HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada Tabel 4, analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 1-2. Kemampuan makan bondol peking (L. punctulata) dan bondol jawa (L. leucogastroides) pada pengujian individu menggunakan pakan gabah menunjukkan bahwa konsumsi bondol jawa terhadap gabah lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol peking. Tabel 4 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu Jenis burung Bobot tubuh (g) Konsumsi Bondol peking 11,812a 2,099b Bondol jawa 10,395b 2,561a Berdasarkan hasil perhitungan bobot tubuh, bondol peking memiliki nilai rerata bobot sebesar 11,812 gram dan berbeda nyata dengan bobot bondol jawa yaitu 10,395 gram. Konsumsi rerata bondol jawa relatif lebih besar dari pada bondol peking, apalagi ditambah dengan rerata bobot tubuh yang lebih ringan. Persentase konsumsi bondol jawa terhadap gabah (25,61 %) mencapai ¼ dari bobot tubuhnya, sementara itu untuk bondol peking (20,99 %) hanya mencapai 1 / 5 dari bobot tubuhnya. Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa terhadap Gabah Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu disajikan pada Gambar 9. Konsumsi harian bondol jawa lebih tinggi dibandingkan bondol peking. Bondol jawa lebih banyak dijual dipasar burung karena bondol jawa lebih banyak dijumpai di lapangan. Bondol jawa dapat berbiak sepanjang tahun dengan 4-5 butir telur setiap kali peneluran (MacKinnon 1990). Dengan demikian, bondol jawa memiliki peran yang lebih penting sebagai hama padi karena kemampuan reproduksi dan konsumsi yang

2 22 tinggi sehingga memiliki kemampuan merusak lebih besar dibandingkan bondol peking. Selain itu faktor lama waktu adaptasi kemungkinan menjadi pembeda dari hasil tersebut. Adaptasi bondol jawa sebelum percobaan yaitu selama 2-3 hari di laboratorium diduga sudah cukup. Gambar 9 Konsumsi harian terhadap gabah (g/ 10 g bobot tubuh) Konsumsi harian bondol jawa berfluktuatif yaitu terjadi penurunan pada hari pertama sampai ketiga kemudian meningkat pada hari keempat dan menurun kembali pada hari berikutnya. Konsumsi harian pada bondol peking mengalami penigkatan sejak hari pertama sampai hari keempat, kemudian mengalami penurunan pada hari kelima dan keenam. Pengujian Individu terhadap Konsumsi Beras Merah Kemampuan makan beras merah terhadap 12 ekor bondol peking dan 12 ekor bondol jawa dapat dilihat pada Tabel 5 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 3-4. Tabel 5 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap beras merah pada pengujian individu Jenis burung Bobot Tubuh (g) Konsumsi Bondol peking 11,728a 2,508a Bondol jawa 10,240b 2,842a

3 23 Pada perlakuan pakan beras merah menunjukkan bobot tubuh bondol peking lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bobot tubuh bondol jawa. Hasil ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada kemampuan makan menggunakan gabah. Namun, tingkat konsumsi pakan terhadap beras merah antara bondol peking dan bondol jawa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Konsumsi rerata bondol jawa terhadap beras merah relatif sama dibandingkan dengan bondol peking, sehingga pada saat dilakukan konversi ke 10 gram bobot tubuh didapat hasil yang tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 5 %). Secara umum dapat disebutkan bahwa bobot tubuh bondol peking relatif lebih besar daripada bondol jawa. Persentase konsumsi terhadap beras merah dari bondol jawa (28,42 %) dan bondol peking (25,08 %) relatif lebih besar dan berbeda nyata terhadap gabah pada bondol peking dan tidak berbeda nyata pada bondol jawa. Tabel 6 Konsumsi terhadap gabah dan beras merah pada bondol peking serta bondol jawa pada pengujian individu Jenis pakan Bondol peking Bondol jawa Beras merah 2,508a 2,842a Gabah 2,099b 2,561a Perbandingan Jenis Kelamin Burung terhadap Konsumsi Perbandingan jenis kelamin burung terhadap konsumsi gabah dan beras merah pada pengujian individu dapat dilihat pada Tabel 7 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran Konsumsi pakan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hewan jantan dan betina bondol peking dan bondol jawa mengonsumsi gabah dan beras merah dalam jumlah yang sama.

4 24 Tabel 7 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dan beras merah berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Gabah Beras merah Bondol peking Bondol jawa Bondol peking Bondol jawa Jantan 2,062a 2,650a 2,338a 2,772a Betina 2,179a 2,426a 2,747a 2,939a Rerata 2,099 2,561 2,508 2,842 Pengujian Populasi Terhadap Gabah Hasil yang diperoleh dari perlakuan konsumsi makan bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi dapat dilihat pada Tabel 8 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran Tabel 8 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi Jenis burung Bobot tubuh (g) Konsumsi gabah Bondol peking 11,270a 2,015a Bondol jawa 9,974b 2,270a Pada Tabel 8 di atas, dapat diketahui bahwa rerata bobot tubuh bondol peking lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol jawa. Hal ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti yang ditunjukkan pada pengujian individu (Tabel 4 dan 5). Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian menunjukkan hasil tidak berbeda nyata Dari pengujian individu dan populasi dapat diketahui bahwa bondol jawa memiliki kemampuan mengonsumsi pakan lebih besar dibandingkan bondol peking dan bondol peking memiliki rerata bobot tubuh lebih besar dibandingkan bondol jawa.

5 25 Pengujian Individu Preferensi Pakan Bondol Peking dan Bondol Jawa Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi preferensi pakan (beras merah, gabah, jewawut, milet, jagung, dan pelet ) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Jenis pakan Bondol peking Bondol jawa Beras merah 1,150a 0,648b Gabah 0,567b 1,197a Jewawut 0,189c 0,025c Milet 0,114c 0,024c Jagung pipil 0,064c 0,069c Pelet 0,003c 0,012c Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 9 dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi bondol peking terhadap beras merah lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan gabah. Hasil ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada perlakuan kemepuan makan gabah dan beras merah. Lebih rendahnya konsumsi gabah dapat disebabkan karena gabah masih dilindungi oleh sekam sehingga burung memerlukan usaha yang lebih banyak untuk mengupas kulit padi agar dapat mengkonsumsi biji padi tersebut. Berbeda dengan pakan beras merah yang sudah tidak dilindungi oleh sekam sehingga memudahkan untuk dikonsumsi (Soemadi dan Abdul 2003). Konsumsi pakan tertinggi pada bondol peking setelah beras merah dan gabah adalah jewawut dan tidak berbeda nyata dengan ketiga jenis pakan lainnya (milet, jagung pipil, dan pelet). Selain menyerang pertanaman padi, di alam burung bondol sering menyerang pertanaman jewawut dan milet. Serangan bondol terlihat pada malai yang meranggas karena bulir jewawut dan milet sudah habis dimakan (Andoko, 2001). Jewawut, milet dan jagung pipil merupakan sumber karbohidrat. Milet memiliki kandungan karbohidrat cukup tinggi yaitu 66% dari 100 gram bobot yang dapat dimakan. Karbohidrat dalam tubuh burung berfungsi sebagai sumber energi, membakar lemak, membentuk dan memperkecil

6 26 oksidasi protein menjadi energi, serta memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan optimal (Soemadi dan Abdul, 2003). Pada bondol jawa konsumsi tertinggi terjadi pada gabah dan berbeda nyata dengan lima jenis pakan lainnya. Konsumsi pakan terbesar setelah gabah adalah beras merah. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan hasil dengan perlakuan kemampuan makan gabah dan beras merah dimana konsumsi terhadap beras merah lebih tinggi dibandingkan pada gabah. Hal ini dapat disebabkan karena bondol jawa lebih menyukai pakan dalam bentuk yang mudah ditemui di alam. Urutan konsumsi pakan setelah gabah dam beras merah adalah jagung pipil dan tidak berbeda nyata dengan konsumsi terhadap jewawut, milet, dan pelet. Pelet merupakan jenis pakan terendah yang dikonsumsi bondol peking dan bondol jawa dari kelima jenis pakan lain yang diuji meskipun tidak berbeda nyata dengan jewawut, milet, dan jagung pipil. Rendahnya konsumsi pelet dapat disebabkan kerena pelet merupakan pakan buatan sehingga keberadaannya tidak ditemui di alam. Pelet dibuat untuk melengkapi kebutuhan pakan burung (Soemadi dan Abdul, 2003). Hal ini memungkinkan burung hanya memakan pelet sebagai pelengkap makanan utama. Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa Konsumsi bondol peking terhadap beras merah mengalami peningkatan setiap harinya (gambar 10) berbeda dengan konsumsi terhadap gabah yang mengalami penurunan setiap harinya. Konsumsi terhadap beras merah dan gabah lebih tinggi dibandingkan keempat pakan jenis lainnya. Jenis pakan jewawut, milet dan jagung pipil cukup berfluktuatif walaupun dalam jumlah yang rendah sedangkan konsumsi terhadap pelet relatif konstan dengan tingkat konsumsi yang rendah. Konsumsi harian bondol jawa pada perlakuan preferensi pakan menunjukkan grafik yang berfluktuatif. Tingkat konsumsi tertinggi adalah gabah setelah itu beras merah. Sedangkan konsumsi terhadap jewawut, milet, jagung pipil dan pelet menunjukkan rata-rata harian yang hampir sama. Konsumsi bondol jawa pada awal pengamatan mengalami peningkatan dengan konsumsi tetinggi terjadi pada hari ketiga kemudian menurun pengamatan hari ke 4 kecuali

7 27 pada jagung pipil yang mengalami peningkatan sedangkan pada milet, jewawut dan pelet relatif konstan. Gambar 10 Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap berbagai jenis pakan. Tingginya konsumsi pakan pada hari ketiga menyebabkan burung memiliki cadangan makanan yang disimpan dalam temboloknya sehingga menyebabkan menurunnya konsumsi pakan pada hari keempat. Burung pemakan biji umumnya memiliki tembolok sebagai penampung sementara biji yang telah ditelan (Soemadi & Abdul 2003). pengamatan. Konsumsi meningkat kembali pada hari kelima

8 28 Pengujian Populasi Hasil yang diperoleh dari pengujian populasi bondol peking dan bondol jawa terhadap enam jenis pakan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Pakan Bondol peking Bondol jawa 0,649a Beras merah Gabah Jewawut Milet Jagung pipil Pelet 0,666a 0,676a 0,397ab 0,099b 0,069b 0,057b 0,659a 0,183bc 0,349b 0,009c 0,009c Pada pengujian populasi, konsumsi tertinggi terjadi pada gabah dan tidak berbeda nyata dengan beras merah. Hasil ini berbeda pada pengujian individu dimana konsumsi tertinggi terjadi pada beras merah dan berbeda nyata dengan konsumsi terhadap gabah dan pakan yang lain. Menurut Mackinnon (1995) jenis burung bondol umumnya dikenal sebagai hama padi dan memakan bulir padi yang sedang menguning. Urutan konsumsi terbesar setelah gabah dan beras merah pada bondol peking adalah jewawut namun tidak berbeda nyata dengan gabah dan beras merah serta ke tiga jenis pakan lainnya yaitu milet, jagung pipil dan pelet. Pada pengujian individu, pakan jewawut cukup disukai oleh bondol peking selain itu bondol peking merupakan jenis burung yang hidup berkelompok (MacKinnon 1990). Dengan demikian, faktor peletakan pakan juga dapat mempengaruhi meningkatnya konsumsi pakan dimana dalam pengujian peletakan pakan jewawut berdekatan dengan pakan utama yaitu beras merah. Konsumsi bondol peking terhadap pakan milet, jagung pipil dan pelet merupakan jenis pakan terendah dan berbeda nyata terhadap gabah dan beras merah. Hasil pengamatan ini sama dengan pengujian individu. Konsumsi pada pakan selain padi kurang disukai karena bukan merupakan pakan utama dan umumnya jarang ditemukan di habitat bondol.

9 29 Pada konsumsi pakan bondol jawa, urutan konsumsi terbesar setelah gabah dan beras merah adalah milet dan jewawut. Pada hasil pengamatan (Tabel 10) menunjukkan konsumsi milet berbeda nyata dengan jagung pipil dan pelet. Jagung pipil dan pelet merupakan pakan terendah yang dikonsumsi karena kedua jenis pakan ini merupakan pakan yang melalui proses olahan terlebih dahulu yaitu jagung pipil merupakan jagung yang telah dipecah dengan ukuran yang lebih kecil sedangkan pelet merupakan pakan buatan sehingga keberadaan kedua jenis pakan ini tidak ditemui di alam. Dari hasil pengujian individu dan populasi dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi pakan bondol peking dan bondol jawa pada jenis pakan alami (bijibijian) lebih tinggi dari pada pakan buatan (pelet). Hal ini karena biji-bijian merupakan jenis bahan makanan yang secara alami dapat diperoleh burung dengan bebas di alam. Biji-bijian merupakan sumber protein sebagai salah satu komponen dari makanan penguat bagi burung (Soemadi dan Abdul, 2003). Selain itu, kulit biji-bijian sangat baik dalam membantu burung pemakan biji untuk mencerna makanannya, walaupun dalam pengamatan di laboratorium semua bondol jawa dan bondol peking mengupas kulit biji gabah sebelum dikonsumsi. Pengujian Racun terhadap Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu Hasil pengujian beberapa jenis racun terhadap bondol jawa dan bondol peking disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap umpan beracun pada pengujian individu Perlakuan Bondol peking Bondol jawa Gabah 0.672a 0.606a Gabah + Bromadiolon 0.278b 0.529a Gabah + Kumatetralil 0.197b 0.082b Gabah + Seng fosfida 0.063b 0.042b

10 30 Konsumsi bondol jawa menunjukkan bahwa konsumsi gabah tidak berbeda nyata dengan gabah dicampur racun bromadiolon dan berbeda nyata terhadap racun seng fosfida dan kumatetralil. Hal ini dapat disebabkan bau gabah dengan dicampur bromadiolon tidak menimbulkan bau menyengat dibandingkan dengan dua jenis racun lainnya. Konsumsi racun berbahan aktif seng fosfida dan kumatetralil pada bondol jawa percobaan individu berbeda nyata dengan konsumsi gabah dan racun bromadiolon. Racun berbahan aktif seng fosfida dan kumatetralil memberikan warna yang sangat berbeda dibandingkan dengan warna gabah tanpa dicampur racun. Oleh karena itu, diduga warna memberikan pengaruh terhadap konsumsi. Selain itu, kedua racun tersebut memberikan bau yang khas terhadap gabah, sehingga menimbulkan rasa curiga burung terhadap umpan sehingga mengonsumsi dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan gabah tanpa racun. Konsumsi racun pada pengujian individu dapat dilihat pada Tabel 12. Konsumsi bondol terhadap racun seng fosfida lebih tinggi dibandingkan kedua jenis racun lain (bromadiolon dan kumatetralil). Seng fosfida memiliki konsentrasi racun yang tinggi yaitu 80% dengan pencampuran racun sebesar 1 / 100 dari jumlah umpan sementara untuk bromadiolon 0,25% dan 1 / 40 dan untuk kumatetralil 0,75% dan 1 / 20. Hal ini menyebabkan konsentrasi racun seng fosfida lebih besar dibandingkan kedua jenis racun lainnya, sehingga jumlah racun yang dikonsumsi pada jumlah umpan yang sama akan lebih tinggi. Tingginya konsumsi seng fosfida menyebabkan tingginya kematian bondol pada pengamatan hari pertama sampai hari ketiga. Tabel 12 Konsumsi racun pada pengujian individu Jenis Racun Bondol peking (mg/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (mg/10 g bobot tubuh) Bromadiolon 1,738 3,306 Seng fosfida 50,400 33,600 Kumatetralil 3,694 3,075

11 31 Konsumsi Harian Racun dan Kematian Burung pada Pengujian Individu Besar konsumsi racun bondol peking dan bondol jawa setiap hari pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan jumlah kematiannya dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 11 Konsumsi harian racun pengujian individu Konsumsi harian bondol peking terhadap gabah lebih disukai dari pada umpan beracun (Gambar 11). Konsumsi racun paling tinggi pada hari pertama kemudian mulai menurun sampai hari berikutnya. Pada konsumsi umpan beracun bromadiolon konsumsi tertinggi pada hari kelima dan menurun pada akhir pengamatan. Pada konsumsi umpan beracun kumatetralil konsumsi berfluktuatif. Berbeda dengan umpan beracun seng fosfida yang terjadi penurunan konsumsi

12 32 setiap harinya. Konsumsi gabah bondol peking pada hari kelima mengalami penurunan karena diikuti tingginya konsumsi burung terhadap bromadiolon. Konsumsi racun pada bondol jawa menunjukkan bahwa konsumsi pada hari pertama tertinggi adalah gabah kemudian umpan beracun bromadiolon. Konsumsi umpan beracun bromadiolon mulai menurun sampai pengamatan hari ketiga dan mulai meningkat kembali pada pengamatan keempat dan selanjutnya mengalami penurunan kembali. Konsumsi gabah mulai meningkat pada hari ketiga kemudian menurun kembali pada hari keempat dan mencapai konsumsi tertinggi pada hari kelima. Konsumsi gabah yang fluktuatif menunjukkan rerata konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan umpan beracun. Konsumsi harian bondol jawa terhadap umpan beracun kumatetralil dan seng fosfida relatif konstan. Tingginya konsumsi racun bondol peking pada hari pertama menyebabkan tingginya kematian pada hari pertama (Gambar 12). Kematian menurun pada hari ketiga dan keempat karena pada hari pengamatan tersebut konsumsi burung terhadap gabah lebih banyak sedangkan konsumsi terhadap racun relatif sedikit sehingga burung masih dapat bertahan hidup. Pada akhir pengamatan tersisa satu ekor burung yang dapat bertahan hidup dan mati pada satu hari setelah pengamtan terakhir (hari ke-7). Gambar 12 Jumlah kematian harian pengujian individu

13 33 Pada bondol jawa tingginya konsumsi umpan beracun bromadiolon dari pada hari pertama menyebabkan tingginya kematian burung pada hari pertama. Pada akhir pengamatan tersisa dua ekor burung yang hidup. Dapat bertahannya satu ekor bondol peking dalam pengamatan dapat disebabkan daya tahan tubuh burung yang lebih bagus dari burung lainnya. Selain itu diduga burung lebih banyak mengkonsumsi gabah dan mengonsumsi umpan beracun dalam jumlah relatif sedikit. Namun, konsumsi umpan beracun telah terakumulasi dalam tubuh sehingga burung menjadi kurang lincah dan akhirnya mati pada hari setelah pengamatan terakhir (hari ke-7 & 8). Pengujian Populasi Tabel 12. Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap racun dapat dilihat pada Pada pengujian populasi, hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi tertinggi tetap pada gabah baik pada bondol peking maupun bondol jawa. Konsumsi tertinggi setelah gabah pada bondol peking adalah bromadiolon dan berbeda nyata terhadap konsumsi racun kumatetralil. Konsumsi tertinggi setelah bromadiolon adalah seng fosfida dan tidak berbeda nyata dengan racun kumatetralil. Tabel 13 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap umpan beracun pada pengujian populasi Perlakuan Bondol peking Bondol jawa Gabah 0,563a 0,561a Gabah + Bromadiolon 0,358ab 0,304b Gabah + Seng fosfida 0,124bc 0,053c Gabah + Kumatetralil 0,039c 0,116c Pada bondol jawa konsumsi tertinggi setelah gabah adalah bromadiolon dan berbeda nyata dengan dua jenis umpan beracun lainnya yaitu seng fosfida dan kumatetralil. Rasa curiga burung terhadap umpan beracun seng fosfida dan kumatetralil menyebabkan konsumsi terhadap kedua jenis racun tersebut lebih sedikit daripada umpan dengan racun bromadiolon.

14 34 Konsumsi racun pada pengujian populasi dapat dilihat pada Tabel 14. Konsumsi bondol terhadap racun pada pengujian populasi menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada pengujian individu yaitu konsumsi seng fosfida lebih tinggi dibandingkan kedua jenis racun lain. Seng fosfida merupakan jenis racun akut yang biasa digunakan dalam usaha pengendalian pada populasi tinggi sedangkan racun bromadiolon dan kumatetralil (racun kronis) digunakan dalam pengendalian pada populasi rendah. Tabel 14 Konsumsi racun pada pengujian populasi Jenis racun Bondol peking (mg/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (mg/10 g bobot tubuh) Bromadiolon 2,238 1,900 Seng fosfida 99,200 42,400 Kumatetralil 0,731 4,350 Kematian Burung pada Pengujian Populasi Jumlah kematian burung terhadap konsumsi racun dapat dilihat pada Gambar 13. Kematian bondol peking tertinggi pada hari pertama dan kedua yaitu sebanyak 11 ekor. Setelah hari kedua jumlah burung yang mati mengalami penurunan sampai akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan burung yang dapat bertahan hidup hanya satu ekor. Gambar 13 Jumlah individu yang mati terhadap konsumsi racun dalam pengujian populasi

15 35 Pada bondol jawa kematian tertinggi terjadi pada hari pertama pengamatan yaitu sebanyak 18 ekor, kemudian menurun pada hari berikutnya. Pada pengamatan keempat jumlah burung yang mati mengalami peningkatan yaitu sebanyak meningkat 11 ekor burung mati. Pada akhir pengamatan jumlah burung yang masih hidup sebanyak 9 ekor burung. Persentase lama hidup bondol peking sebesar 2,5 % sementara itu bondol peking sebesar 18 %. Dengan demikian bondol jawa lebih berpeluang sebagai hama pertanian padi dibandingkan bondol peking. Gejala Keracunan pada Pengujian Racun Individu dan Populasi Gejala keracunan yang terlihat pada saat pengamatan pengujian racun individu menggunakan empat jenis umpan pada bondol peking dan bondol jawa dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Gejala keracunan pada bondol peking dan bondol jawa pada pengujian individu dan populasi Gejala keracunan Pengujian individu Bondol Bondol peking jawa Pengujian populasi Bondol Bondol peking jawa Tidak menampakkan gejala Kotoran berwarna hitam Keluar darah dari mulut Kotoran berdarah Anus berdarah Burung hidup Total individu Kematian tertinggi pada bondol peking dan bondol jawa menunjukkan bondol mati tanpa menunjukkan gejala. Konsumsi racun telah terakumulasi dalam jaringan organ tubuh burung yaitu hati atau ginjal namun tidak memecah pembuluh kapiler atau dapat pula memecah pembuluh kapiler namun tidak keluar dari lubang alami sehingga tidak menunjukkan gejala pada kematian burung. Gejala keracunan dapat dilihat pada Gambar 14.

16 36 A B Gambar 14 Gejala keracunan bondol peking dan bondol jawa Gejala keracunan dengan keluar darah dari mulut, kotoran berdarah, dan anus berdarah dapat disebabkan oleh konsumsi racun bromadiolon dan kumatetralil (Gambar 14 B). Bromadiolon dan kumatetralil merupakan jenis racun kronis dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003), sehingga gejala keracunan dapat dilihat dari keluarnya darah dari lubang alami burung. Gejala keracunan kotoran berwarna hitam dapat disebabkan oleh konsumsi racun seng fosfida (Gambar 14 B).

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan September sampai Desember

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Maret sampai Juni 2011.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Kontrol Gabah, Beras, dan Jagung (No Choice Test) Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi tikus terhadap umpan gabah, beras, dan jagung (no

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian

TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian 5 TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian Burung pemakan biji memiliki ukuran tubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah, sehingga susah ditangkap. Beberapa jenis burung pemakan biji antara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon Tikus sawah yang mempunyai habitat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari Bulan Oktober hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung

TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung Burung yang menjadi hama tanaman pertanian, terutama pada komoditas serealia (padi, jagung dan sorgum) sebagian besar adalah jenis pipit, yang termasuk ke dalam Kelas Aves,

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING

KEMAMPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING KEMAMPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING (Lonchura punctulata L.) DAN BONDOL JAWA (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) KURNIATUS ZIYADAH DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum perlakuan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan dengan konsentrasi 20%, 25%, dan 30% terhadap 2 tikus sawah pada masingmasing konsentrasi. Didapatkan hasil

Lebih terperinci

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A PREFERENSI (Rattus tiomanicus MAKAN TIKUS MILLER) POHON TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA Rizka Yudha Aryata A44102051 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

UJI KEMAMPUAN MAKAN PADA BURUNG GEREJA

UJI KEMAMPUAN MAKAN PADA BURUNG GEREJA UJI KEMAMPUAN MAKAN PADA BURUNG GEREJA (Passer montanus Oates) DAN UJI PREFERENSI PAKAN SERTA UMPAN BERACUN PADA BONDOL JAWA (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) DAN BONDOL PEKING (Lonchura punctulata

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai Juli 2011.

Lebih terperinci

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A44102059 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Hasil analisa proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kualitas nutrien bahan pakan dan dalam menghitung komponen nutrien karena kualitas nutrien bahan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas Eutheria,

Lebih terperinci

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A44102030 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian berupa konsumsi pakan, produksi telur, konversi pakan serta konsumsi lemak, protein, serat dan vitamin A ayam petelur pada tiap perlakuan tecantum dalam Tabel

Lebih terperinci

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitan pengaruh variasi dosis tepung ikan gabus terhadap pertumbuhan dan hemoglobin ikan lele, dengan beberapa indikator yaitu pertambahan

Lebih terperinci

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Effectiveness of Various Probiotics Product on the Growth and Production of Quail (Coturnix

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Anorganik Dan Organik Padi merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi sebagian besar bangsa Indonesia (Idham & Budi, 1994). Menurut Pracaya (2002) upaya untuk mampu

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan: Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan Alternatif Untuk Peningkatan Produksi lkan Lele Dumbo " Bagi Petani ikan Desa Pingit, Kecamatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi Pakan Konsumsi pakan puyuh adalah jumlah ransum yang dikonsumsi oleh puyuh dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat energi dan palabilitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan IV. Hasil dan pembahasan A. Pertumbuhan tanaman 1. Tinggi Tanaman (cm) Ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam lokal merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam lokal telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Hal

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Rodensia merupakan salah satu hewan yang tergolong sangat banyak spesiesnya. Terdapat lebih dari 2700 spesies rodensia di dunia Menurut Aplin et al. (2003), 42% dari semua spesies

Lebih terperinci

CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP

CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP Kegiatan yang dilakukan oleh manusia, hewan, dan tumbuhan tidak sama. Tetapi gejala yang ditunjukkan oleh manusia, hewan, dan tumbuhan sama. Gejala atau ciri yang ditunjukkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lemak omega 3 yang ada pada ikan (Sutrisno, Santoso, Antoro, 2000).

I. PENDAHULUAN. lemak omega 3 yang ada pada ikan (Sutrisno, Santoso, Antoro, 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor perikanan di Indonesia berpotensi bagi perkembangan dunia usaha khususnya sebagai komoditas perdagangan dan sumber pangan. Permintaan pasar akan produksi perikanan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Percobaan 4.1.1. Jumlah larva (30 HSA) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah larva pada 30 HSA, sedangkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Tepung Kaki Ayam Broiler sebagai Subtitusi Tepung Ikan di dalam Ransum terhadap Konsumsi Pakan Ayam Arab (Gallus turcicus). Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.), TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.), DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Mill.) JOHAN PERMADA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Variabel Hama 1. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai fase dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas hama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bau yang dihasilkan tubuh melalui feses dapat dihitung melalui perhitungan kadar senyawa odoran seperti amonia, trimetilamin dan fenol dalam feses. Pemberian serbuk buah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Performa Itik Alabio Jantan Umur 1-10 Minggu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL 6 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL Darah Itik Peking yang Diberi Tepung Temu Hitam dilaksanakan 31 Desember 2015 s.d 1 Februari 2016 di Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein

Lebih terperinci

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN 1979 5777 145 PREFERENSI DAN EFIKASI RODENTISIDA BRODIFAKUM TERHADAP TIGA JENIS TIKUS HAMA Swastiko Priyambodo dan Rizky Nazarreta Dept. Proteksi Tanaman, Fak.

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH Drs. Armen, SU. Disampaikan pada Seminar Nasional Bidang MIPA dun Temu Alumni FMIPA UNP Tanggal I1 dan I2 Februari 2005 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L.

PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L. PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L.) Nana Setiana A06400024 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang sangat populer di Indonesia adalah kacang hijau (Vigna radiata.wilczek). Kacang hijau ialah tanaman penting ketiga di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

TINJAUAN PUSTAKA. Tikus Sawah (Rattus argentiventer) 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Taksonomi dan Morfologi Tikus sawah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo

Lebih terperinci

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur. 23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian delapan ekor puyuh. Faktor perbedaan cuaca dan jenis pakan serta stres transportasi mungkin menjadi penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan pantai yang banyak disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang enak, terutama daging kepiting yang sedang bertelur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat di pedesaan. Ternak itik sangat potensial untuk memproduksi telur

I. PENDAHULUAN. masyarakat di pedesaan. Ternak itik sangat potensial untuk memproduksi telur I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, kebutuhan masyarakat akan protein hewani semakin meningkat. Hal ini seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan pemberian serbuk rumput teki sebagai biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum (lampiran

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakasanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Gambar 1 menunjukkan adanya penambahan bobot rata-rata pada ikan uji. Penambahan bobot akhir rata-rata dari bobot awal rata-rata pada perlakuan pakan RUSNAS sebesar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. RIWAYAT HIDUP... iii. ABSTRAK... iv. KATA PENGANTAR... vi. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. RIWAYAT HIDUP... iii. ABSTRAK... iv. KATA PENGANTAR... vi. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii RIWAYAT HIDUP... iii ABSTRAK... iv KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Jumlah dan Bobot Folikel Kuning Telur Puyuh

Lebih terperinci

BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT

BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT KARYA ILMIAH BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT MATA KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Nama : Asmorojati Kridatmaja NIM : 10.11.3641 Kelas : SI-TI 2B SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. digilib.uns.ac.id 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. Klasifikasi dari kumbang tepung (T. castaneum) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum Rataan konsumsi bahan kering dan protein ransum per ekor per hari untuk setiap perlakuan dapat

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memilki daya adaptasi yang

I. PENDAHULUAN. juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memilki daya adaptasi yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Itik merupakan sumber daya genetik yang tinggi keanekaragamannya, baik dalam hal jenis maupun potensi produksinya. Ternak itik juga mempunyai potensi untuk dikembangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Kombinasi Media Serbuk Gergaji Batang Pohon Kelapa dan Onggok Aren terhadap Pertumbuhan Cacing Eisenia foetida Salah satu indikator untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu 28 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian tentang pengaruh penambahan level protein dan probiotik pada ransum itik magelang jantan periode grower terhadap kecernaan lemak kasar dan energi metabolis dilakukan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian dan Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus 18 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap persentase potongan komersial karkas, kulit dan meat bone ratio dilaksanakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Konsumsi pada Tikus Rumah Pengujian Konsumsi Perlakuan Kontrol,, dan Konsumsi tikus rumah terhadap umpan gabah, beras, dan jagung disajikan pada Tabel 3 dan analisis ragamnya

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA. Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher

LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA. Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher Disusun oleh : Kelompok 9 Robby Trio Ananda 200110090042 Gilang Dayinta P 200110090071

Lebih terperinci

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PRINGGO WIBOWO PUTRO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Kadar protein tertinggi terdapat pada pakan perlakuan D (udang rebon 45%) yaitu dengan persentase sebesar 39,11%. Kemudian diikuti pakan perlakuan C (udang rebon 30%)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Performa Ayam Petelur Strain ISA-Brown Umur Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Performa Ayam Petelur Strain ISA-Brown Umur Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kisaran rataan temperatur kandang hasil pengukuran di lokasi selama penelitian adalah pada pagi hari 26 C, siang hari 32 C, dan sore hari 30 C dengan rataan kelembaban

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Bobot Mutlak dan Laju Pertumbuhan Bobot Harian Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi

Lebih terperinci

Untuk mengatasi serangan hama tikus, dapat dilakukan cara cara sebagai berikut:

Untuk mengatasi serangan hama tikus, dapat dilakukan cara cara sebagai berikut: Berikut merupakan beberapa contoh hama. a. Tikus Tikus merupakan hama yang sering kali membuat pusing para petani. Hal ini diesbabkan tikus sulit dikendalikan karena memiliki daya adaptasi, mobilitas,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Biji merupakan perkembangan lanjut dari bakal biji yang telah dibuahi dan

BAB I PENDAHULUAN. Biji merupakan perkembangan lanjut dari bakal biji yang telah dibuahi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Biji merupakan perkembangan lanjut dari bakal biji yang telah dibuahi dan berfungsi sebagai alat perkembangbiakan. Secara agronomis biji merupakan hasil budidaya yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat

Lebih terperinci

Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer)

Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer) Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer) Rahmawasiah, Rahman Hairuddin dan Abdul Jalil Universitas Cokroaminoto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi menjadi beras. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak 60-65%. Sementara bekatul

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sedangkan analisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2016 KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih, Mardhiyah Hayati Universitas

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Tingkat penolakan hama kutu beras Hasil penelitian menunjukkan dosis ekstrak daun pandan wangi kering dan daun pandan wangi segar memberikan pengaruh nyata terhadap

Lebih terperinci