V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi lima kelas berdasarkan data citra Landsat TM dan ETM+, yaitu lahan terbangun, tanaman pangan lahan kering (TPLK), tanaman pangan lahan basah (TPLB), badan air, dan tambak. Penggunaan lahan cenderung mengalami perubahan luas setiap tahunnya. Beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas dan sebaliknya beberapa penggunaan lahan lainnya mengalami peningkatan luas, serta ada juga penggunaan lahan yang cenderung tetap luasnya. Luas tiap penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun 2007 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Setiap Penggunaan Lahan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 1997 dan Tahun Luas (ha) Laju Penggunaan Perubahan Pertumbuhan Lahan (ha) per tahun Badan air 240,51 240, Lahan terbangun , , ,26 22,5% Tambak 6.053, , TPLB , , ,75-1,9% TPLK , , ,51-3,1% Lahan Pertanian (TPLB & TPLK) , , ,26-2,4% Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian terdiri dari tanaman pangan lahan basah (TPLB) seluas ,66 ha dan tanaman pangan lahan kering (TPLK) seluas ,11 ha. Pada tahun 2007, luas lahan pertanian mengalami penurunan sebesar ,75 ha untuk TPLB dan sebesar ,51 ha untuk TPLK. Penurunan luas lahan pertanian tersebut disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian ke penggunaan lahan lainnya.

2 25 Laju konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) di Kabupaten Tangerang secara keseluruhan sebesar 2,4 persen per tahun dengan penurunan luas sebesar 2.409,13 ha per tahun. Konversi lahan TPLB terjadi sebesar 1.121,88 ha per tahunnya dengan laju konversi sebesar 1,9 persen per tahun. Lahan TPLK mengalami penurunan luas sebesar 1.287,25 ha per tahun dengan laju konversi sebesar 3,1 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi lebih besar pada lahan TPLK bila dibandingkan dengan lahan TPLB. Penggunaan lahan terbangun di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 seluas ,34 ha. Lahan terbangun meliputi kawasan pemukiman, kawasan industri dan kawasan perkotaan. Lahan terbangun mengalami penambahan luas sebesar ,26 ha pada tahun 2007 dengan laju sebesar 22,5 persen per tahun. Penambahan luas lahan terbangun di Kabupaten Tangerang diikuti dengan adanya penurunan luas lahan pertanian. Hal ini menunjukkan adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang cenderung tidak mengalami perubahan adalah badan air dan tambak. Luas badan air dan tambak tidak mengalami perubahan pada tahun 1997 dan tahun Pengecekan lapang dilakukan untuk mengetahui suatu penggunaan lahan yang sebenarnya di lapang. Titik-titik hasil pengecekan lapang disajikan pada Tabel Lampiran 1. Contoh penggunaan lahan untuk lahan pertanian berupa TPLB di Kabupaten Tangerang disajikan pada Gambar 3. TPLB yang ditemui di Kecamatan Kresek ditampilkan pada Gambar 3a, sedangkan TPLB di daerah Pakuhaji disajikan pada Gambar 3b. a. Kresek (106,38;-6,13) b. Pakuhaji (106,62;-6,06) Gambar 3. Penggunaan Lahan TPLB di Kecamatan Kresek dan Pakuhaji.

3 26 Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) merupakan salah satu penggunaan lahan yang mendominasi di Kabupaten Tangerang pada tahun Contoh foto hasil pengecekkan lapang yang menunjukkan penggunaan lahan TPLK disajikan pada Gambar 4. Gambar 4a menyajikan contoh penggunaan lahan sebagai TPLK di Kecamatan Tigaraksa, sedangkan Gambar 4b merupakan TPLK di daerah Pondok Aren. a. Tigaraksa (106,48;-6,27) b. Pondok Aren (106,69;-6,28) Gambar 4. Penggunaan Lahan TPLK di Kecamatan Tigaraksa dan Pondok Aren. Gambar 5 menyajikan contoh penggunaan lahan sebagai lahan terbangun yang diperoleh dari hasil pengecekan lapang. Gambar 5a merupakan gambar kawasan industri dan pergudangan Cikupamas yang terletak di Kecamatan Cikupa, sedangkan kawasan industri Pasar Kemis disajikan pada gambar 5b. a. Cikupa (106,50;-6,22) b. Pasar Kemis (106,53;-6,18) Gambar 5. Penggunaan Lahan untuk Lahan Terbangun di Kawasan Industri Cikupa dan Kawasan Industri Pasar Kemis.

4 27 Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang cenderung tidak mengalami perubahan, yaitu badan air dan tambak. Contoh kedua penggunaan lahan tersebut disajikan pada Gambar 6. Gambar 6a menunjukkan contoh badan air berupa sungai di Kecamatan Serpong, sedangkan Gambar 6b menunjukkan contoh penggunaan lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Kronjo. a. Serpong (106,65;-6,35) b. Kronjo (106,43;-6,05) Gambar 6. Penggunaan Lahan Badan Air di Kecamatan Serpong dan Tambak di Kecamatan Kronjo. Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang dikelompokkan ke dalam lima kelas (TPLB, TPLK, lahan terbangun, badan air, dan tambak) dapat dilihat secara visual pada Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun 2007 (Gambar 7). Pada Gambar 7 terlihat adanya perubahan penggunaan lahan antara tahun 1997 dan Perubahan penggunaan lahan terlihat nyata dengan adanya penambahan warna merah (lahan terbangun) pada tahun 2007.

