IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu. Pada penelitian ini, sampel tanaman diambil dari tanaman yang ditanam pada areal bekas tambang kawasan Pabrik Semen PT. Holcim di Narogong, kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Penghijauan sudah dilakukan oleh bagian lingkungan PT. Holcim sejak tahun 2001 seluas kurang lebih 50 Ha dengan berbagai tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi yang kritis dan berpotensi sebagai kayu energi. Jenis yang telah ditanam diantaranya adalah sengon buto, waru, gmelina, lamtoro, trembesi, turi, gamal dan angsana. Tanaman sengon buto, waru dan gmelina digunakan dalam penelitian ini karena tersedia pada berbagai kelas umur. Berat jenis sengon buto, waru dan gmelina dianalisis berdasarkan faktor jenis, umur dan faktor posisi horisontal (gubal, teras dan kulit). Analisis berdasarkan faktor tersebut juga dilakukan dalam menghitung nilai kalor pada kondisi basah, kering udara dan kering tanur Berat Jenis Kayu dan Kulit Hasil pengujian berat jenis kayu menunjukkan rata-rata berat jenis kayu sengon buto adalah 0,50 dengan kisaran dari 0,48-0,52. Kayu waru memiliki rata-rata berat jenis 0,58 dengan kisaran dari 0,55-0,63. Kayu gmelina memiliki rata-rata berat jenis sebesar 0,57 dengan kisaran dari 0,51-0,63. Sementara itu untuk pengujian berat jenis kulit, kulit waru memiliki rata-rata berat jenis paling besar yaitu 0,47 dengan kisaran 0,44-0,49. Kulit gmelina memiliki rata-rata sebesar 0,46 dengan kisaran 0,44-0,49. Kulit sengon buto memiliki rata-rata 0,39 dengan kisaran 0,32-0,45. Secara umum, rata-rata berat jenis kayu lebih besar dibandingkan dengan berat jenis kulit. Sebagai contoh, kayu gmelina memiliki rata-rata berat jenis kayu sebesar 0,57 sedangkan rata-rata berat jenis kulitnya 0,47. Berat jenis kayu dan kulit juga meningkat seiring dengan pertambahan umur kayu. Sementara itu, berat jenis kayu gubal secara umum lebih rendah dibandingkan dengan kayu teras, kecuali pada beberapa sampel yang menunjukkan perbedaan. Sebagai contoh pada kayu sengon buto umur 4 tahun, rata-rata berat jenis kayu teras sebesar 0,50 dan

2 26 rata-rata berat jenis kayu gubal sebesar 0,49. Variasi perbedaan berat jenis berdasarkan faktor-faktor yang diteliti disajikan pada Gambar 4 berikut ini : 0,7 0,6 0,5 Berat jenis 0,4 0,3 0,2 0,1 gubal teras kulit rata-rata 0 sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6 Gambar 4 Berat jenis kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda. Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit Berat jenis dan kerapatan dipengaruhi oleh kadar air, struktur sel, ekstraktif dan komposisi kimia. Berat jenis dan kerapatan bervariasi antara jenis, diantara jenis yang sama dalam satu spesies dan di dalam satu pohon. Kerapatan kulit luar kayu daun jarum bervariasi dari 0,29 sampai 0,70 g/cm 3, sedangkan kayu daun lebar berkisar antara 0,28 sampai 0,81 g/cm 3 (Tsoumis, 1991). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor jenis kayu, umur dan faktor posisi horisontal berpengaruh sangat nyata terhadap berat jenis baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Sedangkan faktor interaksi antara umur dan faktor posisi horisontal tidak berpengaruh baik pada taraf 1% maupun 5% Nilai Kalor dan Kadar Abu Jenis dan umur kayu Hasil pengujian nilai kalor kayu menunjukkan bahwa rata-rata nilai kalor kayu sengon buto sebesar kkal/kg dengan kisaran kkal/kg kkal/kg. Kayu waru memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg -i kkal/kg. Kayu gmelina memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg kkal/kg. Pada bagian kulit, nilai kalor rata-ratanya lebih rendah dibandingkan

3 27 dengan kayu. Pada bagian kulit, rata-rata nilai kalor kulit sengon buto adalah kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg kkal/kg, kulit waru memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kka/kg kkal/kg dan kulit gmelina memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg kkal/kg. Hasil rata-rata pengukuran nilai kalor menunjukkan bahwa secara umum nilai kalor kayu teras lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kalor kayu gubal kecuali pada beberapa sampel kayu menunjukkan hasil sebaliknya, misalnya kayu gubal gmelina umur 2 tahun nilai kalornya kkal/kg sedangkan nilai kalor kayu terasnya sebesar kkal/kg. Perbedaan nilai kalor pada kayu menurut faktor-faktor yang diteliti disajikan pada Gambar 5 berikut ini: 6000 NIlai kalor (kkal/kg) sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6 Jenis dan umur kayu gubal teras kulit rata-rata Gambar 5 Nilai kalor kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda. Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit Hasil analisis sidik ragam terhadap nilai kalor kayu menunjukkan bahwa perbedaan posisi horisontal (gubal, teras dan kulit) berpengaruh nyata terhadap nilai kalor kayu baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Sedangkan faktor jenis, umur kayu dan faktor interaksi antara jenis dan umur tidak berpengaruh yang nyata terhadap nilai kalor baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Pengujian terhadap kadar abu mendapatkan hasil rata-rata kadar abu kulit sengon buto adalah 4,82%. Rata-rata kadar abu kulit waru dan gmelina masingmasing sebesar 4,23% dan 4,06%. Rata-rata kadar abu seluruh sampel kulit yang

4 28 diteliti sebesar 4,37%. Rata-rata kadar abu kayu sengon buto adalah 0,65%. Kayu waru dan gmelina memiliki rata-rata kadar abu masing masing sebesar 1,27 dan 1,11%. Rata-rata kadar abu seluruh sampel kayu (gubal dan teras) adalah 1,01%. Hasil perhitungan ini masih dalam kisaran kadar abu yang disajikan oleh Tsoumis (1991), yaitu kadar abu kayu daun jarum berkisar antara 0,02 1,1%, kayu daun lebar berkisar antara 0,1 5,4% dan kulit kayu berkisar antara 0,6 10,7%. Variasi rata-rata kadar abu pada seluruh sampel yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini : 6 5 Kadar abu (%) sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6 Jenis dan umur kayu gubal teras kulit rata-rata Gambar 6 Kadar abu kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda. Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit Dari gambar 6 diatas terlihat bahwa rata-rata kadar abu kayu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kadar abu kulit. Rata-rata kadar abu kayu sebesar 1,01% sedangkan rata-rata kadar abu kulit sebesar 4,37%. Hal ini sesuai dengan apa yang disajikan oleh Tsoumis (1991), yaitu kadar abu kulit (khususnya kulit bagian dalam) memiliki kandungan inorganik lebih besar dibandingkan dengan kayu gubal. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar abu menunjukkan bahwa perbedaan posisi horisontal (gubal, teras dan kulit) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu baik pada taraf 1% maupun 5%. Sedangkan faktor jenis, umur kayu dan faktor interaksi antara jenis dan umur tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu baik pada taraf 1% maupun 5%.

5 29 Abu menunjukkan kandungan bahan inorganik kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon. Kayu yang mengandung silika lebih dari 0,3% akan menyebabkan alat pertukangan akan cepat tumpul (Haygreen et al., 2003). Abu pada sebuah pembakaran harus dihindari, karena dapat menyebabkan penumpukan abu dan mengganggu proses pembakaran. Pada proses produksi semen, kadar abu bukan merupakan masalah yang mengganggu, karena abu yang dihasilkan dari proses pembakaran juga merupakan salah satu bahan yang dicampur pada proses produksi sehingga tidak meninggalkan unsur abu dalam jumlah yang besar. Silika yang dihasilkan dalam proses pembakaran kayu juga merupakan salah satu bahan dasar pembuat semen Analisis hubungan antara kadar air dengan nilai kalor. Faktor utama yang berpengaruh terahadap nilai kalor kayu adalah berat jenis dan kadar air. Faktor lainnya adalah kandungan lignin dan adanya zat ekstraktif seperti resin dan tannin. Nilai kalor kayu yang mengandung kadar air dalam jumlah tertentu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai kalor kayu pada saat kering tanur, karena sebagaian besar kalor hilang untuk menghilangkan dan menguapkan air (Panshin, 1970). Sementara itu menurut Haygreen et al. (2003), Faktor utama yang mempengaruhi nilai kalor kayu adalah kadar air. Nilai kalor kayu tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur dan terus menurun dengan semakin tingginya kadar air di dalam kayu. Nilai kalor pada kondisi kering tanur disebut nilai kalor tertinggi (NKT), sedangkan nilai kalor pada kadar air tertentu disebut nilai kalor bersih (NKB). Pada penelitian ini, nilai kalor diukur pada tiga kondisi, yaitu pada kondisi kering tanur, kondisi kering udara dan kondisi basah. Nilai kalor pada kondisi kering tanur digunakan pada analisis faktor jenis kayu, posisi horisontal dan umur kayu terhadap nilai kalor. Pengukuran nilai kalor pada kadar air kering udara dan kadar air pada kondisi basah digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara penurunan nilai kalor kayu dengan perubahan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan nilai kalor kayu sangat signifikan dengan

6 30 meningkatnya kadar air. Sebagai contoh, nilai kalor kayu sengon buto umur 4 tahun pada kadar air 7,96% sebesar kkal/kg, sedangkan pada kadar air 44,4% sebesar kkal/kg, penurunannya diatas 50% (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4). Hasil regresi linier antara kadar air dan nilai kalor dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini : Nilai kalor (kkal/kg) y = -50,87x , R² = 0,943 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 Kadar air (%) Kalori Linear (Kalori) Gambar 7 Regresi linier antara nilai kalor dan kadar air. Dari Gambar 7 terlihat bahwa regresi linier antara nilai kalor dan kadar air didapatkan persamaan : Kadar air = -50,87 (nilai kalor) Dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,94 menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara pengurangan nilai kalor dengan perubahan kadar air. Hasil analsis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan nilai f hitung yang sangat besar yaitu 394,18 sehigga dapat dikatakan dikatakan kadar air sangat nyata memiliki korelasi dengan nilai kalor, baik pada taraf nyata 5 % maupun 1 % Nilai Kalor dan Kadar Abu berdasarkan Proporsi Kayu dan Kulit. Hasil penelitian pada sub bab menunjukkan nilai kalor kayu berdasarkan faktor jenis, umur dan posisi horisontal secara parsial. Pada pemakaian kayu sebagai bahan bakar dalam industri, penggunaan kayu tidak dipisah-pisahkan antara kayu atau kulit, melainkan campuran keduanya atau bahkan campuran dengan jenis lainnya. Nilai kalor tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur, yaitu sekitar kkal/kg. Dalam penggunaan kayu sebagai bahan bakar, mengeringkan kayu sampai kondisi kering tanur tidak

7 31 ekonomis dari segi biaya. Untuk mendapatkan nilai kalor optimum, kayu digunakan pada kondisi kering udara (kadar air 12%) dengan nilai kalor berkisar kkal/kg. Perbandingan nilai kalor kayu dibandingkan dengan batu bara yang digunakan dalam industri disajikan dalam Tabel 6 berikut ini : Tabel 6 Nilai kalor dan kadar abu tanaman yang ditanam di sekitar lokasi tambang dibandingkan dengan batu bara Parameter Jenis Kayu Kadar Air (%) Nilai Kalor (kkal/kg) Kadar Abu (%) Lamtoro (Leuchaena leucocephala) 10, ,78 Trembesi (Samanea saman) 10, ,92 Turi (Sesbandia grandiflora) 6, ,62 Gamal (Glirisidia maculate) 23, ,97 Angsana (Pterocarpus indica) 7, ,08 Sengon Buto (Enterolobium cylocarpum) ,08 Waru (Hibiscus tiliaceus) ,48 Gmelina (Gmelina arborea) ,47 Batu bara muda (lignite) 2, ,2 Batu bara 2, ,1 sampel diambil secara acak tanpa memperhatikan bagian kayu atau kulit. nilai kalor dan kadar abu merupakan rata-rata berdasarkan proporsi kayu dan kulit dan dimasukkan dalam rumus regresi pada kadar air 12%. Dari Tabel 6 di atas terlihat bahwa lamtoro pada kadar air 10,13% memiliki nilai kalor tertinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya. Sedangkan kayu trembesi dengan kadar air 10,36 % memiliki nilai kalor terendah yaitu kkal/kg. Sementara itu, angsana memiliki kadar abu tertinggi yaitu 9,08 %, namun nilai ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar abu batu bara muda sebesar 19,2 %. Nilai kalor sengon buto, waru dan gmelina pada kondisi kering udara (kadar air 12%) berdasarkan proporsi kayu dan kulit berada pada kisaran kkal/kg dengan kadar abu berada pada kisaran 1%. Batu bara dengan kualitas lebih baik memiliki nilai kalor kcal/kg pada kadar air 2,1 % dan kadar abu yang lebih kecil, yaitu 18,1 % Analisis Persentase Bahan Bakar yang dapat disubstitusi oleh Kayu. Tanaman digunakan sebagai kayu energi dengan dua alasan, yaitu riap pertumbuhan dan nilai kalor yang tinggi. Diantara jenis tanaman yang memiliki riap yang tinggi adalah jeunjing (Paraserianthes falcataria), yaitu 37,3 m 3 /ha/tahun, ki hujan (Samanea saman), yaitu 30,0 m 3 /ha/tahun. Tanaman lainnya

8 32 adalah kaliandra merah memiliki riap m 3 /ha/tahun (Lampiran 3). Pada percobaan jenis pohon kayu bakar yang ditanam di Gunung Bromo pada ketinggian ± 250 mdpl, jenis tanah latosol coklat, tipe iklim C dan curah hujan rata-rata tahunan 2000 mm. Pada umur 3 tahun, jenis yang tergolong memiliki pertumbuhan yang cepat adalah Gmelina arborea (280,67cm), yang pertumbuhannya sedang adalah Eucalyptus degulpta (176,67cm) dan yang termasuk rendah adalah Eucalyptus Alba (164,33cm) (Rostiwati, 2006). Sementara itu, hasil penelitian Asmarahman (2008) pada persemaian jenis pohon kayu bakar yang ditanam menggunakan media tanah pasca tambang menunjukkan hasil bahwa pada pengukuran diameter tanaman umur 4 bulan, sengon buto menunjukkan pertumbuhan diameter 2 kali lipat dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Jenis tanaman yang digunakan adalah sengon buto, lamtoro, kaliandra dan jeunjing dengan rata-rata pengukuran diameter tanaman pada umur 4 bulan berturut-turut adalah 5,46 cm, 2,10 cm, 1,72 cm dan 1,61 cm. Persentase nilai kalor kayu terhadap batu bara dihitung berdasarkan perhitungan potensi kayu lestari (dalam ton/th) yang ditanam pada areal seluas 850 Ha (Lampiran 8) kemudian dikalikan dengan rata-rata hasil pengukuran nilai kalor campuran antara kulit dan kayu pada ketiga jenis kayu. Hasil yang diperloleh kemudian dibandingkan dengan kebutuhan nilai kalor batu bara dalam setahun. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 7 berikut ini : Tabel 7 Proyeksi perhitungan kayu yang dapat mensubstitusi batu bara No. Uraian Sengon buto Waru Gmelina 1 Volume tebangan lestari (m 3 /th) Kerapatan kayu kering udara (kadar 0,55 0,65 0,62 air 12%) (g/cm 3 ) 3 Berat kayu kering udara (volume x kerapatan kayu) (ton). 4 Rata-rata nilai kalor kering udara, campuran kulit dan kayu (kkal/kg). 5 Nilai kalor yang dapat disubstitusi kayu pertahun (berat kayu x nilai kalor) (kkal) 1,27 x ,46 x ,43 x Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6 Berdasarkan kebutuhan batu bara selama setahun (data tahun 2006), yaitu sebesar ton dan menggunakan rata-rata nilai kalor kkal/kg, maka nilai kalor batu bara sebesar 2,9 x kkal/tahun. Jika dibandingkan dengan nilai

9 33 kalor kayu yang dapat di substitusi oleh kayu per tahun (Tabel 7), maka persentasenya terhadap nilai kalor batu bara disajikan pada Gambar 8 berikut ini : Gmelina 5,03% Waru 5,14% Sengon Buto 4,49% Gambar 8 Persentase nilai kalor kayu dibandingkan dengan nilai kalor batu bara per tahun Dari Gambar 8 diatas dapat dilihat bahwa persentase bahan bakar yang paling besar adalah jenis kayu gmelina, yaitu 5,14 %. Kayu waru dan sengon buto masing-masing memberikan kontribusi sebesar 5,03% dan 4,49% terhadap kebutuhan batu bara selama setahun. Persentase ini dipengaruhi oleh perhitungan jatah tebang lestari, kerapatan dan nilai kalor. Kayu sengon buto memiliki volume tebangan lestari terbesar yaitu m 3 /th, tetapi karena kerapatan dan nilai kalornya kecil, persentase terhadap kebutuhan batu bara menunjukkan nilai paling kecil yaitu dibandingkan dengan kedua jenis lainnya Analisis Teknis Kayu Sebagai Bahan Bakar di Pabrik Semen Kegiatan percobaan teknis pencampuran kayu dengan batu bara mulai dilakukan pada tanggal 27 Juni Kayu yang digunakan pada percobaan teknis adalah kayu sengon buto dan beberapa jenis lainya seperti lamtoro, trembesi, gamal, waru dan gmelina (selengkapnya seperti yang telah disajikan pada Tabel 6). Semua jenis kayu yang digunakan tersedia di sekitar areal pertambangan, hasil penghijauan yang dilakukan sejak tahun Bentuk kayu yang akan di campur pada proses pembakaran adalah bentuk chip. Oleh karena itu, setelah kayu ditebang (Gambar 9), selanjutnya dijadikan chip dengan menggunakan wood chipper produksi lokal yang memiliki kapasitas yang

10 34 terbatas. Dengan alat ini, dibutuhkan waktu 8 jam untuk mempersiapkan 1 ton chip kayu (dari proses penebangan sampai kayu menjadi chip). Wood chipper dengan kapasitas 3 15 ton/jam (Gambar 10) pada saat percobaan ini dilaksanakan sedang dalam proses pengadaan. Gambar 9 Potongan kayu Sengon buto umur 4 tahun Gambar 10 Wood chipper tipe CH260HF (inset : chip kayu) Chip yang dihasilkan dari wood chipper masih memiliki kadar air yang cukup tinggi (diatas 40%), oleh karena itu dilakukan proses pengeringan untuk mendapatkan kadar air kering udara. Pengeringan dilakukan di gudang penyimpanan selama 7 hari. Gudang penyimpanan dibuat dengan ukuran panjang

11 35 dan lebarnya 20 x 8 meter dengan tinggi tiang atap 4 meter. Sebelum dicampur dengan batu bara, sampel chip kayu di ukur kadar air dan nilai kalornya. Pengukuran kadar air dan nilai kalor pada pabrik semen adalah kegiatan periodik. Setiap ada perubahan komposisi bahan bakar maupun stok batu bara yang baru masuk selalu di ukur nilai kalornya. Hal ini dilakukan untuk memprediksi nilai kalor total yang dibutuhkan selama proses pembakaran. Kayu merupakan bahan yang higroskopis, yaitu mudah menyerap dan melepaskan air. Oleh karena itu untuk mencegah agar kayu tidak basah oleh air hujan secara langsung, gudang penimbunan kayu dibuat menggunakan atap. Berbeda dengan batu bara yang tidak mudah menyerap air, penyimpanannya dapat dilakukan pada tempat terbuka tanpa atap (Gambar 11 dan 12). Gambar 11 Gudang penyimpanan kayu. Gambar 12 Tempat penimbunan batu bara.

12 36 Proses pencampuran bahan bakar substitusi dengan batu bara dimaksudkan untuk menjawab tantangan tersendatnya proses distribusi dan semakin mahalnya batu bara dengan tahap awal substitusi adalah 5%. Persentase substitusi ini pada tahun mendatang diharapkan semakin besar untuk menurunkan biaya produksi (Bertschinger, 2006). Hasil percobaan teknis pemasukan kayu kedalam proses pembakaran bersama batu bara menggunakan target substitusi 3%, chip kayu yang harus disediakan sebanyak 1 ton chip kayu tiap jam, selengkapnya disajikan pada Tabel 8 berikut ini : Tabel 8 Hasil percobaan pembakaran kayu No. Uraian Keterangan/ Ukuran 1 Total kayu yang dibuat chip 6 ton 2 Rata-rata pemasukan kayu 1 ton/jam 3 Waktu Pembakaran 5 jam ( ) 4 Persentase kayu terhadap batu bara 3,07 % 5 Rata-rata kalori chip 4000 kkal/kg 6 Rata-rata kadar air chip 12% Dari Tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa selama proses percobaan pembakaran, yaitu dari jam sampai sebanyak kurang lebih 6 ton kayu dibakar bersama batu bara. Persentase kayu yang dibakar secara keseluruhan adalah 3,07% dari total batu bara yang dibakar selama 5 jam. Rata-rata nilai kalor terukur adalah kkal/kg. Nilai kalor ini diambil sesaat sebelum kayu dimasukkan dalam ruang pembakaran. Hasilnya adalah selama proses percobaan pembakaran tidak ada permasalahan secara teknis. Volume kayu juga tidak memberikan masalah pada proses pembakaran, karena ruang pembakaran masih cukup besar untuk menampung campuran kayu dan batu bara Analisis Ekonomis Pengusahaan Hutan Kegiatan penanaman hutan untuk penyediaan kayu energi adalah investasi tipikal, yaitu pembiayaan besar pada awal tahun, proses produksi yang lamanya bertahun-tahun dan dibayangi oleh ancaman kegagalan, serta hasil kegiatannya baru diperoleh sekian tahun setelah ditunggu. Untuk itu perlu dilakukan analisis awal atau pertimbangan terhadap prospek investasi tersebut. Proses analisis adalah melihat side back (kebelakang) dan sekaligus kedepan. Harapannya adalah pemilihan teknik yang tepat akan menghasilkan profit yang optimal. Faktor-faktor

13 37 yang dapat menentukan prospek investasi pada kegiatan penanaman antara lain adalah kepastian lahan usaha, luas lahan, skala investasi dan teknologi yag diperlukan (Sumitro, 2003). Ciri ilmu ekonomi produksi adalah adanya masukan (input) yang diproses (control) menjadi keluaran (output) dan terlacak hubungannya secara fungsional dan kuantitatif. Hubungan tersebut ada yang sederhana antara masukan tungal (single input) dengan keluaran tunggal (single output), ada yang satu masukan dan keluaran ganda (multiple output) seperti pada agroforestry atau hutan serbaguna (Sumitro, 2003). Masukan tetap untuk hutan tanaman antara lain pembibitan, penanaman dan pemeliharaan yang dikeluarkan pada awal-awal tahun, biaya tahunan berupa gaji, pajak dan lain-lain yang dikeluarkan tiap tahun; sedangkan biaya variabelnya adalah waktu dari saat penanaman sampai panenan. Pada kegiatan penanaman hutan, waktu menjadi sangat penting dan merupakan masukan satu-satunya. Waktu adalah biaya yang dikontribusikan untuk budidaya hutan berupa bunga modal. Modal diinvestasikan di hutan tanaman dengan laju pertumbuhan tertentu (riap/th), analog dengan modal yang diinvestasikan di deposito bank yang menghasilkan bunga yang tumbuh dengan laju tertentu. Investasi di hutan tanaman dipantau tiap tahun mengenai volume, tinggi dan diameter pohon. Volume pohon merupakan suatu yang unik, karena berbeda pada tiap tapak (tempat tumbuh) yang berbeda. Oleh karena itu, pengukuran real perlu dilakukan untuk mendapatkan volume kayu yang valid. Kayu sengon buto memiliki pertumbuhan yang sangat baik di daerah sekitar tambang dibandingkan tanaman lainnya. Hasil pengukuran volume kayu yang ditanam di sekitar pabrik semen pada disajikan pada Tabel 9 berikut ini : Tabel 9 Rata-rata volume kayu yang ditanam di sekitar tambang (m 3 /ha) Jenis Kayu Umur Sengon Buto 152,2 223,7 437,3 Waru 97,8 198,3 334,5 Gmelina 120,3 213,8 382,4 Batu bara yang disediakan oleh produsen memiliki kisaran nilai kalor yang sangat bervariasi, yaitu antara kkal/kg sampai 6500 kkal/kg. Harganya pun

14 38 bervariasi antara Rp sampai Rp /ton sesuai dengan nilai kalornya (Budhiwijayanto, 2008). Untuk mendapatkan harga kayu yang sesuai, dilakukan perhitungan perbandingan harga kayu berdasarkan nilai kalornya. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Perbandingan harga kayu dan batu bara berdasarkan nilai kalornya Batu bara Kebutuhan/th (ton) Harga (Rp./ton) Harga/th (axb) Nilai kalor (kkal/kg) Nilai kalor total (axd) (a) (b) (c) (d) (e) M ,84 x10 12 kkal Kayu Kebutuhan/th (ton) (i/f) Harga (Rp./ton) (h/g) 5% dari harga batubara/th (5% x c) Nilai kalor (kkal/kg) 5% dari kalor total batubara (5% x e) (g) (h) (f) (i) ,86 M ,42 x10 11 kkal Keterangan : Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil perhitungan yang disederhanakan pada Tabel 10 diatas menunjukkan bahwa jika menggunakan harga batu bara Rp /ton dengan nilai kalor sebesar kkal/kg, maka harga yang sesuai untuk kayu dengan nilai kalor sebesar kkal/kg adalah Rp /ton. Satu ton kayu sengon buto kering udara (kadar air 12%) dengan kerapatan kering udara 0,55 g/cm 3 setara dengan 1,63 m 3 kayu sengon buto. Jika menggunakan harga kayu Rp /ton, maka harga kayu sengon buto per m 3 adalah Rp Berdasarkan data potensi kayu sengon buto dan perhitungan harga kayu dibuat analisis arus kas hutan tanaman. Analisis ini menunjukkan biaya dan pendapatan pengusahaan hutan tanaman selama periode daur yang telah ditentukan (dalam kasus ini adalah 5 tahun). Potensi volume kayu per hektar yang digunakan dalam analisis arus kas adalah 300 m 3 /ha (nilai konservatif pada Tabel 9) dan harga yang ditetapkan untuk kayu per m 3 adalah Rp (nilai konservatif pada Tabel 10). Arus kas selengkapnya disajikan pada Tabel 11. Metode NPV (Net Present Value) dilakukan dengan menghitung selisih antara nilai investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih. Penilaian kelayakan investasi dengan metode ini digunakan sebagai alat bantu dalam penilaian investasi dengan metode Profitability Index (PI) atau metode Benefit Cost Ratio (BCR) (Arifin, 2007).

15 39 Tabel 11 Arus kas hutan tanaman sengon buto rotasi 5 tahun (xrp /ha) No. Uraian Tahun I. Pendapatan 1. Produksi/ha 300m 3 2. Harga Rp /m 3 Penerimaan Jumlah nominal pendapatan Present value pada bunga 9% Present value pada bunga 15% II. Biaya A. Perencanaan 1. Rencana tahunan Pemetaan 500 B. Pembuatan Tanaman 1. Pembuatan bibit Penyiapan lahan Penanaman C. Pemeliharaan 1. Tahun Tahun D. Kewajiban Pada Lingkungan Sosial Pembangunan sosial masyarakat E. Kegiatan Pendukung Lainnya 1. Pengendalian bencana Penelitian dan Pengembangan Pemeliharaan prasarana G. Investasi 1. Tata batas Jalan dan prasarana lainnya H. Pemanenan Biaya Pemanenan Transportasi F. Wood Chipper 1. Pengadaan Wood Chipper Pemasangan Biaya Penyusutan Alat Pembuatan Gudang 18 Jumlah nominal biaya Present value pada bunga 9% Present value pada bunga 15% Future value pada bunga 15%

16 40 Metode Profitability Index (PI) atau Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan rasio aktifitas dari jumlah nilai sekarang penerimaan bersih dengan nilai sekarang pengeluaran investasi selama umur investasi (Kasmir dan Jakfar, 2003). Jika menggunakan Present Value (PV) penerimaan bersih dan PV pengeluaran investasi selama umur investasi (Tabel 11), maka NPV pada suku bunga 9% adalah sebagai berikut : NPV (9%, 5 tahun) adalah : = [ ( )] x = [ ] x = Rp Sehingga BCR (9%, 5 tahun) adalah : = (32.172/15.565) = 2,07 Hasil perhitungan NPV dan BCR pada suku bunga 9 % dan 15 % selengkapnya disajikan pada Tabel 12 berikut ini : Tabel 12 Perhitungan NPV dan BCR NPV PV (9%, 5th) (PV, th 1,5) NPV BC 9% BC 15% Pada suku bunga 9% (5 tahun) ,07 Pada suku bunga 15% (5 tahun) ,79 Dari Tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa kebutuhan dana investasi (PV, tahun 1 5) adalah sebesar Rp /ha pada suku bunga 9%. Jika menggunakan rata-rata potensi kayu bakar 300m 2 /ha (diambil dari nilai konservatif pada Tabel 9), maka kebutuhan dana investasi adalah Rp /m 3 (Rp /ton). Jika dibandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan untuk membeli 1 ton kayu (Rp ) (Tabel 10), maka penghematan menjalankan program ini adalah Rp. 6,8 milyar per tahun (Tabel 13). Tabel 13 Kebutuhan investasi dan nilai penghematan menjalankan program penanaman kayu energi PV, th 1,5 Biaya/ton (Rp) Nilai penghematan (Rp) Suku bunga 9% Suku bunga 15% Kelemahan yang ada pada perhitungan NPV dan BCR adalah masa depan investasi maupun hutannya (kelestarian) adalah ketidakpastian yang bersifat eksternal (tidak terjangkau oleh kendali manajemen). Ketidakpastian tersebut antara lain adalah harga, ancaman hama penyakit, kemarau panjang dan lainnya

17 41 (Sumitro, 2003). Oleh karena itu diperlukan suatu analisis kepekaan (sensitivity analysis). Misalkan diambil sebagai variabel ketidakpastian adalah harga dan produksi. Dengan asumsi faktor lain tetap, maka pengaruh perubahan produksi terhadap BCR disajikan pada Tabel 14 berikut ini : Tabel 14 BCR (15%, 5 tahun) dengan berbeda harga dan produksi Produksi (m 3 /ha) Harga (Rp. X 1.000) ,81 1,36 1, ,36 2,26 3, ,90 3,16 4,43 Dari tabel 14 diatas dapat dilihat ada 9 alternatif BCR dengan nilai terkecil 0,81 dan terbesar adalah 4,43. Pada analisis ini yang penting bukanlah angka BCR tetapi pengaruh goyangan harga dan produksi terhadap BCR apakah sampai berakibat BCR kurang dari 1 dan kalau di atas 1 berarti masih aman. Pada Tabel 13 dapat dilihat nilai BCR kurang dari 1 pada saat harga dan produksi berada pada kondisi yang paling rendah. Oleh karena itu jika biaya produksi meningkat, maka produksi pemanenan diupayakan ditingkatkan sehingga BCR tetap diatas angka 1 yang berarti program masih menguntungkan secara ekonomi. Pada program penanaman lahan untuk kayu energi, analisis ini hanya digunakan sebagai pertimbangan apakah kegiatan pengusahaan itu selalu menguntungkan atau suatu saat mengalami kegagalan karena faktor eksternal diluar kendali manajemen. Namun, jika program mengalami kegagalan dimana biaya produksi menjadi sangat tinggi dan memberatkan perusahaan, maka nilai manfaat citra perusahaan dan perbaikan kualitas lingkungan tetap menjadi pertimbangan utama untuk tetap melaksanakan program ini Analisis Ekonomi Kegiatan Sosial Masyarakat Bentuk kegiatan bersama dalam penanaman tanaman yang sudah sering dilakukan antara lain adalah tumpangsari (agroforestry) dan wanatani. Umumnya berupa produksi bersama (joint production) antara tanaman pertanian, pangan, buah-buahan oleh dan untuk petani di lahan (jalur) yang disediakan, sedangkan lahan atau jalur tanaman utama oleh dan untuk perusahaan. Kategori lainnya juga seperti berbagi hasil hutan (bukan lahan) dimana masyarakat sekitar berkontribusi

18 42 dalam mengelola tanaman utama dan menjaga dan memelihara dari pencurian, perambahan dan kebakaran, sedangkan bagi hasilnya adalah mendapatkan maksimum 25% hasil panen dari tebangan. Kendala utama dalam kategori ini adalah tidak menarik bagi masyarakat, karena bagi masyarakat, yang menarik adalah pendapatan tunai (cash income) sehari-hari (Soemitro, 2003). Tahap awal kegiatan bersama masyarakat (KBM) untuk penyediaan kayu energi di areal pertambangan PT. Holcim menggunakan teknik tumpang sari pada areal seluas 35 Ha dan melibatkan masyarakat desa Nambo dan Lulut. Rincian petani, jumlah desa dan jumlah tanaman yang akan ditanam disajikan pada Tabel 15 berikut ini : Tabel 15 Nama Desa dan jumlah petani yang terlibat kegiatan penananaman kayu energi tahap pertama (September 2007 sampai Desember 2007) No. Nama Desa Jumlah Penggarap Jumlah Tanaman 1 Lulut Nambo Pengelolaan dengan teknik agroforestry didasarkan pada teknik analisis Benefit-Cost Ratio sosial ekonomi dimana benefit bagi perusahaan, salah satu unsurnya adalah kerugian yang dapat dihindarkan (loss avoided) oleh upaya (cost) untuk itu. Dalam program pengelolaan bersama masyarakat, yang tercakup dalam manfaat (benefit) adalah : 1. Manfaat bagi perusahaan (dengan Net Present Value pada tingkat suku bunga 15%, daur 5 tahun, seperti yang telah disajikan pada Tabel 11). a. Kerugian yang dapat terhindar atas hilangnya produksi (lahan akan menganggur). Diasumsikan 60% dari hasil panen = 0,6 x 24,6 juta/ha = Rp. 14,766 juta/ha. b. Perbaikan kualitas lingkungan di sekitar pertambangan diasumsikan sebagai benefit 20% dari hasil panen (0,2 x 24,6 juta/ha = 4,9 juta/ha) c. Peningkatan citra dan simpati kepada perusahaan dari pemerintah dan masyarakat umum, diasumsikan 10% terhadap pendapatan = 0,1 x 24,6 juta/ha = Rp /Ha. d. Kemudahan mendapatkan bahan bakar substitusi, diasumsikan 2% terhadap pendapatan = 0,02 x Rp. 24,6 juta/ha = Rp /Ha.

19 43 2. Biaya bagi perusahaan. a. Tambahan biaya overhead petugas dan bahan yang diperlukan untuk kewajiban sosial dan keamanan, sekitar Rp /ha. b. Tambahan biaya overhead petugas dan bahan yang diperlukan untuk pemeliharan tanaman, sekitar Rp /ha. c. Resiko kegagalan program, diasumsikan 20% terhadap hasil panen = 0,2 x 24,6 juta/ha = 4,922 juta/ha Dengan demikian, BCR program ini bagi perusahaan adalah Rp Rp Rp Rp dibagi Rp Rp Rp = Rp /Rp = 3, Manfaat bagi masyarakat a. Upah dari pembuatan hutan sebesar Rp /ha. b. Kesempatan kerja di tebangan sebanyak Rp /m 3 x 300 m 3 /ha = Rp Dikurangi opportunity cost kerja di tempat lain, jadi tinggal 60% x Rp = Rp c. Fee Rp /m 3 hasil panen atau Rp x 300 m 3 /ha Rp /ha (rotasi 5 tahun). 4. Biaya bagi masyarakat a. Hilangnya kebebasan karena mengikuti aturan perusahaan diasumsikan 2% terhadap biaya = 0,02 x Rp = Rp b. Sisa-sisa ketidaksenangan dan kekecewaan masyarakat terhadap perusahaan diasumsikan 20 % dari biaya operasional = 0,2 x Rp = Rp /ha. Jadi BCR pada program ini bagi masyarakat adalah Rp / Rp = 8,37 Dari perhitungan diatas, ternyata BCR bagi masyarakat lebih tinggi dari program perusahaan, walaupun perusahaan harus memberikan biaya bulanan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan keinginan masyarakat yang menginginkan pendapatan tunai (cash income) bulanan. Analisis perhitungan ini dapat dijadikan sebagai pendekatan kuantitatif dalam menetapkan dasar kegiatan penyediaan kayu energi bersama masyarakat.

ANALISIS NILAI KALOR DAN KELAYAKAN EKONOMIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI BATU BARA DI PABRIK SEMEN 1)

ANALISIS NILAI KALOR DAN KELAYAKAN EKONOMIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI BATU BARA DI PABRIK SEMEN 1) Analisis Nilai Kalor Dan Kelayakan Ekonomis Kayu Sebagai Bahan Bakar (T.D. Cahyono et al.) ANALISIS NILAI KALOR DAN KELAYAKAN EKONOMIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI BATU BARA DI PABRIK SEMEN 1) (Heat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pabrik Semen PT. Holcim, Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas

Lebih terperinci

Aspek Thermofisis Pemanfaatan Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): (20) Tekat DWI CAHYONO 1, Zahrial COTO 2, Fauzi FEBRIANTO 3

Aspek Thermofisis Pemanfaatan Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): (20) Tekat DWI CAHYONO 1, Zahrial COTO 2, Fauzi FEBRIANTO 3 5 ASPEK THERMOFISIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI DI PABRIK SEMEN Thermophisic Aspect of Wood Utilization as Substitution Fuel at Cement Factory Tekat DWI CAHYONO, Zahrial COTO 2, Fauzi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen Sukabumi (PT

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kering tanur (BKT). Hasil perhitungan kadar air pohon jati disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian

Lebih terperinci

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) 6.1. Analisis Nilai Tambah Jenis kayu gergajian yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kayu pada industri penggergajian kayu di Kecamatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 10 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama satu

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL Kelayakan aspek finansial merupakan analisis yang mengkaji kelayakan dari sisi keuangan suatu usaha. Aspek ini sangat diperlukan untuk mengetahui apakah usaha budidaya nilam

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikirian Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. KERANGKA TEORI 2.1.1. Pengertian Studi Kelayakan Bisnis Studi Kelayakan bisnis adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang kegiatan atau usaha atau bisnis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 km 2 yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 km 2 yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 km 2 yang terdiri dari 17 Kecamatan dan 237 Desa, dan 6 Kelurahan definitif. Wilayah Serdang Bedagai di sebelah

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas)

IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas) 17 IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas) Nilai ph merupakan ukuran konsentrasi ion-h (atau ion-oh) dalam larutan yang digunakan untuk menentukan sifat keasaman, basa

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Mekar Unggul Sari, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Policy ISSN : 2085-787X Volume 4 No. 4 Tahun 2010 Daftar Isi Ringkasan 1 Latar

Lebih terperinci

BAB VII KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

BAB VII KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL BAB VII KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Analisis Aspek Finansial Aspek finansial adalah aspek yang mengkaji dari sisi keuangan perusahaan. Kelayakan pada aspek financial dapat diukur melalui perhitungan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman sagu (Metroxylon sago) merupakan tanaman yang tersebar di Indonesia, dan termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, marga Metroxylon, dengan ordo

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan 47 PEMBAHASAN Pemangkasan merupakan salah satu teknik budidaya yang penting dilakukan dalam pemeliharaan tanaman kakao dengan cara membuang tunastunas liar seperti cabang-cabang yang tidak produktif, cabang

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian studi kelayakan usaha pupuk kompos pada Kelompok Tani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat namun belum sebanding dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU Jenis Bambang Lanang Analisis Ekonomi dan Finansial Pembangunan Hutan Tanaman penghasil kayu Jenis bawang Analisis

Lebih terperinci

SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu

SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu KARYA TULIS SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu Disusun Oleh: APRI HERI ISWANTO, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 844 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pada potensi hutan rakyat yang terdapat di desa/kelurahan yang bermitra dengan PT. Bina Kayu Lestari Group.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Usaha 4.1.1 Sejarah Perusahaan UKM Flamboyan adalah salah satu usaha kecil menengah yang mengolah bahan pertanian menjadi berbagai macam produk makanan olahan.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kelayakan Usahatani Buah Naga Buah naga merupakan tanaman tahunan yang sudah dapat berbuah 1 tahun sampai dengan 1,5 tahun setelah tanam. Buah naga memiliki usia produktif

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Petani yang mengikuti program Koperasi Hutan Jaya Lestari di Desa Lambakara ini berjumlah 579 orang. Untuk pengambilan sampel digunakan statistik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum. 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FINANSIAL

VII. ANALISIS FINANSIAL VII. ANALISIS FINANSIAL Usaha peternakan Agus Suhendar adalah usaha dalam bidang agribisnis ayam broiler yang menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Skala usaha peternakan Agus Suhendar

Lebih terperinci

INOVASI TEKNOLOGI KOMPOS PRODUK SAMPING KELAPA SAWIT

INOVASI TEKNOLOGI KOMPOS PRODUK SAMPING KELAPA SAWIT INOVASI TEKNOLOGI KOMPOS PRODUK SAMPING KELAPA SAWIT Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Teknologi kompos dari tandan kosong sawit INOVASI TEKNOLOGI Tandan kosong sawit (TKS) merupakan limbah pada pabrik

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG LAMPIRAN 83 Lampiran 1. Kuesioner kelayakan usaha KUESIONER PENELITIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Untuk perencanaan pembangunan kebun/usaha baru harus melalui tahap-tahap : (1) Identifikasi Proyek (IP)

Untuk perencanaan pembangunan kebun/usaha baru harus melalui tahap-tahap : (1) Identifikasi Proyek (IP) MANAJEMEN PRODUKSI Untuk perencanaan pembangunan kebun/usaha baru harus melalui tahap-tahap : (1) Identifikasi Proyek (IP) (2) Pra Studi Kelayakan (Pra-SK/Pre Feasibility Study) (3) Studi Kelayakan (SK/Feasibility

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kota depok yang memiliki 6 kecamatan sebagai sentra produksi Belimbing Dewa. Namun penelitian ini hanya dilakukan pada 3 kecamatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT ANALISIS FINANSIAL PERBANDINGAN USAHA HUTAN RAKYAT MONOKULTUR DENGAN USAHA HUTAN RAKYAT CAMPURAN (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

ASPEK KEUANGAN. Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M.

ASPEK KEUANGAN. Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M. ASPEK KEUANGAN Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M. PENDAHULUAN Aspek keuangan merupakan aspek yang digunakan untuk menilai keuangan perusahaan secara keseluruhan. Aspek keuangan memberikan gambaran

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang.

