V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Utara, dan Tanah Sareal. Berdasarkan hasil digitasi Citra SPOT 2003 dan Citra Ikonos 2007 Kota Bogor dengan tujuh klasifikasi penggunaan/penutupan lahan yaitu: badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun (built up area), sawah, tanah kosong maka didapatkan luas (Ha) masing-masing tipe penggunaan/penutupan lahan tersebut pada tahun 2003 dan 2007 yang disajikan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebaran penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor didominasi oleh ruang terbangun (built up area) sebesar 36,89% (4.154 Ha), selanjutnya badan air merupakan luasan lahan paling rendah 1,63% (184 Ha). Selebihnya merupakan penggunaan/penutupan lahan belukar semak 2,51% (282 Ha), kebun/pepohonan 15,82% (1.783 Ha), ladang/tegalan 12,64% (1.424 Ha), sawah 23,03% (2.594 Ha), dan tanah kosong 7,49% (843 Ha). Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 184 1, ,03 Belukar/Semak 282 2, ,46 Kebun/Pepohonan , ,67 Ladang/Tegalan , ,59 Ruang Terbangun , ,23 Sawah , ,64 Tanah Kosong 843 7, ,38 Sumber: Hasil Analisis (2009)

2 35 Gambar 4. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Pada Tahun 2007, luas ruang terbangun meningkat menjadi 47,23% (5.322 Ha) diikuti oleh belukar/ semak 3,46% (390 Ha) dan badan air 2,03% (228 Ha) dari total luas daerah penelitian, sedangkan yang mengalami penurunan luas adalah kebun/pepohonan menjadi 14,67% (1.653 Ha), ladang/tegalan 6,59% (743 Ha) sawah 18,64% (2.100 Ha), dan tanah kosong menjadi 7,38% (832 Ha) (Gambar 5). Gambar 5. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2007 (%)

3 36 Peningkatan ruang terbangun dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari peningkatan kegiatan ekonomi termasuk jasa komersial meliputi industri, perdagangan dan jasa, perkantoran/pemerintahan dan pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal dan beraktivitas dari waktu ke waktu. Sedangkan penurunan luasan sawah dan ladang/tegalan mengindikasikan adanya tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi ruang terbangun, yakni berawal dari sawah kemudian menjadi ladang/tegalan terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi ruang terbangun. Penelitian Marisan (2006) di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor menyimpulkan bahwa peningkatan luasan area ruang terbangun sebagian besar (75,75%) berasal dari penutupan pertanian lahan kering, sementara itu peningkatan luasan area pertanian lahan kering sebagian besar berasal dari penutupan lahan basah (72,75%). Untuk badan air peningkatan lebih disebabkan perluasan area untuk kawasan/fasilitas olahraga di Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan dalam skala besar. Jika dilihat berdasarkan perbandingan dua titik tahun, secara keseluruhan penggunaan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 sampai tahun 2007 terbukti mengalami perubahan yang cenderung ke arah ruang terbangun yang mengalami peningkatan sebesar 10,34% atau 1167 Ha dari tahun 2003 hingga 2007 (Gambar 6). Gambar 6. Perbandingan Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (%)

4 37 Pada Gambar 6 terlihat bahwa peningkatan luasan ruang terbangun sebesar 10,34 % (1.167 Ha) diikuti oleh peningkatan belukar/semak 0,95% (107 Ha) dan badan air 0,4% (45 Ha) seiring dengan menurunnya luasan ladang/tegalan sebesar 6,05% (681 Ha), diikuti sawah 4,39% (495 Ha), kebun/pepohonan 1,15% (130 Ha) dan tanah kosong 0,10% (12 Ha). Penurunan jenis penggunaan/penutupan lahan tersebut diduga akan terus terjadi seiring dengan semakin tingginya kebutuhan akan ruang terbangun di Kota Bogor. Sebagai gambaran umum, untuk perubahan penggunaan/penutupan lahan menjadi ruang terbangun dari tahun 2003 ke tahun 2007 banyak terkonversi dari pertanian lahan kering dan basah meliputi sawah dan tegalan sekitar 304 Ha dan 393 Ha. Sedangkan konversi dari belukar/semak mempunyai luasan yang paling rendah sekitar 15 Ha, selebihnya merupakan konversi dari kebun/pepohonan sebesar 166 Ha dan tanah kosong sebesar 287 Ha (Gambar 7). Gambar 7. Alih Fungsi Beberapa Pemanfaatan Ruang Tahun 2003 ke Ruang Terbangun Tahun 2007 (Ha) Berdasarkan Gambar 8 dan 9, dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 hingga 2007 penggunaan lahan yang paling mendominasi adalah ruang terbangun. Ruang terbangun meliputi pemukiman dan jasa komersial cenderung memusat pada Kecamatan Bogor Tengah, hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pusat-pusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga tinggal di pusat kota (Bappeda Kota Bogor).

5 38 Gambar 8. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 Gambar 9. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007

6 Pola Sebaran Penggunaan Lahan dan Perubahan Luasannya di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Berdasarkan sebaran penggunaan/penutupan lahan Kota Bogor dari Tahun 2003 ke 2007, dapat dilihat secara garis besar dominasi penggunaan/penutupan lahan yang terdistribusi ke dalam ruang terbangun (built up area). Di Kota Bogor pada umumnya wilayah ruang terbangun ini berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada. Sehingga dari hasil intersect peta land use/land cover tahun 2003 dan 2007 dengan peta jaringan jalan utama Kota Bogor yang dibagi menjadi empat yaitu: 1) jalan arteri primer, 2) jalan arteri sekunder, 3) jalan kolektor primer, 4) jalan kolektor sekunder, dapat diketahui sebaran penggunaan/penutupan lahan di sepanjang jaringan jalan utama Kota Bogor dari tahun 2003 ke Pada Tabel 8 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebaran penggunaan/penutupan lahan secara keseluruhan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dengan buffer 200 m didominasi oleh ruang terbangun sebesar 56,13% (3.607 Ha) sedangkan badan air merupakan luasan lahan yang paling rendah 1,18% (76 Ha) dari total luas area buffer. Selebihnya merupakan penggunaan/penutupan lahan ladang/tegalan 10,24% (658 Ha), kebun/pepohonan 9,63% (619 Ha), tanah kosong 11,45% (736 Ha), sawah 10,21% (656 Ha) dan belukar/semak 1,16% (75 Ha). Tabel 10. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha dan %) Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 76 1, ,18 Belukar/Semak 75 1, ,59 Kebun/Pepohonan 619 9, ,26 Ladang/Tegalan , ,36 Ruang Terbangun , ,16 Sawah , ,53 Tanah Kosong , ,92 Sumber: Hasil Analisis (2009)

7 40 Gambar 10.Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 (%) Pada tahun 2007, luas ruang terbangun meningkat menjadi 66,16% (4.201,51 Ha) diikuti oleh kebun/pepohonan 10,26% (659 Ha), dan belukar/semak 2,59% (166 Ha) dari total luas area buffer sedangkan yang mengalami penurunan luas adalah ladang/tegalan menjadi 4,36% (280 Ha), lahan sawah menjadi 8,53% (548 Ha), dan tanah kosong menjadi 6,92% (445 Ha). Sedangkan badan air cenderung tetap atau tidak mengalami perubahan (Gambar 11). Gambar 11. Proporsi Total Penggunaan/Penggunaan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 (%)

8 41 Jika dilihat berdasarkan perbandingan luasan penggunaan/penutupan lahan tahun 2003 ke 2007 dapat dibuktikan, penggunaan/penutupan lahan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dengan buffer 200 m dari tahun 2003 sampai tahun 2007 mengalami perubahan yang cenderung ke arah ruang terbangun, yang mengalami peningkatan sekitar 10,03% (644 Ha) dari tahun 2003 hingga 2007 (Gambar 12). Dengan zona buffer sejauh 200 m, secara umum peningkatan ini cukup menggambarkan bahwa perkembangan ruang terbangun di Kota Bogor ini secara linier diduga mengikuti perkembangan jaringan jalan utama yang ada. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa peningkatan ruang terbangun sekitar 10,03% (644 Ha) diikuti oleh peningkatan belukar/semak 1,42% (92 Ha), kebun pepohonan 0,63% (40 Ha) seiring dengan menurunnya luasan ladang/tegalan sekitar 5,87% (377 Ha), lahan sawah sekitar 1,68 % (108 Ha) dan tanah kosong sekitar 4,53% (291 Ha). Berbeda dengan pola sebaran penggunaan/penutupan lahan secara keseluruhan, dalam pola sebaran dua titik tahun di sepanjang jalan utama Kota Bogor, luasan untuk kebun/pepohonan justru mengalami peningkatan 40 Ha. Hal ini mengindikasikan perkembangan pesat ruang terbangun yang diduga secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama telah membuat pemerintah kota berupaya mempertahankan kebun/pepohonan mencakup ruang terbuka hijau untuk mengurangi bangkitan lalu lintas yang sangat tinggi di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Gambar 12. Perbandingan Proporsi Total Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (%)

9 Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Dari hasil overlay peta RTRW Kota Bogor (Gambar 16) dengan informasi eksisting penggunaan/penutupan lahan (Gambar 8 dan Gambar 9), diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor tahun 2003 (Gambar 17) dan Tahun 2007 (Gambar 18) yang kemudian dianalisis. Pada analisis inkonsistensi tahun 2003, jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan dan sawah) yaitu seluas 124 Ha (1,10 % dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha atau 67,50% dari luas peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 184 Ha), dan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) yaitu seluas 13 Ha (0,12% dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha dan 5,11% dari luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya sebesar 260 Ha) (Tabel 11). Tabel 11. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap Olahraga/Jalur Hijau 184 1, ,10 67,50 Pertanian/Kebun Campuran 130 1, ,12 10,73 Hutan Kota 260 2, ,12 5,11 Sumber: Hasil Analisis (2009) Pada analisis inkonsistensi tahun 2007, sama halnya seperti tahun 2003 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan dan sawah) yaitu 148 Ha (1,31% dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha dan 80,37% dari luas peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 184 Ha), sedangkan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan, sawah dan tanah kosong) yaitu seluas 17 Ha (0,15%

10 43 dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha dan 6,37% dari luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya sebesar 260 Ha) (Tabel 12). Tabel 12. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2007 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap Olahraga/Jalur Hijau 184 1, ,31 80,37 Pertanian/Kebun Campuran 130 1, ,19 16,79 Hutan Kota 260 2, ,15 6,37 Sumber: Hasil Analisis (2009) Besarnya jenis luasan inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau dapat dipahami sebagai suatu hal yang menggambarkan minimnya pengawasan pemerintah dan kesadaran masyarakat sekitar akan pentingnya ruang terbuka hijau di Kota Bogor yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi di tengah perkembangan pembangunan yang cukup pesat di Kota Bogor. Pada Gambar 13, 14, dan 15 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi penggunaan lahan ruang terbangun sekitar 104 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha) adalah sekitar 40,01%, sedangkan pada tahun 2007 jenis inkonsistensi ini mengalami luasan peningkatan menjadi 120 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha) adalah sekitar 46,25%. Untuk tiap jenis inkonsistensi peruntukan RTRW (taman/lapangan olahraga/jalur hijau) menjadi penggunaan/penutupan lahan ladang/tegalan, sawah dan tanah kosong juga mengalami peningkatan luasan inkonsistensi dari tahun 2003 ke 2007, kecuali untuk jenis inkonsistensi hutan kota/kebun raya menjadi ladang/tegalan yang justru mengalami penurunan sebesar 3 Ha dari tahun 2003 ke Penurunan luasan ladang/tegalan ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk konversi dari tanaman pertanian lahan kering yang pada akhirnya menjadi penggunaan lahan lain seperti ruang terbangun karena mempunyai land rent yang tinggi.

11 44 Gambar 13. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha) Keterangan: A = Hutan Kota/Kebun Raya Ladang/Tegalan B = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ladang/Tegalan C = Hutan Kota/Kebun Raya Ruang Terbangun D = Pertanian/Kebun Campuran Ruang Terbangun E = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ruang Terbangun F = Hutan Kota/Kebun Raya Sawah G = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Sawah H = Hutan Kota/Kebun Raya Tanah Kosong Gambar 14. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap peruntukan ruang di Kota Bogor Tahun 2003 (%)

12 45 Gambar 15. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap peruntukan ruang di Kota Bogor Tahun 2007 (%) Berdasarkan Gambar 17 dan 18 dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor pada tahun 2003 mendominasi pada Kecamatan Bogor Selatan dengan jenis inkonsistensi berupa taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan lain dan pada tahun 2007 sebaran inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan lain masih mendominasi di Kecamatan Bogor Selatan disertai peningkatan luasan dalam waktu empat tahun. Pada Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang yaitu taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan yang lain merupakan inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan luasan yang paling rendah dibandingkan dengan di Kecamatan yang lain baik pada tahun 2003 dan tahun Hal disebabkan Kecamatan Bogor Selatan yang diperuntukkan sebagai kawasan RTH dan Pemukiman dengan KDB rendah merupakan Kecamatan dengan tingkat pembangunan yang rendah, disamping jarak yang jauh dari pusat kota hal ini menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang. Sehingga tingkat inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi begitu tinggi. Dengan melihat peta RTRW (Gambar 16), dapat disimpulkan besarnya inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan

13 46 lahan lain di Kecamatan Bogor Selatan dikarenakan minimnya jumlah dan luasan penggunaan lahan dengan nilai rent tinggi (permukiman, perumahan, perdagangan dan jasa, dll) sehingga mendorong segala bentuk penyimpangan penggunaan lahan yang mempunyai nilai rent yang lebih tinggi. Begitu juga dengan yang terjadi di Kecamatan Tanah Sareal, total luasan inkonsistensi di Kecamatan Tanah Sareal merupakan yang paling rendah diantara kecamatan yang lain dikarenakan peruntukan di Kecamatan Tanah Sareal sudah didominasi oleh penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang tinggi (permukiman, perumahan, perdagangan dan jasa, jasa komersial, fasilitas pendidikan, kesehatan, industri dll) sehingga hanya sedikit mendorong bentuk inkonsistensi ke penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang lebih tinggi khususnya ke arah ruang terbangun. Gambar 16. Peta RTRW Kota Bogor Periode

14 47 (a) (b) Gambar 17. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan 2007 (b)

15 Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Dari hasil overlay peta RTRW Kota Bogor (Gambar 16) dengan informasi eksisting penggunaan/penutupan lahan (Gambar 8 dan 9), diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor tahun 2003 (Gambar 17 a) dan Tahun 2007 (Gambar 17 b), kemudian dari peta inkonsistensi yang telah diperoleh masing masing akan di-intersect dengan empat macam hiraki jalan yang telah dilakukan buffer 200 m, sehingga didapatkan peta inkonsistensi di sepanjang jalan utama Kota Bogor dengan buffer 200 m untuk tahun 2003 dan 2007 (Gambar 21 dan Gambar 22). Berdasarkan hasil analisis, jenis inkonsistensi di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) yaitu sekitar 20 Ha (0,37% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar Ha dan 15,12% dari total luas peruntukan taman/lap olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer jalan utama sebesar 130 Ha), dan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan tanah kosong) yaitu sekitar 7 Ha (0,13% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar Ha dan 7,49% dari total luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya di sepanjang buffer jalan utama sebesar 93 Ha) (Tabel 13). Tabel 13. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap OR/Jalur Hijau 130 2, ,37 15,12 Pertanian/Kebun Campuran 0,36 0, Hutan Kota/Kebun Raya 93 1,77 7 0,13 7,49 Sumber: Hasil Analisis (2009) Pada tahun 2007 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain yaitu 30 Ha (0,57% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar

16 Ha dan 23,04% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 130 Ha), sedangkan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada peruntukan pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan lain yaitu 0,04 Ha (0,001% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar Ha dan 12,15% dari total luas peruntukan pertanian/kebun campuran sebesar 0,36 Ha di sepanjang buffer jalan utama) (Tabel 14). Tabel 14. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap OR/Jalur Hijau 130 2, ,57 23,04 Pertanian/Kebun Campuran 0,36 0,01 0,04 0,001 12,15 Hutan Kota/Kebun Raya 93 1,77 8 0,15 8,56 Sumber: Hasil Analisis (2009) Berdasarkan Gambar 19, 20, dan 21 dapat dilihat untuk tahun 2003 jenis inkonsistensi di sepanjang jalan utama paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan ruang terbangun sekitar 15,62 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (130 Ha) adalah sekitar 15,12%, sedangkan pada tahun 2007 jenis inkonsistensi ini mengalami peningkatan menjadi 23,20 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (130 Ha) adalah sekitar 23,04%. Demikian halnya dengan hutan kota/kebun raya dan pertanian/kebun campuran yang mengalami perubahan yang identik, hal ini mencerminkan tingginya kebutuhan akan ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebagai tempat tinggal dan juga beraktivitas. Peningkatan inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan ladang/tegalan sekitar 2,62 Ha (2,82% dari peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sekitar 130 Ha) diindikasikan sebagai suatu tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi penggunaan lahan lain seperti ruang terbangun yang mempunyai nilai rent tinggi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitu juga dengan inkonsistensi hutan kota/kebun raya

17 50 menjadi tanah kosong di tahun 2007 sekitar 0,95 Ha (0,74 % dari peruntukan hutan kota/kebun raya sekitar 93 Ha), dimana pada tahun 2003 belum terdapat jenis inkonsistensi ini di sepanjang jalan utama Kota Bogor, diduga karena perkembangan akan ruang terbangun di Kota Bogor secara linier mengikuti jaringan jalan utama yang ada maka kebutuhan akan ruang terbangun ini diawali dengan perubahan penggunaan lahan hutan kota/kebun raya ke tanah kosong terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadi penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang lebih tinggi daripada penggunaan lahan sebelumnya seperti ruang terbangun (built up area). Selain itu dibandingkan tahun 2003, pada tahun 2007 jenis inkonsistensinya bertambah, dimana pada tahun 2007 sudah terdapat jenis inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi ruang terbangun dan hutan kota/kebun raya menjadi tanah kosong sedangkan pada tahun 2003 belum ditemukan inkonsistensi jenis ini. Hal ini disebabkan semakin tingginya penggunaan lahan ke arah ruang terbangun sebagai tempat tinggal dan juga beraktivitas yang mendorong segala bentuk alih fungsi lahan. Gambar 18. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (Ha) Keterangan: A = Hutan Kota/Kebun raya Ruang Terbangun B = Hutan Kota/Kebun raya Tanah Kosong C = Pertanian/Kebun Campuran Ruang Terbangun

18 51 D = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ruang Terbangun E = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ladang/Tegalan Gambar 19. Proporsi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten Terhadap Peruntukan Ruang Berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Gambar 20. Proporsi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang Berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2007 (%)

19 52 Berdasarkan Gambar 21 dapat dilihat bahwa sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan arteri (arteri primer dan sekunder) Kota Bogor pada tahun 2003 didominasi dengan jenis inkonsistensi berupa taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan). Sedangkan pada tahun 2007 sebaran inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) masih mendominasi di sepanjang jalan arteri (arteri primer dan sekunder) disertai bertambahnya luasan dari tahun 2003 ke tahun Untuk jalan arteri primer dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang yaitu taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) merupakan inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan luasan yang rendah dibandingkan dengan di jalan arteri sekunder baik pada tahun 2003 dan tahun 2007 dengan jenis inkonsistensi yang sama (taman/lapangan olahraga/jalur hijau ke bentuk penggunaan lahan lain). Pada Gambar 22, menunjukkan bahwa sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan kolektor (kolektor primer dan sekunder) pada tahun 2003 masih didominasi oleh jenis inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) demikian halnya pada tahun 2007 dimana pada tahun 2007 semakin bertambah luasan inkonsistensinya. Tetapi di jalan kolektor sekunder pada tahun 2003 belum terdapat jenis inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan lain, sedangkan pada tahun 2007 di jalan kolektor sekunder sudah terdapat luasan kecil inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan ruang terbangun. Baik inkonsistensi yang terjadi di sepanjang jalan arteri dan sekunder. Hal ini mengindikasikan kebutuhan ruang akan penggunaan lahan lain dan ruang terbangun khususnya telah meningkat yang mengakibatkan dan mendorong segala bentuk penyimpangan terhadap peruntukan penggunaan lahan termasuk pertanian/kebun campuran.

20 53 (a) (b) Gambar 21. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Kota Bogor (a) Tahun 2003 dan (b) Tahun 2007

21 54 (a) (b) Gambar 22. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Kota Bogor (a) Tahun 2003 dan (b) Tahun 2007

22 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi pertama yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ke arah ruang terbangun (Y 1 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder ke arah ruang terbangun yaitu persentase ruang terbangun per kelurahan dan persentase jasa komersial per kelurahan (%). Hasil analisis regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -0, , X2 3, , , X4 0, , , X8-1, , , X3 9, , , X6 0, , , X5 1, , , X7-8, , , Regression Summary for Dependent Variable: Y1 (inkonsistensi sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ruang terbangun) R= 0, R²= 0, Adjusted R²= 0, F(7,9)=16,579 p<,00018 Std.Error of estimate: 0,17860 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Y 1 = -0,81 1,10 X 8 + 0,73 X 6 R 2 = 0,928 Dimana : Y 1 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 6 = Persentase Ruang Terbangun per Kelurahan (%) X 8 = Persentase Jasa Komersial per Kelurahan (%)

23 56 Berdasarkan hasil analisis di atas faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder Kota Bogor (Y 1 ) adalah persentase ruang terbangun per kelurahan dan persentase jasa komersial per kelurahan (%), dimana dengan semakin bertambahnya persentase ruang terbangun per kelurahan sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder sebesar 0,73 Ha, sebaliknya dengan semakin berkurangnya persentase jasa komersial per kelurahan sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder sebesar 1,1 Ha. Pengaruh tingginya persentase ruang terbangun per kelurahan menunjukkan tingginya pertumbuhan dan perkembangan di daerah tersebut yang mencerminkan tingginya alih fungsi pemanfaatan ruang khususnya ke arah ruang terbangun dengan rent yang tinggi, hal tersebut pada akhirnya akan mendorong bentukbentuk penyimpangan/inkonsistensi arahan pemanfaatan ruang di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder dari RTRW Kota Bogor. Sedangkan nilai negatif dari persentase jasa komersial menunjukan bahwa aktivitas jasa komersial yang berada di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder tersebut tidak efektif untuk meningkatkan luasan penyimpangan/inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun dikarenakan kebijakan yang telah ditetapkan di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder Kota Bogor dimana tidak diperuntukkan jika penggunaan lahannya adalah jasa komersial yang meliputi industri, perdagangan dan jasa serta pusat pemerintahan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi kedua yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun (Y 2 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun yaitu jarak ke jalan arteri primer, jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke jalan kolektor primer, jarak ke stasiun Kereta Api (KA), persentase jasa komersial per kelurahan dan jarak ke terminal. Hasil analisis

24 57 regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -2, , X4 0, , , X1 1, , , X3 0, , , X7-0, , , X6 0, , , X9-1, , , X2 0, , , X8-1, , , X10 0, , , X5 0, , , Regression Summary for Dependent Variable: Y2 (inkonsistensi sepanjang kolektor primer ruang terbangun) R= 0, R²= 0, Adjusted R²= 0, F(10,29)=4,1180 p<,00134 Std.Error of estimate: 0,39376 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y 2 = -2,86 + 1,64 X 1 + 0,90 X 3 1,28 X 9 + 0,84 X 2-1,10 X 8 + 0,43 X 10 R 2 = 0,586 Dimana : Y 2 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 1 = Jarak ke jalan arteri primer (m) X 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) X 3 = Jarak ke jalan kolektor primer (m) X 8 = Persentase jasa komersial per kelurahan (%) X 9 = Jarak ke terminal utama (m) X 10 = Jarak ke stasiun KA utama (m) Untuk analisis regresi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer (Y 2 ), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi antara lain: jarak ke jalan arteri primer, arteri

25 58 sekunder, kolektor primer, jarak ke stasiun KA, persentase jasa komersial per kelurahan dan jarak ke terminal. Dimana dengan semakin dekatnya jarak ke terminal utama sebesar 1 m diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 1,28 Ha. Semakin dekat suatu daerah dengan terminal utama mencerminkan tingginya aksesibilitas di daerah tersebut yang berarti semakin tinggi juga pembangunan di daerah tersebut, hal ini tentunya mendorong segala bentuk penyimpangan tata ruang khususnya penyimpangan ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer. Semakin bertambah jauhnya jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, dan kolektor primer sebesar 1 m maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi sebesar masing-masing 1,64 Ha, 0,84 Ha, dan 0,9 Ha di sepanjang jalan kolektor primer. Begitu juga dengan semakin bertambah jauhnya jarak ke stasiun KA utama sebesar 1 m maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 0,43 Ha. Sebaliknya dengan semakin berkurangnya persentase jasa komersial sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 1,1 Ha. Pada model menunjukkan kecenderungan yang bernilai positif untuk jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, dan kolektor primer. Ketiga hirarki jalan utama ini diduga merupakan parameter perkembangan ruang terbangun di Kota Bogor yang berarti semakin jauh jarak dari ketiga hirarki jalan tersebut menimbulkan minimnya pengawasan dalam pelaksanaan pemanfaatan tata ruang di Kota Bogor. Sehingga semakin jauh jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer maka akan semakin besar luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi ketiga yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun (Y 3 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun yaitu jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke

26 59 jalan kolektor sekunder dan jarak ke stasiun. Hasil analisis regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -0, , X2 0, , , X4-0, , , X10 0, , , X7-0, , , X1 0, , , Regression Summary for Dependent Variable: Y3 (inkonsistensi sepanjang kolektor sekunder ruang terbangun) R= 0, R²= 0, Adjusted R²= 0, F(5,38)=3,4153 p<,01204 Std.Error of estimate: 0,67911 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y 3 = -0,38 + 0,43 X 2 0,37 X 4 + 0,46 X 10 R 2 = 0,310 Dimana : Y 3 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) X 4 = Jarak ke jalan kolektor sekunder (m) X 10 = Jarak ke stasiun KA utama (m) Pada inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor sekunder (Y 3 ), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi antara lain: jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke jalan kolektor sekunder dan jarak ke stasiun utama. Semakin dekat jarak ke jalan kolektor sekunder diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun sebesar 0,37 Ha, dan semakin bertambah jauhnya jarak ke jalan arteri sekunder dan stasiun KA utama sebesar 1 m maka diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder sebesar masing-masing 0,43 dan 0,46 Ha.

27 60 Dengan semakin dekat jarak ke jalan kolektor sekunder menunjukkan tingginya aksesibilitas dari dan ke jalan kolektor sekunder, sedangkan jalan kolektor sekunder merupakan salah satu jalan utama dengan jejang hirarki tinggi. Ruang terbangun dengan rent tinggi cenderung untuk mendominasi wilayah dengan aksesibilitas tinggi sehingga pada akhirnya keadaan ini mendorong segala bentuk inkonsistensi/penyimpangan tata ruang menjadi penggunaan lahan dengan nilai rent tinggi khususnya di sepanjang jalan utama Kota Bogor.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A

HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A14052982 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No 28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No. 2355-9292 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN RUANG PADA KORIDOR JL. LANGKO PEJANGGIK SELAPARANG DITINJAU TERHADAP RTRW KOTA MATARAM Oleh : Eliza Ruwaidah Dosen tetap Fakultas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Bodetabek Berdasarkan Karakteristik Fisik dan Sosioekonomi Dari hasil penentuan kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik fisik dan

Lebih terperinci

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INKONSISTENSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA BOGOR. Oleh

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INKONSISTENSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA BOGOR. Oleh ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INKONSISTENSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA BOGOR Oleh EKAYANA PUTRI P. BANGUN A24104032 PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH

Lebih terperinci

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD Oleh : Linda Dwi Rohmadiani Abstrak Proporsi Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: Muhammad Azzam NIM : E 100 14 0001

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 LAMPIRAN 72 Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 Kecamatan Kelurahan/Desa Penduduk fasilitas Pendidikan Ekonomi Kesehatan Sosial Jenis PONDOKGEDE JATIRAHAYU 45675 40 398 61 58 1056 23 Hirarki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 4.1.1. Analisis Penggunaan Lahan Tahun 2010 Pola penggunaan lahan Kecamatan Tembalang tahun 2010 menunjukkan bahwa penggunaan lahan sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Permasalahan Pajak Lahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Permasalahan Pajak Lahan 65 HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan Pajak Lahan Pada dasarnya pajak lahan atau yang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang efektif sangat penting artinya bagi kelangsungan pembangunan kota-kota

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau 5.1.1. Identifikasi Perubahan Luas RTH di Jakarta Timur Identifikasi penyebaran dan analisis perubahan Ruang Terbuka Hijau di kawasan

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo Abstrak: Terbentuknya Provinsi Gorontalo pada tahun 2000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3.1. Analisis Kedudukan Kawasan A. Analisis Kedudukan Kawasan Kawasan prioritas yaitu RW 1 (Dusun Pintu Air, Dusun Nagawiru, Dusun Kalilangkap Barat, dan Dusun Kalilangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung yang selalu bertambah pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan otonomi daerah, serta pertambahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi Secara historis kota Sukabumi dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Burgerlijk Bestuur (1914) dengan status Gemeenteraad Van Sukabumi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 133 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dari studi penelitian dan rekomendasi yang bisa di ambil dalam studi. Selain itu akan dibahas mengenai kelemahan studi

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian 12 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada akhir bulan Maret 2011 hingga bulan Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Ancaran, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang memiliki

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan

Lebih terperinci

Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida. (ton) ,19 52,56 64,59 85,95 101, , , ,53

Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida. (ton) ,19 52,56 64,59 85,95 101, , , ,53 70 Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida Pekanbaru Kota Senapelan Limapuluh Sukajadi Sail Rumbai Bukit Raya Tampan Emisi CO 2 (ton) 176.706,19 52,56 64,59 85,95 101,42 24.048,65 32.864,12

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU

PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU Feki Pebrianto Umar 1, Rieneke L. E. Sela, ST, MT², & Raymond Ch. Tarore, ST, MT 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Obyek. Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Obyek. Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Latar Belakang Obyek Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan dengan masa lalu atau sejarah terbentuknya kota serta berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dian Mayasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dian Mayasari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jawa Barat merupakan wilayah dengan kejadian bencana cukup besar mulai dari bencana geologi, vulkanologi, klimatologi, lingkungan, dan lain-lain. Struktur geologi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI

BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI 3.1 TINJAUAN UMUM KOTA BEKASI Kota Bekasi merupakan salah satu kota dari 5 kota dengan populasi terbesar di Indonesia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa, Kota Bekasi

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil akhir dari kajian ini akan dibahas dalam bab ini yaitu mengenai kesimpulan yang secara umum berisi tentang pokok-pokok substansi kajian dari keseluruhan studi mengenai

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON 110 BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON Pada Bab ini dilakukan analisis data-data yang telah diperoleh. Untuk mempermudah proses analisis secara keseluruhan, dapat

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Luas dan Letak Wilayah Kota Sintang memiliki luas 4.587 Ha yang terdiri dari 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Pertama,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG Oleh : Muhammad 3615100007 Friska Hadi N. 3615100010 Muhammad Luthfi H. 3615100024 Dini Rizki Rokhmawati 3615100026 Klara Hay 3615100704 Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Arahan pengaturan intensitas penggunaan lahan di sepanjang koridor Jalan Arteri Daendels Kota Tuban dilakukan dalam beberapa skenario dengan memperhatikan rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Lingkungan perkotaan identik dengan pembangunan fisik yang sangat pesat. Pengembangan menjadi kota metropolitan menjadikan lahan di kota menjadi semakin berkurang,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 26 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Untuk beberapa kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di kabupaten Bogor, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah dijabarkan menjadi Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)

Lebih terperinci

Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor

Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor 39 Gambar 3.17 Peta RTRW Kabupaten Bogor 40 Gambar 3.18 Peta RTRW Kota Depok 41 Gambar 3.19 Peta RTRW Kota Tangerang 42 Gambar 3.20 Peta RTRW Kabupaten Tengarang 43 Gambar

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH 5.1 Kesimpulan Kesimpulan terkait dengan analisis kriteria kekumuhan permukiman Ciloseh Kota Tasikmalaya meliputi kesimpulan terhadap dua

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN 6.1. Struktur Peruntukan Lahan e t a P Gambar 6.1: Penggunaan lahan Desa Marabau 135 6.2. Intensitas Pemanfaatan Lahan a. Rencana Penataan Kawasan Perumahan Dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota kota besar di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: NUR ASTITI FAHMI HIDAYATI L2D 303 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

Gambar 11 Lokasi Penelitian

Gambar 11 Lokasi Penelitian 22 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilakukan di kawasan sekitar Kebun Raya Bogor, Kota Bogor. Kebun Raya Bogor itu sendiri terletak di Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah.

Lebih terperinci

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Komunikasi Internal Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Panti Sosial Bina Remaja Taruna Jaya di Tebet

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Komunikasi Internal Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Panti Sosial Bina Remaja Taruna Jaya di Tebet Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Komunikasi Internal Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Panti Sosial Bina Remaja Taruna Jaya di Tebet ALIFA AMELIA 10210562 LATAR BELAKANG MASALAH Sumber daya manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK

BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK 83 BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK 4.1 Metode Pemilihan Alternatif Lokasi Pasar Lokal 4.1.1 Penentuan Titik Titik Permintaan (Demand Point) Titik permintaan

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG

APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG Latar Belakang Masalah sampah akan berdampak besar jika tidak dikelola dengan baik, oleh karena itu diperlukan adanya tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdesaan (rural) didefenisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

GUNA LAHAN DI KAWASAN SEKITAR BANDAR UDARA MUTIARA KOTA PALU

GUNA LAHAN DI KAWASAN SEKITAR BANDAR UDARA MUTIARA KOTA PALU International Seminar of Geospatial and Human Dimension on Sustainable Natural Resources Management ASSALAMUALAIKUM WR. WB GUNA LAHAN DI KAWASAN SEKITAR BANDAR UDARA MUTIARA KOTA PALU BOGOR, 12 13 SEPTEMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG An Analysis of Land Use Change and Regional Land Use Planning in Bandung Regency Rani Nuraeni 1), Santun Risma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pengalihan fungsi lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota semakin banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini seiring dengan permintaan pembangunan berbagai

Lebih terperinci

Sabaruddin

Sabaruddin SKENARIO ADAPTASI KAWASAN BANJIR BERDASARKAN TINGKAT BAHAYA DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN Oleh Sabaruddin-3610100044 Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita, ST., MT Proses Preview 1 2 Penguatan kenapa

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009 ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009 Prenita Septa Rianelly 1, Teguh Hariyanto 1, Inggit Lolita Sari 2 1 Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan dalam hal

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan objek Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, seperti pada Gambar 2. Analisis spasial maupun analisis data dilakukan di Bagian

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA DENPASAR DALAM HAL PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA DENPASAR oleh A.A Sagung Istri Pramita

Lebih terperinci

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN PREVIEW III TUGAS AKHIR PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita, ST., MT. Merisa Kurniasari 3610100038

Lebih terperinci