WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara"

Transkripsi

1 WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara Studi Analisis Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun Runway Excursion Analysis Study in Indonesia Base on National Transportation Safety Committee (NTSC) Database Abadi Dwi Saputra Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Jl. Medan Merdeka Timur No. 5, Jakarta, 1 abadi.dwi.saputra@gmail.com INFO ARTIKEL Histori Artikel: Diterima: 15 November 2017 Direvisi: 11 Desember 2017 Disetujui: 30 Desember 2017 Dipublikasi online: 31 Des 2017 Keywords: runway excursion, deskriptive analysis, NTSC Kata kunci: runway excursion, analisa deskriptif, KNKT ABSTRACT / ABSTRAK Aircraft accidents can occur either on the air or the land, the accidents can occur inside or around the airport and also outside the airport. The aircraft accident inside the airport that often happens is in the runway area when the plane take off or landing. In this research will be discussed the incident of runway excursion that investigated by KNKT during period. The purpose of this study is to identify and analyze the characteristics of runway excursion events investigated by KNKT. This study is a retrospective study of secondary data from aircraft accident reports collected by KNKT and the results are analyzed descriptively. The analysis show that the highest flying phase of runway excursion occurred in the landing phase of 95 cases, with the highest occurrence was the incidence of veers off was 73 cases, and the highest runway excursion type was AOC 121 of 48%. The most frequent area of runway excursion accidents is the region of Papua was 38 cases. The analysis also shows that the highest accidental runway excursion rate occurred in 2011, while the lowest occurred in Kecelakaan pesawat dapat terjadi baik di udara maupun di darat, untuk kejadian di darat kecelakaan dapat terjadi di dalam atau disekitar bandara maupun diluar bandara. Lokasi kecelakaan pesawat yang berada di dalam bandara yang sering terjadi adalah di daerah landas pacu atau runway baik pada saat pesawat akan melakukan lepas landas maupun pada saat melakukan pendaratan. Pada penelitian ini akan dibahas kejadian runway excursion kecelakaan pesawat terbang yang diinvestigasi oleh KNKT selama kurun waktu Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisa karakteristik kejadian runway excursion yang diinvestigasi oleh KNKT. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif data sekunder dari laporan kecelakaan pesawat terbang yang dihimpun oleh KNKT dan hasilnya dianalisa secara deskriptif. Dari hasil penelitian didapatkan hasil untuk fase terbang kejadian runway excursion tertinggi terjadi pada fase landing sebesar 95 kasus, dengan kejadian tertinggi adalah kejadian veer off sebesar 73 kasus, dan tipe operasi yang tertinggi mengalami runway excursion adalah AOC 121 sebesar 48%. Wilayah yang paling sering terjadi kecelakaan runway excursion adalah wilayah Papua sebesar 38 kasus. Hasil analisa juga menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan (rate of accident) kejadian runway excursion tertinggi terjadi pada tahun 2011, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 93

2 PENDAHULUAN Kecelakaan adalah suatu peristiwa yang tidak diduga dan juga tidak disengaja yang mengakibatkan korban manusia dan atau kerugian fisik lainnya. Sementara yang dimaksud dengan kecelakan pesawat terbang adalah suatu peristiwa yang terjadi diluar dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang dapat menimbulkan kerugian baik korban jiwa manusia, kerusakan fisik pesawat maupun fasilitas lainnya. Kecelakaan pesawat dapat terjadi baik di udara maupun di darat, untuk kejadian di darat kecelakaan dapat terjadi di dalam atau disekitar bandara maupun diluar bandara. Lokasi kecelakaan pesawat yang berada di dalam bandara yang sering terjadi adalah di daerah landas pacu atau runway baik pada saat pesawat akan melakukan lepas landas (take off) maupun pada saat melakukan pendaratan (landing). Salah satu kejadian yang sering terjadi di daerah landas pacu (runway) adalah runway excursion. Pesawat disebut mengalami runway excursion (tergelincir) manakala pesawat berhenti pada posisi diluar baik diposisi kiri ataupun kanan (veer off) dari landasan maupun diluar akhir dari ujung landasan (overrun). Dari data kecelakaan pesawat terbang yang dihimpun dan diinvestigasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Kementerian Perhubungan, Republik Indonesia, selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 telah terjadi 280 kali kecelakaan pesawat terbang (accident dan serious incident), dengan 5 kasus atau 37,5% diantaranya adalah kejadian runway excursion, atau ± kali terjadi kecelakaan runway excursion per tahun. Kejadian pesawat tergelincir atau pesawat mengalami runway excursion di Indonesia yang cukup tinggi dirasa sangat perlu untuk dicari penyebab dan solusinya sehingga dunia penerbangan di Indonesia mampu menjadi lebih baik lagi. Berdasarkan hal tersebut diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa karakteristik kecelakaan runway excursion dilihat dari kategori kecelakan, waktu kejadian, fase terbang, tipe operasi pesawat, lokasi/wilayah kejadian dan berat Maximum Take Off Weight (MTOW) pesawat yang terjadi di Indonesia yang diinvestigasi oleh KNKT. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kecelakaan Pesawat Dalam dunia penerbangan dan dalam bidang investigasi istilah kecelakaan biasanya didefinisikan sebagai dua hal yang berbeda, yaitu kecelakaan (accident) dan kejadian (incident). Munculnya kedua istilah tersebut didasarkan pada 94 adanya perbedaan pada tingkat bahaya, korban jiwa, luka-luka, serta tingkat kerugian yang terjadi. Menurut International Civil Aviation Organization (ICAO), pengertian kecelakaan pesawat udara sipil (accident) adalah suatu kejadian yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu ketika semua orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat udara (ICAO, 2001). Lain halnya dengan pengertian dari Serious Incident, ICAO (Annex 13, 2001) mengartikan serious incident sebagai suatu incident yang menyangkut keadaan dan yang mengindikasikan bahwa suatu accident nyaris terjadi. Perbedaan antara suatu accident dengan suatu serious incident hanya terletak pada akibatnya. Sementara itu untuk pengertian insiden pesawat (aircraft incident) menurut ICAO, NTSB, dan Boeing adalah suatu kejadian selain daripada suatu accident yang terkait dengan pengoperasian suatu pesawat terbang yang berdampak atau dapat berdampak terhadap keselamatan atas pengoperasian tersebut (ICAO, 2001, NTSB, 2006 dan Boeing, 2012). Runway Excursion Pada dasarnya runway excursion merupakan suatu kondisi dimana pesawat tergelincir atau keluar landas pacu pada saat lepas landas atau mendarat baik disengaja oleh pilot untuk menghindari objek atau benda dilandas pacu ataupun tidak disengaja yang dapat berakibat pada kehilangan jiwa atau kerusakan pesawat terbang (ICAO, 2008). Sedangkan Federal Aviation Administration (FAA) mengartikan runway excursion sebagai suatu kejadian yang melibatkan sebuah pesawat yang mengalami kejadian keluar dari landasan baik di akhir ujung landas pacu (over run) maupun di sisi kanan ataupun kiri landas pacu (veer off), yang diakibatkan oleh kesalahan pilot, cuaca yang buruk atau kerusakan pada pesawat (FAA, 2014). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan runway excursion adalah suatu kejadian dimana suatu pesawat mengalami peristiwa keluar landas pacu baik diakhir ujung landas pacu (overrun) ataupun disisi kiri maupun sisi kanan landaspacu (veer off) yang terjadi pada saat pesawat akan tinggal landas (take off) maupun pada saat melakukan pendaratan (landing). METODOLOGI Penelitian ini adalah penelitian retrospektif data sekunder dari laporan kecelakaan pesawat terbang yang dihimpun oleh KNKT Kementerian Warta Ardhia, Volume 43 No. 2 Desember 2017, hal 93-4

