BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada"

Transkripsi

1 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada sekitar pukul WIB dan aktivitas berhenti pada sekitar pukul WIB. Waktu terawal dimulainya masa aktif untuk kukang Jawa dalam pengamatan adalah pukul WIB sedangkan waktu terlama diawalinya masa aktif adalah pukul WIB. Waktu terawal diakhirinya masa aktif selama pengamatan adalah pukul 4.55 WIB sedangkan waktu terlama diakhirinya masa aktif adalah pada pukul 6.05 WIB. 1. POLA AKTIVITAS NOKTURNAL KUKANG JAWA Berdasarkan pengujian statistika menggunakan Shapiro-Wilk test, ketiga pasangan kukang Jawa (PK1, PK2, dan PK3) memiliki data yang berdistribusi normal untuk keempat aktivitas nokturnal. a. Makan (feeding) Hasil perhitungan dengan student t-test menunjukkan persentase feeding antara jantan dan betina PK2 dan PK3 memberi perbedaan yang cukup signifikan dengan persentase rerata jantan dan betina bernilai 11,86% dan 9,75% dari masa aktif dengan nilai p < /2. Hasil perhitungan dengan 24

2 25 student t-test untuk jantan dan betina PK1 tidak menunjukkan perbedaan dengan nilai p > /2 (Gambar 7). Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jantan dan betina PK2 dan PK3, tetapi tidak dapat perbedaan pada PK1. b. Aktif Sendiri Hasil perhitungan dengan student t-test menunjukkan persentase aktif sendiri antara jantan dan betina untuk ketiga pasang kukang Jawa (PK1, PK2, dan PK3) memberi perbedaan yang cukup signifikan (Gambar 8). Nilai rata-rata persentase aktif sendiri untuk jantan dan betina adalah 46,26% dan 35,64% dari masa aktif. Hasil menunjukkan bahwa jantan memiliki persentase aktif sendiri yang lebih besar daripada betina dengan p < /2. c. Non-Aktif Hasil perhitungan dengan student t-test menunjukkan persentase nonaktif antara jantan dan betina untuk ketiga pasang kukang Jawa memberi perbedaan yang cukup signifikan (Gambar 9). Nilai rata-rata persentase rerata non-aktif untuk jantan dan betina adalah 32,88% dan 45,77% dari masa aktif dengan nilai p < /2. Hasil menunjukkan bahwa betina memiliki persentase non-aktif yang lebih besar daripada jantan.

3 26 d. Interaksi Sosial Interaksi sosial yang diamati dapat terjadi antar individu dalam pasangan maupun bukan dalam pasangan. Hasil perhitungan dengan student t-test menunjukkan persentase interaksi sosial antara jantan dan betina untuk PK3 memberi perbedaan yang cukup signifikan dengan persentase jantan dan betina bernilai 11,48% dan 8,18% dari masa aktif dengan nilai p < /2. Hasil perhitungan dengan student t-test menunjukkan persentase interaksi sosial antara jantan dan betina PK1 dan PK2 tidak menunjukkan perbedaan dengan nilai p > /2 (Gambar 10). Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jantan dan betina PK3 dan tidak terdapat perbedaan antara jantan dan betina PK1 dan PK2. 2. PERILAKU SOSIAL DALAM PASANGAN Berdasarkan pengujian statistika menggunakan Shapiro-Wilk test, ketiga pasangan kukang Jawa (PK1, PK2, dan PK3) memiliki data yang berdistribusi normal untuk aktivitas vokalisasi dan allo-grooming. Aktivitas mendekat, mengikuti, kontak, dan bermain tidak berdistribusi normal. Hasil perhitungan dengan uji Anova untuk aktivitas dengan distribusi normal menyatakan bahwa terdapat perbedaan aktivitas vokalisasi dan allogrooming untuk ketiga pasang kukang Jawa dengan p< /2. Hasil uji Kruskal-Wallis pada aktivitas yang tidak berdistribusi normal untuk ketiga pasangan menunjukkan bahwa aktivitas mengikuti, kontak, dan bermain

4 27 berbeda untuk ketiga pasang kukang Jawa, dan tidak terdapat perbedaan untuk aktivitas mendekat. Aktivitas Agresi hanya ditemukan pada PK3 dan aktivitas inverted embrace hanya ditemukan pada PK2. Tidak ditemukan aktivitas mount maupun kopulasi pada ketiga pasang kukang tersebut (Gambar 11). B. PEMBAHASAN Masa aktif kukang dalam kandang rehabilitasi sesuai dengan pendapat Nekari (2001) dan Wiens (2002). Menurut Nekaris (2001: 223), masa aktif kukang dimulai saat matahari terbenam, sedangkan penurunan aktivitas akan terjadi secara drastis beberapa saat sebelum matahari terbit (Nekaris 2001: 223). Menurut Wiens (2002: 30), kukang merupakan Primata nokturnal yang aktif tak lama setelah matahari terbenam di alam. Menurut Bearder (lihat Smuts dkk. 1987: 13), kukang pada umumnya akan meninggalkan titik istirahatnya setelah matahari terbenam dan kembali lagi sebelum matahari terbit, dan seringkali berhubungan dengan level intensitas cahaya. 1. POLA AKTIVITAS NOKTURNAL KUKANG JAWA a. Makan (feeding) Berdasarkan pengamatan, jantan PK2 dan PK3 memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan betina. Pada hari ke-11 pengambilan

5 28 data, jantan dari PK1 mengalami iritasi kulit sehingga mengalami sedikit penurunan selera makan. Menurut Mench dan Kreger (lihat Kleiman dkk. 1996: 10), ketersediaan pakan di dalam kandang merupakan sebuah keseragaman kondisi sehingga tidak terjadi kompetisi dalam mencari pakan seperti di alam. Setiap malam, diberikan jangkrik sejumlah 20 ekor untuk setiap pasangan dengan asumsi setiap individu mengkonsumsi 10. Meski demikian, pada pengamatan jantan lebih banyak mengkonsumsi jangkrik yang disediakan dibandingkan betina. Persentase yang lebih tinggi pada jantan kemungkinan besar ada hubungannya dengan persentase aktif sendiri yang lebih tinggi pada jantan dari betina (Jones 2005: 80). Berdasarkan pengamatan, waktu yang digunakan untuk memakan jangkrik lebih lama daripada waktu yang digunakan untuk memakan buahbuahan. Meski demikian, menurut Barrett (lihat Bottcher-Law dkk. 2001: 52), buah-buahan merupakan konsumsi terbesar kukang di alam saat waktu feeding. Kukang di alam akan melakukan teknik-teknik foraging untuk meningkatkan efisiensi feeding dan untuk mengeksploitasi mangsa yang tersedia secara maksimal (Kumara dkk. 2005: 116). b. Aktif Sendiri dan Non-aktif Perilaku yang digolongkan sebagai aktivitas sendiri oleh pengamat dapat berupa lokomosi, menelisik sendiri (auto-grooming), urinasi, dan defekasi. Berdasarkan pengamatan, aktivitas pertama yang umumnya

6 29 dilakukan oleh kukang setelah meninggalkan titik istirahatnya adalah melakukan aktivitas sendiri berupa menelisik diri sendiri (auto-grooming). Hasil pengamatan menunjukkan jumlah presentase aktif sendiri yang tinggi untuk kukang Jawa diperoleh pada pukul WIB. Menurut Nekaris (2001: 233), kukang akan sangat aktif dari pukul hingga pukul Berdasarkan perhitungan menggunakan student t-test, terdapat perbedaan yang signifikan untuk aktivitas aktif sendiri dan non-aktif antara jantan dan betina. Berdasarkan pengamatan dan grafik, terlihat bahwa jantan memiliki persentase aktif sendiri yang lebih besar daripada betina, sedangkan betina memiliki persentase non-aktif yang lebih besar daripada jantan. Menurut Johnson dan Everitt (2000: 19), perbedaan jenis kelamin pada Primata seringkali dapat dicerminkan melalui perilaku. Perkembangan otak antara jantan dan betina pada umunya mengalami perkembangan yang berbeda sehingga pada akhirnya menghasilkan kadar hormon yang juga berbeda. Kadar hormon yang berbeda tersebut akhirnya menghasilkan perbedaan pola perilaku (Johnson dan Everitt 2000: 21). Jones (2005: ) menjelaskan bahwa betina pada umumnya bersifat sebagai penyimpan energi (energy maximizers) sehingga betina pada umumnya memiliki perilaku yang lebih pasif. Primata betina memiliki investasi yang cukup besar dalam aktivitas-aktivitas reproduksi antara lain adalah mengasuh anak. Berbeda halnya dengan betina, Primata jantan

7 30 bersifat sebagai penghemat waktu (time maximizers), sehingga jantan pada umumnya memiliki perilaku yang lebih agresif. Primata jantan memiliki investasi yang lebih sedikit dalam aktivitas reproduksi dan pengasuhan anak karena memiliki variasi tinggi dalam kesuksesan bereproduksi (Jones 2005: ). Pada hari ke-11 pengambilan data, jantan dari PK1 mengalami iritasi kulit yang tidak dapat diketahui penyebabnya, sehingga sebagian besar aktivitasnya digunakan untuk melakukan aktivitas sendiri dengan menggaruk bagian tubuhnya yang luka hingga rambut menjadi rontok (Gambar 12). Kukang jantan tersebut kemudian dioleskan obat amoxylin dan gentamicin pada bagian-bagian tubuh yang luka dan dianggap mengalami iritasi. Diduga pada awalnya bahwa kukang jantan tersebut memiliki sebuah penyakit kulit. Salah satu kekurangan kandang rehabilitasi adalah mudahnya terjadi penyebaran penyakit menular dan hal tersebut merupakan hal yang ditakutkan terjadi pada PK1, namun penyakit iritasi kulit pada jantan PK1 ternyata tidak menular. Hingga akhir pengamatan, iritasi kulit pada jantan tersebut tidak kunjung sembuh dan kondisi jantan yang sedemikian rupa belum diketahui penyebabnya dan belum diberi perawatan lebih lanjut. c. Interaksi Sosial Berdasarkan perhitungan menggunakan student t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk aktivitas interaksi sosial pada PK1 dan PK2, sedangkan terdapat perbedaan untuk PK3. Ketiga pasang kukang Jawa

8 31 tersebut memiliki posisi dan kondisi kandang yang berbeda-beda dalam karantina (Gambar 13). PK1 berada dalam kandang yang diapit antara kandang kukang Jawa betina yang tidak berpasangan dan kandang PK2. Di antara setiap kandang telah dilapisi oleh lapisan fiber yang berfungsi untuk mengurangi interaksi antar kandang. Meski demikian, lapis fiber tersebut telah dibuka oleh kukang Jawa betina yang tidak berpasangan, sehingga terdapat interaksi antara PK1 dengan kukang Jawa betina di kandang tetangga. Berdasarkan pengamatan, baik jantan maupun betina dari PK1 melakukan interaksi dengan kukang Jawa betina tetangganya. Sekitar 11,1% dari aktivitas interaksi sosial jantan maupun sosial betina dihabiskan bersama kukang Jawa betina tetangganya. Berbeda dengan keadaan di kandang, kegiatan interaksi sosial yang dijumpai di alam merupakan ± 3 % dari masa aktifnya (Wiens dan Zitzmann 2003: 40). Antara jantan PK1 dengan betina kandang sebelah ditemukan perilaku allo-grooming dan social play, sedangkan antara betina PK1 dengan betina tetangganya ditemukan perilaku allo-grooming, contact, dan terkadang agresi. Menurut Vitale dan Manciocco (2004: ), apabila pasangan tersebut dapat melihat atau melakukan kontak dengan individu lain sejenisnya, ada kemungkinan terjadinya perilaku agresi terhadap kompetitor seksualnya. Kukang Jawa PK2 juga diapit oleh kandang kukang Jawa PK1 dan kukang Jawa betina. Meski demikian, tidak ada upaya dari individu-individu PK2 untuk membuka fiber. Meski ada celah di bagian belakang kandang

9 32 yang dapat memungkinkan interaksi antara PK1 dengan PK2, pengamat tidak menemukan perilaku sosial apapun antara kedua pasang kukang tersebut, hanya saja jantan dari PK1 dan jantan dari PK2 seringkali ditemukan di dekat celah tersebut. Sebelum pengambilan data, kukang Jawa PK2 berada dalam kandang yang berbeda dan terisolasi dari kukang-kukang lainnya dan kemudian dipindahkan karena kondisi kandang sebelumnya telah rusak. Menurut Watts dan Meder (lihat Kleiman dkk. 1996: 69), beberapa jenis hewan termasuk Primata membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dalam perpindahan kandang. Berbeda halnya dengan kukang Jawa PK1 dan PK2, kukang Jawa PK3 berada dalam kandang yang berseberangan dengan individu kukang Jawa lainnya meski kemungkinan masih dapat melihat namun tidak dapat melakukan interaksi. Meski demikian, kukang Jawa PK3 memiliki letak kandang yang berada di sebelah pasangan jantan dan betina kukang Sumatera. Lapisan fiber yang melapisi antar kandang juga telah dibuka oleh individu-indidividu kukang tersebut sehingga memungkinkan terjadinya perilaku antar kandang. Selama pengamatan, tidak ditemukan interaksi antara betina kukang Jawa PK3 dengan pasangan kukang Sumatera di kandang sebelah, namun seringkali dijumpai interaksi antara jantan kukang Jawa PK3 dengan kukang Sumatera jantan disebelahnya. Sekitar 16,05% dari aktivitas interaksi sosial kukang Jawa jantan PK3 dihabiskan untuk berinteraksi dengan kukang Sumatera jantan dari kandang sebelah. Perilaku

10 33 yang umumnya dijumpai adalah perilaku agresi. Perilaku agresi pada umumnya dijumpai antara 2 individu dengan jenis kelamin yang sama (Vitale dan Manciocco 2004: ). 2. PERILAKU SOSIAL DALAM PASANGAN Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan perilaku sosial antara ketiga pasang kukang Jawa untuk setiap parameter perilaku. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan tingkat keselarasan antara jantan dan betina. Menurut Watts dan Meder (lihat Kleiman dkk. 1996: 69), memonogamikan hewan jantan dan betina dalam satu kandang pada umumnya akan dijumpai perilaku-perilaku sosial, namun belum tentu di antara individu tersebut ada keselerasan antara satu dengan yang lainnya untuk melakukan perilaku seksual. Kukang merupakan hewan soliter yang sistem kawinnya belum diketahui dengan jelas meski diduga sebagai hewan dengan sistem kawin acak (promiscuity) (Wiens dan Zitzmann 2003: 42). Menurut Muller dan Thalmann (lihat Wiens dan Zitzmann 2003: 35), pada hewan soliter, individu dapat berada pada wilayah yang sama karena adanya beberapa keuntungan-keuntungan intrinsik yang didapatkan secara langsung. Keadaan yang dijumpai hewan soliter pada keadaan seperti itu dapat terjadi meski jarang terjadi interaksi antar individu.

11 34 a. Agresi Perilaku agresi ditemukan pada PK3 sedangkan, pada PK1 dan PK2 tidak ditemukan. Menurut Vitale dan Manciocco (2004: ), perilaku agresi jarang sekali terjadi pada pasangan jantan dan betina dan pada umumnya terjadi antara sesama kelamin baik itu sesama jantan maupun sesama betina. Dalam 20 hari pengamatan, perilaku agresi antara jantan dan betina PK3 hanya dijumpai 2 kali. Perilaku agresi yang dijumpai pada pasangan hanya berupa Manual defensive threat dan Assertion. Manual defensive threat merupakan peristiwa mendorong, menarik, atau memukul dengan tangan satu individu terhadap individu lainnya, sedangkan assertion merupakan peristiwa saat satu individu merebut makanan dari individu lainnya (Bottcher-Law dkk. 2001: ). Adanya perilaku agresi yang terjadi pada PK3 dapat memberi asumsi bahwa terdapat ketidak-selarasan antara jantan dan betina pada pasangan tersebut. Tidak terdapatnya perilaku agresi antara jantan dan betina pada PK1 dan PK2 memberi asumsi bahwa terdapat keselarasan pada kedua pasangan tersebut. b. Vokalisasi Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perilaku vokalisasi terbesar dilakukan oleh PK2 dan PK1, sedangkan PK3 jarang sekali melakukan vokalisasi. Vokalisasi dalam pasangan seringkali terjadi sebelum masa

12 35 istirahatnya pada pagi hari. Berdasarkan pengamatan, tidak ditemukan vokalisasi berupa pant-growl namun vokalisasi yang ditemukan adalah vokalisasi alternate click-calls. Komunikasi antara individu kukang pada umumnya dilakukan melalui sinyal-sinyal kimiawi dan vokalisasi (Radhakrisna dan Singh 2002: 181). Menurut Wiens dan Zitzmann (2003: 41), ada 2 jenis vokalisasi yaitu vokalisasi pant-growl yang lebih merujuk ke arah agresi, dan vokalisasi alternate click-calls yang pada umumnya dilakukan sebelum kukang istirahat di menjelang pagi dan kukang akan merapat satu sama lain dengan posisi sleeping ball sambil melakukan vokalisasi tersebut. Adanya vokalisasi clickcalls menunjukkan perilaku kekerabatan antara individu kukang. c. Mendekat, mengikuti, dan kontak Berdasarkan pengamatan, perilaku mendekat, mengikuti dan kontak terdapat pada PK1, PK2 dan PK3. Perilaku kontak pada umumnya ditemukan saat individu sedang istirahat bersama atau masing-masing individu melakukan auto-grooming bersebelahan dan bukan allo-grooming (Bottcher- Law dkk. 2001: 9). Menurut Southwick dan Siddiqi (1974: 404), ketiga perilaku di atas termasuk ke dalam perilaku close-contact. Perilaku close-contact merupakan salah satu faktor penting dan dominan dalam rangka meningkatkan keeratan hubungan sosial hewan. Adanya perilaku mendekat, mengikuti dan kontak menunjukkan menunjukkan adanya keselarasan antar dua individu kukang.

13 36 d. Bermain (social play) dan Eksplorasi Sosial (social explore) Berdasarkan hasil pengamatan, social play dan social explore terdapat pada PK1, PK2 maupun PK3. Perilaku social play yang diamati seringkali tampak agresif dan dilakukan dengan cara satu individu yang mencoba menggigit atau menyerang individu lainnya sambil kedua individu kukang menggantung di atas kawat kandang. Perilaku social play dilakukan kukang dengan cara menggantung dan seringkali tampak seperti agresi namun tanpa adanya vokalisasi (Bottcher-Law dkk. 2001: 23). Meski terlihat seperti berkelahi, peristiwa bermain bersama tidak berakhir dengan adanya pemenang pada akhirnya dan juga diselingi oleh allo-grooming. Berbeda halnya dengan social play, perilaku social explore merupakan peristiwa saling mencium tubuh satu sama lain yang dimulai dari bagian kepala hingga ke bagian dorsal (Bottcher-Law dkk. 2001: 14). Menurut Southwick dan Sidiqqi (1974: 404), kedua aktivitas tersebut termasuk perilaku yang dapat menunjukkan interaksi sosial yang positif dan dapat menciptakan keeratan hubungan sosial. Adanya perilaku social play dan social explore memperlihatkana adanya keselarasan antar individu kukang. e. Saling menelisik (allo-grooming) Hasil menunjukkan perilaku allo-grooming terdapat pada PK1, PK2 dan PK3. Allo-grooming merupakan perilaku pasangan yang sering ditemui di dalam kandang rehabilitasi. Di antara hewan Prosimii, allo-grooming

14 37 merupakan perilaku interaksi sosial yang cukup sering dijumpai (Southwick dan Siddiqi 1974: 405). Perilaku allo-grooming merupakan interaksi positif antar individu (Wiens dan Zitzmann 2003: 41). Menurut Alexander (lihat Wiens dan Zitzmann 2003: 43), auto-grooming maupun allo-grooming dapat mereduksi jumlah ektoparasit. Menurut Southwick dan Siddiqi (1974: ), perilaku allogrooming diasumsikan sebagai perilaku kooperatif bergabung tersebut akan menghasilkan keuntungan bagi kedua individu. Allo-grooming selain berfungsi sebagai faktor dalam higienitas hewan, juga memiliki peran sosial dan komunikatif yang cukup besar dalam menjaga keharmonisan antara individu yang berada dalam proksimitas yang cukup dekat seperti dalam satu kandang. Allo-grooming selain dapat mereduksi parasit yang terdapat pada bulu hewan, juga meningkatkan keeratan hubungan antar individu (Wiens dan Zitzmann 2003: 44). Adanya allo-grooming menandakan adanya atraktivitas dan keselarasan antar individu. f. Saling menelisik dengan posisi terbalik (Inverted Embrace) Satu-satunya pasangan yang diamati telah melakukan inverted embrace hanyalah PK2. Selama pengamatan 20 hari, peristiwa inverted embrace hanya dijumpai 2 kali dalam waktu yang cukup singkat (± 1 menit). Inverted embrace merupakan perilaku yang menandakan adanya perilaku seksual diantara jantan dan betina.

15 38 Peristiwa inverted embrace ditunjukkan dengan adanya satu individu bergantung terbalik dan individu lain bergantung tegak sambil menyentuh dan menjilat daerah kelamin pasangan (Bottcher-Law dkk. 2001: 14). Penjilatan daerah kelamin pada umumnya dilakukan oleh jantan terhadap betina untuk mendeteksi bau feromon yang terdapat pada alat kelamin betina. Bau feromon merupakan bau yang menandakan masa reseptivitas betina terhadap jantan. Menurut Hadley (2000: 11 dan 465), feromon merupakan senyawa kimia yang diproduksi oleh individu dan dikirim melalui udara yang kemudian diterima oleh pasangan dalam satu jenis melalui organ olfaktori dan indra penciuman. Adanya perilaku inverted embrace menunjukkan adanya atraktivitas dan proreseptivitas dalam pasangan yang dapat menuju ke perilaku-perilaku seksual berikutnya. Meski demikian, perilaku seksual tersebut tidak dilanjutkan karena betina tidak berada dalam masa reseptif. g. Menaiki (Mounting) dan Kopulasi Selama pengamatan, tidak dijumpai perilaku mounting maupun kopulasi. Kemungkinan besar hal tersebut disebabkan oleh masa pengamatan yang tidak berada pada masa estrus betina. Selama periode pengamatan tidak dijumpai indikasi perilaku yang kemungkinan mengarah ke estrus betina dengan adanya perilaku reseptivitas dari betina.

16 39 Siklus estrus kukang betina hanya berlangsung selama ±40 hari dan diantaranya terdapat masa estrus yang berlangsung hanya 1--2 hari (Wiens dan Zitzmann 2003: 42). Menurut Izard dkk. (1988: 331), laju suksesi reproduksi pada kukang sangat rendah di dalam penangkaran dan kemungkinan besar disebabkan karena kukang tidak berada pada kondisi aslinya di alam. Kondisi kandang menjadi faktor utama suksesi reproduksi kukang di penangkaran, dan hingga saat ini belum ditemukan perilaku reproduksi tersebut di karantina PPS. Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh kondisi kandang yang kurang menunjang munculnya perilaku reproduksi (Bottcher-Law dkk. 2001: 82). 3. PERBEDAAN POLA AKTIVITAS KUKANG JAWA DI KANDANG DENGAN DI ALAM Berdasarkan pengamatan, terdapat perbedaan aktivitas nokturnal antara jantan dan betina (Gambar 14) (Tabel 1). Perbedaan antara pola aktivitas di alam dengan di kandang juga didapatkan (Tabel 2). Penelitian Wiens (2002) terhadap kukang Jawa di alam menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola aktivitas jantan dan betina. Meski demikian menurut Jones (2005: 61, 79), dalam faktor lingkungan yang diperlukan adaptasi, perilaku antara jantan dan betina akan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan awal perilaku jantan dan betina terletak pada pengaturan sistem syaraf pusat yang dipengaruhi oleh kadar hormon yang berbeda

17 40 (Johnson dan Everitt 2000: 21). Selain itu, kemungkinan respon jantan dan betina terhadap lingkungan juga berbeda. Menurut Jones (2005: ), terletak pada perbedaan kemampuan untuk mengontrol kondisi lingkungannya dan berkaitan erat dengan strategi reproduksinya. Kukang Jawa yang berada dalam karantina Pusat Primata Schumtzer berasal dari perdagangan liar dan diasumsikan telah mengalami dinamika perilaku adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang sering berubah. Terjadinya perubahan pola aktivitas kukang Jawa dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kemampuan fleksibilitas kukang dalam beradaptasi dan kondisi kandang. Menurut Mench dan Kreger (lihat Kleiman dkk. 1996: 10), adanya perbedaan perilaku tersebut juga dapat disebabkan oleh kondisi habitat yang diciptakan dalam kandang. Menurut Bottcher-Law dkk. (2001: 82), kandang rehabilitasi dengan kondisi habitat yang baik bagi hewan, akan tercermin melalui pola aktivitasnya yang mirip dengan pola di alam. Meski demikian, adanya perbedaan yang ditemukan antara kandang dan alam menunjukkan bahwa kondisi kandang memungkinkan dapat ditemukannya perilaku yang tidak alami dan pada dasarnya tidak ditemukan di alam bebas namun dianggap menguntungkan dan normal dalam lingkungan kandang (Fitch-Snyder dan Schulze 2003: ; Schulze 2006: 1). Suatu perilaku dapat dikatakan abnormal apabila tidak memiliki fungsi, tujuan, atau keuntungan bagi individu, sebaliknya dapat merugikan atau membahayakan individu (Schulze 2006: 1).

18 41 Kandang kukang yang terdapat di karantina PPS berukuran panjang 2 m, lebar 2,2 m, dan tinggi 2,5 m dan cukup menyerupai ukuran kandang minimal kukang berdasarkan Bottcher-Law dkk. (2001: 71) yang seharusnya berukuran panjang 2,5 m, lebar 2,5 m, dan tinggi 2,5 m. Menurut Mench dan Kreger (lihat Kleiman dkk. 1996: 13), perilaku pada umumnya dipengaruhi oleh luas dan kondisi lingkungan. Luas ruangan yang sesuai merupakan faktor yang penting. Keterbatasan wilayah berpengaruh terhadap responsi hewan ke lingkungan sekitarnya. Kandang seluruhnya berupa terali besi dan terdapat dalam ruangan karantina. Setengah dari bagian atas kandang terbuka, sehingga cuaca dan suhu dipengaruhi kondisi alam dan dapat mempengaruhi hewan tersebut. Selama pengamatan 20 hari, fluktuasi cuaca di Jakarta Selatan tidak cukup stabil dan diantara 20 hari tersebut ada beberapa hari saat terdapat hujan yang cukup deras. Suhu tertinggi yang terjadi pada malam hari adalah 28 C sedangkan suhu terendah yang terjadi adalah 20 C. Suhu tersebut cukup sesuai dengan kandang kukang yang seharusnya memiliki nilai minimum 18,5 C dan maksimum 30,5 C (Bottcher-Law dkk. 2001: 71). Berbeda dengan suhu, nilai kelembaban di karantina PPS hampir selalu stabil dengan nilai 90%, sedangkan nilai kelembaban kandang yang sesuai dengan kukang adalah sekitar 70% (Bottcher-Law dkk. 2001: 78). Meski demikian, menurut Mench dan Kreger (lihat Kleiman dkk. 1996: 10), fluktuasi suhu yang tidak stabil dan kondisi cuaca yang tidak menentu tersebut sepenuhnya mempengaruhi kondisi dan perilaku kukang-kukang di

19 42 karantina tersebut yang hanya dapat mengandalkan sistem immunitas yang berbeda-beda untuk setiap individu. Secara umum, keuntungan sebuah kandang rehabilitasi adalah tidak adanya predator maupun kompetitor (Bottcher-Law dkk. 2001: 82). Meski demikian, Menurut Hinshaw dkk. (lihat Kleiman dkk. 1996: 17), adanya campur tangan manusia dapat mengubah pola aktivitas kukang karena memicu tekanan atau meningkatkan rasa ketergantungan terhadap manusia. Kemungkinan yang dapat menjadi faktor peubah perilaku hewan adalah keberadaan manusia, baik itu pengamat maupun keeper. Kukang Jawa di Pusat Primata Schmutzer merupakan hasil sitaan dari perdagangan hewan liar. Beberapa perlakuan yang tidak layak telah dilakukan oleh para pedagang hewan liar terhadap individu-individu kukang tersebut, salah satu diantaranya adalah memotong atau mencabut gigi taring kukang untuk memberi kesan kepada pembeli bahwa kukang merupakan hewan yang tidak berbahaya dan layak dijadikan hewan peliharaan. Semua individu kukang di Pusat Primata Schmutzer sudah tidak lagi memiliki kondisi gigi yang baik dan hal itu memungkinkan terjadinya perubahan pola aktivitas. Menurut Hishaw dkk. (lihat Kleiman dkk. 1996: ), Kondisi kukang dengan gigi yang dipotong merupakan salah satu faktor besar dalam kesehatan. Kukang termasuk salah satu hewan yang sangat rentan terhadap penyakit periodontal. Gigi memiliki fungsi penting dalam kehidupan kukang selain untuk makan, namun digunakan juga untuk grooming dan pertahanan diri. Menurut Napier dan Napier (1985:40), ketidak-mampuan menggunakan

20 43 gigi dengan baik memicu terjadinya perubahan pola makan dan proses digestivus yang menurun. Proses digestivus yang menurun tersebut mengakibatkan kurangnya asupan energi sehingga dapat menjadi salah satu faktor atas ketidakberhasilan reproduksi di dalam kandang rehabilitasi. Menurut Vitale dan Manciocco (2004: 181), kondisi habitat yang sesuai dan nyaman bagi suatu spesies akan dapat mempertahankan perilaku yang sama atau tidak terlalu menyimpang dari perilakunya di alam. Seandainya kondisi habitat yang maksimal sudah dapat penuhi di kandang, maka kehidupan ataupun generasi hewan tersebut dapat diperpanjang (Bottcher- Law dkk. 2001: 82). Terdapatnya perubahan pola aktivitas nokturnal mencerminkan dinamika perilaku adaptasi pada kukang Jawa. Kukang Jawa yang ada di karantina Pusat Primata Schmutzer telah menyesuaikan diri ke dalam kondisi lingkungan yang sering berubah. Perubahan tersebut dimulai dari saat diambilnya kukang dari alam, perlakuan di dalam perdagangan liar dan perpindahan ke dalam kandang rehabilitasi. Kemungkinan besar proses adaptasi masih terus berubah hingga terbentuk pola aktivitas yang sudah teradaptasi dengan kandang rehabilitasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) merupakan Primata kecil nokturnal yang memiliki status konservasi yang tak pasti dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) Kukang (Nycticebus sp.) di dunia digolongkan dalam lima spesies, yaitu N. bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR LAMPIRAN... ix

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR LAMPIRAN... ix DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3.Tujuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. melakukan grooming. Pola perilaku autogrooming tidak terbentuk. dikarenakan infant tidak terlihat melakukan autogrooming.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. melakukan grooming. Pola perilaku autogrooming tidak terbentuk. dikarenakan infant tidak terlihat melakukan autogrooming. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Jumlah Waktu dan Frekuensi Grooming Monyet Ekor Panjang Pelaku pada perilaku grooming monyet ekor panjang adalah Jantan Dewasa (JD), Betina Dewasa (BD),

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. antara bulan Januari Maret 2014 dengan pengambilan data antara pukul

III. BAHAN DAN METODE. antara bulan Januari Maret 2014 dengan pengambilan data antara pukul III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih, Tanggamus, Lampung. Waktu penelitian berlangsung selama 3 bulan antara bulan Januari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris;

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 28 Januari 27 Februari 2015 bekerja sama

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 28 Januari 27 Februari 2015 bekerja sama 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada 28 Januari 27 Februari 2015 bekerja sama dan di bawah program PT. Taman Safari Indonesia didampingi oleh Bapak Keni Sultan,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kondisi Penangkaran Penangkaran Mamalia, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor terletak di Jalan Raya Bogor-Jakarta KM 46, Desa Sampora, Kecamatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pellet dilakukan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 18 hari (waktu efektif) pada bulan Maret 2015

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 18 hari (waktu efektif) pada bulan Maret 2015 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 18 hari (waktu efektif) pada bulan Maret 2015 di Taman Agro Satwa dan Wisata Bumi Kedaton, Bandar Lampung. Peta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi alon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Keadaan Umum

HASIL DA PEMBAHASA. Keadaan Umum Kondisi Hewan HASIL DA PEMBAHASA Keadaan Umum Kondisi kancil betina selama penelitian secara keseluruhan dapat dikatakan baik dan sehat. Kondisi yang sehat dapat dilihat dari bulunya yang mengkilat, cara

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

UJI KONSUMSI PAKAN dan AKTIVITAS MAKAN PADA KUKANG (Nycticebus coucang) SECARA Ex situ

UJI KONSUMSI PAKAN dan AKTIVITAS MAKAN PADA KUKANG (Nycticebus coucang) SECARA Ex situ UJI KONSUMSI PAKAN dan AKTIVITAS MAKAN PADA KUKANG (Nycticebus coucang) SECARA Ex situ Astuti Kusumorini, Sekarwati Sukmaningrasa, Risna Octaviani Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Penangkaran Rusa Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PPPKR) yang terletak di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding jalak bali dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Setianto, 2009). Cahaya sangat di perlukan untuk ayam broiler terutama pada

TINJAUAN PUSTAKA. (Setianto, 2009). Cahaya sangat di perlukan untuk ayam broiler terutama pada 7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cahaya Untuk Ayam Broiler Cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan ayam, karena cahaya mengontrol banyak proses fisiologi dan tingkah laku ayam (Setianto,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan ayam ras pedaging yang waktu pemeliharaannya relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam broiler perlu ditingkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paliyan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada kecamatan Paliyan, terdapat Suaka Margasatwa. Suaka Margasatwa

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup hewan. Bagi hewan, komunikasi digunakan untuk mencari pasangan, menandai wilayah kekuasaan/teritori,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Terrarium II Taman Margasatwa Ragunan (TMR), DKI Jakarta selama 2 bulan dari bulan September November 2011. 3.2 Materi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian studi perilaku dan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon Tikus sawah yang mempunyai habitat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Assolihin Aqiqah bertempat di Jl. Gedebage Selatan, Kampung Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini lokasinya mudah ditemukan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kecepatan moulting kepiting bakau Pengamatan moulting kepiting bakau ini dilakukan setiap 2 jam dan dinyatakan dalam satuan moulting/hari. Pengamatan dilakukan selama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit 17 PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit Efek Whitten merupakan salah satu cara sinkronisasi siklus berahi secara alami tanpa menggunakan preparat hormon. Metode

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Insektarium Balai Penelitian Marihat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di atas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Siregar, 2004). Penyakit

I. PENDAHULUAN. serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Siregar, 2004). Penyakit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Super Ayam kampung super merupakan hasil dari proses pemuliaan yang bertujuan untuk peningkatan produksi daging. Dalam jangka pendek metode persilangan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kita hidup di dunia ini dilengkapi dengan lima indra yaitu penglihatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kita hidup di dunia ini dilengkapi dengan lima indra yaitu penglihatan, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita hidup di dunia ini dilengkapi dengan lima indra yaitu penglihatan, pendengaran, sentuhan, perasa dan pembau. Dunia visual menggunakan indra penglihatan yang biasanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial

TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial Apis cerana merupakan serangga sosial yang termasuk dalam Ordo Hymenoptera, Famili Apidae hidup berkelompok membentuk koloni. Setiap koloni terdiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT Kupu-Kupu Taman Lestari dengan alamat Jalan Batu Karu, Sandan Lebah, Sesandan Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

PEMOTONGAN EKOR, IDENTIFIKASI, KASTRASI, DAN PEMBERIAN Fe PADA ANAK BABI LOU AYY ALZAMAKHSYARI D

PEMOTONGAN EKOR, IDENTIFIKASI, KASTRASI, DAN PEMBERIAN Fe PADA ANAK BABI LOU AYY ALZAMAKHSYARI D MK : Produksi Ternak Babi dan Kuda Dosen : Dr. Ir. Salundilk, M Si Asisten : Desmawita K Barus, S Pt, M Si Jadwal : Kamis, 07.00-10.00 WIB PEMOTONGAN EKOR, IDENTIFIKASI, KASTRASI, DAN PEMBERIAN Fe PADA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Domba dan Kambing Pemilihan Bibit

HASIL DAN PEMBAHASAN Domba dan Kambing Pemilihan Bibit HASIL DAN PEMBAHASAN Domba dan Kambing Domba dan kambing yang dipelihara di Kawasan Usaha Peternakan Berkah Sepuh Farm meliputi domba ekor tipis dan kambing kacang. Domba yang digunakan sebanyak 51 ekor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi (Daily behavior of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sriyanto dan Haryono (1997), satwa liar membutuhkan makan, air dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sriyanto dan Haryono (1997), satwa liar membutuhkan makan, air dan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Habitat Menurut Sriyanto dan Haryono (1997), satwa liar membutuhkan makan, air dan tempat berlindung dari teriknya panas matahari dan pemangsa serta tempat untuk bersarang, beristirahat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN (Menentukan Kisaran Preferensi terhadap Kondisi Suhu Lingkungan dan Kecenderungan Makanan) LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN 2015-2016 Asisten Koordinator : Rusnia J. Robo Disusun Oleh : Nama : Rynda Dismayana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre and post test with control group

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur. 23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kecamatan Cimalaka memiliki populasi kambing PE sebanyak 1.858 ekor. Keberadaan kambing PE di kecamatan Cimalaka diawali dengan adanya usaha pemanfaatan lahan kritis,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kukang jawa (Nycticebus javanicus) menurut Napier dan Napier (1967 & 1985) dan Rowe (1996) dalam Winarti (2011) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Februari 2012 di penangkaran rusa dalam kawasan Hutan Penelitian (HP) Dramaga milik Pusat Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 5. Bioekologi 5.1. Gerak (movement) Nematoda seringkali disebut sebagai aquatic animal, karena pada dasarnya untuk keperluan gerak sangat tergantung adanya film air. Film air bagi nematoda tidak saja berfungsi

Lebih terperinci