V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur"

Transkripsi

1 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel 5 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk Kecamatan Sukaraja sebesar jiwa pada periode dengan kepadatan 40 jiwa/ha dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 7,6 %. Pertumbuhan penduduk ini diduga karena penduduk yang datang untuk tinggal di Desa Cibanon, Desa Gunung Geulis, Desa Nagrak, Desa Sukatani, Desa Sukaraja, Desa Cadas Ngampar, Desa Pasirlaja, Desa Cijujung, Desa Cimandala, Desa Pasirjambu, Desa Cilebut Timur, dan Desa Cilebut Barat. Jumlah penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2009 terkonsentrasi di wilayah bagian Barat, yaitu Desa Cijujung dan Desa Cilebut Barat. Kedua desa tersebut berbatasan dengan pusat Kota Bogor sehingga akses jaringan jalan dan fasilitas lebih banyak. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya minat penduduk pindah ke desa tersebut. Jumlah penduduk terkecil di Desa Sukatani, karena minimnya akses jalan dan sarana prasarana lain yang mengakibatkan penduduk bermigrasi ke tempat yang lebih layak. Kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Desa Cilebut Barat 382 jiwa/ha dan kepadatan penduduk terendah terjadi di Desa Gunung Geulis sebesar 10 jiwa/ha. Hal ini menyebabkan penyebaran penduduk yang tidak merata dan mengakibatkan pertumbuhan masing-masing desa berbeda-beda. Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Sukaraja pada tahun tertinggi di Desa Cibanon dengan peningkatan penduduk 810 jiwa. Peningkatan tersebut disebabkan oleh banyaknya penduduk yang datang untuk tinggal dan berdagang. Sedangkan di Desa Cikeas mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,02 % yang diduga karena adanya migrasi penduduk ke kota dan sebagian besar lahan banyak dijual untuk pembangunan perumahan.

2 27 Tabel 5. Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja No Nama Desa Luas (ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/ha) Perubahan Penduduk (Jiwa) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 1 Cibanon 335, ,2 2 Gunung Geulis 610, ,9 3 Nagrak 605, ,1 4 Sukatani 165, ,8 5 Sukaraja 249, ,8 6 Cikeas 316, ,02 7 Cadas Ngampar 258, ,2 8 Pasirlaja 353, ,0 9 Cijujung 455, ,4 10 Cimandala 332, ,8 11 Pasirjambu 79, ,2 12 Cilebut Timur 66, ,8 13 Cilebut Barat 59, ,3 Total 3.888, ,69 Sumber : Badan Pusat Statistik ( ) Jumlah Penduduk (Jiwa) Penduduk 2006 Penduduk 2009 Cibanon Gunung Geulis Nagrak Sukatani Sukaraja Cikeas Cadas Ngampar Pasirlaja Cijujung Cimandala Pasirjambu Cilebut Timur Cilebut Barat (a) Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 25,0 20,0 15,0 10,0 Gambar 8. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk ,0 0,0-5,0 Cibanon Gunung Geulis Nagrak Sukatani Sukaraja Cikeas Cadas Ngampar Pasirlaja Cijujung Cimandala Pasirjambu Cilebut Timur Cilebut Barat (b) Laju Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukamakmur tahun 2006 dan 2009 disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 9. Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Sukamakmur mengalami peningkatan sebesar 201 jiwa dengan kepadatan 4 jiwa/ha dan laju pertumbuhan penduduk 0,3 %. Pada tahun 2009 jumlah penduduk terkonsentrasi di Desa Pabuaran yang memiliki akses terdekat dengan Kecamatan Citeureup, Kecamatan Kelapa Nunggal, dan Kecamatan Jonggol yang merupakan daerah dengan perekonomian yang lebih maju dan akses jaringan jalan yang cukup baik. Sedangkan di Desa Wargajaya terjadi penurunan jumlah penduduk tertinggi dalam kurun waktu 3 tahun berkurang sebanyak jiwa. Penurunan ini disebabkan oleh perekonomian yang rendah, akses jalan, dan jumlah sarana prasarana yang terbatas. Dengan

3 28 demikian banyak penduduk yang migrasi ke tempat lain untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kepadatan penduduk di Kecamatan Sukamakmur tertinggi di Desa Cibadak 7 jiwa/ha dan kepadatan penduduk terendah terjadi di Desa Sukadamai dan Desa Sukawangi sebesar 3 jiwa/ha. Rendahnya kepadatan penduduk di desa tersebut disebabkan oleh kondisi wilayah yang tidak mendukung pembangunan fasilitas pelayanan sehingga minat penduduk untuk tinggal di desa tersebut rendah. Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukamakmur tertinggi di Desa Sukaharja. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Desa Sukaharja disebabkan oleh adanya penambahan fasilitas umum di desa tersebut yaitu perbaikan jalan lokal, sehingga menarik minat penduduk luar desa untuk menetap di desa tersebut. Tabel 6. Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukamakmur No Nama Desa Luas (ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk Perubahan Penduduk Laju Pertumbuhan (Jiwa/ha) (Jiwa) Penduduk (%) 1 Sukawangi 2.809, ,6 2 Sukaharja 1.997, ,5 3 Wargajaya 1.278, ,7 4 Sirnajaya 1.472, ,3 5 Sukamulya 1.398, ,7 6 Sukamakmur 1.272, ,2 7 Cibadak 1.099, ,9 8 Pabuaran 2.084, ,4 9 Sukadamai 1.948, ,2 10 Sukaresmi 1.338, ,9 Total , ,3 Sumber: Badan Pusat Statistik ( ) Jumlah Penduduk (Jiwa) Sukawangi Penduduk 2006 Penduduk 2009 Sukaharja Wargajaya Sirnajaya Sukamulya Sukamakmur (a) Jumlah Penduduk Cibadak Pabuaran Sukadamai Sukaresmi Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 20,0 10,0-10,0-20,0-30,0 Gambar 9. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk ,0 Sukawangi Sukaharja Wargajaya Sirnajaya Sukamulya Sukamakmur Cibadak Pabuaran Sukadamai Sukaresmi (b) Laju Pertumbuhan Penduduk