3 Perhubungan, selama kurun waktu dan hasilnya akan dianalisa secara deskriptif. Dalam penelitian ini data kecelakaan pesawat terbang yang digunakan adalah data kecelakaan pesawat terbang yang mengalami runway excursion selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan Sementara untuk menghitung dan menentukan tren laju kecelakaan (rate of accident) pesawat terbang yang mengalami kejadian runway excursion dilakukan analisa dengan membandingkan jumlah kecelakaan (runway excursion) per seratus ribu penerbangan. (KNKT, 2012) A RA AH Keterangan: RA : Rate of Accident (laju kecelakaan) A : Accident (kecelakaan yang terjadi) AH : Aircraft Hour (total jam terbang) HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Data Kejadian Runway Excursion Tahun Dalam kurun waktu tahun ( ) KNKT telah melaksanakan investigasi dan penelitian kejadian runway excursion sebanyak 5 dari total kejadian kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia yang berjumlah 280 kejadian, atau 37,5% dari total kecelakaan yang terjadi merupakan runway excursion. Data kecelakaan runway excursion yang diinvestigasi KNKT dari tahun 2007 sampai 2016, dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah. Tabel 1 : Data Kecelakaan Pesawat Terbang( ) Jenis Kecelakaan Korban Jiwa No Tahun Jumlah Kecelakaan Runway Excursion Lainnya* Meninggal/Hilang Luka-luka TOTAL Sumber: Database KNKT, 2016 Keterangan: *weather, CFIT, abnormal runway contact, fire/smoke (non impact), wildlife, under/overshoot, turbulence, runway incursion, etc. Gambar 1. Jumlah dan Tren Kecelakaan Runway Excursion Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasiona Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 95

4 Dari data kecelakaan pesawat terbang yang mengalami runway excursion selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai 2016 ditemukan bahwa tren kecelakaan pesawat terbang yang mengalami runway excursion di Indonesia berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana kejadian runway excursion tertinggi terjadi ditahun 2011 dan 2013 dengan jumlah kejadian 16 kasus, sedangkan yang terrendah terjadi pada tahun 2008 dengan jumlah kejadian 5 kasus (sebagaimana terlihat garis hitam pada Gambar 1 di atas). Waktu Kejadian Kategori Kecelakaan Gambar 3.Diagram Jumlah Kecelakaan Runway Excursion Dilihat dari Jam Kejadian 70% Accident 30% Serious Incident Gambar 2.Diagram Jumlah KecelakaanRunway ExcursionDilihat dari Kategori Kecelakaan Jika dilihat dari data kejadian runway excursion secara keseluruhan dari kurun waktu 2007 sampai dengan 2016, sebesar 70% dari total kejadian runway excursion pesawat terbang masuk dalam kategori accident, sedangkan 30% adalah masuk dalam kategori serious incident. Pengertian accident dalam dunia penerbangan adalah suatu peristiwa yang terjadi diluar dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat terbang yang berlangsung sejak penumpang naik pesawat atau boarding dengan maksud melakukan suatu penerbangan sampai waktu semua penumpang turun dari pesawat atau debarkasi, dimana dalam peristiwa tersebut mengakibatkan orang meninggal dunia atau luka parah baik secara langsung maupun tidak langsung atau pesawat mengalami kerusakan-kerusakan struktural yang berat dan pesawat memerlukan perbaikan yang besar atau pesawat hilang sama sekali. Sedangkan yang dimaksud dengan serious incident adalah suatu incident yang menyangkut keadaan dan yang mengindikasikan bahwa suatu accident nyaris terjadi. Perbedaan antara kejadian accident dan serious incident pada pesawat terbang hanya terletak pada akibat yang ditimbulkannya. Waktu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Dalam dunia penerbangan dimensi waktu terbang lebih tertuju pada siklus arus penumpang dan juga jam puncak lalu lintas udara (peak traffic hour) atau lebih khusus lagi adalah waktu operasional pesawat udara dalam melaksanakan penerbangan Berdasarkan gambar diagram di atas (Gambar 3) terlihat bahwa kejadian runway excursion pesawat terbang terjadi pada rentang waktu pukul (morning) yaitu sebesar 50%, sedang 35% lainnya kecelakaan terjadi pada rentang waktu (afternoon), sementara pada rentang waktu (night) yaitu sebesar 15%, dan pada rentang waktu (early morning) persentase terjadinya runway excursion pesawat terbang adalah 0%. Apabila dicermati rentang waktu pukul (morning) menjadi saat paling banyak terjadinya kecelakaan pesawat terbang khususnya kejadian runway excursion, hal ini dikarenakan bahwa pada pukul (morning) merupakan puncak jam sibuk lalu lintas udara (golden time) dan merupakan operasional terbesar dari pergerakan pesawat udara di wilayah Indonesia sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi performa seorang pilot yang pada akhirnya dapat mengakibatkan atau menurunkan tingkat kewaspadaan dari pilot itu sendiri. 96 Warta Ardhia, Volume 43 No. 2 Desember 2017, hal 93-4

5 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Gambar 4.Diagram Jumlah Kecelakaan Runway Excursion Dilihat dari Hari Kejadian Sementara jika dilihat dari hari kejadian, berdasarkan diagram diatas (Gambar 4) diketahui bahwa kejadian runway excursion tertinggi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 adalah terjadi pada hari jumat sejumlah 23 kejadian atau 21,9% dari total kejadian runway excursion yang terjadi di Indonesia Gambar 5.Diagram Jumlah Kecelakaan Runway Excursion Dilihat dari Bulan Kejadian Sedangkan jika ditinjau berdasarkan bulan kejadian, dari diagram diatas diketahui bahwa kejadian runway excursion di Indonesia selama kurun waktu tahun ( ) tertinggi terjadi pada bulan Maret sebanyak 14 kasus, dan yang terrendah terjadi pada bulan Mei sebanyak 4 kasus runway excursion Fase Terbang LANDING Gambar 6.Diagram Jumlah KecelakaanRunway Excursion ditinjau dari Fase Terbang Fase terbang (phase of flight) adalah tahapan terbang dari suatu pesawat udara dari tinggal landas sampai pada pendaratan berikutnya, tetapi tidak termasuk pendaratan teknis (technical landing). Penerbangan dimulai dari seseorang naik pesawat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu ketika semua orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat udara (ICAO, 2001). Fase terbang terdiri dari (ICAO, 2006), taxi, lepas landas (take off), terbang menanjak (climb), terbang jelajah (cruise), terbang menurun (descent), pendekatan (approach) dan pendaratan (landing). Dari Gambar 6 diatas, diketahui bahwa kejadian runway excursion terbanyak terjadi ketika pesawat berada pada fase landing atau pesawat akan melakukan pendaratan yaitu sebesar 95 kasus kejadian atau sekitar 90,5% dari seluruh kejadian runway excursion di Indonesia, sedangkan kasus atau 9,5% terjadi ketika pesawat akan lepas landas atau take off. Apabila dicermati fase landing adalah fase yang terjadi dekat dengan tanah (near the ground) sehingga mengakibatkan resiko yang lebih besar dalam hal keselamatan dalam suatu penerbangan. Proses pendaratan pesawat atau landing adalah proses perpindahan ruang dari satu area atau dimensi ke area atau dimensi yang lain, dalam hal ini adalah perpindahan pesawat dari ruang area atau dimensi angkasa yang bersifat tidak terbatas ke ruang area atau dimensi yang jauh lebih terbatas yakni didarat. Selain itu pada tahap ini juga banyak prosedur penggantian pengoperasian pesawat (aircraft configuration) yang harus dilakukan oleh pilot. Tingkat kompleksitas berbagai sistem yang harus dioperasikan dapat mempengaruhi seorang pilot sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan (error) dapat meningkat. Hal lain yang dapat diamati dan terjadi pada tahap ini (fase TAKE OFF Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasiona Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 97

6 pendaratan) adalah kecenderungan terjadinya kesalahan (error) yang muncul bila seorang pilot mulai mendekati atau memasuki tempat pendaratan, efek ini sering disebut end deteriotation. (Dhenin, et al. 1978, dalam Mustopo, 2011), dimana arti dari efek ini adalah kelelahan seorang pilot yang tak tertahan lagi untuk beristirahat (relaks) saat pesawat terbang mendekati akhir pendaratan. Dalam suatu penerbangan yang penuh dengan kondisi yang memungkinkan seorang pilot stres dan tertekan, pada suatu titik tertentu seorang pilot akan mengalami kelelahan dan keinginan yang sangat (besar) untuk beristirahat, apabila keinginan tersebut tak dapat terbendung lagi maka akan menyebabkan seorang pilot ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan akhir penerbangan, dimana konsekuensi dari hal tersebut adalah menurunnya tingkat kewaspadaan dan kesiagaan dari pilot itu sendiri. Seperti diketahui bahwa salah satu penyebab utama kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan oleh manusia adalah karena faktor kelelahan (fatique) yang dapat berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau menurunnya kinerja (drop performance) yang melanda seorang pilot. Gambar 7. Jumlah dan Tren Kecelakaan Runway Excursion Saat Landing Hasil analisa berdasarkan Gambar 7 diatas dapat dinyatakan bahwa tren kecelakaan runway excursion saat pesawat akan mendarat atau pada saat pesawat berada pada tahap fase landing dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 cenderung mengalami peningkatan, dengan kejadian tertinggi kecelakaan runway excursion terjadi pada tahun 2013 sebesar 14 kasus, dan yang terendah terjadi pada tahun 2008 sejumlah 4 (empat) kasus, dimana yang dimaksud dengan pendaratan (landing), adalah bagian terakhir dari suatu penerbangan, di mana suatu penerbangan pesawat terbang kembali ke landas pacu (ICAO, 2006). Gambar 8. Jumlah dan Tren Kecelakaan Runway Excursion Saat Take off 98 Warta Ardhia, Volume 43 No. 2 Desember 2017, hal 93-4

7 Sementara hasil analisis berdasarkan Gambar 8 diatas, dapat dijabarkan bahwa tren kecelakaan runway excursion saat pesawat akan melaksanakan fase lepas landas atau tahap fase take off dimana yang dimaksud dengan fase lepas landas (take off) adalah fase dalam penerbangan di mana sebuah pesawat udara berpindah dari bergerak di atas permukaan (runway) menjadi terbang di udara (ICAO, 2006), cendrung mengalami penurunan, dengan kejadian tertinggi runway excursion sebesar 3 (tiga) kasus pada tahun Jenis Kejadian Overrun Gambar 9.Diagram Jumlah Kecelakaan Runway Excursion ditinjau dari Jenis Kejadian Jika ditinjau dari jenis kejadian runway excursion, berdasarkan Gambar 9 diatas diketahui bahwa kejadian veer off atau sebuah pesawat yang mengalami kejadian keluar dari landas pacu baik disisi kanan ataupun kiri landas pacu berjumlah 73 kasus kejadian atau sebesar 69,5% dari seluruh kejadian runway excursion yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun Sedangkan 30,5% atau 32 kasus runway excursion di Indonesia merupakan kejadian overrun dimana yang dimaksud dengan overrun adalah sebuah pesawat yang mengalami kejadian keluar dari landas pacu di akhir ujung landas pacu. 73 Veer-off Tipe Operasi OC 137 1% AOC 137 1% OTH 1% PSC % OC 91 9% AOC % AOC % Gambar.Diagram Jumlah Kecelakaan Runway Excursion ditinjau dari Sertifikat Pesawat Berdasarkan jenis operasi pesawat terbang persentase kejadian runway excursion pesawat terbang selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan 2016 menunjukkan bahwa Air Operator Certificate (AOC) 121 atau sertifikat pengoperasian pesawat udara yang diberikan kepada perusahaan untuk melaksanakan pengoperasian pesawat udara secara komersial berdasarkan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) atau Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 121 atau sertifikasi pengoperasian pesawat terbang berjadwal dengan jumlah penumpang lebih dari 30 penumpang, merupakan yang tertinggi mengalami kejadian runway excursion yakni sebesar 48%. Sementara untuk AOC 135 (sertifikat pengoperasian pesawat udara yang diberikan kepada perusahaan untuk melaksanakan pengoperasian pesawat udara secara komersial berdasarkan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) atau Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 135) persentase kejadian runway excursion sebesar 27%, dan berturut adalah PSC (Pilot School Certificate) 141 sebesar 13%, Operating Certificate (OC) 91 sebesar 9 %, dan masing-masing sebesar 1% untuk AOC 137, OC 137 dan Other. Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasiona Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 99

8 Air Operator Certificate (AOC) merupakan sertifikasi yang diberikan oleh otoritas penerbangan nasional suatu negara dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Republik Indonesia kepada operator pesawat udara/badan niaga penerbangan/sekolah penerbangan untuk mengijinkan pengoperasian pesawat baik secara komersial maupun non komersial (pendidikan). Sertifikasi ini juga mengharuskan operator pesawat untuk melengkapi sarana dan prasarana pendukung dalam pengoperasian pesawat tersebut di antaranya aset sumber daya manusia, sistem keselamatan, dan pesawat terbang. Sertifikasi ini memuat daftar jenis pesawat dan registrasi yang akan digunakan, untuk bidang dan tujuan apa pesawat digunakan, dan area atau dibandara mana saja yang bisa dioperasikan. Lokasi/Teritori Kecelakaan Berdasarkan lokasi/wilayah kejadian terjadinya kejadian runway excursion pesawat terbang di Indonesia menunjukkan bahwa pada wilayah Papua terjadi 38 kasus atau 36,2% dari total kejadian runway excursion di Indonesia, hal ini disebabkan karena wilayah Papua terdapat pegunungan dan pelatihan operasional pada wilayah pegunungan serta peta penerbangan di wilayah Papua belum up to date, di samping itu juga perubahan cuaca yang sangat ekstrim dan sulit diprediksi, dimana penerbang belum dibekali dengan pelatihan yang cukup memadai. Berat Pesawat/MTOW (Maximum Take Off Weight) 51% 1% 15% 33% Bellow kg kg kg Above kg Blank Gambar 12. Diagram Jumlah KecelakaanRunway Excursion ditinjau dari Berat Pesawat/MTOW (Maximum Take Off Weight) Gambar 11. Diagram Jumlah Kecelakaan Runway Excursion ditinjau dari Teritori Kejadian Pengertian lokasi dalam dunia penerbangan lebih tertuju pada kondisi daratan suatu daerah (terrain) yakni permukaan bumi yang berisi/mengandung fitur-fitur yang terjadi secara alami seperti gunung, bukit, lembah, perairan, es permanen dan salju, tidak termasuk obstacle yaitu benda atau bangunan yang dibangun oleh manusia (Sukajaya, et.al. 20). Dalam penelitian ini pembagian lokasi terjadinya kejadian runway excursion pesawat terbang didasarkan pada pembagian wilayah/pulau di Indonesia. Dengan data kecelakaan yang ada dapat diketahui lokasi/wilayah di Indonesia yang rawan akan terjadinya kejadian runway excursion pesawat terbang. Lokasi/wilayah rawan kecelakaan itu sendiri adalah lokasi/wilayah yang memiliki jumlah kejadian runway excursion yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah serupa lainnya, yang disebabkan oleh faktor-faktor resiko di tingkat lokal yang ada pada lokasi tersebut. 0 Jika dilihat dari berat pesawat atau Maximum Take Off Weight (MTOW) dari hasil analisa berdasarkan Gambar 12 diatas, diketahui bahwa kejadian runway excursion tertinggi di Indonesia selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 sebesar 51% terjadi pada pesawat yang memiliki berat (MTOW) diatas 5.700kg (above kg), berturut-turut yaitu dengan berat antara kg kg sebesar 33%, dan bellow atau dibawah kg sebesar 15%. Maximum Take Off Weight (MTOW) adalah berat maksimum yang diijinkan sebuah pesawat untuk melakukan prosedur tinggal landas (take off), atau berat setinggi-tingginya yang diijinkan bagi pesawat udara untuk bertolak sebagaimana tercantum dalam sertifikat tipe (type certificate) pesawat udara yang bersangkutan dan tidak tergantung pada pembatasan kekuatan landasan dari bandar udara yang ditinggalkan maupun yang akan didarati. Faktor Penyebab Runway Excursion di Indonesia Pada umumnya suatu kecelakaan diakibatkan oleh dua faktor utama yaitu tindakan tidak aman (unsafe act) dan kondisi yang tidak aman (unsafe Warta Ardhia, Volume 43 No. 2 Desember 2017, hal 93-4

9 condition), dimana yang dimaksud dengan tindakan tidak aman (unsafe act) merupakan pelanggaran akan tata cara kerja yang aman yang berpeluang akan terjadinya suatu kecelakaan, sedangkan kondisi yang tidak aman (unsafe condition) adalah kondisi fisik ataupun keadaan yang berbahaya dan dapat menimbulkan terjadinya suatu kecelakaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini, faktor penyebab terjadinya peristiwa runway excursion di Indonesia yang diinvestigasi KNKT dalam kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 akan dilihat dari sisi tindakan tidak aman (unsafe act) dan kondisi yang tidak aman (unsafe condition), sebagai berikut: 1. Tindakan yang tidak aman (unsafe act) a) Pilot melakukan un-stabilized approach ketika akan melaksanakan proses pendekatan (the approach was not stabilized) atau approach to fast dan to high. b) Pilot melakukan touchdown terlalu jauh (touchdown long) dan tidak pada Touch Down Zone (TDZ) Area. c) Pilot melakukan pendaratan terlalu cepat dan keras (touchdown to fast and hard). d) Pilot tidak melaksanakan prosedur go around ketika terjadi un-stabilized approach atau terdapat kondisi-kondisi yang membahayakan proses pendaratan dalam penerbangan. e) Pilot tidak melakukan prosedur sebagaimana mestinya sesuai aturan yang berlaku (noncompliance with Standard Operating Procedure) ketika menghadapi kondisi perubahan cuaca (crosswind, tailwind). f) Pilot melakukan pengereman tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku (ineffective braking procedure). g) Pilot melakukan Rejected Take Off (RTO) ketika kecepatan sudah melebihi V1. h) Pilot terlalu percaya diri (over of confidence) terhadap kondisi suatu bandara (condition of airport). i) Ketidakakuratan pelaporan tentang kondisi terkini dari landasan (nonacurate reporting of contimanted runway) atau mengenai perubahan kondisi cuaca (failure to provide timely and accurate wind/weather information) oleh ATC kepada pilot. 2. Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) a) Terjadinya kesalahan sistem (engine system failure), seperti kesalahan sistem hidrolik (loss of hydraulic system), landing gear system valve block or damaged/malfunction, dan terdapat perbedaan antara brake pressure kanan dan kiri. b) Terdapat rubber deposit pada landas pacu (runway) yang memungkinkan terjadinya potensi landas pacu licin (slippery) ketika landas pacu basah (wet runway). c) Kondisi landas pacu (runway) tergenang air (wet runway) atau terdapat hydroplaning/standing water pada runway. d) Perubahan kondisi cuaca secara tiba-tiba khususnya perubahan arah angin baik tailwind maupun crosswind. e) Kondisi marka pada runway yang kurang jelas terlihat (incorrect or obscured marking runway). f) Tidak tersedianya Runway End Safety Area (RESA), stopway, arrestor bed dan clearway pada suatu bandara. g) Tidak tersedianya prosedur baku pelaporan tentang kondisi landasan (no international standard for reporting runway condition). Laju Kecelakaan (Rate of Accident) Dari data kejadian runway excursion yang diinvestigasi oleh KNKT dari kurun waktu 2007 sampai dengan tahun 2017 dan rumus laju kecelakaan (rate of accident) yang ada, maka akan diketahui tingkat keselamatan penerbangan nasional secara umum. Semakin tinggi laju kecelakaan (rate of accident) suatu negara maka semakin rendah tingkat keselamatan penerbangan negara tersebut. Tingkat laju kecelakaan (rate of accident) karena runway excursion di Indonesia dapat dilihat pada gambar dan tabel dibawah berikut. Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasiona Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 1

10 Tabel 2. Laju Kecelakaan (rate of accident) karena runway excursion Tahun Total Produksi (Jam Terbang) Jumlah Runway Excursion Laju Kecelakaan Sumber: database KNKT, 2016 Keterangan: 1 Kemenhub (2016), Tahun 2016Dephub belum menyajikan data jam terbang tahun Laju kecelakaan ((jumlah kecelakaan/jumlah produksi jam terbang)x0.000). Gambar 13. Laju Kecelakaan Runway Excursion ( ) 2 Warta Ardhia, Volume 43 No. 2 Desember 2017, hal 93-4

11 KESIMPULAN Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari data kejadian runway excursionsecara keseluruhan dari kurun waktu 2007 sampai dengan 2016, sebesar 70% dari total kejadian runway excursionpesawat terbang masuk dalam kategoriaccident, sedangkan 30% adalah masuk dalam kategoriserious incident. 2. Kejadian runway excursion terbanyak terjadi ketika pesawat berada pada fase landing atau pesawat akan melakukan pendaratan yaitu sebesar 95 kasus kejadian (90,5%) dari seluruh kejadian runway excursion di Indonesia, sedangkan kasus (9,5%) terjadi ketika pesawat akan lepas landas atau take off. 3. Dari data yang ada diketahui kejadian veer off berjumlah 73 kasus kejadian atau sebesar 69,5% dari seluruh kejadian runway excursion yang terjadi di Indonesia, sedangkan 30,5% atau 32 kasus runway excursion di Indonesia merupakan kejadian overrun. 4. Dari data kejadian runway excursion dari tahun yang telah diolah dan ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan waktu kejadian runway excursion terbesar pada periode jam tertinggi terjadi pada rentang waktu (morning), sementara pada periode hari diperoleh persentase terbesar kejadian runway excursion pesawat terbang terjadi pada hari Jumat 23 kasus (21,9%), dan untuk periode bulan diperoleh persentase terbesar kecelakaan pesawat terbang terjadi pada bulan Maret yakni sebesar 14 kejadian. 5. Berdasarkan jenis operasi pesawat terbang prosentase kejadian runway excursion pesawat terbang selama kurun waktu tahun dari tahun2007 sampai dengan 2016 menunjukkan bahwa Air Operator Certificate (AOC) 121 merupakan yang tertinggi mengalami kejadian runway excursion yakni sebesar 48%. 6. Berdasarkan lokasi/wilayah kejadian terjadinya kejadian runway excursion pesawat terbang di Indonesia menunjukkan bahwa kejadian tertinggi terjadi pada wilayah Papuadengan38 kasus atau 36,2% dari total kejadianrunway excursion di Indonesia. 7. Kejadian runway excursion tertinggi di Indonesia selama kurun waktu tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 sebesar 51% terjadi pada pesawat yang memiliki berat (MTOW) diatas kg (above kg), berturut-turut yaitu dengan berat antara kg kg sebesar 33%, dan bellow atau dibawah kg sebesar 15%. 8. Tingkat dengan laju kecelakaan (rate of accident) runway excursion di Indonesia selama dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 1,84, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 0,08. SARAN Untuk menurunkan laju kecelakaan (rate of accident) kejadian runway excursiondi Indonesia, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Merekomendasikan pada setiap bandara agar dibuat sebuah Runway End Safety Area (RESA), yang berfungsi untuk menghentikan pesawat yang tergelincir dan melewati batas akhir landasan, atau area sejenis untuk meniminalisir kejadian overrun seperti arrestor bed, stopway dan clearway. 2. Melakukan perawatan landasan (runway) sesuai dengan panduan yang merujuk pada regulasi yang ada terutama terkait dengan pembersihan rubber deposit dan pengukuran terhadap friction level landasan. 3. Merekomendasikan kepada operator bandara untuk memastikan bahwa alat bantu pendaratan visual (visual aid) serta marka terutama pada daerah pendaratan (touchdown zone area) terlihat dengan jelas. 4. Merekomendasikan kepada seluruh operator penerbangan untuk memberikan pelatihan kepada pilot tentang Approach and Landing Accident Reduction (ALAR), serta aplikasinya terutama untuk landing dengan kondisi short runway, mountainouos area dan limited airport. 5. Merekomendiasikan kepada seluruh operator penerbangan untuk memberikan pelatihan mengenai prosedur rejected take off, rejected landing, bounching landing, landing on wet, slippery, or contaminated runway. Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasiona Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 3

12 6. Merekomendiasikan kepada seluruh operator penerbangan untuk menentukan kriteria atau Standard Operating Procedure (SOP) tentang go around serta Rejected Take Off (RTO). 7. Merekomendasikan untuk melakukan recurrent windshear training harus dilaksanakan dalam 1 (satu) tahun sekali (CASR ). 8. Merekomendasikan kepada Air Traffic Controller (ATC) untuk memberikan perubahan keadaan yang dapat mengganggu stabilized approach kepada pilot seawal mungkin (perubahan arah angin headwind menjadi tailwind). 9. Diperlukan standar dan sertifikasi kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini pelaksana pemeliharaan landasan yang dikeluarkan oleh pihak otoritas bandara. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan kepada Komite Nasional Keselamatan Transpotasi (KNKT) khususnya sub komite investigasi kecelakaan penerbangan yang telah membantu penelitian ini, kiranya penelitian ini dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk referensi dalam pengembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih DAFTAR PUSTAKA Boeing. (2012). Statistical Summary of Commercial Jet Airplane Accidents Worlwide Operation Boeing. [on line]. Dari: s/pdf/statsum.pdf. ICAO. (2006).Phase of Flight Definitions and Usage Notes Version International Civil Aviation Organization. Montreal. Canada. ICAO. (2008). Aviation Occurrence Categories Definitions and Usage Notes Version International Civil Aviation Organization. Montreal. Canada. KNKT. (2012). Evaluasi Data Kecelakaan Dan Investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi Tahun Tidak dipublikasikan. KNKT. (2016). Data Kecelakaan Transportasi Udara tahun Komite Nasional keselamatan Transportasi. Indonesia. Tidak Dipublikasikan. Mustopo, W. I. (2011).Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis Fatigue.Jurnal Pisikobuana. Vol. 3, No. 2. NTSB. (2006). Annual Review of Aircraft Accident Data U.S. General Aviation, Calender Year National Transport Safety Board, [on line]. Dari pdf. Sukajaya, C., Bisara, C.T., Rahardjo, B., & Dayaun, A.K. (20). Pengertian dan Istilah Penerbangan Sipil. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.. (2015). Statistik Perhubungan 2015 Buku I. Kementerian Perhubungan Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978), Aviation Medicine, Physiology and Human Factor, London: Tri-Med Books Ltd. FAA. (2014). Runway Safety-Runway Excursion, [on line]. Dari: cursion. ICAO. (2001). Annex 13 Aircraft Accident and Incident Investigation Ninth Edition. International Civil Aviation Organization. Montreal, Canada. 4 Warta Ardhia, Volume 43 No. 2 Desember 2017, hal 93-4

13 Studi Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasiona Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun (Abadi Dwi Saputra) 5

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN 2010 2016 () Oleh: Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Jakarta, 30 November 2016 Tahun Media Release KNKT Data Investigasi Kecelakaan Penerbangan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga aspek yaitu keselamatan penerbangan (safety), keselamatan gedung (security), dan total quality management

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

PENGKAJIAN TINGKAT BEBAN KERJA MENTAL PILOT PESAWAT TERBANG DALAM MELAKSANAKAN TAHAP FASE TERBANG (PHASE OF FLIGHT)

PENGKAJIAN TINGKAT BEBAN KERJA MENTAL PILOT PESAWAT TERBANG DALAM MELAKSANAKAN TAHAP FASE TERBANG (PHASE OF FLIGHT) PENGKAJIAN TINGKAT BEBAN KERJA MENTAL PILOT PESAWAT TERBANG DALAM MELAKSANAKAN TAHAP FASE TERBANG (PHASE OF FLIGHT) Abadi Dwi Saputra Mahasiswa Program Doktoral Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar. Dengan demikian masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana transportasi guna mendukung mobilitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1 PERENCANAAN BANDAR UDARA Page 1 SISTEM PENERBANGAN Page 2 Sistem bandar udara terbagi menjadi dua yaitu land side dan air side. Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi udara sangat efektif digunakan untuk membawa penumpang dengan jarak yang jauh dan dapat mempercepat waktu tempuh dibandingkan transportasi darat dan laut.

Lebih terperinci

ANALISIS SFC PADA BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK

ANALISIS SFC PADA BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK ANALISIS SFC PADA BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK Roselina Rahmawati Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Jakarta Jl. Prof. Dr. G.A Siwabessy, Kampus Baru UI Depok. 16425. Roselina43@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara 15 BAB III LANDASAN TEORI A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan nomor SKEP/161/IX/03 tanggal 3 September

Lebih terperinci

BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737

BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737 BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737 3.1 Perkembangan Tingkat Kecelakaan 737 Sejak dioperasikan pertama kalinya pada 10 Februari 1968 tercatat sebanyak 275 kasus pesawat 737 dalam database Aviation

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

SKEP /40/ III / 2010

SKEP /40/ III / 2010 SKEP /40/ III / 2010 PETUNJUK DAN TATA CARA PELAPORAN KEJADIAN, KEJADIAN SERIUS DAN KECELAKAAN DI BANDAR UDARA BAGIAN 139-04 (ADVISORY CIRCULAR PART 139 04, INCIDENT, SERIOUS INCIDENT, AND ACCIDENT REPORT)

Lebih terperinci

Auditorium KNKT, Kementerian Perhubungan 28 Desember Interviewing Techniques in Accident Investigation NTSC In-House Training

Auditorium KNKT, Kementerian Perhubungan 28 Desember Interviewing Techniques in Accident Investigation NTSC In-House Training Auditorium KNKT, Kementerian Perhubungan 28 Desember 2012 Interviewing Techniques in Accident Investigation NTSC In-House Training DATA INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI UDARA TAHUN 2007 2012 Database

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi tidak aman (unsafe condition). Keselamatan merupakan hal yang harus diutamakan dalam dunia penerbangan.

Lebih terperinci

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN Sumber: Database KNKT Desember 2013

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN Sumber: Database KNKT Desember 2013 DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN - Sumber: Database KNKT Desember DATA KECELAKAAN PERKERETAAPIAN YANG DIINVESTIGASI KNKT TAHUN - JENIS KECELAKAAN TAHUN 9 TOTAL KORBAN JIWA JUMLAH REKOMENDASI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Tim Leader Konsultan Pelaksana

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Tim Leader Konsultan Pelaksana KATA PENGANTAR Laporan Akhir ini merupakan laporan terakhir dalam kegiatan Studi Standardisasi di Bidang Keselamatan dan Keamanan Penerbangan yang merupakan pemenuhan tugas / kontrak yang diberikan oleh

Lebih terperinci

PA U PESAW PESA AT A T TER

PA U PESAW PESA AT A T TER PERENCANAAN PANJANG LANDAS PACU PESAWAT TERBANG Didalam merencanakan panjang landas pacu, dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Menurut ICAO (International Civil Aviation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis sehingga memiliki pengaruh positif dalam berbagai bidang. Moda

BAB I PENDAHULUAN. strategis sehingga memiliki pengaruh positif dalam berbagai bidang. Moda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang letaknya sangat strategis sehingga memiliki pengaruh positif dalam berbagai bidang. Moda transportasi udara saat ini

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 03 MANAJEMEN BAHAYA HEWAN LIAR DI BANDAR UDARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar udara (Airport) merupakan salah satu infrastruktur penting yang diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bandar udara (Airport) berfungsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 74 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 830 (CTVIL AVIATION SAFETY REGULATION

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan No.1155, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Prosedur Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Serius Pesawat Udara Sipil. Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 830. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization):

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang 2.1.1. Bandar udara Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar udara adalah area tertentu di daratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti pesawat udara dan helikopter

Lebih terperinci

Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia

Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=278102 Senin, 29 Desember 2014, 05:03:00 SEKARANG INI 28 Desember 2014 Airbus A320-200 milik Air Asia dengan rute

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Penerbangan domestik 2. Penerbangan

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : INST 001 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN KEWASPADAAN DALAM MENGHADAPI MUSIM HUJAN DAN

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PEMETAAN NILAI KEKESATAN PADA PERMUKAAN PERKERASAN EKSISTING LANDAS PACU UTARA DI BANDARA SOEKARNO-HATTA

TUGAS AKHIR PEMETAAN NILAI KEKESATAN PADA PERMUKAAN PERKERASAN EKSISTING LANDAS PACU UTARA DI BANDARA SOEKARNO-HATTA TUGAS AKHIR PEMETAAN NILAI KEKESATAN PADA PERMUKAAN PERKERASAN EKSISTING LANDAS PACU UTARA DI BANDARA SOEKARNO-HATTA Diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknik Stara 1 (S-1) Disusun Oleh

Lebih terperinci

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti -3-1.26. 1.27. 1.28. 1.29. 1.30. 1.31. 1.32. 1.33. 1.34. 1.35. 1.36. 1.37. 1.38. Perusahaan angkutan udara asing dan badan usaha angkutan udara yang melaksanakan kerjasama penerbangan pada rute luar negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara 1 merupakan sarana perhubungan yang cepat dan efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. Pesawat udara memiliki karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya pembangunan disegala bidang khususnya bidang ekonomi pada dewasa ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat penting didalam menunjang aktifitas

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Komponen Berat Pesawat Udara Berat pesawat udara, pada umumnya, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu APS (Aircraft Prepared for Service) weight, payload, dan berat bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah. Kota Semarang memiliki prospek untuk berkembang dari

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.156, 2013 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5448) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Jalan Merdeka Barat No. 8 Jakarta 10110 KotakPosNo. 1389 Jakarta 10013 Telepon : 3505550-3505006 (Sentral) Fax:3505136-3505139 3507144 PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dicirikan dengan adanya akses transportasi yang cukup baik. Perbaikan akses transportasi ke suatu tempat akan menjadikan lahan tersebut semakin menarik. Berkembangnya

Lebih terperinci

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance Pelabuhan Udara Gibraltar Airport Dr. Gito Sugiyanto, S.T., M.T. Desain Fasilitas Sisi Udara Sistem Bandar Udara ARFL dan ARC Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota

BAB I PENDAHULUAN. Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota Padang, yang menempati lahan seluas ± 427 hektare merupakan pintu gerbang utama Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan.

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan. 3. SIMBOL DAN SINGKATAN 3.1 AC Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan. 3.2 ACN Singkatan dari Aircraft Classification

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS OPERASIONAL PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki dalam setiap moda transportasi. Salah satu moda transportasi yang harus memiliki standar peraturan keamanan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Runway digunakan untuk kegiatan mendarat dan tinggal landas pesawat terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum take off weight terbesar

Lebih terperinci

6.4. Runway End Safety Area (RESA)

6.4. Runway End Safety Area (RESA) b. Dalam jarak 60 m dari garis tengah precision approach runway kategori I, dengan nomor kode 3 atau 4; atau c. Dalam jarak 45 m dari garis tengah dari sebuah precision approach runway kategori I, dengan

Lebih terperinci

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur -9-4.35. 4.36. 4.37. 4.38. 4.39. 4.40. 4.41 4.42. 4.43. 4.44. 4.45. 4.46. 4.47. 4.48. 4.49. 4.50. 4.51. 4.52. 4.53. 4.54. 4.55. 4.56. 4.57. 4.58. 4.59. Personel AOC melakukan approach to landing yang bertentangan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM FAKTOR PENGARUH KAPASITAS RUNWAY Beberapa faktor pengaruh antara lain: 1. Jumlah runway 2. Pemisahan pesawat yang landing

Lebih terperinci

KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO

KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO Freddy Jansen Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Bandar Udara Sam Ratulangi merupakan salah satu pintu

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA I. UMUM Kegiatan penerbangan merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi udara telah menjadi salah satu moda transportasi penting untuk perjalanan dengan jarak menengah dan jarak jauh. Prasarana utama yang menangani pergerakan

Lebih terperinci

Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A ABSTRAK

Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A ABSTRAK Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A Mart Peran Putra Zebua NRP : 0721038 Pembimbing: Tan Lie Ing, S.T., M.T. ABSTRAK Pulau Nias adalah salah satu daerah yang sekarang sedang berkembang,

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA Oleh : A.A. Gde Yoga Putra Ida Bagus Surya Darmajaya Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN Yasruddin Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRAK Bandar Udara

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

Analisis Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan Bandar Udara Bokondini Papua Indonesia

Analisis Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan Bandar Udara Bokondini Papua Indonesia Reka Racana Teknik Sipil Itenas No.x Vol.xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2014 Analisis Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan Bandar Udara Bokondini Papua Indonesia FAJAR DERMAWAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012 Rahimudin 1) 1) STTKD Yogyakarta Abstrak Penyebab, kecelakaan pesawat terbang tidak

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tam - 2-2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058);

Lebih terperinci

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian Jurnal Geografi Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian ANALISIS DATA ANGIN PERMUKAAN DI BANDARA PANGKALPINANG MENGGUNAKAN METODE WINDROSE Akhmad Fadholi¹ ¹Staf di Stasiun Meteorologi

Lebih terperinci

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Perhitungan Panjang Landas Pacu Untuk Operasi Pesawat Udara The Measurement Of Runway Length For Aircraft Operations Yati Nurhayati Peneliti Pusat Penelitian

Lebih terperinci

Analisis Komponen Angin Landas Pacu (Runway) Bandara Depati Amir Pangkalpinang

Analisis Komponen Angin Landas Pacu (Runway) Bandara Depati Amir Pangkalpinang Statistika, Vol. 13 No. 2, 45 53 November 2013 Analisis Komponen Angin Landas Pacu (Runway) Bandara Depati Amir Pangkalpinang Akhmad Fadholi Stasiun Meteorologi Pangkalpinang akhmad.fadholi@bmkg.go.id

Lebih terperinci

KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL

KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Sarjana Oleh : YAFIS AFI 13602013 Pembimbing :

Lebih terperinci

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone)

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone) 7.2.2.7. Zona Bebas Obstacle Permukaan inner approach, inner tranisitional dan balked landing, ketiganya mendefinsikan volume ruang udara di sekitar precision approach runway, yang dikenal sebagai zona

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASA LANDING

BAB IV ANALISIS FASA LANDING BAB IV ANALISIS FASA LANDING 4.1. Analisis Penentuan Maximum Landing Weight Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, penentuan Maximum Landing Weight (MLW) dilakukan dengan mengacu kepada flight manual

Lebih terperinci

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI Irvan Ramadhan, ST Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Dumai Muhammad Idham, ST, M.Sc Anton Budi Dharma,

Lebih terperinci

Physical Characteristics of Aerodromes

Physical Characteristics of Aerodromes Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Physical Characteristics of Aerodromes Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 2 Aerodrome Reference Code Digunakan oleh ICAO untuk membaca hubungan

Lebih terperinci

2 Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tenta

2 Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tenta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.290, 2015 KEMENHUB. Sertifikat Operator Pesawat Udara. Keselamatan. Penilaian Kinerja. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 35 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

STATUS LAPORAN INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DAN MONITORING REKOMENDASI KESELAMATAN TRANSPORTASI

STATUS LAPORAN INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DAN MONITORING REKOMENDASI KESELAMATAN TRANSPORTASI STATUS LAPORAN INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DAN MONITORING REKOMENDASI KESELAMATAN TRANSPORTASI Komite Nasional Keselamatan Transportasi Rapat 26 Februari 2018 Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1 Sumber dari 2 Sumber dari

1 PENDAHULUAN. 1 Sumber dari  2 Sumber dari 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak yaitu kurang lebih 237 juta orang 1, dengan total wilayahnya sebesar 5,2 juta kilometer

Lebih terperinci

OPTIMASI KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO

OPTIMASI KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO OPTIMASI KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO Freddy Jansen* Abstrak Bandar Udara Sam Ratulangi merupakan salah satu pintu gerbang Sulawesi Utara yang terletak pada 07.32 LU / 124.55

Lebih terperinci

BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan

BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan 3.1 Perkembangan Keselamatan Penerbangan. Sejak penerbangan pertama kali yang dilakukan oleh Wright bersaudara seratus tahun yang lalu, dunia penerbangan telah

Lebih terperinci

TUGAS Topik Khusus Transportasi BANDAR UDARA

TUGAS Topik Khusus Transportasi BANDAR UDARA BANDAR UDARA Pengertian Bandar Udara Adapun pengertian Bandar udara menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut: Menurut International Civil Aviation Organization, bandar udara adalah area tertentu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Indikator yang dihasilkan adalah 19 variabel seperti yang dapat dilihat pada tabel

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Indikator yang dihasilkan adalah 19 variabel seperti yang dapat dilihat pada tabel BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Hasil dari penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang telah di bahas sebelumnya. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DTREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 TENTANG PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN KAWASAN PELATIHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara merupakan suatu kemajuan teknologi yang sangat luar biasa bagi dunia. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini

Lebih terperinci

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM 1 MATERI PEMBELAJARAN Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi canggih dan telah memiliki peranan penting pada abad ini. Seseorang dapat melakukan perjalanan

Lebih terperinci

TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 139) TENTANG BANDAR UDARA (AERODROME)

TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 139) TENTANG BANDAR UDARA (AERODROME) MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 24 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS PART 139) TENTANG

Lebih terperinci

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas Vol. 2 No. 3 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional September 2016 Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. pada fungsi fisiologis dan psikologis seseorang. Sekitar tahun 1920, Walter

BAB 1. PENDAHULUAN. pada fungsi fisiologis dan psikologis seseorang. Sekitar tahun 1920, Walter BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Stres dapat digambarkan sebagai suatu keadaan yang mengganggu pada fungsi fisiologis dan psikologis seseorang. Sekitar tahun 1920, Walter Canon untuk pertama

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan pada Bandar Udara Husein Sastranegara terletak Jalan Pajajaran No.156 Bandung, Propinsi Jawa Barat. Bandara ini berada di

Lebih terperinci

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang LESSON - 3 ( LAPANGAN TERBANG ) Materi : Perencanaan Lapangan Terbang Buku Referensi : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara, Jilid 1 dan 2, Horonjeff, R. & McKelvey, FX. Merancang, Merencana Lapangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOM OR: PM. 128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT UDARA YANG RUSAK DI BANDAR UDARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOM OR: PM. 128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT UDARA YANG RUSAK DI BANDAR UDARA A MENTERI PERHUBUNGAN REPUBUK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOM OR: PM. 128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT UDARA YANG RUSAK DI BANDAR UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia penerbangan, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan bertambahnya pesawat-pesawat yang digunakan oleh industri-industri penerbangan. Pertambahan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN ARUS LALU LINTAS UDARA UNTUK PENGEMBANGAN BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK

PRAKIRAAN ARUS LALU LINTAS UDARA UNTUK PENGEMBANGAN BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK PRAKIRAAN ARUS LALU LINTAS UDARA UNTUK PENGEMBANGAN BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK Mahesa Romulo NRP : 0921033 Pembimbing: Prof. Dr. Budi Hartanto Susilo, Ir., M.Sc. ABSTRAK Kalimantan Barat merupakan

Lebih terperinci

2017, No Safety Regulations Part 65) Sertifikasi Ahli Perawatan Pesawat Udara (Licensing of Aircraft Maintenance Engineer) Edisi 1 Amandemen

2017, No Safety Regulations Part 65) Sertifikasi Ahli Perawatan Pesawat Udara (Licensing of Aircraft Maintenance Engineer) Edisi 1 Amandemen BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1211, 2017 KEMENHUB. Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 65. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 75 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PH 190 TAHUN 2015 TENTANG MANAJEMEN PENANGANAN OPERASI IREGULER BANDAR UDARA (AIRPORT JRREGULAR OPERATION)

Lebih terperinci

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.496, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara. Tidak Berjadwal. Pesawat Udara. Sipil Asing. NKRI. Kegiatan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 66 TAHUN 2015

Lebih terperinci

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF 6.1. Hasil Analisis Fasa Terbang Setelah tiap tahap analisis selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah melakukan penggabungan hasil-hasil tersebut

Lebih terperinci

3) Use of Basic GPWS or Use of the Forward Looking Terrain Avoidance Function Only.

3) Use of Basic GPWS or Use of the Forward Looking Terrain Avoidance Function Only. Knowledge of all visual and aural indications that may be seen or heard; Response required on receipt of a caution; Response required on receipt of a warning; Response required on receipt that partial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keselamatan penerbangan selalu menjadi hal serius selama bertahun-tahun hal ini dikarenakan resiko kematian yang di akibatkan oleh suatu kecelakaan pesawat terbang

Lebih terperinci

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE 3.1 Pendahuluan Dalam tugas akhir ini, mengetahui optimalnya suatu penerbangan pesawat Boeing 747-4 yang dikendalikan oleh seorang pilot dengan menganalisis

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1773, 2015 KEMENHUB. Pengoperasian Sistem. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Dilayani Indonesia. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5%

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5% 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi udara merupakan industri yang memiliki kaitan erat dengan ekonomi global. Peningkatan 1% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) secara global akan meningkatkan

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEJADIAN CROSSWIND DI LANDASAN PACU BANDARA SUPADIO PONTIANAK TAHUN 2016

KEJADIAN CROSSWIND DI LANDASAN PACU BANDARA SUPADIO PONTIANAK TAHUN 2016 Seminar Nasional Iptek Penerbangan dan Antariksa XXI-217 KEJADIAN CROSSWIND DI LANDASAN PACU BANDARA SUPADIO PONTIANAK TAHUN 216 CROSSWIND ON SUPADIO PONTIANAK AIRPORT RUNWAY DURING 216 Yusuf Hadi Perdana,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. ANALISA PERGERAKAN PESAWAT 4.1.1. Data pergerakan pesawat Data yang digunakan dalam menganalisa kebutuhan apron adalah data pergerakan pesawat dimana idealnya disesuaikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Variabel-variabel Pesawat

Variabel-variabel Pesawat Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Impact of Aircraft Characteristics on Airport Design Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Variabel-variabel Pesawat Berat (weight) diperlukan

Lebih terperinci