HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin
|
|
- Devi Atmadjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang kedua berisi dua ekor nyamuk betina dan seekor nyamuk jantan, sedangkan kandang ketiga berisi tiga ekor nyamuk betina dan seekor jantan. Dari hasil pengamatan, nyamuk jantan akan mendekati dan bergabung dengan nyamuk betina yang sedang terbang, kemudian pasangan nyamuk tersebut akan hinggap pada kain kassa yang menjadi dinding kandang. Pada kandang kedua dan ketiga nyamuk memperlihatkan perilaku kawin yang sama, nyamuk jantan akan mengawini satu persatu nyamuk betina yang sedang terbang. Menurut Christophers (1960) kopulasi nyamuk betina dapat terjadi beberapa kali sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk kopulasi sampai satu menit atau kurang. Waktu maksimum kopulasi terjadi pada saat nyamuk betina dan jantan bertemu untuk pertama kalinya. Biasanya kopulasi terjadi pada saat nyamuk betina dan nyamuk jantan keluar dari kawanan tersebut (Becker et al. 2003). Kopulasi dapat terjadi pada tempat yang sunyi, terkadang terjadi pada saat nyamuk betina sedang istirahat (Christophers 1960). Kopulasi merupakan hal yang komplek pada struktur reproduktif dari nyamuk betina dan jantan. Biasanya kopulasi akan memakan waktu kurang dari setengah menit untuk jantan mendepositkan spermatozoa pada bursa copulatrik nyamuk betina (Clements 1963). Dari hasil pengamatan, kopulasi membutuhkan waktu sekitar beberapa detik. Menurut Mullen dan Durden (2002) kopulasi dapat terjadi selama 12 detik sampai beberapa menit. Nyamuk betina hanya memerlukan satu kali kawin untuk menghasilkan telur. Nyamuk betina memilki sebuah kantung yang berfungsi untuk menyimpan sperma. Kantung tersebut dinamakan spermateka. Nyamuk betina akan menyimpan sperma dalam spermateka untuk menghasilkan beberapa kelompok telur tanpa kopulasi lebih lanjut. Produksi telur dikontrol oleh satu atau lebih hormon dari korpora allata, termasuk hormon juvenil yang bertindak dengan mengontrol tahapan-tahapan awal oogenesis dan penyimpanan kuning telur (Borror et al. 1992). Nyamuk betina memerlukan darah untuk perkembangan telur 18
2 dalam ovarium, nutrisi yang terdapat di dalam darah digunakan untuk proses vitellogenesis. Pada nyamuk hal ini merupakan prosedur normal karena nyamuk memilki sifat anautogenous (Service 1996). Menurut Becker et al. (2003) perkawinan pada nyamuk terjadi pada saat nyamuk betina memasuki kumpulan nyamuk jantan yang sedang terbang. Frekuensi suara yang dihasilkan nyamuk jantan pada saat terbang mencapai 600 cs -1. Sedangkan frekuensi suara yang dihasilkan oleh betina lebih rendah dibandingkan nyamuk jantan, yaitu sekitar cs -1 dan akan menurun ketika perkawinan berlangsung. Menurut Mullen dan Durden (2002) perkawinan terjadi pertama kali pada saat nyamuk keluar dari pupa. Nyamuk jantan akan membuat suatu kelompok sebagai penanda. Pada spesies Ae. aegypti dan Ae. albopictus nyamuk betina akan memasuki kelompok tersebut. Ketika nyamuk betina memasuki kelompok tersebut, nyamuk jantan akan mendeteksi karakteristik frekuensi gerakan sayap dari nyamuk betina melalui antena plumose nyamuk jantan. Variasi frekuensi suara yang dihasilkan sekitar Hz tergantung dari temperatur, spesies dan ukuran dari nyamuk betina. Frekuensi suara yang dihasilkan oleh nyamuk betina lebih rendah dibandingkan dengan nyamuk jantan sekitar Hz. Nyamuk jantan dan betina akan keluar dari kelompok tersebut dan terbang bersama-sama. Perkawinan dapat terjadi apabila nyamuk berasal dari spesies yang sama. Nyamuk jantan tidak akan merespon apabila nyamuk betina berasal dari spesies yang lain. Kopulasi dapat terjadi dengan berbagai posisi diantaranya posisi ventral to ventral dan posisi end to end. Posisi ventral to ventral terlihat nyamuk betina berada diatas nyamuk jantan sedangkan posisi end to end terjadi nyamuk betina dan nyamuk jantan saling membelakangi (Clements 1999). Dari pengamatan yang dilakukan, posisi nyamuk Aedes aegypti yang kawin di dalam kandang adalah posisi ventral to ventral (Gambar 8). Perkawinan yang terjadi lebih sering dilakukan di udara dan membutuhkan waktu beberapa detik. Penelitian yang dilakukan oleh Rumini (1980), perkawinan nyamuk dapat terjadi setiap saat, pada umumnya nyamuk melakukan perkawinan pada saat terbang. Mula-mula nyamuk jantan akan menangkap nyamuk betina, lalu terbang bersama-sama dalam beberapa saat dan terjadilah perkawinan, kemudian berpisah dan terbang sendiri-sendiri. Selain itu sering juga terlihat 19
3 adanya nyamuk yang melakukan perkawinan dalam keadaan hinggap di dalam kurungan. Nyamuk jantan tidak akan merespon pada saat nyamuk betina istirahat, beda halnya pada saat nyamuk betina terbang. Nyamuk jantan akan terbang ke arah nyamuk betina kemudian nyamuk jantan akan menangkap nyamuk betina dari atas depan dengan kaki depan dan tengah, kemudian mengelilingi dirinya dan menempelkan alat kelaminnya. Kopulasi dapat terjadi secara sempurna meskipun terjadi pada kandang yang kecil (Clements 1999). Gambar 8 Perkawinan nyamuk Aedes segypti dengan posisi ventral to ventral Sumber : Clements 1999 Kapasitas Reproduksi Jumlah Kelompok Telur Siklus gonotropik adalah satu siklus yang diperlukan nyamuk betina sejak menghisap darah sampai menghasilkan telur. Nyamuk Aedes aegypti memerlukan waktu 3 sampai 4 hari untuk satu siklus gonotropik. Satu kelompok telur dihasilkan oleh satu ekor nyamuk betina dalam satu siklus gonotropik. Jumlah kelompok telur berhubungan dengan jangka hidup nyamuk betina. Semakin lama jangka hidup nyamuk betina maka akan semakin banyak jumlah kelompok telur yang dihasilkan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, nyamuk betina Aedes aegypti membutuhkan waktu 2 sampai 3 menit untuk menghisap darah. Pada keaadan optimum nyamuk betina akan menghabiskan waktu 2 sampai 5 menit untuk menghisap darah (Christophers 1960). Pada penelitian ini nyamuk diberi pakan darah yang berasal dari tangan peneliti (Gambar 8). 20
4 Gambar 9 Cara pemberian pakan darah. Penghisapan darah dilakukan dengann memasukan tangan peneliti ke dalam kandang sampai semua nyamuk betina kenyang darah. Pemberian pakan darah dilakukan pada jam sampai atau pada jam sampai 17.00, karena pada waktu tersebutt nyamuk sangat aktif untuk mencari makan. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Siregar (2004), dimana nyamuk betina akan melakukan aktivitas menggigit pada pagi hari (09.00 sampai10.00) sampai petang hari (16.00 sampai 17.00). Darah dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam proses pematangan telur (Christopers 1960; Clements 2000; Supartha 2008). Darah adalah protein yang sangat dibutuhkan oleh nyamuk untuk proses vitelogenesis (Clements 2000; Gunandini 2002), sehingga telur yang dihasilkan dalam keadaan subur dan siap untuk menghasilkan keturunan. Frekuensi kontak antara vektor dan inang menentukan banyaknya protein yang diperoleh untuk proses pematangan telur (Supartha 2008) ). Menurut Clements (2000) nyamuk betina lebih menyukai darah manusia dibandingka an dengan darah binatang, sehingga nyamuk Aedes aegypti dikategorikan memiliki sifat antrophofilik dan manusia merupakan inang utama bagi nyamuk tersebut. Banyaknya jumlah kelompokk telur yang dihasilkan seekor nyamuk sangat tergantung dari lamanya jangka hidup nyamuk itu sendiri (Gunandini 2002) ). Menurut Rumini (1980) selama waktu hidupnya nyamuk Aedes aegypti dapat menghisap darah sebanyak 1 sampai 8 kali. Padaa Tabel 1 dapat dilihat jumlah kelompok telur yang dihasilkan 21
5 oleh seekor nyamuk Aedes aegypti betina sepanjang hidupnya yang dikawinkan dengan nyamuk jantan dengan perlakuan betina dibandingkan jantan sebagai berikut 1:1 (perlakuan I), 2:1 (perlakuan II) dan 3:1 (perlakuan III). Tabel 1 Jumlah kelompok telur yang dihasilkan nyamuk Aedes aegypti selama masa hidupnya Ulangan Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III I II III IV V Jumlah 51 a 62 a 78 a Rata-rata 10,2 a ± ,4 a ± ,6 a ±7.83 Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5% Pada Tabel 1 terlihat bahwa kelompok telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk betina dengan seekor nyamuk jantan (1:1) berjumlah 51 kelompok telur dengan rata-rata 10,2 kelompok telur, sedangkan kelompok telur yang dihasilkan oleh dua ekor nyamuk betina dengan seekor nyamuk jantan (2:1) berjumlah 62 kelompok telur dengan rata-rata 12,4 kelompok telur dan kelompok telur yang dihasilkan oleh tiga ekor nyamuk betina dengan seekor nyamuk jantan (3:1) menghasilkan 78 kelompok telur dengan rata-rata 15,6 kelompok telur. Dari hasil ini terlihat bahwa semakin banyak jumlah nyamuk betina maka jumlah kelompok telur yang dihasilkanpun akan semakin banyak. Meskipun demikian berdasarkan analisis statistik, perbedaan jumlah kelompok telur yang dihasilkan ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Menurut Gunandini (2002) nyamuk betina Aedes aegypti akan menghasikan kelompok telur dengan rata-rata 6,83 kelompok. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulidar (2011) nyamuk betina Aedes aegypti dapat menghasilkan sampai 16 kelompok telur. Perbedaan banyaknya jumlah kelompok telur ini terjadi karena nyamuk yang digunakan oleh Gunandini (2002) adalah nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari alam, sedangkan Yulidar 22
6 (2011) menggunakan nyamuk yang berasal dari laboratorium yang sudah beradaptasi dengan lingkungan. Pada penelitian ini nyamuk yang digunakan berasal dari laboratorium sehingga jumlah kelompok telur yang dihasilkan dalam penelitian ini masih termasuk didalam kisaran peneliti di atas. Jumlah Telur Jumlah telur nyamuk Aedes aegypti biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah telur dari spesies nyamuk lainnya, yaitu sebanyak 100 butir dalam satu kelompok telur (Clements 1963). Tabel 2 di bawah ini memperlihatkan jumlah telur nyamuk Aedes aegypti dari hasil penelitian yang dilakukan. Tabel 2 Jumlah telur yang dihasilkan nyamuk Aedes aegypti selama hidupnya Ulangan Keterangan : Perlakuan I/satu ekor betina Perlakuan II Perlakuan III I II III IV V Jumlah Rata-rata 284,6 a ±207,11 295,6 a ±142,75 341,3 a ±134,04 Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5% Dari hasil penelitian terlihat bahwa telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk betina Aedes aegypti dalam satu kandang akan berjumlah lebih besar bila nyamuk betina juga lebih banyak. Telur yang dihasilkan oleh tiga ekor betina (perlakuan III) tersebut berjumlah 1706,6 butir dengan rata-rata 341,3 butir/ekor, sedangkan telur yang dihasilkan oleh dua ekor betina (perlakuan II) berjumlah 1478 butir dengan rata-rata 295,6 butir/ekor dan telur yang dihasilkan oleh seekor betina (perlakuan I) berjumlah 1423 butir dengan rata-rata 284,6 butir/ekor. Dari hasil analisis statistik telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Semakin banyak jumlah betina yang dikawini oleh seekor nyamuk jantan maka rata-rata tiap ekor betina akan menghasilkan 23
7 jumlah telur yang lebih besar. Artinya semakin banyak jumlah betina yang dikawini oleh seekor nyamuk jantan maka rata-rata tiap ekor betina akan menghasilkan jumlah telur yang lebih besar. Selain itu terbukti seekor nyamuk jantan masih mampu mengawini tiga ekor betina di dalam satu kandang. Hal ini dikarenakan nyamuk jantan dapat kawin beberapa kali, tetapi nyamuk betina tidak (Christophers 1960). Hasil yang didapat berbeda dengan penelitian yang dilakukan Cahyati dan Suharyo (2006), dimana seekor nyamuk betina Aedes aegypti mampu menghasilkan telur sebanyak 80 sampai 125 butir dengan rerata 100 butir telur setelah menghisap darah sesuai siklus gonotrofik. Penelitian yang dilakukan oleh Gunandini (2002), Adanan et al. (2005) dan Antonio et al.(2009) menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti akan menghasilkan telur dengan rata-rata 117,35, 117,65 dan 205,2 butir telur. Menurut Bahang (1978) nyamuk Aedes aegypti yang dipelihara secara individual mengasilkan jumlah telur rata-rata 102 butir, sedangkan bila dipelihara secara berkelompok telur yang dihasilkan berjumlah 125 butir. Pada penelitian ini setiap ekor nyamuk Aedes aegypti menghasilkan jumlah telur yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan beberapa peneliti diatas, yaitu jumlah telur butir (perlakuan I), 295,6 butir (perlakuan II) dan 341,3 butir (perlakuan III). Hal ini disebabkan antara lain oleh (1) perlakuan pemeliharaan perkawinan dengan jumlah rasio kelamin antara jantan dan betina yang berbeda, (2) pemeliharaan lebih bersifat individual spesifik, artinya nyamuk lebih diperhatikan satu persatu mulai dari saat eklosi sampai mati, (3) nutrisi pakan darah berasal dari darah manusia. Darah manusia adalah pakan yang paling sesuai untuk nyamuk Aedes aegypti terbukti dari jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan pakan darah marmut. Jumlah rata-rata telur dalam penelitian Gunandini (2002) sebesar 117,35 butir karena menggunakan darah marmut. Demikian pula dengan penelitian Bahang (1978) yang menggunakan tikus sebagai sumber pakan darah, telur Aedes aegypti yang dihasilkan hanya rata-rata 102 butir. (4) luas kandang, dimana kandang yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 20 x 20 x 20 cm 3 yang berisi paling banyak tiga ekor nyamuk Aedes aegypti. Bila dibandingkan dengan jumlah telur Aedes aegypti pada penelitian Yulidar (2011) hanya berjumlah rata-rata 96 butir. 24
8 Hal ini karena dengan ukuran kandang yang sama (20 x 20 x 20 cm 3) jumlah didalamnya 30 ekor, sehingga kepadatan yang tinggi berpengaruh terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Daya Tetas Telur Daya tetas telur adalah banyaknya telur yang menetas dari keseluruhan telur yang dihasilkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, kelembaban, nutrisi (pakan darah), umur nyamuk betina, dan umur telur. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25 C sampai 27 C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10 C atau lebih dari 40 C (Yatopranoto et al. 1998). Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan persentase rata-rata daya tetas telur nyamuk Aedes aegypti dari perlakuan I, II dan III. Tabel 3 Persentase rata-rata daya tetas telur nyamuk Aedes aegypti Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III Ulangan Jumlah Telur Jumlah Telur Jumlah Telur % % telur menetas telur menetas telur menetas % I , , II , , ,4 III , , ,9 IV , , V , , ,3 Ratarata Keterangan : 284, ,2 116, ,6 28,46 a ±16,66 20,26 a ±2,01 24,12 a ±13,68 Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5% Pada penelitian ini terlihat bahwa daya tetas telur dari perlakuan I, II dan III secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Persentase daya tetas telur dari perlakuan I sebesar 28,46 %, perlakuan II 20,25% dan perlakuan III 24,12%. Pada penelitian Gunandini (2002) nyamuk Aedes aegypti memilki daya tetas telur sebesar 62%, sedangkan daya tetas telur menurut Yulidar (2011) sebesar 80,09%. Suhu di laboratorium berkisar antara 26 C-30 C sedangkan 25
9 kelembaban berkisar antara 68%-82%, kisaran suhu dan kelembaban ini masih termasuk dalam kategori suhu dan kelembaban optimum. Suhu dan kelembaban yang tidak optimum, misalkan suhu yang rendah dapat menyebabkan metabolisme berlangsung lambat sehingga mempengaruhi perkembangan telur (Mintarsih et al. 1996; Neto dan Silva 2004). Selain faktor suhu dan kelembaban diatas, faktor nutrisi terutama protein yang terkandung dalam darah juga menentukan jumlah dan daya tetas telur. Untuk perkembangan telur, nyamuk akan mengambil protein yang terkandung di dalam darah. Dengan demikian produksi dan perkembangan sel telur berhubungan erat dengan kualitas protein darah yang berasal dari inang (Papaj 2000). Dari hasil penelitian terlihat bahwa daya tetas telur jauh dibawah daya tetas telur yang dihasilkan Gunandini (2002) dan Yulidar (2011). Hal ini kemungkinan disebabkan antara lain faktor pakan darah yang berasal dari tangan peneliti yang diberikan secara langsung berbeda kandungan nutrisinya dengan yang lainnya. Faktor lainnya adalah populasi dalam setiap kandang yang terlalu sedikit (1 betina : 1 jantan; 2 betina : 1 jantan; 3 betina : 1 jantan) menyebabkan nyamuk kurang bergairah dalam menghisap darah. Berbeda halnya dengan penelitian Gunandini (2002) dan Yulidar (2011) yang menggunakan 20 nyamuk Aedes aegypti betina dan 10 jantan untuk setiap ulangan. Dibandingkan dengan Yulidar (2011) yang memberi pakan darah nyamuk berupa darah manusia (sama dengan penelitian ini), daya tetas telur yang dihasilkan sangat jauh berbeda. Hal ini antara lain disebabkan oleh umur telur nyamuk Aedes aegypti. Pada penelitian ini telur Aedes aegypti tidak langsung ditetaskan sehingga telur nyamuk tersebut telah berumur sekitar dua bulan, selain itu waktu penetasan telur dibatasi hanya sampai tujuh hari. Pada suhu dan kelembaban optimum stadium telur memakan waktu 1 sampai 2 hari (Christophers 1960). 26
10 Faktor Kesuburan Nyamuk Aedes aegypti Betina tanpa Nyamuk Jantan Nyamuk betina Aedes aeypti memilki sebuah kantung yang dipergunakan untuk menampung sperma. Kantung tersebut dinamakan spermateka, sehingga nyamuk betina dapat menghasilkan telur yang fertil tanpa adanya jantan. Kesuburan nyamuk betina tergantung dari beberapa faktor diantaranya nutrisi dan umur. Semakin panjang umur nyamuk maka jumlah kelompok telur dan jumlah telur semakin banyak. Tabel 8 dibawah ini memperlihatkan jumlah telur dan daya tetas telur yang dihasilkan seekor nyamuk betina setelah nyamuk jantan mati. Tabel 8 Jumlah telur dan daya tetas telur yang dihasilkan seekor nyamuk betina Aedes aegypti setelah kematian nyamuk jantan Jumlah hari tanpa nyamuk jantan Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Daya Tetas Telur 13 hari ,1% 18 hari ,2% 27 hari ,1 63 hari ,6% Fertilisasi terjadi ketika spermateka pada betina berisikan spermatozoa (Christophers 1960). Kopulasi berlangsung nyamuk betina akan langsung mencari inang untuk memakan darah. Nyamuk betina akan menyimpan sperma pada spermateka untuk menghasilkan beberapa kelompok telur tanpa kopulasi lebih lanjut. Pada penelitian ini, nyamuk betina yang dapat hidup 13 hari setelah nyamuk jantan mati mampu menghasilkan telur sebanyak 136 butir dengan jumlah telur yang menetas 26 butir dan persentase daya tetas telur sebesar 19.1%. Untuk nyamuk betina yang hidup selama 18 hari dapat menghasilkan telur sebanyak 249 butir, dengan 8 butir yang menetas dan pesentase daya tetas telur sebesar 3,2%. Sedangkan nyamuk betina yang hidup 27 hari menghasilkan telur 197 butir, 18 butir menetas dan persentase daya tetas telur sebesar 9,1% dan untuk nyamuk betina yang hidup selama 63 hari dapat menghasilkan telur sebanyak 493 butir dengan jumlah telur yang menetas 67 butir dan persentase daya tetas telur sebesar 13,6%. Walaupun nyamuk jantan telah mati terlihat nyamuk betina dapat tetap menghasilkan telur yang fertil yang terlihat dari dapat menetasnya telur 27
11 menjadi larva, walaupun dengan daya tetas telur lebih rendah daripada rata-rata pada penelitian ini (Tabel 3). Hal ini membuktikan bahwa nyamuk betina telah menampung sperma dalam spermateka sehingga dapat menghasilkan telur yang fertil walaupun nyamuk jantan telah mati Meskipun demikian telur fertil yang dihasilkan oleh nyamuk betina (tanpa jantan hidup) memiliki daya tetas yang rendah dibandingkan dengan yang masih memilki jantan. Rata-rata daya tetas pada telur fertil ini berkisar antara 3.2% sampai 19.1%. Daya tetas telur pada nyamuk tergantung beberapa faktor, diantaranya suhu, kelembaban, protein yang berasal dari darah yang berhasil dihisap oleh nyamuk dan umur nyamuk (Christophers 1960). Penurunan kesuburan yang disebabkan oleh umur nyamuk dapat disebabkan karena terjadinya degenerasi folikel ovarium dalam setiap siklus gonotropik, selain itu nyamuk betina yang berumur tua menghisap darah cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan nyamuk muda. Dalam suatu penelitian diperoleh hasil meskipun nyamuk betina tua dan muda menghisap darah dalam jumlah yang sama tetapi produksi telur yang dihasilkan lebih rendah pada nyamuk betina tua (Detinova 1955, Volozina 1967 dalam Clements 2000). Jangka Hidup Nyamuk Aedes aegypti Tabel 9, 10,11, dan 12 dibawah ini memperlihatkan jangka hidup antara nyamuk jantan dan betina dari penelitan yang telah dilakukan. Tabel 9 Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan I (hari) Ulangan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari) I II III IV V Jumlah
12 Tabel 10 Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan II (hari) Ulangan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari) 1 2 I II III 4 * IV * V Jumlah Tabel 11 Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan III (hari) Ulangan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari) I II III IV V Jumlah Tabel 12 Rata-rata jangka hidup nyamuk Aedes aegypti Keterangan : Perlakuan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari) I 27,8 a ±12,01 21,4 ab ±8,32 II 27,3 a ±15,69 16,8 a ±15,64 III 37,2 a ±17,08 38,2 b ±15,91 Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5% Umur nyamuk betina yang didapat dari hasil penelitian ini lebih panjang jika dibandingkan dengan umur nyamuk jantan. Pada kandang pertama yang berisi satu ekor betina, nyamuk betina dapat hidup selama 27,8 hari, sedangkan nyamuk jantan berumur 21,4 hari. Pada kandang kedua yang berisi dua ekor nyamuk betina, nyamuk betina dapat hidup 27,3 hari, sedangkan jantan berumur 16,8 hari. Kandang ketiga yang berisi tiga ekor nyamuk betina dapat hidup lebih 29
13 lama dibandingkan dengan yang lain, masing-masing yaitu selama 37,2 hari sedangkan nyamuk jantan berumur 38,2 hari. Dari ketiga perlakuan tersebut umur jantan yang paling lama ternyata terdapat pada seekor jantan yang dikandangkan dengan tiga ekor betina, dibandingkan dengan nyamuk jantan lainnya (perlakuan I dan II). Sedangkan hasil yang didapat dengan menggunakan analisis statistik jangka hidup nyamuk jantan pada perlakuan I tidak berbeda nyata dengan perlakuan II dan III, sedangkan pada perlakuan II jangka hidup nyamuk jantan berbeda nyata dengan perlakuan III. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gunandini (2002) nyamuk jantan akan hidup 18,88 hari (20 betina : 10 jantan setiap kandang). Umur nyamuk jantan pada perlakuan I dan II (21,4 dan 16,8 hari) tidak berbeda jauh dengan penelitian Gunandini (2002). Nyamuk betina dapat hidup selama 34,53 hari (Gunandini 2002), dalam penelitian ini nyamuk betina dapat hidup dalam kisaran 27,8 hari sampai 37,2 hari. Umur nyamuk tersebut masih masuk dalam kisaran umur nyamuk dalam penelitian Gunandini (2002) tersebut diatas. Hasil yang didapat dengan menggunakan analisis statistik terlihat bahwa jangka hidup nyamuk betina pada semua perlakuan tidak berbeda nyata. Walaupun umur jantan pada perlakuan III lebih panjang tetapi tidak membuktikan bahwa umur jantan dipengaruhi oleh banyaknya betina. Hal ini dapat disebabkan jangka hidup nyamuk betina dan jantan tidak berbeda nyata pada perlakuan I. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi usia nyamuk antara lain suhu, kelembaban, lingkungan, nutrisi dan lain-lain. Apabila dibandingkan antara umur nyamuk yang berasal dari alam dengan yang dipelihara di laboratorium, nyamuk laboratorium dapat hidup lebih lama. Hal ini disebabkan karena nyamuk laboratorium telah beradaptasi lebih lama dengan lingkungan dibandingkan dengan nyamuk yang berasal dari alam. 30
HASIL DAN PEMBAHASAN
19 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Telur Nyamuk Aedes aegypti yang telah diberikan pakan darah akan menghasilkan sejumlah telur. Telur-telur tersebut dihitung dan disimpan menurut siklus gonotrofik. Jumlah
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Nyamuk Aedes aegypti
TINJAUAN PUSTAKA Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes termasuk ke dalam famili Culicidae dengan subfamili Culicinae. Genus Aedes memilki lebih dari 900 spesies (Kettle 1989). Secara morfologi nyamuk Aedes
Lebih terperinciTujuan Penelitian. Manfaat Penelitian
2 penciuman, dan alat indera yang sensitif untuk memilih air yang disukainya (Gunandini dan Gionar 1999). Selain air bersih ternyata air tercemar juga dapat menjadi tempat perindukan dan berkembang biak
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti
14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi
Lebih terperinciKEMAMPUAN REPRODUKSI NYAMUK Aedes aegypti BERDASARKAN KEBERADAAN NYAMUK JANTAN PORMAN HERAWATI PURBA
KEMAMPUAN REPRODUKSI NYAMUK Aedes aegypti BERDASARKAN KEBERADAAN NYAMUK JANTAN PORMAN HERAWATI PURBA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. ,
5 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. Nyamuk masuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres),
Lebih terperinciII. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)
II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap
21 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti dilakukan pada bulan Maret 2010 dilakukan di laboratorium
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi
Lebih terperinci3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian
3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian penentuan daya tolak ekstrak daun sirih (Piper bettle L.) terhadap
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian penentuan daya tolak ekstrak daun sirih (Piper bettle L.) terhadap nyamuk Ae. aegypti ini dilakukan pada bulan Maret 2010 yang meliputi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk
16 Identifikasi Nyamuk HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis nyamuk yang ditemukan pada penangkapan nyamuk berumpan orang dan nyamuk istirahat adalah Ae. aegypti, Ae. albopictus, Culex, dan Armigeres. Jenis nyamuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel
BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station
29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu
HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab
HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus
12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada tahun 2014, sampai pertengahan
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Metode Penelitian
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Demam Berdarah Dengue a. Definisi Demam berdarah dengue merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue terdiri
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun
TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur
Lebih terperinciSTATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION 5% DI KOTA SURABAYA. Suwito 1 ABSTRAK
STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION % DI KOTA SURABAYA Suwito 1 ABSTRAK Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di Kota Surabaya. Salah satu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,
Lebih terperinciMetamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa
Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes sp 1. Klasifikasi Nyamuk Aedes sp Nyamuk Aedes sp secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993), sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Genus Upagenus
Lebih terperincimenghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat
UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis / Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Jenis penelitian ini adalah Explanatory Research yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antara variabel variabel melalui
Lebih terperinciBAB III MODEL MATEMATIKA DINAMIKA PENYEBARAN AEDES AEGYPTI BERDASARKAN ANGIN DAN SAYAP
BAB III MODEL MATEMATIKA DINAMIKA PENYEBARAN AEDES AEGYPTI BERDASARKAN ANGIN DAN SAYAP Bentuk reaksi difusi adalah model yang sangat beralasan untuk mempelajari penyebaran hewan, termasuk serangga. Telah
Lebih terperinciBab III. Hasil dan Pembahasan
Bab III Hasil dan Pembahasan Bab 3 menguraikan formulasi model siklus hidup nyamuk Aedes aegypti, pengolahan dan analisis data serta model regresi data telur nyamuk hasil pengamatan 3.1 Siklus Hidup Nyamuk
Lebih terperinci6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE
6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE 6.1. PENDAHULUAN Sebelum menularkan virus Dengue, nyamuk Aedes
Lebih terperinci2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kemampuan Hidup dan Plastisitas Fenotip Serangga
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Hidup dan Plastisitas Fenotip Serangga Serangga dengan daur hidup yang kompleks memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan dengan
Lebih terperinciBagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?
Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Upik Kesumawati Hadi *) Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inseminasi Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses pembuahan
Lebih terperinci5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI
5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan
29 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) berdasarkan prosedur yang direkomendasikan oleh
Lebih terperinciHASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus
HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial
TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial Apis cerana merupakan serangga sosial yang termasuk dalam Ordo Hymenoptera, Famili Apidae hidup berkelompok membentuk koloni. Setiap koloni terdiri
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Culex sp Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinci5 KINERJA REPRODUKSI
5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang
Lebih terperinciBAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua
BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Aedes aegypti Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.
12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok
Lebih terperinciPEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata
PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima
Lebih terperinciPeking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.
23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti 1. Klasifikasi Aedes aegypti Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Philum : Arthropoda Sub Philum : Mandibulata
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian Eksperimen Quasi yaitu menjelaskan hubungan antara variable pengujian hipotesa untuk mengetahui pengaruh esktrak
Lebih terperinciIII BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik
21 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik Rambon Jantan dan 20 ekor Itik Cihateup Betina, 4 ekor
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk Nyamuk merupakan serangga yang memiliki tubuh berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Pengamatan Tempat Perindukan Aedes
17 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur sebagai studi bioekologi nyamuk di daerah yang endemik DBD. Pelaksanaan penelitian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes Sp Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya relatif optimum, yakni senantiasa lembab sehingga sangat memungkinkan pertumbuhan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vektor Aedes aegypti merupakan vektor utama Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia sedangkan Aedes albopictus adalah vektor sekunder. Aedes sp. berwarna hitam dan belang-belang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera
TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per
Lebih terperinciKEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi alon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September
Lebih terperinciTAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)
TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
kaki) 6) Arthropoda dibagi menjadi 4 klas, dari klas klas tersebut terdapat klas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Nyamuk Arthropoda adalah binatang invertebrata; bersel banyak; bersegmen segmen;
Lebih terperinciPEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer)
PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) 1. PENDAHULUAN Kakap Putih (Lates calcarifer) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak disukai masyarakat dan mempunyai niali ekonomis yang tinggi. Peningkatan
Lebih terperinciMATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan
Lebih terperincibio.unsoed.ac.id MENGENAT DAN MEMAHAMI NYAMUK DEMAM BERDARAH ( Aedes aegypti ) DTS,DARSONO,MSi KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAT
I t; I MENGENAT DAN MEMAHAMI NYAMUK DEMAM BERDARAH ( Aedes aegypti ) Oleh : DTS,DARSONO,MSi Laboratorium Entomologi dan Parpsitologi Pakultas Biologi Unsoed KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAT UNIVERSITAS
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,
TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan
Lebih terperinciPenyiapan Mesin Tetas
Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten
Lebih terperinciHASIL. Tabel 2 Jumlah imago lebah pekerja A. cerana yang keluar dari sel pupa. No. Hari ke- Koloni I Koloni II. (= kohort) Warna Σ mati Warna Σ Mati
HASIL Jumlah Imago Lebah Pekerja A. cerana Berdasarkan hasil pembuatan peta lokasi sel pupa, dapat dihitung jumlah imago lebah pekerja yang keluar dari sel pupa. Jumlah imago lebah pekerja A. cerana (yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah
Lebih terperinciParameter yang Diamati:
3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan sebagai vektor penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD),
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jumlah inang yang terparasit lebih dari 50%. Pada setiap perlakuan inang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (Gallus gallus gallus) dan Ayam Hutan Merah Jawa ( Gallus gallus javanicus).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Menurut Mansjoer (1985) bahwa ayam kampung mempunyai jarak genetik yang paling dekat dengan Ayam Hutan Merah yaitu Ayam Hutan Merah Sumatra (Gallus gallus gallus)
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan
Lebih terperinciBAB III PROSEDUR PENELITIAN
BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Koentjaraningrat (1994:7) bahwa Metode adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja untuk dapat memahami
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan
10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Itik Magelang dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2015 bertempat di Desa Ngrapah,
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular disebabkab oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research dengan metode eksperimen kuasi dimana rancangan penelitiannya adalah after only with
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar
HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes sp Nyamuk Aedes sp tersebar di seluruh dunia dan diperkirakan mencapai 950 spesies. Nyamuk ini dapat menyebabkan gangguan gigitan yang serius terhadap manusia dan binatang,
Lebih terperinci