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang. 42 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dalam upaya mengembangkan usaha bisnisnya, manajemen PT Estika Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang. Langkah pertama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Kopi (Copea spp.) dikenal sebagai bahan minuman yang memiliki aroma harum, rasa nikmat yang khas, serta dipercaya memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sektor industri merupakan salah satu sektor pada bidang ekonomi dan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meningkatkan perekonomian nasional. Berdirinya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu sengon, karet, tusam,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Gula merah tebu merupakan komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula. Gula merah tebu dapat menjadi pilihan bagi rumah tangga maupun industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penurunan produktivitas hutan alam telah mengakibatkan berkurangnya suplai hasil hutan kayu yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri kehutanan. Hal ini mendorong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian dari bibit tanaman lokal

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA 10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele phyton, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Analisis Kelayakan Usaha Analisis Kelayakan Usaha atau disebut juga feasibility study adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. keputusan investasi TI, tentunya perusahaan mengharapkan hasil berupa

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. keputusan investasi TI, tentunya perusahaan mengharapkan hasil berupa BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Manfaat (Benefit) yang Diperoleh Perusahaan Manfaat adalah suatu pengukuran hasil kinerja yang dapat dicapai dalam pengambilan keputusan terhadap hal tertentu. Sama halnya

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI 5.1 PENDAHULUAN Pengembangan usaha pelayanan jasa pengeringan gabah dapat digolongkan ke dalam perencanaan suatu kegiatan untuk mendatangkan

Lebih terperinci

MK. Biometrika Hutan Hari, tanggal : 16 Desember 2013 Kelas : Kamis ( ) Kelompok : 11

MK. Biometrika Hutan Hari, tanggal : 16 Desember 2013 Kelas : Kamis ( ) Kelompok : 11 MK. Biometrika Hutan Hari, tanggal : 16 Desember 2013 Kelas : Kamis (07.00-10.00) Kelompok : 11 MODEL PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT NYAMPLUNG DENGAN SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU BIOFUEL Disusun

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Proyek merupakan suatu kegiatan untuk membangun sistem yang belum ada. Sistem dibangun dahulu oleh proyek, kemudian dioperasionalkan

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikirian Teoritis Penelitian tentang analisis kelayakan yang akan dilakukan bertujuan melihat dapat tidaknya suatu usaha (biasanya merupakan proyek atau usaha investasi)

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Domba Tawakkal, yang terletak di Jalan Raya Sukabumi, Desa Cimande Hilir No.32, Kecamatan Caringin, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kayu Pohon sebagai tumbuhan membutuhkan air untuk proses metabolisme. Air diserap oleh akar bersama unsur hara yang dibutuhkan. Air yang dikandung dalam kayu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh yang dipilih dalam program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) karena memiliki produktivitas yang tinggi dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU YAYASAN SEKA APRIL 2009 RANGKUMAN EKSEKUTIF Apa: Untuk mengurangi ancaman utama terhadap hutan hujan dataran rendah yang menjadi

Lebih terperinci

KELAYAKAN FINANSIAL BUDIDAYA POHON PENGGANTI SONOR

KELAYAKAN FINANSIAL BUDIDAYA POHON PENGGANTI SONOR KELAYAKAN FINANSIAL BUDIDAYA POHON PENGGANTI SONOR Oleh: Mamat Rahmat dan Bastoni 1) 2) ABSTRAK Sonor adalah pola penanaman padi pada lahan gambut yang sudah terbakar. Persiapan lahan sonor dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN II.1 Tinjauan Pustaka Tanaman jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan tanaman buah daerah tropis dan dapat juga tumbuh

Lebih terperinci

IV. DESKRIPSI USAHA PENGOLAHAN TEPUNG UBI JALAR

IV. DESKRIPSI USAHA PENGOLAHAN TEPUNG UBI JALAR IV. DESKRIPSI USAHA PENGOLAHAN TEPUNG UBI JALAR 4.1 Gambaran Umum Kelompok Tani Hurip Kelompok Tani Hurip terletak di Desa Cikarawang Kecamatan Darmaga. Desa Cikarawang adalah salah satu Desa di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini BAB V PEMBAHASAN 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini diperuntukan untuk perkebunan dan budidaya. Disebelah timur lokasi tambang pada jarak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS BIAYA PRODUKSI Analisis biaya dilakukan mulai dari pemeliharaan tanaman, panen, proses pengangkutan, proses pengolahan hingga pengepakan. 1. Biaya Perawatan Tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

KELAYAKAN EKONOMI BENDUNGAN JRAGUNG KABUPATEN DEMAK

KELAYAKAN EKONOMI BENDUNGAN JRAGUNG KABUPATEN DEMAK Kelayakan Ekonomi Bendungan Jragung Kabupaten Demak (Kusumaningtyas dkk.) KELAYAKAN EKONOMI BENDUNGAN JRAGUNG KABUPATEN DEMAK Ari Ayu Kusumaningtyas 1, Pratikso 2, Soedarsono 2 1 Mahasiswa Program Pasca

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO

ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO ASPEK INVESTASI UU & PERATURAN BIDANG USAHA STRATEGI BISNIS KEBIJAKAN PASAR LINGKUNGAN INVESTASI KEUANGAN TEKNIK & OPERASI ALASAN INVESTASI EKONOMIS Penambahan Kapasitas

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. berasal dari luar negeri yang beriklim sedang (sub tropis). Menurut sejarahnya, tanaman

II.TINJAUAN PUSTAKA. berasal dari luar negeri yang beriklim sedang (sub tropis). Menurut sejarahnya, tanaman II.TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Agronomis Wortel atau Carrot (Daucus carota L.) bukan tanaman asli Indonesia,melainkan berasal dari luar negeri yang beriklim sedang (sub tropis). Menurut sejarahnya, tanaman

Lebih terperinci

Mulai. Perancangan bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Pengukuran bahan yang akan digunakan

Mulai. Perancangan bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Pengukuran bahan yang akan digunakan Lampiran 1. Flow chart pelaksanaan penelitian Mulai Perancangan bentuk alat Menggambar dan menentukan dimensi alat Memilih bahan Pengukuran bahan yang akan digunakan Dipotong, dibubut, dan dikikir bahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 16 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Usaha pengembangan kerupuk Ichtiar merupakan suatu usaha yang didirikan dengan tujuan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Melihat dari adanya peluang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit III. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kuantitatif, yang banyak membahas masalah biayabiaya yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit yang diterima, serta kelayakan

Lebih terperinci

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan pembesaran ikan lele sangkuriang kolam terpal. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam aspek finansial

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam hal ini adalah kayu dan modal produksi. Untuk itu maka terbentuk

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam hal ini adalah kayu dan modal produksi. Untuk itu maka terbentuk BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sistem Dinamika Potensi Pendapatan Hutan dapat dikatakan sebagai alat produksi sekaligus hasil produksi. Hutan sebagai alat produksi artinya hutan menghasilkan yang boleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air Berdasarkan analisis varian satu jalur terhadap variabel kadar air biji sorgum yang berasal dari posisi yang berbeda pada malai sorgum disetiap umur panennya menunjukkan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani kentang di daerah ini banyak memanfaatkan

Lebih terperinci