primer, Sekunder

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Reforma Agraria dan Tingkat Kesejahteraan Petani Berbagai permasalahan yang muncul dalam bidang agraria merupakan hambatan serius bagi proses pembangunan bangsa. Arah kebijakan

Lebih terperinci

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Agraria di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Penyebabnya adalah karena pembaruan agraria lebih merupakan kesepakatan politik daripada kebenaran ilmiah,

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diantaranya adalah perspektif sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena

I. PENDAHULUAN. diantaranya adalah perspektif sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah memiliki keterkaitan dengan berbagai perspektif, yang beberapa diantaranya adalah perspektif sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena keterkaitannya dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mensejahterakan rakyatnya. Tujuan tersebut juga mengandung arti

BAB I PENDAHULUAN. untuk mensejahterakan rakyatnya. Tujuan tersebut juga mengandung arti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara hukum yang pada dasarnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Tujuan tersebut juga mengandung arti untuk segenap aspek penghidupan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

LAND REFORM INDONESIA

LAND REFORM INDONESIA LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris tentu menggantungkan masa depannya pada pertanian. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN ( PERSISTENCE

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN ( PERSISTENCE PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI (Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan,

Lebih terperinci

Pengantar Presiden - Ratas Tentang Reforma Agraria, Kantor Presiden Jakarta, 24 Agustus 2016 Rabu, 24 Agustus 2016

Pengantar Presiden - Ratas Tentang Reforma Agraria, Kantor Presiden Jakarta, 24 Agustus 2016 Rabu, 24 Agustus 2016 Pengantar Presiden - Ratas Tentang Reforma Agraria, Kantor Presiden Jakarta, 24 Agustus 2016 Rabu, 24 Agustus 2016 TRANSKRIP PENGANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RAPAT TERBATAS KABINET KERJA TENTANG REFORMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE)

BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) 58 BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) 5.1. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Banjaranyar II Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Banjaranyar

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL. A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional

BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL. A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional 24 BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ideologi kanan seperti : Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina dan Brazil, maupun

BAB I PENDAHULUAN. ideologi kanan seperti : Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina dan Brazil, maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reforma Agraria merupakan penyelesaian yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan ketahanan pangan, dan pengembangan wilayah pedesaan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang pokok dan bersifat mendesak. Tanpa hal-hal tersebut, manusia

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang pokok dan bersifat mendesak. Tanpa hal-hal tersebut, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan primer manusia adalah sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Kebutuhan primer berarti kebutuhan manusia yang pokok dan bersifat mendesak.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1. Tinggi : memiliki kartu ASKES, berobat di puskesmas atau mempuyai dokter pribadi. 2. Rendah : tidak memiliki ASKES, berobat di dukun. 14. Tingkat Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN Oleh: Henny Mayrowani Tri Pranadji Sumaryanto Adang Agustian Syahyuti Roosgandha Elizabeth PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan-persoalan struktural yang terwujud dalam bentuk tingginya tingkat pengangguran, tingginya tingkat kemiskinan, tingginya

Lebih terperinci

Kajian Tenurial. Ahmad Nashih Luthfi. Centre for Social Excellence Yogyakarta, 3 April 2016

Kajian Tenurial. Ahmad Nashih Luthfi. Centre for Social Excellence Yogyakarta, 3 April 2016 Kajian Tenurial Ahmad Nashih Luthfi Centre for Social Excellence Yogyakarta, 3 April 2016 Tujuan Kajian Tenurial (diacu dari ToR) Transformasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang: Dasar-dasar

Lebih terperinci

Solusi Penyediaan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Berkelanjutan?: Meneraca Ulang Program Injeksi Tanah dan Konversi Lahan