4 Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukaraja ada 5 macam, yaitu kebun campuran menjadi lahan terbuka, kebun campuran menjadi pemukiman, tegalan menjadi industri, tegalan menjadi lahan terbuka, dan tegalan menjadi pemukiman (Lampiran 6). Luas lahan pertanian di Kecamatan Sukaraja pada tahun 2009 mengalami penurunan luas sebesar 4,5 %. Rata-rata luas perubahan penggunaan lahan tertinggi pada perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi pemukiman, dikarenakan lahan tegalan mendominasi penggunaan lahan di Kecamatan Sukaraja dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya pembangunan pemukiman untuk tempat tinggal Kebun Campuran-->Lahan Te rbu 2. Ke bun Campuran-->Pemukiman 3.Tegalan-->Industri 4. Tegalan-->Lahan Te rbuka 5.Tegalan-->Pemukiman Gambar 10. Boxplot luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukaraja Keragaman luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukaraja disajikan pada Boxplot Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian di Kecamatan Sukaraja yang memiliki keragaman data tertinggi adalah perubahan lahan tegalan menjadi lahan terbuka, sedangkan perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi lahan terbuka terendah. Tingginya keragaman data perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi lahan terbuka

5 30 disebabkan oleh banyaknya perubahan tegalan menjadi lahan terbuka di Kecamatan Sukaraja. Foto sebaran spasial perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukaraja disajikan pada Gambar 11. Foto yang disajikan hanya 7 titik dari 33 titik pengamatan foto pengecekan lapang. Tujuh foto tersebut adalah penggunaan lahan terbuka yang merupakan perubahan dari kebun campuran, pemukiman dari penggunaan lahan kebun campuran, industri dari penggunaan lahan tegalan, lahan terbuka dari penggunaan lahan tegalan, dan pemukiman dari penggunaan lahan tegalan. Gambar 11. Foto sebaran spasial perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukaraja Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukamakmur disajikan pada Lampiran 7. Lampiran 7 menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian dari tahun sebesar 2,0 % (232,74 ha). Perubahan ini disebabkan oleh rendahnya hasil usaha pertanian, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibatnya

6 31 banyak lahan yang dijual dan melakukan perubahan pengelolaan lahan pertanian menjadi non pertanian. Boxplot luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukamakmur pada Gambar 12 menunjukan bahwa keragaman data perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi lahan terbuka tertinggi dan terendah pada sawah menjadi lahan terbuka. Tingginya keragaman data perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi lahan terbuka karena banyak lahan kebun campuran yang dijual yang kemudian pemilik baru melakukan pembukaan lahan. Rendahnya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbuka karena topografi wilayah sebagian besar berbukit dan aksesibilitas terbatas. Gambar 12. Boxplot luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukamakmur Foto sebaran spasial perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukarmakmur disajikan pada Gambar 13. Foto yang disajikan hanya 6 titik dari 29 titik pengamatan foto pengecekan lapang. Enam foto tersebut adalah penggunaan lahan terbuka dari penggunaan kebun campuran, pemukiman dari penggunaan lahan kebun campuran, lahan terbuka dari penggunaan sawah, pemukiman dari penggunaan lahan sawah, lahan terbuka dari penggunaan lahan tegalan, dan pemukiman dari penggunaan lahan tegalan.

7 32 Gambar 13. Foto sebaran spasial perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukamakmur Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran Perubahan penggunaan lahan kebun campuran di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur tahun disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi pemukiman dan lahan terbuka. Perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi pemukiman di Kecamatan Sukaraja terjadi di semua desa dan terluas terjadi di Desa Cikeas. Desa Cikeas lokasinya strategis dekat dengan lokasi pusat pelayanan, pusat bisnis, dan perkantoran. dan akses jalan lebih baik, sehingga kebun campuran dibangun menjadi pemukiman. Perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi lahan terbuka hanya terjadi di Desa Sukaraja, karena banyak lahan kebun campuran yang dijual, yang kemudian lahan dibuka oleh pembelinya tetapi tidak segera dimanfaatkan.

8 33 Tabel 7. Luas perubahan penggunaan lahan dari kebun campuran No Desa Luas Kebun Campuran Luas Perubahan Penggunaan Lahan (2009) 2006 (Ha) Pemukiman Lahan Terbuka Ha % Ha % Kecamatan Sukaraja 1 Gunung Geulis 120,19 1,33 1,1 2 Sukaraja 23,70 0,71 3,0 1,08 4,5 3 Cikeas 29,04 4,80 16,5 4 Cadas Ngampar 7,61 1,60 21,0 5 Pasirlaja 4,69 1,76 37,4 6 Pasirjambu 3,81 1,28 33,6 7 Cilebut Timur 6,75 2,83 41,9 Jumlah 195,79 14,31 7,3 1,08 0,5 Kecamatan Sukamakmur 1 Sukawangi 683,12 3,61 0,5 1,26 0,1 2 Sukaharja 686,78 4,76 0,6 10,89 1,5 3 Sukamakmur 159,49 0,29 0,1 4,10 2,5 4 Cibadak 204,09 19,03 9,3 5 Pabuaran 434,87 3,02 0,6 25,77 5,9 6 Sukadamai 669,26 2,79 0,4 12,54 1,8 Jumlah 2.837,62 14,46 0,5 73,59 2,5 Sumber : Hasil interpretasi Citra ALOS AVNIR Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman di Kecamatan Sukamakmur terluas di Desa Sukaraja dan Desa Cibadak. Tingginya perubahan di Desa Sukaraja disebabkan oleh lokasinya strategis dengan tempat kerja dan aksesibilitasnya baik, sehingga banyak aktivitas pembangunan untuk pemukiman. Perubahan kebun campuran menjadi lahan terbuka terjadi di semua desa, tertinggi di Desa Pabuaran dan terendah di Desa Sukamakmur. Luas perubahan kebun campuran menjadi lahan terbuka di Desa Pabuaran dikarenakan lahan kebun campuran dijual ke pengusaha yang kemudian di ratakan dan tidak segera dimanfaatkan. Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman di Kecamatan Sukaraja terjadi di semua desa, sedangkan di Kecamatan Sukamakmur hanya terjadi di beberapa desa. Hal ini disebabkan oleh peningkatan penduduk di Kecamatan Sukaraja. Perubahan lahan kebun campuran menjadi lahan terbuka di Kecamatan Sukaraja hanya terjadi di Desa Sukaraja, sedangkan di Kecamatan Sukamakmur semua desa. Kebun campuran di Kecamatan Sukaraja banyak yang berubah menjadi pemukiman. sedangkan di Kecamatan Sukamakmur terjadi disemua desa

9 34 karena banyak kebun campuran yang dijula dan dibiarkan menjadi lahan terbuka selama beberapa waktu tertentu Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan Perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi pemukiman, lahan terbuka, dan industri di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur disajikan pada Tabel 8. Perubahan tegalan menjadi pemukiman tertinggi terjadi di Desa Cijujung 14,19 ha, disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Perubahan tegalan menjadi menjadi lahan terbuka tertinggi sebesar 14,01 ha di Desa Cilebut Barat, dikarenakan lahan tegalan dijual untuk pembangunan yang kemudian dilakukan pembukaan lahan, namun tidak segera dimanfaatkan. Perubahan tegalan menjadi menjadi industri hanya terjadi di Desa Cimandala dikarenakan adanya pelebaran bangunan industri kain. Perubahan tegalan menjadi pemukiman di Kecamatan Sukamakmur tidak terjadi di Desa Cibadak dan Desa Pabuaran diduga karena perekonomian tidak berkembang dan kondisi fasilitas umum mengalami kerusakan yang mengakibatkan tidak ada perbuahan menjadi pemukiman. Luas perubahan penggunaan lahan tegalan di Kecamatan Sukamakmur menjadi pemukiman terbesar di Desa Sukawangi. Besarnya perubahan di Desa Sukawangi karena desa tersebut berdekatan dengan Kecamatan Megamendung dan Kabupaten Cianjur yang merupakan daerah dengan tingkat perekonomian lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Sukamakmur. Luas perubahan tegalan menjadi lahan terbuka tertinggi terjadi di Desa Sukaharja karena banyak lahan tegalan yang dijual sehingga lahan tersebut dibuka dan tidak segera dimanfaatkan. Perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi pemukiman dan lahan terbuka di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur terjadi hampir disemua desa, namun perubahan lahan tegalan menjadi industri hanya terjadi pada Desa Cimandala di Kecamatan Sukaraja dan pada Desa Sukawangi di Kecamatan Sukamakmur. Hal ini dikarenakan banyak penduduk yang melakukan pembangunan pemukiman dan membuka lahan tidak segera dimanfaatkan. Perubahan tegalan menjadi industri di Desa Cimandala, dikarenakan ada perluasan industri kain.

10 35 Tabel 8. Luas perubahan penggunaan lahan dari tegalan No Desa Luas Tegalan 2006 (Ha) Luas Perubahan Penggunaan Lahan (2009) Pemukiman Lahan Terbuka Industri Ha % Ha % Ha % Kecamatan Sukaraja 1 Gunung Geulis 272,72 3,77 1,3 2 Nagrak 260,90 5,90 2,2 3 Cadas Ngampar 101,03 0,60 0,6 8,35 8,2 4 Pasirlaja 215,88 0,37 0,1 0,69 0,3 5 Cijujung 187,81 14,19 7,5 0,0 6 Cimandala 67,42 11,37 16,8 1,23 1,8 3,36 4,9 7 Pasirjambu 33,30 7,57 22,7 0,0 8 Cilebut Timur 26,60 1,70 6,4 0,28 1,0 9 Cilebut Barat 32,25 1,37 4,2 14,01 43,4 Jumlah 1.197,89 37,18 3,1 34,23 2,8 3,36 0,2 Kecamatan Sukamakmur 1 Sukawangi 1.196,43 11,58 0,9 2 Sukaharja 779,80 1,73 0,2 6,72 0,8 3 Sukamakmur 401,84 1,95 0,4 4,09 1,0 4 Cibadak 269,78 1,01 0,3 5 Pabuaran 255,37 4,61 1,8 6 Sukadamai 433,99 1,05 0,2 2,97 0,6 Jumlah 3.337,19 16,31 0,4 19,40 0,5 Sumber : Hasil interpretasi Citra ALOS AVNIR Perubahan Penggunaan Sawah Perubahan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Sukaraja tidak terjadi, di Kecamatan Sukamakmur hanya terjadi di Desa Sukaraja dan Desa Sukaresmi. Tidak dijumpainya penggunaan lahan sawah di Kecamatan Sukaraja karena banyaknya jumlah penduduk, maka lahan sawah sudah terkonversi menjadi bangunan terutama pemukiman. Luas perubahan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Sukamakmur menjadi pemukiman dan lahan terbuka disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan perubahan penggunaan lahan sawah menjadi pemukiman di Desa Sukaresmi dua setengah kali Desa Sukaharja karena sawah yang berdekatan dengan jalan digunakan penduduk untuk membangun tempat tinggal. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbuka diduga karena banyaknya lahan sawah yang tidak mempunyai irigasi yang baik, sehingga tidak dapat dilakukan cocok tanam yang mengakibatkan petani tidak dapat memenuhi

11 36 kebutuhan hidaupnya dan sawah tersebut digunakan sebagai tempat penambangan batu-batuan. Tabel 9. Luas perubahan penggunaan lahan dari sawah di Kecamatan Sukamakmur No Desa Luas Sawah 2006 (Ha) Luas Perubahan Penggunaan Lahan (2009) Pemukiman Lahan Terbuka Ha % Ha % 1 Sukaharja 280,35 0,74 0,2 3,64 1,3 2 Sukaresmi 532,02 2,97 0,5 Jumlah 812,37 3,71 0,4 3,64 0,4 Sumber: Hasil interpretasi Citra ALOS AVNIR Sebaran Lahan Kritis di Kecamatan Sukaraja Dan di Kecamatan Sukamakmur Luas lima tingkat lahan kritis di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan bahwa lahan kritis di Kecamatan Sukaraja tertinggi potensial kritis, karena lahan di Kecamatan Sukaraja didominasi oleh lahan dengan topografi berombak, mulai terjadi erosi alur akibat pembukaan lahan pertanian di beberapa tempat, presentase vegetasi masih relatif tinggi, batuan permukaan < 10 %, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 100 cm yang masih produktif bila diusahakan untuk pertanian. Selain lahan potensial kritis di Kecamatan Sukaraja juga dijumpai lahan tidak kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan tidak kritis terluas di Desa Nagrak, karena banyak lahan yang tidak dialih fungsikan ke penggunaan non pertanian dan lahan subur untuk pertanian. Lahan potensial kritis di Desa Cijujung karena banyak lahan yang dibuka menjadi lahan terbuka. Lahan agak kritis terluas di Desa Gunung Geulis karena kodisi lahan yang memiliki kemiringan > 18 %, vegetasi %, kedalam tanah cm, adanya erosi alur pada beberapa tempat. Lahan kritis di Kecamatan Sukaraja hanya dijumpai di Desa Gunung Geulis, Nagrak, Cikeas, dan Cadas Ngampar. Lahan kritis terluas di Desa Gunung Geulis karena banyak lahan yang mengalami erosi parit, kedalaman tanah dangkal cm, dan vegetasi kurang dari %. Lahan sangat kritis hanya terjadi di Desa Cadas Ngampar karena ada lahan yang memiliki kemiringan lereng > 30 %

12 37 sehingga pada lahan tersebut banyak dijumpai erosi parit, vegetasi 25 %, dan kedalam tanah < 30 cm. Luas lahan kritis secara lebih detail pada penggunaan lahan pertanian yang berubah menjadi non pertanian di Kecamatan Sukaraja disajikan pada Lampiran 10 dan11. Tabel 10. Luas lahan kritis di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur No Desa Tingkat Kekritisan Tidak Kritis (Ha) Potensial Kritis (Ha) Agak Kritis (Ha) Kritis (Ha) Sangat Kritis (Ha) Total (Ha) Kecamatan Sukaraja 1. Cibanon 62,41 50,13 222,68 335,23 2. Gunung Geulis 163,16 375,74 71,84 610,74 3. Nagrak 390,34 107,09 70,05 38,19 605,67 4. Sukatani 33,18 128,95 2,95 165,08 5. Sukaraja 166,03 83,28 249,31 6. Cikeas 45,35 220,13 51,43 316,90 7. Cadas Ngampar 26,93 225,89 5,33 0,16 258,30 8. Pasirlaja 28,94 324,83 353,77 9. Cijujung 126,58 328,82 455, Cimandala 272,36 19,38 40,76 332, Pasir Jambu 40,81 27,25 11,16 79, Cilebut Timur 15,39 43,80 59, Cilebut Barat 12,43 54,41 66,84 Jumlah 1.383, ,96 723,34 166,78 0, ,14 Kecamatan Sukamakmur 1. Sukawangi 1.219,31 632,44 918,68 39, ,93 2. Sukaharja 10,53 399,71 61, , ,12 3. Wargajaya 9,54 24,92 392,10 851, ,00 4. Sirnajaya 295,08 495,23 682, ,75 5. Sukamulya 188,81 768,06 441, ,32 6. Sukamakmur 5,10 110,65 727,19 429, ,42 7. Cibadak 138,14 306,09 654, ,18 8. Pabuaran 11,89 398,00 526, , ,10 9. Sukadamai 557,36 514,50 5,10 871, , Sukaresmi 389,65 392,37 415,67 136,58 4, ,86 Jumlah 984, , , ,94 44, ,11 Sumber: BPDAS Citarum Ciliwung 2009 Lahan kritis di Kecamatan Sukamakmur terluas pada tingkat kritis, karena lahan di Kecamatan Sukamakmur didominasi oleh lahan dengan kemiringan lereng curam sehingga mengakibatkan erosi berat dan banyak lahan yang tidak

13 38 produktif untuk pertanian. Lahan kritis ini terluas di Desa Sukaharja karena banyak lahan yang mengalami erosi parit akibat didominasi kemiringan lereng > 30 %, terletak pada ketinggian > meter diatas permukaan laut, kedalaman tanah dangkal sebesar cm, vegetasi kurang dari % dan banyak lahan yang ditumbuhi oleh rumput ataupun semak. Lahan tidak kritis, terluas di Desa Sukadamai karena kedalaman tanahnya > 100 cm, batuan permukaan < 5 %, vegetasi lebat, tanah digunakan untuk pertanian. Lahan potensial kritis terluas di Desa Sukawangi karena banyak lahan yang dibuka menjadi lahan terbuka, topografi datar sampai berbukit, mulai terjadi erosi alur akibat pembukaan lahan pertanian di beberapa tempat, presentase vegetasi masih relatif tinggi, batuan permukaan < 10 %, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 100 cm. Lahan agak kritis terluas terjadi di Desa Sukamulya karena lahan di desa ini kemiringannya > 18 %, vegetasi %, kedalam tanah cm, adanya erosi alur pada beberapa tempat. Lahan sangat kritis terluas dijumpai di Desa Sukawangi karena lahan di desa tersebut sebagian besar berkemiringan lereng > 30 %, dan terletak pada ketinggian > 600 meter diatas permukaan laut, vegetasi kurang dari 25 %, batuan permukaan > 30 %, sehingga di lapang terjadi erosi parit. Hasil pengamatan karakteristik lahan kritis disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Luas lahan kritis pada penggunaan lahan pertanian yang berubah menjadi non pertanian di Kecamatan Sukamakmur disajikan pada Lampiran 10 dan Nilai Land Rent Lahan Pertanian dan Non Pertanian di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Nilai land rent pertanian dan non pertanian di Kecamatan Sukaraja disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 menunjukkan bahwa secara umum urutan keragaman nilai land rent tinggi sampai terendah yaitu pada usaha perdagangan kelontong di Kecamatan Sukamakmur, usaha perdagangan kelontong di Kecamatan Sukaraja, usaha kos-kosan di Kecamatan Sukaraja, usaha tani padi usaha di Kecamatan Sukamakmur, dan usaha tani singkong di Kecamatan Sukaraja. Boxplot atau diagram kotak bergaris tersebut menggambarkan kelompok data numerik dari sebaran data land rent di dua kecamatan sekaligus.

14 Land Rent (Rp/m²/tahun) Klontong Sukamakmur Klontong Sukaraja Kos-Kosan Sukaraja Singkong Sukaraja Padi Sukamakmur Gambar 14. Boxplot nilai land rent pada penggunaan lahan pertanian dan non pertanian di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Hasil analisis nilai land rent Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata nilai land rent lahan untuk perdagangan kelontong lebih besar dari pada usaha kos-kosan, dan usaha tani singkong. Pola tersebut berlaku baik di Kecamatan Sukaraja maupun di Kecamatan Sukamakmur. Rata-rata nilai land rent di Kecamatan Sukaraja untuk perdagangan terbesar Rp /m²/tahun dan ditinjau dari lokasinya, perdagangan tersebut cenderung berdekatan dengan pemukiman penduduk. Penduduk umumnya membeli kebutuhan pokok di warung-warung terdekat, untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Berikutnya ratarata nilai land rent kos-kosan sebesar Rp /m²/tahun. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata usaha tani singkong yaitu sebesar Rp /m²/tahun. Besarnya rasio usaha tani singkong dengan perdagangan usaha kelontong di Kecamatan Sukaraja 1 : 141. Penawaran harga kos-kosan cukup tinggi karena besarnya permintaan jasa kos-kosan di lokasi ini. Tingginya permintaan jasa kos-kosan tersebut diduga terkait dengan letak Kecamatan Sukaraja yang berada pada posisi strategis, yaitu dekat dengan pusat perkembangan kawasan perdagangan di Kecamatan Bogor Utara yaitu kawasan perdagangan Jambu Dua. Disisi lain singkong memiliki harga jual yang rendah, sehingga menghasilkan nilai land rent yang rendah. Besarnya rasio perdagangan antara usaha tani singkong dan usaha kos-kosan sebesar 1 : 64. Secara relatif

15 40 keragaman nilai land rent perdagangan kelontong lebih tinggi dibandingkan dengan jenis usaha lainnya. Harga jual produk pertanian pangan yang relatif lebih rendah dan tidak adanya kebijakan pemerintah untuk melindungi petani pada saat panen raya memperbesar rasio perbandingan surplus usaha non pertanian dan usaha tani. Nilai land rent usaha perdagangan di Kecamatan Sukamakmur lebih besar dari nilai land rent usaha tani padi. Rata-rata nilai land rent untuk perdagangan tersebut sebesar Rp /m²/tahun. Sedangkan rata-rata nilai land rent usaha tani padi sebesar Rp /m²/tahun. Besarnya rasio usaha tani padi dengan perdagangan kelontong di Kecamatan Sukamakmur yaitu 1 : Tabel 11. Nilai land rent kegiatan usaha pertanian dan non pertanian di Satistica Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Perdagangan Klontong Kecamatan Sukaraja Kos-kosan Land Rent (Rp/m²/Tahun) Usaha Tani Singkong Kecamatan Sukamakmur Perdagangan Klontong Usaha Tani Padi Rata-rata Nilai Tengah Minimum Maksimum Rata-rata nilai land rent perdagangan kelontong di Kecamatan Sukaraja cenderung lebih rendah dibandingkan dengan land rent usaha di Kecamatan Sukamakmur. Dalam hal ini nilai land rent perdagangan di Kecamatan Sukaraja sebesar Rp /m²/tahun sedangkan di Kecamatan Sukamakmur sebesar Rp /m²/tahun. Rendahnya nilai land rent perdagangan kelontong di Kecamatan Sukaraja diduga karena persaingan usaha kelontong yang cukup tinggi, sehingga omset, perputaran usaha, dan keuntungan yang diperoleh relatif kecil, sedangkan di Kecamatan Sukamakmur usaha perdagangan kelontong menghasilkan nilai land rent lebih besar, diduga terkait dengan relatif kurang intensifnya persaingan usaha yang ditunjukkan oleh lebih sedikitnya jumlah usaha kelontong perdesa. Hasil pengamatan lapang di Kecamatan Sukaraja terdapat

16 toko klontong yang melayani penduduk sebanyak jiwa. Besarnya perbandingan antara jumlah toko klontong dengan jumlah penduduk sebesar 1:54. Rata-rata nilai land rent usaha tani singkong di Kecamatan Sukaraja lebih rendah dibandingkan dengan land rent usaha tani padi di Kecamatan Sukamakmur. Rata-rata nilai land rent usaha tani singkong di Kecamatan Sukaraja sebesar Rp /m²/tahun dan rata-rata nilai land rent usaha tani padi di Kecamatan Sukamakmur sebesar Rp /m²/tahun. Besarnya rasio usaha tani padi dengan singkong kurang lebih 5:4. Rasio perbandingan nilai land rent terendah adalah antara usaha tani singkong di Kecamatn Sukaraja dengan usaha tani padi di Kecamatan Sukamakmur menunjukkan bahwa usaha perdagangan usaha tani singkong atau padi memiliki keuntungan relatif sama. Secara umum dari uraian singkat analisis land rent dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha perdagangan kelontong memiliki nilai land rent lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis usaha tani tanaman pangan. Sebidang tanah yang diusahakan untuk perdagangan kelontong di Kecamatan Sukamakmur dan di Kecamatan Sukaraja memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan dengan usaha singkong dan padi, walaupun secara umum di Kecamatan Sukamakmur memiliki akses jalan yang terbatas. Penduduk membeli kebutuhan pokoknya di warungwarung kelontong yang terdekat untuk menekan ongkos transportasi, disamping rendahnya intensitas persaingan usaha yang relatif rendah. Adanya keuntungan yang diperoleh dari penggunaan sebidang tanah untuk perdagangan kelontong dan kos-kosan menjadi faktor berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan yang mengikuti pola nilai land rent di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur yang disajikan pada Lampiran 12. Gambar kegiatan usaha non pertanian dan usaha tani disajikan pada Gambar 15 dan 16. Usaha klontong di Kecamatan Sukaraja lebih kecil, penataan barang dagangannya kurang rapi, dan lokasi perdagangan berada dalam rumah, sedangkan usaha klontong di Kecamatan Sukamakmur lebih besar, penataan barang rapih, dan lokasi dagang terpisah dari rumah. Usaha kos-kosan di Kecamatan Sukaraja memiliki perbedaaan nilai land rent terlihat pada Gambar (1) menunjukkan bahwa kondisi kosan yang rapih, miliki halaman yang lebih luas, menjadikan usahan kos-kosan ini memiliki nilai land rent lebih tinggi sebesar Rp

17 /m²/tahun daripada Gambar (2) yang menunjukkan kosan yang kumuh, halaman yang sempit sehingga nilai land rent yang diperoleh sebesar Rp /m²/tahun. a) Usaha Klontong di Kecamatan Sukaraja b) Usaha Klontong Kecamatan di Sukamakmur (1) (2) c) Usaha Kos-kosan di Kecamatan Sukaraja Gambar 15. Foto kegiatan non pertanian di lokasi penelitian a) Usaha Tani Singkong di Kecamatan Sukaraja b) Usaha Tani Padi di Kecamatan Sukamakmur Gambar 16. Foto kegiatan usaha tani di lokasi penelitian

18 43 Selanjutnya diuraikan hasil uji t perbandingan nilai rataan land rent pada penggunaan lahan pertanian dan non pertanian. Ringkasan hasil analisis disajikan pada Tabel 12. Perbandingan nilai land rent antara perdagangan Kecamatan Sukamakmur dan perdagangan Kecamatan Sukaraja menghasilkan nilai t-hitung sebesar 7,55. Adapun nilai t tabel 2,77. Nilai t tabel lebih kecil dari pada t hitung (pada tingkat kepercayaan 95%) m aka secara nyata rata-rata nilai land rent pada usaha perdagangan kelontong di Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan Sukaraja berbeda nyata dengan tingkat kesalahan kurang lebih 5%. Dalam hal ini perdagangan kelontong di Kecamatan Sukamakmur lebih menguntungkan dengan nilai rata-rata land rent Rp /m²/tahun dari pada nilai land rent Kecamatan Sukaraja Rp /m²/tahun. Tabel 12. Hasil analisis uji t perbedaan rata-rata nilai land rent pada penggunaan lahan pertanian dan non pertanian Perbandingan Land Rent Perdagangan klontong Sukamakmur dengan perdagangan klontong Sukaraja Perdagangan klontong Sukamakmur dengan koskosan Sukaraja Perdagangan klontong Sukamakmur dengan usah tani singkong Sukaraja Perdagangan klontong Sukamakmur dengan usaha tani padi Sukamakmur Kos-kosan Sukaraja dengan usaha tani singkong Sukaraja Kos-kosan Sukaraja dengan usaha tani Padi Sukamakmur Usaha tani singkong Sukaraja dengan usaha tani padi Sukamakmur Uji t Mean 1 Mean2 t-value P ,55 0, ,89 0, ,11 0, ,11 0, ,00 0, ,97 0, ,17 0,0609 Secara umum tabel menunjukkan bahwa hampir seluruh perbandingan nilai land rent teruji secara statistik berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Hanya perbandingan antara land rent usaha tani singkong dan land rent usaha tani

19 44 padi yang menghasilkan perbedaan dengan tingkat kepercayaan kurang dari 95 %. Dalam hal ini perbandingan kedua nilai land rent tersebut nyata secara statistik pada tingkat kepercyaan sebesar 93,91 % atau tingkat kesalahan sebesar 6,09 %. Rendahnya nilai land rent pertanian mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dari aktivitas land rent rendah menjadi aktivitas land rent yang lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan pertanian, salah satunya diakibatkan oleh nilai land rent rendah yang menyebabkan banyak orang tertarik pada penggunaan lahan non pertanian karena dianggap lebih menguntungkan sehingga meningkatnya perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur. Perubahan penggunaan lahan ini merupakan akibat dari perkembangan nilai land rent di suatu lokasi menuju keseimbangan yang lebih produktif. Hasil data pengolahan analsis uji t niali land rent usaha pertanian dan usaha non pertanian di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur secara lengkap disajikan pada Lampiran Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk dengan Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Luas Lahan Kritis di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Koefisisen korelasi antara pertumbuhan penduduk dengan perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian dan lahan kritis di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 bahwa koefisien korelasi antara jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Sukamakmur sebesar -0,20, artinya bahwa hubungan antara variabel jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian sangat lemah pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien korelasi kedua variabel tersebut bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak searah yaitu semakin tinggi jumlah penduduk maka luas lahan pertanian semakin rendah. Besarnya jumlah penduduk disuatu kawasan membutuhkan lahan lebih luas untuk kawasan permukiman sehingga mengurangi area pertanian. Lahan yang tersedia relatif tetap dari sisi penawaran, mengakibatkan banyak yang memanfaatkan lahan pertanian untuk aktivitas pembangunan, sehingga luas lahan pertanian Kecamatan Sukaraja semakin berkurang.

20 45 Koefisien korelasi antara jumlah penduduk dengan luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian di Kecamatan Sukaraja sebesar 0,82 dan Kecamatan Sukamakmur sebesar 0,92, artinya hubungan antara dua variabel tersebut sangat kuat pada tingkat kepercayaan 95 % dan koefisien korelasi positif berarti hubungan dua variabel tersebut searah yaitu semakin tinggi jumlah penduduk maka luas perubahan penggunaan lahan pertanian semakin tinggi. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya pemanfaatan lahan untuk kebutuhan hidup yaitu melakukan perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian salah satunya seperti perubahan lahan tegalan menjadi pemukiman. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian ini masih berlajut hingga sekarang. Salah satunya karena keuntungan yang diperoleh penduduk dari pemanfaatan lahan untuk aktivitas non pertanian lebih menguntungkan dengan nilai land rent yang lebih tinggi. Tabel 13. Koefisien korelasi antara pertumbuhan penduduk dengan perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian dan luas lahan kritis Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk Luas Lahan Pertanian Luas Perubahan Lahan Luas Lahan Kritis Kecamatan Sukaraja Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk Luas Lahan Pertanian Luas Perubahan Lahan Luas Lahan Kritis Kecamatan Sukamakmur Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk Luas Lahan Pertanian Luas Perubahan Lahan Luas Lahan Kritis Koefisien korelasi antara jumlah penduduk dengan luas lahan kritis di Kecamatan Sukaraja sebesar 0,85 dan Kecamatan Sukamakmur sebesar 0,91, artinya hubungan antara dua variabel tersebut sangat kuat pada tingkat kepercayaan 95 % dan koefisien korelasi positif maka hubungan dua variabel

21 46 tersebut searah yaitu semakin tinggi jumlah penduduk maka luas lahan kritis semakin luas. Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin tinggi aktivitasaktivitas yang dilakukan. Dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan itu memerlukan dukungan dari lahan yang berimplikasi pada perubahan lahan, sementara lahan yang digunakan untuk aktivitas yang sama misalnya untuk pemukiman tidak tersedia lagi yang mengakibatkan penduduk mengambil lahan yang tidak dialokasikan untuk aktivitas pemukiman dan tidak sesuai dengan daya dukung lahan mengakibatkan lahan tidak produktif dan lahan yang semula tidak kritis ataupun sudah kritis menjadi semakin kritis. Koefisien korelasi antara luas lahan pertanian dengan luas lahan kritis di Kecamatan Sukaraja -0,12 dan di Kecamatan Sukamakmur -0,07. Nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara variabel luas lahan pertanian dengan luas lahan kritis memiliki kekuatan hubungan termasuk kategori berkorelasi sangat lemah pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien korelasi bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak searah yaitu semakin kecil luas lahan pertanian maka lahan kritis semakin luas. Luas lahan pertanian yang semakin berkurang mengakibatkan banyaknya pembangunan di lahan pertanian yang digunakan untuk aktivitas non pertanian. Pembukaan lahan pertanian menyebabkan berkurangnya lahan pertanian sehingga menyebabkan penurunan produktivitas lahan, karena telah mengalami kerusakan lahan yang mengakibatkan luas lahan kritis semakin tinggi. Koefisien korelasi antara luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian dengan luas lahan kritis di Kecamatan Sukaraja sebesar 0,90 dan Kecamatan Sukamakmur sebesar 0,98, artinya bahwa hubungan antara dua variabel tersebut sangat kuat pada tingkat kepercayaan 95 % dan koefisien korelasi positif maka hubungan dua variabel tersebut searah yaitu semakin tinggi luas perubahan lahan maka luas lahan kritis semakin tinggi. Banyaknya aktivitasaktivitas yang dilakukan terutama dalam perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian yang berimplikasi pada kualitas pemanfaatan pengelolaan lahan. Sementara dalam pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan menyebabkan kemunduran kesuburan lahan akibat pembukaan lahan

22 47 maupun dalam pemanfaatan lahan yang dapat meningkatkan luas lahan kritis secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 16 dan 17. Koefisien korelasi antara jumlah penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja sebesar 0,04 dan Kecamatan Sukamakmur sebesar -0,09, artinya bahwa hubungan antara variabel jumlah penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk memiliki kekuatan hubungan termasuk kategori berkorelasi sangat lemah pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien korelasi Kecamatan Sukaraja bernilai positif maka hubungan kedua variabel searah yaitu semakin tinggi jumlah penduduk, maka semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk dilihat dari tingginya jumlah penduduk tahun akhir dan rendahnya nilai absolut tahun awal menyebabkan proporsi laju pertumbuhan penduduk tinggi. Sedangkan koefisien korelasi di Kecamatan Sukamakmur bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak searah yaitu semakin tinggi jumlah penduduk, maka semakin rendah laju pertumbuhan penduduk. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan penduduk berbanding terbalik dengan jumlah penduduk, dilihat dari tingginya proporsi perubahan penduduk dan tingginya nilai absolut awal, maka laju pertumbuhan penduduk semakin kecil. Koefisien korelasi laju pertumbuhan penduduk dengan luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian, dan luas lahan krtis di Kecamatan Sukaraja secara berturut-turut yaitu 0,06 dan 0,01 sedangkan di Kecamatan Sukamakmur yaitu -0,18 dan -0,13, artinya bahwa hubungan antara variabel laju pertumbuhan penduduk dengan luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian, dan luas lahan kritis memiliki kekuatan hubungan termasuk kategori berkorelasi sangat lemah pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien korelasi Kecamatan Sukaraja menunjukkan nilai positif yang artinya bahwa hubungan variabel tersebut searah yaitu semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk maka semakin luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian, dan luas lahan kritis. Laju pertumbuhan penduduk diikuti dengan banyaknya penduduk yang memanfaatkan lahan pertanian untuk pembangunan sehingga alokasi lahan untuk pemukiman tidak tersedia lagi dan banyak menggunakan lahan pertanian untuk pemukiman serta menurunkan kesuburan lahan tersebut. Koefisien korelasi di Kecamatan Sukamakmur bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan kedua

23 48 variabel tidak searah yaitu semakin kecil laju pertumbuhan penduduk maka semakin luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian, dan luas lahan kritis. Laju pertumbuhan penduduk di beberapa desa mengalami penurunan jumlah penduduk yang sangat besar, salah satunya Desa Sukadamai. Namun di Desa Sukadamai masih terjadi perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian dan kondisi lahan yang sudah kritis menjadi semakin kritis. Banyak penduduk yang menjual lahannya kepada pengusaha, kemudian melakukan pembukaan lahan, sehingga lahan menjadi semakin kritis. Koefisien korelasi antara laju pertumbuhan penduduk dengan luas lahan pertanian Kecamatan Sukaraja -0,05 dan Kecamatan Sukamakmur 0,24. Disimpulkan bahwa hubungan antara dua variabel tersebut memiliki kekuatan hubungan termasuk kategori berkorelasi sangat lemah pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien korelasi bernilai negatif di Kecamatan Sukaraja menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak searah yaitu semakin kecil laju pertumbuhan penduduk maka luas lahan pertanian semakin tinggi. Pembukaan lahan untuk pertanian semakin tinggi dalam kurun waktu tiga tahun sedangkan laju pertumbuhan penduduk mengalami meningkat. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk dilihat dari tingginya proporsi perubahan penduduk dan tingginya nilai absolut awal, maka laju pertumbuhan penduduk semakin kecil. Koefisien korelasi bernilai positif di Kecamatan Sukamakmur menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel searah yaitu semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk maka semakin luas lahan pertanian. Koefisien korelasi luas lahan pertanian dengan luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian Kecamatan Sukaraja 0,08 dan Kecamatan Sukamakmur -0,09. Kecilnya nilai koefisien menunjukkan kekuatan hubungan tergolong berkorelasi sangat lemah pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien korelasi bernilai positif di Kecamatan Sukaraja menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel searah yaitu semakin tinggi luas lahan pertanian maka semakin luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. Banyak lahan lahan non pertanian yang di alih fungsikan menjadi pertanian misalnya lahan terbuka yang kemudian dimanfaatkan untuk usaha pertanian menyebabkan meningkatkan nilai land rent dari lahan tersebut, sehingga luas lahan pertanian meningkat.

24 49 Namun ada juga lahan pertanian yang dialih fungsikan untuk usaha non pertanian misalkan penggunaan lahan tegalan yang kemudian dialih fungsikan untuk pembangunan lapangan bola sehingga luas perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman meningkat. Koefisien korelasi bernilai negatif di Kecamatan Sukamakmur menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak searah yaitu semakin kecil luas lahan pertanian maka semakin tinggi luas perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian. Diduga hal tersebut berkaitan dengan fenomena banyaknya penduduk yang mengalihfungsikan lahan pertanian kususnya pada kondisi topografi datar dan dekat akses jalan untuk aktivitas lain, salah satunya lahan sawah menjadi lahan terbuka. Lahan terbuka tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan penambangan batu yang mengakibatkan lahan pertanian semakin berkurang dan luas perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian meningkat.

Lampiran 1. Kuesioner land rent usaha kos-kosan Catatan : jika ada tanda (*) coret jawaban yang tidak dipilih dan tulis jawaban pada isian

Lampiran 1. Kuesioner land rent usaha kos-kosan Catatan : jika ada tanda (*) coret jawaban yang tidak dipilih dan tulis jawaban pada isian LAMPIRAN 55 56 Lampiran 1. Kuesioner land rent usaha kos-kosan Catatan : jika ada tanda (*) coret jawaban yang tidak dipilih dan tulis jawaban pada isian titik-titik dibawah ini. 1. Nama :..... 2. Alamat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI 4.1. Letak Geografis Posisi geografis Wilayah Pengembangan Kawasan Agropolitan Ciwidey menurut Peta Rupa Bumi Bakorsurtanal adalah antara 107 0 31 30 BB 107 0 31 30 BT dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Depok 5.1.1. Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Quickbird Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird Kecamatan Depok adalah

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Kecamatan Leuwiliang Penelitian dilakukan di Desa Pasir Honje Kecamatan Leuwiliang dan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan pertanian

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS Esti Sarjanti Pendidikan Geografi-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh PO.BOX. 202 Purwokerto

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumber daya yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia. Tanah menjadi media utama manusia mendapatkan pangan, sandang, papan, tambang, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Sejarah Kabupaten Bekasi Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Dasar-Dasar Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. III.1.3. Kondisi Ekonomi Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, perhitungan PDRB atas harga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung yang selalu bertambah pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan otonomi daerah, serta pertambahan

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 9 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan : Oktober November 2010 (Bogor). Pelaksanaan lapang (pra survei dan survei) : Desember 2010. Analisis Laboratorium : Januari Februari 2011.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun )

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun ) III. GAMBARAN UMUM 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi 2011-2031 (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031) Berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Bab GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting di dalam pembangunan nasional karena sektor ini memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang sangat besar (Soekartawi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1997 TENTANG KOORDINASI PENGEMBANGAN KAWASAN JONGGOL SEBAGAI KOTA MANDIRI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1997 TENTANG KOORDINASI PENGEMBANGAN KAWASAN JONGGOL SEBAGAI KOTA MANDIRI KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1997 TENTANG KOORDINASI PENGEMBANGAN KAWASAN JONGGOL SEBAGAI KOTA MANDIRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan lahan yang sangat intensif serta tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan menimbulkan adanya degradasi lahan. Degradasi lahan yang umum terjadi

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari V. GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Geografis Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118 50 km 2 atau 0.27 persen dari luas propinsi Jawa barat. Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43 30 BT-106

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, bahwa penduduk Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, bahwa penduduk Indonesia dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, bahwa penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus berkembang dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya bersifat tetap. Ita

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat) wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun

BAB V PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun 32 BAB V PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo Tahun 2011 dan Perubahan Penggunaannya Tahun 1993-2011 Interpretasi dan analisis visual merupakan kegiatan mengamati citra secara visual dengan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang. Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang. Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kota Bandar Lampung Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah yang dijadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, politik,

Lebih terperinci

KETERKAITAN PERTUMBUHAN PENDUDUK DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DAN LUAS LAHAN KRITIS

KETERKAITAN PERTUMBUHAN PENDUDUK DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DAN LUAS LAHAN KRITIS KETERKAITAN PERTUMBUHAN PENDUDUK DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DAN LUAS LAHAN KRITIS (Studi Kasus Kecamatan Sukaraja dan Sukamakmur) ANINDITA ANGGARANI A14070057 PROGRAM

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat... 8 1.4 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN berikut : FAO dalam Arsyad (2012:206) mengemukakan pengertian lahan sebagai Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau 5.1.1. Identifikasi Perubahan Luas RTH di Jakarta Timur Identifikasi penyebaran dan analisis perubahan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Penilaian kinerja lahan (land performance) untuk penggunaan tertentu Kegiatan Evaluasi Lahan meliputi survai lahan interpretasi data hasil survai

Lebih terperinci