VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN
|
|
- Erlin Kartawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar menghitung angka kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata pendapatan perkapita (diproxy dari pengeluaran) dengan membagi total pengeluaran rumah tangga (makanan dan non makanan) dengan total jumlah anggota rumah tangga. Pendekatan ratarata perkapita ini belum mempertimbangkan perbedaan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi ekonomi rumah tangga (yang ditentukan oleh komposisi umur anggota rumah tangga). Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau Equivalence Scales (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumah tangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis. Dengan demikian pengeluaran perkapita dihitung dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan kecukupan kalori antara anak-anak dan orang dewasa. Metoda ini merupakan metoda alternatif disamping metoda melalui pendekatan rata-rata pendapatan perkapita untuk menghitung angka kemiskinan. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan tersebut untuk menghitung indeks kemiskinan dasar dan dampak kebijakan agroindustri terhadap pengurangan kemiskinan. Sudah barang tentu melalui dua pendekatan tersebut akan dihasilkan angka kemiskinan yang berbeda. Namun pembahasan analisis dalam penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan angka kemiskinan yang terjadi dengan dilakukannya berbagai kebijakan di sektor agroindustri. Selain itu pembahasan akan lebih difokuskan pada hasil
2 231 perhitungan melalui pendekatan rata-rata pendapatan per kapita agar diperoleh pembahasan yang searah dengan angka-angka kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS Persentase Rumah Tangga Miskin Nilai dasar indeks kemiskinan (headcount index) dan perubahan indeks kemiskinan menurut berbagai Skeenario kebijakan disajikan pada Tabel 40. Headcount index pada Skenario Dasar (sebelum dilakukan simulasi kebijakan) untuk rumah tangga secara agregat sebesar Angka ini menunjukkan proporsi penduduk yang memiliki pendapatan per kapita di bawah garis batas kemiskinan terhadap total populasi, yang dinyatakan sebagai persentase, adalah sebesar 17.4 persen. Garis batas kemiskinan yang digunakan mengikuti garis batas kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS untuk tahun 2002, yaitu daerah Tabel 40. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan (Headcount Index) Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 DAMPAK THD KEMISKINAN (%) 1 SIMULASI NP Buruh KEBIJAKAN Petani Rendah Rendah Tani Atas Desa Atas Kota Agregat Desa Kota DASAR PENGELUARAN PEM SK1 (Primer) SK2 (Mak) SK3 (Non mak) EKSPOR SK4 (Mak) SK5 (Non mak) SK6 (SK4+SK1) SK7 (SK5+SK1) INVESTASI SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11(SK10+Gprm-prior) SK12 (SK10+X prior) INSENTIF PAJAK SK13 (Mak) SK14 (Non mak) REDISTR PENDAP SK Nilai headcount index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing masing Skenario. 2 Nilai headcount index sebelum dilakukan simulasi.
3 232 perdesaan sebesar Rp per kapita per bulan, perkotaan Rp per kapita per bulan dan agregat Indonesia sebesar Rp per kapita per bulan. Angka kemiskinan untuk tahun yang sama, yaitu tahun 2002 yang diterbitkan oleh BPS sebesar 18.2 persen. Perbedaaan angka kemiskinan pada analisis ini dengan angka kemiskinan nasional disebabkan: (1) data yang digunakan dalam analisis ini adalah data SUSENAS yang berupa sampel, sementara untuk mewakili data tingkat nasional perlu dilakukan pembobotan, (2) SUSENAS tahun 2002 tidak termasuk empat provinsi, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Maluku, Maluku utara dan Papua, sementara angka kemiskinan tingkat nasional sudah memasukkan empat provinsi tersebut dengan angka estimasi. Jumlah penduduk miskin menurut golongan rumah tangga terbesar pada golongan rumah tangga buruh tani yaitu 23.5 persen dan golongan rumah tangga petani sebesar 19.8 persen. Rumah tangga non pertanian golongan rendah di desa memiliki angka kemiskinan yang lebih besar dibandingkan angka kemiskinan pada rumah tangga non pertanian golongan rendah di kota. Hal ini menunjukkan bahwa sumber kemiskinan di Indonesia berada di perdesaan. Sedangkan untuk rumah tangga non pertanian golongan atas di desa maupun di kota proporsi populasi miskin sebesar 4.7 persen dan 3.6 persen. Keberadaan penduduk miskin pada golongan rumah tangga golongan atas ini disebabkan pengelompokan rumah tangga yang digunakan untuk membangun neraca SNSE oleh BPS berdasarkan Klasifikasi Jenis Pekerjaan/Jabatan, bukan berdasarkan tingkat pendapatan. Dengan mengelompokkan berdasarkan jenis pekerjaan tersebut sebagai konsekuensi tidak semua rumah tangga golongan atas merupakan rumah tangga kaya atau berpendapatan di atas garis kemiskinan. Definisi dan pengelompokan masing-masing golongan rumah tangga disajikan pada Lampiran 2 dan lampiran 3). Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang dinyatakan sebagai perubahan indeks kemiskinan dari setiap Skenario terhadap Skenario Dasar konsisten dengan dampak kebijakan ekonomi terhadap pendapatan rumah tangga, yaitu peningkatan
4 233 investasi agroindustri yang dialokasikan ke agroindustri prioritas dan dikombinasikan dengan peningkatan ekspor agroindustri prioritas (SK12) merupakan skenario kebijakan yang menghasilkan penurunan tingkat kemiskinan paling besar dibandingkan skenario lainnya. Kebijakan tersebut dapat menurunkan tingkat kemiskinan pada golongan rumah tangga buruh tani sekitar 2.0 persen dari total populasi rumah tangga buruh tani. Secara umum kebijakan tunggal maupun kebijakan kombinasi peningkatan investasi agroindustri prioritas (SK 10, SK11 dan SK12) akan menurunkan angka kemiskinan lebih besar dibandingkan kebijakan lain meskipun mengkombinasikan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian prioritas dengan peningkatan investasi prioritas (SK 11 dan SK 10) tidak menghasilkan perbedaan dalam mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat diartikan penambahan pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor primer tidak cukup besar untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga mencapai garis batas kemiskinan. Apabila peningkatan investasi dialokasikan secara proporsional ke seluruh agroindustri makanan (SK8) dan agroindustri non makanan (SK9), akan menurunkan tingkat kemiskinan rumah tangga buruh tani lebih kecil, hanya sekitar 0.5 persen. Kebijakan peningkatan ekspor agroindustri makanan (SK4) dan non makanan (SK5) akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih kecil dibandingkan peningkatan investasi. Kebijakan gabungan peningkatan ekspor ke agroindustri makanan dan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian primer (SK6) mengurangi kemiskinan lebih besar dibandingkan apabila kebijakan dilakukan secara tunggal. Alternatif kebijakan lain adalah meningkatkan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri makanan (SK2) dan non makanan (SK3). Kebijakan ini relatif lebih fleksibel dan secara operasional lebih mudah dilakukan karena pemerintah memiliki keleluasaan dalam mengalokasikan sumberdya. Namun dampak kebijakan tersebut terhadap penurunan tingkat kemiskinan kurang menunjukkan pengaruh. Sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian primer (SK
5 234 1) menunjukkan dampak penurunan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor agroindustri. Kebijakan lain adalah melalui perpajakan (SK14). Pemberian insentif pajak agroindustri sebesar 10% ke agroindustri non makanan (SK14) akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih besar dibandingkan bila kebijakan ditujukan ke agroindustri makanan (SK13). Namun kebijakan ini menghasilkan dampak yang lebih kecil dibandingkan dengan kebijakan peningkatan investasi dan ekspor. Kebijakan terakhir (SK15) adalah melakukan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah (kelompok buruh tani, petani kecil dan rumah tangga golongan rendah di desa dan kota). Kebijakan ini efektif memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga dan mengurangi kemiskinan golongan rumah tangga buruh tani, petani dan golongan rendah, tetapi meningkatkan kemiskinan rumah tangga golongan atas di desa. Kebijakan ini juga secara agregat menurunkan output nasional (Tabel 31). Secara umum dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri menghasilkan penurunan tingkat kemiskinan lebih besar bagi rumah tangga buruh tani dan petani. Hal ini disebabkan dampak kebijakan tersebut akan menghasilkan marginal utility bagi golongan rumah tangga berpendapatan rendah yang lebih besar dibandingkan golongan rumah tangga lain. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa peningkatan investasi dan ekspor yang ditujukan ke agroindustri non makanan dapat menurunkan tingkat kemiskinan relatif lebih besar dibandingkan bila kebijakan yang sama ditujukan ke agroindustri makanan. Hal ini dapat dijelaskan melalui analisis jalur struktural (SPA) yang menunjukkan bahwa pengembangan sektor agroindustri non makanan pengaruhnya akan dipancarkan secara terbatas ke rumah tangga non pertanian setelah melewati sektor perdagangan, modal, sektor industri berat dan ringan dan tenaga kerja non pertanian baik di desa maupun di kota.
6 235 Apabila dicermati lebih lanjut meskipun pengaruh terbesarnya memancar hanya terbatas ke golongan rumah tangga non pertanian, besaran pengaruh yang dipancarkan dari faktor produksi tenaga kerja non pertanian ke rumah tangga menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan pengaruh yang dipancarkan dari tenaga kerja pertanian ke rumah tangga yang berasal dari pengembangan sektor agroindustri makanan. Tenaga kerja non pertanian dapat memancarkan kembali pengaruh yang jauh lebih besar ke rumah tangga non pertanian karena tenaga kerja non pertanian memiliki keterkaitan yang lebih luas dengan sektor non pertanian lain sehingga menghasilkan dampak pengganda jalur yang lebih besar. Dengan pancaran pengaruh yang lebih terbatas ke rumah tangga non pertanian namun dengan besaran pengaruh yang lebih besar maka pengembangan sektor agroindustri non makanan berdampak mengurangi kemiskinan yang lebih besar namun menghasilkan dampak yang lebih kecil terhadap distribusi pendapatan. Dengan menggunakan skala ekivalensi diperoleh angka kemiskinan headcount index yang lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan melalui rata-rata pendapatan perkapita (Lampiran 11). Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan menggunakan skala ekivalensi, indeks kemiskinan headcount untuk rumah tangga secara agregat sebesar 3.92, jauh lebih kecil dibandingkan dengan metoda yang digunakan oleh BPS sebesar 17.3 persen. Artinya bahwa pembobotan anak dalam menentukan pendapatan (diproxy dari pengeluaran) akan meghasilkan angka pendapatan perkapita yang lebih besar sehingga angka kemiskinan menjadi lebih kecil. Hal ini bisa disebabkan proporsi anak terhadap total anggota rumah tangga di Indonesia relatif tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan angka kemiskinan yang cukup tinggi tersebut adalah pada metode skala ekivalensi yang digunakan. Mengingat belum ada penelitian untuk menghitung skala ekivalensi yang sesuai untuk Indonesia, analisis ini menggunakan metoda yang dikembangkan oleh Cockburn (2002) yang telah digunakan di beberapa negara, terutama Australia, Nepal dan beberapa negara lain, namun belum tentu sesuai untuk Indonesia.
7 236 Oleh karena itu untuk memperoleh angka kemiskinan yang tepat, perlu dilakukan penyesuaian, terutama dalam hal metoda penghitungan skala ekivalensi yang digunakan. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa fokus bahasan dari penghitungan indeks kemiskinan dalam penelitian ini terutama pada perubahan indeks kemiskinan sebelum dan sesudah diberlakukan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri. Dari hasil analisis dengan menggunakan skala ekivalensi yang disajikan pada Lampiran 11, terlihat bahwa kebijakan yang ditujukan di sektor agroindustri menghasilkan perubahan kemiskinan yang searah dengan perubahan kemiskinan melalui pendekatan rata-rata pendapatan perkapita namun dengan besaran yang berbeda. Kebijakan yang menghasilkan pengaruh paling besar terhadap kemiskinan adalah kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas baik melalui kebijakan tunggal maupun kebijakan kombinasi pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer prioritas dan peningkatan ekspor agroindustri prioritas Kesenjangan Pendapatan Rumah Tangga Miskin Tabel 41 menunjukkan indeks poverty gap. Kebijakan agroindustri berdampak menurunkan indeks poverty gap dengan perubahan indeks yang lebih kecil dibandingkan perubahan headcount index. Indeks poverty gap terbesar pada kelompok buruh tani sebesar Indeks tersebut menjelaskan rata-rata kesenjangan pendapatan rumah tangga buruh tani terhadap garis batas kemiskinan, yang tidak lain merupakan proporsi antara perbedaan pendapatan masing-masing penduduk miskin dengan garis batas kemiskinan terhadap garis batas kemiskinan yang dinyatakan dalam persen. Semakin besar indeks menunjukkan kesenjangan pendapatan terhadap garis batas kemiskinan yang semakin besar. Kebijakan peningkatan investasi ke agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan ekspor ke agroindustri prioritas berdampak menurunkan indeks poverty gap paling besar dibandingkan kebijakan lainnya. Secara umum perubahan poverty gap sebagai dampak kebijakan agroindustri menunjukkan pola yang konsisten
8 237 seperti halnya perubahan headcount index yaitu kebijakan ekonomi ke sektor agroindustri non makanan menghasilkan perubahan poverty gap yang lebih besar dibandingkan kebijakan ke agroindustri makanan kecuali untuk dampak kebijakan investasi terhadap rumah tangga buruh tani dan petani. Tabel 41. Dampak Kebijakan Agroindustri Terhadap Poverty Gap Index Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 SIMULASI KEBIJAKAN Buruh Tani Petani DAMPAK THD KEMISKINAN (%) 1 Rendah Rendah Atas Desa Atas Kota Agregat Desa Kota DASAR PENGELUARAN PEM SK1 (Primer) SK2 (Mak) SK3 (Non mak) EKSPOR SK4 (Mak) SK5 (Non mak) SK6 (SK4+SK1) SK7 (SK5+SK1) INVESTASI SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+Gprm-prior) SK12 (SK10+X prt) INSENTIF PAJAK SK13 (Mak) SK14 (Non mak) REDISTR PENDAP SK Nilai poverty gap index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing masing skenario. 2 Nilai poverty gap index sebelum dilakukan simulasi. Penghitungan indeks poverty gap dengan menggunakan skala ekivalensi menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan indeks yang dihasilkan melalui metoda rata-rata pendapatan perkapita (Lampiran 12). Namun secara umum kebijakan di sektor
9 238 agroindustri menghasilkan penurunan kesenjangan pendapatan rumah tangga miskin. Kebijakan yang paling berpengaruh menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga miskin tersebut konsiten dengan hasil sebelumnya yaitu kebijakan peningkatan investasi agroindustri yang ditujukan ke agroindustri prioritas Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Miskin Indeks poverty severity menunjukkan seberapa parah kemiskinan rumah tangga atau menunjukkan distribusi pendapatan diantara rumah tangga miskin. Seperti halnya pada indeks headcount dan poverty gap kebijakan yang paling besar menurunkan indeks poverty severity adalah peningkatan investasi dikombinasikan dengan peningkatan ekspor agroindustri prioritas (SK12) kemudian diikuti dengan kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri prioritas yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer prioritas. Golongan rumah tangga yang paling terpengaruh dengan adanya kebijakan agroindustri adalah rumah tangga buruh tani. Artinya kebijakan agroindustri mempengaruhi distribusi pendapatan rumah tangga miskin pada golongan buruh tani yang menjurus pada distribusi pendapatan antar rumah tangga miskin yang merata. Namun kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah akan memperburuk distribusi pendapatan rumah tangga miskin golongan atas di desa dan di kota dan rumah tangga secara agregat (Tabel 42). Sedangkan indeks poverty severity melalui metoda skala ekivalensi disajikan pada Lampiran 13. Seperti halnya pada indeks headcount dan poverty gap kebijakan yang paling berpengaruh menurunkan indeks poverty severity adalah kebijakan kombinasi antara peningkatan investasi dan ekspor ke agroindustri prioritas (SK12). Golongan rumah tangga yang menerima dampak pengurangan kemiskinan paling besar adalah golongan rumah tangga buruh tani dan petani.
10 239 Tabel 42. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Poverty Severity Index Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 GOLONGAN RUMAH TANGGA 1 SIMULASI KEBIJAKAN Buruh Petani Rendah Rendah Agregat Tani Atas Desa Atas Kota Desa Kota DASAR PENGELUARAN PEM SK1 (Primer) SK2 (Mak) SK3 (Non mak) EKSPOR SK4 (Mak) SK5 (Non mak) SK6 (SK4+SK1) SK7 (SK5+SK1) INVESTASI SK8 (Mak) SK9 (Non mak) SK10 (Prioritas) SK11 (SK10+Gprm-prior) SK12 (SK10+X prt) INSENTIF PAJAK SK13 (Mak) SK14 (Non mak) REDISTR PENDAP SK Nilai poverty severity index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing-masing Skenario. 2 Nilai poverty severity index sebelum dilakukan simulasi.
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN Stimulus ekonomi di sektor agroindustri akan menghasilkan peningkatan output agroindustri. Melalui keterkaitan antar
Lebih terperinciVI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA
VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Ringkasan Hasil 1. Pengembangan sektor agroindustri di Indonesia, khususnya agroindustri non makanan secara umum menghasilkan peningkatan output dan pendapatan nasional yang
Lebih terperincisebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se
BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/06/33.08/Th.II, 15 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 2016 SEBESAR 12,67 PERSEN Jumlah penduduk miskin
Lebih terperincisebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya
BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/11/33.08/Th.I, 08 November 2016 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2015 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 2015 MENCAPAI 13,07 PERSEN Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciVI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN
VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN Peningkatan produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan produktivitas
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN
38/07/Th. XX, 17 JULI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2017
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2015
No : 01/10/7325/Th. I, 11 Oktober 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2015 RINGKASAN Pengukuran kemiskinan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2015
No. 04 / 01 /13/Th. XIX / 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2015 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada adalah 349.529 jiwa. Dibanding (379.609 jiwa) turun
Lebih terperinciTingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015
BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 55/09/32/Th. XVII, 15 September 2015 Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2016
No. 42/7/13/Th. XIX/18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2016 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada 2016 adalah 371.555 jiwa. Dibanding (349.529 jiwa) naik sebanyak
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVI, 02 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN
BPS PROVINSI SULAWESI TENGGARA 07/01/Th. X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN
05/01/Th.XII, 03 JANUARI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September
Lebih terperinciNo : 03/07/7325/Th. II, 25 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Pengukuran kemiskinan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2016
No. 04/01/13/Th. XX/3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2016 Garis Kemiskinan (GK) mengalami peningkatan 3,04 persen, menjadi Rp 438.075 per kapita per bulan dari Rp 425.141
Lebih terperinciV. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN
V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN
07/07/Th. XI, 18 JULI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2016
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017
No. 38/07/13/Th. XX/17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017 Garis Kemiskinan (GK) selama - Maret 2017 mengalami peningkatan 3,55 persen, yaitu dari Rp.438.075 per kapita per bulan
Lebih terperinciJumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk.
No. 35/07/14 Th. XVII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2016 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2015
No.55 /9 /13/Th. XVIII / 15 September 2015 september2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2015 Garis Kemiskinan (GK) 2015 mengalami peningkatan 5,04 persen, menjadi Rp 384.277,00 perkapita
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 38/07/34/Th.XVI,1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Lebih terperinciJumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk.
No. 32/07/14/Th. XVIII, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2017 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 37/07/34/Th.XV, 1 Juli 2013 TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Lebih terperinciVIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA
VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA 8.1. Analisis Simulasi Kebijakan Dalam analisis jalur struktural atau SPA sebelumnya telah diungkap bagaimana
Lebih terperinciPERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1
PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati 1 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian
Lebih terperinci5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA
86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, serta menganalisa keberpihakan pertumbuhan ekonomi
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN PESISIR SELATAN 2016
BPS KABUPATEN PESISIR SELATAN No.02/07/1302/Th I, 4 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN PESISIR SELATAN 2016 Garis kemiskinan (GK) Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2016 sebesar Rp. 366.228,- per kapita
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 SEBANYAK 223,24 RIBU ORANG.
No. 04/01/91/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 SEBANYAK 223,24 RIBU ORANG. Jumlah penduduk miskin berkurang 6,75 ribu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam
V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN
07/01/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September
Lebih terperinciBPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2015
BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 01/10/1204/Th. XIX, 12 Oktober 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2015 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tapanuli Tengah pada Tahun 2015 mencapai
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017
BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 SEBESAR 9,38 PERSEN No. 39/07/73/Th. XI, 17 Juli 2017 Penduduk miskin di Sulawesi Selatan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,-
Lebih terperinciRINGKASAN DATA DAN INFORMASI KEMISKINAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 2016 ISSN : 2528-2271 Nomor Publikasi : 53520.1702 Katalog : 3205008.53 Jumlah halaman : viii + 24 halaman Ukuran : 21 cm x 14,5 cm
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XVIII, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar
Lebih terperinciGaris Kemiskinan. Rumus Penghitungan : GK = GKM + GKNM. GK = Garis Kemiskinan GKM = Garis Kemiskinan Makanan GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan
Garis Kemiskinan Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatu negara. Garis kemiskinan berguna
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016
10,00 5,00 0,00-5,00 4,91 1,37 0,83-0,60 0,44 0,43 1,18 Bahan Mkn Jadi, Mnman, Rokok & Tbk Perumahan Sandang No.05/05/15/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016 JUMLAH
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2013
No. 31/07/91/Th. VI, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2013 Jumlah penduduk miskin (Penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Papua Barat kondisi September 2012 sebesar
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015
No. 05/01/15/Th X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 311,56 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009
No. 29/07/51/Th. III, 1 Juli 2009 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009 Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2009 tercatat sebesar 181,7 ribu orang, mengalami penurunan sebesar 33,99 ribu orang
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016
No. 50/07/71/Th. X, 18 Juli 2016 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei Sosial
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014
No. 05 /1 /13/Th. XVIII / 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada September 2014 adalah 354.738 jiwa. Dibanding Maret
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014
No. 42/07/71/Th. VIII, 1 Juli 2014 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan lewat pengolahan
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016
No. 89/01/71/Th. XI, 03 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei
Lebih terperinciBPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013
BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 04/09/1204/Th. XII, 30 September 2014 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tapanuli Tengah pada Tahun 2013 mengalami
Lebih terperinciKEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017
No. 47/07/71/Th. XX, 17 Juli 2017 KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui
Lebih terperinciBPSPROVINSI JAWATIMUR
BPSPROVINSI JAWATIMUR No. 45/07/35/Th.XV, 17 Juli 2017 Profil Kemiskinan Di Jawa Timur Maret 2017 Penduduk Miskin di Jawa Timur Turun 0,08 Poin Persen Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur bulan Maret 2017
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 SEBANYAK 227,12 RIBU ORANG.
No. 04/01/91/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 SEBANYAK 227,12 RIBU ORANG. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011
No. 05/01/33/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jawa Tengah
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011
No. 07/01/62/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan)
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009
BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia
Lebih terperinciKONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2016
No. 05/01/75/Th.XI, 3 Januari 2017 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2016 Berdasarkan survei pada September 2016 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,63 persen. Angka
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016
No. 01/06/Th. XVII, Juni 2017 PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN BENGKAYANG MENINGKAT Pada bulan Maret 2016, jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciBPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT
BPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT No. 01/07/1216/Th. II, 17 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN PAKPAK BHARAT TAHUN 2012 Terdapat sebesar 12.40 persen penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
Lebih terperinciKemiskinan dan Ketimpangan
1 Kemiskinan dan Ketimpangan KEMISKINAN Garis Kemiskinan (GK) Poverty Line Konsep dan Definisi Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan Identifikasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan dilakukan melalui analisa data panel dengan model
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015
No. 64/09/71/Th. IX, 15 September 2015 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei
Lebih terperinciKONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014
No. 05/01/75/Th.IX, 2 Januari 2015 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 Pada September 2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,41 persen. Angka ini turun dibandingkan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014
No. 05/01/81/Th. XVII, 02 Januari 2015 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2015
No.54 /09/15/Th.IX, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 300,71 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017
No.38/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 8,19 PERSEN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR
BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan
8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Agroforestri adalah sistem manajemen sumberdaya alam yang bersifat dinamik dan berbasis ekologi, dengan upaya mengintegrasikan pepohonan dalam usaha pertanian dan
Lebih terperinciNo. 09/15/81/Th. XVII, 15 September 2015 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012
BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu daerah didasarkan pada bagaimana suatu daerah dapat meningkatkan pengelolaan serta hasil produksi atau output dari sumber dayanya disetiap
Lebih terperinciDAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA
Dampak Transfer Payment (Achmad Zaini) 15 DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA (The Impact of Transfer Payment on Income of Farmers Household
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA SEPTEMBER 2016
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XIX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Garis kemiskinan (GK) Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar
Lebih terperinciPerkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Banten
Laporan Eksekutif Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Banten Maret 2015 Laporan Eksekutif Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Banten Maret 2015 Laporan Eksekutif Perkembangan Tingkat Kemiskinan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
21 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Analisis Untuk menjawab semua permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan. Pada tahap pertama, penelitian dilakukan
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK
BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN
BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor
Lebih terperinciProfil Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta Maret 2017
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 39/07/34/Th.XIX, 17 Juli 2017 Profil Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta 2017 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2017 sebesar Rp
Lebih terperinciFORMULASI PERHITUNGAN KESENJANGAN FISKAL PEMEKARAN PROVINSI TAPANULI (DANA ALOKASI UMUM TAPANULI)
Karya ulis FORMULASI PERHIUNGAN KESENJANGAN FISKAL PEMEKARAN PROVINSI APANULI (DANA ALOKASI UMUM APANULI) Murbanto Sinaga DEPAREMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULAS EKONOMI UNIVERSIAS SUMAERA UARA 2005 DAFAR
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
B A B BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah Dalam konteks pembanguan saat ini,
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan terus menunjukkan perbaikan. Pada bulan Agustus 211, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh tercatat 7,43% sementara Tingkat
Lebih terperinciKEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016
No. 37/ 07/ 94/ Th.VIII, 18 Juli 2016 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 28,54 PERSEN Persentase, penduduk Miskin di Papua selama enam bulan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. ini merupakan besarnya tingkat ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat
BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Subjek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Desa Beluk Kecamatan Belik Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan subjek dalam penelitian ini merupakan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014
No. 31/07/36/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 622,84 RIBU ORANG Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT BAB 4 Perkembangan Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Masyarakat Kondisi Ketenagakerjaan sedikit mengalami penurunan, dimana Tingkat Pengangguran Terbuka
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017
No. 34/07/91 Th. XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017 Jumlah penduduk miskin (Penduduk yang berada di bawah ) di Papua Barat kondisi September 2016 sebesar 223,60 ribu
Lebih terperinciVII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
224 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan Pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik
Lebih terperinciV. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016
BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk
Lebih terperinciAngka Kemiskinan Kabupaten Sekadau 2016
Angka Kabupaten Sekadau 2016 No. 01/06/6109/Th. III, 6 Juni 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEKADAU Angka Kabupaten Sekadau 2016 Angka kemiskinan Kabupaten Sekadau pada periode
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010
BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014
BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 / 01 / 82 / Th. XIV, 02 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2014 BERTAMBAH 2,2 RIBU ORANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak
Lebih terperinciBPS PROVINSI JAWA TIMUR
BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 06/01/35/Th.X,02 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Penduduk miskin Jawa Timur pada bulan September 2011 sebanyak 5,227 juta (13,85 persen)
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2010
No. 27/ 07/91/Th. IV, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2010 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat pada tahun 2009 sebanyak 256.840 jiwa (35,71 persen) turun menjadi
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2016 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016
Lebih terperinciVII. SIMPULAN DAN SARAN
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan
Lebih terperinci