5 28 Gambar 7. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang Tahun 1997 dan 2007

6 Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang mengalami perubahan luas selama kurun waktu 1997 hingga Perubahan luas penggunaan lahan tersebut disebabkan oleh konversi dari penggunaan lahan yang satu ke penggunaan lahan yang lainnya. Konversi ini mengakibatkan terjadinya penambahan luas pada suatu penggunaan lahan dan penurunan luas untuk penggunaan lainnya. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 sampai tahun 2007 memiliki pola seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Pola Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan Penggunaan lahan 2007 (ha) lahan 1997 Badan Lahan JUMLAH (ha) air terbangun Tambak TPLB TPLK Badan air 240,51 240,51 Lahan terbangun , ,34 Tambak 6.053, ,03 TPLB , ,91 338, ,66 TPLK , , ,11 JUMLAH 240, , , , , ,65 Konversi penggunaan lahan terbesar terdapat pada lahan pertanian yang meliputi tanaman pangan lahan basah (TPLB) dan tanaman pangan lahan kering (TPLK). Dalam kurun waktu 1997 sampai 2007, TPLB terkonversi menjadi lahan terbangun seluas ,10 ha dan menjadi TPLK seluas 338,65 ha. Lahan TPLK mengalami penurunan luas karena terkonversi menjadi lahan terbangun sebesar ,16 ha. Selain terkonversi menjadi penggunaan lahan yang lain, TPLK juga mengalami penambahan luas yang berasal dari penggunaan lahan lain yang menjadi TPLK, yaitu dari konversi lahan TPLB sebesar 338,65 ha. Hasil penelitian Sitorus, Sehani, dan Panuju (2007) menunjukkan bahwa nilai land rent sebanding dengan kecenderungan perubahan penggunaan lahan. Diduga bahwa rendahnya nilai land rent padi (TPLB) dibandingkan nilai land rent lahan palawija (TPLK) di Kabupaten Tangerang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari TPLB ke TPLK. Lahan pertanian di Kabupaten Tangerang secara keseluruhan mengalami penurunan luas dari tahun 1997 sampai Penurunan luas lahan

7 30 pertanian diikuti dengan dengan peningkatan luas lahan terbangun. Hal ini menunjukkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun (kawasan permukiman dan kawasan industri) terjadi karena lahan pertanian memiliki nilai land rent yang lebih rendah bila dibandingkan dengan lahan terbangun. Menurut Rustiadi dan Wafda (2007b) konversi lahan pertanian merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan kota. Lahan pertanian meskipun lebih lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan material atau finansial dibandingkan sektor industri. Pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan yang berbasis sektor bukan-pertanian jauh melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah perdesaan yang berbasis pada sektor pertanian. Akibatnya pada wilayah perkotaan terjadi peningkatan permintaan terhadap lahan untuk keperluan sarana permukiman, industri maupun infrastruktur lainnya, yang membutuhkan lahan dalam jumlah tidak sedikit, sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya di perkotaan semakin luas. Perubahan penggunaan lahan per kecamatan pada tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten Tangerang disajikan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan yang terbesar terjadi pada penggunaan lahan pertanian (TPLB dan TPLK) yang menjadi lahan terbangun. Kecamatan yang mengalami konversi lahan TPLB terbesar yaitu Kecamatan Pasar Kemis, yang diikuti oleh Kecamatan Kosambi, Sepatan, Rajeg dan Curug, sedangkan konversi lahan TPLK terbesar dijumpai berturut-turut di Kecamatan Serpong, Cikupa, Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang. Kecamatan-kecamatan tersebut sebagian berbatasan dengan Kota Tangerang, sedangkan sisanya berbatasan dengan Kota Jakarta. Berdasarkan lokasi tersebut, konversi lahan yang terjadi diduga merupakan pengaruh perluasan kegiatan ekonomi Kota Tangerang dan Kota Jakarta.

8 31 Tabel 10. Perubahan Penggunaan Lahan per Kecamatan tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten Tangerang Perubahan Penggunaan Lahan (ha) Kecamatan TPLB TPLB TPLK Lahan terbangun TPLK Lahan terbangun Cisoka 233,41-239,91 Tigaraksa 535,04-277,10 Cikupa 616, ,83 Legok 536,56 78,07 868,51 Serpong 244,33 113, ,12 Ciputat 140,68 74, ,48 Pondok Aren 20,07 13, ,35 Curug 1.051,47 19,50 761,49 Pasar Kemis 1.632,13 38,48 62,84 Balaraja 692,54-798,09 Kresek 87, Kronjo 72, Mauk 522, Rajeg 1.151, Sepatan 1.225, Teluknaga 423, Pamulang 29,26 0, ,44 Pakuhaji 421, Kosambi 1.243, Kabupaten Tangerang ,10 338, ,16 Perubahan penggunaan lahan pada tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten Tangerang secara visual disajikan pada Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang (Gambar 8). Gambar 8 menunjukkan sebaran perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang didominasi oleh konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) menjadi lahan terbangun. Gambar 8 menunjukkan adanya pola konsentris pada perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang. Pola tersebut dipengaruhi oleh jarak terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang. Hal ini terlihat pada pola memanjang

9 32 perubahan penggunaan lahan dari arah timur ke barat di bagian tengah Kabupaten Tangerang yang dilalui Jalan Tol Nasonal Jakarta Merak. Gambar 8. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang Tahun Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan Perkembangan Wilayah Kabupaten Tangerang Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang adalah banyaknya penduduk yang mulai beralih dari Jakarta ke daerah sekitar Jakarta, termasuk Kabupaten Tangerang. Perpindahan penduduk ini disebabkan oleh Kota Jakarta yang tidak mampu lagi menampung peningkatan jumlah penduduk. Penduduk tersebut ada yang bermukim (tinggal tetap) di Kabupaten Tangerang atau menjadi penglaju (commuter) untuk bekerja di kota Jakarta. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun 1997 sampai 2007 disajikan pada Gambar 9.

10 Jumlah Penduduk 33 Model Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Kabupaten Tangerang y=23582e2+exp( ( )*x); R 2 = E6 3.6E6 3.4E6 3.2E6 3E6 2.8E6 2.6E6 2.4E Tahun (1=1997) Gambar 9. Grafik Jumlah Penduduk dan Model Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kabupaten Tangerang Tahun Grafik tersebut menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang yang terus meningkat dari tahun 1997 sampai tahun Data jumlah penduduk diperoleh dari data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. Jumlah penduduk tahun 1998 dan tahun 1999 tidak dapat disajikan karena tidak tersedianya data. Peningkatan jumlah penduduk terlihat sangat jelas dari tahun 1997 yang semula berjumlah jiwa menjadi pada tahun 2007 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 3 persen per tahun. Pola pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang mendekati model eksponensial dengan asumsi persen laju pertumbuhan berubah-ubah. Model eksponensial pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tersebut memiliki nilai R-square sebesar 0,992. Nilai R-square yang semakin mendekati 1 menunjukkan model tersebut relatif menggambarkan kondisi sebenarnya dari pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang. Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang secara langsung mempengaruhi peningkatan kepadatan penduduk. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penambahan luas wilayah Kabupaten Tangerang. Gambar 10 menyajikan kepadatan penduduk

11 34 (jiwa/km 2 ) per kecamatan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun Kepadatan Penduduk Pondok Aren Kosambi Ciputat Pamulang Teluknaga Serpong Sepatan Curug Pakuhaji Legok Pasar Kemis Rajeg Cikupa Mauk Tigaraksa Balaraja Cisoka Kresek Kronjo Kecamatan Gambar 10. Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km 2 ) per Kecamatan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 1997 dan Tahun 2007 (Tangerang dalam Angka 1997). Gambar 10 menunjukkan grafik kepadatan penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh dari DKI Jakarta. Pada grafik tersebut secara umum terlihat adanya pola keterkaitan yang terbentuk antara kepadatan penduduk dengan jarak ke DKI Jakarta. Semakin dekat dengan DKI Jakarta, kepadatan penduduk suatu kecamatan cenderung lebih tinggi. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 1997 dan tahun 2007 terdapat di Kecamatan Ciputat, diikuti berturut-turut oleh Kecamatan Pamulang dan Pondok Aren. Perluasan kegiatan-kegiatan ekonomi di Kota Jakarta menyebabkan banyak penduduk mulai beralih ke daerah sekitar Jakarta, termasuk ke Kecamatan Ciputat, Pamulang dan Pondok Aren. Kecamatan Kosambi merupakan salah satu wilayah yang letaknya dekat dengan DKI Jakarta tetapi memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah. Hal ini diduga disebabkan karena Kecamatan Kosambi yang merupakan kawasan pergudangan sehingga kurang memiliki daya tarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke kecamatan ini. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk terendah pada tahun 1997 adalah Kecamatan Pakuhaji yaitu sebesar Jiwa/Km 2. Kecamatan Kronjo dengan kepadatan

12 35 penduduk sebesar Jiwa/Km 2 merupakan kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk terendah pada tahun Kepadatan penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang memiliki laju pertumbuhan per tahun yang berbeda-beda. Gambar 11 menyajikan laju pertumbuhan kepadatan penduduk per tahun setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh dari DKI Jakarta. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk PONDOK AREN KOSAMBI CIPUTAT PAMULANG TELUKNAGA SERPONG SEPATAN CURUG PAKUHAJI LEGOK PASARKEMIS RAJEG CIKUPA MAUK TIGARAKSA BALARAJA CISOKA KRESEK KRONJO Kecamatan Gambar 11. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk per Tahun di Setiap Kecamatan di Kabupaten Tangerang. Gambar 11 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kepadatan penduduk di Kabupaten Tangerang tidak memiliki pola keterkaitan dengan jarak ke DKI Jakarta. Berdasarkan Gambar 11, laju pertumbuhan kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Pasar Kamis sebesar 19 persen per tahun. Kecamatan Pasar Kemis yang berkembang menjadi kawasan industri di Kabupaten Tangerang merupakan faktor penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke kecamatan ini. Kawasan industri pasti membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Kemungkinan tenaga kerja yang berasal dari luar kawasan ini memilih untuk bermukim (tinggal tetap) di Kecamatan Pasar Kemis, walaupun ada sebagian yang memilih menjadi penglaju (commuter). Laju pertumbuhan kepadatan yang tinggi juga terjadi di Kecamatan Sepatan, Curug, dan Pakuhaji yang juga merupakan kawasan industri di Kabupaten Tangerang. Adapun laju pertumbuhan kepadatan terendah terjadi di Kecamatan Kronjo, yaitu sebesar 0,2 persen per tahun.

13 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tangerang Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tangerang pada tahun dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi, PDRB dikelompokkan menjadi empat sektor, yaitu: (1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan, (3) sektor industri pengolahan dan (4) sektor jasa yang meliputi (a) sektor listrik, gas, dan air bersih, (b) sektor bangunan, (c) sektor perdagangan, (d) sektor pengangkutan dan komunikasi, (e) sektor keuangan, dan (f) sektor jasa-jasa. Keempat sektor usaha tersebut memberikan kontribusi yang berbeda-beda bagi perekonomian Kabupaten Tangerang. Gambar 12 menyajikan grafik proporsi (%) yang menunjukkan besarnya dari kontribusi masing-masing sektor usaha Proporsi (%) Pertanian PertambanganIndustri Sektor Usaha Pengolahan Jasa Gambar 12. Proporsi Sektor Usaha dalam PDRB Tahun 1997 dan Tahun 2007 Kontribusi terbesar untuk PDRB pada tahun 1997 dan tahun 2007 diberikan oleh sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 56,4 % dan 48,23 %. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang tumbuh menjadi kawasan industri sehingga sebagian besar pendapatan daerahnya disumbangkan oleh sektor industri. Walaupun tetap sebagai sektor yang memberikan kontribusi terbesar untuk PDRB Kabupaten Tangerang, proporsi sektor industri mengalami penurunan sebesar 8,18 % dari tahun 1997 ke tahun Penurunan proporsi sektor industri sejalan dengan peningkatan proporsi sektor jasa dalam PDRB Kabupaten Tangerang, yaitu dari 33,60 % menjadi 42,96 %.

14 37 Sektor usaha yang kontribusinya menurun untuk PDRB adalah sektor pertanian, yaitu dari 9,82 % menjadi 8,73 %. Penurunan kontribusi sektor pertanian untuk PDRB disebabkan oleh adanya penurunan luas lahan pertanian di Kabupaten Tangerang antara tahun 1997 dan tahun 2007, yaitu dengan laju penurunan sebesar 2,4 % per tahun. Sektor pertambangan merupakan sektor usaha yang memberikan kontribusi terkecil untuk PDRB Kabupaten Tangerang, yaitu kurang dari 1 % baik untuk tahun 1997 maupun tahun Gambar 13 menyajikan grafik yang menggambarkan laju pertumbuhan sektor-sektor usaha PDRB Kabupaten Tangerang per tahun. Gambar 12 menunjukkan bahwa sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa mengalami pertumbuhan. Sektor jasa merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 3,9 % per tahunnya. Laju pertumbuhan per tahun sektor pertanian dan sektor industri secara berturut-turut, sebesar 0,6 % dan 0,9 % per tahun, sedangkan sektor pertambangan laju pertumbuhannya sebesar - 4,1 % per tahun atau mengalami penurunan Laju Pertumbuhan Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Jasa Sektor Usaha Gambar 13. Laju Pertumbuhan Sektor Usaha per Tahun di Kabupaten Tangerang Perkembangan Wilayah Kabupaten Tangerang Tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Tangerang dapat diketahui dari hasil analisis skalogram. Tingkat perkembangan wilayah dinyatakan dalam bentuk Hirarki, yaitu Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III. Hirarki I merupakan daerah yang paling berkembang, sedangkan Hirarki III menunjukkan daerah yang kurang berkembang. Untuk melakukan analisis

15 38 skalogram, digunakan 31 variabel yang dikelompokkan ke dalam 8 indeks, yaitu indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas sosial, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, dan indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Hirarki suatu wilayah dipengaruhi oleh besarnya indeks perkembangan wilayah tersebut. Semakin besar nilai indeks perkembangan suatu wilayah, maka semakin berkembang pula suatu wilayah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks perkembangan suatu wilayah, maka wilayah tersebut memiliki tingkat perkembangan yang rendah. Untuk mengelompokkan suatu wilayah ke dalam hirarki tertentu, diperlukan suatu kriteria. Kriteria pengelompokkan suatu wilayah kedalam hirarki berdasarkan indeks perkembangannya disajikan pada Tabel 11. Nilai indeks perkembangan setiap desa tahun 2003 dan 2006 secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3. Tabel 11. Kriteria Pengelompokkan Hirarki Desa Tahun 2003 dan Tahun Hirarki Kriteria Tahun 2003 Tahun 2006 I IP > rataan standar deviasi IP > 37,62 IP > 39,65 II IP rataan IP 20,02 IP 22,41 III IP < rataan IP < 20,02 IP < 22,41 Analisis skalogram dilakukan pada 328 desa di Kabupaten Tangerang. Data yang dianalisis berupa data PODES 2003 dan 2006 karena tidak tersedianya data PODES Pengelompokkan hirarki dilakukan berdasarkan kriteria yang tercantum pada Tabel 11. Hasil analisis skalogram Kabupaten Tangerang pada tahun 2003 dan tahun 2006 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Analisis Skalogram Desa-desa di Kabupaten Tangerang Tahun 2003 dan 2006 Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2006 (%) I II III I II III Cisoka 5,88 29,41 64,71 5,88 35,29 58,82 Tigaraksa 4,17 41,67 54,17 8,33 29,17 62,50 Cikupa 9,09 36,36 54,55 4,55 31,82 63,64 Legok 4,17 20,83 75,00 4,17 29,17 66,67 Serpong 10,71 50,00 39,29 14,29 46,43 39,29 Ciputat 38,46 46,15 15,38 15,38 69,23 15,38

16 39 Tabel 12. (Lanjutan) Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2006 (%) I II III I II III Pondok Aren 27,27 54,55 18,18 27,27 63,64 9,09 Curug 36,36 54,55 9,09 36,36 54,55 9,09 Pasar Kemis 0 40,00 60, ,00 40,00 Balaraja 12,00 24,00 64,00 12,00 36,00 52,00 Kresek 5,56 16,67 77,78 5,56 22,22 72,22 Kronjo 0 22,22 77,78 5,56 33,33 61,11 Mauk 3,70 14,81 81,48 3,70 14,81 81,48 Rajeg 0 14,29 85,71 7,14 7,14 85,71 Sepatan 6,25 18,75 75,00 6,25 18,75 75,00 Teluknaga 7,69 15,38 76,92 7,69 15,38 76,92 Pamulang 25,00 37,50 37,50 12,50 50,00 37,50 Pakuhaji 0 21,43 78,57 7,14 7,14 85,71 Kosambi 0 30,00 70, ,00 70,00 Kabupaten Tangerang 8,84 30,18 60,98 8,84 32,93 58,23 Berdasarkan Tabel 12, pada tahun 2003 sebagian besar desa (60,98%) di Kabupaten Tangerang berhirarki III, sedangkan sisanya berhirarki II (30,18%) dan berhirarki I (8,84%). Pada tahun 2006, terjadi peningkatan jumlah desa berhirarki II dibandingkan tahun Sementara itu, presentase jumlah desa di Kabupaten Tangerang yang berhirarki III berkurang dari 60,98 persen menjadi 58,23 persen dari periode 2003 ke Hal ini menunjukkan adanya perkembangan di desa-desa tersebut. Adapun jumlah desa di Kabupaten Tangerang yang berhirarki I secara keseluruhan tidak mengalami perubahan (8,84%). Penyebaran desa-desa berhirarki I, II, dan III di Kabupaten Tangerang pada tahun 2003 dan 2006 secara spasial disajikan pada Gambar 13.

17 40 Gambar 13. Peta Hirarki Wilayah Desa-desa di Kabupaten Tangerang tahun 2003 dan 2006

18 41 Perkembangan suatu wilayah ditandai dengan adanya penambahan jumlah fasilitas-fasilitas atau semakin lengkapnya fasilitas di suatu wilayah. Selain itu, kemudahan mencapai suatu fasilitas (aksesibilitas) yang dicirikan dengan perkembangan jaringan jalan juga menggambarkan perkembangan suatu wilayah. Pembangunan fasilitas dan jaringan jalan membutuhkan lahan. Jumlah lahan yang terbatas menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan lahan tersebut. Adanya perkembangan wilayah di Kabupaten Tangerang diduga terkait dengan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan bukan-pertanian di kabupaten tersebut Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 sampai tahun 2007 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Analisis penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi bertatar (stepwise regression). Variabel yang digunakan dalam stepwise regression berjumlah 14 (empat belas variabel), yaitu satu variabel sebagai variabel tujuan (Y) dan 13 (tiga belas) variabel sebagai variabel penduga (X) yang mempengaruhi variabel tujuan. Nilai yang digunakan pada setiap variabel merupakan nilai laju pertumbuhan per tahun dari setiap variabel. Hasil analisis regresi disajikan pada Tabel 13 (hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4). Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Variabel Koefisien t p-level Aksesibilitas pendidikan 0,24 1,94 0,08164 Aksesibilitas pemerintahan 0,23 2,66 0,02376 Aksesibilitas kesehatan -0,62-5,64 0,00021 Fasilitas pendidikan 0,89 6,99 0,00004 Fasilitas ekonomi 0,26 3,37 0,00711 PDRB Sektor Pertanian 0,24 3,46 0,00613 PDRB Sektor Industri Pengolahan -0,41-3,96 0,00270 PDRB Sektor Jasa -0,30-4,12 0,00207 R-square (R 2 ) 0,96

19 42 Persamaan regresi yang terdapat pada Tabel 13 memiliki nilai R-square (R 2 ) sebesar 0,96. Nilai R-square (R 2 ) mendekati 1 menunjukkan bahwa pemilihan variabel penduga sebagai variabel yang mempengaruhi variabel tujuan relatif tepat. Faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu (1) aksesibilitas ke suatu fasilitas, (2) jumlah fasilitas, dan (3) PDRB. Berdasarkan Tabel 13, variabel penduga yang berpengaruh sangat nyata (p-level < 0,05) yaitu aksesibilitas ke pusat pemerintahan, PDRB sektor jasa, fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, PDRB sektor pertanian, PDRB sektor industri pengolahan, dan fasilitas ekonomi. Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan merupakan variabel yang berpengaruh nyata (p-level < 0,1). Seluruh variabel yang berperan nyata terhadap konversi lahan pertanian secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok variabel, yaitu variabel yang meningkatkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian dan variabel yang menurunkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian. Variabel yang berperan meningkatkan peluang konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya adalah aksesibilitas ke pusat pemerintahan, fasilitas pendidikan, PDRB sektor pertanian, fasilitas ekonomi, dan aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. PDRB sektor jasa, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, dan PDRB sektor industri pengolahan merupakan variabel yang menurunkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian. PDRB sektor jasa dan sektor industri pengolahan memiliki koefisien negatif pada persamaan regresi. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan laju pertumbuhan dari PDRB sektor jasa dan sektor industri pengolahan, maka laju pertumbuhan lahan pertanian akan menurun atau jumlah konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang akan semakin meningkat. Lahan pertanian akan dikonversi menjadi lahan bukan-pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan permintaan lahan untuk industri dan pemukiman. Laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian Kabupaten Tangerang mempengaruhi laju pertumbuhan lahan pertanian di Kabupaten Tangerang. Jika PDRB sektor pertanian mengalami petumbuhan maka lahan pertanian kemungkinan tidak akan mengalami perubahan penggunaan lahan.

20 43 Konversi lahan pertanian juga dipengaruhi oleh fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan memiliki koefisien negatif. Hal tersebut menunjukkan indikasi jika aksesibilitas ke fasilitas kesehatan semakin mudah, maka jumlah lahan pertanian akan semakin berkurang karena lahan pertanian tersebut memiliki kemungkinan dikonversikan untuk keperluan pembangunan jalan. Fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan berperan positif. Peningkatan jumlah fasilitas pendidikan dan fasililitas ekonomi mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Akan tetapi, peningkatan jumlah fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi ini tidak mengurangi luas lahan pertanian di Kabupaten Tangerang. Hal tersebut bisa terjadi karena kemungkinan fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi dibangun di area yang memang bukan lahan pertanian atau dengan kata lain fasilitas-fasilitas tersebut dibangun di area lahan terbangun, misalnya di kawasan perkotaan atau kawasan pemukiman. Sama halnya seperti fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan juga berperan positif. Kemudahan mencapai suatu fasilitas pendidikan atau pusat pemerintahan mempengaruhi konversi lahan. Tetapi, tidak terjadi pengurangan luas penggunaan lahan pertanian akibat semakin mudahnya fasilitas pendidikan dan pusat pemerintahan dicapai. Hal ini mungkin disebabkan pembangunan infrastruktur jalan menuju fasilitas pendidikan dilakukan area lahan yang sudah terbangun sama seperti pembangunan fasilitas-fasilitas pendidikan. Pusat pemerintahan umumnya terletak di tengah-tengah kota, jadi diduga pembangunan infrastruktur jalan menuju pusat pemerintahan hanya dilakukan di area lahan yang sudah terbangun tanpa harus mengkonversi lahan pertanian. Hal ini mungkin saja terjadi di Kabupaten Tangerang, melihat kondisi infrastruktur jalan di kawasan perkotaan yang sudah cukup baik. Sementara itu, di daerah pedesaan, kondisi jalannya belum begitu baik.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Latar Belakang dan Kelayakan Pemekaran Wilayah 5.1.1. Latar Belakang Pemekaran Kota Tangerang Selatan Mengangkat daerah otonom baru Kota Tangerang Selatan yang merupakan daerah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat bujur timur dan 6

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat bujur timur dan 6 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat 106 0 20-106 0 43 bujur timur dan 6 0 00-6 0 20 lintang selatan. Luas Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 23 Tahun 2001 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II TANGERANG NOMOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat di ibukota berdampak pada peningkatan jumlah penduduk dan dinamika penggunaan lahan. Pertumbuhan sektor perdagangan, jasa dan industri mendominasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN ABADI (LPA) DI KABUPATEN TANGERANG

LAHAN PERTANIAN ABADI (LPA) DI KABUPATEN TANGERANG LAHAN PERTANIAN ABADI (LPA) DI KABUPATEN TANGERANG Yunita Ismail President University, Jababeka Education Park, Jln. Kihajar Dewantara Kota Jababeka, Bekasi 17550, Indonesia yunitaismail@yahoo.co.id ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG An Analysis of Land Use Change and Regional Land Use Planning in Bandung Regency Rani Nuraeni 1), Santun Risma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 53 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Wilayah Kota Sukabumi Identifikasi tingkat perkembangan wilayah di Kota Sukabumi dilakukan pada unit wilayah kelurahan dan kecamatan yang dilihat dari nilai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 05 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 05 TAHUN 20082007 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG PADA BADAN USAHA MILIK

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DAN BADAN PADA

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DAN BADAN PADA PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DAN BADAN PADA PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DAN BADAN PADA PEMERINTAH

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau 5.1.1. Identifikasi Perubahan Luas RTH di Jakarta Timur Identifikasi penyebaran dan analisis perubahan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TANGERANG. Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 2013 sebanyak 85.

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TANGERANG. Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 2013 sebanyak 85. Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 2013 sebanyak 85.757 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Kabupaten Tangerang Tahun 2013 sebanyak 40 Perusahaan Jumlah

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG PENGATURAN WAKTU PENYETORAN RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN BAGI UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT KE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dokumen MPS yang disusun oleh Pokja Sanitasi Kota Tangerang ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) dan penyusunan Buku Putih Sanitasi

Lebih terperinci

H. Arie Lastario K PENDAPATWN PENDUDUK KABUPATEN TANGERANG (Evaluasi Keadaan Tahun 1976 Sampai dengan 1986) oleh

H. Arie Lastario K PENDAPATWN PENDUDUK KABUPATEN TANGERANG (Evaluasi Keadaan Tahun 1976 Sampai dengan 1986) oleh PENDAPATWN PENDUDUK KABUPATEN TANGERANG (Evaluasi Keadaan Tahun 1976 Sampai dengan 1986) oleh H. Arie Lastario K. 2 1 Pada waktu yang lalu, Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria telah mengadakan pemantauan

Lebih terperinci

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 No. 44/10/31/Th. XIV, 1 Oktober 2012 PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan total PDRB Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

P U T U S A N. Perkara Nomor 025/PHPU.A-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N. Perkara Nomor 025/PHPU.A-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA P U T U S A N Perkara Nomor 025/PHPU.A-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

09. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI BANTEN

09. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI BANTEN 09. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI BANTEN 98 Urea SP36 KCl Urea SP36 KCl Urea SP36 KCl Banten/ 1. Ciledug Kodya Tangerang 2. Larangan

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PADA DINAS DAN BADAN DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

B I A Y A P E R K A R A P E R D A T A

B I A Y A P E R K A R A P E R D A T A LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN NEGERI TANGERANG NOMOR : W29.U4/3514/PR.08.10/IX/2016 TANGGAL 01 September 2016 TENTANG PERUBAHAN PANJAR BIAYA (VOORSCHOOT) PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan hidup, memenuhi segala kebutuhannya serta berinteraksi dengan sesama menjadikan ruang sebagai suatu

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR No. 01/10/3172/Th.VII, 1 Oktober 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA TIMUR TAHUN 2014 EKONOMI JAKARTA TIMUR TAHUN 2014 TUMBUH 5,98 PERSEN Release PDRB tahun 2014 dan selanjutnya

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG 1 PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PBB DAN BPHTB PADA DINAS PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG BUPATI TANGERANG, Menimbang

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

Jasa-jasa : 4,45% Angkutan dan komunikasi : 3,84% Keuangan, persewaan & Jasa perusahaan : 2,68%

Jasa-jasa : 4,45% Angkutan dan komunikasi : 3,84% Keuangan, persewaan & Jasa perusahaan : 2,68% Kota Serang akan melipui enam kecamatan, yaitu Kecamatan Serang, Kasemen, Cipocok jaya, Walantaka, Curug, dan Taktakan. Kota Serang memiliki luas wilayah 266,74 km2 atau melipui 15,38 persen dari luas

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Luas dan Potensi Wilayah Luas fungsional daerah penelitian adalah 171.240 ha, secara administratif meliputi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Subang, Sumedang,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PBB DAN BPHTB PADA DINAS PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

Lampiran I.36 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

Lampiran I.36 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 Lampiran I.6 : Keputusan Komisi Pemilihan Umum : 108/Kpts/KPU/TAHUN 01 : 9 MARET 01 ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 01 No DAERAH PEMILIHAN JUMLAH PENDUDUK JUMLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia namun demikian peran, fungsi dan kontribusinya menempati posisi paling vital dari segi sosial dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Era globalisasi sekarang ini, memaksa setiap daerah untuk melakukan pembangunan dan pengembangan wilayah agar daerah semakin maju dan pendapatan masyarakat semakin

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SERTA HIRARKI WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SERTA HIRARKI WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG BARAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN SERTA HIRARKI WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG BARAT Agricultural land conversion and its relation with land capability and regional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG 4.1. Indikator Kependudukan Kependudukan merupakan suatu permasalahan yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan yang mencakup antara lain mengenai distribusi,

Lebih terperinci

Propinsi BANTEN. Total Kabupaten/Kota

Propinsi BANTEN. Total Kabupaten/Kota Propinsi BANTEN Total Kabupaten/Kota Total Kecamatan Total APBN (Juta) Total APBD (Juta) Total BLM (Juta) : 8 : 154 : Rp. 236.193 : Rp. 16.353 : Rp. 252.545 92 of 342 PERDESAAN PERKOTAAN INFRASTRUKTUR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian istilah tanah dan lahan seringkali dianggap sama. Padahal kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Tanah merupakan kumpulan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 19/05/14/Th.XI, 10 Mei PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas y-on-y Triwulan I Tahun sebesar 5,93 persen Ekonomi Riau dengan migas pada triwulan I tahun mengalami kontraksi sebesar 1,19

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON)

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON) BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PONTIANAK No : 02/02/6171/Th VI, 12 Pebruari 2008 INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON) Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Kota Pontianak

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH b. Ekonomi 1. Perkembangan PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan besaran nilai tambah bruto yang dihasilkan dalam memproduksi barang dan jasa oleh sektor

Lebih terperinci

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR No. 01/10/3172/Th.VIII, 7 Oktober 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA TIMUR TAHUN 2015 EKONOMI JAKARTA TIMUR TAHUN 2015 TUMBUH 5,41 PERSEN Perekonomian Jakarta Timur tahun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 144 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 144 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 144 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN RINCIAN TUGAS SERTA TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PAJAK DAERAH PADA

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 BPS PROVINSI D.K.I. JAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 No. 17/05/31/Th.IX, 15 MEI 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City ABSTRACT ABSTRAK

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK. An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City ABSTRACT ABSTRAK ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DAN KECUKUPANNYA DI KOTA DEPOK An analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City Wuri Setyani 1), Santun Risma Pandapotan Sitorus 2), dan Dyah Retno Panuju

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 BPS KABUPATEN SIMALUNGUN No. 01/08/1209/Th. XII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun tahun 2012 sebesar 6,06 persen mengalami percepatan

Lebih terperinci

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN PREVIEW III TUGAS AKHIR PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita, ST., MT. Merisa Kurniasari 3610100038

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

Lampiran I.36 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

Lampiran I.36 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 Lampiran I.6 : Keputusan Komisi Pemilihan Umum : 108/Kpts/KPU/TAHUN 01 : 9 MARET 01 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN

Lebih terperinci

: Ir. Mirna Amin. MT (Asisten Deputi Pengembangan Kawasan Skala Besar)

: Ir. Mirna Amin. MT (Asisten Deputi Pengembangan Kawasan Skala Besar) Kota Kekerabatan Maja dan Masa Depan Oleh : Ir. Mirna Amin. MT (Asisten Deputi Pengembangan Kawasan Skala Besar) Persoalan perumahan masih menjadi salah satu issue penting dalam pembangunan ekonomi mengingat

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 BPS KABUPATEN PADANG LAWAS PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 No. 01/06/1221/Th. IV, 30 Juli 2012 Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2011 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 41/11/31/Th. X, 17 November 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan III tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan rangkuman dari Indeks Perkembangan dari berbagai sektor ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan rangkuman dari Indeks Perkembangan dari berbagai sektor ekonomi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang dilaksanakan, khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan rangkuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu diartikan sebagai proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk dalam suatu daerah karena hal tersebut merupakan kejadian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang 9 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator untuk menentukan atau menilai apakah suatu negara pembangunannya berhasil atau tidak. Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG P E M E R I N T A H K O T A T A N G E R A N G Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Akhir Masa Jabatan Walikota Tangerang Tahun 2013 I. Latar Belakang: Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 95 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 95 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 95 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BANTUAN OPERASIONAL DISTRIBUSI BERAS RUMAH TANGGA MISKIN KEPADA KECAMATAN/DESA/KELURAHAN KABUPATEN TANGERANG

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM WILAYAH

4 KONDISI UMUM WILAYAH 32 4 KONDISI UMUM WILAYAH Kondisi Geografis Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Garut adalah kabupaten yang berada di wilayah selatan Provinsi Jawa Barat. Memiliki luas 311.007,50 ha, dengan ibukota berada

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci