IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK Pengukuran kadar air menir jewawut dimaksudkan untuk melihat apakah kadar air dari menir jewawut termasuk dalam kisaran kadar air yang baik untuk produk ekstrusi atau tidak. Kadar air yang baik untuk produk ekstrusi adalah 11-14% (Trisnamurti,1980). Dari hasil pengukuran diperoleh kadar air menir jewawut sosoh, yaitu 13.05% dan kadar air menir jewawut yaitu sebesar 12.96%. Sehingga diketahui bahwa kadar air menir jewawut masih dalam jumlah yang sesuai dengan persyaratan kadar air yang baik. Parameter produk ekstrusi yang ditentukan pada penelitian kali ini, yaitu kadar air dan penyosohan bahan serta suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Kadar air yang digunakan, yaitu 13%, 15 %, dan 16 %. Kadar air ini digunakan untuk melihat apakah proses ekstrusi akan berjalan lebih lancar dengan adanya penambahan air dan untuk mencegah kemungkinan ekstruder macet pada kondisi kadar air bahan secara alami (±13%). Menurut Huber (2001), air dapat membantu bahan melalui ekstruder dengan lebih cepat karena air dapat mengurangi gesekan di dalam ekstruder. Biji jewawut yang digunakan dibedakan menjadi dua perlakuan sebelum ditepungkan, yaitu yang mengalami penyosohan dan yang tidak mengalami penyosohan. Penyosohan yang dilakukan adalah penyosohan selama 100 detik. Waktu 100 detik digunakan karena menurut Yanuwar (2009), waktu tersebut merupakan waktu yang paling optimum untuk menghasilkan produk dengan rasa yang diterima konsumen dengan baik dan juga masih mengandung senyawa bioaktif, termasuk antioksidan. Menurut Harper (1981), kondisi paling optimum untuk bahan pati-patian, yaitu pada suhu 170ºC. Namun kondisi dan tipe ekstruder yang beragam seperti jumlah ulir, dan bentuk ulir yang beragam menyebabkan suhu tersebut tidak digunakan pada penelitian ini. Suhu proses yang diuji yaitu 130ºC, 140ºC dan 150ºC. Suhu ini diambil berdasarkan penelitian Apriani (2009) yang menggunakan suhu tertentu untuk menghasilkan produk komersial dari jagung dengan menggunakan ekstruder ulir ganda. Menurutnya suhu optimum tersebut adalah 119ºC-129ºC. Untuk melihat pengaruh suhu terhadap karakteristik produk ekstrusi yang dihasilkan dilakukan penambahan variasi suhu diatas suhu optimum tersebut. Hasil proses ekstrusi pada suhu 130ºC dengan menggunakan variasi kadar air, kecepatan ulir, dan pengaruh penyosohan dapat dilihat pada Tabel 4. Pada suhu 130 C, ekstruder tidak dapat menghasilkan produk yang baik pada semua perlakuan yang diujikan. Hal ini dapat disebabkan oleh suhu yang masih terlalu rendah sehingga energi panas yang diperlukan untuk perubahan fisik dan kimia bahan belum tercapai. Pada kondisi ekstrusi yang memiliki kelembaban yang rendah, gelatinisasi hanya terjadi sebagian. Selebihnya proses yang terjadi adalah peleburan pati (Muchtadi, et al.,1988). Jika proses perubahan tersebut tidak dapat terjadi maka bahan akan sulit keluar dari ekstruder, sehingga die tersumbat dan selanjutnya mengakibatkan ekstruder macet. Kadar air yang lebih tinggi (15% dan 16%) dan kecepatan ulir yang lebih tinggi (25 Hz) menyebabkan bahan dapat keluar dari ekstruder, namun ekstrudat yang dihasilkan tidak mengembang dan basah. Ekstruder menjadi macet setelah mengeluarkan sedikit produk pada kondisi tersebut. Hal ini juga disebabkan adanya penyumbatan oleh bahan yang belum berada di kondisi optimum untuk proses ekstrusi. Hal ini mengakibatkan penumpukan

2 bahan di ujung die akibat ulir terus mendorong bahan ke arah luar. Penumpukan bahan dapat membuat ekstruder berhenti bekerja (macet). Tabel 4. Hasil proses ekstrusi pada perlakuan suhu 130ºC Penyosohan Kadar air 20 Hz 22Hz 25Hz Sosoh 13% M M M 15% M M 16% M M Tidak sosoh 13% M M M 15% M M 16% M M Suhu 130 C Produk keluar sebagian, tekstur tidak mengembang dan agak basah, lalu ekstruder macet Produk keluar sebagian, tekstur tidak mengembang dan basah, lalu ekstruder macet Produk keluar sebagian, tekstur tidak mengembang dan agak basah, lalu ekstruder macet Produk keluar sebagian, namun tekstur tidak mengembang dan basah, lalu ekstruder macet Keterangan: M= Produk tidak keluar dari ekstruder, ekstruder berhenti bekerja (macet) Hasil dari proses ekstrusi pada suhu 140ºC dapat dilihat pada Tabel 5. Suhu 140ºC dengan kadar air 13% menghasilkan produk dengan tekstur yang baik pada kecepatan ulir dan 25 Hz. Namun sebelum semua bahan keluar, ekstruder berhenti bekerja. Hal ini dapat terjadi karena bahan mempunyai kondisi kadar air yang rendah sehingga saat bahan masih mengalami proses ekstrusi banyak terjadi gesekan antara bahan dengan bahan maupun ulir. Hal ini dapat menyebabkan bahan menjadi terlalu matang di dalam ulir dan menyebabkan penyumbatan pada sisi ulir yang akhirnya membuat ekstruder menjadi macet. Penggunaan kadar air 15% dan 16% membuat tekstur produk menjadi keras dan basah. Saat dikeringkan pada suhu ruang tekstur bahan menjadi lebih keras. Pada kadar air 15% ekstruder akhirnya berhenti sebelum semua bahan keluar dari ekstruder, sedangkan pada kadar air 16% bahan keluar dengan lancar. Hasil dari proses ekstrusi pada suhu 150ºC dapat dilihat pada Tabel 6. Suhu 150ºC tidak dapat digunakan karena tidak ada produk yang dapat dihasilkan dengan kondisi yang baik. Penggunaan kecepatan ulir 20 Hz menyebabkan ekstuder berhenti bekerja sebelum bahan yang diinginkan keluar ekstruder karena kurangnya gaya mekanik yang mampu mengubah kondisi bahan dan memberi tekanan yang diperlukan untuk proses ekstrusi. Pada kadar air 15% dan 16% dengan kecepatan ulir, bahan dapat keluar dari ekstruder. Namun produk yang dihasilkan hangus ekstruder bekerja tidak lama dan akhirnya ekstruder berhenti bekerja. 24

3 Tabel 5. Hasil proses ekstrusi pada perlakuan suhu 140ºC Penyosohan Kadar air Sosoh 13% M 15% M Suhu 140 C 20 Hz 22Hz 25Hz Produk keluar sebagian, tekstur renyah Produk keluar sebagian, tekstur keras Produk keluar sebagian, tekstur renyah Produk keluar sebagian, tekstur keras 16% M Tidak sosoh 13% M 15% M 16% M Produk keluar lancar, tekstur keras Produk keluar sebagian, tekstur renyah Produk keluar sebagian, tekstur keras Produk keluar lancar, tekstur keras Produk keluar lancar, tekstur keras Produk keluar sebagian, tekstur renyah Produk keluar sebagian, tekstur keras Produk keluar lancar, tekstur keras Keterangan: M= Produk tidak keluar dari ekstruder, ekstruder berhenti bekerja (macet) Dari berbagai perlakuan yang dilakukan, kondisi yang mampu menghasilkan produk ekstruder dengan tekstur yang baik yaitu suhu 140ºC, kecepatan ulir dan 25 Hz, bahan yang digunakan yaitu jewawut sosoh maupun dengan kadar air 13%. Meskipun dengan kondisi tersebut produk yang dihasilkan memiliki tekstur yang baik (tidak keras), namun ekstruder berhenti bekerja sebelum semua bahan keluar dari ekstruder, sehingga harus dilakukan penambahan pelumas untuk mencegah ekstruder macet. Pelumas yang paling sering digunakan pada ekstrruder yaitu minyak goreng atau minyak kelapa sawit. Pelumas bekerja dengan membantu bahan untuk keluar dari ekstruder sehingga dapat mengurangi kemungkinan ekstruder macet. Menurut Ahza (1996), jika lemak berada dalam kondisi bebas atau tidak terikat dengan bahan lain, maka ia dapat berfungsi sebagai pelumas dalam laras dengan cara mengurangi konversi energi mekanis. Gesekan antara bahan dengan ulir dan barel memberi energi mekanis lebih lanjut sehingga bahan sulit keluar karena sebagian bahan sudah mengalami perubahan yang drastis dalam granulnya sebelum proses ekstrusi selesai. Minyak yang digunakan sebagai pelumas mampu mengurangi gesekan tersebut sehingga laju aliran bahan keluar die tetap lancar (Guy, 2010). 25

4 Tabel 6. Hasil proses ekstrusi pada perlakuan suhu 150ºC Penyosohan Kadar air Suhu 150 C 20 Hz 22Hz 25Hz Sosoh 13% M H H 15% M 16% M Produk keluar sebagian, hangus, ekstruder macet Produk keluar sebagian, hangus, ekstruder macet H H Tidak sosoh 13% M H H 15% M H H 16% M H H Keterangan: M= Produk tidak keluar dari ekstruder, ekstruder berhenti bekerja (macet) H= Bahan hangus di dalam ekstruder Tabel 7 menunjukkan pengaruh penambahan minyak terhadap kelancaran bahan untuk keluar dari ekstruder. Jumlah minyak yang ditambahkan diusahakan seminimal mungkin, karena selain dapat menimbulkan rasa berminyak yang cenderung tidak disukai, minyak yang terikat pada produk dapat menurunkan pengembangan ekstrudat. Minyak yang ditambahkan yaitu 50 g, 100 g dan 150 g dalam 3 kg bahan. Tabel 7. Pengaruh penambahan minyak terhadap kerja ekstruder Menir Jewawut Berat minyak dibandingkan berat bahan 1.67% 3.33% 5.00% Sosoh M L L Tidak Sosoh M L L Keterangan: M = ekstruder berhenti berjalan sebelum bahan keluar seluruhnya (macet) L = ekstruder terus berjalan sampai bahan keluar seluruhnya dari ekstruder (lancar) 26

5 B. PROSES EKSTRUSI DAN ANALISIS PRODUK EKSTRUSI 1. Proses ekstrusi Dari hasil penentuan parameter optimum, diperoleh empat kondisi optimum untuk proses ekstrusi jewawut. Produk ekstrusi (ekstrudat) yang dihasilkan, yaitu: 1. Produk ekstrusi jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 2. Produk ekstrusi jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 25 Hz 3. Produk ekstrusi jewawut dengan kecepatan ulir 4. Produk ekstrusi jewawut dengan kecepatan ulir 25 Hz Keempat produk tersebut kemudian dianalisis secara fisik, organoleptik, dan dianalisis aktivitas antioksidannya. Kemudian dipilih satu produk terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik dan aktivitas antioksidan yang terbaik. Selanjutnya produk terbaik dianalisis secara kimia. 2. Analisis Fisik a. Analisis Tekstur (Kekerasan) Obyektif Tekstur produk ekstrusi memegang peranan penting bagi penerimaan suatu poduk ekstrusi oleh konsumen. Dalam mengevaluasi tekstur produk, sering diperlukan korelasi yang baik antara pengukuran tekstur secara subjektif dengan indera manusia dengan pengukuran secara obyektif menggunakan instrumen. Analisis tekstur dengan menggunakan alat akan menghasilkan data yang lebih akurat karena bersifat obyektif. Produk ekstrusi yang memiliki penerimaan yang baik adalah dari segi tekstur adalah produk yang renyah dan tidak keras. Hasil analisis tekstur (kekerasan) obyektif dapat dilihat pada Gambar 8. kgf c 3.13b 2.79a sosoh sosoh 25 Hz 3.30b 25 hz Gambar 8. Tingkat kekerasan ekstrudat jewawut Ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir memiliki nilai kekerasan 3.13 kgf. Ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dan kecepatan ulir 22 Hz memiliki nilai kekerasan 2.79 kgf. Nilai kekerasan ekstrudat yang berasal dari 27

6 jewawut adalah 3.54 kgf untuk perlakuan kecepatan ulir dan 3.30 kgf untuk perlakuan kecepatan ulir 25 Hz. Hasil analisa menunjukkan bahwa produk yang memiliki tingkat kekerasan tertinggi, yaitu produk ekstrudat yang berasal dari jewawut dengan kecepatan ulir. Produk yang memiliki tingkat kekerasan terendah, yaitu produk yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 25 Hz. Semua nilai di atas menunjukkan bahwa kekerasan dari produk ekstrusi jewawut sama seperti produk ekstrusi yang umumnya dibuat dari jagung. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Apriyani (2009) yang menguji kekerasan produk ekstrusi yang dibuatnya berkisar antara 2.17 hingga 5.89 kgf. Hasil dari ANOVA (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penyosohan dan kecepatan ulir ekstruder memberikan pengaruh terhadap kekerasan dilihat dari nilai signifikansinya (0.004) yang lebih kecil dari taraf α=0.05. Berdasarkan uji lanjut Duncan, pada selang kepercayaan 95%, tingkat kekerasan pada ekstrudat jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 25 Hz berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh, ekstrudat dan ekstrudat 25 Hz. Ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir tidak berbeda nyata dengan ekstrudat 25 Hz, namun berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh dan. Sementara ekstrudat 22 Hz berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh, ekstrudat sosoh 25 Hz dan ekstrudat 25 Hz. Produk dengan kecepatan ulir lebih rendah akan memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi. Produk yang berasal dari jewawut yang tidak disosoh memiliki nilai kekerasan lebih tinggi dibandingkan produk yang berasal dari jewawut yang disosoh. Hal ini sejalan dengan yang pernyataan Tripalo et al., (2006) yang menyebutkan bahwa kecepatan ulir dan temperatur memiliki efek negatif terhadap kekerasan. Sehingga menaikkan kecepatan ulir ekstruder akan menurunkan nilai kekerasan produk. Jewawut yang mengalami penyosohan akan mengalami pengurangan bagian kulit ari dan embrio. Bagian kulit ari adalah bagian jewawut yang kaya serat, sedangkan bagian embrio kaya akan protein dan asam lemak (FAO, 1995). Menurut Huber (2001), serat akan mengurangi pengembangan produk ekstrusi dan dapat bertindak sebagai bulking agent. Produk yang kurang mengembang cenderung lebih padat sehingga memberikan tekstur produk yang lebih keras. Lemak dapat berikatan dengan pati membentuk struktur baru (Mercier dan Feillet, 1975). Struktur baru terbentuk dengan adanya ikatan antar amilosa dan asam oleat yang mampu menurunkan swelling power dari pati (Radley, 1976). Karena itu, penggunaan bahan baku jewawut akan menghasilkan tekstur produk yang lebih keras jika dibandingkan produk yang berbahan dasar jewawut pada kondisi yang sama. Semakin tinggi nilai kekerasan maka produk tersebut mempunyai tekstur relatif keras dan bersifat kurang renyah dibandingkan produk yang memiliki nilai kekerasan lebih rendah (Melianawati, 1998). b. Uji Rasio Pengembangan Rasio pengembangan ekstrudat menunjukkan seberapa besar pengembangan dari ekstrudat jika dibandingkan dengan besarnya lubang die. Produk ekstrusi dapat mengembang karena adanya proses yang kompleks di dalam ekstruder. Selama proses ekstrusi, bahan ditransportasikan menggunakan putaran ulir dan dipaksa melalui bagian pencetak (die) pada suhu dan tekanan tinggi. Terjadinya pelepasan tekanan secara 28

7 mendadak ketika produk keluar dari die, memungkinkannya menjadi produk yang berstruktur bersel-sel seperti busa (porous) (Ahza, 1996). Rasio pengembangan ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 9. Rasio Pengembangan (%) b c a b Sosoh Sosoh 25 Hz Tidak sosoh Tidak sosoh 25 Hz Gambar 9. Rasio pengembangan ekstrudat jewawut Gambar 9 menunjukkan bahwa rasio pengembangan ekstrudat dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir adalah sebesar %, jewawut sosoh 25 Hz sebesar %, jewawut sebesar % dan jewawut 25 Hz sebesar %. Derajat pengembangan ekstrudat yang memiliki nilai terbesar adalah pada ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 25 Hz. Derajat pengembangan ekstrudat terendah terdapat pada ekstrudat yang berasal dari jewawut dengan kecepatan ulir. Berdasarkan ANOVA (Lampiran 8), diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan karena pengaruh penyosohan dan kecepatan ulir terhadap rasio pengembangan ekstrudat. Melalui uji Duncan, diketahui bahwa pada taraf kepercayaan 95%, rasio pengembangan ekstrudat jewawut sosoh 25 Hz berbeda nyata dengan rasio pengembangan ekstrudat jewawut sosoh, dan 25 Hz. Rasio pengembangan ekstrudat jewawut sosoh tidak berbeda nyata dengan rasio pengembangan ekstrudat jewawut 25 Hz, tetapi berbeda nyata dengan ekstrudat jewawut sosoh 25 Hz dan jewawut. Semakin tinggi kecepatan ulir, maka derajat pengembangan ekstrudat semakin besar. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Harper (1981), bahwa kecepatan ulir ekstruder yang relatif lebih cepat akan membentuk produk yang relatif lebih mekar. Baik et al., (2004) mengatakan bahwa berdasarkan penelitiannya, peningkatan kecepatan ulir ekstruder menghasilkan peningkatan derajat pengembangan ekstrudat. Penyosohan akan meningkatkan derajat pengembangan ekstrudat. Hal ini karena serat yang sebagian besar terdapat pada bagian bran (kulit ari) jewawut berkurang karena penyosohan. Serat dapat mengurangi derajat pengembangan ekstrudat karena serat dapat bertindak sebagai bulking agent yang akan menurunkan derajat pengembangan ekstrudat (Huber, 2001). Abdel-Aal (2009) juga menyatakan bahwa penggunaan bahan baku 29

8 berserat akan menurunkan volume akhir produk. Volume akhir produk yang berkurang akan menurunkan derajat pengembangan ekstrudat. Lemak yang terdapat pada bagian germ jewawut berkurang akibat proses penyosohan. Lemak bersama pati dapat membentuk kompleks baru dari ikatan asam oleat dan amilosa. Struktur baru tersebut dapat menghambat pengembangan ekstrusi (Faubion dan Hoseney, 1982). Oleh karena itu rasio pengembangan produk jewawut sosoh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pengembangan produk jewawut. c. Water Absorption Index (WAI) Water absorption index (WAI) diperoleh dari berat gel yang diperoleh per gram bahan yang tidak larut. Nilai WAI berbanding terbalik dengan water solubility index (WSI) secara umum. WAI dan WSI biasanya digunakan sebagai indikator fungsional derajat pemasakan ekstrudat. Pada dasarnya pati, protein, dan lemak setelah proses ekstrusi akan terdegradasi menjadi molekul-molekul yang lebih kecil. Molekul amilopektin yang berukuran lebih besar terdegradasi selama proses ekstrusi menghasilkan β-limit dekstrin (Davidson et al.,1984). Molekul-molekul yang berukuran lebih kecil tersebut yang menyebabkan naiknya kelarutan dalam air. Gambar 10 menunjukkan WAI ekstrudat dengan beberapa perlakuan yang diujikan. Nilai WAI ekstrudat jewawut sosoh adalah sebesar 3.71 ml/g. Nilai WAI jewawut sosoh 25 Hz sebesar 2.90 ml/g. Pada jewawut, nilai WAI cenderung meningkat, yaitu 4.45 ml/g untuk kecepatan ulir dan 3.90 ml/g untuk kecepatan ulir 25 Hz. Nilai WAI terbesar terdapat pada ekstrudat dengan perlakuan kecepatan ulir yang berasal dari bahan baku jewawut tidak disosoh. WAI terendah terdapat pada produk dengan kecepatan ulir 25 Hz dan berasal dari bahan baku jewawut sosoh. Nilai WAI produk ekstrusi jewawut juga mirip dengan produk ekstrusi jagung yang diteliti oleh Apriyani 2009, dimana nilai WAI produk ekstrusi jagung berada diantara 3.01 hingga 7.08 ml/g. Hal ini menunjukkan kelengketan produk ekstrusi jewawut berada di rentang kelengketan produk ekstrusi pada umumnya yang terbuat dari jagung. Berdasarkan ANOVA (Lampiran 9), diperoleh bahwa nilai signifikansi (0.002) lebih kecil daripada taraf α (0.05), sehingga dilakukan uji lanjut Duncan untuk melihat perlakuan yang berbeda nyata. Nilai WAI ekstrudat sosoh 25 Hz berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh, dan 25 Hz. Nilai WAI ekstrudat sosoh tidak berbeda nyata dengan ekstrudat 25 Hz, tetapi berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh 25 Hz dan. Sementara nilai WAI ekstrudat berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh, 25 Hz dan ekstrudat tidak sosoh 25 Hz. Pada kecepatan putar ulir yang lebih tinggi nilai WAI menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produk yang menggunakan kecepatan ulir yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan pada kecepatan ulir yang lebih tinggi depolimerisasi rantai pati lebih banyak terjadi, yang mengakibatkan peningkatan nilai WSI sehingga nilai WAI menjadi lebih rendah. Secara umum, kecepatan ulir ekstruder dapat meningkatkan specific mechanical energy (SME). Hal ini karena terjadinya peningkatan dalam shear rate ketika peningkatan kecepatan ulir ekstruder telah tercapai. Peningkatan kecepatan ulir meningkatkan shear dan friksi dalam ekstruder sehingga menghasilkan rata-rata transfer SME yang lebih tinggi (Li et al., 2004). Kenaikan SME tersebut akan meningkatkan 30

9 degradasi pati. Gomez dan Aguilera (1983) menyatakan bahwa proses degradasi pati pada kadar air rendah selain meningkatkan WSI juga menurunkan WAI. Water Absorption Index (WAI) (ml/g) c 3.71b 2.90a sosoh sosoh 25 Hz 3.90b 25 hz Gambar 10. Nilai water absorption index (WAI) ekstrudat jewawut WAI menurun pada bahan yang disosoh. Hal ini karena penyosohan mengurangi kandungan yang serat cukup signifikan. Menurut Lestienne, et al., (2003), penyosohan dengan menghilangkan 12% bagian bahan basis kering akan menurunkan kandungan serat jewawut (pearl millet) sebesar 40-56%. Serat pangan pada jewawut sebagian besar adalah serat pangan yang tidak larut air (Leder, 2004). Karena material tidak larut di ekstrudat yang berasal dari jewawut lebih tinggi, maka nilai WAI juga akan lebih tinggi jika dibandingkan jewawut sosoh. Penyosohan juga akan mengurangi kandungan lemak di dalam jewawut. Lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah sehingga depolimerisasi partikel pati akan menurun. Pati yang terdekstrinisasi (depolimerisasi) akan menaikan kelarutannya dalam air sehingga indeks penyerapan air (WAI) menurun. d. Water Solubility Index (WSI) Water Solubility Index (WSI) mengekspresikan persentase bahan kering yang diperoleh kembali dengan evaporasi supernatan dari perhitungan WAI. Hal ini berhubungan dengan jumlah molekul terlarut (Anderson et al., 1969). Karena itu, nilai WSI pada umumnya berbanding terbalik dengan nilai WAI. Nilai WSI ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 11. Nilai WSI ekstrudat jewawut sosoh sebesar g/2 ml untuk kecepatan ulir 22 Hz dan untuk kecepatan ulir 25 Hz. Nilai WSI ekstrudat yaitu g/2 ml untuk kecepatan ulir dan g/2 ml untuk kecepatan ulir 25 Hz. Nilai WSI tertinggi terdapat pada ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir ekstruder 25 Hz. Sedangkan WSI terendah terdapat pada ekstrudat yang berasal dari jewawut dengan kecepatan ulir. 31

10 Water Solubility Index (g/2ml) d c a sosoh sosoh 25 Hz b 25 hz Gambar 11. Nilai water solubility index (WSI) ekstrudat jewawut Hasil ANOVA menunjukan adanya perbedaan nilai WSI dilihat pada α=0.05 (Lampiran 10). Melalui uji lanjut Duncan, diketahui bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, nilai WSI jewawut sosoh berbeda nyata dengan nilai WSI jewawut sosoh 22 Hz, jewawut, dan jewawut 25 Hz. Peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan nilai WSI. Hal ini karena depolimerisasi terjadi lebih kuat pada kecepatan putaran ulir ekstruder yang lebih tinggi. Semakin kecil struktur pati, maka kemudahannya untuk larut akan semakin besar. Karena itu terjadi peningkatan nilai WSI dibandingkan dengan sampel yang diekstrusi dengan kecepatan ulir yang lebih rendah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lin et al., (2002), yang mengatakan bahwa nilai WSI meningkat dengan adanya peningkatan kecepatan ulir. Proses penyosohan jewawut menaikkan nilai WSI ekstrudat. Hal ini karena serat pangan yang bayak terdapat pada jewawut adalah serat pangan tidak larut (Leder, 1973). Karena banyaknya serat yang terbuang pada jewawut yang disosoh, kandungan bahan yang tidak larut dalam jewawut sosoh menurun, sehingga WSI jewawut sosoh lebih tinggi dibandingkan nilai WSI jewawut. e. Derajat Gelatinisasi Menurut Wooton et al., (1971) yang dikutip oleh Hermanianto et al., (2000), derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati.. Meskipun digunakan suhu tinggi, namun karena tidak terdapat air yang cukup maka gelatinisasi tidak berlangsung dengan sempurna. Derajat gelatinisasi ekstrudat dari jewawut sosoh adalah sebesar 54.83% dan 25 Hz sebesar 60.76%. Derajat gelatinisasi jewawut sebesar 42.38% dan 25 Hz sebesar 48.42%. Semakin tinggi kecepatan ulir, derajat gelatinisasi ekstrudat akan semakin bertambah. Menurut Muchtadi et al., (1988) di dalam proses ekstrusi akan lebih banyak ditemui pemasakan bahan pati-patian yang mempunyai kadar air rendah, seperti menir dan tepung. Menurut Ahza (1996) dan Melianawati (1998), jika tidak terdapat air yang mencukupi untuk proses gelatinisasi diperlukan energi berupa gesekan (shear) untuk 32

11 proses hidrasi. Gesekan yang terdapat dalam ekstruder dapat dihasilkan dari gesekan antara bahan dengan ulir dan juga dengan laras. Semakin cepat perputaran ulir gesekan yang terjadi akan semakin banyak baik dengan bahan baku ataupun antara bahan baku dengan laras sehingga energi yang dihasilkan semakin tinggi. Derajat gelatinisasi ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 12. Derajat Gelatinisasi (%) c 60.75d 42.38a 48.43b 0.00 sosoh 22 sosoh Hz Gambar 12. Derajat gelatinisasi ekstrudat jewawut Sementara itu, ekstrudat yang berasal dari bahan yang tidak disosoh memiliki nilai derajat gelatinisasi lebih rendah jika dibandingkan dengan derajat gelatinisasi ekstrudat dari bahan yang mengalami penyosohan pada kondisi kecepatan ulir yang sama. Hal ini dikarenakan adanya lemak yang terdapat pada ekstrudat yang menjadi barrier proses gelatinisasi pati. Menurut Collison (1968) di dalam Polina (1995), lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Karena penetrasi air menurun, maka gelatinisasi yang terjadi akan semakin rendah. 3. Uji Organoleptik a. Warna Warna produk memberi efek psikologis pada penerimaan konsumen. Atribut produk yang dapat dinilai pertama kali secara visual adalah warna produk. Warna ekstrudat yang dihasilkan adalah coklat kemerahan. Dari Gambar 13, dapat dilihat bahwa skala hedonik untuk penilaian terhadap atribut warna ekstrudat sosoh adalah 3.2, ekstrudat sosoh adalah 3.17, ekstrudat adalah 3.07, dan ekstrudat 25 Hz adalah Seluruh produk yang dihasilkan memiliki penerimaan konsumen yang cukup baik, yaitu dari netral ke arah suka (antara skala 3 hingga 4). Melalui ANOVA (Lampiran 13) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara warna produk karena taraf 33

12 signifikansinya (0.887) lebih besar dari taraf α (0.05). Penyosohan 100 detik pada jewawut tidak terlalu banyak merubah warna biji jewawut. Karena tidak banyak merubah warna biji, maka warnaa produk akhir juga tidak berbeda terlalu jauh meskipun diproses dengan kecepatan ulir yang berbeda pula. Skala Hedonik a 3.17a 3.07a 3.17a sosoh sosoh 25 Hz 25 Hz Gambar 13. Hasil uji hedonik atribut warna b. Kerenyahan Tingkat kesukaan terhadap atribut tekstur kerenyahan ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 14. Skala kerenyahan pada ekstrudat sosoh adalah 3.07, ekstrudat sosoh 25 Hz adalah 3.37, ekstrudat adalah 3.07, dan ekstrudat adalah Skala kerenyahan ekstrudat sosoh, sosoh 25 Hz, dan 25 Hz berada pada selang netral ke arah suka. Sedangkan untuk ekstrudat berada pada selang tidak suka ke arah netral (antara 2 sampai 3). Ekstrudat paling tidak disukai dari segi tekstur kerenyahan. Hal ini dapat disebabkan karena teksturnya yang kurang renyah karena ekstrudat tersebut banyak mengandung serat yang menyebabkan bahan kurang mengembang ketika diekstrusi dan menggunakan kecepatan ulir yang lebih rendah sehingga mengakibatkan derajat pengembangan ekstrudat tersebut paling rendah jika dibandingkan ekstrudat lainnya. Derajat pengembangan yang rendah berkorelasi terhadap kurangnnya kerenyahan dari ekstrudat tersebut. Dari data yang diperoleh dengan menggunakan ANOVA (Lampiran 14) dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan diantara keempat sampel. Melalui uji lanjut Duncan, diketahui bahwa ekstrudat berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh, ekstrudat sosoh 25 Hz, dan ekstrudat 25 Hz. 34

13 Skala Hedonik a 3.37a 2.83b sosoh sosoh 25 Hz 3.27a 25 Hz Gambar 14. Hasil uji hedonik atribut kerenyahan c. Kelengketan Kelengketan produk erat kaitannya dengan kelarutan dan penyerapan air. Semakin tinggi kelarutan produk kelengketan akan semakin menurun. Gambar 15 menunjukkan skala hedonik dari kelengketan keempat ekstrudat. Ekstrudat sosoh memiliki skala hedonik kelengketan sebesar 3.27, ekstrudat sosoh 25 Hz sebesar 3.33, ekstrudat tidak sosoh sebesar 2.93, dan ekstrudat 25 Hz sebesar Seluruh ekstrudat selain ekstrudat memiliki penerimaan dalam selang netral ke arah suka dari atribut kelengketan. Sementara ekstrudat memiliki skala penerimaan yang berada di dalam selang tidak suka ke arah netral. Skala Hedonik ab 3.33a 2.93b sosoh sosoh 25 Hz 3.17ab 25 Hz Gambar 15. Hasil uji hedonik atribut kelengketan 35

14 Berdasarkan ANOVA (Lampiran 15) diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata mengenai kesukaan panelis terhadap kelengketan dari keempat ekstrudat. Melalui uji Duncan, diketahui bahwa ekstrudat sosoh 25 Hz tidak berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh dan ekstrudat 25 Hz tetapi berbeda nyata dengan ekstrudat tidak sosoh. Ekstrudat tidak berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh 22 Hz dan ekstrudat 25 Hz. d. Rasa Gambar 16 menunjukan skala penerimaan atribut rasa dari keempat ekstrudat. Ekstrudat sosoh memiliki skala hedonik rasa sebesar 3.23, ekstrudat sosoh 25 Hz sebesar 3.17, ekstrudat sebesar 3.03 dan ekstrudat 25 Hz sebesar Keempat ekstrudat berada di selang penerimaan antara netral ke arah suka untuk atribut rasa. ANOVA (Lampiran 16) menunjukkan bahwa keempat sampel tidak berbeda nyata dari atribut rasa karena nilai signifikansinya lebih dari Skala Hedonik a 3.17a 3.03a sosoh sosoh 25 Hz 3.17a 25 Hz Gambar 16. Hasil uji hedonik atribut rasa 4. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Kubo, et al., 2002) Aktivitas antioksidan diukur dengan menggunakan senyawa DPPH. DPPH adalah senyawa radikal yang berwarna ungu gelap. Semakin tinggi aktivitas antioksidan ekstrudat maka warna ungu akan semakin pudar. Aktivitas antioksidan ekstrudat dapat dilihat pada Gambar

15 Aktivitas Antioksidan (ppm ekivalen Vitamin C) sosoh sosoh 25Hz Hz Hz Gambar 17. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrudat jewawut Aktivitas antioksidan dari snack jewawut adalah sebesar 548 ppm ekivalen vitamin C untuk ekstrudat jewawut sosoh, 461 ppm ekivalen vitamin C untuk jewawut sosoh 25 Hz, 668 ppm ekivalen vitamin C untuk jewawut, dan 621 ppm ekivalen vitamin C untuk jewawut 25 Hz. Aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada ekstrudat dari bahan jewawut dengan perlakuan kecepatan ulir ekstruder. Nilai antioksidan terendah terdapat pada ekstrudat dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir ekstruder 25 Hz. Aktivitas antioksidan produk ekstrusi jewawut cukup baik jika dibandingkan dengan produk alami lainnya. Menurut Lim et al., (2006), aktivitas antioksidan pisang adalah sebesar 278 ppm ekivalen vitamin C dan jeruk sebesar 700 ppm ekivalen vitamin C. Aktivitas antioksidan jewawut lebih tinggi dibandingkan kandungan antioksidan pisang, dan tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan jeruk. ANOVA (Lampiran 12) menunjukkan adanya perbedaan aktivitas antioksidan karena pengaruh penyosohan dan kecepatan ulir pada taraf α=0.05. Uji Duncan menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir berbeda nyata dengan ekstrudat jewawut sosoh 25 Hz, ekstrudat jewawut tidak sosoh, dan ekstrudat jewawut 25 Hz. Tetapi aktivitas antioksidan ekstrudat jewawut tidak berbeda nyata dengan jewawut 25 Hz. Jewawut mengandung komponen antioksidan berupa senyawa fenolik (Dykes dan Rooney, 2006; Awika dan Rooney, 2004). Penyosohan akan mengurangi kandungan antioksidan jewawut. Hal ini disebabkan karena bagian kulit ari (bran) dan embrio (germ) terbuang saat penyosohan. Komponen-komponen fenolik serealia tersebut sering ditemukan terdapat pada bagian kulit ari serealia, yaitu pada lapisan pericarp dan testa, selain di bagian endosperm (Dykes dan Rooney, 2006). Peningkatan kecepatan ulir menurunkan kandungan antioksidan ekstrudat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan White et al., (2009), yang mengatakan bahwa kenaikan kecepatan ulir ekstruder akan menurunkan aktivitas antioksidan dari produk ekstrusi. Ketika kecepatan ulir meningkat, terjadi peningkatan dalam shear rate. Peningkatan 37

16 kecepatan ulir meningkatkan shear dan friksi dalam ekstruder sehingga menghasilkan rata-rata transfer specific mechanical energy (SME) yang lebih linggi (Li et al., 2004). Peningkatan kecepatan ulir juga dapat meningkatkan temperatur karena adanya peningkatan gesekan (Charunuch, 2008). Karena kondisi tersebut maka kadar antioksidan ekstrudat akan menurun jika kecepatan ulir meningkat. C. PEMILIHAN PRODUK TERBAIK DAN ANALISIS KIMIA 1. Pemilihan Produk Terbaik Pemilihan produk terbaik didasarkan pada uji organoleptik dan aktivitas antioksidan. Produk terbaik adalah yang memiliki kombinasi nilai uji organoleptik dan aktivitas antioksidan terbaik. Tabel 8 menunjukkan hasil uji organoleptik dan aktivitas antioksidan. Produk ekstrusi yang dihasilkan. Dari uji organoleptik atribut warna, keempat ekstrudat tidak berbeda nyata. Karena itu keempat ekstrudat tersebut dapat dipilih secara bebas dari segi warna. Dari segi kerenyahan dapat dipilih ekstrudat sosoh, ekstrudat sosoh 25 Hz dan ekstrudat 25 Hz karena ketiga ekstrudat tersebut mempunyai skala yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ekstrudat. Dari segi kelengketan, ekstrudat yang dapat dipilih yaitu ekstrudat sosoh ekstrudat sosoh 25 Hz dan ekstrudat 25 Hz. Dari keempat uji organoleptik, produk yang dapat dipilih yaitu ekstrudat sosoh, ekstrudat sosoh 25 Hz, dan ekstrudat 25 Hz. Tabel 8. Perbandingan hasil uji organoleptik dan aktivitas antioksidan produk ekstrusi jewawut Nilai Parameter Sosoh Sosoh 25 Hz Tidak sosoh Tidak 25 Hz sosoh Warna 3.2a 3.17a 3.07a 3.17a Kerenyahan 3.27a 3.37a 2.83b 3.27a Kelengketan 3.27ab 3.33a 2.93b 3.17ab Rasa 3.23a 3.17a 3.03a 3.17a Aktivitas Antioksidan D 548 ppm ekivalen vitamin C 461 ppm ekivalen vitamin C 668 ppm ekivalen vitamin C 621 ppm ekivalen vitamin C Lampiran 12 menunjukan bahwa terdapat perbedaan nyata aktivitas antioksidan diantara ekstrudat sosoh, ekstrudat sosoh 25 Hz, ekstrudat, dan ekstrudat 25 Hz. Ekstrudat memiliki aktivitas antioksidan tertinggi, diikuti ekstrudat 25 Hz, ekstrudat sosoh, dan ekstrudat sosoh 25 Hz. Aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada ekstrudat. Namun produk tersebut tidak dapat dipilih karena memiliki penerimaan yang kurang baik dari segi 38

17 organoleptik. Karena itu dipilih ekstrudat 25 Hz yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi kedua, dan memiliki skala penerimaan organoleptik yang baik. 2. Analisis Kimia Produk Terbaik Produk terbaik selanjutnya dianalisis untuk diketahui kandungannya. Analisis yang dilakukan pada produk terbaik yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar serat, kandungan mineral Ca, Fe, dan Zn. Tabel 9 menunjukkan kandungan kimia pada ekstrudat terpilih. Tabel 9. Hasil analisis kimia ekstrudat Komponen ` Kadar Kadar air (% bk) 3.45 Kadar abu (%) 2.41 Protein (%) 9.86 Lemak (%) 3.57 Karbohidrat (%) Serat (%) Fe (mg/100g) Zn (mg/100g) 2.26 Ca (mg/100g) a. Kadar Air Produk yang keluar dari ekstruder umumnya mempunyai kadar air yang rendah. Ekstrudat jewawut dengan perlakuan kecepatan ulir ekstruder 25 Hz (produk terpilih) memiliki kadar air sebesar 3.45 %. Kadar air tersebut sudah termasuk ke dalam persyaratan kadar air produk ekstrusi menurut SNI untuk sebuah produk ekstrusi. Untuk memasarkan produk ekstrusi secara luas, terdapat beberapa syarat mutu yang harus sesuai dengan SNI Salah satu syarat yang terdapat pada SNI , yaitu batas maksimum kandungan kadar air ekstrudat. Batas maksimum kadar air yang diperbolehkan, yaitu 4%. Karena itu kadar air ekstrudat jewawut 25 Hz sudah memenuhi syarat yang terdapat di SNI. b. Kadar Abu Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral yang dimiliki suatu produk. Kadar abu dari ekstrudat terpilih, yaitu sebesar 2.41 %. Kadar abu tidak dapat dibandingkan dengan persyaratan produk ekstrusi di SNI karena tidak ada persyaratan untuk kadar abu pada SNI c. Kadar Protein Protein seringkali mengalami denaturasi oleh panas jika suatu bahan mengalami pemasakan. Pemasakan dengan menggunakan ekstruder dapat mengurangi denaturasi protein dibandingkan dengan proses pemasakan lainnya yang menggunakan suhu tinggi 39

18 karena pemasakan dalam ekstruder terjadi dalam waktu yang singkat (Harper, 1991). Melalui analisis dengan metode Kjeldahl, kadar protein ekstrudat terpilih dapat diketahui. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar protein pada ekstrudat terpilih, yaitu sebesar 9.86%. Kadar protein juga tidak terdapat pada SNI d. Kadar Lemak Kadar lemak ekstrudat dianalisis dengan metode soxhlet. Kadar lemak ekstrudat terpilih yang diperoleh melalui analisis, yaitu sebesar 3.57%. Kadar lemak ekstrudat terpilih memenuhi persyaratan yang tertera pada SNI Persyaratan maksimum untuk kadar lemak yang tertera pada SNI adalah 30% untuk produk ekstrusi yang tidak melalui proses penggorengan. Kadar lemak yang rendah ini (< 3g/50g) menunjukan bahwa produk ini merupakan cemilan sehat. Karena kandungan meskipun lemak diperlukan oleh tubuh, namun kelebihan lemak dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif seperti kolesterol dan penyakit jantung koroner. e. Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat diasumsikan sebagai kandungan selain air, abu, protein dan lemak. Dari hasil perhitungan matematis, didapatkan kadar karbohidrat produk ini sebesar 83.12%. f. Serat Pangan Serat pangan dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu serat pangan larut air (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut air merupakan komponen serat yang dapat larut di dalam air dan juga dalam saluran pencernaan. Serat larut air dapat memberi rasa kenyang yang lebih lama, memperlambat penyerapan glukosa ke darah, dan menurunkan kolesterol. Serat pangan tidak larut air adalah serat yang tidak dapat larut di dalam air maupun di saluran pencernaan. Fungsi utama serat pangan tidak larut air adalah mempercepat waktu laju aliran makanan dalam usus, meningkatkan volume feses, dan mencegah kanker kolon (Lorenzani, 1988). Total serat pangan ekstrudat terpilih, yaitu 16.66%. Serat pangan tersebut terdiri dari 3.18% serat pangan larut dan 13.48% serat pangan tidak larut. Sebagian besar serat pangan yang terdapat pada ekstrudat adalah serat pangan tidak larut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leder (2004) yang menyatakan bahwa serat pangan pada jewawut sebagian besar adalah serat pangan tidak larut. Jadi dengan mengkonsumsi 20 g produk ini, kandungan serat yang didapatkan, yaitu sebesar 13.33% AKG. Kandungan serat produk ini berada di kisaran 10-19%, karena itu produk ini dapat disebut sebagai produk sumber serat. g. Kadar Mineral (Ca, Fe, dan Zn) Kadar mineral ekstrudat yang dianalisis, yaitu kadar Ca, Fe, dan Zn. Ketiga mineral tersebut merupakan mineral yang diperlukan oleh tubuh dan terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada jewawut. Ca (kalsium) memiliki fungsi penting untuk 40

19 menjaga kekuatan tulang dan gigi. Fe yang sering disebut zat besi memiliki fungsi sebagai carrier oksigen ke jaringan, penyusun enzim heme dan enzim non-heme ferritin, dan hemosiderin. Zn (zink) merupakan mineral penyusun metalo-enzim, antara lain karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase, superoksida dismutase, DNA-polimerase, RNA-polimerase, alkalin fosfatase, dan karboksi peptidase. Zn berperan menstabilkan struktur komponen organik dan membran seperti DNA, RNA, dan ribosom. Zn juga memiliki peranan dalam sistem imun dan sistem pertahanan tubuh. Kadar Fe dari ekstrudat, yaitu sebesar mg/100g. Kadar Zn ekstrudat, yaitu sebesar 2.26 mg/100g. Kadar Ca ekstrudat yaitu sebesar 46.30mg/100g. Satu takaran saji produk ekstrusi di pasaran pada umumnya sebanyak 20 g. Dengan mengkonsumsi produk ini sebanyak 20 g, maka jumlah zat besi yang dipenuhi bagi pria dewasa yaitu sebesar 15.94% AKG, jumlah zink yang dapat dipenuhi, yaitu 3.37% AKG dan jumlah kalsium yang dapat dipenuhi, yaitu sebesar 1.16% AKG. Sedangkan jika produk ini dikonsumsi oleh anak-anak usia 4-6 tahun maka jumlah zat besi yang dapat dipenuhi adalah sebesar 23.03% AKG, jumlah zink 4.66% AKG dan kalsium sebesar 1.85% AKG. Produk ekstrusi ini memiliki kandungan mineral terutama zat besi yang cukup tinggi, sehingga produk ini diharapkan mampu menjadi alternatif makanan ringan yang sehat. 41

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Pasca penggilingan padi jumlah asam lemak bebas pada bekatul meningkat dengan cepat (Ubaiddilah, 2010; Budijanto et al., 2010; Damardjati et al., 1990).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM MESIN DAN KONDISI PENGOPERASIAN EKSTRUDER Mesin ekstruder yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis mesin ektruder berulir ganda (Twin Screw Extruder).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Tepung Daging-Tulang Leher Ayam Pedaging Penelitian tahap pertama ini adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam (TDTLA) Pedaging. Rendemen TDTLA Pedaging

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan produk ekstrusi, yaitu jewawut, air dan minyak kelapa sawit. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek informasi. Kemudahan dalam mengakses informasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. JEWAWUT Jewawut (Pennisetum glaucum) juga dikenal dengan nama pearl millet. Di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara, jewawut dikenal dengan nama jawe atau betem (Suherman et al.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan buah-buahan dengan jenis yang banyak di Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok dan masih banyak lagi. Menurut Kementrian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini gaya hidup serta pola konsumsi makanan pada masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, terhadap selera produk pangan yang cenderung lebih menyukai sesuatu yang

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER Suhardi dan Bonimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Jagung adalah salah satu bahan pangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah grit jagung berukuran 24 mesh, tepung beras, tepung gandum, tepung kentang, bubuk coklat, garam, pemanis, pengembang,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam proses ekstrusi dan pre-conditioning adalah gritz jagung, tepung gandum, tepung beras, minyak dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada jaman sekarang banyak dari masyarakat Indonesia yang terlalu bergantung pada beras, mereka meyakini bahwa belum makan jika belum mengonsumsi nasi. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan fungsional merupakan makanan produk segar ataupun makanan olahan yang tidak hanya memberikan rasa kenyang namun juga memberikan keuntungan bagi kesehatan serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan 4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan Antioksidan berperan untuk menetralkan radikal bebas dengan cara menambah atau menyumbang atom pada radikal bebas (Pokorny et al., 2001). Didukung dengan pernyataan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan

BAB I PENDAHULUAN. Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama. Camilan disukai oleh anak-anak dan orang dewasa, yang umumnya dikonsumsi kurang lebih

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jenang Jenang adalah salah satu makanan tradisional yang sudah banyak di berbagai daerah di Indonesia. Widodo (2014) menyebutkan macam-macam jenang, antara lain jenang procotaan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian diawali dengan persiapan bahan, yaitu pengecilan ukuran sorgum dan penimbangan bahan. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunkan alat pin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling

Lebih terperinci

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakso adalah makanan yang banyak digemari masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan baku bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi membuat banyak

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

Volume 5 No. 2 Juni 2017 ISSN: KARAKTERISASI DAN PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP PRODUKSI TEPUNG BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN

Volume 5 No. 2 Juni 2017 ISSN: KARAKTERISASI DAN PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP PRODUKSI TEPUNG BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN KARAKTERISASI DAN PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP PRODUKSI TEPUNG BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN FIRMAN SANTHY GALUNG Email : firman_galung@yahoo.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah berkembang dengan cepat. Pangan fungsional yang merupakan konvergensi antara industri, farmasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi menjadi beras. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak 60-65%. Sementara bekatul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah keadaan di mana simpanan. pada malam hari (rabun senja). Selain itu, gejala kekurangan vitamin A

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah keadaan di mana simpanan. pada malam hari (rabun senja). Selain itu, gejala kekurangan vitamin A BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah keadaan di mana simpanan vitamin A dalam tubuh berkurang dengan gejala awal kurang dapat melihat pada malam hari (rabun senja).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya status ekonomi masyarakat dan banyaknya iklan produk-produk pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan seseorang. Salah satunya jenis komoditas pangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 POLA PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS BEKATUL PASCA PENGGILINGAN Kerusakan hidrolitik pada bekatul mulai terjadi ketika proses penyosohan beras berlangsung, dimana terjadi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan gaya hidup menuntut semua serba cepat dan praktis, tidak terkecuali makanan, sehingga permintaan akan sereal sarapan yang praktis dan bergizi semakin meningkat.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian PENDAHULUAN Latar Belakang Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan. Pengolahan buahbuahan bertujuan selain untuk memperpanjang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN PEMANFAATAN LIMBAH KULIT UDANG (Penaeus sp) UNTUK PENGANEKARAGAMAN MAKANAN RINGAN BERBENTUK STICK Tri Rosandari dan Indah Novita Rachman Program Studi Teknoogi Industri Pertanian Institut Teknologi Indonesia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya akan keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman yang dimiliki oleh negara ini berupa flora dan fauna. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang penting bagi manusia untuk mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan sumber

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak. Oleh karena itu memerlukan penanganan pascapanen yang serius

Lebih terperinci

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam 3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam Pada pengujian fisik mi bayam yang dilakukan meliputi tensile strength dan warna. Salah satu kriteria yang utama pada mi adalah tekstur. Tekstur mi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan sifat kimianya. HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Sorghum Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan Sifat Fisik Tepung Sorghum Sifat fisik tepung sorghum yang dianalisis meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah umum yang biasa ditemui dalam peggunaan hasil protein

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah umum yang biasa ditemui dalam peggunaan hasil protein 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah umum yang biasa ditemui dalam peggunaan hasil protein hewani adalah harga produk yang tinggi atau daya beli masyarakat yang rendah. Sampai saat ini produk-produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekatul tidak banyak dikenal di masyarakat perkotaan, khususnya anak muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Analisa Proksimat Kadar Air

4. PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Analisa Proksimat Kadar Air 4. PEMBAHASAN Produk snack bar dikategorikan sebagai produk food bar, dan tidak dapat dikategorikan sama seperti produk lain. Standart mutu snack bar di Indonesia masih belum beredar sehingga pada pembahasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat, arakat, mulai dari buah, daun, batang, pelepah, sampai jantungnya.

I. PENDAHULUAN. masyarakat, arakat, mulai dari buah, daun, batang, pelepah, sampai jantungnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara penghasil pisang terbesar ketujuh di dunia, yang mampu menghasilkan 6,3 juta ton pisang per tahunnya (Furqon, 2013). Pada dasarnya, semua komponen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kurva standar glukosa untuk pengujian total gula, gula reduksi dan kadar pati

Lampiran 1. Kurva standar glukosa untuk pengujian total gula, gula reduksi dan kadar pati 82 Lampiran 1. Kurva standar glukosa untuk pengujian total gula, gula reduksi dan kadar pati 0.035 Konsentrasi glukosa (mg/ml) 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 ŷ = 0,0655x + 0,0038 r = 0,9992

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kesumba mempunyai biji yang biasa digunakan anak-anak untuk

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kesumba mempunyai biji yang biasa digunakan anak-anak untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kesumba (Bixa orellana) merupakan salah satu tanaman yang berupa pohon, tanaman tersebut biasa ditanam di pekarangan rumah atau di pinggiran jalan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nangka merupakan salah satu buah tropis yang keberadaannya tidak mengenal musim. Di Indonesia, pohon nangka dapat tumbuh hampir di setiap daerah. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahun mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan komoditas pangan. Namun, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat praktis. Salah satu contohnya dalam memenuhi kebutuhan nutrisi

BAB I PENDAHULUAN. bersifat praktis. Salah satu contohnya dalam memenuhi kebutuhan nutrisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup masyarakat modern cenderung memilih sesuatu yang bersifat praktis. Salah satu contohnya dalam memenuhi kebutuhan nutrisi yang lebih suka mengkonsumsi makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain serealia, palmae, umbi-umbian yang tumbuh subur di hampir

BAB I PENDAHULUAN. antara lain serealia, palmae, umbi-umbian yang tumbuh subur di hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi ketersediaan pangan lokal di Indonesia sangat melimpah antara lain serealia, palmae, umbi-umbian yang tumbuh subur di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Susu Kedelai Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari kedelai. Protein susu kedelai memiliki susunan asam amino yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN. (Depkes RI, 2014).

4. PEMBAHASAN. (Depkes RI, 2014). 4. PEMBAHASAN Snack atau yang sering disebut dengan makanan selingan adalah suatu produk yang biasannya dikonsumsi diantara waktu makan utama. Snack biasa dikonsumsi dengan jangka waktu 2-3 jam sebelum

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci