BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan"

Transkripsi

1 BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan 3.1 Perkembangan Keselamatan Penerbangan. Sejak penerbangan pertama kali yang dilakukan oleh Wright bersaudara seratus tahun yang lalu, dunia penerbangan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pesawatpesawat yang dioperasikan dari tahun ke tahun semakin canggih, mampu terbang lebih cepat, menjangkau jarak yang lebih jauh serta mengangkut penumpang lebih banyak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesadaran akan pentingnya keselamatan telah mendorong usaha-usaha untuk menekan laju kecelakaan penerbangan hingga mencapai angka minimum. Gambar 3. 1 Perkembangan laju kecelakaan penerbangan dunia Sumber : diakses Juni 2007 Boeing, salah satu perusahaan raksasa dunia yang memproduksi pesawat terbang dengan teknologi tinggi, memaparkan bahwa jumlah kecelakaan per sejuta penerbangan menunjukkan tren penurunan. Meskipun sejak pertengahan tahun 1960an jumlah keberangkatan penerbangan selalu meningkat, yang berarti lalu lintas udara semakin padat namun laju kecelakaan penerbangan berhasil ditekan. Sejak tahun 1970an accident rate seluruh dunia mencapai angka di bawah 10 per sejuta penerbangan. Laju kecelakaan penerbangan tiap tahunnya semakin mendekati angka nol. Hal ini mengindikasikan transportasi udara semakin aman. 16

2 Gambar 3. 2 Jumlah kecelakaan fatal penerbangan untuk beberapa tipe mesin pesawat tahun Sumber : Aviation-Safety.net, diakses Juni 2007 Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Aviation Safety Network, tren kecelakaan penerbangan dunia (fatal accident) yang melibatkan airliner sejak tahun 1945 menunjukkan jumlah kecelakaan pesawat bermesin piston per tahunnya menurun kerena penggunaan mesin propulsi juga menurun. Sedangkan kecelakaan pesawat bermesin turbo prop dan jet sejak tahun 1950an cenderung meningkat. Namun sejak meningkatnya kesadaran dunia akan pentingnya safety, tahun 1990an angka kecelakaan penerbangan secara umum mulai mengalami penurunan. Bila dibandingkan jumlah kecelakaan fatal pada tahun 1950, lebih banyak yang terjadi daripada tahun Namun kerugian yang ditimbulkan serta besarnya resiko lebih besar yang terjadi sekitar tahun Hal ini disebabkan karena kecelakaan fatal yang terjadi pada sekitar tahun 1950 lebih banyak melibatkan pesawat-pesawat kecil yang hanya mengangkut beberapa orang sedangkan sekitar tahun 2000 banyak melibatkan pesawat-pesawat besar yang mengangkut hingga ratusan orang. Meskipun jumlah kecelakaan fatal yang terjadi dari tahun ke tahun mengalami penurunan namun resiko dari akibat yang ditimbulkan semakin besar. Kerugian material yang ditimbulkan lebih besar pada saat ini karena melibatkan pesawat-pesawat berukuran besar. Selain itu kerugian dalam hal korban jiwa yang bisa ditimbulkan juga lebih besar. 3.2 Kecelakaan Penerbangan di Beberapa Belahan Dunia Tabel 3.1 Statistik kecelakaan fatal penerbangan per operator region. Sumber : Aviation-safety.net, diakses Juni 2007 Moving Average Region year 10-year Africa ,8 Asia ,6 17

3 Australasia ,1 Central America ,6 1,3 Europe ,8 7,2 North America ,6 6,5 South America ,6 4,8 Total ,6 36,3 Daerah regional yang paling banyak mengalami kecelakaan fatal adalah kawasan negaranegara berkembang seperti Asia dan Afrika serta kawasan negara maju dengan lalu lintas yang sangat padat seperti Eropa dan Amerika Utara. Di kawasan negara berkembang faktor penyebab banyaknya kecelakaan penerbangan lebih banyak disebabkan oleh belum ketatnya usaha untuk meningkatkan safety. Sedangkan di kawasan negara maju lebih banyak disebabkan terlalu padatnya jadwal penerbangan. Tabel 3. 2 Perbandingan kecelakaan fatal penerbangan di Indonesia dan Asia. Sumber : Aviation-safety.net, diakses Juli Asia Indonesia % Asia 20% 33% 17% 50% 18% Bila dibandingkan dengan jumlah kecelakaan fatal yang terjadi di Asia dalam lima tahun terakhir, kecelakaan di Indonesia relatif banyak, yaitu sekitar dua puluh persen. Sebagian besar kecelakaan melibatkan penerbangan di daerah timur Indonesia. Penyebab-penyebab utamanya adalah menabrak daerah pegunungan, CFIT (Controlled Flight Into Terrain). Pada deerah Indonesia bagian timur cukup banyak penerbangan dengan pesawat kecil sejenis DHC Twin Otter dan daerah yang dilaluinya berbukit. Gambar 3. 3 persentase penerbangan dan kecelakaan beberapa kawasan pada tahun 2006 Sumber : Aviation-safety.net, diakses Juni 2007 Namun dari segi rate kecelakaan per penerbangan tahun 2006, angka terkecil dimiliki oleh Eropa yang berarti tingkat keamanannya paling tinggi. Sedangkan kawasan dengan tingkat keamanan paling rendah adalah Afrika dan CIS. 18

4 Gambar 3. 4 Laju kecelakaan penerbangan di beberapa kawasan Sumber : IATA.org, April 2007 (CIS) : Commonwealth of Independent States Sumber lain yakni International Air Transport Association (IATA) juga menyatakan hal yang serupa. Menurut IATA, rate kecelakaan terbesar terjadi di daerah negara-negara persemakmuran dan negara bagian seperti pecahan Uni Soviet. Negara tersebut merupakan negara dunia ketiga yang sedang berkembang. Afrika juga menempati peringkat atas dalam rate kecelakaan penerbangan dengan rate 4.31 per sejuta penerbangan. 3.3 Faktor Penyebab Kecelakaan Penerbangan Kecelakaan fatal penerbangan yang melibatkan airliner banyak disebabkan oleh hilangnya kendali serta tabrakan dengan medium lain atau disebut sebagai Controlled flight into terrain (CFIT). Kedua hal ini memang dapat menyebabkan kerusakan yang sangat besar, misalnya kerusakan total pada pesawat akibat menabrak gunung dan banyaknya korban jiwa. Tabel 3.2 Statistik kecelakaan fatal penerbangan per jenis kecelakaan Sumber : Aviation Safety Network, diakses Mei 2007 Airliner : Commercial multi-engine airplane model which, in certificated maximum passenger configuration, is capable of carrying 14 or more passengers. 19

5 Berdasarkan fasa terbangnya, kecelakaan fatal yang terjadi seringkali pada saat fasa-fasa akhir seperti en route, approach, dan landing. Hal ini disebabkan pada fasa-fasa akhir tersebut dibutuhkan performansi yang sangat tinggi untuk mengendalikan pesawat sedangkan kondisi pilot telah menurun cukup drastis. Tabel 3.3 Statistik kecelakaan fatal penerbangan per fase terbang. Sumber : Aviation Safety Network, diakses Mei 2007 Moving Average Phase year 10-year Standing (STD) ,2 0,1 Takeoff (TOF) ,2 2,3 Initial climb (ICL) ,4 3.0 En route (ENR) ,8 11,9 Maneuvering (MNV) ,1 Approach (APR) ,2 Landing (LDG) ,5 Unknown (UNK) ,2 Total ,6 36,3 Gambar 3. 5 Perbandingan performansi pilot dan beratnya tugas Sumber : McAllister,Brian, Crew Resources Management, airlife, 2001 Sebuah study mengenai safety margin seperti ditunjukkan pada gambar 3.5 menyatakan bahwa kemampuan optimal pilot adalah pada saat-saat awal penerbangan, setelah itu mulai berkurang secara bertahap. Sedangkan tugas yang dihadapi cukup berat pada saat take off dan puncaknya pada saat approach & landing. Selisih antara performa pilot dan beratnya tugas ini merupakan safety margin dalam fasa penerbangan. Safety margin ini mengalami nilai terendah 20

6 pada saat approach & landing karena pada saat itu performansi pilot telah mengalami penurunan sedangkan tugas yang dihadapinya bisa dikatakan berat. Oleh karena itu pada fasa ini sering terjadi kecelakaan penerbangan. Untuk mengurangi kecelakaan pada fasa approach & landing perlu dilakukan pelatihan yang lebih intensif pada fasa ini bagi kru penerbangan. Selain itu otomisasi pada pesawat diharapkan dapat mengurangi beban tugas kru. Lamanya fasa penerbangan tidak berbanding lurus dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan penerbangan. Meskipun fasa penerbangan tertentu memakan sebagian besar waktu penerbangan namun belum tentu banyak terjadi kecelakaan pada fasa tersebut. Sebuah kajian yang dilakukan Boeing seperti pada gambar 3.6 mengenai kecelakaan fatal penerbangan yang melibatkan pesawat-pesawat jet komersial pada tahun menunjukkan fasa terbang jelajah yang menghabiskan 57 % dari total waktu tempuh (berdasar asumsi penerbangan selama 1.5 jam) hanya terjadi kecelakaan sebanyak 6 %. Sedangkan korban meninggal pada fasa ini sebanyak 14 %. Gambar 3. 6 Kecelakaan dan korban tiap fasa penerbangan Sumber : Boeing.com, diakses Juni 2007 Pada fasa awal penerbangan (takeoff dan initial climb) yang hanya memakan waktu 2% dari total waktu tempuh ternyata terdapat kecelakaan sebanyak 17% dari total kecelakaan dan memakan korban jiwa sebanyak 27%. Sedangkan pada fasa akhir (final approach dan landing) yang memakan waktu 15% dari total waktu tempuh terdapat 52% kecelakaan dengan korban 21

7 jiwa sebanyak 15%. Fasa awal dan akhir merupakan saat-saat sibuk dimana kru penerbangan harus mengeluarkan kemampuan maksimal. Lebih dari seperempat korban jiwa disebabkan kecelakaan yang terjadi pada fasa awal. Hal ini disebabkan sulitnya mengendalikan pesawat ke keadaan normal ketika terjadi kegagalan sehingga benturan yang dialami pesawat sangat kencang. Sedangkan pada fasa akhir, banyaknya terjadi kecelakaan yaitu lebih dari setengah dari total kecelakaan disebabkan oleh rendahnya safety margin seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 3.4 Kelalaian Manusia dalam Kecelakaan Penerbangan Study lain yang dilakukan Boeing menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kecelakaan yang dialami airline di seluruh dunia selama sepuluh tahun pada rentang waktu tahun adalah sebagai berikut: Gambar 3. 7: penyebab utama terjadinya kecelakaan penerbangan Sumber : diakses Juni 2007 Sebagian besar kecelakaan penerbangan yang terjadi berhubungan dengan adanya faktor kelalaian manusia. Dalam study tersebut operator pesawat yakni kru penerbangan memegang peran penting dalam hal keselamatan penerbangan. Lebih dari setengah (55%) jumlah kecelakaan disebabkan kesalahan kru penerbangan. Penyebab utama lainnya yang cukup besar adalah faktor pesawat (17%) dan kondisi cuaca (13%). Faktor kelalaian manusia lainnya yang mungkin terjadi adalah kesalahan Air Traffic Controller (ATC) maupun pelaksanaan program 22

8 perawatan pesawat. Namun kedua faktor terakhir tersebut tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan kru penerbangan. Gambar 3. 8 Penyebab utama terjadinya kecelakaan fatal penerbangan dalam beberapa periode waktu Sumber : diolah dari dan Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa meskipun faktor kelalaian manusia (flight crew) masih dominan sebagai penyebab utama yang paling banyak menyebabkan kecelakaan fatal penerbangan namun tren menunjukkan penurunan. Faktor lain yakni faktor pesawat dan cuaca menunjukkan tren meningkat. Hal ini disebabkan tuntutan operasi menyebabkan penerbangan dilakukan pada kondisi yang lebih ekstrim dibanding tahun-tahun sebelumnya, misalnya kondisi cuaca yang lebih buruk namun tetap pada batas toleransi keselamatan penerbangan. Kesadaran akan pentingnya program perawatan pesawat menyebabkan faktor ini menurun cukup signifikan sebagai faktor penyebab utama kecelakaan penerbangan. Tabel 3.4 Statistik faktor kelalaian manusia (Flight crew) Tahun (hingga bulan mei 2007) Diolah dari : Aviation safety Network No Flight crew Factor Total cases Fatality Avg fat per case 1 Alcohol, drug usage Disorientation, situational awareness 16 1, Distraction in cockpit Incapacitation

9 5 Insufficient rest / fatigue Language/communication problems (also ATC) 14 1, Mental condition Misjudgment (speed, altitude) Navigational error 17 1, Non adherence to procedures Un(der)qualified Dari data di atas dapat diketahui bahwa kelalaian manusia yang paling sering terjadi dalam dunia penerbangan adalah akibat tidak terpenuhinya standar kualifikasi yang telah ditentukan. Sebelum menjalankan tugas di lapangan, setiap kru penerbangan wajib memenuhi standar sesuai tugas yang akan diemban. Tidak terpenuhinya standar tersebut kemungkinan karena selama mengikuti latihan, yang bersangkutan tidak menjalankannya dengan serius atau latihan yang diadakan tidak memadai. Kemungkinan lain pihak operator (maskapai) memberikan izin kepada seseorang yang belum memenuhi kualifikasi. Kebijakan perusahaan mengenai keselamatan penerbangan sangat memengaruhi pelaksanaan di lapangan. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bila perusahaan memiliki kebijakan pendanaan terbatas menyangkut keselamatan dan lebih mementingkan keuntungan operasional maka kemungkinan pelatihan yang dilaksanakan tidak memadai. Kemungkinan lain bila kesadaran akan pentingnya keselamatan masih rendah maka pengawasan terhadap pelaksanaan training akan kurang ketat dan memiliki kecenderungan tidak memenuhi standar. Pelatihan yang kurang memadai tersebut akan memengaruhi kemampuan petugas di lapangan. Bila orang-orang yang berada di lini depan tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan maka kemungkinan terjadinya kelalaian sangat besar. Menurunnya kondisi fisik kru penerbangan, misalnya karena kurang istirahat setelah melakukan penerbangan panjang sehingga mengakibatkan kelelahan dapat memicu terjadinya kecelakaan. Hal tersebut juga menyebabkan kru penerbangan kehilangan arah serta menurunnya kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Menurunnya kinerja menyebabkan kru penerbangan tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik. Banyak personel penerbangan yang mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara yang salah, misalnya mengkonsumsi obat-obatan. Namun penggunaan dengan dosis yang tidak tepat justru mengakibatkan dampak negatif yang lebih besar. Salah satu kasus yang terjadi menimpa Majestic Air Cargo tahun Ketika itu kru gagal mempertahankan ketinggian di 24

10 daerah pegunungan ketika melakukan manuver climb sebelum terbang jelajah akibat sedang mengonsumsi obat-obatan. Perusahaan penerbangan berkewajiban untuk mengatur jadwal operasi kru dengan optimal agar tidak mengalami kelelahan saat operasi penerbangan. Pengawasan terhadap penggunaan obat-obatan penting dilakukan. Masalah lain yang terjadi adalah kesalahan komunikasi antara kru penerbangan dan pemandu lalu lintas udara. Kesalahan tersebut mungkin terjadi karena kurangnya kemampuan menggunakan bahasa universal (bahasa Inggris), mencampur aduk bahasa Inggris dengan bahasa negara asal operator maupun penggunaan kalimat yang sulit dimengerti dan menimbulkan kebingungan. Salah satu contoh kasusnya adalah ketika terjadi tabrakan antara Trident dan DC9 di Kroasia tahun Instruksi yang diberikan oleh pemandu lalu lintas udara menggunakan dua bahasa, Inggris dan Perancis. 25

11 Tabel 3.5 Jumlah kecelakaan penerbangan yang melibatkan kelalaian manusia (flight crew) sejak tahun (mei) Diolah dari : Aviation Safety Network CASE(S) 1940an 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an Total Alcohol, drug usage Disorientation, situational awareness Distraction in cockpit Incapacitation Insufficient rest / fatigue Language/communication problems (also ATC) Mental condition Misjudgment (speed, altitude) Navigational error Non adherence to procedures Un(der)qualified TOTAL

12 Sejak tahun 1970an jumlah kecelakaan yang disebabkan penggunaan obat-obatan maupun alcohol oleh kru penerbangan meningkat. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya beratnya tugas yang dihadapi sehingga diperlukan tambahan energi maupun berubahnya pola hidup. Penggunaan yang berlebihan justru seringkali menimbulkan dampak negatif. Kecelakaan penerbangan akibat penggunaan alkohol maupun obat-obatan lebih sering menimpa pesawat-pesawat charter atau kargo. Kemungkinan budaya perusahaan menjadi faktor penyebabnya. Aturan yang berlaku di perusahaan mengenai penggunaan obat-obatan maupun konsumsi alcohol tidak terlalu ketat. Beratnya tugas yang harus diemban oleh kru penerbangan dapat mengakibatkan kelelahan, khususnya penerbangan berjarak panjang. Dalam beberapa puluh tahun belakangan faktor ini cukup dominan berpengaruh pada kecelakaan fatal yang terjadi. Tercatat selama hampir tiga puluh tahun belakangan telah terjadi kecelakaan yang disebabkan fatigue atau kurangnya istirahat sebanyak 15 kali. Tren lain yang berkembang adalah mengenai kehilangan arah atau berkurangnya kepekaan terhadap situasi yang dihadapi. Hal ini juga bisa jadi disebabkan oleh beratnya tugas yang dihadapi serta menurunnya kondisi fisik tubuh. Meskipun hanya terjadi sesaat namun akibat yang ditimbulkan sangat fatal. Sebagai contoh, bila hal ini terjadi ketika dalam kondisi genting menghadapi kondisi cuaca yang kurang baik atau contour medan yang sulit bisa berakibat pada jatuhnya pesawat atau menabrak gunung (CFIT) Dalam beberapa tahun terakhir ada beberapa kasus yang mulai berkembang, padahal sebelumnya jarang terjadi yaitu kekacauan di kockpit dan tidak taat pada prosedur yang berlaku. Kebingungan dalam kockpit bisa terjadi karena kurangnya pelaksanaan latihan untuk menghadapi masalah-masalah kritis. Sedangkan tidak taat pada prosedur yang berlaku berkaitan dengan kebijakan operator mengenai reward and punishment maupun kurangnya stardar training yang ditetapkan. 27

13 Tabel 3.6 Jumlah korban jiwa yang melibatkan kelalaian manusia (flight crew) sejak tahun (mei) Diolah dari : Aviation Safety Network FAT Avg Fat 1940an 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an Total per case Alcohol, drug usage Disorientation, situational awareness , Distraction in cockpit Incapacitation Insufficient rest / fatigue Language/communication problems (also ATC) , Mental condition Misjudgment (speed, altitude) Navigational error , Non adherence to procedures Un(der)qualified TOTAL ,037 1,137 1, ,

14 Pada tahun 2000an, penyebab kecelakaan yang banyak menimbulkan korban jiwa adalah kehilangan arah (disorientation), kehilangan kepekaan (situational awareness) dan tidak menaati prosedur penerbangan (non adherence to procedure). Dari tujuh kecelakaan yang terjadi karena disorientation & situational awareness, tiga diantaranya menimbulkan korban jiwa lebih dari seratus orang. Ketiga kecelakaan tersebut terjadi karena pilot tidak mampu mengendalikan pesawat dengan benar sehingga jatuh. Setelah selama dua dekade tidak ada kecelakaan karena pelanggaran prosedur penerbangan, pada tahun 2000an terjadi empat kali kecelakaan yang secara keseluruhan menimbulkan korban jiwa sebanyak 211 orang. Mengendurnya pengawasan terhadap pelaksanaan prosedur bisa jadi faktor penyebabnya. Lemahnya pengawasan ini merupakan bahaya latent yang sangat berbahaya. Kesalahan terselubung seperti ini sulit dideteksi dan ketika mengakibatkan kecelakaan, kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Karena sulit dideteksi, terjadinya kecelakaan biasanya tiba-tiba dan tanpa ada persiapan yang baik untuk menganggulangi kecelakaan. Bahaya latent terletak di perusahaan maskapai maupun otorita penerbangan berupa pengawasan dan kebijakan yang menimbulkan kondisi tidak aman dan akhirnya berujung pada kelalaian operator lapangan. Pada tahun 2000an beberapa faktor sudah tidak terlibat dalam penyebab utama terjadinya kecelakaan dan korban jiwa seperti masalah komunikasi, kondisi mental dan kesalahan penilaian. Namun faktor-faktor ini belum tentu sudah tertangani dengan baik. Bisa jadi masih ada bahaya terselubung yang belum terdeteksi. Penanganan keselamatan penerbangan perlu dilakukan secara berkesinambungan. 29

BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737

BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737 BAB III STATISTIK KECELAKAAN BOEING 737 3.1 Perkembangan Tingkat Kecelakaan 737 Sejak dioperasikan pertama kalinya pada 10 Februari 1968 tercatat sebanyak 275 kasus pesawat 737 dalam database Aviation

Lebih terperinci

KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL

KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL KELALAIAN MANUSIA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN, STUDI KASUS MENGGUNAKAN SWISS CHEESE MODEL Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Sarjana Oleh : YAFIS AFI 13602013 Pembimbing :

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini pertumbuhan transportasi udara dapat dikatakan berkembang pesat. Pada tahun 2016 terdapat 61 maskapai penerbangan niaga berjadwal yaitu maskapai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga aspek yaitu keselamatan penerbangan (safety), keselamatan gedung (security), dan total quality management

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia penerbangan, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan bertambahnya pesawat-pesawat yang digunakan oleh industri-industri penerbangan. Pertambahan

Lebih terperinci

Budaya Keselamatan dalam dunia Transportasi Udara

Budaya Keselamatan dalam dunia Transportasi Udara Budaya Keselamatan dalam dunia Transportasi Udara Upaya2 yang efektif untuk meynjamin keselamatan terbang harus mengedepankan pentingnya budaya. Setiap organisasi dibidang transportasi udara harus sepenuhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan udara baik internasional maupun domestik mempunyai peranan dan fungsi yang makin lama makin penting dalam kehidupan umat manusia. Khusus bagi Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV Study Kasus dan Analisis

BAB IV Study Kasus dan Analisis BAB I Study Kasus dan Analisis 4.1 Pendahuluan Pada Bab ini dipilih beberapa kasus kecelakaan penerbangan yang terjadi di dalam dan luar negeri serta melibatkan faktor kelalaian manusia sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi tidak aman (unsafe condition). Keselamatan merupakan hal yang harus diutamakan dalam dunia penerbangan.

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

1.2 Tujuan Tujuan dari Kerja Praktek di PT. Dirgantara Indonesia Tbk. Bandung adalah :

1.2 Tujuan Tujuan dari Kerja Praktek di PT. Dirgantara Indonesia Tbk. Bandung adalah : Makalah Seminar Kerja Praktek ENHANCED GROUND PROXIMITY WARNING SYSTEM (EGPWS) SEBAGAI ALAT NAVIGASI PADA PESAWAT CN-235 Nanang Trisnadik (L2F 008 069) Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan alat transportasi yang aman dan nyaman. Salah satu mode transportasi

BAB I PENDAHULUAN. merupakan alat transportasi yang aman dan nyaman. Salah satu mode transportasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor transportasi menjadi salah satu tolok ukur dalam menentukan perkembangan sebuah negara. Sektor transportasi harus memiliki sistem manajemen yang sangat baik

Lebih terperinci

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur -9-4.35. 4.36. 4.37. 4.38. 4.39. 4.40. 4.41 4.42. 4.43. 4.44. 4.45. 4.46. 4.47. 4.48. 4.49. 4.50. 4.51. 4.52. 4.53. 4.54. 4.55. 4.56. 4.57. 4.58. 4.59. Personel AOC melakukan approach to landing yang bertentangan

Lebih terperinci

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1509, 2016 KEMENHUB. Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan. Bagian 174. Peraturan Keselamatan Penerbangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

BAB II Dasar Teori. Gambar 2. 1 Swiss Cheese model Sumber : faalessons.workforceconnect.org, diakses Juli 2007

BAB II Dasar Teori. Gambar 2. 1 Swiss Cheese model Sumber : faalessons.workforceconnect.org, diakses Juli 2007 BAB II Dasar Teori 2.1 Mekanisme Terjadinya Kecelakaan Terjadinya suatu kecelakaan seringkali melibatkan berbagai faktor yang mempengaruhi. Suatu kecelakaan tidak selalu serta merta terjadi tanpa adanya

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi canggih dan telah memiliki peranan penting pada abad ini. Seseorang dapat melakukan perjalanan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA KOMERSIL DI INDONESIA PADA TAHUN 2002 SAMPAI DENGAN TAHUN 2012 Rahimudin 1) 1) STTKD Yogyakarta Abstrak Penyebab, kecelakaan pesawat terbang tidak

Lebih terperinci

Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia

Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=278102 Senin, 29 Desember 2014, 05:03:00 SEKARANG INI 28 Desember 2014 Airbus A320-200 milik Air Asia dengan rute

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Penerbangan domestik 2. Penerbangan

Lebih terperinci

PA U PESAW PESA AT A T TER

PA U PESAW PESA AT A T TER PERENCANAAN PANJANG LANDAS PACU PESAWAT TERBANG Didalam merencanakan panjang landas pacu, dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Menurut ICAO (International Civil Aviation

Lebih terperinci

SI 2124 PENGANTAR SISTEM TRANSPORTASI

SI 2124 PENGANTAR SISTEM TRANSPORTASI SI 2124 PENGANTAR SISTEM TRANSPORTASI KULIAH KE-14 (KESELAMATAN TRANSPORTASI) Dosen: Harun al-rasyid LUBIS Definisi keselamatan dan keamanan transportasi secara umum Keamanan transportasi adalah keadaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keselamatan penerbangan selalu menjadi hal serius selama bertahun-tahun hal ini dikarenakan resiko kematian yang di akibatkan oleh suatu kecelakaan pesawat terbang

Lebih terperinci

TRAFFIC ALERT AND COLLISION AVOIDANCE SYSTEM CAS) SEBAGAI ALAT NAVIGASI PADA CN-235

TRAFFIC ALERT AND COLLISION AVOIDANCE SYSTEM CAS) SEBAGAI ALAT NAVIGASI PADA CN-235 Makalah Seminar Kerja Praktek TRAFFIC ALERT AND COLLISION AVOIDANCE SYSTEM (TCAS) SEBAGAI ALAT NAVIGASI PADA CN-235 Bramono Hanindito (L2F 008 019) Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Komponen Berat Pesawat Udara Berat pesawat udara, pada umumnya, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu APS (Aircraft Prepared for Service) weight, payload, dan berat bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5%

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5% 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi udara merupakan industri yang memiliki kaitan erat dengan ekonomi global. Peningkatan 1% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) secara global akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peningkatan permintaan jumlah penumpang Sumber : Cetak Biru Transportasi Udara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peningkatan permintaan jumlah penumpang Sumber : Cetak Biru Transportasi Udara. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun, industri penerbangan di Indonesia mengalami peningkatan dan perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan infrastruktur seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Transportasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena dapat memudahkan bagi mereka untuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan adanya transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menambah peluang menurunnya jaminan kualitas keselamatan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. menambah peluang menurunnya jaminan kualitas keselamatan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketidakseimbangan antara kapasitas suatu infrastruktur transportasi dan volume permintaan akan jasa transportasi telah menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas

Lebih terperinci

Memmbang. a. perhubungan NomQr KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 173

Memmbang. a. perhubungan NomQr KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 173 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN nirf.ktorat.tenderal PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR :KP 90 TAHUN 2014 TENTANG PFTUNJUK TEKNIS PEMBERIAN PERSETUJUAN PERANCANGAN PROSEDUR PENERBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era globalisasi saat ini menuntut masyarakat untuk mempunyai mobilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era globalisasi saat ini menuntut masyarakat untuk mempunyai mobilitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi saat ini menuntut masyarakat untuk mempunyai mobilitas yang sangat tinggi. Sektor transportasi merupakan hal mutlak untuk mempermudah mobilisasi penduduk

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki dalam setiap moda transportasi. Salah satu moda transportasi yang harus memiliki standar peraturan keamanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 74 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 830 (CTVIL AVIATION SAFETY REGULATION

Lebih terperinci

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PENERBANGAN TAHUN 2010 2016 () Oleh: Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Jakarta, 30 November 2016 Tahun Media Release KNKT Data Investigasi Kecelakaan Penerbangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. yakni perbandingan terhadap satuan mobil penumpang. Penjelasan tentang jenis. termasuk di dalamnya jeep, sedan dan lain-lain.

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. yakni perbandingan terhadap satuan mobil penumpang. Penjelasan tentang jenis. termasuk di dalamnya jeep, sedan dan lain-lain. BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Klasifikasi Kendaraan Klasifikasi kendaraan bermotor dalam data didasarkan menurut Peraturan Bina Marga, yakni perbandingan terhadap satuan mobil penumpang. Penjelasan tentang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 707 TAHUN 2012

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 707 TAHUN 2012 MENTERI KEPUTUSAN MENTERI NOMOR 707 TAHUN 2012 TENTANG JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING PADA KATEGORI TRANSPORTASI DAN PERGUDANGAN GOLONGAN POKOK ANGKUTAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans.

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. (1) Domestik. (2) International. E. Pemisahan minimum/separation Minimums. F. Prioritas Penanganan/Priority Handling.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri penerbangan di Indonesia berkembang dengan cepat setelah adanya deregulasi mengenai pasar domestik melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22 Tahun 2009) 2.1.1. Bunyi UU no. 22 tahun 2009 pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 pasal 106 ayat (1)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan semakin bertambahnya maskapai

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan semakin bertambahnya maskapai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada abad 21 ini perkembangan transportasi udara mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan semakin bertambahnya maskapai penerbangan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG Oleh : Ni Made Pipin Indah Pratiwi I Made Sarjana Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract: Liability

Lebih terperinci

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM 1 MATERI PEMBELAJARAN Perkembangan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara 15 BAB III LANDASAN TEORI A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan nomor SKEP/161/IX/03 tanggal 3 September

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA Oleh Theresia Carmenia Yudithio Ni Putu Purwanti Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 03 MANAJEMEN BAHAYA HEWAN LIAR DI BANDAR UDARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya bidang teknologi dan perubahan pola kehidupan manusia yang semakin cepat membuat begitu banyak aktivitas yang harus dilakukan oleh manusia untuk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, berikut akan disajikan kesimpulan hasil penelitian tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Hasil pengujian hipotesis pertama

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA Oleh : A.A. Gde Yoga Putra Ida Bagus Surya Darmajaya Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.156, 2013 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5448) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : INST 001 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN KEWASPADAAN DALAM MENGHADAPI MUSIM HUJAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS TREN KECELAKAAN PADA SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA (Moda Transportasi : Kereta Api)

ANALISIS TREN KECELAKAAN PADA SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA (Moda Transportasi : Kereta Api) ANALISIS TREN KECELAKAAN PADA SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA (Moda Transportasi : Kereta Api) Disusun Oleh : Winda Halim Rainisa Maini Heryanto FAKULTAS TEKNIK-JURUSAN TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS KRISTEN

Lebih terperinci

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE 3.1 Pendahuluan Dalam tugas akhir ini, mengetahui optimalnya suatu penerbangan pesawat Boeing 747-4 yang dikendalikan oleh seorang pilot dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus 46 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ATC merupakan pengatur lalu lintas udara sejak pesawat itu akan terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus membuat flat planning

Lebih terperinci

pengangkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan dapat dirasakan

pengangkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan dapat dirasakan tanpa didukung adanya jasa angkutan udara, sebab dampak dari adanya pengangkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan dapat dirasakan secara langsung, antara lain perhubungan yang cepat, efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan

Lebih terperinci

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN Sumber: Database KNKT Desember 2013

DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN Sumber: Database KNKT Desember 2013 DATA INVESTIGASI KECELAKAAN PERKERETAAPIAN TAHUN - Sumber: Database KNKT Desember DATA KECELAKAAN PERKERETAAPIAN YANG DIINVESTIGASI KNKT TAHUN - JENIS KECELAKAAN TAHUN 9 TOTAL KORBAN JIWA JUMLAH REKOMENDASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan dengan pesawat terdiri dari 3 (tiga) fasa, yaitu lepas landas (take-off), menempuh perjalanan ke tujuan (cruise to destination), dan melakukan pendaratan

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent No.689, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Sistem Tanpa Awak. Pesawat Udara. Pengendalian. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara 1 merupakan sarana perhubungan yang cepat dan efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. Pesawat udara memiliki karakteristik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu PENDAHULUAN BAB I I.1 Latar Belakang Transportasi adalah usaha untuk memindahkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain dalam aktivitas sehari hari dengan menggunakan alat trasportasi. Indonesia

Lebih terperinci

Yune Andryani Pinem 1), Made Yukta Dewanti 2) Program Studi D3 Manajemen Transportasi Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan.

Yune Andryani Pinem 1), Made Yukta Dewanti 2) Program Studi D3 Manajemen Transportasi Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan. ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN PENUMPANG TEHADAP STANDAR KESELAMATAN PENERBANGAN DI PT GARUDA INDONESIA BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA Yune Andryani Pinem 1), Made Yukta Dewanti 2)

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi teraman di dunia adalah pesawat terbang, dilihat dari sedikitnya jumlah kecelakaan yang terjadi di pesawat terbang dibandingkan transportasi darat. Data

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS RUNWAY UTARA BANDARA SOEKARNO - HATTA

BAB IV STUDI KASUS RUNWAY UTARA BANDARA SOEKARNO - HATTA BAB IV STUDI KASUS RUNWAY UTARA BANDARA SOEKARNO - HATTA IV.1 Kategori Pesawat Pada Runway Utara Type pesawat yang beroperasi di runway utara pada saat melakukan pendekatan ke runway dikelompokan dalam

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN 1. Tujuan Perencanaan Sistem Bandara (Airport System), adalah : a. Untuk memenuhi kebutuhan penerbangan masa kini dan mendatang dalam mengembangkan pola pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dicirikan dengan adanya akses transportasi yang cukup baik. Perbaikan akses transportasi ke suatu tempat akan menjadikan lahan tersebut semakin menarik. Berkembangnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Diagram Alir Analisis Kapasitas Runway 3 Mulai Identifikasi Masalah Tinjauan Pustaka Pengumpulan Data 1. Data penumpang pesawat tahun 2005-2015 2. Data Pergerakan Pesawat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya produk berupa barang yang banyak memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Di era modern dan perkembangan teknologi serta meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wira Gauthama,2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wira Gauthama,2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pengaruh globalisasi transportasi udara dalam dekade terakhir ini berpengaruh langsung terhadap peningkatan kebutuhan dan kualifikasi tenaga

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1 PERENCANAAN BANDAR UDARA Page 1 SISTEM PENERBANGAN Page 2 Sistem bandar udara terbagi menjadi dua yaitu land side dan air side. Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung

Lebih terperinci

DRIVER MANAGEMENT SYSTEM

DRIVER MANAGEMENT SYSTEM DRIVER MANAGEMENT SYSTEM Manajemen Pengemudi merupakan salah satu elemen yang berhubungan dengan para Pengemudi dan kegiatan yang menyangkut didalamnya, yang juga salah satu Pilar kinerja dalam Sistim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti -3-1.26. 1.27. 1.28. 1.29. 1.30. 1.31. 1.32. 1.33. 1.34. 1.35. 1.36. 1.37. 1.38. Perusahaan angkutan udara asing dan badan usaha angkutan udara yang melaksanakan kerjasama penerbangan pada rute luar negeri

Lebih terperinci

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara Studi Analisis Penyebab Runway Excursion di Indonesia Berdasarkan Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tahun 2007-2016 Runway Excursion Analysis Study

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi yang merupakan salah satu sektor industri yang bersentuhan langsung dengan lalu lintas dinyatakan sebagai salah satu industri dengan tingkat cedera dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Indikator yang dihasilkan adalah 19 variabel seperti yang dapat dilihat pada tabel

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Indikator yang dihasilkan adalah 19 variabel seperti yang dapat dilihat pada tabel BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Hasil dari penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang telah di bahas sebelumnya. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM FAKTOR PENGARUH KAPASITAS RUNWAY Beberapa faktor pengaruh antara lain: 1. Jumlah runway 2. Pemisahan pesawat yang landing

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE

PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.5/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA

Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA Bab 4 Perencanaan Panjang Landas Pacu dan Geometrik Landing Area 4-2 Tujuan Perkuliahan Materi Bagian 4 Tujuan Instruksional Umum

Lebih terperinci

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum dan Objek Observasi Setiap manusia di dunia memiliki kebutuhan dan keinginan dalam usaha untuk mempertahankan hidup, namun sering kali manusia tidak suka memperhatikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara Niaga. Keterlambatan Penerbangan. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. kepuasan konsumen sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan yang berorientasi pada keuntungan selalu mengharapkan profit dari usaha yang mereka keluarkan, profit tersebut digunakan baik untuk eksistensi

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 TANGGUNG JAWAB PENGAWAS LALU LINTAS UDARA (AIR TRAFFIC CONTROL) TERHADAP LALU LINTAS UDARA YANG AMAN DAN LANCAR (STUDI PADA BANDAR UDARA KUALA NAMU INTERNATIONAL) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480]

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480] UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai

Lebih terperinci

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan.

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan. -7- (2) Hasil pemeriksaan ulang dan arahan dari Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Penerbangan menetapkan penanganan lebih lanjut. (3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Inspektur Penerbangan

Lebih terperinci

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY www.m.tempo.com Maskapai penerbangan Lion Air kembali dilanda masalah keterlambatan alias delay. Setelah mengalami keterlambatan hingga 25 jam di Bandara Soekarno-Hatta,

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. pada fungsi fisiologis dan psikologis seseorang. Sekitar tahun 1920, Walter

BAB 1. PENDAHULUAN. pada fungsi fisiologis dan psikologis seseorang. Sekitar tahun 1920, Walter BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Stres dapat digambarkan sebagai suatu keadaan yang mengganggu pada fungsi fisiologis dan psikologis seseorang. Sekitar tahun 1920, Walter Canon untuk pertama

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 180 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN

Lebih terperinci