II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. JEWAWUT Jewawut (Pennisetum glaucum) juga dikenal dengan nama pearl millet. Di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara, jewawut dikenal dengan nama jawe atau betem (Suherman et al., 2006). Tinggi tanaman jewawut mencapai m. Biji jewawut berwarna agak putih, kuning pucat, coklat, hijau, dan ungu. Diameter biji mencapai 3-4 mm dan setiap tangkai dapat mengandung sampai 1000 biji. Dukes (1978) menyebutkan bahwa jewawut memiliki jumlah kromosom 14 pasang dengan potensi hasil 3.5 ton per hektar. Saat ini tanaman jewawut tidak banyak dijumpai di Indonesia karena tergeser oleh tanaman yang memiliki daya jual lebih tinggi. Penanaman jewawut di Indonesia paling banyak adalah di daerah Lombok dan masih digunakan untuk konsumsi pribadi (Suherman et al., 2006). Klasifikasi dari jewawut disajikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Kelas : Monocotyledon Keluarga : Poaceae Genus : Pennisetum Spesies : Pennisetum sp Jewawut berdasarkan keadaan perikarpnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu utricles dan caryopsis. Jewawut yang termasuk utricles memiliki biji yang dikelilingi perikarp dan hanya terikat di satu tempat, sehingga perikarp mudah dilepaskan. Yang termasuk utricles antara lain finger, proso dan foxtail millet. Jenis caryopsis memiliki perikarp yang terikat kuat di biji. Anggota caryopsis antara lain pearl, fono, exilis, dan teff millet (McDonough dan Rooney, 2000). Di antara spesies jewawut yang ada, jenis pearl millet (Pennisetum glaucum) merupakan jenis yang potensial untuk pangan karena selain kandungan gizinya, penyebaran pearl millet juga tergolong luas (Leder, 2004). Gambar 1 menunjukkan bagian biji jewawut. ENDOSPERMA EMBRIO Gambar 1. Struktur biji jewawut (FAO, 1995)

2 Jewawut merupakan komoditi yang sangat potensial sebagai sumber karbohidrat, antioksidan, senyawa bioaktif, dan serat yang penting bagi kesehatan (Rooney dan Serna, 2000). Jewawut juga memiliki nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan serealia yang ada jika dilihat dari kandungan zat besi, kalsium, seng, lipida, dan mutu proteinnya. ( FAO, 1995). Menurut Singh et al., (1987), pearl millet memiliki protein kasar yang lebih tinggi 1-2% dari sorghum. Kandungan lisin lebih tinggi 21% dari jagung dan lebih tinggi 36% dari sorghum. Komposisi struktur biji sedikit berbeda dari sorghum, yaitu bagian endosperma 75% sedangkan sorghum 82%. Kandungan lemak sebanyak 75% termasuk asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA). Jenis PUFA yang terbanyak adalah asam linoleat. Kandungan vitamin umumnya vitamin C dan A. kandungan mineral umumnya Fe, Ca, Mg, dan Zn. Komposisi kimia jewawut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia jewawut Komponen Kadar Kadar air (% bk) Kadar abu (%) Protein (%) Lemak (%) Energi (kal/g) P (mg/100g) Fe (mg/100g) Zn (mg/100g) Ca (mg/100g) Vitamin A (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Sumber: Nurmala (1997) Komposisi kimia jewawut juga berbeda berdasarkan bagian-bagian bijinya. Komposisi kimia bagian biji jewawut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia bagian-bagian biji jewawut Bagian jewawut % Berat biji Protein (%) Abu (%) Lemak (%) Kalsium (mg/ Kg) Seluruh biji Endosperm Embrio Kulit ari Sumber: FAO (1995) Kulit ari yang menyelimuti endosperma dan embrio merupakan bagian dari jewawut yang banyak mengandung protein, asam lemak, senyawa fungsional, dan serat. Bagian kulit ari tidak 4

3 mengandung banyak protein dan lemak, tapi kaya akan serat (FAO, 1995). Kandungan serat pangan pada jewawut adalah sebesar 20.4% (Kamath dan Belavady, 1980). Biasanya serealia yang akan diolah menjadi bahan pangan akan mengalami penyosohan karena pertimbangan dari aspek cita rasanya. Jewawut yang disosoh akan mengalami pengurangan bagian kulit ari dan embrio. Penyosohan jewawut selama 100 detik merupakan cara optimal untuk mendapatkan produk bubur jewawut yang paling baik dari segi rasa dan kandungan antioksidannya (Yanuwar, 009). Senyawa antioksidan yang terdapat pada jewawut antara lain senyawa flavonoid. Menurut Dykes dan Rooney (2006), flavonoid terbukti memiliki kemampuan dalam menangkal radikal bebas dengan baik. Salah satu jenis senyawa flavonoid yang terdapat pada jewawut adalah tanin yang terdapat pada bagian bran, yaitu pada bagian testa dari biji jewawut. Semakin gelap warna testa, akan semakin tinggi kandungan taninnya. Selain tanin, adanya senyawa flavonoid pada jewawut yang telah teridentifikasi diantaranya adalah orientin, vitexin, luteolin, tricin, serta apigenin. Struktur dari flavonoid tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Apigenin: R1 = H; R2 = H; R3= H Luteolin: R1= H; R2 = OH; R3 = H Orientin: R1= Glc; R2 = OH; R3 = H Tricin: R1 = H; 23= OCH3; R3= OCH3 Vitexin: R1 = Glc; R2= H; R3 = H Gambar 2.Senyawa flavonoid pada jewawut (Dykes dan Rooney, 2006) Jewawut juga mengandung komponen antioksidan berupa senyawa fenolik (Dykes & Rooney, 2006; Awika dan Rooney, 2004). Komponen-komponen fenolik serealia tersebut sering ditemukan terdapat pada bagian kulit ari serealia, yaitu pada lapisan perikarp dan testa. Komponen senyawa fenolik yang sudah diidentifikasi di jewawut berdasarkan hasil studi literatur Dykes dan Rooney (2006) adalah sinamat, p-coumaric, kafeat, hidroksisinamat, vanillic, p-hidroksibenzoat, protocatechuic, dan gallat. B. EKSTRUSI Proses ekstrusi merupakan suatu proses dimana bahan dipaksa mengalir di bawah pengaruh beberapa unit operasi yang bekerja secara stimultan, meliputi pencampuran, pemasakan/non pemasakan, pengadonan, pemotongan, pembentukan, dan pencetakan. Hal 5

4 tersebut menyebabkan terjadinya perubahan yang kompleks pada makanan, yaitu meliputi hidrasi pati dan protein, homogenisasi, gelatinisasi, shearing, pencairan lemak, denaturasi atau reorientasi protein, plastifications, dan ekspansi struktur bahan pangan (Fellows, 1990). Karena itu produk yang keluar dari ekstruder pemasak sudah matang dan dapat langsung dikonsumsi. Menurut Muchtadi et al. (1988), ekstrusi adalah suatu proses dimana bahan dipaksa dibawah pengaruh kondisi operasi pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering (puff dry) dalam waktu yang singkat. Produk ekstrusi yang disebut ekstrudat adalah suatu produk yang diproduksi dengan menggunakan mesin ekstruder. Konsep awal yang diketahui mengenai ekstruder ulir tunggal ditemukan di tahun 1873 pada suatu gambar rancangan milik Phoenix Gummiwerke A.G. Sementara ekstruder ulir ganda yang pertama dikembangkan pada tahun 1869 oleh Follows dan Bates di Inggris untuk keperluan industri sosis. Sejak saat itu penggunaan ekstruder bagi pengolahan semakin meningkat (Janssen, 1978). Prinsip ekstrusi telah diterapkan dalam industri makanan sejak tahun 1930an untuk pembuatan pasta. Pada tahun-tahun berikutnya diterapkan pada industri kembang gula, industri roti dan kue, terutama pada proses frosting kue. Pada tahun 1950, ekstrusi kemudian digunakan juga untuk produksi sereal dan campuran minyak biji-bijian untuk industri pakan. Proses-proses pengolahan tersebut merupakan teknologi ekstrusi pada generasi pertama. Pada tahun 1960an teknologi ini digunakan untuk mengubah ikatan silang dan mengikat biopolimer untuk membuat protein nabati bertekstur. Terobosan ini menyediakan pengetahuan dasar bagi ekstrusi HTST (High Temperature Short Time) modern yang memungkinkan diciptakannya produk-produk baru pada industri makanan (Pratama, 2007). Bahan pangan yang akan diekstrusi diumpankan dari feed hoper masuk ke dalam laras ekstruder dengan dinding baja tahan karat yang diperkeras. Suatu motor menggerakan ulir dan menyebabkan bahan memasuki daerah ulir. Ketika didorong bahan akan mengalami pencampuran, pemanasan, dan pemotongan sekaligus. Prinsip penerapan ekstrusi pada industri makanan umumnya berdasarkan pada gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein, pengikatan, reaksi kimia dan biokimia, pengaruh tekanan/penggilingan dan pengembangan (Linko, et. al., 1981 dalam Jowitt, 1982). Pada beberapa kasus, ekstruder merestrukturisasi produk sampai tahap menengah saja dan untuk proses restrukturisasi lanjutan dilakukan tahap lain seperti pembentukan flakes, penggorengan, penyangraian atau proses pembentukan lain. Pada kasus lain produk dipanaskan lebih lanjut dalam laras ekstruder, dengan mekanisme transport menggunakan ulir dan dipaksa keluar melalui lubang die pada suhu dan tekanan tinggi. Terjadinya pelepasan tekanan secara mendadak ketika produk keluar dari die memungkinkannya menjadi produk yang berstruktur bersel-sel seperti busa (porous). Jika busa tersebut mantap, mendingin, dan kering, maka produk akan menjadi renyah dan selanjutnya hanya memerlukan sedikit saja pemrosesan lebih lanjut. Produk ekstrusi sangat beraneka ragam. Salah satu kunci dari beraneka ragamnya produk ekstrusi adalah karena bagian die-nya. Fungsi die antara lain adalah untuk meningkatkan keragaman produk dengan berbagai macam bentuk, kandungan, dan konsistensi (Holmes, 2007). Komposisi bahan baku yang akan diekstrusi perlu diperhatikan. Salah satunya, yaitu kadar airnya. Kadar air bahan sebaiknya berkisar antara 11-14%. Kadar lemak harus rendah, dan kadar lemak yang memungkinkan yaitu sekitar 3% (Trisnamurti, 1980 dikutip oleh Sulistyowati, 1999). 6

5 Struktur dasar dari produk-produk yang diekstrusi diperoleh dengan cara mengubah dan mengatur sifat-sifat biopolimer-biopolimer alami, seperti pati dan protein dari jenis tertentu. Biopolimer alami memainkan peran yang penting dalam pembentukan struktur produk. Pada umumnya biopolimer ini berubah menjadi polimer-polimer yang meleleh pada temperatur yang tinggi. Lelehan ini membentuk fase kontinyu yang akan mengikat semua partikel-partikel bahan lain yang terdapat dalam fase terdispersi dan membantu dalam menahan proses pelepasan gas ketika tahap pengembangan terjadi. Oleh karena itu struktur gelembung yang mengembang dapat terbentuk (Frame, 1994). Agar diperoleh kerenyahan dan pengembangan produk yang relatif baik, ekstrusi bahan yang berasal dari pati-patian dilakukan pada kondisi suhu optimum C, tekanan 438 kpa (70 Psi) sampai 5516 kpa (800 Psi) dengan kecepatan ulir 300 rpm dalam waktu sekitar 10 detik (Harper, 1981). Dalam proses ekstrusi, bahan yang digunakan berbentuk butiran kecil yang berukuran 1-3 mm. Untuk bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang memuaskan karena jika ukuran partikel terlalu halus produk yang dihasilkan hangus dan partikel bahan tidak mengalami pemadatan sempurna serta kurang mengembang (Ang et al., 1980). Hasil pemasakan proses ekstrusi adalah gelatinisasi pati, denaturasi protein serta inaktivasi enzim yang terdapat pada bahan mentah (Harper, 1981). Proses ini diikuti oleh pengembangan eksotermik yang dibentuk pada cetakan (Smith, 1981). Struktur yang beronggarongga didapat dengan membentuk gel koloid pada suhu dan tekanan yang tinggi di dalam ekstruder. Jika gel cukup kuat, pengembangan uap air akan menghembus gel membentuk sel-sel yang berongga (Miller, 1985). Bila produk akhir yang diinginkan berbentuk produk yang mengembang, maka digunakan ekstruder yang dapat mengolah bahan pada kadar air sedang. Produk akhir yang dihasilkan hampir selalu mencapai tingkat matang sempurna. Produk ekstrusi menjadi renyah karena terbentuknya rongga-rongga berupa gelembung gas di dalamnya sehingga menghasilkan dinding-dinding gelembung yang tipis dan rapuh. Kerenyahan akan hilang jika produk menyerap air dan tekstur melembek. Dengan menyerap air maka dinding gelembung tidak lagi kaku tetapi lentur dan lembek serta mudah hancur (Smith,1981). Keuntungan proses pemasakan dengan metode ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi yang rendah, serta mutu produk tinggi karena proses menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat (HTST) sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Smith, 1981). Selain itu produk yang dihasilkan seragam, perlatannya mudah diotomisasi, tidak banyak limbah, dan hasil akhir dapat diatur. Kerusakan zat gizi terutama protein dan vitamin dapat diusahakan seminimal mungkin, namun mampu merusak senyawa seperti hemaglutinin, gosipol, dan antitripsin. Selain itu tidak ada bakteri maupun larva yang mampu bertahan hidup selama proses ekstrusi. Hal ini dikarenakan proses yang bersifat HTST (Muchtadi et al., 1988). Proses ekstrusi dapat memberi banyak pengaruh terhadap struktur bahan baik secara kimia maupun fisik. Perubahan tersebut khususnya terjadi pada karbohidrat dan protein. Perubahan pada lemak kurang mendapat perhatian dikarenakan kandungan lemak pada bahan baku ekstrusi yang umumnya rendah. Perubahan yang terjadi karena proses ekstrusi antara lain: 1. Pati Proses ekstrusi menyebabkan komponen pati mengalami gelatinisasi. Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi yang terjadi dalam proses tersebut ialah mula-mula butir pati menyerap air dan mengembang. Adanya panas dan tekanan yang cukup tinggi menyebabkan terputusnya ikatan struktur heliks dari molekul tersebut. Amilosa mulai berdifusi keluar dari 7

6 butiran pati, sehingga sebagian besar ruangan pada butiran pati terisi amilopektin. Akhirnya amilopektin pecah membentuk suatu matriks dengan amilosa yang merupakan gel. Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin dalam suatu pati akan mempengaruhi sifat-sifat fisik produk ekstrusi. Kandungan amilopektin yang tinggi akan membuat produk mudah mengembang. Sedangkan produk yang terbuat dari pati beramilosa tinggi akan lebih rapat, lebih keras, dan kurang mengembang secara radial ketika diekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Menurut Huber (2001), jika kandungan amilosa menurun, maka densitas bulk juga akan menurun. Menurut Harper (1981), produk ekstrusi yang terbuat dari pati berkadar amilosa tinggi akan relatif lebih mudah diberi zat citarasa atau flavor. Tingkat gelatinisasi tergantung pada sumber bahan baku dan kondisi proses ekstrusi (Linko et al., 1981). Smith menyebutkan bahwa gelatinisasi dipengaruhi oleh suhu, tekanan, dan gesekan. Gelatinisasi akan meningkat pada gesekan yang semakin tinggi serta waktu dan suhu proses yang semakin tinggi. Pati yang mengalami gelatinisasi akan mudah terdestruksi akibat tekanan dan gaya geser yang cukup tinggi, sehingga susunan bahan mudah rapuh dan berongga. Pengembangan suatu produk erat hubungannya dengan proses gelatinisasi. Berlangsungnya proses gelatinisasi dapat dilihat dari kelarutan dalam air. Kelarutan dalam air sangat ditentukan oleh kandungan amilosa. Pada kandungan amilosa tinggi kelarutan dalam air meningkat (Linko et al., 1981). Akibat gelatinisasi adalah terlepasnya isi granula pati dan terjadinya degradasi polisakarida pati menjadi molekul yang lebih kecil dan ringan, seperti dekstrin. Selain itu, akibat dari gelatinisasi pati ini dapat meningkatkan kemampuan hidrolisis amilase. Adanya perlakuan panas dapat menginaktifkan inhibitor α-amilase dalam bahan baku sehingga daya cerna pati produk ekstrusi meningkat (Bjorck dan Asp, 1983). Menurut Ahza (1996) yang diacu oleh Melianawati (1998), dalam proses ekstrusi, kondisi ini akan menyebabkan terbentuknya suatu suspensi yang dapat meningkatkan viskositas sehingga semua biopolimer yang ada diubah menjadi suatu larutan kental yang plastis dan meleleh secara homogen, dengan elastisitas yang tinggi, yang hanya memiliki sejumlah air yang cukup untuk dibengkakkan oleh ekstruder. 2. Protein Protein merupakan komponen terbanyak yang terdapat pada bahan baku ekstrusi setelah karbohidrat. Menurut Smith (1976), proses ekstrusi akan menyebabkan protein akan mengalami denaturasi atau modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuartener, serta terputusnya ikatan hidrogen. Proses ekstrusi menggunakan suhu tinggi menyebabkan denaturasi protein. Mekanisme denaturasi protein diawali dengan adanya suhu tinggi yang menyebabkan butiran protein terurai dari bentuk globular menjadi bentuk memanjang. Hal ini disebabkan oleh terputusnya ikatan-ikatan ionik, disulfida, hidrogen, dan Van der Walls. Beberapa molekul akan terpisah sesuai dengan sub-unitnya yang bersifat tidak larut. Selanjutnya terjadi penggabungan molekul-molekul tersebut dan membentuk agregat (Harper, 1981). Protein yang terdenaturasi akan menurun sifat kelarutannya dan viskositas intrinsik meningkat serta mengalami penurunan aktivitas enzim (Anglemier dan Montgomery, 1976). Adanya ikatan-ikatan antara molekul protein tersebut akan membentuk suatu matriks. Pada suhu sekitar 135 C sebagian besar protein mulai membentuk matriks (Rhee et al., 1981). Setelah proses ekstrusi, protein tidak berbentuk butiran lagi karena pecah dan berdifusi dengan pati selama pemanasan. Dari hasil pengamatan mikroskopis, terlihat bahwa protein mempengaruhi kerenyahan karena terbentuknya matriks. Pengaruh protein ini tergantung pada tipe dan konsentrasi protein. 8

7 Bjorck dan Asp (1983) menyatakan bahwa pemasakan ekstrusi merupakan proses yang paling cocok untuk menghasilkan mutu protein yang optimal. Perubahan nilai gizi protein dapat ditingkatkan melalui proses ekstrusi. Zat-zat anti gizi seperti tripsin inhibitor, saponin, dan urease dapat dihilangkan jika digunakan proses dengan ekstrusi (Smith, 1981). Hal ini disebabkan karena kondisi HTST dalam proses ekstrusi dan pendinginan yang cepat saat produk keluar dari die (Fellows,1990). Protein dapat menaikkan derajat pengembangan, yaitu dengan mengontrol pendistribusian air pada matriks bahan serta menguatkan interaksi antara amilopektin yang sudah terpotong-potong karena proses pelelehan, yaitu dengan membentuk ikatan kovalen maupun interaksi non-ikatan (tarik-menarik antar molekul), sehingga dapat meningkatkan kekuatan polimer amilopektin untuk mengembang tanpa putus (Gimeno et al., 2004). 3. Lemak Muchtadi et al., (1988) mengatakan bahwa bahan baku makanan ekstrusi biasanya mempunyai kadar lemak yang rendah. Karena itu pada umumnya peranan lemak dalam proses ekstrusi kurang mendapat perhatian. Lemak dalam biji-bijian akan membentuk komplek dengan pati bila diproses dengan ekstrusi. Lemak akan berikatan dengan amilosa dan amilopektin sehingga dapat menghambat pengembangan dan mengurangi sifat renyah dari produk (Muchtadi et al., 1988). Diduga bahwa struktur tersebat merupakan kompleks antara fraksi amilosa dengan asam oleat. Pembentukan komplek lemak tersebut akan mempengaruhi proses puffing atau menyebabkan penurunan derajat pengembangan produk ekstrusi yang dihasilkan (Mercier dan Fillet, 1975). Mekanisme penghambatannya menurut Collison (1968) di dalam Polina (1995) adalah bahwa lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah. Menurut Ahza (1996), jika lemak berada dalam kondisi bebas atau tidak terikat dengan bahan lain, ia akan berfungsi sebagai pelumas dalam laras. Selain itu lemak akan mengurangi konversi energi mekanis untuk menaikkan suhu gelatinisasi pati dan sekaligus menurunkan ekspansi produk ekstrusi. 4. Serat Serat banyak terdapat pada bagian kulit ari (perikarp) serealia. Pada proses ekstrusi, serat dapat digunakan sebagai bulking agent, sebagai bagian nutrisi, dan untuk memodifikasi tekstur produk ekstrusi. Penggunaan serat sebagai pemberi nutrisi sering dibatasi pada bahan baku ekstrusi karena efeknya yang mampu menghambat pengembangan produk (Huber, 2001). C. EKSTRUDER Ekstruder adalah alat yang digunakan untuk melakukan proses ekstrusi (Harper, 1981). Prinsip operasinya hampir sama pada semua tipe bahan mentah, yaitu memasukkan bahan ke dalam laras ekstruder dan kemudian ulir mendorong bahan tersebut di sepanjang ekstruder hingga keluar pada lubang die. Ekstruder mampu melakukan proses pencampuran dengan baik yang bertujuan agar bahan homogen dan terdispersi dengan baik (Frame, 1994). Mekanisme alat ekstruder, yaitu bahan dimasukkan ke dalam bagian pengisi, pada tahap ini bahan didorong keluar dan dimampatkan hingga massif, dan mengisi seluruh ruangan ulir dan laras. Kemudian bahan didorong ke dalam bagian kompresi. Di tempat ini bahan mendapat tekanan cukup tinggi. Tekanan timbul karena terjadi penyempitan ruangan, sehingga energi mekanis dan gaya geser terhadap bahan meningkat. Keadaan demikian berakibat pada suhu bahan mulai naik. Di bagian dalam alat 9

8 pemanasan, kecepatan geser (shear rate) sangat tinggi yang disertai kenaikan suhu yang cepat. Suhu mencapai maksimum sebelum bahan disemprotkan melalui lubang kecil atau lubang pelepas di ujung selubung (die). Kenaikan suhu yang cukup tinggi dapat menyebabkan bahan mengalami perubahan fisikokimia. Bahan yang telah mengalami pemasakan didorong keluar melalui die. Pada saat terlepasnya bahan di ujung die, bahan mengalami perubahan tekanan yang demikian besar dalam waktu yang singkat. Keadaan demikian menyebabkan bahan menjadi mekar, kering dengan tekstur produk yang berongga. Pemotongan dan pembentukan makanan dilakukan segera pada saat bahan keluar dari ujung die (Muchtadi et al., 1988). Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear. Tekanan shear tersebut tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada bahan pangan karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, alirannya mengikuti kaidah non-newtonian (Harper, 1981). Selanjutnya disebutkan ekstrusi biopolimer sangat dipengaruhi oleh komposisi dan jenis biopolimernya. Berdasarkan metode operasinya, ekstruder dapat dibagi menjadi ekstruder pemasak dan ekstruder non-pemasak (cold extruder). Pada ekstruder pemasak, bahan pangan dipanaskan oleh uap panas yang berada pada jaket yang menyelimuti laras atau ulir yang dipanaskan oleh uap panas. Pada beberapa desain, elemen pemanas induksi elektrik digunakan untuk memanaskan laras secara langsung. Selain itu, panas juga dihasilkan dari friksi yang disebabkan oleh aksi ulir. Suhu yang digunakan sekitar 100 C. Ekstruder pemasak adalah proses dengan suhu tinggi dan waktu yang singkat (High Temperature Short Time) sehingga dapat mengurangi terjadinya kontaminasi mikroba dan inaktivasi enzim. Produk yang dihasilkan memiliki densitas rendah berupa makanan siap makan (sereal sarapan) dan makanan ringan (snack). Pada ekstruder non pemasak. bahan pangan diekstrusi pada suhu di bawah 100 C. Ekstruder jenis ini memiliki ulir yang bergerak pada kecepatan lambat di dalam laras yang permukaannya licin atau halus untuk mengekstrusi material dengan hanya sedikit friksi. Eksiruder ini banyak digunakan untuk memproduksi pasta, adonan pastry, dan beberapa jenis produk konfeksioneri tertentu (Fellows, 1990). Linko et al., (1981) membagi ekstruder menjadi tiga golongan berdasarkan kadar air bahan yang dimasukkan. Ketiga jenis ekstruder tersebut adalah low extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate extruder dengan kadar air bahan sampai 20-30%, dan high extruder dengan kadar air bahan 30-40%. Berdasarkan konstruksi alatnya, ekstruder terdiri dari ekstruder ulir tunggal (Single Screw Extruder), dan ekstruder ulir ganda (Twin Screw Extruder). Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi High Shear Extruder (untuk produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), Medium Shear Extruder (untuk produk semi basah), dan Low Shear Extruder (untuk pasta dan produk daging). Sedangkan ekstruder ulir ganda, terdiri dari dua ulir yang sama panjang dan terletak berdampingan dalam suatu laras. Berdasar arah alirannya, ekstruder ulir ganda dapat dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan pada bentuk dan cara pemasangan ulir di dalam laras maka terdapat ekstruder ulir ganda intermeshing dan non-intermeshing (Harper, 1981). Menurut Hariyadi (1996) yang diacu oleh Pratama (2007), pada sistem konfigurasi non-intermeshing, sumbu kedua ulir tersebut terletak cukup berjauhan sehingga putaran ulir yang satu tidak terlalu mempengaruhi putaran ulir yang lain. Dalam hal ini, konfigurasi non-intermeshing dapat dianggap sebagai dua ekstruder ulir tunggal dengan kapasitas yang lebih besar. Pada sistem intermeshing, kedua sumbu ulir tersebut cukup berdekatan sehingga flight dari ulir yang satu dapat masuk ke dalam channel pada ulir yang lain, sedemikian rupa sehingga saling terkait. Sistem demikian ini memungkinkan 10

9 self-cleaning dan self-wiping (flight dari satu ulir menyapu dan membersihkan bahan yang berada dalam channel ulir yang lain). Dengan demikian, maka kapasitas transportasi (conveying capacity) ekstruder ulir ganda, khususnya dalam konfigurasi intermeshing akan meningkat. Kapasitas transport yang baik ini dapat digunakan untuk membawa bahan yang bersifat lengket, yang tentunya sangat sulit untuk ditangani dengan ekstruder ulir tunggal (Hariyadi, 1996). Hingga saat ini ekstruder ulir tunggal (SSH) masih digunakan secara luas pada banyak jenis produksi pangan dan pakan. Secara keseluruhan memang proses ekstruder tipe ini jauh lebih unggul dibanding metode pengolahan konvensional, tetapi sekarang ekstruder ulir ganda (TSE) yang jauh lebih maju dari segi teknologi mampu menawarkan banyak keuntungan bagi para pengolah. Bersamaan dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang menyadari keuntungan-keuntungan yang ditawarkan maka mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan TSE (Clextral, 2007 dikutip oleh Pratama, 2007). Eksstruder model TSE lebih sering dipilih oleh perusahaan-perusahaan pengolah makanan. Model ini merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan diversifikasi jenis-jenis makanan, dikarenakan kemampuannya yang baik dalam mengatur daya tekan mekanis dan daya giling efektif pada adonan di dalam selubung mesin ekstruder (barrel) (Baianu, 1992 dikutip oleh Pratama, 2007). Berbagai tipe ulir pada ekstruder ulir ganda dapat dilihat pada Gambar 3. Tipe-tipe Ulir : a. counter rotating, intermeshing b. co-rotating, intermeshing c. counter rotating, non- intermeshing Gambar 3. Tipe ulir d. pada co-rotating, ekstruder non-intermeshing ulir ganda (Janssen, 1978) Pada ekstruder ulir ganda, dua ulir yang paralel ditempatkan dalam laras berbentuk angka delapan. Jarak ulir yang diatur dengan rapat akan mengakibatkan bahan bergerak di antara ulir dan laras dalam sebuah ruang yang berbentuk C. Tujuannya ialah untuk mengatasi keterbatasan pada hasil kerja SSE seperti tergelincirnya bahan dari dinding laras. Sebagai hasilnya bahan akan terhindar dari aliran balik (negatif) ke arah bahan masuk tetapi digerakkan pada arah positif, yaitu menuju die tempat bahan keluar (Pratama, 2007). Menurut Muchtadi et al., (1988), ekstruder mempunyai tiga bagian utama, yaitu bagian praekstrusi, ulir (screw), dan cetakan (die). Masing-masing bagian memiliki rancangan dan cara kerja yang berbeda-beda sehingga pada akhirnya akan membentuk produk sesuai yang didinginkan. Bagian pra-ekstrusi merupakan ruang bertekanan atmosfer atau bertekanan lebih tinggi dimana butiran bahan mentah dibasahi merata atau dipanaskan dengan air atau uap mengalir. Pra-ekstrusi juga berfungsi sebagai ruang masak dengan suhu tinggi dan waktu tinggal yang relatif lama, dan selanjutnya bahan setengah jadi yang telah diproses tersebut dialirkan ke seluruh bagian pengumpan pada ulir ekstruder. Pada bagian ulir terjadi perubahan susunan molekul bahan mentah atau setengah jadi yang pada akhimya akan mempengaruhi tekstur dari produk yang dihasilkan. Panas dialirkan melalui pelepasan energi mekanik yang memutar ulir. Adanya panas akan menyebabkan bahan mengalami 11

10 proses hidrasi, denaturasi, dan melebur sehingga pada akhirnya bahan yang telah mengalami proses tersebut menjadi terplastisasi. Struktur dan kecepatan ulir ekstruder sangat mempengaruhi spesifikasi produk ekstrusi yang dihasilkan. Menurut Harper (1981), kecepatan ulir ekstruder yang relatif lebih cepat akan membentuk produk yang relatif lebih mekar. Peningkatan kecepatan ulir ekstruder menghasilkan peningkatan derajat pengembangan ekstrudat (Baik et al., 2004). Menurut Schmid et al., (2005), derajat pengembangan meningkat kira-kira linear dengan peningkatan kecepatan ulir. Namun, peningkatan lebih jauh dari kecepatan ulir ekstruder tidak menyebabkan perubahan derajat pengembangan ekstrudat. Secara umum, kecepatan ulir ekstruder dapal meningkatkan specific mechanical energy (SME). Hal ini disebabkan karena peningkatan dalam shear rate ketika peningkatan kecepatan ulir ekstruder telah tercapai. Peningkatan kecepatan ulir meningkatkan shear dan friksi dalam ekstruder sehingga menghasilkan rata-rata transfer SME yang lebih linggi (Li et al., 2004). Menurut Schmid et al. (2005). Peningkatan rata-rata SME memiliki efek linear positif dalam rata-rata rasio pengembangan ekstrudat. Ketika kecepatan ulir ekstruder meningkat, ada peningkatan dalam derajat gelatinisasi ekstrudat. Peningkatan derajat gelatinisasi ekstrudat sedikit berpengaruh dalam sifat reologi pelelehan. Bagaimanapun, perbedaan kecil dalam sifat reologi pelelehan menjelaskan perubahan nyata dalam SME (Li et al., 2004). Menurut Waluyo et al., (2003), peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan suhu laras selama proses ekstrusi dan cenderung meningkatkan sifat gelatinisasi serta menurunkan efisiensi energi. Peningkatan kecepatan ulir juga menurunkan resident time jika feed rate konstan. Dengan kata lain, degradasi molekul pati disebabkan oleh peningkatan SME karena peningkatan kecepatan ulir, diimbangi dengan resident time yang lebih pendek. Selain itu viskositas dalam laras ekstruder menjadi lebih kecil pada kecepatan ulir tinggi menyebabkan pula penurunan dalam torque. Torque dapat dipertimbangkan sehagai fungsi viskositas dan kecepatan ulir. 12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK Pengukuran kadar air menir jewawut dimaksudkan untuk melihat apakah kadar air dari menir

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN PENGOLAHAN TERMAL II PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN TIM DOSEN TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 2 TUJUAN TUJUAN UTAMA: mendapatkan cita rasa produk TUJUAN SEKUNDER: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI Proses Ekstrusi: adalah perlakuan kombinasi dari proses tekanan, gesekan, dan suhu dalam waktu yang bersamaan dalam suatu ulir yang bergerak. To Extrude : artinya membentuk

Lebih terperinci

MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder)

MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder) MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder) Oleh: Kelompok II Ahyat Hartono (240110100032) Tina Sartika (240110100020) Dudin Zaenudin (240110100105) JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM MESIN DAN KONDISI PENGOPERASIAN EKSTRUDER Mesin ekstruder yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis mesin ektruder berulir ganda (Twin Screw Extruder).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Pasca penggilingan padi jumlah asam lemak bebas pada bekatul meningkat dengan cepat (Ubaiddilah, 2010; Budijanto et al., 2010; Damardjati et al., 1990).

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Skema morfologi gabah kering (Champagne, 1994)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Skema morfologi gabah kering (Champagne, 1994) II. TINJAUAN PUSTAKA A. BAHAN DASAR 1. Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan padi. Bekatul adalah bagian luar dari butir beras yang dipisahkan dalam proses penyosohan dari beras pecah kulit.

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER Suhardi dan Bonimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Jagung adalah salah satu bahan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : 1.1 Latar Belakang, 1.2 Identifikasi Masalah, 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian, 1.4 Manfaat Penelitian, 1.5 Kerangka Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Makanan ringan

TINJAUAN PUSTAKA. Makanan ringan TINJAUAN PUSTAKA Makanan ringan Makanan ringan merupakan terjemahan langsung dari snack foods, yang berarti pangan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa yang terdiri dari makan pagi atau sarapan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Tepung Daging-Tulang Leher Ayam Pedaging Penelitian tahap pertama ini adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam (TDTLA) Pedaging. Rendemen TDTLA Pedaging

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Biji-bijian pada umumnya mempunyai bagian-bagian utama, yaitu :

I. TINJAUAN PUSTAKA. Biji-bijian pada umumnya mempunyai bagian-bagian utama, yaitu : I. TINJAUAN PUSTAKA A. Biji Kacang Merah Biji-bijian pada umumnya mempunyai bagian-bagian utama, yaitu : 1. Kulit biji (spermodermis). Kulit biji berasal dari selaput bakal biji (integumen), oleh sebab

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 POLA PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS BEKATUL PASCA PENGGILINGAN Kerusakan hidrolitik pada bekatul mulai terjadi ketika proses penyosohan beras berlangsung, dimana terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack merupakan suatu jenis produk pangan sebagai makanan selingan yang umumnya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan umumnya dikonsumsi di antara waktu makan pagi, siang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack atau makanan ringan adalah makanan yang dikonsumsi di sela-sela waktu makan dan bukan merupakan makanan pokok yang harus dikonsumsi setiap hari secara teratur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nangka merupakan salah satu buah tropis yang keberadaannya tidak mengenal musim. Di Indonesia, pohon nangka dapat tumbuh hampir di setiap daerah. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur relatif pendek, mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produktifitas antara 20-40 ton/ha

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Redistilat asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu (Maga,1987). Redistilat asap

Lebih terperinci

SKRIPSI KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN NILAI GIZI PRODUK EKSTRUSI BERBAHAN DASAR SORGUM. Oleh ARIUS WIRATAMA F

SKRIPSI KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN NILAI GIZI PRODUK EKSTRUSI BERBAHAN DASAR SORGUM. Oleh ARIUS WIRATAMA F SKRIPSI KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN NILAI GIZI PRODUK EKSTRUSI BERBAHAN DASAR SORGUM Oleh ARIUS WIRATAMA F24060269 2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki beragam jenis pangan sumber karbohidrat antara lain beras, jagung, ubi jalar, ubikayu, kentang, sagu, sorgum, jewawut dan sebagainya. Namun pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah sejenis minyak yang terbuat dari tumbuhan. Digunakan dalam makanan dan memasak. Beberapa jenis minyak nabati yang biasa digunakan ialah minyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA. MAKANAN RINGAN Makanan ringan atau dikenal dengan sebutan snack food adalah makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama dan umumnya sudah merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.).

PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.). PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.). TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Sidang Tugas Akhir Program

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

LOGO BAKING TITIS SARI

LOGO BAKING TITIS SARI LOGO BAKING TITIS SARI PENGERTIAN UMUM Proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga lebih diterima konsumen KHUSUS Pemanasan adonan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011). 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Berat Jenis Berat jenis merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi 1 I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1,6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses BAB III PEMBAHASAN Pembuatan mie kering umumnya hanya menggunakan bahan dasar tepung terigu namun saat ini mie kering dapat difortifikasi dengan tepung lain agar dapat menyeimbangkan kandung gizi yang

Lebih terperinci

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG

PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG PEMBAHASAN UMUM PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG Pada penelitian tahap pertama diperoleh hasil ahwa ukuran partikel tepung sangat erpengaruh terhadap

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung terigu nasional pada tahun 2011, 2012,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana.

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan buah-buahan dengan jenis yang banyak di Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok dan masih banyak lagi. Menurut Kementrian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan

TINJAUAN PUSTAKA. rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum Manis Sorgum dapat tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis, dari dataran rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan untuk tumbuh berkisar

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini menyebabkan konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) Kluwih merupakan kerabat dari sukun yang dikenal pula dengan nama timbul atau kulur. Kluwih dianggap sama dengan buah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial PROTEIN KEGUNAAN 1. Zat pembangun dan pengatur 2. Sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N 3. Sumber energi Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Hampir 60% produksi kakao berasal dari pulau Sulawesi yakni

I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Hampir 60% produksi kakao berasal dari pulau Sulawesi yakni I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakso merupakan salah satu produk olahan daging khas Indonesia, yang banyak digemari oleh semua lapisan masyarakat dan mempunyai nilai gizi yang tinggi karena kaya akan

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan I-10 BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan I-10 BAB I PENDAHULUAN Bab I. Pendahuluan I-10 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Mie merupakan salah satu masakan yang sangat populer di Asia, salah satunya di Indonesia. Bahan baku mie di Indonesia berupa tepung terigu

Lebih terperinci