Solusi Penyediaan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Berkelanjutan?: Meneraca Ulang Program Injeksi Tanah dan Konversi Lahan Solusi Penyediaan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Berkelanjutan?: Meneraca Ulang Program Injeksi Tanah dan Konversi Lahan Endriatmo Soetarto & DwiWulan Pujiriyani Seminar Nasional Solusi Penyediaan Lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya kemakmuran rakyat, sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya kemakmuran rakyat, sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari tanah pertanian sehingga tanah merupakan kebutuhan bagi setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah memiliki keterkaitan dengan berbagai perspektif, yang beberapa diantaranya adalah perspektif sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena keterkaitannya dengan berbagai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan tiga dasar pertimbangan:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, meliputi pengumpulan, pengolahan,

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK TERHADAP MASYARAKAT LOKAL (Studi kasus di Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor)

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) Oleh: Rianti TM Marbun A14204006 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA SKRIPSI EKO HIDAYANTO H34076058 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Gambaran Umum Desa Pangradin Desa Pangradin adalah salah satu dari sepuluh desa yang mendapatkan PPAN dari pemerintah pusat. Desa Pangradin memiliki luas 1.175 hektar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Tanah sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menunjang berbagai aspek

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian Bandung Berkebun di usia pergerakannya yang masih relatif singkat tidak terlepas dari kemampuannya dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerataan Ekonomi Dalam Rangka Menurunkan Kemiskinan. Lukita Dinarsyah Tuwo

Kebijakan Pemerataan Ekonomi Dalam Rangka Menurunkan Kemiskinan. Lukita Dinarsyah Tuwo Kebijakan Pemerataan Ekonomi Dalam Rangka Menurunkan Kemiskinan Lukita Dinarsyah Tuwo Solo, 26 Agustus 2017 DAFTAR ISI 1. LATAR BELAKANG 2. KEBIJAKAN PEMERATAAN EKONOMI 3. PRIORITAS QUICK WIN Arah Kebijakan

Lebih terperinci

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN NASIONAL (BAPPENAS) SEKRETARIAT REFORMA AGRARIA NASIONAL

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I34060667 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

IMPLIKASI PEMBARUAN AGRARIA TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS.

IMPLIKASI PEMBARUAN AGRARIA TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS. IMPLIKASI PEMBARUAN AGRARIA TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS. Oleh: Syahyuti @ 2003 Pembaruan agraria, atau sering juga digunakan istilah reforma agraria sebagai pengganti istilah Agrarian

Lebih terperinci

LEONARD DHARMAWAN A

LEONARD DHARMAWAN A ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMERINTAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN MELALUI PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) DAN RAKSA DESA (Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI DAN LOYALITAS ANGGOTA PADA KELOMPOK TANI HURIP DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY ACTION

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI DAN LOYALITAS ANGGOTA PADA KELOMPOK TANI HURIP DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY ACTION ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI DAN LOYALITAS ANGGOTA PADA KELOMPOK TANI HURIP DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY ACTION RESEARCH /PAR (Kasus Kelompok Tani Hurip, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini belum mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih belum merasakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN

ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah diperlukan manusia sebagai ruang gerak dan sumber kehidupan. Sebagai ruang gerak, tanah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani dan didukung

Lebih terperinci

KINERJA PENYALURAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA NASABAH DI PT. BRI UNIT CITEUREUP CABANG BOGOR

KINERJA PENYALURAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA NASABAH DI PT. BRI UNIT CITEUREUP CABANG BOGOR KINERJA PENYALURAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA NASABAH DI PT. BRI UNIT CITEUREUP CABANG BOGOR Disusun Oleh : SEVIA FITRIANINGSIH A 14104133 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional yang tercermin dari hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah yaitu hubungan

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA (Kasus: Program Urban Masyarakat Mandiri, Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur) Oleh: DEVIALINA

Lebih terperinci

Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Omswastiastu (untuk Provinsi Bali)

Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Omswastiastu (untuk Provinsi Bali) MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PADA UPACARA PERINGATAN HARI AGRARIA NASIONAL TAHUN 2017 Assalamu

Lebih terperinci

RANCANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN MATA KULIAH: POLITIK PERTANAHAN. Nama Dosen : TIM : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Fakultas : Program Studi :

RANCANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN MATA KULIAH: POLITIK PERTANAHAN. Nama Dosen : TIM : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Fakultas : Program Studi : RANCANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN MATA KULIAH: POLITIK PERTANAHAN Nama Dosen : TIM Institusi : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Fakultas : Program Studi : 2015 RANCANGAN PEMBELAJARAN Nama Mata Kuliah :

Lebih terperinci

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi organisasi petani yang ada

Lebih terperinci

SINTESA TEMATIK SESI 4 KELOMPOK BELAJAR AGRARIA & PEREMPUAN

SINTESA TEMATIK SESI 4 KELOMPOK BELAJAR AGRARIA & PEREMPUAN SINTESA TEMATIK SESI 4 KELOMPOK BELAJAR AGRARIA & PEREMPUAN KONTRADIKSI HAK TANAH PEREMPUAN I. Kontradiksi Reforma Agraria: Antara Kebijakan dan Praktik Seiring terjadinya pemusatan kekayaan dan kian timpangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan hutan lindung, khususnya hutan yang menjadi perhatian baik tingkat daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan tersebut

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H14102048 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

Perempuan dan Industri Rumahan

Perempuan dan Industri Rumahan A B PEREMPUAN DAN INDUSTRI RUMAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN DALAM SISTEM EKONOMI RUMAH TANGGA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK C ...gender equality is critical to the development

Lebih terperinci

REDISTRIBUSI ASET UNTUK MENURUNKAN KETIMPANGAN DI INDONESIA

REDISTRIBUSI ASET UNTUK MENURUNKAN KETIMPANGAN DI INDONESIA REDISTRIBUSI ASET UNTUK MENURUNKAN KETIMPANGAN DI INDONESIA Oleh: Faishal Rahman Disampaikan pada Seri Diskusi Publik Megawati Institute "Politik Redistribusi Aset di Indonesia" Jakarta, 27 September 2017

Lebih terperinci

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat) Oleh: ERNA SAFITRI

Lebih terperinci

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi 1 Lampiran 1 Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi Untuk dapat membayangkan sebuah model pembangunan ekonomi pertanian secara kolektif, maka mestilah dilihat dan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami

BAB VI KESIMPULAN. Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami BAB VI KESIMPULAN Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami perubahan. Pada awalnya strategi perlawanan yang dilakukan PPLP melalui tindakan kolektif tanpa kekerasan (nonviolent).

Lebih terperinci

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL MASYARAKAT PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat) Oleh: SUKMA PRIMANA

Lebih terperinci

PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN

PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN LAMPIRAN 79 PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN NAMA: TANGGAL: 1. Apakah pernah terjadi permasalahan lahan dengan pihak perkebunan? 2. Permasalahan lahan seperti apa yang terjadi? 3. Berapa kali permasalahan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI JAWA TENGAH _ LAPORAN KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI JAWA TENGAH KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) SEKRETARIAT REFORMA AGRARIA NASIONAL

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM DAN PEMBELAJARAN SEMESTER MATA KULIAH: REFORMA AGRARIA

RENCANA PROGRAM DAN PEMBELAJARAN SEMESTER MATA KULIAH: REFORMA AGRARIA RENCANA PROGRAM DAN PEMBELAJARAN SEMESTER MATA KULIAH: REFORMA AGRARIA Nama : Antonius Sriyono & M. Nazir Salim Institusi : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Fakultas : - Program Studi : - 2015 1 RANCANGAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO 2001-2008: IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H 14094014 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 3.1. Pendekatan Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA. Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Sumber Alam. mengatur Hak Penguasaan atas Tanah. Hak Penguasaan Atas Tanah

HUKUM AGRARIA. Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Sumber Alam. mengatur Hak Penguasaan atas Tanah. Hak Penguasaan Atas Tanah HUKUM AGRARIA LUAS SEMPIT PENGERTIAN Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Sumber Alam Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Tanah OBYEK RUANG LINGKUP Hak Penguasaan atas Sumbersumber

Lebih terperinci

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat AGUSTINA MULTI PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci