V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu sawah dan tegalan. Pada tahun 1990 luas sawah ha (40,6%), sedangkan tegalan ha (9%). Pada tahun 2001 luas sawah ha (37,8%) dan tegalan ha (20,5%). Pada tahun 2004 luas sawah ha (34,6%), sedangkan luas tegalan ha (23,7%) dan pada tahun 2008 luas sawah ha (33,5%) sedangkan luas tegalan ha (15,7%). Penggunaan lahan sawah menyebar pada setiap kecamatan, namun penggunaan lahan sawah yang dominan terdapat pada Kabupaten Bogor bagian timur. Pada tahun 1990 luasan sawah tertinggi terdapat pada kecamatan Jonggol, pada tahun 2001 terdapat pada kecamatan Cariu, pada tahun 2004 terdapat pada kecamatan Tajungsari, dan pada tahun 2008 terdapat pada kecamatan Sukamakmur. Sedangkan untuk penggunaan lahan tegalan luasan tertinggi pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masing-masing berada pada kecamatan Babakan Madang, Tenjo, Jasinga, dan Rumpin. Peta persebaran penggunaan lahan sawah dan tegalan serta penggunaan/ penutupan lahan lainnya pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.

2 '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " '3 6 " '2 4 " '2 4 " '3 6 " '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 1990 Gambar 7. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " '3 6 " '2 4 " '2 4 " '3 6 " '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 2001 Gambar 8.. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2001

3 '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " '3 6 " '2 4 " '2 4 " '3 6 " '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 2004 Gambar 9.. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " '3 6 " '2 4 " '2 4 " '3 6 " '2 4 " '3 6 " '4 8 " '0 0 " '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 2008 Gambar 10.. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2008

4 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Pada Setiap Periode Pola perubahan sawah dan tegalan serta penggunaan/ penutupan lahan lainnya pada masing-masing periode dapat dilihat pada Tabel 8. Proporsi pada setiap perubahan diperoleh dari hasil perbandingan antara luas perubahan dengan luas keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Bogor. Pada setiap periode, perubahan sawah yang tertinggi adalah menjadi tegalan (9,8%, 8,2%, dan 4,7%) begitu juga sebaliknya yaitu tegalan menjadi sawah (3,2%, 5,6%, dan 6,8%), hal ini disebabkan karena pada umumnya petani menanami lahan pertaniannya dua sampai tiga kali dalam setahun yang diselingi oleh tanaman palawija tergantung pada musim dan ketersediaan air. Pola tanam dalam setahun berdasarkan ketersediaan air disajikan pada Tabel 9. Namun, baik sawah maupun tegalan dapat berkurang luasnya menjadi penggunaan lain seperti pemukiman dan semak belukar, dan dapat juga bertambah dari penggunaan lahan lain seperti hutan dan semak belukar. Tabel 8. Perubahan Penggunaan/ Penutupan Lahan Pada Setiap Periode hutan pmk swh teg smk total Ha % ha % ha % ha % ha % ha % hutan ,5 70 0, , , , ,5 pmk , ,1 swh , , , , ,6 teg , , , , ,0 smk 420 0, , , , ,8 total , , , , , hutan pmk swh teg smk total Ha % ha % ha % ha % ha % ha % hutan , , , , , ,5 pmk , ,5 swh , , , , ,8 teg , , , , ,5 smk , , , , ,8 total , , , , , hutan pmk swh teg smk total Ha % ha % ha % ha % ha % ha % hutan ,3 50 0, , , , ,5 pmk , ,0 swh , , , , ,6 teg , , , , ,7 smk , , , , ,2 total , , , , , Keterangan: pmk (pemukiman), swh (sawah), teg (tegalan), smk (semak belukar)

5 28 Tabel 9. Pola Tanam dalam Setahun Berdasarkan Ketersediaan Air Ketersediaan Air Cukup banyak air Cukup air Kekurangan air Pola Tanam dalam Setahun Padi Padi Palawija Padi Padi Bera Padi Palawija Palawija Padi Palawija Bera Palawija Padi Bera Sumber :Irigasi dan Sumber Daya Air Penggunaan lahan sawah terus mengalami penurunan pada setiap periode, dengan laju penurunan 774 ha/tahun pada periode , ha/tahun pada periode , dan 840 ha/tahun pada periode Sedangkan penggunaan lahan tegalan mengalami peningkatan pada dua periode yaitu periode dengan laju peningkatan sebesar ha/ tahun, dan periode dengan laju peningkatan ha/ tahun. Namun, mengalami penurunan pada periode dengan laju penurunan sebesar ha/ tahun. Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non-petanian dapat diketahui dengan menggabungkan penggunaan lahan sawah dan tegalan. Maka untuk pembahasan selanjutnya yang digunakan adalah penggabungan antara sawah dan tegalan. Penggunaan lahan sawah dan tegalan pada setiap tahun dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 11. Tabel 10. Luas dan Proporsi Sawah dan Tegalan Pada Setiap Tahun Tahun Luas Sawah dan Tegalan (ha) Proporsi Sawah dan Tegalan (%) , , , ,2

6 29 Proporsi (%) Tahun Proporsi Sawah dan Tegalan (%) Gambar 11. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Pada Setiap Tahun Dari Tabel dan Grafik diatas dapat diketahui bahwa dari tiga periode yaitu antara tahun , , dan sawah dan tegalan mengalami peningkatan pada periode (2.350 ha/tahun) dan (70 ha/tahun), kemudian mengalami penurunan yang signifikan pada periode (6.800 ha/tahun). 5.3 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Karakteristik Fisik Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 sampai tahun 2008 sawah dan tegalan memiliki pola sebaran yang sama yaitu banyak dijumpai pada kemiringan lereng 15% dan semakin menurun proporsinya dengan semakin curamnya kemiringan lereng. Hal tersebut disebabkan lahan dengan kemiringan lereng yang datar memudahkan dalam pengelolaan, dan pada lahan-lahan dengan kemiringan curam dapat meningkatkan terjadinya erosi. Menurut Rahim (2002) topografi yang miring mempercepat aliran air yang dapat memperbesar erosi tanah.

7 30 proporsi (%) % 15%-30% 30%-50% > 50% lereng Gambar 12. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Proporsi penggunaan sawah dan tegalan pada masing-masing kemiringan lereng disajikan pada Tabel 11. Pada kemiringan lereng 15% proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2001 yaitu sebesar ha (83,1%). Pada kemiringan lereng 15%-30% dan 30%-50% proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar ha (47,6%) dan ha (7,2%). Sedangkan pada kemiringan lereng > 50% berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 620 ha (2,3%). Tabel 11. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Lereng Ha % ha % ha % ha % 15% , , , ,3 15%-30% , , , ,1 30%-50% 990 3, , , ,9 > 50% 100 0, , , , Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa sawah dan tegalan pada tahun 1990 sampai tahun 2008 banyak mendominasi pada elevasi 250 mdpl, dan semakin menurun proporsinya dengan semakin tingginya elevasi. Hal tersebut disebabkan karena elevasi berkaitan dengan suhu udara, semakin tinggi elevasi maka suhu udara akan semakin rendah. Suhu udara inilah yang diperkirakan menjadi pembatas utama bagi penggunaan lahan sawah dan tegalan

8 31 (Gandasasmita, 2001). Selain itu, Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1000 mdpl sebagai kawasan usaha terbatas dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian >2000 mdpl sebagai kawasan lindung proporsi (%) >1500 elevasi (mdpl) Gambar 13. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada masing-masing nilai elevasi disajikan pada Tabel 12. Pada elevasi 250 dan proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar ha (78,3%) dan ha (58,9%). Proporsi sawah dan tegalan tertinggi pada elevasi dan berada pada tahun 2001 yaitu sebesar ha (37,1%) dan ha (13,1%). Pada elevasi dan proporsi tertinggi berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 760 ha (6,1%) dan 40 ha (0,6%), sedangkan pada elevasi > 1500 sudah tidak dijumpai penggunaan lahan sawah dan tegalan. Tabel 12. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Elevasi Ha % ha % Ha % ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,6 >1500

9 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Berdasarkan pada Gambar 14 menunjukan bahwa pola penyebaran sawah dan tegalan bervariasi berdasarkan jenis tanah. Namun, penyebaran sawah dan tegalan pada tahun 1990 sampai 2008 yang terendah berada pada tanah andosol. Hal tersebut disebabkan tanah andosol terdapat pada daerah dengan elevasi yang tinggi dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai perkebunan. Menurut Soepardi (1983) tanah andosol berada di sekitar puncak gunung berapi, atau dataran tinggi mulai dari 1000 mdpl, dengan vegetasi utama adalah hutan pr o po rsi (% ) aluvial andosol grumusol latosol podsolik mrh kuning regosol rensina Jenis Tanah Gambar 14. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Proporsi penggunaan sawah dan tegalan pada masing-masing jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 13. Proporsi sawah dan tegalan tertinggi pada tahun 1990 terdapat pada jenis tanah aluvial yaitu sebesar ha (69,2%), pada tahun 2001 dan 2004 berada pada jenis tanah podsolik merah kuning yaitu sebesar ha (74,2%) dan ha (85,4%), dan pada tahun 2008 proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tanah grumusol yaitu sebesar ha (73,9%). Menurut Subagyo (2004) tanah grumusol banyak digunakan untuk areal pertanaman padi sawah. Tanah grumusol terbentuk pada tempat-tempat yang tingginya tidak lebih dari 300 meter di atas muka laut dengan topografi agak bergelombang sampai berbukit, temperatur tahunan rata-rata 25 0 C dengan curah hujan kurang dari 2500 mm dan pergantian musim hujan dan musim kemarau nyata (Soepardi, 1983).

10 33 Tabel 13. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah ha % ha % Ha % ha % Alluvial , , , ,3 Andosol 720 6, , , ,4 Grumusol , , , ,9 Latosol , , , ,3 podsolik mrh kuning , , , ,7 Regosol , , , ,0 Rensina , , , , Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Gambar 15 menunjukan pola sebaran sawah dan tegalan berdasarkan curah hujan dan proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada masing-masing curah hujan dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa pola sebaran sawah dan tegalan bervariasi berdasarkan curah hujan. Namun, pada tahun 1990 sampai tahun 2008 proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada curah hujan 2247 mm/tahun, sedangkan proporsi sawah dan tegalan terendah berada pada daerah dengan curah hujan 3895 mm/tahun. Hal ini disebabkan daerah dengan curah hujan 2247 mm/tahun berada pada elevasi yang rendah sedangkan daerah dengan curah hujan 3895 mm/tahun berada pada elevasi yang tinggi sehingga tidak lagi menunjang budidaya lahan sawah dan tegalan. Pada daerah penelitian curah hujan tidak memiliki korelasi dengan ketinggian sehingga pada curah hujan 3995 mm/tahun proporsi sawah dan tegalan kembali meningkat. p r o p o r s i (% ) Curah Hujan (mm/tahun) Gambar 15. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan

11 34 Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa pada curah hujan 2247 mm/tahun, 3767 mm/tahun, 3995 mm/tahun, dan 4136 mm/tahun proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2001 yaitu sebesar ha (86,1%), ha (72,5%), ha (79,6%), dan ha (39%), pada curah hujan 2879 mm/tahun, 3236 mm/tahun, 3819 mm/tahun, dan 3895 mm/tahun proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar ha (65,3%), ha (26,9%), ha (69,9%), dan 650 ha (6,7%), pada curah hujan 3017 mm/tahun berada pada tahun 1990 yaitu sebesar ha (81,1%), Tabel 14. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Curah Hujan Ha % ha % Ha % ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 sampai tahun 2008 sawah dan tegalan memiliki pola sebaran yang sama yaitu banyak dijumpai pada aksessibilitas 3 km dan semakin menurun proporsinya dengan semakin jauh jaraknya dari jalan utama proporsi (%) km 3km - 6km 6km - 9km 9km - 12km >12 km Selang Jarak Gambar 16. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas

12 35 Proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada masing-masing aksessibilitas disajikan pada Tabel 15. Pada aksessibilitas 3 km proporsi sawah dan tegalan tertinggi terdapat pada tahun 2001 yaitu sebesar ha (72,3%), pada aksessibilitas 3km 6km berada pada tahun 2004 yaitu sebesar ha (60,5%), pada aksessibilitas 6km 9km berada pada tahun 2008 yaitu sebesar ha (50,1%), pada aksessibilitas 9km 12km dan > 12 km proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar ha (48,7%) dan ha (38,9%). Tabel 15. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Jarak Ha % ha % Ha % ha % 3 km , , , ,3 3km 6km , , , ,8 6km 9km , , , ,1 9km - 12km , , , ,0 >12 km , , , ,7 5.4 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Karakteristik Fisik Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Pola perubahan sawah dan tegalan berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 17 dan proporsinya berdasarkan masing-masing kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 16. Proporsi (%) % 15%-30% 30%-50% >50% Kemiringan Lereng penurunan penurunan penurunan penambahan penambahan penambahan Gambar 17. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng

13 36 Berdasarkan Gambar 17 dapat diketahui bahwa pada periode dan penurunan sawah dan tegalan banyak terjadi pada kemiringan lereng 15%. Namun, pada periode mengalami pergeseran yaitu penurunan banyak terjadi pada kemiringan lereng 15%-30%. Sedangkan untuk pola penambahan sawah dan tegalan pada setiap periode banyak terjadi pada kemiringan lereng 15%-30%. Hal tersebut menunjukan bahwa perubahan sawah dan tegalan telah mengalami pergeseran karena kalah prioritas dengan pemukiman. Menurut Barlowe (1986), setiap jenis penggunaan lahan (pertanian maupun non-pertanian) mempunyai nilai ekonomi lahan yang berbeda, dimana jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar. Oleh karena itu penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Besaran nilai economic land rent untuk beberapa penggunaan adalah: industri dan perdagangan > pemukiman > pertanian > hutan > lahan tandus. Tabel 16. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan lereng Lereng penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan Ha % ha % ha % ha % ha % ha % 15% , , ,3 7,880 4, , ,5 15%-30% 120 0, , ,6 5,170 7, , ,4 30%-50% , , , , ,0 >50% 300 1,1 30 0, , , , Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Berdasarkan Gambar 18 dan Tabel 17 dapat diketahui bahwa penurunan sawah dan tegalan pada periode banyak terjadi pada elevasi 250 mdpl, namun pada periode dan penurunan tertinggi bergeser menjadi elevasi mdpl. Pola penambahan pada periode dan banyak terjadi pada elevasi 250 mdpl, sedangkan pada periode mengalami pergeseran menjadi mdpl. Pergeseran tersebut disebabkan karena sawah dan tegalan kalah prioritas dengan penggunaan pemukiman.

14 37 Proporsi (%) >1500 Elevasi (mdpl) penurunan penurunan penurunan penambahan penambahan penambahan Gambar 18. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Tabel 17. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Elevasi penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0 50 0, , ,6 > Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Berdasarkan Gambar 19 dan Tabel 18 dapat diketahui penurunan dan penambahan sawah dan tegalan memiliki pola yang bervariasi terhadap jenis tanah. Penurunan sawah dan tegalan tertinggi pada periode dan berada pada tanah regosol, sedangkan penambahan sawah dan tegalan tertinggi pada kedua periode tersebut berada pada tanah podsolik merah kuning. Berbeda dengan periode dan pada periode baik penurunan maupun penambahan sawah dan tegalan tertinggi berada pada tanah rensina. Menurut Soepardi (1983) tanah rensina di jumpai di daerah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm/tahun dengan kurang dari tiga bulan kering atau tanpa bulan kering yang pasti, terbentuk dari bahan induk batu kapur, bersifat masam, permeabilitas lambat, dan sangat peka terhadap erosi. Menurut Badan Pertanahan Nasional tanah dangkal berkapur seperti rensina sangat peka terhadap erosi dan longsor.

15 Propoorsi (%) penurunan penurunan penurunan penambahan penambahan penambahan aluvial andosol grumusol latosol podsolik mrh kuning regosol rensina Jenis Tanah Gambar 19. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Tabel 18. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % aluvial , , , , , ,2 andosol 70 0, , , , , ,0 grumusol , , , ,0 latosol , , , , , ,4 podsolik mrh kuning , , , , , ,6 regosol 350 5, , ,4 20 0, , ,9 rensina , , , , Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Berdasarkan Gambar 20 dan Tabel 19, baik penurunan maupun penambahan sawah dan tegalan memiliki pola yang bervariasi terhadap curah hujan. Pada periode penurunan banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan 3017 mm/tahun yaitu sebesar 18,3%, sedangkan penambahan banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan 3819 mm/tahun. Pada periode penurunan banyak terjadi pada curah hujan 3767 mm/tahun, sedangkan penambahan banyak terjadi pada curah hujan 2879 mm/ tahun. Pada periode penurunan banyak terjadi pada curah hujan 3995 mm/tahun, dan penambahan banyak terjadi pada curah hujan 3819 mm/ tahun.

16 Proporsi (%) penurunan penurunan penurunan penambahan penambahan penambahan Curah Hujan (mm/tahun) Gambar 20. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Tabel 19. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Curah Hujan penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,5 30 0, , , , , , , , , ,4 30 0, , , , , , , , , , , , , , Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Berdasarkan Gambar 21 dan Tabel 20 penurunan sawah dan tegalan pada setiap periode didominasi pada jarak 3 km. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan pemukiman menginginkan aksessibilitas yang dekat dengan pusat kota (pusat pertumbuhan) sehingga sawah dan tegalan kalah prioritas dan terkonversi menjadi pemukiman. Menurut penelitian Andriyani (2007) semakin dekat kawasan pertanian dengan wilayah perkotaan semakin berpeluang untuk terkonversi. Penambahan sawah dan tegalan pada periode dan banyak terjadi pada aksessibilitas 6 km 9 km, sedangkan pada periode banyak terjadi pada aksessibilitas 3 km 6 km.

17 40 Proporsi (%) km 3km - 6km 6km - 9km 9km - 12km >12 km Selang Jarak penurunan penurunan penurunan penambahan penambahan penambahan Gambar 21. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Tabel 20. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Aksessibilitas penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % 3 km , , , , , ,0 3km - 6km , , , , , ,2 6km - 9km 60 0, , , , , ,8 9km - 12km , , , , ,8 >12 km , , ,5 60 0,2 5.5 Perubahan Sawah dan Tegalan Menjadi Pemukiman Penggunaan lahan pertanian (sawah dan tegalan) paling banyak mengalami perubahan menjadi pemukiman, dengan proporsi perubahan tegalan menjadi pemukiman adalah yang tertinggi (0,4%, 1,5%, dan 2%). Laju perubahan lahan sawah dan tegalan menjadi pemukiman untuk masing-masing periode adalah sebesar 400 ha/tahun, ha/tahun, dan ha/tahun. Hal tersebut menandakan bahwa pola perubahan yang terjadi adalah sawah tegalan pemukiman. Penelitian Marisan (2006) di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor menyimpulkan bahwa peningkatan luasan area ruang terbangun sebagian besar (75,75%) berasal dari penutupan lahan kering, sementara itu peningkatan luasan area pertanian lahan kering sebagian besar berasal dari penutupan pertanian lahan basah (72,75%). Kondisi tersebut mengindikasikan adanya tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi ruang terbangun, dimana berawal dari petanian lahan basah berubah menjadi pertanian lahan kering dan akhirnya menjadi ruang

18 41 terbangun. Selain itu, adanya peraturan Keppres No. 53 tahun 1990 tentang larangan konversi lahan sawah beririgasi teknis membuat masyarakat mengubah terlebih dahulu lahan sawah menjadi tegalan kemudian mengubahnya menjadi pemukiman, hal ini dilakukan untuk menghindari perbuatan melanggar peraturan tersebut (Andriyani, 2007). Perubahan luas sawah dan tegalan tersebut berkaitan dengan jumlah penduduk (data penduduk dapat dilihat pada Tabel 21). Laju pertumbuhan penduduk pada periode tidak terlalu tinggi, begitu pula dengan laju pertumbuhan penduduk pada periode , sedangkan penurunan sawah dan tegalan yang cukup signifikan pada periode disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi sehingga banyak penggunaan lahan sawah dan tegalan yang terkonversi menjadi pemukiman. Menurut Gandasasmita (2001) menurunnya proporsi lahan sawah ini terjadi karena jumlah penduduk yang lebih besar akan memerlukan pemukiman, sarana, dan prasarana lainnya yang lebih banyak sehingga sebagian dari lahan pertanian akan bergeser dan digantikan oleh sarana dan prasarana tersebut. Hubungan antara proporsi sawah dan tegalan dengan jumlah penduduk disajikan pada Gambar 22. Tabel 21. Jumlah Penduduk Tahun Total Penduduk Kerapatan Penduduk (jiwa/100 ha) Sumber : BPS Kabupaten Bogor proporsi (%) kerapatan penduduk (jiwa/100 ha) swh+tgln Gambar 22. Grafik Hubungan Proporsi Sawah dan Tegalan dengan Kerapatan Penduduk

19 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sawah dan Tegalan Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sawah dan tegalan maka dilakukan analisis statistik dengan menggunakan metode binomial logit. Peubah yang berpengaruh terhadap perubahan sawah dan tegalan dapat diketahui melalui nilai penaksiran (estimate) koefisien peubah. Nilai penaksiran positif menggambarkan pendugaan pengaruh peubah-peubah yang diukur bersifat meningkatkan peluang terjadinya perubahan sawah dan tegalan, sedangkan nilai penaksiran negatif bersifat sebaliknya, yaitu menurunkan peluang perubahan sawah dan tegalan. Peluang perubahan sawah dan tegalan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Sawah dan Tegalan Level of Column Estimate Standard Wald p Effect Error Stat. Intercept KELAS_LERENG KELAS_LERENG KELAS_LERENG KLS_ELEVASI KLS_ELEVASI KLS_ELEVASI KLS_ELEVASI KLS_ELEVASI KLS_ELEVASI CURAH HUJAN CURAH HUJAN CURAH HUJAN CURAH HUJAN CURAH HUJAN CURAH HUJAN CURAH HUJAN CURAH HUJAN KODE_JARAK KODE_JARAK KODE_JARAK KODE_JARAK Scale Pada Tabel diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang meningkatkan peluang perubahan sawah dan tegalan adalah faktor kelerengan, yaitu kelas lereng 3 (30% - 50%) dengan nilai penaksiran 0.36 dan curah hujan 2879 mm/tahun dengan nilai penaksiran Sedangkan faktor yang berpengaruh menurunkan peluang perubahan sawah dan tegalan adalah (1) kelas lereng 1 ( 15%) dan kelas

20 43 lereng 2 (15% - 30%), (2) curah hujan 3236 mm/tahun, dan (3) kode jarak 4 (9km - 12km). Berdasarkan hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 23. Diperoleh nilai scaled deviance 1.07 dan pearson chi 0.93 yang menunjukan bahwa hasil penaksiran terhadap peluang perubahan ini sama dengan kondisi di lapangan. Tabel 23. Perhitungan goodness of fit peluang perubahan penggunaan lahan sawah dan tegalan Df Stat. Stat/Df Deviance Scaled Deviance Pearson Chi² Scaled P. Chi² Loglikelihood

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat Berdasarkan hasil interpretasi visual citra Landsat didapatkan beberapa kelas penggunaan lahan yaitu badan air

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG M. YULIANTO F. SITI HARDIYANTI PURWADHI EKO KUSRATMOKO I. PENDAHULUAN Makin sempitnya perairan laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat) wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 50 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Kawasan Perkotaan Purwokerto Kawasan perkotaan Purwokerto terletak di kaki Gunung Slamet dan berada pada posisi geografis 109 11 22-109 15 55 BT dan 7 22

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 18 VI. KODII UMUM DARAH PLITIA 4.1 Letak dan Lokasi Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Cibinong. Kabupaten Bogor dengan luas wilayah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 17 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Wilayah Kecamatan Pamarican memiliki 13 Desa dengan luasan sebesar 10.400 ha. Batas-batas geografi wilayah administrasi di

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Wilayah Bodetabek Sumber Daya Lahan Sumber Daya Manusia Jenis tanah Slope Curah Hujan Ketinggian Penggunaan lahan yang telah ada (Land Use Existing) Identifikasi Fisik Identifikasi

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG 101 GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG Wilayah Pegunungan Kendeng merupakan bagian dari Kabupaten Pati dengan kondisi umum yang tidak terpisahkan dari kondisi Kabupaten Pati. Kondisi wilayah Pegunungan

Lebih terperinci

STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Hana Sugiastu Firdaus (3509100050) Dosen Pembimbing : Dr.Ir. Muhammad

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Kecamatan Leuwiliang Penelitian dilakukan di Desa Pasir Honje Kecamatan Leuwiliang dan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan pertanian

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI 4.1. Letak Geografis Posisi geografis Wilayah Pengembangan Kawasan Agropolitan Ciwidey menurut Peta Rupa Bumi Bakorsurtanal adalah antara 107 0 31 30 BB 107 0 31 30 BT dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis 33 KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Lokasi Geografis Daerah penelitian terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri berada di sebelah Tenggara dari Ibukota Kabupaten Bantul.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG A. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Srumbung terletak di di seputaran kaki gunung Merapi tepatnya di bagian timur wilayah Kabupaten Magelang. Kecamatan Srumbung memiliki

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kabupaten Purbalingga Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Purbalingga terdiri dari 18 (delapan belas) kecamatan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran. 25 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) terletak di Sub DAS Kali Madiun Hulu. Secara geografis Sub-sub DAS KST berada di antara 7º 48 14,1 8º 05 04,3 LS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH Oleh : Sri Harjanti W, 0606071834 PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya

Lebih terperinci

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C Kriteria yang digunakan dalam penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah adalah sebagai berikut: Bulan kering (BK): Bulan dengan C

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 39 BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 4.1 KARAKTERISTIK UMUM KABUPATEN SUBANG 4.1.1 Batas Administratif Kabupaten Subang Kabupaten Subang berada dalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Morfometri Sungai Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Sekayu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Luas dan Letak Wilayah Kota Sintang memiliki luas 4.587 Ha yang terdiri dari 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Pertama,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Data yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini merupakan data sekunder. Data-data yang diperlukan antara lain, data hujan, peta daerah tangkapan air, peta

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan 77 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada 104 552-105 102 BT dan 4 102-4 422 LS. Batas-batas wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat secara geografis

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon KONDISI UMUM LOKASI Gambaran Umum Kabupaten Cirebon Letak Administrasi Kabupaten Cirebon Kabupaten Cirebon merupakan salah satu wilayah yang terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat. Selain itu, Kabupaten

Lebih terperinci