V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal"

Transkripsi

1 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, jalan dan emplasmen, kebun campuran, pemukiman, rumput, sawah, dan tegalan. Kecamatan Klapanunggal memiliki 10 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, kebun campuran, pemukiman, sawah, tegalan, galian C, lahan terbuka dan semak. Secara spasial sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang pada Gambar 5 dan Kecamatan Klapanunggal pada Gambar 6. Luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Luas (ha) Proporsi (%) No Penggunaan Lahan Babakan Klapanunggal Babakan Klapanunggal Madang Madang 1 Badan air Hutan Industri Jalan dan Emplasmen Kebun Campuran Pemukiman Rumput Sawah Tegalan Galian C Lahan Terbuka Semak Total Sumber : Hasil Interpretasi Citra Alos Anvir Dari Tabel 8 diketahui bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang didominasi oleh hutan dan tegalan dengan proporsi masing-masing 34.05% dan 31.18% dari total luas Kecamatan Babakan Madang. Kecamatan Klapanunggal didominasi oleh hutan dan sawah, dengan proporsi masing-masing 32.83% dan 17.45% dari total luas Kecamatan Klapanungal. Tingginya penggunaan lahan hutan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

2 24 dikarenakan terdapat peruntukan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang cukup luas, sehingga penggunaan lahan hutan di dalam kawasan tersebut tetap terjaga dari konversi ke penggunaan lain karena dilindungi oleh hukum, walaupun masih terdapat beberapa penyimpangan. Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang Penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang lebih dominan tegalan dari pada padi sawah, hal tersebut di karenakan sedikitnya aliran sungai yang melintasi Kecamatan Babakan Madang, dimana air sungai merupakan salah satu sumber utama irigasi padi sawah. Sedangkan di Kecamatan Klapanunggal cukup banyak dialiri air sungai sehingga penggunaan lahan untuk padi sawah lebih dominan. Penggunaan lahan pemukiman di Kecamatan Babakan Madang sebesar ha dan Klapanunggal ha. Luasnya peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan menyebabkan banyaknya pemukiman di kedua kecamatan tersebut. Total peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan di Kecamatan Babakan Madang sebesar ha atau

3 %, dan di Kecamatan Klapanunggal 1644,32 ha atau 17.18% dimana masih cukup luas peruntukan kawasan pemukiman tersebut yang belum menjadi pemukiman. Penggunaan lahan kebun campuran di Kecamatan Babakan Madang sebesar ha dan Klapanunggal ha. Tingginya penggunaan lahan kebun campuran di karenakan tingginya penggunaan lahan pemukiman, sawah dan tegalan. Dimana kebun campuran cenderung berada di sekitar pemukiman, sawah, dan tegalan. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Babakan yaitu jalan dan emplasmen, dan rumput. Penggunaan lahan jalan dan emplasmen berupa jalan tol dan sirkuit sentul, rumput berupa lapangan golf. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Klapanunggal yaitu Galian C berupa batuan kapur yang di tambang oleh PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan penduduk sekitar. Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal

4 Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal berdasarkan matrik logik disajikan pada Lampiran 3. Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 9. Dari Gambar 7 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa penyimpangan pemanfaatan ruang terjadi di kawasan budidaya dan lindung. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan budidaya terjadi di kawasan, perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan industri. Penyimpangan terbesar terjadi di kawasan perkebunan sebesar 100%, dimana 69.57% untuk tegalan dan 30.43% untuk kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk tegalan 21.51%. Penyimpangan di kedua kawasan tersebut sebagian besar terdapat di Desa Karang Tengah. Dimana 1927 dari 3381 rumah tangga berprofesi sebagai petani, dengan komoditas pertanian yang diusahakan adalah ubi kayu (BPS, 2009), sehingga tidak sedikit petani yang menggunakan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering terbesar untuk sawah 18.16%. Penyimpangan tersebut terjadi di sekitar daerah aliran sungai di Desa Karang Tengah, dimana lahan masih bisa ditanami padi sawah. 100 % Penyimpangan Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Pertanian Lahan Kering Peruntukan Industri Gambar 7. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang

5 27 Tabel 9. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang No RTRW Luas (ha) 1 Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan 5.85 Penggunaan Lahan Penyimpangan Luas (ha) % Sawah Tegalan Pemukiman Sawah Tegalan Tegalan Kebun Campuran Total (ha) Pertanian Lahan Kering Peruntukan Industri Pemukiman Sawah Pemukiman Total peruntukan industri menyimpang sebesar 23.38% dari alokasi RTRW dengan jenis penyimpangan menjadi pemukiman. Penyimpangan terjadi di Desa Sentul, dimana 1263 dari 2469 rumah tangga bekerja di sektor industri. Adanya industri menarik para penduduk di luar desa tersebut untuk bekerja di sana. Sehingga menyebabkan tumbuhnya pemukiman pemukiman baru sebagai tempat tinggal penduduk pendatang. Dimana pemukiman tersebut sebagian menyimpang dari peruntukan kawasaan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung sebesar 0.57%, untuk sawah 0.56% dan tegalan 0.01%. Penyimpangan tersebut terdapat di Desa Karang Tengah dan Bojong Koneng, dimana 1927 dari 3381 rumah tangga di Desa Karang Tengah dan 1406 dari 2618 rumah tangga di Desa Bojong Koneng bekerja sebagai petani (BPS, 2009). Sehingga terdapat beberapa petani yang menggunakan kawasan hutan lindung untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 4. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 8.

6 28 Gambar 8. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Klapanunggal hanya terjadi di kawasan budidaya yaitu pada kawasan pertanian lahan kering, industri, hutan produksi, pertanian lahan basah, dan pemukiman pedesaan. Jenis dan luas penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disajikan pada pada Tabel 10 dan Gambar 9. Dari Tabel 10 dan Gambar 9 terlihat bahwa penyimpangan terbesar terjadi di kawasan pertanian lahan kering. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering digunakan untuk pemukiman 34.18%, selain itu industri 3.09% dan sawah 3.7%. Penyimpangan tersebut sebagian besar terletak di Desa Ligar Mukti. Tingginya penyimpangan kawasan pertanian lahan kering menjadi pemukiman di kawasan tersebut karena jauhnya jarak desa dari pusat kota. Listiawan (2010) mengungkapkan bahwa, jarak desa yang jauh dari pusat kota menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi.

7 29 % Penyimpangan Hutan Produksi 5.19 Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Peruntukan Industri 3.64 Pemukiman Pedesaan Gambar 9. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Klapanunggal Tabel 10. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal No RTRW Luas (ha) 1 Hutan Produksi Penggunaan Lahan Penyimpangan Luas % (ha) Galian C Kebun Campuran Lahan Terbuka Pemukiman Sawah Tegalan Total (ha) Pertanian Lahan Basah Pemukiman Pertanian Lahan Kering Industri Pemukiman Sawah Peruntukan Industri Pemukiman Pemukiman Pedesaan Industri Total Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan basah dan peruntukan industri berupa pemukiman sebesar 5.19% dan 24.88%. Penyimpangan tersebut terjadi di Desa Klapanunggal dan Kembang Kuning. Tingginya jumlah penduduk (11859 jiwa di Desa Klapanunggal dan jiwa di Desa Kembang Kuning) (BPS, 2008) menyebabkan terjadinya penyimpangan di kedua kawasan tersebut. Selain itu, penduduk di kedua desa tersebut sebagian

8 30 besar bekerja di sektor industri (BPS, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Restina (2009) kepadatan penduduk dan jenis pekerjaan mempengaruhi terjadinya penyimpangan alokasi ruang. Adanya industri menarik para penduduk untuk bekerja di sana yang menyebabkan tumbuhnya pemukiman pemukiman di sekitar kawasan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pemukiman perdesaan berupa industri sebesar ha atau 3.64%. Penyumbang terbesar penyimpangan tersebut terdapat pada pabrik Holcim, dimana ha atau 21.96% dari luas pabrik Holcim tidak sesuai dengan alokasi ruang yang seharusnya digunakan untuk pemukiman perdesaan. PT. Holcim Indonesia Tbk merupakan industri semen ketiga terbesar di Indonesia dengan kapasitas terpasang sebesar 7.9 juta ton. Dengan produksi yang tercapai pada tahun 2005 sebesar 6.5 juta ton ( 10 Desember 2011). Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk kebun campuran sebesar ha atau 4.40%. Selain itu untuk galian C sebesar ha atau 3.11%. Banyaknya kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran karena dekatnya kawasan hutan produksi dengan pemukiman penduduk, sawah, dan tegalan, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan sebagian kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-c sebesar ha atau 3.11%, penyimpangan terjadi Desa Leuwikaret dan Desa Klapanunggal. Di Desa Leuwikaret penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-c disebabkan oleh tambang PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yang merupakan industri semen terbesar kedua setelah Semen Gresik Grup dengan total kapasitas sebesar 16.5 juta ton atau 37% dari seluruh kapasitas terpasang industri semen di Indonesia ( 10 Desember 2011). Sedangkan di Desa Klapanunggal penyimpangan kawasan hutan produksi menjadi galian-c terjadi karena terdapat beberapa tambang liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar. Tambang liar di desa tersebut disebabkan oleh kurangnya pengawasan aparat berwajib. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 5. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 10.

9 31 Gambar 10. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal 5.3. Variabel fisik lingkungan penciri tingkat kekritisan lahan Hasil pengamatan variabel penciri tingkat kekritisan lahan di lapang tersaji pada Lampiran Hasil analisis diskriminan dari data tersebut disajikan pada Tabel 11. Dari Tabel 11 memperlihatkan bahwa terdapat empat variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% membedakan tingkat kekritisan lahan yaitu batuan permukaan, kedalaman efektif, singkapan batuan dan erosi. Sedangkan varibel yang lain lereng, drainase, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi tidak terpilih. Hal ini mengindikasikan kemampuan variabel yang rendah dalam mendiskriminasi antar kelas kekritisan, kemungkinan adanya multikolinearitas antar variabel. Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa nilai Wilks variabel batuan permukaan, kedalaman efektif, erosi, dan singkapan batuan cenderung mendekati 0. Nilai Wilks lambda mendekati 0 menunjukkan variabel tersebut mampu membedakan tingkat kekritisan lahan cukup sempurna. Keempat variabel tersebut memiliki nilai 1-Toler cenderung mendekati 1, nilai tersebut menunjukkan redudansi cukup tinggi (Panuju dan Rustiadi, 2010).

10 32 Tabel 11. Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan Variabel Wilks' p-level 1-Toler. Batuan Permukaan Kedalaman Efektif Singkapan Batuan Tingkat Erosi Ketepatan Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan DRLKT Menggunakan Kriteria Modifikasi Hasil analisis diskriminan untuk ketepatan klasifikasi DRLKT menggunakan Kriteria Modifikasi disajikan dalam matriks klasifikasi pada Tabel 12. Dari Tabel 12 menunjukkan bahwa ketepatan klasifikasi DRLKT dengan menggunakan kriteria modifikasi sebesar 66.67%, sisanya 33.33% merupakan kesalahan klasifikasi. Tingkat ketepatan klasifikasi yang rendah dikarenakan kriteria yang digunakan untuk menguji tingkat ketepatan klasifikasi berbeda dari kriteria DRLKT. Ketepatan klasifikasi pada kelas sangat kritis sebesar 71.43%, dimana 2 dari 7 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas agak kritis dan potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas kritis 53.85%, dimana 6 dari 13 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis 2 sampel, potensial kritis 3 sampel, dan tidak kritis 1 sampel. Satu sampel tidak kritis tersebut terdapat di Kecamatan Babakan Madang dengan penggunaan lahan sawah, tingginya tutupan vegetasi, lereng yang tidak curam karena sudah di teras, batuan dan singkapan batuan yang rendah, serta tidak terjadi erosi menyebabkan sampel tersebut cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis dari pada kedalam kelas kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas agak kritis 66.67%, dimana 4 sampel dari 18 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas potensial kritis sebesar 81.25%, dimana 2 sampel dari 16 sampel yang di ujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas tidak kritis 50%, dimana 3 sampel dari 6 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Persentase ketepatan klasifikasi tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kelas kritis dan tidak kritis

11 33 merupakan dua kelas yang ketepatan klasifikasinya relatif lebih rendah, jika di bandingkan dengan kelas kekritisan lainnya. Tabel 12. Matriks Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. Tingkat Kekritisan Persentase Ketepatan Sangat Agak Potensial Tidak Sangat Agak Potensial Tidak Total Peluang posterior yang menunjukkan ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan secara detil disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 memperlihatkan bahwa variabel fisik lahan dari pengamatan lapang terdapat 20 kasus misklasifikasi dari 60 unit pengamatan yang di analisis. Unit pengamatan yang mengalami misklasifikasi yaitu nomor 1, 2, 4, 7, 11, 15, 20, 22, 23, 25, 27, 29, 33, 34, 35, 37, 38, 40, 50, dan 51. Pada unit pengamatan nomer 25, 29, dan 21, cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis. Unit pengamatan nomor 2 dan 11, cenderung masuk ke dalam kelas kritis. Unit pengamatan nomor 15, 22, dan 37, cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Unit pengamatan nomor 1, 2, 20, 23, 27, 33, 34, 35, 38, 40 dan 50, cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Sedangkan unit pengamatan nomer 4 cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis. Sebaran secara spasial ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan terdapat pada Gambar 11 dan 12. Data karakteristik fisik lingkungan tersaji pada Lampiran 12.

12 34 Tabel 13. Peluang Posterior Kelas Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. No Simbol Pengamatan Sangat Agak Potensial Tidak * 1 HP.SW * 2 HP.SW3 Agak HP.TG3.1 Agak * 4 HP.SW HP.TG3.2 Agak HL.SW4.1 Potensial * 7 PB.TG3 Agak LK.SW LK.SW4.1 Potensial HP.TG * 11 LK.SW4.2 Potensial HP.H4.1 Potensial HP.H H L.H4 1 Potensial * 15 PB.KC4 Potensial LK.TG1 Sangat LK.TG3 Agak LK.TG HP.H4.2 Potensial * 20 HP.H Pp.TG1 Sangat * 22 Prw.RP1 Sangat * 23 Pp.KC1 Sangat Prw.TG * 25 LK.TG Pp.TG * 27 Pp.KC3.1 Agak Pp.KC3.2 Agak * 29 Pp.TG3 Agak HL.H4.2 Potensial Pp.SW4 Potensial PP.TG4 Potensial * 33 PP.TG5.1 Tidak * 34 PP.TG5.2 Tidak * 35 PP.RP5 Tidak HP.KC3 Agak * 37 HP.SW4 Potensial * 38 HP.SW3 Agak * 40 LK.SW3 Agak HP.H3 Agak HP.H4 Potensial LK.TG3 Agak LB.S W4 Potensial HP.H31 Agak ZT.GC1 Sangat IN.LT11 Sangat IN.LT12 Sangat IN.LT * 50 Pp.SW * 51 IN.SE LK.H3 Agak PD.KC3 Agak Pp.SE3 Agak LB.S W4 1 Potensial PD.KC4 Potensial LB.S W4 2 Potensial IN.KC5 Tidak IN.SE51 Tidak IN.SE52 Tidak Keterangan : kasus bertanda *) terjadi salah klasifikasi; nilai cetak merah peluang di kelas DRLKT dan dicetak biru peluang terbesar hasil pemodelan.

13 35 35 Gambar 11. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Babakan Madang

14 36 36 Gambar 12. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Klapanunggal

15 Keterkaitan Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan Keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan tersaji pada Tabel 14. Dari Tabel 14 terlihat bahwa nilai koefisien korelasi antara penyimpangan pemanfaatan ruang dengan tingkat kekritisan lahan signifikan pada tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka penyimpangan pemanfaatan ruang berkorelasi lemah terhadap lahan sangat kritis, berkorelasi sedang terhadap lahan kritis dan tidak kritis, berkorelasi kuat terhadap lahan potensial kritis, dan berkorelasi sangat kuat terhadap lahan agak kritis. Koefisien korelasi paling besar terdapat pada lahan agak kritis (0.950), nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin luas penyimpangan pemanfaatan ruang maka tingkat kekritisan lahan agak kritis cenderung semakin luas jika dibandingkan dengan tingkat kekritisan lahan yang lain. Tabel 14. Korelasi antara Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan Tingkat Kekritisan Lahan Penyimpangan Koefisien Korelasi Sangat Agak Potensial Tidak Signifikansi Penyimpangan alokasi ruang dan perubahan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 terlihat bahwa penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang pada kawasan hutan lindung, pertanian lahan kering dan kawasan industri di Kecamatan Babakan Madang tidak menimbulkan peningkatan kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung untuk tegalan, tidak dilakukan pengamatan lapang karena luasannya relatif kecil yaitu 0.11 ha atau 0.01% dan susah di jangkau. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan produksi, menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 meningkatkan kekritisan lahan, hal tersebut terlihat dari tingkat kekritisan lahan pada hutan produksi potensial kritis, berubah menjadi agak kritis. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 1 tidak meningkatkan

16 38 kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 terjadi peningkatan kekritisan lahan karena tutupan vegetasi pada penggunaan lahan tersebut lebih sedikit dari pada kawasan hutan produksi yang penggunaan lahannya tetap sebagai hutan. Berkurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengaruh hujan dan lereng semakin nyata terhadap timbulnya erosi. Erosi menyebabkan kedalaman efektif tanah semakin dangkal dan meningkatnya persentase singkapan batuan dan batuan permukaan di tanah. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 1. Tabel 15. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang No 1 2 Alokasi Ruang Hutan Lindung Hutan Produksi 3 Perkebunan 4 5 Pertanian Lahan Kering Peruntukan Industri Penggunaan Lahan Tingkat Kekritisan Lokasi 1 Lokasi 2 Hutan Lindung Potensial - Sawah Potensial - Hutan Produksi Potensial Pemukiman Agak Sawah Potensial Tegalan Agak Kebun Campuran Potensial - Tegalan Agak - Tegalan - Pemukiman - Sawah - Industri Potensial - Pemukiman Potensial - Penyimpangan pemanfaatan ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Klapanunggal disajikan dalam Tabel 16. Dari Tabel 16 terlihat bahwa hanya pada kawasan hutan produksi menjadi galian C yang mengalami peningkatan kekritisan lahan, yaitu dari agak kritis menjadi sangat kritis. Peningkatan kekritisan untuk galian-c tersebut di karenakan tutupan vegetasi dan solum tanah sebagian besar telah hilang akibat kegiatan pertambangan. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 2.

17 39 Tabel 16. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan di Kecamatan Klapanunggal No Alokasi Ruang Penggunaan Lahan Tingkat Kekritisan Hutan Agak Galian C Sangat 1 Hutan Produksi Kebun Campuran Agak Sawah Potensial Tegalan Agak Pemukiman Agak 2 Pertanian Lahan Basah Sawah Potensial Pemukiman Potensial Tegalan Agak 3 Pertanian Lahan Kering Pemukiman Agak Sawah Potensial Industri Agak 4 Peruntukan Industri Industri Agak Pemukiman Agak 5 Pemukiman Perdesaan Pemukiman Agak Industri Agak Korelasi antara variabel fisik lahan dengan tingkat kekritisan lahan disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 terlihat bahwa koefisien korelasi antara tingkat kekritisan dengan tutupan vegetasi, kedalam efektif, dan drainase tanah bertanda negatif. Tanda negatif menunjukkan bahwa tutupan vegetasi yang rendah, kedalaman efektif yang dangkal, dan buruknya drainase tanah maka tingkat kekritisan lahan akan semakin tinggi, begitu sebaliknya. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang dengan tingkat kekritisan lahan, dan drainase berkorelasi sangat lemah. Drainase memiliki tingkat kepercayaan kurang dari 95% yang menunjukkan bahwa, drainase kurang signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Sedangkan tutupan vegetasi dan kedalaman efektif tingkat kepercayaan lebih dari 95% yang menunjukkan bahwa, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Tutupan vegetasi sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran permukaan sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Kedalaman efektif merupakan

18 40 salah satu sifat lahan yang berperan terhadap kekritisan lahan. Semakin dangkal kedalaman efektif suatu lahan maka memiliki kemungkinan yang besar terhadap terjadinya lahan kritis. Sebaliknya kedalaman efektif tanah yang dalam, memiliki kemungkinan yang kecil terhadap munculnya lahan kritis Tabel 17. Korelasi antara Variabel Fisik Lahan dengan Tingkat Kekritisan Lahan Variabel Koefisien Korelasi Signifikansi TutupanVegetasi Lereng Kedalaman Efektif Batuan Permukaan Singkapan Batuan Drainase Tindakan Konservasi Erosi Koefisien korelasi antara tingkat kekritisan lahan dengan lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, curah hujan, tindakan konservasi, dan erosi bertanda positif. Tanda positif tersebut menunjukkan bahwa batuan permukaan, singkapan batuan, dan curah hujan yang semakin tinggi, lereng yg semakin curam, terdapat erosi, serta tidak terdapat tindakan konservasi maka tingkat kekritisan lahan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Namun, singkapan batuan dan tindakan konservasi memiliki tingkat kepercayaan yang relatif rendah yaitu kurang dari 95%, sedangkan lereng, batuan permukaan, curah hujan dan erosi memiliki tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka batuan permukaan berkorelasi kuat dengan tingkat kekritisan lahan, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang, erosi dan curah hujan berkorelasi lemah. Tingkat erosi dapat menjadi indikator kekritisan lahan, dimana semakin tinggi tingkat erosi maka mengakibatkan lahan semakin kritis. Hasil penelitian Idjudin (2003), tanah inceptisol pada kemiringan lahan 14% di Citayam Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi, menjadi kritis dan mengalami penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun karena terjadi erosi atau kehilangan tanah setebal 2.5cm/tahun.

19 41 Kecuraman lereng juga merupakan salah satu penentu terjadinya lahan kritis, karena semakin curam lereng maka aliran permukaan semakin meningkat, dengan meningkatnya aliran permukaan maka sedimen yang tererosi bersama aliran permukaan juga semakin meningkat. Terlebih jika tidak ada tindakan konservasi yang di terapkan, maka hal tersebut akan semakin mempercepat terjadinya kekritisan lahan. Batuan di permukaan dan singkapan batuan akan mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan lahan. Semakin banyak batuan menyebabkan semakin berkurangnya areal-areal yang bisa ditanami. Selain itu, semakin banyak batuan maka semakin menyulitkan dalam pengolahan tanahnya, sehingga semakin banyak persentase dan singkapan batuan menunjukkan kondisi lahan semakin kritis..

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN (Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal) Oleh : SISHARYANTO PUTRO WIBOWO

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) Oleh : Edy Junaidi Balai Penelitian Kehutanan Ciamis ABSTRAK Luasan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas ketersediaannya. Seperti sumber daya alam lainnya, lahan merupakan salah satu objek pemenuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN berikut : FAO dalam Arsyad (2012:206) mengemukakan pengertian lahan sebagai Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO 4.1. Keadaan Geografis Kabupaten Karo terletak diantara 02o50 s/d 03o19 LU dan 97o55 s/d 98 o 38 BT. Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 atau 212.725 Ha terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konservasi sumber daya air merupakan salah satu pilar pengelolaan sumber daya air sebagaimana tertuang dalam Permen PUPR No. 10/PRT/M/2015. Konservasi sumber daya

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 38 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Komoditas Basis Komoditas basis adalah komoditas yang memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif. Secara komparatif, tingkat keunggulan ditentukan

Lebih terperinci

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2 SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI Pertemuan ke 2 Sumber daya habis terpakai yang dapat diperbaharui: memiliki titik kritis Ikan Hutan Tanah http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/148111-

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan hidup manusia, berupa sumberdaya hutan, tanah, dan air. Antara manusia dan lingkungan hidupnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran Sungai yang mengalir meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Sumedang yang mempunyai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (HL), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LKHL)

Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (HL), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LKHL) Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LK) KWS VEG SKOR BB LERENG SKOR BB TBE SKOR BB MANAJ SKOR BB PROD SKOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS Esti Sarjanti Pendidikan Geografi-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh PO.BOX. 202 Purwokerto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN...1

BAB I PENDAHULUAN...1 DAFTAR ISI PERNYATAAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii INTISARI... ix ABSTRACT...x BAB I PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 5 1.3 Tujuan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG Abstrak Rizka Maria 1, Hilda Lestiana 1, dan Sukristiyanti 1 1 Puslit Geoteknologi LIPI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 1. Gambaran Umum a) Secara geografi Desa Banaran, Kecamatan Pulung terletak di lereng Gunung Wilis sebelah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI Yetti Anita Sari Fakultas Geografi UGM; Yogyakarta E-mail: yettianitasari@gmail.com ABSTRAK Sektor pertanian merupakan salah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat) wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan 22 TATACARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan di empat lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen padat, cair dan gas, dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik (Arsyad, 1989).

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA. a. Berdasarkan Wujudnya

GEOGRAFI. Sesi PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA. a. Berdasarkan Wujudnya GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 02 Sesi NGAN PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA Semua objek dalam peta ditampilkan dalam bentuk simbol. Artinya, simbol peta mewakili objek baik objek fisik maupun

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam penyediaan pangan, penyediaan bahan baku industri, peningkatan ekspor dan devisa negara,

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta

Lebih terperinci

PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI. Perlakuan Konservasi Tanah (Reklamasi) Guludan. bangku. Guludan - Teras Kredit

PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI. Perlakuan Konservasi Tanah (Reklamasi) Guludan. bangku. Guludan - Teras Kredit 2011, No.23 38 LAMPIRAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.04/MENHUT-II/2011 TANGGAL : 14 JANUARI 2011 PENGATURAN BENTUK LERENG DAN PERLAKUAN REKLAMASI - Vegetasi Tetap (Tanaman tahunan) - Hutan Lindung

Lebih terperinci

EI 30 = 6,119 R 1,21 D -0,47 M 0,53 Tabel IV.1 Nilai Indeks Erosivitas Hujan (R)

EI 30 = 6,119 R 1,21 D -0,47 M 0,53 Tabel IV.1 Nilai Indeks Erosivitas Hujan (R) BAB IV ANALISIS No. 4.1 Faktor Berpengaruh DalamTingkat Kehilangan Tanah Dalam menganalisis Fisik Kemampuan tanah terhadap erosi di gunakan pedoman Permen PU No.41/PRT/M/2007 yang didalamnya menjelaskan

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci