HASIL DAN PEMBAHASAN. Permasalahan Pajak Lahan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Permasalahan Pajak Lahan"

Transkripsi

1 65 HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan Pajak Lahan Pada dasarnya pajak lahan atau yang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang efektif sangat penting artinya bagi kelangsungan pembangunan kota-kota di Indonesia. Dengan pajak lahan pemerintah daerah dapat memperoleh kembali untuk perbaikan-perbaikan permukiman liar, pembangunan sarana dan prasarana dan lain-lain untuk kesejahteraan warga. Pelaksanaan PBB di Kabupaten Bogor dilakukan di Kantor Pelayanan PBB Cibinong, yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat II. Hasil dari wawancara mendalam (indept intervieuw), dapat dirumuskan permasalahan PBB yang berkaitan dengan kebijakan PBB dan permasalahan PBB yang berkaitan dengan penggunaan lahan, sebagai berikut: a. Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan lahan terdiri dari: Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 pada dasarnya merupakan pajak berganda dengan tarif tunggal. PBB memisahkan antara bumi (tanah) dengan bangunan yang berdiri diatasnya. Namun demikian keduanya terkena tarif tunggal yaitu 0,5%. PBB merupakan pajak pusat yang dilimpahkan ke daerah. Hasil pungutan pajak 90% digunakan sebagai dana pembangunan daerah. Namun demikian karena sifatnya sebagai pajak pusat yang berlaku umum, PBB tidak fleksibel terhadap keadaan daerah. Sebagai contoh, penentuan tarif PBB berlaku umum untuk setiap tanah, tidak mempertimbangkan peruntukkan lahannya. Sistem penilaian dilakukan setiap tiga tahun sekali, hal ini tidak dapat mengakomodasikan perubahan-perubahan dalam pemanfaatan lahan maupun nilai tanah pada suatu kawasan.

2 66 Dasar penetapan NJOP hanya dilakukan berdasarkan kondisi saat ini. Belum mempertimbangkan kedudukan dan fungsi obyek pajak tersebut di dalam kebijaksanaan tata ruang dan nilai prospektif obyek pajak di masa yang akan datang. Penetapan tarif pajak belum mempertimbangkan penggunaan tanah produktif dan tidak produktif, akibatnya terjadi pembebanan pajak yang sama antara pemanfataan lahan produktif dan tidak produktif b. Permasalahan pajak lahan dikaitkan dengan penggunaan lahan: Peningkatan intensitas penggunaan lahan yang melebihi batas yang diperbolehkan. Besarnya PBB yang dikenakan telah mendorong penduduk untuk menggunakan lahannya lebih intensif. Kriteria yang digunakan dalam penilaian obyek bumi salah satunya adalah kelas jalan, namun demikian kelas jalan yang digunakan tidak mengacu kepada hirarki kelas jalan menurut sistem perkotaan Penilaian obyek bumi belum mengacu kepada pola distribusi penggunaan lahan menurut berbagai kategori. Tarif PBB merupakan tarif tunggal dan tidak bersifat progresif. c. Permasalahan pajak lahan dikaitkan dengan pengendalian pemanfaatan lahan: Belum adanya suatu bentuk koordinasi antara Kantor Pajak dengan instansi-instansi yang terkait dengan masalah bumi atau bangunan dalam pelaksanaan PBB. Disinsentif dan insentif untuk pengguna lahan belum dilaksanakan. Penyimpangan-penyimpangan terhadap pemanfaatan lahan kota hanya sebagai masukan saja belum digunakan sebagai pertimbangan untuk penetapan tarif obyek pajak.

3 67 Penggunaan Lahan Tahun 2006 Berdasarkan hasil interpretasi terhadap Citra Ikonos tahun 2006 untuk Kecamatan Cibinong dan Citra ALOS-AVNIR tahun 2006 untuk Kecamatan Cileungsi, juga pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan silang terhadap peta-peta tematik yang ada, maka diperoleh informasi mengenai penggunaan lahan tahun 2006 pada masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Cibinong Peta penggunaan lahan menunjukkan bahwa kondisi penutupan lahan tahun 2006 di Kecamatan Cibinong didominasi oleh sawah (31.15%), kemudian permukiman (27.04%), kebun campuran (25.11%), perdagangan dan jasa (4.67%), industri (4.38%), lahan terbuka (3.32%) dan lainnya. Penutupan lahan berupa sawah dan ruang terbuka hijau lainnya (kebun campuran, semak-semak, taman dan TPU) lebih dominan berada pada bagian selatan Kecamatan Cibinong sedangkan ruang terbangun cenderung menyebar mengikuti jaringan jalan namun dominan di bagian utara dan bantaran Sungai Ciliwung serta disekitar situ-situ yang ada. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17, Gambar 17 dan 18 berikut. Tabel 17 Luas penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong tahun 2006 Jenis penggunaan lahan Luas (ha) % Alang-alang/semak-semak Danau/Situ/Empang Industri Kebun Campuran Lahan Terbuka Taman/Lapangan Olah Raga Perdagangan dan perkantoran Permukiman Sawah Taman Pemakaman Umum Jumlah Sumber : Hasil analisis

4 68 TPU (0.23%) Semak2 (1,83%) Badan Air (1.47%) Industri (4.38%) Sawah (31.15%) KC (25.11%) Permukiman (27.04%) L. Terbuka (3.32%) Perdagangan (4.67%) Taman (0.76%) Gambar 17 Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong Tahun 2006 Kecamatan Cileungsi Peta penggunaan lahan menunjukkan, bahwa kondisi penutupan lahan tahun 2006 di Kecamatan Cileungsi didominasi oleh kebun campuran (26.20%) kemudiani permukiman (21.10%), sawah (20,58%), industri (8,90%), danau/situ/empang (6.67%), semak-semak (6.65%) serta penggunaan lahan lainnya (lihat Tabel 18 dan Gambar 21 dan 22). Kawasan permukiman cenderung berkembang di sebelah barat kecamatan yakni disepanjang jalan raya yang menghubungkan Bogor Jakarta- Bekasi, demikian juga dengan kegiatan industri cenderung berkembang di sebelah barat kecamatan. Ruang terbuka hijau cenderung berkembang di bagian timur kecamatan. Beberapa kawasan permukiman yang dibangun tersebar di beberapa desa, diantaranya Cileungsi Hijau, Cileungsi Elok, Metropolitan, Pondok Damai, Taman Kenari, dan Duta Mekar. Selain itu di wilayah perencanaan juga terdapat lokasi perumahan karyawan industri seperti perumahan PT. Semen Cibinong.

