HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Utami Oesman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan Tapir asia sudah tersebar di kebun binatang di seluruh dunia meliputi Amerika, Asia Tenggara, Jepang, China, Eropa, Australia, bahkan Afrika Selatan melalui proses peminjaman maupun pemindahan. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan diantaranya pembatasan perkembangan populasi sebagai akibat dari keterbatasan ruang dan dana pemeliharaan, tetapi alasan utama adalah untuk menghindari perkawinan sedarah (inbreeding) sebagai akibat dari terbatasnya populasi yang dimiliki oleh hampir setiap kebun binatang. Menurut informasi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007), populasi Tapir asia di Lembaga Konservasi ex-situ di tercatat sebanyak 17 ekor yang tersebar di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Cisarua, Taman Safari Prigen, Kebun Binatang Gembira Loka, dan Kebun Binatang Taman Sari Bandung. Populasi tapir yang terdapat di alam belum diketahui, namun diduga terus menurun. Dengan semakin meningkatnya jenis satwa liar yang mengalami kepunahan, pengembangan populasi pada tingkat penangkaran seringkali menjadi upaya penyelamatan terakhir yang dapat dilakukan. Pada tingkat internasional, pola penyelamatan semacam ini telah diakui sebagai bagian dari proses konservasi yang sering membuahkan hasil yang positif. Pola Musim Kawin Fahey (1999) menyebutkan bahwa musim kawin pada tapir biasanya terjadi pada bulan April dan Mei, sedangkan dalam Huffman (2004) disebutkan bahwa pada tapir yang terdapat di Malaysia, perkawinan biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni. Periode kehamilan pada Tapir asia berlangsung sekitar 390 hingga 403 hari (Huffman 2004) atau sekitar 13 bulan, yang berarti pola kelahiran dapat terjadi pada bulan April hingga bulan Juni.
2 18 Bulan Kelahiran Desember November Oktober September Agustus Juli Juni Mei April Maret Februari Januari Subtropis Tropis Jumlah Kelahiran (ekor) Gambar 6 Pola bulan kelahiran Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Sumber: Prastiti (2009) Gambar 6 menunjukkan pola bulan kelahiran Tapir asia dalam kebun binatang di seluruh dunia yang dibagi menjadi 3 wilayah yaitu, luar daerah tropis, dan luar daerah subtropis. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kelahiran Tapir asia terbanyak di terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 4 dari 14 kelahiran atau sekitar 28,57%, sedangkan kelahiran Tapir asia di luar daerah tropis sebagian besar tersebar merata pada bulan Februari, Maret, April, Juni dan September dengan masing-masing persentase kelahiran sebanyak 11,24%, dan kelahiran di luar daerah subtropis sebagian besar terjadi pada bulan September dengan persentase kelahiran sebanyak 11,56%. Data pola kelahiran pada gambar di atas memperlihatkan bahwa kelahiran Tapir asia terjadi sepanjang tahun, sehingga hewan tersebut memiliki pola reproduksi nonseasonal atau tidak mengikuti musim tertentu. Fahey (1999) menyebutkan bahwa musim kawin pada tapir biasanya terjadi pada bulan April dan Mei, sedangkan dalam Huffman (2004) disebutkan bahwa pada tapir yang terdapat di Malaysia, perkawinan biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni. Data tersebut berbeda dengan data yang didapat pada gambar
3 19 diatas. Hal ini dapat disebabkan karena perkawinan yang terjadi dalam penangkaran merupakan perkawinan terkontrol, artinya bahwa pencampuran dan pemisahan jantan dari betina dilakukan berdasarkan keputusan masing-masing tempat penangkaran. Hal ini didasarkan pada alasan untuk membatasi perkembangan populasi terkait dengan terbatasnya carrying capacity dan menghindari terjadinya inbreeding atau perkawinan sedarah. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan merupakan kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang (Soemarwoto 1997). Tingkatan daya dukung lingkungan yang paling baik adalah daya dukung optimum, dimana terdapat keseimbangan antara jumlah hewan yang terdapat di daerah tersebut dengan jumlah makanan yang tersedia. Dilampauinya batas daya dukung akan menyebabkan keambrukan kehidupan, karena tidak tersedianya sumber daya, hilangnya kemampuan degradasi limbah, meningkatnya pencemaran dan timbulnya gejolak sosial yang merusak struktur dan fungsi tatanan ekologi. Tabel 2 Pola bulan perkawinan Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Bulan Tropis Subtropis jumlah persentase jumlah persentase jumlah Persentase Januari 1 7,14% 10 11,24% 26 6,53% Februari 1 7,14% 10 11,24% 26 6,53% Maret 0 0,00% 10 11,24% 27 6,78% April 2 14,28% 9 10,11% 33 8,29% Mei 1 7,14% 10 11,24% 40 10,05% Juni 0 0,00% 5 5,61% 37 9,30% Juli 0 0,00% 7 7,65% 35 8,79% Agustus 2 14,28% 10 11,24% 46 11,56% September 1 7,14% 3 3,37% 34 8,54% Oktober 0 0,00% 6 6,74% 34 8,54% November 2 14,28% 6 6,74% 34 8,54% Desember 4 28,57% 3 3,37% 26 6,53% Jumlah ,00% ,00% ,00% Periode kehamilan tapir betina berlangsung selama 13 bulan, sehingga berdasarkan pola bulan kelahiran pada Gambar 6, didapat pola bulan perkawinan
4 20 seperti pada Tabel 2. Daerah dengan iklim tropis hanya memiliki dua musim, dimana fluktuasi suhu yang terjadi tidak berbeda jauh, sehingga hewan pada daerah tropis memiliki karakteristik reproduksi nonseasonal atau tidak bermusim. Daerah dengan iklim subtropis memiliki empat musim dengan fluktuasi suhu yang sangat jauh, sehingga hewan yang hidup pada iklim subtropis akan menyesuaikan dirinya untuk melakukan perkawinan pada musim tertentu agar dapat melahirkan anaknya pada musim semi atau musim panas dimana terdapat banyak makanan dan suhu yang tepat untuk menjamin kelangsungan hidup anaknya. Tapir asia memiliki habitat asli di hutan tropis, sehingga pola reproduksinya tidak mengikuti musim tertentu atau nonseasonal. Penangkaran tapir yang terdapat di luar daerah subtropis biasanya telah menyesuaikan kandang dengan habitat aslinya. Barongi (1993) menyatakan bahwa terdapat beberapa syarat untuk pembuatan kandang tapir meliputi terdapatnya 2 ruangan kandang yaitu kandang dalam dan kandang luar. Persyaratan kandang dalam yaitu ukuran kandang minimal 3x3 meter, ukuran dinding kandang minimal 6 kaki, suhu ruangan 65,0 85,0 o Fahrenheit (sekitar 18,3-29,5 o Celcius), sumber air minum yang tersedia setiap saat, kolam atau tempat mandi di dalam ruangan, dan kebersihan dalam kandang. Persyaratan kandang luar yaitu luas areal minimal 61 meter 2, pembuatan parit untuk batas dengan pengunjung, adanya tempat berteduh atau bernaung, terdapat tanah padat atau rumput, akses menuju kolam, dan topografi area yang datar. Kemampuan Induk Menghasilkan Anakan Tabel 3 Kemampuan induk Tapir asia dalam menghasilkan anakan di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Tempat Nomor studbook induk betina Jumlah anak Jakarta 1) Yogyakarta 1) Kuala Lumpur 2) Unk 12 San Diego 3) ), 2) luar daerah tropis, 3) luar daerah subtropis
5 21 Tapir asia biasanya hanya melahirkan 1 ekor anak setiap kali melahirkan, dengan periode kehamilan berlangsung selama 400 hari atau sekitar 13 bulan. Tapir betina akan menunjukkan estrus postpartum dan memungkinkan untuk kembali bunting pada waktu satu hingga tiga bulan setelah melahirkan (Barongi 1993). Data yang diperoleh dari International Malayan Tapir Studbook menunjukkan bahwa satu ekor induk tapir betina dapat menghasilkan hingga 15 ekor anak dalam hidupnya. Tapir betina dengan nomor studbook 34 tersebut lahir pada Januari 1960, melahirkan anak pertama pada Agustus 1966 dan melahirkan anak terakhir pada Maret Bila diasumsikan bahwa tapir tersebut mengalami dewasa kelamin pada usia 2 tahun, maka dapat diperlihatkan dari data tersebut bahwa seekor tapir betina dapat bereproduksi hingga umur 30 tahun dan memiliki umur reproduktif hingga 27 tahun. Tapir betina biasanya mengalami dewasa kelamin pada umur 2 hingga 4 tahun, atau paling lambat 5 tahun pada betina yang berada dalam penangkaran. Kusuda et al (2007) menyatakan bahwa panjangnya siklus estrus pada Tapir asia berdasarkan profil progesteron dalam serum berkisar antara 21 hingga 84 hari dengan rata-rata sekitar 43 hari. Tapir jantan akan mengawini betina satu kali dalam periode tersebut dengan kopulasi yang dapat terjadi selama menit. Siklus estrus yang tercatat selama dua hingga tiga bulan dapat merupakan tingkah laku seksual yang tidak terdeteksi atau adanya silent estrus. Pengamatan pada profil progesteron dan perubahan visual pada vulva merupakan metode yang efektif untuk menentukan siklus estrus pada Tapir asia. Pengembangbiakan Tapir asia dalam penangkaran dapat ditingkatkan dengan mengandangkan tapir jantan dan tapir betina yang sedang estrus. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan menyesuaikan terhadap perilakunya di alam liar. Jumlah Kelahiran Jumlah Tapir asia yang hidup di seluruh dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 adalah 921 ekor, dengan jumlah tapir yang berhasil lahir dalam penangkaran sebanyak 540 ekor. Sebagian lainnya merupakan tapir yang berasal dari alam liar untuk kemudian dipelihara dalam
6 22 habitat ex-situ. Data tersebut kemudian dipilah berdasarkan parameter reproduksi yang diperlukan. Jumlah Kelahiran (ekor) Jantan Betina Tidak diketahui Tropis Subtropis Jenis Kelamin Gambar 7 Jumlah kelahiran Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Sumber: Prastiti (2009) Gambar tersebut menunjukkan jumlah kelahiran Tapir asia di seluruh dunia yang dibagi dalam tiga wilayah, yaitu, luar daerah tropis, dan luar daerah subtropis. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. Tabel 4 Rata-rata per tahun jumlah kelahiran Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Keterangan Tropis Subtropis Jumlah kelahiran (ekor) Lama keberadaan (tahun) Rata-rata jumlah kelahiran per tahun (ekor) 0,5 2,28 4,61 Hasil analisis menunjukkan bahwa Tapir asia yang lahir dalam 4 kebun binatang di berjumlah 16 ekor yaitu sebanyak 9 ekor jantan dan 7 ekor betina. Kelahiran Tapir asia di kebun binatang di mulai tercatat dalam International Malayan Tapir studbook dari tahun 1974 hingga tahun 2008, sehingga dapat diasumsikan bahwa hewan tersebut telah berada di kebun binatang di selama 34 tahun dengan jumlah kelahiran sebanyak 16 ekor. Hal ini
7 23 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kelahiran Tapir asia di per tahun adalah sebanyak 0,5 ekor. Kebun binatang di luar daerah tropis memiliki tingkat kelahiran Tapir asia yang lebih tinggi dibandingkan kebun binatang di. Di daerah tersebut, hewan ini lahir sebanyak 96 ekor di 9 tempat yaitu yaitu 52 ekor jantan, 42 ekor betina, dan 2 ekor tidak diketahui jenis kelaminnya pada saat pendataan. Kelahiran Tapir asia di luar daerah tropis mulai tercatat dari tahun 1966 hingga tahun Dapat diasumsikan bahwa Tapir asia telah berada di kebun binatang di luar daerah tropis selama 42 tahun dengan jumlah kelahiran sebanyak 96 ekor, sehingga rata-rata jumlah kelahirannya per tahun adalah sebanyak 2,28 ekor. Tapir asia yang lahir di 87 kebun binatang di luar daerah subtropis terdata sebanyak 429 ekor yaitu 198 ekor jantan, 229 ekor betina, dan 5 ekor tidak diketahui jenis kelaminnya pada saat pendataan. Kelahiran Tapir asia di daerah ini tercatat dari tahun 1915 hingga tahun Dapat diasumsikan bahwa hewan tersebut telah berada dalam kebun binatang di luar daerah subtropis selama 93 tahun dengan jumlah kelahiran sebanyak 429 ekor, sehingga rata-rata jumlah kelahirannya per tahun adalah sebanyak 4,61 ekor. Jumlah kelahiran Tapir asia per tahun yang terbesar terdapat di luar daerah subtropis. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah populasi tapir di daerah tersebut memang jauh lebih banyak dibandingkan populasi tapir yang terdapat di maupun di luar daerah tropis, sehingga jumlah indukan yang akan dikawinkan juga lebih banyak dan dapat menghasilkan keturunan yang juga lebih banyak. Jumlah kelahiran juga dapat dipengaruhi oleh carrying capacity yang ditentukan oleh pembatas lingkungan dan potensi biotik yang ada (Miller & Spoolman 2008). Dalam pengembangan populasi di tingkat penangkaran haruslah juga ditetapkan suatu kebijakan bahwa satwa yang dipelihara mampu untuk terus berkembang biak secara alami dan memiliki arti konservasi dari segi keragaman genetiknya. Salah satu yang menjadi kekhawatiran dari upaya penyelamatan secara penangkaran dengan sumber populasi yang terbatas adalah hilangnya variasi genetik serta perkawinan sedarah. Terjadinya perkawinan sedarah dengan
8 24 intensitas tinggi dapat menghasilkan keturunan dengan kualitas yang rendah, seperti dalam daya reproduksi, ketahanan tubuh, dan penampilan tubuh. Daya Hidup Anakan Tabel 5 Daya hidup anakan Tapir asia yang lahir di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Keterangan Tropis Subtropis Jumlah (persentase) Jumlah (persentase) Jumlah (persentase) Lahir mati (0 hari) 0 (0%) 2 (2,11%) 34 (7,93%) Umur < 30 hari 0 (0%) 4 (4,21%) 19 (4,43%) Umur > 30 hari 16 (100%) 90 (93,68%) 376 (87,53%) Jumlah 16 (100%) 96 (100%) 429 (100%) Berdasarkan data yang didapat pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa kejadian stillbirth atau lahir mati pada Tapir asia cukup rendah. Di, kejadian stillbirth terdapat sebanyak 0%, di luar daerah tropis terdapat sebanyak 2,11%, dan di luar daerah subtropis sebanyak 7,93%. Mortalitas atau tingkat kematian pada tapir muda sebelum mencapai umur 1 bulan dalam habitat ex-situ di terdapat sebanyak 0%, di luar daerah tropis sebanyak 4,2 %, dan di luar daerah subtropis sebanyak 4,43%. Sisanya merupakan tapir yang dapat hidup hingga mencapai umur dewasa. Kematian pada tapir muda dapat terjadi karena pengelolaan penangkaran yang kurang baik maupun pemberian pakan yang kurang memenuhi. Kematian pada umur aktif reproduksi merupakan akumulasi dari kematian karena umur tua dan umur dewasa. Beberapa data mengindikasikan juga terjadinya kematian pada kelompok umur dewasa adalah sebagai akibat dari pemindahan lokasi yang cukup jauh sehingga tapir menjadi stres.
9 25 Jumlah Lahir mati (0 hari) Umur <30 hari Umur >30 hari daerah tropis daerah subtropis Gambar 8 Daya hidup anakan Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hinga tahun 2009 Sumber: Prastiti (2009) Faktor kematian dapat mengurangi kepadatan populasi. Angka kematian yang terlampau tinggi akan menimbulkan penurunan kepadatan populasi yang sangat drastis. Jika dibiarkan terus tanpa adanya usaha perbaikan, dapat menyebabkan kepunahan populasi yang bersangkutan (Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar 2011). Dapat dilihat berdasarkan Gambar 8 bahwa Tapir asia memiliki tingkat kematian yang cukup rendah dan potensi reproduksi yang cukup tinggi, sehingga apabila dikelola dengan baik maka populasinya dapat ditingkatkan. Umur Harapan Hidup Menurut Fahey (2009), Tapir asia merupakan jenis yang terbesar dan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan jenis tapir lainnya. Anak tapir disapih pada umur 6 hingga 8 bulan, kemudian menjadi dewasa pada umur tiga tahun dan dapat hidup hingga mencapai 30 tahun. Berdasarkan data yang didapat dari International Malayan Tapir Studbook, umur rata-rata Tapir asia tertinggi terdapat di yaitu selama 16,8 tahun. Hal tersebut dapat disebabkan karena merupakan habitat alami dari Tapir asia, sehingga hewan tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam kebun binatang di. Tapir asia adalah hewan yang memiliki
10 26 habitat alami berupa hutan tropis. Untuk beradaptasi dalam lingkungan buatan yang baru merupakan hal yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Tabel 6 Umur harapan hidup Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Umur (tahun) Tropis Subtropis > > > > > Umur rata-rata 16,8 13,23 12,69 Umur terlama terdapat pada Tapir asia yang hidup di kebun binatang di luar daerah subtropis, yaitu di Italia, selama 47 tahun. Hal ini dapat disebabkan karena kebun binatang di daerah tersebut memiliki sarana prasarana yang lebih memadai sehingga perawatan dan pemeliharaan tapir dapat dilaksanakan secara lebih optimal. Proses pemindahan dengan jarak tempuh yang cukup jauh juga dapat mempengaruhi umur harapan hidup pada tapir. Proses pemindahan dan keharusan untuk beradaptasi dalam habitat yang baru dapat menimbulkan stress dan menurunkan sistem imun, sehingga mudah terkena penyakit bahkan dapat menimbulkan kematian. Beberapa tapir mati di dalam peti pengiriman karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik (Barongi 1993). Pemindahan tapir dari satu penangkaran ke penangkaran yang lain dapat dilakukan dalam rangka breeding loan (peminjaman atau pemindahan tapir dari satu tempat ke tempat lainnya untuk dikawinkan) maupun karena alasan carrying capacity yang terbatas. Pemberian pakan yang sesuai dapat menjaga umur harapan hidup pada tapir yang berada dalam penangkaran. Dalam Khan (1997) disebutkan bahwa tapir adalah jenis hewan herbivora yang selektif memilih makanannya. Hewan ini biasanya memakan daun-daun muda dari beberapa spesies tanaman tertentu. Novarino (2000) mengatakan bahwa keberadaan salt lick sangat berperan bagi kelestarian tapir. Seperti satwa liar lainnya, tapir memenuhi kebutuhan mikro
11 27 nutrien (garam mineral seperti kalium dan magnesium), dengan mengunjungi sesapan atau salt lick. Dalam habitat aslinya di hutan Taratak, Sumatra, tapir mengunjungi salt lick yang terdapat di pinggir sungai tiap dua minggu sekali (Novarino 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran
13 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar habitatnya didasari oleh kategori harimau Sumatera yang tergolong langka, sehingga dilakukan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya
Lebih terperinciTERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya
TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).
Lebih terperinci2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.747, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Lembaga Konservasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
Lebih terperinciAnoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ.
Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES Upaya konservasi In-situ Ex-situ PENANGKARAN PERJALANAN 2015 ANOA BREEDING CENTER 2009 EKOLOGI
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik
Lebih terperinciPeraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinci5 KINERJA REPRODUKSI
5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi
3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Panduan Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka 2 Ibid
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Yogyakarta yang memiliki banyak predikat yang membuat nama Yogyakarta terkenal, antara lain adalah sebagai kota pendidikan, banyak tempat tempat untuk belajar di kota
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian
Lebih terperinciKEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO
KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO Mendengar nama kabupaten Nagekeo mungkin bagi sebagian besar dari kita masih terasa asing mendengarnya, termasuk juga penulis. Dimanakah kabupaten Nagekeo berada? Apa
Lebih terperinciBUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU
BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menyumbangkan ekosistem alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan konservasi yang dilaksanakan
Lebih terperinciKONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI
KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang
8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciBERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan
LAPORAN PENYULUHAN DALAM RANGKA MERESPON SERANGAN WABAH PENYAKIT NGOROK (Septicae epizootica/se) PADA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SAMOSIR BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal
Lebih terperinciIV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan
Lebih terperinciKARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN
KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.
Lebih terperinciPERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu
Lebih terperincipenampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat
Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan
Lebih terperinciSUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya
Lebih terperincimenghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat
UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang
Lebih terperinciSMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2
SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2 1. Contoh pelestarian secara ex situ di Indonesia adalah... TN Lore Lindu SM Kutai Cagar Alam Nusa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin
HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN KEBUN BINATANG MEDAN. Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka.
BAB II GAMBARAN KEBUN BINATANG MEDAN 2.1. Letak Geografis Medan Kotamadya Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah
Lebih terperinciPENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan
PENGANTAR Latar Belakang Kambing mempunyai peran yang sangat strategis bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan hidup dan merupakan bagian penting
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem
KEANEKARAGAMAN HAYATI Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem Tujuan Pembelajaran Mampu mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Indonesia Mampu membedakan keanekaragaman
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing 1. Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing Boer
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo ruminansia, famili Bovidae, dan genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burn, 1994). Kambing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar
Lebih terperinciRini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK
EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
digilib.uns.ac.id 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Teori Sistem Hukum Lawrence M Friedman Menurut Lawrence M Friedman, dalam bukunya The Legal System : A Social Science
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Lebih terperinciPELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV
xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, jumlah populasi manusia semakin meningkat. Di Indonesia kepadatan penduduknya mencapai 200 juta jiwa lebih. Kebutuhan akan tempat dan
Lebih terperinciIMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi) Oleh: Sri Harteti 1 dan Kusumoantono 2 1 Widyaiswara Pusat Diklat SDM LHK 2 Widyaiswara Balai Diklat LHK Bogor Abstract Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan
Lebih terperinciTINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA
TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA VINA SITA NRP.1508 100 033 JURUSAN BIOLOGI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 516 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IJIN BUDIDAYA BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih
Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA A.
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)
Lebih terperinci*36116 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 1999 (7/1999) TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Copyright (C) 2000 BPHN PP 7/1999, PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA *36116 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 1999 (7/1999) TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,
Lebih terperinci6/7/2013. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung Mata Kuliah : Ekologi Hidupan Liar Kode MK : Bio 612101 Tahun Ajaran : 2012/2013 Pokok Bahasan : Manajemen Populasi
Lebih terperinciTAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.
TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga
Lebih terperinci