BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737"

Transkripsi

1 BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING Perkembangan Tingkat Kecelakaan 737 Sejak dioperasikan pertama kalinya pada 10 Februari 1968 tercatat sebanyak 275 kasus pesawat 737 dalam database Aviation Safety Network (ASN), www. Aviation-safety.net. Kasus-kasus ini mencakup kecelakaan (accident), insiden, pembajakan (hijacking), kasus kriminal (mencakup sabotase dan penembakan) serta kejadian-kejadian lain. 135 kasus dari 275 kasus yang ada merupakan kategori hullloss (kerusakan yang tidak dapat diperbaiki atau hilangnya bagian pesawat) sementara sisanya termasuk minor damage dengan tingkat kerusakan yang dapat diperbaiki. Sementara pada database Boeing sampai 26 Jni hanya terdapat 145 kasus 737 yang diterima dari berbagai kategori kasus di atas. Dari 275 data kecelakaan berbagai kategori pada ASN tersebut terdapat 156 kasus yang murni berupa kecelakaan (accident) dan insiden baik itu yang termasuk hull-loss accident ataupun minor damage. Ke-156 kasus ini yang dijadikan data acuan dalam mempelajari dan menganalisis statistik kecelakaan yang terjadi pada Boeing 737. Gambar 3.01 Klasifikasi kasus-kasus Boeing 737 pada ASN Diolah dari database ASN 33

2 Pada dasarnya data kecelakaan 737 memiliki karakteristik dan pola yang mengikuti data statistik secara umum. Hanya saja, analisa yang ada dengan berdasar pada 275 kasus yang tercatat pada ASN seperti disebutkan di atas masih belum dapat mempresentasikan keadaan sesungguhnya. Berdasarkan data kecelakaan tahunan pesawat komersial yang dikeluarkan Boeing dari tahun 1959 sampai 2005 dapat dilihat bahwa tingkat kecelakaan -yang didefinisikan sebagai jumlah kecelakaan setiap satu juta operasi penerbangan- dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan (Gambar 3.02). Meskipun demikian tingkat penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan jumlah korban jiwa yang selalu bervariasi, tidak dapat diprediksi serta tidak memperlihatkan penurunan setiap tahunnya. Gambar 3.02 Accident Rates and Fatalities by Year Sumber: 2005 Statistical Sumary, May 2006, akses 26 Juni 2007 Penyebab utama tidak adanya penurunan jumlah korban jiwa ini adalah semakin pesatnya perkembangan dunia penerbangan komersial sehingga memacu pertambahan pesawat yang beroperasi setiap tahunnya serta lahirnya pesawatpesawat baru dengan kapasitas besar. Karena hal inilah, meskipun dengan perkembangan teknologi dan penerapannya dalam bidang keselamatan tingkat kecelakaan per operasi penerbangan dapat ditekan tetapi jumlah korban jiwa tetap tak berkurang. 34

3 Hal yang sama dapat dilihat pada data kecelakaan 737. Data ASN memperlihatkan bahwa jumlah kecelakaan 737 dari tahun ke tahun berfluktuasi (Gambar 3.03). Dimulai dari awal pengoperasiannya pada an jumlah kecelakaan yang menimpa 737 tidak memiliki jumlah yang berarti, namun seiring dengan pesatnya pertambahan 737 yang beroperasi maka pada awal 1980-an mulai terjadi loncatan jumlah kecelakaan. Data memperlihatkan terdapatnya flukutasi jumlah kecelakaan dengan kecend erungan semakin meningkat pada setiap tahunnya terutama sejak tahun Namun apabila diamati lebih detail dengan mengklasifikasi jumlah kejadian dalam interval lima tahun dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah kecelakaan meningkat secara signifikan sejak dekade kedua pesawat beroperasi, yakni 10 kasus pada dekade pertama berbanding 41 kasus pada dekade kedua (Tabel 3.01) Jumlah Kecelakaan 737 tahun Jumlah Kasus Tahun Gambar 3.03 Grafik Jumlah Kecelakaan 737 tahun Parameter yang biasa dipergunakan untuk menyatakan tingkat kecelakaan adalah laju kecelakaan per operasi penerbangan, biasanya dinyatakan dalam per satu juta operasi. Namun karena keterbatasan akses informasi mengenai jumlah operasi Boeing 737 setiap tahunnya, maka dalam Tugas Akhir ini parameter yang digunakan untuk menunjukkan tingkat kecelakaan adalah jumlah kecelakaan dibandingkan jumlah akumulasi delivery. Meskipun metode ini tidak secara spesifik menunjukkan tingkat kecelakaan per operasi penerbangan tetapi setidaknya memberi gambaran umum laju perkembangan tingkat kecelakaan

4 Tingkat kecelakaan 737 (Gambar 3.04) pada awal dua dekade pertama sempat mengalami kenaikan namun pada tahun-tahun berikutnya sejak 1986 sampai 2007 menunjukkan penurunan signifikan. Jumlah kasus yang diterima ASN sejak 1986 sampai 2007 setiap tahunnya berfluktuasi dan sulit dianalisa, namun apabila dikelompokkan dalam interval lima tahunan maka data menunjukkan jumlah kecelakaan yang terjadi hampir sama dan relatif konstan. Ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah 737 yang beroperasi (dalam hal ini jumlah pesawat yang dikirim seperti terlihat pada Tabel 3.02) tidak diiringi peningkatan jumlah kecelakaan sehingga secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa tingkat kecelakaan 737 mengalami penurunan seperti ditunjukkan dalam gambar No Periode Total Acc./Inc. Year Total 737 Delivered Juni Tabel 3.01 Jumlah Kecelakaan 737 Tabel 3.02 Jumlah Pengriman 737 Sumber: akses bulan Juni 2007 Gambar 3.04 Grafik Tingkat Kecelakaan 737 Diolah dari database ASN Dalam Statistical Summary of Commercial Jet Airplane Accidents Worldwide Operations yang disusun Boeing berdasarkan data-data ASN dan accident report pesawat Boeing dinyatakan bahwa untuk kategori hull loss accident, 36

5 Boeing 737-Original (-100 dan -200) memiliki tingkat kecelakaan 1.41 kasus setiap satu juta operasi penerbangan. Prestasi ini masih dapat disamai oleh saingan terdekat DC-9 dengan tingkat kecelakaan yang sama namun jauh lebih baik dibanding pesawat BAC 1-11 yang memiliki tingkat kecelakaan 2.71 per satu juta operasi penerbangan. Seri 737-klasik (-300, -400 dan -500) bahkan memiliki prestasi lebih baik dibanding dua seri pendahulunya yang hanya memiliki tingkat kecelakaan 0.38 kasus setiap satu juta operasi penerbangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa varian Boeing 737 memiliki tingkat keselamatan yang cukup tinggi. Gambar 3.05 Grafik Perbandingan tingkat kecelakaan hull loss berdasarkan tipe pesawat Sumber: 2005 Statistical Sumary, May 2006, akses 26 Juni Kecelakaan Tiap Fase Penerbangan Pembagian kasus yang terjadi pada 737 yang meliputi kecelakaan accident dan insiden berdasarkan fase penerbangannya sejak tahun 1970 sampai Juni 2007 dapat dilihat dalam Tabel 3.03, Tabel 3.04 serta gambar 3.06 sebagai berikut: 37

6 Tabel 3.03 Data Kecelakaan Berdasarkan Fase Penerbangan Sumber: Hasil Pengolahan Data Fase Jumlah Kasus % Jumlah Kecelakaan Jumlah Korban jiwa Korban jiwa per Kasus % Jumlah Korban Taxi 2 1.3% % Take off % % Climb 5 3.2% % En route % % Approach % % Landing % % Ground 6 3.8% % Tabel 3.04 Penyebab utama kecelakaan pada 737 Sumber: diakses pada 5 Juli 2007 Phase of Flight / Number of Type of Accident Occurrences Ground 7 RTO - Overrun 11 RTO - Remained on runway 3 Take-off 10 Climb 5 Cruise - Structural failure 2 Cruise - Other 4 Hijack / Bomb 4 Double Engine Failure 3 Fuel Exhaustion 1 Rudder Problem 2 Approach - Non Precision 15 Approach - Other 9 Landing - Collision 1 Landing - Short 5 Landing - Long 6 Landing - Heavy 15 Landing - Fast 4 Landing - Gear Up 1 Landing - LOC after touchdown 12 Go-Around 4 Total Accident Report to Boeing

7 Gambar 3.06 Grafik tingkat kecelakaan 737 dan pesawat Komersial berdasarkan fase penerbangan (tanpa menyertakan ground accident) Dari kedua tabel dan grafik tingkat kecelakaan berdasarkan fase penerbangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa 737 mengalami kejadian kecelakaan pada fase landing dengan tingkat kecelakaan 36% (merujuk referensi Boeing pada Tabel 3.04) serta 41.7% (merujuk data ASN pada Tabel 3.03) dari keseluruhan kasus yang ada. Namun pada fase landing ini meskipun memiliki intensitas kecelakaan yang paling banyak tetapi memiliki tingkat korban jiwa yang sedikit, tercatat hanya 3.9% dari jumlah korban jiwa yang meninggal saat landing. Persentase Jumlah korban jiwa justru banyak terdapat pada fase approach yang merenggut 47.8% dari total keseluruhan korban jiwa, padahal persentase kasus yang terjadi pada fase tersebut hanya 22.4%. Bila dibandingkan dengan data kecelakaan penerbangan secara umum maka terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan. Pada kasus kecelakaan secara umum, jumlah korban jiwa terbanyak terdapat pada fase climb (initial climb dan final climb), tingkat korban terbanyak kedua pada fase approach (initial approach dan final approach) kemudian diikuti fase cruise pada urutan ke-tiga. Sedangkan pada kasus-kasus kecelakaan 737, fase terbanyak memakan korban jiwa yaitu pada fase 39

8 approach di urutan pertama, fase cruise di urutan ke-dua dan fase climb pada urutan ke-tiga. Kesamaan terdapat pada fase approach dan landing. Landing dalam hal ini memiliki tingkat kecelakaan dengan persentase paling besar yakni 46% pada kasus penerbangan umum dan 41.7% pada kasus 737. Ironisnya pada fase landing ini meskipun tingkat kecelakaaannya tinggi namun memiliki tingkat korban jiwa yang relatif lebih kecil dibanding kecelakaan pada fase-fase yang lain yakni hanya 2% pada kasus kecelakaan penerbangan umum dan 3.9% pada kasus-kasus kecelakaan 737. Dari perbandingan kedua fase tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun fase landing memiliki tingkat kecelakaan yang lebih tinggi namun tingkat keselamatan (survival rate) lebih tinggi dibanding fase approach. Salah satu faktor utama banyaknya kecelakaan yang terjadi pada fase approach dan landing adalah faktor kesalahan kru penerbang. Penyebab utama kesalahan kru penerbang ini biasanya berupa kelalaian atau kurangnya konsentrasi efek dari akumulasi beban kerja sepanjang operasi penerbangan. Data-data hasil perbandingan tingkat kecelakaan dan korban jiwa pada setiap fase penerbangan di atas secara umum dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan serta menjadi acuan dalam pengembangan program kepelatihan kru pesawat ataupun pengembangan sistem dan peralatan avionik pesawat. 3.3 Tingkat Keselamatan Kecelakaan Kemajuan teknologi dan penerapannya dalam dunia penerbangan memiliki andil yang sangat besar baik dalam pengembangan alat dan sistem transportasi maupun peningkatan keselamatan penerbangan. Tingkat kecelakaan 1.41 per sejuta keberangkatan untuk 737 seri -100 dan -200 serta 0.38 untuk tingkat kecelakaan 737 seri -300, -400 dan -500 bukanlah jaminan keselamatan penerbangan 100%. Korban jiwa hampir selalu ada dalam setiap kecelakaan pesawat. Lalu seberapa besarkah peluang untuk dapat bertahan hidup dalam suatu kecelakaan pesawat terutama yang melibatkan 737? 40

9 Istilah tingkatt keselamatan yang digunakan Tugas Akhir ini didefinisikan sebagai persentase peluang hidup dalam setiap insiden dan kecelakaan pesawat. Adapun tingkat keselamatan Boeing 737 sejak awal terjadi kecelakaan pada 19 Juli 1970 sampai bulan Juni 2007 adalah sebagai berikut: Tabel 3.05 Tingkat Keselamatan 737 dari tahun 1970 sampai Juni 2007 Diolah dari data No Periode Jumlah Penumpang Total Korban Jiwa kasus Pax. Kru Total Pax. Kru Total Juni Tingkat Kes elamatan Pax. Kru Total 76.7% 73.3% 76.4% 91.0% 87.9% 90.8% 68.6% 57.4% 67.9% 81.1% 75.3% 80.7% 66.2% 59.3% 64.6% 73.4% 65.2% 72.6% 64.9% 61.8% 66.3% 54.2% 58.5% 59.9% 100.0% Tingkat Keselamatan (Survival) Boeing 737 % Surviving 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% Juni Periode (tahun) 2007 Kru Penumpang Total Gambar 3.07 Grafik Tingkat Keselamatan 737 dari tahun 1970 sampai Juni 2007 Diolah dari data 41

10 % Surviving Tingkat Keselamatan Pesawat Komersial secara Umum s 1940s 1950s 1960s 1970s 1980s 1990s+ Decade Gambar 3.08 Perkembangan tingkat keselamatan operasi pesawat secara umum per dekade Sumber : akses bulan Maret 2007 Bila dibandingkan data tingkat keselamatan 737 (gambar 3.07) dengan data tingkat keselamatan pesawat komersial secara umum (gambar 3.08) dapat dilihat keduanya saling bertolak belakang. Tingkat keselamatan 737 cenderung menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini bertolak belakang dengan data tingkat keselamatan pesawat komersial yang umumnya menunjukkan peningkatan meskipun ada sedikit penurunan dari dekade 1980-an menuju 1990-an. Salah satu hal yang menyebabkan penurunan tingkat keselamatan tersebut adalah ukuran pesawat yang cenderung meningkat pesat. Contoh nyata adalah Boeing yang berkapasitas 124 kursi berevolusi menjadi ER dengan kapasitas 215 kursi. 600 Data Korban Jiwa 737 ( Juni 2007) 500 Jumlah Kasus Tahun Jumlah Korban Jiwa Rata-rata kematian setiap kecelakaan Gambar 3.09 Data korban jiwa dan tingkat kematian setiap kecelakaan Diolah dari data 42

11 Gambar 3.07 memperlihatkan bahwa tingkat keselamatan pada suatu kecelakaan 737 dari tahun ke tahun berfluktuasi, tidak dapat diprediksi serta tidak mengindikasikan adanya peningkatan, baik dari keselamatan kru maupun penumpang. Tingkat keselamatan tertinggi dicapai pada periode tahun 1976 sampai Pada periode ini tingkat keselamatan pada suatu kecelakaan mencapai 91% dari enam kasus yang diterima ASN. Hal ini dapat dimaklumi karena jumlah 737 yang beroperasi pada tahun 1976 hanya berjumlah 481 sementara sampai akhir tahun 1980 jumlah pesawat yang beroperasi tidak lebih dari 698 unit dengan tingkat usia di bawah 10 tahun. Data kecelakaan sepuluh tahun terakhir seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.09 memperlihatkan bahwa jumlah korban jiwa tidak menunjukkan penurunan, bahkan cenderung menunjukkan kenaikan. Hal tersebut diiringi dengan kecendrungan naiknya tingkat korban jiwa pada setiap kecelakaan yang pada pertengahan 2007 ini mencapai 40.3 korban jiwa per kejadian kecelakaan. Padahal pada tahun 1997 tingkat korban jiwa berada pada angka 23.3 bahkan pernah menyentuh angka 0.3 korban jiwa per kejadian kecelakaan pada Ini membuktikan bahwa dalam enam tahun terakhir tingkat korban jiwa per kejadian kecelakaan pada 737 semakin tinggi. Ada baiknya ditinjau tingkat keselamatan dari segi usia pesawat. Berdasarkan gambar 3.10 bila diperhatikan sepintas, hampir tidak terlihat adanya korelasi antara usia pesawat dengan tingkat keselamatan. Padahal secara teori semakin tua usia pesawat maka tingkat keandalan dan kemampuan pesawat akan semakin menurun. Hubungan antara usia pesawat dan jumlah kecelakaan terlihat jelas pada Tabel dengan menggunakan parameter aging factor. Dalam hal ini aging factor didefinisikan sebagai usia rata-rata pesawat mengalami kecelakaan. Tabel 3.06 dengan parameter aging factor memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah kecelakaan yang semakin tinggi merupakan konsekuensi dari semakin bertambahnya usia operasi pesawat. Pada Tabel 3.02 dapat dilihat bahwa terdapat 1151 pesawat berusia di atas 15 pada akhir tahun 2000 yang nantinya berusia lebih dari 20 tahun di tahun 2005 sehingga terdapat 1925 pesawat berusia di atas 15 tahun pada akhir tahun 2005 baik yang masih beroperasi maupun yang sudah tidak beroperasi. Hal inilah 43

12 yang menjadi salah satu faktor dimana kecelakaan pesawat pada periode banyak melibatkan pesawat dengan usia rata -rata di atas 15 tahun. Tabel 3.06 Hubungan perkembangan kasus kecelakaan dengan faktor usia Hasil klasifikasi data akses Juni 2007 No Periode Jumlah kasus Aging factor Juni Tingkat Keselamatan 737 Berdasarkan Usia Pesawat Persentase 90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0% 78.0% 75.0% 79.5% 76.2% 62.6% 68.0% 61.2% 48.6% 0s.d 3 4 s.d 7 8 s.d s.d s.d s.d 23 24s.d 27 > 28 Interval Usia Gambar 3.10 Grafik Tingkat keselamatan dan kecelakaan 737 berdasarkan usia pesawat Diolah dari data akses Juni Penyebab Utama Kecelakaan Berdasarkan penyebab utama kecelakaan dengan kategori hull loss accident yang terjadi pada operasi penerbangan pesawat komersial secara umum (Gambar 3.11) didapatkan kesimpulan bahwa sebagian besar kecelakaan disebabkan kesalahan kru pesawat (55%), urutan kedua ditempati faktor internal pesawat (17%), diikuti oleh faktor cuaca 13%, kejadian lain (7%), faktor kesalahan bandara dan atau 44

13 ATC (5%). Sedangkan pada urutan terakhir ditempai faktor kesalahan perawatan (3%). Bila dibandingkan dengan kasus hull loss accident pesawat 737 terdapat beberapa perbedaan mendasar. Perbedaan mencolok terlihat dari persentase kecelakaan akibat flight crew yang memiliki selisih lebih kecil hingga 15.2%. Perbedaan lain terlihat dari banyaknya kasus kecelakaan yang disebabkan kegagalan internal pesawat yang mencapai 21.2% (4.2% lebih tinggi dibanding kecelakaan pada pesawat komersial). Dapat dipastikan banyaknya kasus kegagalan flight control system pada 737 merupakan salah satu faktor yang memberikan andil cukup besar dalam menyebabkan kecelakaan. Gambar 3.11 Kategori hull lossaccident 737 dan pesawat komersial berdasarkan penyebab utama Sumber: Statistical Summary of Commercial Jet Airplanes Accident Worldwide Operation Boeing dan pengolahan data ASN 3.5 Kegagalan Flight Control System Dari 156 laporan kasus insiden dan kecelakaan Boeing 737 yang diterima ASN terdapat 37 kasus (23,7%) disebabkan faktor kegagalan internal pesawat baik karena kegagalan powerplant, kegagalan sistem, ataupun kegagalan struktur 45

14 pesawat. Sembilan kasus diantaranya (5.8% dari kasus keseluruhan) melibatkan kegagalan flight control system. Kegagalan Internal Pesawat 737 System 35% Structural 16% Powerplant 49% Gambar 3.12 Klasifikasi Kegagalan Internal Pesawat Boeing 737 Diolah dari data Tabel 3.07 Daftar kecelakaan 737 akibar kegagalan flight control system Diolah dari data akses Juni 2007 *) kegagalan sistem rudder Date 17-Dec Jul-86 3-Mar-91 United * 8-Sep-94 USAir *) 22-Oct-95 9-Jun-96 8-Feb Dec Jun-06 Operator AC Type AC age Total Phase Fatalities Indian Airlines B737-2A8 7 1 Take off Pacific Western Airlines B Landing Brtish Airways B East Wind Airlines *) B737-2H5 26 Transavia Airlines B737-2L9 9 Silkair B737-36N 0 TNT Airways B Tiga dari sembilan kasus yang ada pada Tabel 3.07 (33.3%) diakibatkan adanya kegagalan pada sistem rudder dengan modus yang sama yaitu pergerakan rudder di luar kendali akibat kegagalan Power Control Unit (PCU). Fase terjadinya kegagalan pada sistem rudder *) B B737-3B Approach 132 Approach 0 En route 0 Approach 0 En route 104 En route 0 Landing pada ketiga kasus di atas berlangsung pada fase approach dimana pada fase inii terdapat akumulasi beban kerja kru penerbang. Ketiga kasus akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya dalam analisis dan studi kasus. Hingga akhir 90-an saja Boeing mencatat setidaknya lima operator melapor - 7) Service Bulletin Summary ATA: 2721 No: Revision 1: 30 Juni

15 kan adanya kasus pada sistem rudder. Sebagian besar kasus yang diterima pihak Boeing adalah retaknya piston aktuator penggerak yaw damper yang menimbulkan kebocoran fluida hidrolik PCU sehingga yaw damper tidak beroperasi 7). Kasus pada sistem rudder lebih disebabkan faktor kegagalan desain, sedangkan kasus kegagalan pada sistem kendali lainnya (spoiler atau stabilizer) terjadi lebih banyak karena faktor perawatan. 3.6 Kasus Kecelakaan Boeing 737 di Indonesia Berdasarkan data kecelakaan periode yang terdapat dalam ASN jumlah kecelakaan di Indonesia sepuluh tahun terakhir terdapat 42 kasus dengan jumlah korban jiwa mencapai 387 orang. Sedangkan dalam periode terdapat 25 kasus kecelakaan dengan jumlah korban jiwa mencapai 351 orang (termasuk korban di darat). Data tersebut menunjukkan bahwa dalam periode lima tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah kasus kecelakaan sebanyak 47% dari jumlah kecelakaan periode yang hanya mencapai 17 kasus. Peningkatan juga terlihat dari jumlah korban jiwa yang ada, 351 dari 387 korban jiwa akibat kecelakaan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir terjadi dalam periode Jelas suatu prestasi yang buruk dalam dunia penerbangan nasional sehingga wajar apabila asosiasi penerbangan Uni-Eropa menjatuhkan larangan terbang bagi maskapai penerbangan Indonesia di Eropa. Dari 33 kasus yang terjadi pada periode (Tabel 3.08) terdapat sepuluh kasus diantaranya atau sekitar 30% melibatkan pesawat Boeing 737 dengan jumlah korban jiwa mencapai 271 orang atau 72% dari total korban jiwa yang ada. Jumlah kecelakaan yang melibatkan 737 di Indonesia sendiri seluruhnya berjumlah 12 kasus kecelakaan, tiga kasus diantaranya terjadi pada 2007 dengan jumlah korban jiwa sebanyak 123 orang. 47

16 Tabel 3.08 Daftar kecelakaan di Indonesia periode Disusun berdasarkan data-data ASN Januari 2008 Tahun Jumlah kasus Korban jiwa Jumlah Dari Tabel 3.07 terlihat bahwa sebagian besar kejadian kecelakaan Boeing 737 terjadi pada pesawat dengan usia di atas 15 tahun dengan rata-rata usia pesawat 19.7 tahun. Hanya terdapat tiga kasus kecelakaan (30%) yang terjadi pada pesawat di bawah usia 15 tahun sisanya didominasi pesawat di atas 15 tahun (70%). Tabel 3.09 Daftar kecelakaan Boeing 737 di Indonesia periode Disusun berdasarkan data-data dari akses Januari 2008 Tanggal Operator Tipe Usia Korban Jiwa Fase 7-Mar-07 Garuda Landing 21-Feb-07 Adam Air A 12 0 Landing 1-Jan-07 Adam Air 737-4Q En route 24-Dec-06 Lon Airlines 737-4Y Landing 3-Oct-06 Mandala Airlines 737-2T Landing 5-Sep-05 Mandala Airlines Initial Climb 4-Jan-05 Tri-MG Airlines 737-2A9C 35 2 Landing 23-Jan-03 Star Air 737-2B Landing 14-Jan-02 Lion Airlines Takeoff 16-Jan-02 Garuda 737-3Q Approach Total korban jiwa 227 Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang disebutkan ASN sebagai negara yang tidak pernah mengirim laporan resmi hasil investigasi pada ICAO 8). Karena itu sumber publikasi terbatas pada berita lokal di Indonesia. 48

17 Penyebab utama kasus-kasus yang terjadi adalah human error baik itu disebabkan kesalahan kru penerbang, manajemen penerbangan yang tidak sesuai prosedur sampai kesalahan pada proses perawatan. Tercatat tiga kasus kecelakaan (Garuda 7-Mar-07, Mandala 5-Sep-05, serta Lion Air 14-Jan-02) terjadi karena human error. Penyebab terbesar kedua adalah cuaca buruk terutama saat landing (tiga kasus Adam Air 1-Jan-07, Mandala 3-Okt-06, serta Star Air 23-Jan-03). Tercatat enam dari sepuluh kecelakaan Boeing 737 (60%) terdapat pada fase landing. Faktor lain penyebab kecelakaan adalah kegagalan propulsi pesawat seperti yang terjadi pada kasus 16 januari 2002 yang dialami Garuda Flight ) Ranter, Harro Access to Airsafety Information. ASN 49

ANALISIS DATA KECELAKAAN DAN KEGAGALAN SISTEM RUDDER BOEING 737

ANALISIS DATA KECELAKAAN DAN KEGAGALAN SISTEM RUDDER BOEING 737 ANALISIS DATA KECELAKAAN DAN KEGAGALAN SISTEM RUDDER BOEING 737 TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk meyelesaikan pendidikan tingkat sarjana strata satu Teknik Penerbangan Oleh

Lebih terperinci

BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan

BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan 3.1 Perkembangan Keselamatan Penerbangan. Sejak penerbangan pertama kali yang dilakukan oleh Wright bersaudara seratus tahun yang lalu, dunia penerbangan telah

Lebih terperinci

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN 2010 2016 () Oleh: Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Jakarta, 30 November 2016 Tahun Media Release KNKT Data Investigasi Kecelakaan Penerbangan

Lebih terperinci

BAB III. EVALUASI DATA KEANDALAN

BAB III. EVALUASI DATA KEANDALAN BAB III. EVALUASI DATA KEANDALAN 3.1 PENDAHULUAN Pada Bab ini dievaluasi data keandalan APU. Evaluasi yang dilakukan adalah melihat kecenderungan laporan kegagalan APU, pengoperasian APU dan pencatatan

Lebih terperinci

Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia

Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=278102 Senin, 29 Desember 2014, 05:03:00 SEKARANG INI 28 Desember 2014 Airbus A320-200 milik Air Asia dengan rute

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar. Dengan demikian masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana transportasi guna mendukung mobilitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan semakin bertambahnya maskapai

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan semakin bertambahnya maskapai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada abad 21 ini perkembangan transportasi udara mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan semakin bertambahnya maskapai penerbangan

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Komponen Berat Pesawat Udara Berat pesawat udara, pada umumnya, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu APS (Aircraft Prepared for Service) weight, payload, dan berat bahan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS RUNWAY UTARA BANDARA SOEKARNO - HATTA

BAB IV STUDI KASUS RUNWAY UTARA BANDARA SOEKARNO - HATTA BAB IV STUDI KASUS RUNWAY UTARA BANDARA SOEKARNO - HATTA IV.1 Kategori Pesawat Pada Runway Utara Type pesawat yang beroperasi di runway utara pada saat melakukan pendekatan ke runway dikelompokan dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga aspek yaitu keselamatan penerbangan (safety), keselamatan gedung (security), dan total quality management

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Penerbangan domestik 2. Penerbangan

Lebih terperinci

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE 3.1 Pendahuluan Dalam tugas akhir ini, mengetahui optimalnya suatu penerbangan pesawat Boeing 747-4 yang dikendalikan oleh seorang pilot dengan menganalisis

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 231 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN INDIKATOR KINERJA KESELAMATAN (SAFETYPERFORMANCE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia penerbangan, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan bertambahnya pesawat-pesawat yang digunakan oleh industri-industri penerbangan. Pertambahan

Lebih terperinci

KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL

KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Sarjana Oleh : YAFIS AFI 13602013 Pembimbing :

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN 1. Tujuan Perencanaan Sistem Bandara (Airport System), adalah : a. Untuk memenuhi kebutuhan penerbangan masa kini dan mendatang dalam mengembangkan pola pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1 Sumber dari 2 Sumber dari

1 PENDAHULUAN. 1 Sumber dari  2 Sumber dari 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak yaitu kurang lebih 237 juta orang 1, dengan total wilayahnya sebesar 5,2 juta kilometer

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/12/62/Th.X, 1 Desember PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Oktober, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing Masing 19.470 Orang dan 136.444 Orang.

Lebih terperinci

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara Studi Analisis Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun 2007-2016 Runway Excursion Analysis Study

Lebih terperinci

KAJIAN PENGATURAN SLOT PENERBANGAN DI BANDARA SENTANI JAYAPURA

KAJIAN PENGATURAN SLOT PENERBANGAN DI BANDARA SENTANI JAYAPURA KAJIAN PENGATURAN SLOT PENERBANGAN DI BANDARA SENTANI JAYAPURA Efendy Tambunan 1 dan Novalia Cicilia Manafe 2 1 Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Kristen Indonesia, Jl. Sutoyo, Cawang, Jakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya produk berupa barang yang banyak memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Di era modern dan perkembangan teknologi serta meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5448 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 156) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI /.CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/04/62/Th.XI, 3 April PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Februari, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 18.783 Orang dan 121.679 Orang.

Lebih terperinci

PERSEPSI PENUMPANG SRIWIJAYA AIR MENGENAI KESELAMATAN PENERBANGAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

PERSEPSI PENUMPANG SRIWIJAYA AIR MENGENAI KESELAMATAN PENERBANGAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 PERSEPSI PENUMPANG SRIWIJAYA AIR MENGENAI KESELAMATAN PENERBANGAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Diajukan oleh : Deasy Mayasari F 100 040 172 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/03/62/Th.XI, 1 Maret 2017 PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Januari 2017, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 20.970 Orang dan 139.148

Lebih terperinci

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum dan Objek Observasi Setiap manusia di dunia memiliki kebutuhan dan keinginan dalam usaha untuk mempertahankan hidup, namun sering kali manusia tidak suka memperhatikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 15/11/62/Th.X, 1 November PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama September, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 24.894 Orang dan 132.010 Orang.

Lebih terperinci

Variabel-variabel Pesawat

Variabel-variabel Pesawat Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Impact of Aircraft Characteristics on Airport Design Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Variabel-variabel Pesawat Berat (weight) diperlukan

Lebih terperinci

PENILAIAN KESELAMATAN SISTEM HIDROLIK PESAWAT TERBANG H-8. C. Sukoco. B

PENILAIAN KESELAMATAN SISTEM HIDROLIK PESAWAT TERBANG H-8. C. Sukoco. B PENILAIAN KESELAMATAN SISTEM HIDROLIK PESAWAT TERBANG H-8 C. Sukoco. B Program Studi Aeronautika Sekolah Tinggi Teknologi adisutjipto Email: cyrillus skc@yahoo.co.id Abstract A hydraulic system is one

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem hidrolik merupakan salah satu sistem yang sangat berguna untuk kehidupan sehari hari maupun dalam dunia industri, karena fungsi dari sistem hidrolik

Lebih terperinci

Yune Andryani Pinem 1), Made Yukta Dewanti 2) Program Studi D3 Manajemen Transportasi Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan.

Yune Andryani Pinem 1), Made Yukta Dewanti 2) Program Studi D3 Manajemen Transportasi Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan. ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN PENUMPANG TEHADAP STANDAR KESELAMATAN PENERBANGAN DI PT GARUDA INDONESIA BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA Yune Andryani Pinem 1), Made Yukta Dewanti 2)

Lebih terperinci

BAB IV Study Kasus dan Analisis

BAB IV Study Kasus dan Analisis BAB I Study Kasus dan Analisis 4.1 Pendahuluan Pada Bab ini dipilih beberapa kasus kecelakaan penerbangan yang terjadi di dalam dan luar negeri serta melibatkan faktor kelalaian manusia sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi.

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012 Rahimudin 1) 1) STTKD Yogyakarta Abstrak Penyebab, kecelakaan pesawat terbang tidak

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT PELAYANAN PENUMPANG DI BANDARA ADISUTJIPTO YOGYAKARTA

KAJIAN TINGKAT PELAYANAN PENUMPANG DI BANDARA ADISUTJIPTO YOGYAKARTA Kajian Tingkatan Pelayanan Penumpang Di Bandara Adisutjipto Yogyakarta KAJIAN TINGKAT PELAYANAN PENUMPANG DI BANDARA ADISUTJIPTO YOGYAKARTA S r i M u l y a n i 1, D w i H a r t i n i 2 Prodi Teknik Penerbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era modern ini, persaingan dalam dunia bisnis jasa semakin ketat. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Di era modern ini, persaingan dalam dunia bisnis jasa semakin ketat. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era modern ini, persaingan dalam dunia bisnis jasa semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya bisnis yang bergerak dalam bidang jasa. Dalam kehidupan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/08/62/Th.XI, 1 Agustus PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Juni, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 37.461 Orang dan 142.782 Orang. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Globalisasi telah mendorong timbulnya persaingan yang sangat kompetitif dalam segala bidang usaha. Keberhasilan kompetisi ini sangat ditentukan oleh antisipasi pasar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No.15/01/62/Th.XI, 3 Januari 2017 PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama November, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 15.421 Orang dan 134.810 Orang.

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN JUNI 2016

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN JUNI 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN JUNI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Mei 2007 No. 31/06/16/Th.XVIII, 1 Juni No. 42/08/16/Th.XVIII, 1 Agustus PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN BAB 4 HASIL DAN BAHASAN 4.1 Hasil dan Bahasan 4.1.1 Penentuan Suku Cadang Prioritas Untuk menentukan suku cadang prioritas pada penulisan tugas akhir ini diperlukan data aktual permintaan filter fleetguard

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi canggih dan telah memiliki peranan penting pada abad ini. Seseorang dapat melakukan perjalanan

Lebih terperinci

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2009 MENCAPAI 60,59 PERSEN

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2009 MENCAPAI 60,59 PERSEN No. 06/02/34/TH.XII, 01 Februari 2010 TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR HOTEL BINTANG PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2009 MENCAPAI 60,59 PERSEN Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2016

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Juli 2007 No. 56/10/16/Th.XVIII, 3 Oktober PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2016

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., April 2007 No. 31/06/16/Th.XVIII, 1 Juni No. 35/07/16/Th.XVIII, 1 Juli PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Lebih terperinci

FLIGHT PLAN. Petunjuk Pengisian Flight Plan: Pilih menu UPLOAD DATA Flight Plan Create, tentukan station dan tanggal, kemudian klik Add.

FLIGHT PLAN. Petunjuk Pengisian Flight Plan: Pilih menu UPLOAD DATA Flight Plan Create, tentukan station dan tanggal, kemudian klik Add. FLIGHT PLAN Flight plan yang digunakan pada web Centralized Dispatch merupakan computerized flight plan, dimana perhitungannya dilakukan oleh sistem berdasarkan database di dalam server yang telah disesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya bidang teknologi dan perubahan pola kehidupan manusia yang semakin cepat membuat begitu banyak aktivitas yang harus dilakukan oleh manusia untuk

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN DESEMBER 2016

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN DESEMBER 2016 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN DESEMBER 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., September 2007 No. 07/02/16/Th.XIX, 1 Februari 2017 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS DAN ANALISIS

BAB IV STUDI KASUS DAN ANALISIS BAB IV STUDI KASUS DAN ANALISIS 4.1 Pendahuluan Secara umum prosedur investigasi kecelakaan (accident) dan insiden penerbangan pesawat komersial diatur oleh badan International Civil Aviation Organization

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring pesatnya kemajuan teknologi, segala sesuatu semakin mudah dilakukan, misalnya untuk mengakses informasi sangat mudah dilakukan dan cepat dilakukan semenjak

Lebih terperinci

JUL LI ,43. senilai US$ juta. 327,07 ribu. senilai. ton atau. Ekspor. negeri yang. perdagangan luar 16,63

JUL LI ,43. senilai US$ juta. 327,07 ribu. senilai. ton atau. Ekspor. negeri yang. perdagangan luar 16,63 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JUL LI 2015 No. 02/09/Th. VI, 1 September 2015 Nilai ekspor Sulawesi Tenggara pada bulan Juli 2015 tercatat US$ 37,48 juta atau mengalami peningkatan sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dari semua produk yang dimiliki. Dengan upaya

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dari semua produk yang dimiliki. Dengan upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini semua perusahaan dituntut untuk terus mempertahankan dan meningkatkan kualitas dari semua produk yang dimiliki. Dengan upaya demikian,maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah pesawat yang digunakan. Peningkatan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah pesawat yang digunakan. Peningkatan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini pesawat terbang sudah menjadi salah satu mode transportasi yang digemari banyak orang. Semakin banyak permintaan berbanding lurus dengan meningkatnya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN FEBRUARI 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN FEBRUARI 2016 No. 21/04/36/Th. X, 1 April PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN FEBRUARI A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR FEBRUARI TURUN 2,06 PERSEN MENJADI US$669,68 JUTA Nilai ekspor Banten pada turun 2,06 persen dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I terdiri dari empat sub bab, sub bab pertama menguraikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I terdiri dari empat sub bab, sub bab pertama menguraikan BAB I PENDAHULUAN Pada bab I terdiri dari empat sub bab, sub bab pertama menguraikan mengenai latar belakang masalah penelitian yang menjelaskan mengenai alasan mengapa peneliti memilih judul penelitian.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 03 MANAJEMEN BAHAYA HEWAN LIAR DI BANDAR UDARA

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN DESEMBER 2014

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN DESEMBER 2014 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN DESEMBER 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., ember 2007 No. 07/02/16/Th.XVII, 02 Februari 2015 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA

Lebih terperinci

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 26/05/72/Th. XVIII, 04 Mei 2015 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Maret 2015, TPK Hotel Bintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 68/12/72/Th.XVII, 01 Desember 2014 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Oktober 2014, TPK Hotel

Lebih terperinci

KAJIAN TEKNIS PERENCANAAN PERKERASAN LANDAS PACU

KAJIAN TEKNIS PERENCANAAN PERKERASAN LANDAS PACU PROTEKSI (Proyeksi Teknik Sipil) 171 KAJIAN TEKNIS PERENCANAAN PERKERASAN LANDAS PACU (Studi Kasus Bandar Udara Tjilik Riwut Palangka Raya) Oleh: Oktosuyono 1), Robby 2), dan Mohamad Amin 3) Bandar Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebersamaan dengan seseorang. Yakni berbagi informasi, ide atau sikap.

BAB I PENDAHULUAN. kebersamaan dengan seseorang. Yakni berbagi informasi, ide atau sikap. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi berasal dari bahasa latin Common yang berarti umum atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan yang berorientasi pada keuntungan selalu mengharapkan profit dari usaha yang mereka keluarkan, profit tersebut digunakan baik untuk eksistensi

Lebih terperinci

SKEP /40/ III / 2010

SKEP /40/ III / 2010 SKEP /40/ III / 2010 PETUNJUK DAN TATA CARA PELAPORAN KEJADIAN, KEJADIAN SERIUS DAN KECELAKAAN DI BANDAR UDARA BAGIAN 139-04 (ADVISORY CIRCULAR PART 139 04, INCIDENT, SERIOUS INCIDENT, AND ACCIDENT REPORT)

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 61/11/72/Th.XIX, 01 November 2016 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama September 2016, TPK Hotel

Lebih terperinci

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 32/06/72/Th.XVII, 02 Juni 2014 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama April 2014, TPK Hotel Bintang

Lebih terperinci

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans.

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. (1) Domestik. (2) International. E. Pemisahan minimum/separation Minimums. F. Prioritas Penanganan/Priority Handling.

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1 PERENCANAAN BANDAR UDARA Page 1 SISTEM PENERBANGAN Page 2 Sistem bandar udara terbagi menjadi dua yaitu land side dan air side. Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung

Lebih terperinci

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 08/02/72/Th.XVII, 03 Februari 2014 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Desember 2013, TPK Hotel

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, berikut akan disajikan kesimpulan hasil penelitian tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Hasil pengujian hipotesis pertama

Lebih terperinci

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas Vol. 2 No. 3 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional September 2016 Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN JULI 2017

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN JULI 2017 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN JULI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., Juni 2007 No. 31/06/16/Th.XVIII, 1 Juli 2017 No.49/09/17/Th.IX, 4 September 2017 PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Total Penumpang

BAB I PENDAHULUAN. Total Penumpang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta terletak 7 Km di sebelah timur kota Yogyakarta dan masuk di wilayah Kabupaten Sleman. Bandar Udara (Bandara) Adisutjipto Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keselamatan penerbangan selalu menjadi hal serius selama bertahun-tahun hal ini dikarenakan resiko kematian yang di akibatkan oleh suatu kecelakaan pesawat terbang

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 34/06/72/Th.XVIII, 01 Juni 2015 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama April 2015, TPK Hotel Bintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat besar dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat besar dan terdiri dari banyak pulau-pulau, baik itu pulau besar maupun pulau-pulau yang kecil.

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 38/07/72/Th.XVIII, 01 Juli 2015 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Mei 2015, TPK Hotel Bintang

Lebih terperinci

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM FAKTOR PENGARUH KAPASITAS RUNWAY Beberapa faktor pengaruh antara lain: 1. Jumlah runway 2. Pemisahan pesawat yang landing

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA Oleh Theresia Carmenia Yudithio Ni Putu Purwanti Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 61/11/72/Th.XVIII, 02 November 2015 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama September 2015, TPK

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 43/08/72/Th.XVIII, 03 Agustus 2015 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Juni 2015, TPK Hotel

Lebih terperinci

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY www.m.tempo.com Maskapai penerbangan Lion Air kembali dilanda masalah keterlambatan alias delay. Setelah mengalami keterlambatan hingga 25 jam di Bandara Soekarno-Hatta,

Lebih terperinci

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Perekonomian Jambi yang mampu tumbuh sebesar 5,89% pada tahun 2006 merupakan prestasi tersendiri. Pada awal tahun bekerjanya mesin ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki dalam setiap moda transportasi. Salah satu moda transportasi yang harus memiliki standar peraturan keamanan

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 52/09/72/Th.XVIII, 01 September 2015 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Juli 2015, TPK Hotel

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI

PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI CQWWka BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 15/09/62/Th.X, 1 September PERKEMBANGAN JASA TRANSPORTASI Selama Juli, Jumlah Penumpang Angkutan Laut dan Udara Masing-Masing 77.639 Orang dan 154.425 Orang. Jumlah

Lebih terperinci

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH

TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH No. 08/02/72/Th.XIX, 01 Februari 2016 PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI DAN TRANSPORTASI SULAWESI TENGAH A. PERKEMBANGAN TINGKAT PENGGUNAAN SARANA AKOMODASI Selama Desemebr 2015, TPK Hotel

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT JULI 2017

PROVINSI JAWA BARAT JULI 2017 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR No. 050/09/32/Th.XIX, 4 September 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JULI 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR JULI 2017 MENCAPAI USD 2,59

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memudahkan masyarakat untuk melakukan perjalanan jarak jauh.

BAB I PENDAHULUAN. yang memudahkan masyarakat untuk melakukan perjalanan jarak jauh. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketersediaan ragam dan jenis transportasi umum di Indonesia memudahkan masyarakat untuk bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Salah satunya menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya pembangunan disegala bidang khususnya bidang ekonomi pada dewasa ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat penting didalam menunjang aktifitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi udara telah menjadi salah satu moda transportasi penting untuk perjalanan dengan jarak menengah dan jarak jauh. Prasarana utama yang menangani pergerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang penelitian Industri penerbangan merupakan salah satu sektor industri yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung relatif

Lebih terperinci

PA U PESAW PESA AT A T TER

PA U PESAW PESA AT A T TER PERENCANAAN PANJANG LANDAS PACU PESAWAT TERBANG Didalam merencanakan panjang landas pacu, dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Menurut ICAO (International Civil Aviation

Lebih terperinci

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2015

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2015 PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR - IMPOR SUMATERA SELATAN MEI 2006 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. / /Th., 2007 No. 28/05/16/Th.XVII, 15 No. 37/07/16/Th.XVII, 1 Juli PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Perusahaan penerbangan adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang angkutan udara yang mengangkut penumpang, barang, pos, dan kegiatan keudaraan lainnya

Lebih terperinci

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN Sumber: Database KNKT Desember 2013

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN Sumber: Database KNKT Desember 2013 DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN - Sumber: Database KNKT Desember DATA KECELAKAAN PERKERETAAPIAN YANG DIINVESTIGASI KNKT TAHUN - JENIS KECELAKAAN TAHUN 9 TOTAL KORBAN JIWA JUMLAH REKOMENDASI

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN NOVEMBER 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN NOVEMBER 2016 No. 03/01/36/Th.XI, 3 Januari 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN NOVEMBER A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR NOVEMBER NAIK 20,01 PERSEN MENJADI US$941,27JUTA Nilai ekspor Banten pada naik 20,01 persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, Indonesia membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi masyarakatnya. Di Indonesia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT DESEMBER 2016 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR DESEMBER 2016 MENCAPAI USD 2,29 MILYAR No. 08/02/32/Th.XIX, 01

Lebih terperinci