5 Gambar 18 Peta penggunaan lahan Kecamatan Cibinong tahun

6 70 Perkembangan kawasan permukiman ini menyebar hampir di seluruh kecamatan menyesuaikan dengan ketersediaan dan harga lahan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka permintaan kebutuhan akan perumahan juga meningkat. Pertambahan jumlah penduduk tersebut dapat berupa pertambahan alami maupun migrasi. Untuk kejadian yang terakhir tersebut diduga cukup tinggi sebagai implikasi dari penetapan fungsi Cileungsi sebagai pusat utama pengembangan Kabupaten Bogor Bagian Timur. Peralihan penggunaan lahan dari kegiatan pertanian ke kegiatan non-pertanian tersebut juga didukung oleh kondisi morfologi dan kemiringan lahan di Kecamatan Cileungsi yang cenderung potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan terbangun. Penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi dikelompokan menjadi : kegiatan fungsi terbangun, kegiatan pertanian, kegiatan perkebunan, penggunaan untuk ladang/tegalan/kebun, jalur hijau yang luasanya relatif tetap karena dipertahankan dan dikembangankan keberadaannya. Tabel 18 Luas penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi tahun 2006 Jenis penggunaan lahan Luas (ha) % Alang-alang/semak-semak Danau/Situ/Empang Industri Kebun Campuran Lahan Kosong Taman/Lapangan Olah Raga Perdagangan dan Jasa Permukiman Sawah Taman Pemakaman Uum Jumlah Sumber : Hasil analisis

7 71 Saw ah (21.09%) TPU (0.45%) Semak2 (2.16%) Badan Air (3.3%) Industri (8,42%) Permukiman (20.7%) Kb. Campuran (32.16%) Perdagangan (2,23%) Taman (1,3%) Lahan Terbuka (8.56%) Gambar 19 Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi Tahun 2006 Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Rancangan skema penutup lahan dapat mengambil pendekatan fungsional yaitu berorientasi pada kegiatan seperti dijelaskan dengan penggunaan beberapa istilah seperti aktivitas pertanian, kehutanan, perkotaan dan seterusnya. Dengan memakai hasil dari interpretasi terhadap Citra Ikonos dan ALOS-AVNIR, maka diperoleh informasi mengenai penggunaan lahan yang cukup detail/rinci pada masing-masing kecamatan. Untuk mengetahui secara spasial pola dari penggunaan lahan pada masingmasing kecamatan, maka digunakan model spasial secara kuantitatif yaitu menandai masing-masing poligon penggunaan lahan, kemudian menggunakan matrik logika secara deskriptif dapat dijelaskan pola penggunaan lahannya (lihat Lampiran 9a dan 9b). Untuk memudahkan analisis maka masing-masing jenis penggunaan lahan dibuatkan peta. Hasil dari analisis spasial kuantitatif dari pola penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut:

8 Gambar 20 Peta penggunaan lahan Kecamatan Cileungsi tahun

9 73 Kecamatan Cibinong Penggunaan lahan yang dapat diidentifikasi di Kecamatan Cibinong terdiri dari alang-alang/semak-semak, danau/situ/empang, industri, kebun campuran, lahan kosong, taman/lapangan olah raga, perdagangan dan jasa, permukiman, sawah dan taman pemakaman umum. Pola masing-masing penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong adalah sebagai berikut (lihat Gambar 21 sampai 24): Kawasan permukiman teratur pada umumnya menyebar secara linier di sepanjang koridor Sukahati dan Tegar Beriman. Hal ini diperkirakan permukiman teratur tersebut berorientasi terhadap akses jalan-jalan utama perkotaan Cibinong. Sedangkan sebaran kawasan permukiman tidak teratur umumnya mengikuti pola sebaran lahan perkebunan garapan. Pemanfaatan lahan perkantoran di Kota Cibinong sebagian besar terpusat di Jl.Tegar Beriman. Pusat perkantoran ini merupakan salah satu usaha dari Pemda Cibinong untuk menciptakan citra kotanya serta usaha untuk mengurangi pembebanan jalan yang selama ini terjadi di koridor Raya Bogor dan Sukahati. Pola pemanfaatan perdagangan masih cenderung linier di jalan-jalan utama perkotaan dan di koridor-koridor permukiman penduduk yang umumnya merupakan perdagangan-perdagangan skala kecil. Perdagangan yang berskala besar, yaitu Pasar Cibinong yang terletak di kawasan pertigaan Jl. Raya Bogor dan Jl. Mayor Oking. Pola pemanfaatan lahan industri ini banyak terpusat di koridor Raya Bogor bagian selatan dan sebagian berada di Koridor Mayor Oking, sebagian lagi menyebar dikawasan permukiman yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan industri seperti di Desa Keradenan dan Sukahati. Pola pemanfaatan lahan sawah dan kebun campuran ini diikuti oleh sebaran pola permukiman penduduk. Lahan sawah dan kebun campuran ini banyak terdapat di wilayah Cibinong bagian tengah, dimana pada kawasan tersebut

10 74 tingkat aksesibilitas rendah dengan ditandai oleh rendahnya jumlah sarana jalan-jalan penghubung. Pola pemanfaatan lahan sebagai konservasi dan resapan ini belum terlihat jelas di Perkotaan Cibinong. Pemanfaatan konservasi ini hanya berbentuk sebaran beberapa setu/danau saja yang sebagian terletak di kompleks perkantoran Pemda Cibinong, Desa Cikaret dan danau Citatah yang terletak di dekat Pasar Cibinong. Lahan kosong tersebar hampir di semua desa namun demikian dominan di sebelah utara kecamatan yang mempunyai kondisi topografi relatif lebih datar dibandingkan di bagian selatan kecamatan. Lahan ksosong tersebut sebagian besar di areal kebun campuran dan kawasan lindung yang berupa sempadan sungai dan kawasan lindung setempat (danau/situ). Gambar 21 Peta sebaran perumahan di Kecamatan Cibinong 2006

11 75 Gambar 22 Peta sebaran industri di Kecamatan Cibinong 2006 Gambar 23 Peta sebaran ruang terbuka hijau di Kecamatan Cibinong 2006

12 76 Gambar 24 Peta sebaran lahan kosong di Kecamatan Cibinong 2006 Kecamatan Cileungsi Pola-pola penggunaan lahan yang ada di wilayah Kecamatan Cilungsi, secara keseluruhan merupakan pola ruang yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini terlihat dari adanya pola pergerakkan atau interaksi antar ruang. Letak Kecamatan Cileungsi yang berada pada simpul 2 (dua) jalur jalan regional (arteri primer), menyebabkan terjadinya interaksi selain di dalam wilayah (intern) juga terjadi dalam lingkup regional sehingga volume pergerakkan lalu lintas menjadi cukup padat. Kondisi tersebut, apabila tidak diantisipasi sedini mungkin akan memperberat beban Kecamatan Cileungsi, dengan lokasinya yang berbatasan langsung dengan Kota Bekasi serta adanya jaringan jalan tol maka wilayah ini akan menjadi salah satu daya tarik investasi di masa depan. Pola masing-masing katagori penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi dapat diikuti pada uraian berikut ini, dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 25 sampai 28.

13 77 Kawasan perumahan menyebar di seluruh wilayah perencanaan dengan pola perkembangan mengikuti jaringan jalan dan terkonsentrasi di beberapa tempat. Perdagangan dan jasa sebagian besar terletak di Jalan Narogong, yaitu antara fly over ke arah selatan dan menuju utara sampai dengan permukiman Limus Pratama, kemudian dari fly over ke arah Timur sampai simpang jalan ke Gandoang dan ke arah Barat sampai dengan sekitar Mesjid Raya. Perkantoran swasta di arahkan di sepanjang Jalan Camat Ejan, antara ruas jalan altenatif sampai Jalan Narogong dan Bekasi. Pelayanan sosial lokal menyebar pada di seluruh Kecamatan Cileungsi. Industri dan pergudangan terletak di sebelah Barat kecamatan sepanjang Jl. Narogong dan Sungai Cileungsi. Beberapa kegiatan industri yang cukup besar diantaranya dilakukan oleh PT. Samic dan PT. Bostinco. Sebagian besar lokasi industri berada di wilayah Desa Cileungsi Kidul, khususnya di bagian timur dan selatan wilayah desa. Kawasan khusus agrowisata berupa taman wisata Mekar Sari sebagian besar terletak di Desa Mekarsari. Lahan kosong tersebar hampir di seluruh desa, dominan di Desa Cileungsi Kidul yang merupakan arahan untuk pengembangan kawasan industri.

14 78 Gambar 25 Peta sebaran perumahan di Kecamatan Cileungsi 2006 Gambar 26 Peta sebaran industri di Kecamatan Cileungsi 2006

15 79 Gambar 27 Peta sebaran lahan kosong di Kecamatan Cileungsi 2006 Gambar 28 Peta sebaran Ruang terbuka hijau di Kecamatan Cileungsi 2006

16 80 Analisis Konsistensi RDTR Kota Cibinong dan RUTR Kecamatan Cileungsi Analisis konsistensi terhadap RDTRK dan RUTRK dilakukan dengan cara membandingkan secara visual dan overlay dari peta rencana penggunaan lahan dari RDTRK dan RUTRK dengan kondisi penggunaan lahan tahun Berdasarkan analisis spasial diketahui hasilnya terhadap ke dua kecamatan tersebut adalah sebagai berikut: Kecamatan Cibinong, sekitar 78.20% pemanfaataan ruang di Kecamatan Cibinong konsisten terhadap RDTRK dan sisanya 21.80% tidak konsisten terhadap RDTRK. Kecamatan Cileungsi, sekitar 83,25% pemanfaataan ruang di Kecamatan Cileungsi konsisten terhadap RUTRK dan sisanya 16,75% tidak konsisten terhadap RUTRK. Pemanfaatan ruang yang tidak konsisten terhadap RDTR Kota Cibinong adalah sebagai berikut: Area yang ditetapkan sebagai kawasan lindung sebesar ha (17.48%) ternyata terdapat ruang terbangun sebesar Ha, sawah seluas 35.1 Ha dan kebun campuran seluas Ha dan lahan kosong seluas ha. Area yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian sebesar ha (34.9%) terdapat kawasan terbangun seluas Ha. Area yang ditetapkan sebagai kawasan industri sebesar ha (13.45%) ternyata terdapat perumahan seluas 43.6 Ha Area yang ditetapkan sebagai kawasan perumahan sebesar ha (28.6%) ternyata terdapat kegiatan industri sebesar 77.4 Ha Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran lokasi inkonsisten di Kecamatan Cibinong dapat dilihat pada Gambar 29, sedangkan proporsi RDTR Kota Cibinong terhadap penggunaan lahan saat ini dapat dilihat pada Tabel 19 dan Lampiran 3a.

17 81 Tabel 19 Proporsi RDTRK Cibinong terhadap penggunaan lahan tahun 2006 Klasifikasi Arahan Pemanfaatan Klasifikasi Pemanfaata n Ruang Menurut RTRW Proporsi Luas (%) Danau/ Situ/ Empang Sawah Semak Belukar Industri Penggunaan Lahan Saat Ini (Tahun 2006) Kebun Campuran Permukiman Taman/ Lap. OR Perdagangan/ Jasa Lahan Kosong TPU Jumlah (%) KAWASAN LINDUNG Kawasan Lindung/ Resapan Air/ Sempa dan/ Terbu ka Hijau KAWASAN BUDIDAYA Kawasan TPU Kawasan Pertanian Kawasan Jasa Kawasan Industri Kawasan Permukiman Jumlah 100 Sumber: Hasil analisis Keterangan: : Inkonsistensi Sedangkan untuk Kecamatan Cileungsi, pemanfaatan lahan yang tidak konsistensi adalah sebagai berikut: Area yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung sebesar ha (9.12%) ternyata terdapat ruang terbangun seluas Ha, sawah seluas Ha dan kebun campuran seluas 61.2 Ha. Area yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian sebesar 34.9 Ha ternyata terdapat ruang terbangun sebesar Ha. Area yang ditetapkan sebagai kawasan industri sebesar (15.4%) ternyata terdapat perumahan seluas Ha. Area yang ditetapkan sebagai kawasan perumahan sebesar ha (35.65%) ternyata terdapat kegiatan industri seluas Ha.

18 82 Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran yang tidak konsisten di Kecamatan Cibinong dapat dilihat pada Gambar 30, sedangkan proporsi RDTR Kota Cibinong terhadap penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Tabel 20 dan Lampiran 3b. Tabel 20 Proporsi RUTRK Cileungsi terhadap penggunaan lahan tahun 2006 Klasifikasi Arahan Pemanfaatan Klasifikasi Pemanfaatan Ruang Proporsi Luas (%) Danau/ Situ/ Empang Sawah Semak Belukar Penggunaan Lahan Eksisting (Tahun 2006) Industri Kebun Campuran Permukiman Taman/ Lap. OR Perdagangan dan Jasa Lahan Kosong TPU Jumlah (%) KAWASAN LINDUNG Kawasan Lindung/ Resapan Ai/ Sempa dan/ Terbu ka Hijau Kawasan TPU Kawasan Pertanian KAWASAN BUDIDAYA Kawasan Jasa Kawasan Industri Kawasan Pariwisata Kawasan Permukiman Jumlah 100 Sumber: Hasil analisis Keterangan: : Inkonsistensi

19 Gambar 29 Peta inkonsistensi pemanfaatan RDTRK Cibinong 83

20 Gambar 30 Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang RUTRK Cileungsi 84

21 85 Perbedaan NJOP dari Pemanfaatan Lahan yang Konsisten dan Tidak Kosistensi RDTRK/RUTRK Untuk mengetahui perbedaan NJOP pada lahan yang konsisten dan tidak konsisten dengan RDTRK/RUTRK dilakukan uji hipotesa alternatif (H1) dan hipotesa nol (H0). Pengujian hipotesa menggunakan statistik uji Mann Whitney yaitu untuk membandingkan dua populasi yang independen. Pada uji ini digunakan software Minitab 16. Adapun hipotesa yang akan diuji adalah sebagai berikut: H0 : Tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK H1 : Ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK Penentuan responden/pemilik atau pengelola dari bangunan dilakukan dengan menggunakan metode sampling bertahap (multistage sampling). Tahap pertama, dipilih lokasi yang konsisten dan tidak konsisten berdasarkan hasil analisis konsistensi. Pada Kecamatan Cibinong ditentukan 10 desa/kelurahan dan di Kecamatan Cileungsi juga ditentukan 10 desa/kelurahan. Pada tahap kedua dilakukan pemilihan bangunan sampel dengan cara purposive sampling. Sebagai alat bantu digunakan software SISMIOP di kantor Pajak untuk mengetahui kode nomor wajib pajak dan besarnya NJOP. Banyak sampel di Kecamatan Cibinong sebanyak 92 bangunan dan di Kecamatan Cibinong sebanyak 74 bangunan. Total bangunan sampel sebanyak 166 bangunan. Hasil dari uji Mann Withney untuk masingmasing kecamatan (lihat Lampiran 10) adalah sebagai berikut: Kecamatan Cibinong Dengan menggunakan uji nilai tengah, t hitung sebesar 0 dan t tabel dengan ά 0.05 dan n sebesar 92 diperoleh besaran angka Dengan demikian P value sebesar lebih besar dari 0.05, sehingga keputusan yang dapat diambil adalah menolak H1 dan menerima H0, yaitu tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK.

22 86 Kecamatan Cileungsi Dengan menggunakan uji nilai tengah, t hitung sebesar 0 dan t tabel dengan ά 0.05 dan n sebesar 74 diperoleh besaran angka Dengan demikian P value sebesar lebih besar dari 0.05, sehingga keputusan yang dapat diambil adalah menolak H1 dan menerima H0 yaitu tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK. Dari hasil pengujian hipotesa tersebut diatas, tampak bahwa PBB tidak memberlakukan NJOP yang berbeda antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten dengan arahan pemanfaatan lahan. Besarnya NJOP yang diberlakukan kepada masing-masing penggunaan lahan tidak dibedakan menurut jenis penggunaan tertentu, maka besar pokok PBB rata-rata per pengguna lahan kurang lebih sama. Pembebanan pokok PBB rata-rata yang sama besar antar berbagai penggunaan lahan yang berbeda mengakibatkan adanya pembebanan pajak yang kurang adil dan selanjutnya hal tersebut menyebabkan pengaruh PBB yang relatif kecil terhadap penggunaan lahan. Pengaruh Penggunaan Lahan terhadap Pajak Lahan Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Wilayah Jawa Bagian Barat II di Cibinong diketahui dari tahun laju pertumbuhan NJOP sangat berfluktuasi pada masing-masing desa/kelurahan. Rata-rata mempunyai laju peningkatan yang positif, sedangkan pada Desa Pakan Sari dan Tengah di Kecamatan Cibinong dan Desa Mampir, Jatisari dan Cipenjo di Kecamatan Cileungsi antara tahun tidak mengalami kenaikan NJOP. Laju kenaikan terbesar mencapai 76% terdapat di Desa Ciriung Kecamatan Cibinong dan Desa Limus Nunggal mancapai 60% di Kecamatan Cileungsi. NJOP rata-rata terendah di Kecamatan Cibinong terdapat pada Desa Pondok Rajeg dan Desa Tengah sebesar Rp /m² dan tertinggi di Desa Ciri Mekar sebesar Rp /m², sedangkan NJOP rata-rata terendah di Kecamatan Cileungsi

23 87 terdapat di Desa Dayeuh sebesar Rp /m² dan tertinggi di Desa Limus Nunggal sebesar Rp /m². Jika dilihat secara keseluruhan, maka NJOP rata-rata di Kecamatan Cibinong cenderung semakin tinggi ke arah pusat perdagangan dan industri dan semakin rendah ke arah kawasan pertanian, sedangkan di Kecamatan Cileungsi NJOP semakin tinggi ke arah utara kecamatan dan semakin rendah di bagian selatan (lihat Tabel 21 dan Gambar 33, 34 ). Tabel 21 Kondisi NJOP di Kec. Cibinong dan Cileungsi Tahun 2006 Kec/Kelurahan Laju Pertumbuhan NJOP Tahun 2005 (Rp/m²) NJOP/Tahun (%) Minimum Maksimum Rata-rata CIBINONG Keradenan Nanggewer Nang. Mekar Cibinong Pakansari Sukahati Tengah Pondok Rajeg Harapan Jaya Pabuaran Ciri Mekar Ciriung CILEUNGSI Dayeuh Mampir Setu Sari Cipeucang Jatisari Gandoang Mekar Sari Cileungsi Kidul Cileungsi Limus Nunggal Pasir Angin Cipenjo Sumber: Kantor Pajak, kab. Bogor. Tahun 2006

24 Gambar 31 Peta pola NJOP di Kecamatan Cibiunong tahun

25 Gambar 32 Peta pola NJOP di Kecamatan Cileungsi tahun

26 90 Untuk mengetahui hubungan antara penguunaan lahan dengan pajak lahan (NJOP) digunakan analisis korelasi dan regresi dengan hasil sebagai berikut: Koefisien korelasi Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa nilai koefisien korelasi R dan R² untuk masing-masing penggunaan lahan sangat kecil, yaitu mendekati 0 (nol). Hal ini berarti tingkat keterhubungan antara variable bebas dengan varibel terikatnya rendah dan kemungkinan hubungan yang terjadi bukan linier. Tabel 22 Koefisien korelasi Penggunaan Lahan R R² Sawah < Kebun Campuran < Industri Perumahan Perdagangan dan Jasa Lahan Kosong KDB 0 25% KDB 25-50% KDB 50 75% KDB.75% Tinggi Bangunan <,4 m Tinggi Bangunan 4-24 m Tinggi Bangunan >24 m Sumber: Hasil Analisis Pengujian Regresi Berganda Berdasarkan hasil analisis multiple regresi dengan metode forward stepwise untuk kedua kecamatan. Berbagai variabel yang digunakan mengandung multikolinearitas atau terdapat korelasi atara satu dengan yang lainnya. Karena itu digunakan metode forward stepwise untuk memilih variabel-variabel yang cukup berpengaruh dan meminimalkan terjadinya korelasi antar variabel.

27 91 Nampak bahwa terdapat beberapa variabel dari penggunaan lahan dan intensitas penggunaan lahan yang mempunyai pengaruh terhadap pajak lahan. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 23 dan Lampiran 6. Dari tabel tersebut tampak persamaan yang dihasilkan mempunyai nilai R² sebesar 0,7251.s Sementara itu apabila dilihat dari hasil uji F terhadap model juga nampak bahwa model ini cukup signifikan pada tingkat kepercayaan hingga 1 %, dapat dilihat dari nilai probabilitasnya yaitu P < Dengan demikian model ini cukup layak untuk bisa memberikan gambaran variabel apa saja yang mempunyai pengaruh. Selanjutnya berdasarkan hasil forward stepwise dapat dilihat bahwa terdapat beberapa variabel yang mempunyai nilai koefisien yang nyata pada taraf 5%. Pengaruh pajak lahan terhadap pola penggunaan lahan hanya terdapat pada kegiatan industri dan perdagangan dan jasa. Sedangkan pengaruh pajak terhadap instensitas penggunaan lahan terjadi pada tinggi bangunan 4 24m, dan KDB %. Pemilihan lokasi industri dan perumahan sudah mempertimbangkan besarnya pajak pada lokasi tersebut. Demikian pula dengan ketinggian bangunan kurang dari 4 m dominan terdapat pada kawasan perumahan yang dibangun oleh pengembang sudah mempertimbangkan pajak lahan. Tabel 23 Koefisien regresi menggunakan prosedur stepwise Parameter Standard Variable Estimate Error F Value Pr > F Intercept LN_X1_ <.0001 LN_X3_ LN_X2_ LN_X1_ Sumber: hasil Analisis

28 92 Perbandingan Land Rent dengan Pajak Lahan Nilai land rent masing-masing tipe penggunaan lahan menggunakan responden yang juga merupakan pengelola dari kegiatan yang ada pada tiap jenis penggunaan lahan. Sampel (n) dari masing-masing penggunaan lahan sebesar 10, nilai simpangan baku sebesar beragam, koefisien keragaman beragam. Nilai P value > 0.05% menyebabkan terima H0 dan tolak H1, dengan demikian uji beda nyata tidak perlu dilakukan. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum penggunaan lahan untuk sawah dan kebun campuran kurang menguntungkan dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk perumahan, industri, dan lainnya. Kecilnya nilai land rent untuk kegiatan pertanian di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi antara lain disebabkan oleh kecilnya luas lahan garapan untuk petani, jika dihitung NPV dengan jangka waktu analisis 3 tahun dan dengan asumsi discount rate sebesar 12 % hasilnya di Kecamatan Cibinong rata-rata sebesar Rp 2 733/m²/th dan kebun campuran sebesar Rp /m²/th, sedangkan di Kecamatan Cileungsi sebesar Rp /m²/th dan kebun campuran sebesar Rp /m²/th. Land rent ini sebenarnya masih bisa ditingkatkan karena sebagian besar sawah tidak beririgasi teknis dan sebagian besar kebun campuran tidak dikelola secara optimal. Bantuan bibit unggul dan bimbingan teknis pada lahan-lahan pertanian akan mampu meningkatkan posisi tawar terhadap kemungkinan terjadinya konversi. Berkembangnya kawasan permukiman dan industri di dua kecamatan tersebut maka telah terjadi proses komersialisasi lahan. Penjualan lahan pertanian yang dikuasai oleh warga lokal kepada orang luar banyak terjadi terutama di Desa Cibinong, dan Ciriung untuk Kecamatan Cibinong dan di Desa Limus Nunggal dan Cileungsi untuk Kecamatan Cileungsi. Dengan berkembangnya komersialisasi lahan maka lahan telah berkembang menjadi sarana investasi bagi sebagian dari mereka.

29 93 Gambar 33 Penggunaan lahan untuk sawah di Desa Tengah Kec. Cibinong dan Desa Pasir Angin Kecamatan Cileungsi Gambar 34 Penggunaan lahan untuk kebun campuran di Desa Pakansari Kecamatan Cibinong dan Desa Setu sari Kecamatan Cileungsi Hal menarik pada dua kecamatan tersebut ditemukan sebagian lahan kosong digunakan untuk berbagai kegiatan seperti tempat penampungan barang bekas, tempat penjualan tambulampot dan tanaman hias serta tempat penampungan pasir sungai. Lahan-lahan kosong yang dimanfaatkan tersebut rata-rata berada di sepanjang jalan raya dimana sebagian besar sewa lahannya dilakukan hanya per tahun saja. Dengan menggunakan jangka waktu hanya 3 tahun dan dengan asumsi discount rate sebesar 12%, land rent untuk lahan kosong memiliki NPV rata-rata Rp /m²/th di Kecamatan Cibinong dan sebesar Rp /m²/th di Kecamatan Cileungsi. Land rent lahan kosong lebih tinggi dibandingkan land rent untuk kegiatan pertanian.

30 94 Gambar 35 Penggunaan lahan kosong berupa tempat penampungan barang bekas di Desa Keradenan dan tempat penjualan pasir sungai Gambar 36 Pengunaan lahan kosong berupa tempat berjualan tanaman hias dan tambulampot Desa Sukahati Kec. Cibinong dan Desa Mekarsari Kecamatan Cileungsi Dengan menggunakan jangka waktu 10 tahun dengan asumsi discount rate sebsar 12 %, land rent perumahan memiliki NPV rata-rata sebesar Rp /m²/th di Kecamatan Cibinong dan sebesar Rp /m²/th di Kecamatan Cileungsi. Perbedaan nilai yang cukup besar di kedua kecamatan tersebut karena harga rumah yang jauh lebih tinggi menyebabkan harga sewa rumah juga tinggi di Kecamatan Cileungsi yang berbatasan langsung dengan Kota Bekasi.

31 95 Gambar 37 Penggunaan lahan untuk perumahan, komplek perumahan Pondok Sukahati di Desa Sukahati Kec. Cibinong dan Desa Cipenjo Kecamatan Cileungsi Land rent untuk industri merupakan nilai NPV yang tertinggi. Hal ini dapat dimengerti karena lahan yang digunakan juga rata-rata cukup luas serta investasi yang ditanamkan juga besar. Di Kecamatan Cibinong NPV sebesar Rp /m²/th dan di Kecamatan Cileungsi sebesar Rp /m²/th. Perbedaan nilai yang cukup besar ini terjadi karena industri di Kecamatan Cibinong umurnya lebih baru dibandingkan dengan di Kecamatan Cileungsi menyebabkan opportunity cost yang tinggi terhadap harga pasar dari lahan yang bersangkutan. Gambar 38 Penggunaan lahan untuk industri di Desa Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi Sedangkan untuk kegiatan komersial mempunyai land rent yang lebih tinggi diabndingkan perumahan yaitu sebesar Rp /m²/th di Kecamatan Cibinong dan Rp /m²/th, dan untuk kegiatan hotel, losmen dan rumah makan mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi dibandingkan komersial yaitu sebesar Rp /m²/th di Kecamatan Cibinong dan Rp /m²/th di Kecamatan Cileungsi. Perbedaan nilai land rent tersebut sangat dipengaruhi oleh harga lahan dimana harga

32 96 lahan di Kecamatan Cileungsi jauh lebih tinggi dibandingkan harga lahan di Kecamatan Cibinong. Gambar 39 Penggunaan lahan untuk ruko di Desa Cileungsi dan losmen di Desa Limus Nunggal Kecamatan Cileungsi Rasio dari land rent dengan NJOP rata-rata untuk masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 22. Secara umum rasio dari land rent dengan besarnya NJOP rata-rata tidak berbeda jauh, artinya besarnya NJOP sebanding dengan nilai manfaat dari lahan. Dengan menggunakan koefisien korelasi dapat diketahui korelasi dari variabel-variabel tersebut. Dari Tabel 25 dan 26 dapat dilihat korelasi yang paling signifikan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi yaitu pada tingkat kepercayaan 0.01 hanya pada variabel NJOP kegiatan industri. Nilai korelasinya menunjukkan angka positif dan yang berarti pertambahan NJOP akan menurunkan luas penggunaan industri. Pengaruh NJOP rata-rata untuk kegiatan lahan kosong di Kecamatan Cibinong dan sawah di Kecamatan Cileungsi merupakan yang terkecil dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Hal ini terlihat dari nilai probabilitasnya yang besar yaitu dan Pemilihan lokasi lahan kosong dan sawah tidak dipengaruhi oleh NJOP di wilayah tersebut.

33 97 Gambar 40 Perbedaan land rent dengan NJOP rata-rata di Kec. Cibinong tahun Land rent NJOP Perumahan Industri Komersil Lahan Kosong Sawah Kb.Campuran Hotel, Losmen Gambar 41 Perbedaan land rent dengan NJOP rata-rata di Kec. Cileungsi tahun Land rent NJOP Perumahan Industri Komersil Lahan Kosong Sawah Kb.Campuran Hotel, Losmen

34 98 Tabel 24 Perbandingan nilai land rent dengan NJOP di Kec. Cibinong dan Cileungsi Tahun 2006 No Penggunaan Lahan Kecamatan Cibinong Land Rent Rata-rata (rp/m²/th) Rasio Land Rent NJOP Rata-rata (rp/m²/th) Rasio Land rent rata-rata NJOP Ratarata n SD KK UBN 1. Perumah Industri , Komersil , Lahan Kosong , Sawah , Kebun Campuran 7. Hotel, Losmen, Rumah Makan Kecamatan Cileungsi , Perumahan Industri , Komersil Lahan Kosong Sawah Kebun Campuran Hotel, Losmen, Rumah Makan Sumber: Kantor Pajak, Kabupaten Bogor 2007 dan hasil analisis Keterangan : n; banyaknya sampel, SD; simpangan baku, KK: Koefisien Keragaman, UBN; uji beda nyata

35 99 Tabel 25 Korelasi NJOP rata-rata terhadap land rent penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong Kec. Cibinong Perumahan Industri Komersial Sawah Kebun Campuran Lahan Kosong Koefisien Korelasi Probabilitas n Tabel 26 Korelasi NJOP rata-rata terhadap land rent penggunaan lahan di Kecamatan Cileungsi Kec. Cileungsi Perumahan Industri Komersial Sawah Kebun Campuran Lahan Kosong Koefisien Korelasi Probabilitas n Pengendalian Pemanfaatan Lahan Melalui Pajak Lahan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Pengendalian mengandung arti pengarahan dan pengawasan atau pembatasan. Pajak lahan atau dalam hal ini PBB berfungsi untuk memungut sewa atas lahan dan bangunan dan mengendalikan atau mengontrol kekayaan berupa bumi dan bangunan (Renne, 1958). Sebagai alat pengarah pemanfaatan lahan, besar PBB yang dikenakan untuk masing-masing penggunaan lahan dapat disesuaikan dengan rencana kota, sedangkan sebagai alat pengawas pembangunan dan pertumbuhan fisik kota, besar PBB yang dikenakan dapat berfungsi sebagai denda/disintensif atau hukuman untuk setiap pemanfaatan lahan yang menyimpang dari ketentuan yang diperbolehkan dalam rencana kota. Dalam hal ini secara umum PBB dapat berfungsi sebagai alat insentif dan disinsentif bagi para pengguna lahan untuk dapat memanfaatkan lahannya sesuai dengan kebijakan tata ruang kota.

36 100 Dari hasil analisis regresi berganda juga rasio antara land rent dengan penggunaan lahan dapat disimpulkan bahwa pengendalian pemanfaatan lahan di Kecamatan Cibinong dan Cileungsi dapat dilakukan dengan cara menetapkan besar pokok PBB menurut tingkatan-tingkatan tertentu sesuai dengan kedudukan obyek pajak dalam rencana kota. Penetapan tarif PBB pada masing-masing kawasan adalah sebagai berikut: a. Kawasan Perumahan Pada lokasi yang lahannya diperuntukkan untuk perumahan maka penggunaan selain rumah seperti perdagangan dikenakan tarif lebih tinggi dari perumahan dan ditingkatkan terus sebesar tarif pajak awal setiap tahunnya hingga penggunaan lahannya sama dengan perumahan. Penetapan tarif pajak yang progesif pada dasarnya merupakan disintensif yang tingkat pembebanannya lebih tinggi dari pada sistem flate rate. b. Kawasan industri Sama dengan kawasan perumahan pada kawasan yang diarahkan sebagai kawasan industri sebaiknya diterapkan adalah progesif, untuk penggunaan lahan selain industri diberlakukan peningkatan tarif pajak setiap tahunnya. c. Kawasan lindung Pada kawasan lindung perlu diterapkan sistem tarif progesif lipat ganda karena kawasan ini memerlukan tingkat pengendalian yang tinggi, tarifnya adalah dua kali lipat dari tarif normal dan dilipatgandakan setiap tahunnya. d. Kawasan perdagangan dan jasa Pada kawasan ini diberlakukan tarif flate rate, dengan pertimbangan bahwa pemilik lahan akan mengubah pemanfaatan lahannya menjadi kawasan komersial. e. Kawasan campuran Kawasan campuran (foating zone) atau kawasan yang diarahkan untuk fungsi campuran diberlakukan pajak yang diambangkan atau fleksibel. PBB tidak perlu melakukan intenvensi pajak atau tindakan pengendalian karena tujuan

37 101 pembangunan pada kawasan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa melihat jenis penggunaan lahannya. f. Kawasan pertanian Pajak lahan pada kawasan pertanian diberlakukan pajak dengan tarif yang rendah sehingga mampu meningkatkan atau mempertahankan jumlah lahan pertanian di wilayah perkotaan dan mendesak penggunaan lahan lainnya. g. Lahan kosong Pajak yang diberlakukan untuk lahan kosong dilakukan guna mencegah spekulasi lahan dan memperbaiki penggunaan lahan pribadi yang kosong. Sama halnya dengan kawasan lindung, pada lahan-lahan kosong dapat diterapkan pajak yang berlipat sebesar 2 kali sampai 10 kali dari jumlah pajak lahan yang wajar. Pajak lahan kosong dapat menahan spekulasi lahan, memperbaiki penggunaan lahan dan juga mengurangi harga rumah.

KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI

KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI 44 KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI Kabupaten Bogor merupakan wilayah dari Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Banten dan bagian dari wilayah Jabodetabek. Secara geografis, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 26 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Untuk beberapa kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di kabupaten Bogor, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah dijabarkan menjadi Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota yang sangat pesat selama beberapa dekade terakhir, baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. IV METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor NI MADE ESTI NURMANI

KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor NI MADE ESTI NURMANI KETERKAITAN PAJAK LAHAN DENGAN PENGGUNAAN LAHAN Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor NI MADE ESTI NURMANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No 28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No. 2355-9292 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN RUANG PADA KORIDOR JL. LANGKO PEJANGGIK SELAPARANG DITINJAU TERHADAP RTRW KOTA MATARAM Oleh : Eliza Ruwaidah Dosen tetap Fakultas

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD Oleh : Linda Dwi Rohmadiani Abstrak Proporsi Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau 5.1.1. Identifikasi Perubahan Luas RTH di Jakarta Timur Identifikasi penyebaran dan analisis perubahan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 34 BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi hutan kota yang akan dibangun terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, dengan luas 5400 m 2. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun 2000-2016 di Kota Tangerang Selatan Aisyah Desinah 1, Mangapul P. Tambunan 2, Supriatna 3 1 Departemen Geografi.

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN 6.1. Struktur Peruntukan Lahan e t a P Gambar 6.1: Penggunaan lahan Desa Marabau 135 6.2. Intensitas Pemanfaatan Lahan a. Rencana Penataan Kawasan Perumahan Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

VI. HASIL PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN

VI. HASIL PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN VI. HASIL PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN Pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni, pengembang, dan pemerintah dianalisis berdasarkan hasil kuesioner dengan menggunakan sofware SPSS for windows. Penentuan faktor-faktor

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi BAB III DESAIN RISET Dalam bab ini akan dibahas metodologi penelitian yang digunakan, unit analisis yang digunakan, data yang mendukung penelitian, pengumpulan data, lokasi penelitian, pemilihan sampel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana.

BAB I PENDAHULUAN. lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana. BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini berisi mengenai latar belakang yang digunakan sebagai dasar penelitian, perumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup, kebutuhan data, teknik pengumpulan data,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pemilik kewenangan terhadap lahan kawasan Situ Bagendit di bawah pengelolaan Dinas PSDA cukup kesulitan menjalankan fungsi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB VI MAYANG TERURAI

BAB VI MAYANG TERURAI BAB VI RANCANGAN PENGEMBANGAN TERMINAL AKAP MAYANG TERURAI 6.1. Penyusunan Program Pengembangan Terminal Mayang Terurai Dari berbagai potensi, hambatan dan kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN. guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu

BAB VII PEMBAHASAN. guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu BAB VII PEMBAHASAN 7.1 Pajak Tanah Kewajiban pembayaran pajak merupakan perwujudan partisipasi masyarakat guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu sumber terbesar dari pemasukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur,

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI

BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI 3.1 TINJAUAN UMUM KOTA BEKASI Kota Bekasi merupakan salah satu kota dari 5 kota dengan populasi terbesar di Indonesia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa, Kota Bekasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON 110 BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON Pada Bab ini dilakukan analisis data-data yang telah diperoleh. Untuk mempermudah proses analisis secara keseluruhan, dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN BENCANA SITU GINTUNG DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG

TINJAUAN BENCANA SITU GINTUNG DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG TINJAUAN BENCANA SITU GINTUNG DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Firman M. Hutapea, MUM Kasubdit Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan dan Metropolitan Wilayah II (Jawa Bali) Pendahuluan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografi Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106 o 48 28 107 o 27 29 Bujur Timur dan 6 o 10 6 6 o 30 6 Lintang Selatan. Letak Kota Bekasi yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN V KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KOTA MEDAN. Kualitas yang diharapkan

LAMPIRAN V KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KOTA MEDAN. Kualitas yang diharapkan LAMPIRAN V KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KOTA MEDAN Zona (berdasarkan Kawasan Lindung Kawasan Hutan Manggrove (Hutan Bakau Sekunder); Sungai, Pantai dan Danau; Rel Kereta Api pelindung ekosistim bakau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lapangan dilaksanakan pada pertengahan bulan Februari hingga April 2010. Lokasi penelitian adalah areal perkebunan inti dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1.

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1. ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi ABSTRAK Tanaman pangan yang berkembang di Kabupaten Bekasi adalah padi, jagung, ubi kayu,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN

PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN Pemilihan lokasi perumahan oleh penghuni, pengembang, dan pemerintah dianalisis berdasarkan hasil kuesioner dengan teknik analisis komponen utama menggunakan sofware SPSS for

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN 1. PENDAHULUAN TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN Seiring dengan pertumbuhan perkotaan yang amat pesat di Indonesia, permasalahan drainase perkotaan semakin meningkat pula. Pada umumnya

Lebih terperinci

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars.

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars. Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars. Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa dapat mengkritisi issue issue aktual tentang penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. No.42, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 11/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN KESERASIAN

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: HENDRA WIJAYA L2D 307 014 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 i ABSTRAK

Lebih terperinci

5. SIMPULAN DAN SARAN

5. SIMPULAN DAN SARAN 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 43 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Umum Kelurahan Depok Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor : 8 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Lurah bertanggung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA

HASIL PENELITIAN ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA Fitriani S. Rajabessy 1, Rieneke L.E. Sela 2 & Faizah Mastutie 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN PREVIEW III TUGAS AKHIR PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita, ST., MT. Merisa Kurniasari 3610100038

Lebih terperinci

RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM

RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM 6 6.1 Rencana Penyediaan Ruang Terbuka Tipologi Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung berdasarkan kepemilikannya terbagi

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH 5.1 Kesimpulan Kesimpulan terkait dengan analisis kriteria kekumuhan permukiman Ciloseh Kota Tasikmalaya meliputi kesimpulan terhadap dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 LAMPIRAN 72 Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 Kecamatan Kelurahan/Desa Penduduk fasilitas Pendidikan Ekonomi Kesehatan Sosial Jenis PONDOKGEDE JATIRAHAYU 45675 40 398 61 58 1056 23 Hirarki

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

Dosen Pembimbing : Dr. Ing. Haryo Sulistyarso

Dosen Pembimbing : Dr. Ing. Haryo Sulistyarso Disusun oleh : Wika Eka S. (3609100016) Dosen Pembimbing : Dr. Ing. Haryo Sulistyarso Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pertumbuhan pembangunan yang terjadi pada kawasan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.. Luas Wilayah Kota Tasikmalaya berada di wilayah Priangan Timur Provinsi Jawa Barat, letaknya cukup stratgis berada diantara kabupaten Ciamis dan kabupaten Garut.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG RENCANA DETAIL

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG

PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG NASTITI PREMONO PUTRI (3609100069) DOSEN PEMBIMBING : IR. HERU PURWADIO,MSP LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang diperlukan untuk mendukung

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci