HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian diawali dengan persiapan bahan, yaitu pengecilan ukuran sorgum dan penimbangan bahan. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunkan alat pin disc mill dan ayakan bergoyang (vibrating screen). Biji sorgum yang telah digiling dengan pin disc mill memiliki ukuran partikel yang berbeda-beda. Ukuran partikel dari endosperm biji-bijian serealia dan perlakuan yang diterapkan akan sangat mempengaruhi perubahan pada pati selama proses ekstrusi (Lusas dan Rooney 2001). Distribusi ukuran partikel dari bahan baku harus seragam untuk menghindari letupan ataupun sumbatan pada ekstruder dan menjamin kualitas yang diinginkan (Moscicki 2011). Oleh karena itu, ukuran partikel grits sorgum hasil penepungan diseragamkan dengan menggunakan ayakan bergoyang (vibrating screen). Untuk melihat pengaruh ukuran partikel terhadap produk, grits sorgum diayak dengan menggunakan dua ukuran yang berbeda, yaitu 40 dan 60 mesh. Tepung sorgum berukuran 40 mesh merupakan tepung yang lolos dari ayakan berukuran 40 mesh namun tidak lolos ayakan berukuran 60 mesh. Sebelum masuk ke dalam esktruder, semua bahan dicampur dan diaduk terlebih dahulu dengan menggunakan mixer, kemudian didiamkan selama 15 menit untuk menyeragamkan kadar air (conditioning). Guy (2001) menyebutkan bahwa pengadukan perlu dilakukan untuk menyeragamkan semua unsur bahan dan kelembaban dalam adonan. Hal ini penting agar kinerja ekstruder tetap stabil dan ekstrudat yang keluar seragam dan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba. Uji coba pertama dilakukan dengan variabel tepung sorghum 40 dan 60 mesh, tepung kacang hijau, dan tapioka. Formula yang diujicobakan pada uji coba pertama dapat dilihat pada Tabel 4. ekstrudat dari uji coba pertama dapat dilihat pada Tabel 7. Ringkasan hasil pengamatan Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama Formula Tekstur Rasa Warna Kekerasan/kerenyahan ++ 1 (S %) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan ++ Agak asin Putih kecoklatan Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan (S 40 T 20% ) Padat/porous +++ Tingkat pengembangan +++ Agak asin Putih kecoklatan Permukaan ++++ Kekerasan/kerenyahan (S 40 T 20% K 10% ) Padat/porous +++ Tingkat pengembangan ++ Agak pahit Putih kecoklatan Permukaan

2 Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama (lanjutan) Formula Tekstur Rasa Warna Kekerasan/kerenyahan (S %) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan +++ Agak asin Putih kecoklatan Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan (S 60 T 20% ) Padat/porous +++ Tingkat pengembangan ++++ Agak asin Putih kecoklatan Permukaan ++++ Kekerasan/kerenyahan (S 60 T 20% K 10% ) Padat/porous +++ Tingkat pengembangan +++ Agak pahit Putih kecoklatan Permukaan +++ Keterangan : - S 40 = Sorgum 40 mesh; S 60 = Sorgum 60 mesh - T 20% = Tapioka 20% - K 10% = Kacang hijau 10% - Kekerasan/kerenyahan : + = sangat keras; = sangat renyah (optimum = ++++) - Padat/porous : + = sangat padat; = sangat porous (optimum = +++) - Tingkat pengembangan : + = tidak mengembang; = sangat mengembang (optimum = ++++) - Permukaan : + = sangat berpori; = tidak berpori (optimum = +++++) Parameter dinilai berdasarkan pengamatan subjektif terhadap produk yang dihasilkan. Tingkat kekerasan/kerenyahan dinilai setelah produk dimakan dan dinilai tingkat kekerasan/kerenyahannya. Tingkat padat/porous dinilai dengan membelah flakes kemudian diamati jumlah pori di dalam flakes. Tingkat pengembangan dinilai dengan mengamati ukuran flakes dibandingkan dengan ukuran die. Tekstur permukaan dinilai dengan mengamati jumlah pori pada permukaan flakes. Sorgum merupakan bahan baku utama yang digunakan sebagai bahan pembentuk struktur. Sorgum yang digunakan adalah sorgum sosoh, yaitu sorgum yang telah dihilangkan bagian kulit dan perikarpnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan proporsi fraksi pati dan menghilangkan bagian serat dan komponen polifenol, yang dapat menyebabkan rasa yang tidak diinginkan pada produk (Guy 2001). Menurut Rooney (2003), sorgum memiliki beberapa keunggulan seperti warna terang, flavor hambar, dan sifat pengembangan yang baik, yang menjadikannya bahan yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi produk ekstrusi. Pengamatan yang dilakukan terhadap produk yang keluar dari ekstruder meliputi tekstur, rasa, dan warna. Tabel 7 menunjukkan bahwa formula 1 dan 4 hanya menggunakan sorgum saja tanpa penambahan tapioka atau kacang hijau. Formula 1 menggunakan tepung sorgum berukuran 40 mesh, sedangkan formula 4 menggunakan tepung sorgum 60 mesh. Tabel 7 menunjukkan bahwa formula 1 lebih keras dan kurang mengembang daripada formula 4, sedangkan porositas dan teksur permukaan sama. Hal ini diduga disebabkan karena ukuran partikel bahan yang lebih 29

3 kecil memungkinkan transfer panas yang lebih merata serta menyerap kelembaban yang lebih banyak, sehingga proses gelatinisasi yang lebih merata dan sempurna di seluruh bagian adonan (Guy 2001). Hasilnya, ekstrudat yang keluar lebih renyah dan mengembang. Gambar ekstrudat formula 1 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 10. Formula 1 Formula 4 Gambar 10. Ekstrudat Formula 1 (Tepung Sorgum 40 Mesh 100%) dan 4 (Tepung Sorgum 60 Mesh 100%) Penambahan tapioka mengubah karakteristik pati dalam formula dengan tujuan memperoleh produk yang lebih baik. Tapioka memiliki derajat gelatinisasi yang rendah (52-65 o C), kandungan protein dan lemak yang rendah, karakteristik pengikat yang baik, warna putih, dan flavor manis (Moscicki 2011). Dari Tabel 7, penambahan pati tapioka mampu memperbaiki kerenyahan, tingkat pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan formula yang menggunakan ukuran partikel yang sama, yaitu formula 1 dan 2, serta formula 4 dan 5. Dengan penambahan 20% tapioka, formula 2 memiliki tekstur yang lebih baik dari pada formula 1. Tingkat kerenyahan, porositas, pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat menjadi lebih baik. Hal serupa juga terdapat antara formula 4 dan 5, yaitu tekstur ekstrudat formula 5 (penambahan 20% tapioka) lebih baik daripada formula 4. Perubahan karakteristik tersebut mungkin disebabkan perubahan struktur sel ekstrudat dengan penambahan pati, yaitu tapioka, melalui proses retrogradasi yang kemudian membentuk lapisan film yuang cukup kuat untuk mencegah runtuhnya dinding sel dan membentuk sel dengan ketebalan yang lebih rendah dan ukuran rongga udara yang lebih kecil (Eastman 200; Gonzales 2005). Selain itu, komposisi amilosa dan amilopektin dalam adonan juga berpengaruh terhadap tingkat pengembangan dan kekerasan (Lusas dan Rooney 2001). Tapioka memiliki ko mposisi amilosaamilopektin yang berbeda dengan sorgum, sehingga penambahan tapioka dapat mengubah komposisi amilosa-amilopektin dalam adonan. Chinnaswamy dan Hanna (1988, 1990) diacu dalam Hanna dan Bhatnagar (1994) menyebutkan bahwa terdapat rasio optimum antara amilosa dan amilopektin untuk memperoleh ekstrudat dengan karakteristik tekstur terbaik. Perbandingan ekstrudat formula 1 dan 2 serta 4 dan 5 dapat dilihat pada Gambar 11. Penambahan protein berupa tepung kacang hijau dilakukan pada formula 3 dan 6. Ekstrudat yang keluar memiliki rasa yang pahit dan ukuran ekstrudat yang lebih kecil dibandingkan dengan formula 2 dan 5. Rasa pahit ini diduga berasal dari hidrolisat protein akibat gaya potong ekstruder. Dalam jumlah tertentu, hidrolisat protein ini akan menghambat pengembangan pati saat keluar dari die, sehingga menurunkan derajat pengembangan (Guy 2001). 30

4 Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Gambar 11. Ekstrudat Semua Formula Pada Uji Coba Pertama Dari penjelasan di atas, dapat dilihat pengaruh ukuran partikel, penambahan tapioka, dan penambahan kacang hijau terhadap tekstur, rasa, dan warna. Dengan ukuran partikel yang berbeda, ekstrudat memiliki tingkat kepadatan dan tekstur permukaan yang sama. Perbedaannya, ekstrudat yang menggunakan sorgum 60 mesh memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang lebih baik. Penambahan tapioka menunjukkan peningkatan karakteristik tekstur ekstrudat. Kerenyahan, porositas, tingkat pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat menjadi lebih baik. Ketika ditambahkan kacang hijau, rasa menjadi lebih pahit dan tingkat pengembangan serta tekstur permukaan ekstrudat menjadi menurun, meskipun masih lebih tinggi dibandingkan 100% sorgum. Oleh karena itu, kacang hijau tidak lagi digunakan pada uji coba selanjutnya. Tepung gula ditambahkan untuk memberikan rasa manis pada ekstrudat. Selain itu, gula berperan sebagai agen pengikat, pembawa flavor, dan pemberi mouthfeel pada produk (Dobraszczyk et al. 2005). Jumlah tepung gula yang ditambahkan pada semua formula adalah 10% dari jumlah tepung sorgum, pati tapioka, dan tepung kacang hijau, atau sebanding dengan 8.7% dari total bahan yang digunakan. Dalam jumlah tersebut, gula tidak berpengaruh signifikan terhadap proses ekstrusi. Namun, jumlah yang lebih tinggi dapat berdampak negatif pada pemasakan ekstrusi, karena gula dapat mengurangi temperatur bahan sehingga energi panas yang dibutuhkan menjadi lebih besar, dan derajat pengembangan ekstrudat menjadi berkurang (Moscicki, 2011). Dari segi rasa, ekstrudat yang dihasilkan dari penambahan 10% gula belum menunjukkan rasa manis. Sebaliknya, ekstrudat terasa agak asin, yang mungkin disebabkan penamabahan garam yang berlebihan. Sama seperti gula, minyak juga ditambahkan dalam jumlah yang sama untuk semua formula yang diujicobakan, yaitu 4%. Tujuan penambahan minyak adalah menghindari penyumbatan di dalam ekstruder. Penyumbatan ini terjadi akibat pembentukan leburan adonan yang lengket akibat degradasi polimer pati, apabila ekstrusi dilakukan menggunakan bahan yang memiliki kandungan lemak dan kele mbaban rendah (Dobraszczyk et al. 2005). Penambahan minyak dapat mengurangi friksi adonan dalam ekstruder serta membantu pergerakan material 31

5 dalam adonan, sehingga penyumbatan dapat dihindari (Moscicki 2011). Selain itu, lemak atau minyak memiliki dampak positif terhadap kualitas dan kandungan gizi dari ekstrudat. Garam ditambahkan untuk memberi rasa dan sebagai penguat flavor (flavor enhancer). Penambahan garam sebanyak 2% pada semua formula menyebabkan produk terasa agak asin saat dicicip. Oleh karena itu, jumlah garam pada uji coba selanjutnya dikurangi menjadi 1%. Dari hasil uji coba pertama, uji coba kedua dilakukan untuk melihat pengaruh penambahan gula, coklat, dan minyak terhadap karakteristik ekstrudat. Beberapa variabel yang ditetapkan dari uji coba pertama antara lain ukuran partikel sorgum yang digunakan yaitu 60 mesh, jumlah garam yang digunakan diturunkan yaitu 1%. Ringkasan pengamtan ekstrudat uji coba kedua dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua Formula Tekstur Rasa Warna Kekerasan/kerenyahan +++ Std (G 15 C 10 M 5 ) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan +++ Agak manis Coklat Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan +++ G1 (G 10 C 10 M 5 ) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan +++ Sedikit asin Coklat Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan ++ G2 (G 20 C 10 M 5 ) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan ++ Agak pahit Coklat Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan +++ C1 (G 15 C 5 M 5 ) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan +++ Agak manis Sedikit coklat Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan +++ C2 (G 15 C 15 M 5 ) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan +++ Agak pahit Coklat Permukaan ++ Kekerasan/kerenyahan ++ M1 (G 15 C 10 M 7,5 ) Padat/porous ++ Tingkat pengembangan +++ Agak manis Coklat Permukaan ++ 32

6 M2 (G 15 C 10 M 10 ) Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua (lanjutan) Kekerasan/kerenyahan ++ Padat/porous ++ Agak manis Tingkat pengembangan ++ Permukaan ++ Coklat Keterangan : - G10 = gula 10%; G15 = gula 15%; G20 = gula 20% - C5 = coklat 5%; C10 = coklat 10%; C15 = coklat 15% - M5 = minyak 5%; M7,5 = minyak 7,5%; M10 = minyak 10% - Kekerasan/kerenyahan : + = sangat keras; = sangat renyah (optimum = ++++) - Padat/porous : + = sangat padat; = sangat porous (optimum = +++) - Tingkat pengembangan : + = tidak mengembang; = sangat mengembang (optimum = ++++) - Permukaan : + = sangat berpori; = tidak berpori (optimum = +++++) Gula ditambahkan dengan variasi 10%, 15%, dan 20%. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan antara ekstrudat dengan penambahan gula 10% dan 15%. penambahan 20% gula, ekstrudat menjadi lebih keras dan ukurannya lebih kecil. Rasa ekstrudat menjadi lebih pahit yang diduga akibat reaksi karamelisasi saat ekstrusi berlangsung (Guy, 2001). Pada penambahan 10% gula, terasa sedikit rasa asin. Oleh karena itu, penambahan 15% gula merupakan jumlah terbaik yang menghasilkan rasa dan tekstur terbaik.. Pada 10% 15% 20% Gambar 12. Ekstrudat dengan penambahan gula 10%, 15%, dan 20% Variasi penambahan coklat bubuk dilakukan pada jumlah 5%, 10%, dan 15%. Dari segi tekstur, tidak terlihat perbedaan diantara ketiga variasi penambahan. Perbedaan terlihat dari wana dan rasa ekstrudat yang dihasilkan. Warna terbaik dinilai dengan membandingkan produk dengan produk referen. Pada penambahan 5% coklat, warna coklat lebih pudar dibandingkan dengan penambahan 10% dan 15% coklat. Penambahan coklat sebanyak 15% menunjukkan warna coklat yang baik namun berdampak negatif pada rasa yang lebih pahit. Rasa pahit yang ditimbulkan berasal dari komponen alkaloid pada coklat, sehingga jumlah yang lebih tinggi akan menyebaban rasa pahit semakin nyata. Penambahan coklat ditetapkan pada jumlah 10% yang memberikan warna coklat, aroma, dan rasa produk yang baik. 33

7 5% 10% 15% Gambar 13. Ekstrudat Dengan Penambahan Coklat 5%, 10%, dan 15% Variasi penambahan minyak dilakukan pada jumlah 5%, 7,5%, dan 10%. Penambahan minyak dalam jumlah yang lebih tinggi akan menyebabkan turunnya pengembangan produk (Guy 2001). Hal ini dapat diamati dari ekstrudat yang dihasilkan, yaitu semakin kecilnya ukuran ekstrudat dengan bertambahnya jumlah minyak yang digunakan. Tekstur ekstrudat juga menjadi lebih keras dengan peningkatan jumlah minyak yang digunakan. Dibandingkan dengan uji coba pertama, 5% minyak menghasilkan ekstrudat yang lebih keras, dan ukuran ekstrudat menjadi lebih kecil, begitu pula dengan penambahan 7.5% dan 10%. Oleh karena itu, jumlah minyak yang ditambahkan ditetapkan pada taraf 4%. 5% 7,5% 10% Gambar 14. Ekstrudat Dengan Penambahan Minyak 5%, 7,5%, dan 10% Dari penelitian pendahuluan ini, diperoleh komposisi bahan-bahan tambahan yang menghasilkan ekstrudat dengan karaktersitik paling baik. Sorgum yang digunakan adalah sorgum yang berukuran 60 mesh. Dari uji coba pertama, 20% tapioka terbukti mampu memperbaiki karakteristik tekstur ekstrudat. Namun, komposisi optimum tapioka akan ditentukan pada penelitian utama. Komposisi bahan-bahan unutk digunakan pada penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi optimum bahan-bahan untuk digunakan dalam penelitian utama Bahan Jumlah (% ) Tepung sorgum 60 mesh (relatif terhadap tapioka) Tepung gula 15 Coklat bubuk 10 Minyak 4 Garam 1 34

8 B. Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan dengan memvariasikan jumlah tapioka dan penambahan emulsifier. Tujuan dari penelitian utama adalah menghasilkan tekstur ekstrudat yang baik. Kedua bahan yang digunakan memiliki karaktersitik pembentuk tekstur. Dengan memvariasikan komposisi keduanya, diharapkan dapat diperoleh jumlah yang tepat untuk membentuk tekstur yang baik. Formula yang diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 4. Produk yang dihasilkan kemudian diuji secara organoleptik dan fisik. Uji organoleptik dilakukan untuk menilai tingkat kesukaan panelis terhadap masing-masing formula. Data yang diperoleh dijadikan dasar penentuan produk terbaik. Analisis fisik dilakukan untuk melihat pengaruh masing-masing variasi bahan yang diujicobakan terhadap karakteristik fisik ekstrudat. 1. Uji Rating Hedonik Dasar penentuan formula optimum ditetapkan dari uji rating hedonik, yaitu uji yang termasuk ke dalam uji afektif. Uji rating hedonik melibatkan 70 panelis tidak terlatih, sesuai yang dikatakan oleh Waysima (2008). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2. Data yang diperoleh dari rating hedonik diolah menggunakan program SPSS. Hasil dari uji rating hedonik dapat dilihat pada Tabel 10. Kode Sampel Penggunaan Tapioka dan Emulsifier (% ) Tabel 10. Hasil uji rating hedonik Nilai Rata-Rata Tekstur Warna Rasa Keseluruhan T1E1 10%, 0% 2.60 a 3.53 a 2.50 a 2.77 a T1E2 10%, 1% 3.94 c 3.31 a 3.33 c 3.56 d T1E3 10%, 2% 3.66 c 3.23 a 3.34 c 3.44 c,d T2E1 20%, 0% 3.20 b 3.37 a 3.09 b,c 3.24 b,c T2E2 20%, 1% 3.06 b 3.31 a 2.90 b 3.14 b T2E3 20%, 2% 3.01 b 3.41 a 2.83 b 2.99 a,b kesukaan tekstur emulsifier (%) *Perbedaan signifikan ditunjukan dengan perbedaan warna Gambar 15. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Tekstur tapioka (%) 35

9 Pengolahan data (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara tapioka dengan emulsifier terhadap skor kesukaan tekstur ekstrudat (p<0.05). Uji lanjut terhadap variabel-variabel ini dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar tersebut, perbedaan signifikan ditunjukan dengan perbedaan warna pada diagram batang. Penambahan tapioka dan emulsifier diharapkan dapat memperbaiki tekstur ekstrudat sehingga lebih disukai oleh konsumen/panelis. Namun dari hasil analisis yang didapat, penambahan emulsifier dan tapioka tidak menunjukkan hasil yang linier. Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier meningkatkan skor kesukaan, sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak menunjukkan perbedaan skor kesukaan. Tanpa penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menyebabkan peningkatan skor kesukaan, sedangkan dengan penambahan emulsifier, peningkatan tapioka justru menurunkan skor kesukaan. Tapioka ditambahkan dengan tujuan mengubah karakteristik pati dalam adonan menjadi lebih baik sehingga diperoleh tekstur yang lebih baik dan lebih disukai oleh konsumen. Sedangkan emulsifier ditambahakan dengan tujuan meratakan pembentukan dan distribusi sel atau rongga udara sehingga diperoleh ekstrudat dengan tekstur yang lebih halus dengan ukuran pori-pori yang lebih kecil. Pemerataan pembentukan sel ini juga dapat berpengaruh terhadap meningkatknya pengembangan (Gonzales 2005). Secara umum, konsumen lebih menyukai produk yang renyah, yang merupakan produk dengan tingkat pengembangan baik dan densitas rendah. Dari data yang diperoleh dapat diamati bahwa tanpa penambahan emulsifier, penambahan 20% tapioka menunjukkan skor kesukaan yang lebih tinggi (3.20) dibandingkan 10% tapioka (2.60). Penambahan emulsifier memberikan pengaruh positif pada 10% tapioka, sedangkan tidak memberikan pengaruh signifikan pada penambahan 20% tapioka. Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan pembentukan kompleks amilosa-lipid (dengan gliserol monostearat dari emulsifier) yang lebih cenderung terjadi pada penambahan 20% tapioka, karena jumlah amilosa bebas (dari tapioka) yang lebih tinggi (Guy 2001; Hanna dan Bhatnagar 1994; Harper 1981; Muchtadi et al. 1987). Kompleks ini menyebabkan emulsifier menjadi terikat dengan amilosa dan tidak dapat memberikan perannya untuk meratakan pembentukan sel, atau rongga udara mikro yang dapat membuat ekstrudat menjadi lebih renyah, lebih mengembang, dan memiliki tekstur permukaan/tampak luar yang lebih merata atau halus (Harper 1981; Moscicki 2011). Sebaliknya, pembentukan kompleks ini jutru dapat menurunkan pengembangan, dengan merusak dinding sel sehingga tidak mampu mempertahankan strukturnya dan runtuh saat keluar melalui die (Gonzales 2005). Pada penambahan 10% tapioka, kecenderungan pembentukan kompleks tersebut nampaknya jauh lebih kecil, sehingga emulsifier dan tapioka dapat berinteraksi positif menghasilkan karakteristik tekstur ekstrudat yang lebih baik. Dari hasil analisis derajat pengembangan (hal 39), penambahan emulsifier pada 10% tapioka menunjukkan sedikit peningkatan meskipun tidak signifikan. Sebaliknya pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier menurunkan derajat pengembangan. Dari hasil analisis kekerasan (hal 43), penambahan emulsifier pada 10% tapioka menunjukkan penurunan nilai kekerasan, sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak menunjukkan perbedaan. Apabila dibandingkan, terdapat kesesuaian antara hasil analisis dengan skor kesukaan tekstur, yaitu bahwa pembentukan kompleks pada penambahan 20% tapioka menyebabkan penurunan pengembangan dan tidak memberikan pengaruh terhadap kekerasan. Sebaliknya pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier sedikit 36

10 meningkatkan pengembangan dan menurunkan kekerasan. Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa panelis cenderung menyukai produk dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah dan derajat pengembangan yang lebih tinggi. Pengolahan data ANOVA untuk atribut warna (Lampiran 4) tidak menunjukkan adanya interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap skor kesukaan warna (p>0.05). Hal ini disebabkan jumlah coklat yang ditambahkan pada semua formula sama. Meskipun demikian, diperoleh informasi bahwa esktrudat memiliki warna yang cukup disukai oleh panelis (skor rata-rata 3.36). Hasil pengolahan data atribut rasa dengan ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifer terhadap skor kesukaan rasa (p<0.05). Gambar 16 menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier meningkatkan skor kesukaan. Sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan. Tanpa penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka meningkatkan meningkatkan skor kesukaan rasa. Sebaliknya, dengan penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menyebabkan penurunan skor kesukaan. kesukaan rasa emulsifier (%) tapioka (%) Gambar 16. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Rasa Pengaruh penambahan emulsifier dan tapioka terhadap rasa terutama berkaitan dengan tingkat kematangan produk. Tapioka dengan kandungan amilopektin yang lebih tinggi memiliki sifat alir yang lebih baik daripada amilosa, sehingga dapat menurunkan friksi internal bahan untuk menghindari rasa gosong. dari pemasakan berlebih (Xie et al. 2009). Emulsifier, yang memiliki sifat seperti lemak, juga berpengaruh terhadap friksi internal bahan, sehingga interaksi keduanya akan berpengaruh terhadap rasa produk. Tanpa penambahan emulsifier, penambahan 20% tapioka memiliki skor kesukaan rasa yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan 10% tapioka. Hal ini disebabkan oleh kandungan total amilopektin yang lebih tinggi pada sampel tersebut, sehingga diduga mencapai tingkat kematangan yang lebih baik, atau tidak mengalami pemasakan berlebih (over-cooking), daripada sampel dengan 10% tapioka. Sebaliknya dengan penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka justru menurunkan skor kesukaan terhadap rasa, meskipun tidak signifikan. Hal ini diduga disebabkan penurunan friksi internal yang berlebihan dengan ditambahkannya kedua variabel 37

11 tersebut. Pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier, yang memiliki sifat pelumasan seperti minyak, akan semakin mengurangi friksi internal. Hal ini menyebabkan turunnya suhu adonan sehingga proses gelatinisasi tidak berlangsung cukup sempurna. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan turunnya tingkat pengembangan pada sampel-sampel tersebut. Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru meningkatkan skor kesukaan rasa yang diduga disebabkan tercapainya tingkat kematangan yang baik, atau tidak mengalami pemasakan kurang (under-cooking) ataupun pemasakan berlebih (over-cooking). Pengolahan data dengan ANOVA (Lampiran 6) untuk atribut secara keseluruhan menunujukan adanya interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap skor kesukaan secara keseluruhan. Gambar 17 menunjukkan bahwa tanpa penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka meningkatkan skor kesukaan, sedangkan dengan penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menurunkan skor kesukaan. Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier cenderung meningkatkan skor kesukaan, sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan. kesukaan keseluruhan emulsifier (%) tapioka (%) 20 Gambar 17. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Secara Keseluruhan Dari gambar 17, terdapat diagram batang yang memiliki garis luar dengan warna yang berbeda dengan warna diagram batangnya, yang menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak berbeda signifikan dengan sampel lain yang memiliki warna diagram batang yang sama maupun dengan sampel dengan warna yang sama dengan garis luarnya. Hasil uji rating hedonik secara keseluruhan ini sesuai dengan hasil uji rating hedonik terhadap rasa dan tekstur. Dari pengolahan data uji organoleptik yang telah dilakukan, diperoleh informasi mengenai sampel yang memiliki skor tertinggi yang paling disukai oleh panelis. Sampel dengan penambahan 10% tapioka dan 1% emulsifier memiliki skor tertinggi dari pengujian sensori terhadap atribut tekstur, rasa, dan atribut secara keseluruhan. Oleh karena itu, sampel tersebut dipilih sebagai sampel yang memiliki karakteristik sensori terbaik. 38

12 2. Analisis Fisik a. Derajat Pengembangan Derajat pengembangan produk diuji dengan memperhatikan dua dimensi produk. Hal ini dikarenakan ukuran produk yang tidak bulat merata, melainkan pipih lonjong. Dimensi yang diukur adalah panjang dan lebar. Pengolahan data ANOVA untuk derajat pengembangan dimensi panjang (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap derajat pengembangan dimensi panjang. Sementara pengolahan data ANOVA untuk derajat pengembangan dimensi lebar (Lampiran 8) tidak menunjukkan adanya interaksi. Uji lanjut Duncan menunjukkan terdapat dua subset yang berbeda. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa sampel dengan kode T1E1, T1E2, T1E3, dan T2E1 memiliki derajat pengembangan yang tidak berbeda, dibandingkan dengan sampel T2E2 dan T2E3. Tabel 11. Data derajat pengembangan Derajat Pengembangan (%) Sampel Dimensi Panjang Dimensi Lebar T1E1 113,64 b 130,93 a T1E2 118,09 b 130,93 a T1E3 114,00 b 128,13 a T2E1 121,91 b 134,13 a T2E2 102,63 a 121,60 a T2E3 101,27 a 133,07 a Dari Gambar 18, dapat dilihat bahwa pada penambahan 20% tapioka, derajat pengembangan sampel dengan penambahan emulsifier (1% dan 2%) berbeda signifikan dengan sampel lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pembentukan kompleks amilosalipid pada sampel tersebut yang dapat menurunkan derajat pengembangan. Kompleks amilosa-lipid ini diduga terbentuk antara amilosa bebas dari tapioka dan emulsifier yang berupa gliserol monostearat (Guy 2001; Hanna dan Bhatnagar 1994; Harper 1981). Saat ekstrusi berlangsung, pati dapat membentuk sebuah matriks yang dapat memerangkap uap air, sehingga membentuk gelembung-gelembung (Guy dan Horne 1988 diacu dalam Hanna dan Bhatnagar 1994; Harper 1981). Pembentukan kompleks dapat mengubah karakteristik viskoelastik dari matriks pati tersebut, sehingga tidak mampu memerangkap uap air dan menyebabkan penurunan derajat pengembangan serta peningkatan densitas kamba (Gonzales 2005; Hanna dan Bhatnagar 1994). Selain itu, pembentukan kompleks ini diduga dapat mengubah rasio amilosa-amilopektin dalam adonan dengan berinteraksinya amilosa dengan emulsifier, sehingga rasio amilosa-amilopektin yang optimum untuk pengembangan tidak tercapai (Chinaswammy dan Hanna diacu dalam Hanna dan Bhatnagar 1994). 39

13 derajat pengembangan (%) emulsifier (%) tapioka (%) Gambar 18. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Derajat Pengembangan Dimensi Panjang Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier terlihat tidak menurunkan derajat pengembangan, bahkan meningkatkannya. Hal ini mungkin disebabkan jumlah tapioka yang ditambahkan lebih sedikit, sehingga kemungkinan terbentuknya kompleks lebih kecil. Pembentukan kompleks dalam jumlah yang lebih kecil ini mungkin juga menyebabkan tercapainya rasio amilosa-amilopektin yang lebih baik untuk pengembangan. Peran emulsifier untuk mengubah karakteristik tekstur dengan meratakan pembentukan dan distribusi rongga udara dan membantu pemotongan dalam ekstruder juga terlihat pada sampel tersebut, sehingga diduga dapat meningkatkan pengembangan dari ekstrudat (Mosciciki 2011). b. Waktu Rehidrasi Waktu rehidrasi terbagi menjadi waktu rehidrasi awal dan waktu rehidrasi akhir. Waktu rehidrasi awal dapat dijelaskan sebagai waktu saat susu mulai membasahi ekstrudat, yaitu saat bagian tepi ekstrudat terlihat basah. Waktu akhir rehidrasi merupakan waktu saat susu membasahi seluruh bagian ekstrudat, yaitu saat seluruh permukaan ekstrudat terlihat basah. Waktu rehidrasi referen juga diukur untuk melihat perbandingan antara waktu rehidrasi sampel dengan referen. Sampel Tabel 12. Data waktu rehidrasi Waktu Rehidrasi (detik) Awal Akhir T1E a 2506 a T1E a 3210 a T1E a 3348 a T2E a 2794 a T2E a 3306 a T2E a 3493 a Referen 1375 a 1510 a 40

14 waktu rehidrasi awal (dtk) tapioka (%) Ref Ref emulsifier (%) Gambar 19. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Waktu Rehidrasi Awal Pengolahan data dilakukan dengan ANOVA (Lampiran 9 dan Lampiran 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap waktu rehidrasi, baik awal dan akhir. Meskipun demikian, Gambar 19 dan Gambar 20 menunjukkan hubungan yang linier antara peningkatan jumlah emulsifier dan tapioka terhadap waktu rehidrasi awal dan akhir. Semakin tinggi jumlah tapioka yang ditambahkan, semakin tinggi waktu rehidrasinya. Begitu pula dengan emulsifier. Peningkatan waktu rehidrasi akibat peningkatan jumlah tapioka disebabkan pati-patian, seperti tapioka, memiliki kemampuan membentuk film, sehingga memperlambat penyerapan susu ke dalam sereal (Eastman et al. 2001). Selain itu, peningkatan jumlah amilopektin, yang dalam hal ini berupa tapioka, menyebabkan penurunan kemampuan serap air adonan, karena komponen amilopektin menyerap lebih sedikit air dibandingkan amilosa (Moscicki 2011). Emulsifier memiliki sifat yang serupa dengan lipid. Penambahan emulsifier berarti peningkatan kandungan lipid dalam adonan. Semakin tinggi jumlah lipid dalam adonan, semakin banyak granula pati yang terlapisi, sehingga sukar menyerap air (Harper 1981). Hal ini dapat meningkatkan waktu rehidrasi dari ekstrudat. Selain itu, efek pelumasan dari lipid dapat menyebabkan penurunan degradasi amilopektin, yang sukar menyerap air. Hal ini menyebabkan semakin sedikit bagian yang terlarut dalam air, sehingga waktu rehidrasinya meningkat (Hanna dan Bhatnagar 1994). Referen memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat daripada semua sampel. Hal ini merupakan hal yang baik karena konsumen lebih menyukai sereal yang terehidrasi lebih lama karena kerenyahan dapat dipertahankan (Mannie 1999). 41

15 waktu rehidrasi akhir (dtk) Ref tapioka (%) Ref emulsifier (%) Gambar 20. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Waktu Rehidrasi Akhir c. Indeks Kelarutan Air Indeks kelarutan air atau Water Solubility Index (WSI) merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur kelarutan ekstrudat di dalam air. Indeks ini menunjukkan seberapa banyak bagian ekstrudat yang dapat terlarut dalam air, dan dinyatakan dalam gram per mililiter (g/ml). Pengolahan data dengan ANOVA (Lampiran 11) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier yang ditambahkan terhadap indeks kelarutan air. Selain itu, tidak terdapat pengaruh penambahan tapioka dan penambahan emulsifier terhadap indeks kelarutan air. Data indeks kelarutan air sampel dapat dilihat dalam Tabel 13. Tabel 13. Data indeks kelarutan air Sampel Indeks Kelarutan Air (g/ml) T1E1 T1E2 T1E3 T2E1 T2E2 T2E3 Referen 0,0076 a 0,0076 a 0,0080 a 0,0082 a 0,0081 a 0,0076 a 0,0208 b 42

16 indeks kelarutan air (g/ml) Ref tapioka (%) Ref emulsifier (%) Gambar 21. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Indeks Kelarutan Air Gambar 21 menunjukkan bahwa indeks kelarutan air referen jauh lebih tinggi daripada sampel. Hal ini menunjukkan bahwa sampel lebih sukar larut dalam air daripada referen. Ini berarti bowl time sampel atau lamanya flakes mempertahankan kerenyahannya saat disajikan lebih tinggi daripada referen. Hal ini lebih disukai oleh konsumen. d. Analisis Kekerasan dan Nilai Patah (Rheoner) Analisis fisik dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner, dan dibagi menjadi kekerasan maksimum dan nilai patah (breakage). kekerasan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Data analisis kekerasan Sampel Kekerasan (gf) T1E1 T1E2 T1E3 T2E1 T2E2 T2E3 Referen Ringkasan pengolahan data analisis 1640,00 d 1100,00 b 1340,00 c 1670,00 d 1760,00 d 1760,00 d 400,00 a Pengolahan data ANOVA untuk nilai kekerasan menunjukkan adanya interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap nilai kekerasan. Gambar 22 menujukan bahwa penambahan emulsifier memiliki pengaruh yang berbeda pada kedua tingkat penambahan tapioka. Pada 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan. Sebaliknya, pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru menurunkan nilai kekerasan. Hal ini berhubungan dengan pembentukan kompleks amilosa-lipid pada sampel dengan penambahan 20% tapioka. Kompleks amilosa-lipid dapat menurunkan pengembangan dan densitas kamba, yang berarti produk menjadi padat dan keras (Hanna dan Bhatnagar 1994). Dibandingkan dengan skor kesukaan terhadap 43

17 tekstur, sampel dengan penambahan 10% tapioka 1% dan 2% emulsifier memiliki skor tertinggi (3.94 dan 3.66). Hal ini berarti panelis lebih menyukai sampel dengan nilai kekerasan yang lebih rendah kekerasan (gf) Ref tapioka (%) Ref emulsifier (%) Gambar 22. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Nilai Kekerasan Pada sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru menurunkan nilai kekerasan ekstrudat. Hal ini mungkin disebabkan tercapainya rasio amilosa amilopektin yang lebih baik dengan pembentukan kompleks amilosa-lipid yang lebih sedikit, seperti dijelaskan sebelumnya. Rasio amilosa-amilopektin menjadi kurang optimum pada penambahan 2% tapioka akibat pembentukan kompleks yang lebih banyak, yang ditunjukan dengan naiknya nilai kekerasan. Gambar 22 juga menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kekerasan produk lebih tinggi daripada tingkat kekerasan sampel referen. Hal ini diduga akibat kandungan amilosa dalam sorgum lebih tinggi daripada jagung atau gandum yang digunakan pada produk komersial (Harper 1981) Tabel 15. Data analisis nilai patah (breakage) Sampel Nilai Patah (gf) T1E1 T1E2 T1E3 T2E1 T2E2 T2E3 Referen 770,00 a 710,00 a 660,00 a 960,00 a 1200,00 a 1290,00 a 300,00 a 44

18 2000 nilai patah (gf) Ref 20 tapioka (%) Ref emulsifier (%) Gambar 23. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Nilai Patah Pengolahan data ANOVA untuk data nilai patah menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap nilai patah sampel. Meskipun demikian, dapat dilihat pada Gambar 23 bahwa terdapat perbedaan pengaruh penambahan emulsifier antara sampel dengan 10% tapioka dengan 20% tapioka. Penambahan emulsifier pada sampel yang ditambahkan 20% tapioka menujukan peningkatan nilai patah dengan peningkatnya jumlah emulsifier. Sebaliknya pada sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emusifier justru menurunkan nilai patah. Hal ini dapat terjadi akibat pembentukan kompleks seperti dijelaskan sebelumnya. 3. Uji Penerimaan Dari uji rating hedonik dan uji fisik, sampel dengan penambahan 10% tapioka dan 1% emulsifier dipilih menjadi sampel terbaik. Karena target konsumen adalah anak-anak usia sekolah, uji organoleptik 2 atau uji penerimaan dilakukan kepada siswa kelas 5 SD di dua sekolah. Dua sekolah dasar yang dipilih adalah SDN Babakan IV Bogor dan SDN Polisi V Bogor. Dua sekolah ini memiliki tingkat ekonomi yang berbeda, yang bertujuan untuk melihat penerimaan produk pada tingkat ekonomi yang berbeda tersebut. Tingkat ekonomi kedua sekolah ditetapkan berdasarkan asumsi lokasi sekolah dan tingkat popularitas dari sekolah. SDN Polisi V berada di pusat kota Bogor sementara SDN Dramaga 4 berada di kabupaten Bogor. dibandingkan dengan SDN Dramaga 4 Berdasarkan tingkat popularitasnya, SDN Polisi V lebih terkenal Kuesioner yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 15. Pertanyaan tentang pengetahuan dan tingkat konsumsi siswa disertakan dalam kuesioner sehingga relevansi uji sensori dapat diketahui. Ringkasan uji penerimaan dapat dilihat pada Gambar 24. Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskriptif dengan statistik chi-square. Informasi yang didapatkan menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa kelas 5 dari kedua sekolah telah mengetahui mengenai sereal sarapan susu. Uji statistik chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan pengetahuan tentang sereal susu. Hal ini dapat disebabkan sereal sarapan susu telah banyak beredar di masyarakat dan pemasarannya lewat media televisi telah banyak bermunculan. 45

19 Secara garis besar, siswa kedua sekolah kadang-kadang mengkonsumsi sereal susu. Uji statistik chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan konsumsi sereal susu. Nampaknya sereal susu telah cukup populer di masyarakat dan harganya telah cukup terjangkau sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat mengkonsumsinya. Hasil pengujian pengetahuan tentang sereal dan tingkat konsumsi dapat dilihat pada Gambar 24. Pengetahuan Tentang Sereal jumlah (%) tahu Menengah ke bawah tidak tahu Menengah ke atas jumlah (%) Tingkat Konsumsi tidak pernah kadang-kadang sering Menengah ke bawah Menengah ke atas Gambar 24. Pengetahuan dan tingkat konsumsi sereal sarapan dari dua sekolah Berdasarkan hasil yang diperoleh, tingkat kesukaan terhadap aroma dan kerenyahan siswa-siswa kedua sekolah serupa, yaitu sebagian besar menyatakan enak. Uji statistika dengan chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi siswa dengan tingkat kesukaan terhadap aroma dan kerenyahan. Dari informasi ini, aroma dan kerenyahan yang dimiliki produk sudah cukup baik dan diterima baik oleh konsumen. Tingkat ketertarikan terhadap warna dan tingkat kesukaan terhadap rasa siswa kedua sekolah menunjukkan perbedaan. SDN Polisi V yang memiliki tingkat ekonomi rata-rata siswanya lebih tinggi cenderung memilih cukup enak, berbeda dengan SDN Dramaga IV yang banyak memilih enak. Uji chi-square menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan tingkat kesukaan rasa dan ketertarikan warna produk. Secara keseluruhan, tingkat kesukaan siswa semakin menurun dengan meningkatnya tingkat ekonomi. Penerimaan terhadap atribut produk dapat dilihat pada Gambar

20 jumlah (%) Penerimaan terhadap warna 71.8 menarik 45 Menengah ke bawah cukup menarik tidak menarik Menengah ke atas Penerimaan terhadap rasa jumlah (%) Penerimaan terhadap aroma enak cukup enak tidak enak Menengah ke bawah Menengah ke atas Penerimaan terhadap kerenyahan jumlah (%) enak cukup enak tidak enak jumlah (%) enak cukup enak tidak enak Menengah ke bawah Menengah ke atas Menengah ke bawah Menengah ke atas Penerimaan terhadap keseluruhan atribut jumlah (%) enak cukup enak tidak enak Menengah ke bawah Menengah ke atas Gambar 25. Penerimaan terhadap atribut produk Keinginan konsumsi jumlah (%) mau tidak mau Menengah ke bawah Menengah ke atas Gambar 26. Keinginan konsumsi produk 47

21 Kecenderungan yang sama terlihat pada keinginan konsumsi produk. Pada Gambar 26 jelas terlihat bahwa jumlah siswa yang ingin mengkonsumsi produk lebih banyak pada sekolah menengah ke bawah. Uji chi-square juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan keinginan konsumsi produk. 4. Analisis Kimia Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia produk, seperti kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Kandungan kimia produk telah dirangkum pada Tabel 16. Tabel 16. Komposisi kimia produk Jumlah (%) Komponen bb Air Abu Lemak Protein Karbohidrat (by difference) bk Serat kasar a. Kadar Air Kadar air produk akhir adalah 2.59 (basis basah) dan 2.66 (basis kering). Basis basah merupakan perbandingan kandungan komponen yang diukur dengan berat sampel untuk analisis dengan kandungan air. Basis basah merupakan perbandingan berat kandungan komponen yang diukur dengan berat sampel untuk analisis dikurangi kandungan airnya (Singh dan Heldman 2009). Kadar air produk dibawah 3% yang sesuai dengan SNI tentang susu sereal. Kadar air ini tercapai setelah pengeringan dengan oven selama 15 menit. Kadar air yang rendah dapat menjaga produk tetap renyah saat disajikan dan memperpanjang umur simpannya (Winarno 1984). b. Kadar Abu Abu merupakan residu mineral yang tersisa setelah proses pembakaran dalam suhu tinggi (Winarno 1984). Umumnya mineral yang terkandung di dalam abu berada dalam bentuk metal oksida, senyawa sulfat, fosfat, nitrat, klorida, dan senyawa anorganik lainnya (Miller 1996). Kadar abu hasil analisis adalah 2.47 (bb) dan 2.54 (bk). Guy (2001) mengatakan bahwa kandungan mineral pada ekstudat, khususnya besi, dapat meningkat akibat kontak intens dengan permukaan logam pada laras atau ulir ekstruder, seiring dengan peningkatan suhu. Camire dan Dougherty (1998) menjelaskan bahwa kandungan dan bioavailabilitas mineral tertahan dengan baik selama ekstrusi. ditingkatkan apabila fitat pengikat mineral dihilangkan. Bioavailabilitas mineral juga dapat 48

22 c. Kadar Lemak Lemak merupakan sumber energi kedua setelah karbohidrat. Para ahli gizi merekomendasikan agar 20-25% kebutuhan kalori dipenuhi dari le mak (Muchtadi et al. 1992). Lemak memiliki karakteristik mudah teroksidasi apabila terpapar oleh oksigen. Proses oksidasi ini menyebabkan kerusakan produk berupa penyimpangan flavor. Kadar lemak produk adalah 3.79% (bb) dan 3.89 (bk). Kadar lemak produk cukup rendah, dan dengan disertai rendahnya kadar air, maka kerusakan produk dapat ditekan seminimal mungkin sehingga umur simpan produk menjadi lebih lama. Dari segi nutrisi, kadar lemak produk termasuk rendah. Namun sesuai saran penyajian, produk disajikan dengan susu yang memiliki kandungan lemak cukup tinggi. Penyajian dengan susu ini akan membantu memenuhi kebutuhan lemak. d. Kadar Protein Protein merupakan zat gizi yang penting sebagai pembangun tubuh dan pengganti sel-sel yang rusak, serta berperan juga sebagai sumber energi ketiga setelah karbohidrat dan lemak (Muchtadi et al. 1992). Kadar protein pada produk adalah 7.30% (bb) dan 7.50% (bk). SNI menyebutkan bahwa kandungan minimal protein pada susu sereal adalah 7%, yang berarti bahwa kandungan protein produk telah memadai. Kandungan protein hanya diperoleh dari biji sorgum. Kandungan pada biji sorgum adalah 11%. Kehilangan protein terjadi saat proses ekstrusi karena suhu dan tekanan tinggi yang menyebabkan rusaknya struktur protein (Guy 2001). e. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama. Sebanyak 50-60% kebutuhan energi harian sebaiknya dipenuhi dari karbohidrat. Kandungan karbohidrat by difference produk adalah 77.33% (bb) atau 79.42% (bk). Kandungan karbohidrat pada sorghum adalah sekitar 73%. Peningkatan kadar karbohidrat diperkirakan karena penghilangan bagian perikarp dan juga karena penambahan tapioka. Penghilangan bagian perikarp dengan penggilingan atau penyosohan akan mengurangi bagian dengan konsentrasi karbohidrat rendah dan meninggalkan bagian endosperm dengan kandungan karbohidrat lebih tinggi (Suarni 2004). Menurunnya kadar protein juga dapat meningkatkan kadar karbohidrat secara relatif. f. Kadar Serat Kasar Serat merupakan ko mponen karbohidrat yang tidak dapat tercerna o leh enzimenzim pencernaan. Meskipun demikian, penelitian-penelitian pada 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa serat memegang peranan penting pada kesehatan seseorang. Kadar serat kasar produk adalah 9.07 (bb) dan 9.32 (bk). g. Kandungan dalam Satu Takaran Saji Satu takaran saji yang direncanakan adalah 50 gr. takaran saji dapat dilihat pada Tabel 17. Kandungan gizi dalam satu 49

23 Tabel 17. Kandungan gizi produk sampel dan referen dalam satu takaran saji (50 g) Nilai Gizi Satu Takaran Saji Komponen Produk yang Dikembangkan Produk Komersial* Energi total (kkal) Lemak (g) Protein (g) Karbohidrat total (g) *Label informasi nilai gizi produk komersial (50 gram takaran saji) Berdasarkan Tabel 17, kandungan gizi produk dengan produk komersial tidak terlalu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa produk dapat bersaing dengan produk komersial dalam segi kandungan gizi, tetapi dengan harga yang lebih murah. Energi total yang diberikan oleh produk baru mencukupi 10% energi harian 2000 kkal. Namun apabila dikonsumsi dengan 200 ml susu, maka jumlah energi yang dihasilkan dapat mencapai 380 kkal atau sebesar 19% kebutuhan energi 2000 kkal. Berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal tiap hari, pemenuhan kebutuhan energi sehari-hari produk tercantum pada Tabel 18. Tabel 18. Persentase pemenuhan energi berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal % AKG Komponen Daily value* Produk yang Dikembangkan Produk Komersial** Kadar lemak 65 g Kadar protein 50 g Kadar karbohidrat total 300 g Energi 2000 kkal *CFR (2011) **) Label informasi nilai gizi produk komersial 5. Analisis Finansial a. Asumsi Dasar Perhitungan Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial produk adalah: 1) Analisis ekonomi dilakukan dengan biaya investasi untuk pendirian usaha menengah baru. 2) Tanah dan bangunan tempat produksi adalah sewa. 3) Umur ekonomi proyek ditetapkan 5 tahun. 4) Perhitungan waktu yang digunakan dalam analisis ditetapkan satu tahun sama dengan 12 bulan, satu bulan sama dengan 25 hari. 5) Analisis dilakukan pada harga konstan. Harga bahan baku yang ditetapkan dapat dilihat pada Tabel

24 Tabel 19. Harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk Bahan Satuan Harga (Rupiah) Sorghum kg 3,250.- Tapioka Kg 4,500.- Tepung Gula Kg 12,000.- Bubuk Coklat Kg 50,000.- Minyak Kg 10,000.- Garam Kg 2,000.- Emulsifier Kg 150,000.- Kemasan Buah ) Harga peralatan yang digunakan berdasarkan faktor perkiraan dengan dasar rancangan secara garis besar dan spesifikasi yang belum jelas. 7) Biaya penyusutan peralatan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. 8) Biaya perawatan peralatan ditetapkan 2.5% dari biaya penyusutan 9) Tingkat produksi dari tahun pertama hingga terakhir adalah 100% yaitu sebesar kurang lebih 40 kg bahan baku tepung sorgum dan tapioka per jam dengan 5 jam operasi perhari. Maka, volume produksi dalam satu hari adalah adalah : 40 x 5 = 200 kg, dan dalam satu bulan adalah : 200 x 25 = 5000 kg (basis tepung sorgum dan tapioka). 10) Efisiensi produksi sebesar 85% dari total jumlah bahan baku yang digunakan. 11) Volume produk yang terjual ditetapkan sebesar 70% dari jumlah produksi di tahun pertama. Pada tahun kedua dan seterusnya, volume produk terjual adalah 80% dari kapasitas produksi pada tahun yang sesuai. 12) Harga jual produk adalah Rp 2,500.- per kemasan (50 gr). 13) Modal investasi berasal dari pinjaman bank sebesar 70% dan modal sendiri sebesar 30%. 14) Bunga pinjaman sebesar 14% dan konstan selama pengembalian dengan perhitungan bunga tetap. 15) Discount rate/suku bunga sebesar 13%. 16) Kredit modal kerja ditetapkan sebesar biaya operasional dan produksi untuk satu tahun pertama dan dimulai pada tahun pertama. 17) Pembayaran angsuran kredit investasi dan kredit modal kerja dimulai pada tahun ke-1, dengan jangka waktu pembayaran untuk kredit investasi dan kredit modal kerja selama 4 tahun. 18) Perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur oleh UU Perpajakan Nomor 17 tahun 2000 yaitu keuntungan di bawah Rp. 50,000,000 dikenakan pajak sebesar 10 persen, keuntungan antara Rp. 50,000,000 hingga Rp. 100,000,000 dikenakan pajak sebesar 15 persen, dan keuntungan di atas Rp. 100,000,000 dikenakan pajak sebesar 30 persen. 51

25 b. Modal Awal Usaha Modal awal usaha berupa biaya investasi dan modal kerja. Biaya investasi berupa biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membeli komponen yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha seperti mesin, peralatan, perizinan, dan lain-lain. Investasi merupakan komponen yang memiliki umur panjang. Modal kerja merupakan biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha sebelum perusahaan menperoleh pendapatan. Besarnya biaya modal kerja berupa biaya operasional selama 1 tahun pada tahun pertama (Soeharto 1999). Biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha adalah Rp 746,100, Rincian biaya investasi dapat dilihat pada Lampiran 27. Modal kerja yang dibutuhkan adalah Rp 1,661,143,333.-, yaitu biaya operasional selama 1 tahun (Lampiran 28). Kebutuhan dana proyek pada tahun pertama sebesar Rp 2,407,243,333.- dan sebesar 70% dari dana ini diperoleh melalui pinjaman bank, sedangkan sisanya berasal dari modal sendiri. c. Biaya Produksi Biaya produksi meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya operasional pabrik, dan biaya operasional kantor, yang rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 28. Biaya produksi yang diperlukan selama 1 bulan adalah Rp 138,428,611.- dan selama 1 tahun adalah Rp1,661,143, Biaya produksi diasumsikan sama dari tahun pertama sampai tahun kelima. d. Volume Produksi dan Proyeksi Penjualan Volume produksi diasumsikan 85% dari total bahan baku yang digunakan perbulan. Jumlah produk yang dihasilkan adalah kemasan perbulan atau 1,336,200 kemasan pertahun, dengan berat perkemasan adalah 50 gram. Penjualan pada tahun pertama diasumsikan sebesar 70% atau sebanyak 935,340 kemasan, dan meningkat pada tahun kedua dan seterusnya menjadi 80% atau sebanyak 1,068,960 kemasan. Harga pokok per kemasan dihitung dari kebutuhan dana usaha pada tahun pertama (Lampiran 29) dibagi dengan jumlah produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yaitu Rp 1, Harga jual produk adalah Rp 2,500.-, sehingga margin keuntungan adalah sekitar 39%. e. Analisis Kriteria dan Break Even Point (BEP) Kriteria kelayakan usaha yang digunakan adalah Payback Period (PBP), Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Break Even Point (BEP). Untuk memperoleh nilai dari kriteria tersebut, diperlukan suatu arus kas (cash flow), yang dapat dilihat pada Lampiran 34. Hasil analisis finansial untuk kriteria kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Kriteria kelayakan usaha sorgum flakes Kriteria Nilai NPV (Net Present Value) Rp 30,413,824,- IRR (Internal Rate Return) 14% Net B/C (Net Benefit Cost) 1.01 PP (Payback Period) 4 tahun 25 hari 52

Lampiran 1. Formula yang dicobakan pada penelitian pendahuluan a. Trial 1

Lampiran 1. Formula yang dicobakan pada penelitian pendahuluan a. Trial 1 LAMPIRAN Lampiran 1. Formula yang dicobakan pada penelitian pendahuluan a. Trial 1 Bahan Jumlah (%) 1 2 3 4 5 6 Tepung sorghum 40 mesh 100 80 70 - - - Tepung sorghum 60 mesh - - - 100 80 70 Tepung kacang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat Dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstruder ulir ganda (Berto Industries), vibrating screen, pin disc mill, alat penyosoh, alat bantu (baskom,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI. Oleh :

PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI. Oleh : PENGARUH PROPORSI TEPUNG TERIGU : PISANG TANDUK KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR TERHADAP KUALITAS CAKE SKRIPSI Oleh : PRAPTI AKHIRININGSIH NPM : 0533010001 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Pasca penggilingan padi jumlah asam lemak bebas pada bekatul meningkat dengan cepat (Ubaiddilah, 2010; Budijanto et al., 2010; Damardjati et al., 1990).

Lebih terperinci

1. Formulasi mellorin serta analisa sifat fisik dan proksimat.

1. Formulasi mellorin serta analisa sifat fisik dan proksimat. III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian dilakukan di PT. Indolakto Sukabumi dan pelaksanaan analisa proksimat dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan (1.7) Tempat dan Waktu Penelitian. Jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Plerotus

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan (1.7) Tempat dan Waktu Penelitian. Jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Plerotus I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Roseria Anggiarini Lestari NPM

SKRIPSI. Oleh : Roseria Anggiarini Lestari NPM EFEKTIFITAS GLISEROL MONOSTEARAT (GMS) TERHADAP MUTU DONAT LABU KUNING SKRIPSI Oleh : Roseria Anggiarini Lestari NPM. 0333010021 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER Suhardi dan Bonimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Jagung adalah salah satu bahan pangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK Pengukuran kadar air menir jewawut dimaksudkan untuk melihat apakah kadar air dari menir

Lebih terperinci

PEMBUATAN ROTI TAWAR BERSERAT TINGGI DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BEKATUL DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI

PEMBUATAN ROTI TAWAR BERSERAT TINGGI DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BEKATUL DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI PEMBUATAN ROTI TAWAR BERSERAT TINGGI DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BEKATUL DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI Oleh : WAHYU SETIOWATI NPM : 0533010015 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM MESIN DAN KONDISI PENGOPERASIAN EKSTRUDER Mesin ekstruder yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis mesin ektruder berulir ganda (Twin Screw Extruder).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam proses ekstrusi dan pre-conditioning adalah gritz jagung, tepung gandum, tepung beras, minyak dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jewawut, pencampuran bahan-bahan, mencetak/membentuk choco chip,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jewawut, pencampuran bahan-bahan, mencetak/membentuk choco chip, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Hasil.1.1 Proses pembuatan choco chip jewawut Pembuatan Choco chip jewawut diawali dengan pembuatan tepung jewawut, pencampuran bahan-bahan, mencetak/membentuk choco chip,

Lebih terperinci

BAB III METODE PELAKSANAAN

BAB III METODE PELAKSANAAN BAB III METODE PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan Proses Produksi yang berjudul Proses Produksi Flakes Bekatul dilaksanakan mulai bulan April 2016 sampai bulan Mei 2016 di Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan (April 2009 Juni 2009) di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Laboratorium pengolahan pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PEMBUATAN MIE SUKUN (KAJIAN SUBTITUSI SUKUN KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR) SKRIPSI. Oleh : INDARTY WIJIANTI

PEMBUATAN MIE SUKUN (KAJIAN SUBTITUSI SUKUN KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR) SKRIPSI. Oleh : INDARTY WIJIANTI PEMBUATAN MIE SUKUN (KAJIAN SUBTITUSI SUKUN KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR) SKRIPSI Oleh : INDARTY WIJIANTI 0533010013 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biskuit Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu atau

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial bertujuan untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan dalam perencanaan suatu industri melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan

Lebih terperinci

PEMBUATAN MENTEGA BUAH NAGA (KAJIAN EKSTRAK BUAH NAGA : KONSENTRASI SORBITOL) SKRIPSI. Oleh : IRA HERU PURWANINGSIH NPM :

PEMBUATAN MENTEGA BUAH NAGA (KAJIAN EKSTRAK BUAH NAGA : KONSENTRASI SORBITOL) SKRIPSI. Oleh : IRA HERU PURWANINGSIH NPM : PEMBUATAN MENTEGA BUAH NAGA (KAJIAN EKSTRAK BUAH NAGA : KONSENTRASI SORBITOL) SKRIPSI Oleh : IRA HERU PURWANINGSIH NPM : 0533310039 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemasok utama kakao dunia dengan persentase 13,6% (BPS, 2011). Menurut

I. PENDAHULUAN. pemasok utama kakao dunia dengan persentase 13,6% (BPS, 2011). Menurut I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama kakao

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah grit jagung berukuran 24 mesh, tepung beras, tepung gandum, tepung kentang, bubuk coklat, garam, pemanis, pengembang,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung terigu nasional pada tahun 2011, 2012,

Lebih terperinci

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGOLAHAN BAHAN BAKU IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG Tujuan dari penepungan pisang ini adalah untuk meningkatkan umur simpan pisang dan memberikan karakteristik banana bars yang

Lebih terperinci

VII. RENCANA KEUANGAN

VII. RENCANA KEUANGAN VII. RENCANA KEUANGAN Rencana keuangan bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Untuk melakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI Oleh : Keny Damayanti NPM.0533010023 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2016 di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan sifat kimianya. HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Sorghum Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan Sifat Fisik Tepung Sorghum Sifat fisik tepung sorghum yang dianalisis meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack merupakan suatu jenis produk pangan sebagai makanan selingan yang umumnya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan umumnya dikonsumsi di antara waktu makan pagi, siang,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab I akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KARAGENAN DAN ASAM SITRAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TAHU

PEMANFAATAN KARAGENAN DAN ASAM SITRAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TAHU PEMANFAATAN KARAGENAN DAN ASAM SITRAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TAHU SKRIPSI Oleh : Windi Novitasari NPM. 0333010002 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI LABU KUNING : TEPUNG TAPIOKA DAN PENAMBAHAN NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP KARAKTERISTIK KERIPIK SIMULASI LABU KUNING SKRIPSI

PENGARUH PROPORSI LABU KUNING : TEPUNG TAPIOKA DAN PENAMBAHAN NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP KARAKTERISTIK KERIPIK SIMULASI LABU KUNING SKRIPSI PENGARUH PROPORSI LABU KUNING : TEPUNG TAPIOKA DAN PENAMBAHAN NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP KARAKTERISTIK KERIPIK SIMULASI LABU KUNING SKRIPSI Disusun oleh : Andre Dian Permana NPM : 0333010047 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 13 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Analisis makanan, Laboratorium pengolahan pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI Proses Ekstrusi: adalah perlakuan kombinasi dari proses tekanan, gesekan, dan suhu dalam waktu yang bersamaan dalam suatu ulir yang bergerak. To Extrude : artinya membentuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap Persiapan Penelitian Tahap persiapan penelitian adalah tahap persiapan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies jagung yaitu tepung jagung. Kondisi bahan baku

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PEMBUATAN BERAS ANALOG Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pencampuran, pregelatinisasi, ekstrusi, dan pengeringan. Proses persiapan bahan meliputi persiapan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Tepung Bumbu Ayam Goreng Pada proses pengolahan tepung bumbu ayam goreng, formula dasar diperoleh dari hasil survei dari internet dan buku yang kemudian dimodifikasi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN. ( Food Bar )

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN. ( Food Bar ) LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN ( Food Bar ) Oleh : Nama NRP Kelompok Meja Tanggal Praktikum Asisten : Lutfi Hanif : 143020097 :D : 02 (

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Penepungan Kacang Tunggak Kacang tunggak yang akan digunakan dalam pembuatan cookies harus terlebih dahulu ditepungkan. Kacang tunggak ditepungkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

PEMBUATAN ROTI TAWAR DENGAN PROPORSI TEPUNG BERAS HITAM : TEPUNG TERIGU DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI

PEMBUATAN ROTI TAWAR DENGAN PROPORSI TEPUNG BERAS HITAM : TEPUNG TERIGU DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI PEMBUATAN ROTI TAWAR DENGAN PROPORSI TEPUNG BERAS HITAM : TEPUNG TERIGU DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI oleh : Fitria Andhika Putri NPM : 0833010017 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PELAKSANAAN

BAB III METODE PELAKSANAAN BAB III METODE PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Proses pembuatan dari Tape Ketan Beta karoten ini akan dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 1 Mei 2015 pukul 09.00-17.00 di Jln. Gombang alas

Lebih terperinci

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses BAB III PEMBAHASAN Pembuatan mie kering umumnya hanya menggunakan bahan dasar tepung terigu namun saat ini mie kering dapat difortifikasi dengan tepung lain agar dapat menyeimbangkan kandung gizi yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Ganyong Tahapan pembuatan tepung ganyong meliputi pemilihan bahan, pengupasan bahan, pembersihan dan pencucian ganyong, serta proses pengeringan dengan drum dryer.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Usaha Mi Ayam Bapak Sukimin yang terletak di Ciheuleut, Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku pembuatan biodegradable foam terdiri atas tapioka komersial yang dapat diperoleh di pasar dan ampok jagung yang diperoleh dari sisa pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Gaplek Menurut Soetanto (2008), umbi ketela atau singkong umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Pada penelitian ini bahan dasar tepung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci