SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F"

Transkripsi

1 SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS Oleh : MONA FITRIA F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 Mona Fitria. F Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi. ABSTRAK Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz, 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis. Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras. Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal.

3 Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan. Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%.

4 PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh MONA FITRIA F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

5 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh MONA FITRIA F Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007 Menyetujui, Bogor, Agustus 2007 Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dosen Pembimbing I Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi Dosen Pembimbing II Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina. Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh). Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB dan Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Pada tahun 2006, penulis berhasil masuk 6 besar Mahasiswa Berprestasi Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis adalah penerima beasiswa PPA (2005) dan beasiswa PERTAMINA-BP MIGAS (2006). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang mendapatkan dana bantuan dari Laboratorium Jasa Analisis (LJA), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan judul: Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada: 1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik. 2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis. 4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini. 5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. 6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends. 7. Teman seperjuangan dalam pelaksanaan penelitian ini : Bos Fina dan Aji. Fin, dari awal sampai akhir penelitian ini kita selalu bersama. Semoga kebersamaan ini tidak hanya sampai disini dan bisa berlanjut sampai kapan pun. Aji, terima kasih untuk kerjasamanya. i

8 8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan keluarga baru di kostan Mega : Mba Ririn, Kamila cantik, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10. Teman-teman seperjuangan perantau sejati dari IPMM dan IKMP : Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you ve spent with me. 11. Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-nya. 12. Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, temanteman di golongan A, teman-teman di HIMITEPA dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini. 13. Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. 14. Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis. Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitianpenelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih. Bogor, Agustus 2007 Penulis ii

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Tujuan 4 C. Manfaat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biskuit 5 B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit 11 C. Aktivitas Air 12 D. Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis 14 E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis 17 F. Kemasan 20 G. Umur Simpan 24 H. Metode Akselerasi 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat 31 B. Metode Penelitian 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 40 B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis 46 C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model 48 D. Permeabilitas Uap Air Kemasan 54 iii

10 Halaman E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan 56 F. Variabel Umur Simpan Lainnya 57 G. Umur Simpan 61 V. KESIMPULAN DAN SARAN 70 DAFTAR PUSTAKA 73 LAMPIRAN iv

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI Tabel 2. Penyimpangan Produk Akhir Biskuit dan Penyebabnya 6 Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (a w ) dan keadaan fisik air 16 Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan 42 Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan 43 Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 o C 46 Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (m e ) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan 48 Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak 49 Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras 50 Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan 51 Tabel 11. Nilai a w minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme 54 Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan 61 Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan 62 Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 63 Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 64 Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 65 Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 66 Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi 68 v

12 Tabel 19. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi 69 vi

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum 11 Gambar 2. Kurva sorpsi isothermis secara umum 16 Gambar 3. Diagram alir metode penelitian 33 Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 38 Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit 41 Gambar 6. Hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras 43 Gambar 7. Hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras 44 Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan adonan keras 48 Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB 52 Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie 52 Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB 53 Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB 58 Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB 58 Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB 59 Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie 59 Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB 60 vii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 76 Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 77 Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit 78 Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan 79 Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear menjadi persamaan linear 80 Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis 82 Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai konstanta persamaan GAB 83 Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan model sorpsi isotermis 85 Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras 86 Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD 90 Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras 91 viii

15 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005). Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya mengetahui tingkat kesegaran dan keamanan produk, melainkan juga menjadi petunjuk bagi perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya. Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan. Pendugaan umur simpan produk dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode akselerasi. Metode konvensional membutuhkan

16 waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001). Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006). Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah populer di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz, 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan. Karakteristik kerenyahan produk dapat dipertahankan dengan sistem pengemasan yang benar. Pemilihan bahan kemasan yang tepat sangat menentukan mutu produk biskuit dalam kemasan. Pengetahuan tentang pola penyerapan air dan kadar air kritis produk dapat dijadikan dasar dalam penentuan umur simpan produk. Karena produk yang dipilih adalah biskuit 2

17 yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis. Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Sasaran yang diharapkan dari pengembangan metode ini adalah parameter kritis dapat 3

18 diketahui dengan melihat kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik. Secara umum sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang sesuai, cepat, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. B. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. C. MANFAAT PENELITIAN 1. Mengetahui perbandingan umur simpan biskuit yang ditentukan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan umur simpan yang ditentukan dengan pendekatan kadar air termodifikasi sehingga dapat diketahui metode yang sesuai dan dapat diaplikasikan untuk menduga umur simpan produk biskuit secara umum. 2. Mengetahui nilai umur simpan produk biskuit pada umumnya, dimana umur simpan ini sangat penting karena terkait dengan keamanan produk. 4

19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. BISKUIT Biskuit adalah salah satu jenis kue kering (cookies), yang terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978), dan diproses dengan proses pemanggangan sampai kadar air produk tidak lebih dari 5 % (BSN, 1992). Di dalam SNI tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit, biskuit didefinisikan sebagai sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Matz dan Matz, 1978). Biskuit dicirikan oleh tingginya kadar gula dan shortening serta rendahnya kandungan air dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Apabila dikemas produk biskuit akan terlindung dari kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000). Menurut Whiteley (1971), suatu produk disebut biskuit bila 40% dari bahan utamanya merupakan serealia seperti gandum, jagung, oat, atau barley dan kadar air produk tidak lebih dari 5 %. Syarat mutu biskuit dapat ditemukan dalam SNI tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI Komponen Satuan Spesifikasi Air % b/b Maks. 5,0 Protein % b/b Min. 9,0 Lemak % b/b Min. 9,5 Karbohidrat % b/b Min. 70,0 Abu % b/b Maks. 1,5 Logam - Negatif Kalori Kal/ g Min. 400,0 Serat kasar % b/b Maks. 0,5 Jenis tepung - Terigu Bau dan rasa - Normal, tidak tengik Warna - Normal Sumber : BSN, 1992

20 Mutu biskuit tergantung pada beberapa hal, yaitu komponen penyusunnya dan penanganan bahan sebelum serta sesudah produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi karena penggunaan bahan yang tidak proporsional atau cara pembuatan yang tidak tepat (Vail et al., 1978). Tabel 2 berikut ini menyajikan jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi pada produk biskuit dan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut. Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya Penyimpangan Penyebab Keras Kurang lemak Kurang air dan terlalu banyak campuran Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat dan kurang air Oven kurang panas Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata Warna tidak rata Bentuk tidak merata Panas tidak merata Hambar dan berat Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros Pencampuran tidak tepat Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Pemanggangan terlalu lama Permukaan keras Pemanggangan terlalu lama Suhu oven terlalu tinggi Berminyak dan rapuh Terlalu banyak lemak Sumber : Vail et al., Bahan Pembuat Biskuit Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur, dan cocoa. Bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Bahan baku utama dalam pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak, dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi (Matz dan Matz, 1978). 6

21 Biskuit yang baik menggunakan terigu lunak sebagai bahan dasarnya. Terigu lunak memiliki kadar protein sekitar 8% dan kandungan glutennya tidak terlalu tinggi (Vail et al., 1978). Tepung terigu dalam pembuatan biskuit berperan sebagai pembentuk adonan selama pencampuran, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya, pengikat gas selama proses fermentasi, dan pembentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978). Gula digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, dan pembentuk warna pada permukaan biskuit. Jenis gula yang biasa ditambahkan adalah gula pasir atau sirup glukosa. Jumlah gula yang ditambahkan sangat mempengaruhi tekstur dan penampakan produk akhir sepeti warna (Matz dan Matz, 1978). Lemak dan minyak dalam biskuit akan melunakkan dan menghaluskan tekstur, membuat struktur yang elastis, memberi cita rasa khas biskuit. Keberadaan lemak dan minyak di dalam biskuit membuat biskuit cepat melunak di dalam mulut. Lemak dan minyak alami yang sering digunakan antara lain, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Lemak nabati lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus (Matz dan Matz, 1978). Bahan lain seperti telur berfungsi sebagai pengemulsi, peningkat flavor, warna, dan kelembutan. Selain itu, kerenyahan biskuit akan bertambah dengan adanya penambahan telur. Bahan pengembang ditambahkan untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO 2. Gas akan dilepaskan selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna. Adanya bahan pengembang juga dapat mencegah penyusutan dan menyeragamkan remah. Bahan pengembang yang sering digunakan adalah ammonium bikarbonat (Matz dan Matz, 1978). 2. Klasifikasi Biskuit Produk biskuit dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat, yaitu berdasarkan tekstur (kekerasan), perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas (sifat) adonan, dan pembentukan produk 7

22 (Manley, 1983). Menurut sifat adonan, biskuit dibedakan menjadi adonan lunak, keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat efek dari lemak (shortening) dan efek dari pelunakan oleh gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai pada batas tertentu dengan penambahan air. Adonan fermentasi mengalami pengembangan gluten penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan pengembangan tersebut. Sebagai akibatnya, terjadi penyusutan panjang produk setelah pencetakan dan pembakaran (Soenaryo, 1985). Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%. Produk yang tergolong jenis ini adalah cookies, snap, biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Adonan lunak dibuat dengan mengocok lemak dan gula sampai membentuk krim. Selama dikocok perisa dan pewarna dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dan garam dilarutkan dulu dengan air atau susu cair dan selanjutnya dicampurkan dengan krim. Tepung terigu ditambahkan di akhir proses pencampuran (Soenaryo, 1985). Jenis adonan keras dibuat dengan cara yang hampir sama dengan adonan lunak, akan tetapi waktu pencampuran diperpanjang dan ditambahkan sodium metabisulfit untuk mereduksi pengembangan gluten. Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk dan biasanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk tahapan aging, tergantung pada jenis bahan pengembang. Pada adonan keras ini terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, bahan pengembang, dan pendispersian lemak ke seluruh bagian adonan. Jenis adonan keras mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%. Contoh produknya adalah biskuit marie, biskuit setengah manis, dan biskuit tidak manis (Soenaryo, 1985). Lain halnya dengan adonan fermentasi, adonan tersebut memiliki kadar gula rendah, kadar lemak 25-30%, dan tingkat kerenyahannya tertentu. Contoh produk jenis adonan fermentasi adalah biskuit crackers (Soenaryo, 1985). 8

23 3. Proses Pembuatan Biskuit Proses pembuatan biskuit terdiri dari tiga tahap, yaitu pembentukan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan biasanya berbeda-beda tergantung jenis adonan yang akan dibuat. Menurut Manley (1983), metode dasar pencampuran adonan dibagi menjadi dua yaitu, metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan adonan dengan metode krim dilakukan secara bertahap. Awalnya lemak dan gula dicampur sehingga membentuk krim yang homogen dan selama pembuatan krim bisa pula ditambahkan pewarna dan perisa (essence). Selanjutnya ditambahkan susu, bahan pengembang, dan garam yang telah dilarutkan dengan air. Pada tahap akhir ditambahkan tepung terigu ke dalam adonan dan dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode krim ini akan menghasilkan adonan yang sifat pengembangan glutennya tidak berlebihan dan terbatas (Matz dan Matz, 1978). Lain halnya dengan metode all in, semua bahan dicampur bersamaan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Metode ini lebih cepat, namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras. Setelah adonan dibuat, adonan tersebut akan mengalami proses aging selama ± 15 menit, tergantung jenis bahan pengembang yang digunakan. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan pada bahan pengembang untuk bekerja efektif. Selanjutnya dilakukan pencetakan terhadap adonan yang sebelumnya telah ditipiskan sampai mencapai ketebalan tertentu. Bentuk dan ukuran biskuit diusahakan seragam karena hal ini dapat membantu proses pemanggangan. Untuk menghindari kelengketan antara adonan dan alat, permukaan adonan diberi tepung. Adonan yang telah dicetak tersebut ditata di atas loyang yang telah diolesi lemak lalu dipanggang. Pengolesan lemak bertujuan untuk menghindari lengketnya biskuit pada loyang setelah dipanggang. Pemanggangan merupakan tahap pemasakan adonan. Selama pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu penurunan densitas, terbentuknya tekstur yang porous, penurunan kadar air, dan perubahan warna karena adanya reaksi Maillard dan karamelisasi. Selain itu, pati akan 9

24 mengalami gelatinisasi dan protein mengalami denaturasi, gas CO 2 dan komponen aroma dibebaskan. Pemanggangan segera dilakukan setelah pencetakan. Selama pemanggangan akan terbentuk struktur biskuit akibat adanya gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biskuit akan meningkat 4-5 kali dan kadar air akan menurun dari 21% menjadi kurang dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2,5 sampai 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Biasanya biskuit dipanggang pada suhu ± 350 o F (177 o C) selama ± 10 menit. Suhu dan lama pemanggangan akan menentukan kadar air akhir biskuit yang dihasilkan. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dibakar pada suhu yag lebih tinggi, yaitu o C (Matz dan Matz, 1978). Faktor-faktor yang perlu dikendalikan pada proses pemanggangan adalah suhu, waktu, serta sirkulasi udara di dalam oven. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan biskuit menjadi hangus di bagian luar tetapi bagian dalam belum matang. Sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan pemanggangan terlalu lama sehingga biskuit akan menjadi kering karena penguapan air yang terlalu banyak. Selain itu, rasa dan aroma juga banyak berkurang. Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mendapatkan tekstur yang keras akibat memadatnya gula dan lemak. Biskuit dikemas untuk melindunginya dari kerusakan dan penyimpangan mutu. Menurut Manley (1983), biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen. Oleh karena itu, bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar matahari, dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis. Bahan pengemas yang dapat digunakan diantaranya plastik, alumunium foil, kertas minyak, karton berlipat, dan kaleng berbentuk persegi dan bulat. Bahan kemasan diatas dapat berperan sebagai kemasan primer atau sekunder. Berikut ini adalah diagram alir pembuatan biskuit secara umum. 10

25 Bahan pembuat biskuit di-mixing di-aging dicetak dipanggang didinginkan dikemas Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum (Soenaryo, 1985) B. MUTU DAN PENURUNAN MUTU BISKUIT Mutu biskuit akan menurun seiring dengan bertambahnya umur produk. Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, mutu produk pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor. Reaksi penurunan mutu suatu produk makanan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik (lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air, cahaya, dan suhu, sedangkan faktor intrinsik meliputi komposisi produk. Keadaan lingkungan akan memicu reaksi dalam produk, seperti reaksi kimia, reaksi enzimatis, dan penyerapan uap air atau gas. Biskuit memiliki kadar air dan a w yang rendah sehingga teksturnya menjadi renyah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk biskuit adalah meningkatnya kadar air yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kerenyahan produk. Biskuit mempunyai kadar air awal sebesar % (Vail et al., 1978). Makanan kering pada umumnya termasuk biskuit mengalami kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap perubahan a w. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis, perubahan organoleptik, 11

26 kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan off-flavor. Kerusakan produk biskuit sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan produk kering akan menurun dengan meningkatnya a w produk. Apabila a w mencapai maka kerenyahan yang menjadi kekhasan produk akan hilang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan air yang melarutkan dan melunakkan matrik pati atau protein yang terkandung pada sebagian besar produk pangan (Vail et al., 1978). C. AKTIVITAS AIR Istilah aktivitas air (a w ) digunakan untuk menggambarkan kondisi air dalam bahan pangan. Istilah ini menunjukkan jumlah air yang tidak terikat atau bebas dalam sistem dan dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas air merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroba, produksi racun, reaksi enzimatis, dan reaksi kimia lainnya (Mercado dan Canovas, 1996). Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari beberapa komponen. Menurut Winarno (2004), istilah yang umum dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan pangan adalah air terikat. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena keterikatan air dalam bahan pangan berbeda-beda bahkan ada air yang tidak terikat. Menurut derajat keterikatannya, air dibagi dalam empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Tipe II merupakan molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan a w. Tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni (Winarno, 12

27 2004). Apabila air dalam bahan pangan terikat kuat dengan komponen bukan air, maka air tersebut lebih sukar digunakan untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air dalam bahan pangan berkaitan erat dengan daya awet produk. Pengurangan air baik dalam pengeringan atau penambahan bahan lain bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan kimiawi maupun mikrobilologi (Fennema, 1985). Aktivitas air merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama penyimpanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan umur simpan suatu produk pangan karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik, sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis, dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah. Sifat-sifat yang dimaksud di atas diantaranya, kekerasan, kekeringan, dan pencoklatan non-enzimatis (Winarno dan Jenie, 1983). Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Pada selang aktivitas air sekitar atau lebih, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. 2. Pada selang aktivitas air sekitar , jamur dapat mulai tumbuh. 3. Aktivitas air sekitar dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. 4. Pada selang aktivitas air , produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis. Secara matematis, aktivitas air (a w ) dari suatu bahan pangan dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (P f ) dengan tekanan uap air murni (P o ) pada suhu yang sama. Persamaannya adalah sebagai berikut: a w = Pf Po 13

28 Dalam keadaan setimbang, aktivitas air sering dihubungkan dengan kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) dari lingkungan, yaitu kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimabangan sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut: a w = ERH 100 Aktivitas air (a w ) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya. D. KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN SORPSI ISOTERMIS Kadar air kesetimbangan adalah kadar air suatu bahan setelah berada pada kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan merupakan kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami perubahan atau pengurangan bobot produk. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Heldman dan Singh (1981) bahwa kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air bahan dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan dinyatakan sebagai kelembaban relatif kesetimbangan (equilibrium relative humidity). Kadar air kesetimbangan penting untuk menentukan bertambah atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992). 14

29 Penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode statis dan metode dinamis. Berdasarkan metode statis, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara diam dengan cara meletakkan contoh dalam tempat yang kondisi suhu dan RH-nya terkontrol. Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak (diam). Pada metode statis, tercapainya kadar air kesetimbangan ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2mg/g untuk kondisi RH 90 % dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk kondisi RH > 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Lain halnya dengan metode dinamis, kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada kondisi udara bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses pengeringan. Pergerakan udara dibutuhkan untuk untuk mempercepat pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan produk pangan sangat penting dalam menggambarkan kurva sorpsi isothermis produk tersebut yang bergantung pada suhu dan kelembaban udara lingkungan. Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya digambarkan oleh suatu kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (a w ) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan aktivitas adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (menguapkan air) dari bahan makanan. Hubungan ERH atau a w dan kadar air bahan pangan pada suhu konstan digambarkan seperti pada gambar 2. Pada bahan pangan, sorpsi isotermis air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif ruang tempat penyimpanan (Winarno, 2004). Sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian bahan pangan seperti umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan. 15

30 Gambar 2. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982) Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (a w ) dan keadaan fisik air a w Keadaan air di dalam bahan pangan Adsorpsi pada lapisan tunggal (monolayer) Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer) Air terkondensasi pada kapiler atau pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut Sumber : Gunasekharan dan John (1993) Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menjelaskan pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeresis. Fenomena histeresis menjelaskan bahwa nilai a w yang berbeda diperoleh pada pengukuran makanan dengan kadar air sama, tergantung pada bagaimana cara tercapainya kadar air tersebut, melalui proses adsorpsi atau desorpsi (Buckle et al., 1985). Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan 16

31 fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema, 1985). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno, 2004). Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath, 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai a w yang berbeda (Chirife dan Iglesias, 1978). E. MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model sorpsi isotermis produk tersedia, namun tidak ada satu pun model yang mampu menggambarkan dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang luas. Ketepatan setiap model tergantung pada kisaran nilai a w dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut. Model matematika mengenai persamaan sorpsi isotermis ini sudah sangat banyak dikemukakan para ahli baik secara empiris, semi empiris, maupun teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978, Van den Berg dan Bruin, 1981). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982). 17

32 Menurut Chirife dan Iglesias (1978), ada beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang a w yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan, yaitu: 1. Perubahan a w pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang a w yang berbeda. 2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya. 3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya. Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat persamaan berikut: V = V m * [ba/(k+ba)] dimana: V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu V m a b = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal = sifat termodinamika gas = konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan Model Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air, dan interaksi molekul-molekul uap air yang diadsorpsi dapat terjadi. Untuk menyempurnakan asumsi Langmuir, Brauner, Emmet, dan Teller (1938) menambahkan bahwa proses adsorpsi tidak hanya 18

33 bersifat satu lapis molekul air, namun juga membentuk lapisan molekul ganda. Bentuk persamaan isotermis BET adalah sebagai berikut: aw = 1 + a w (C 1) (1 a w )M CM m CM m dimana: M m = kadar air pada lapisan tunggal C = tetapan adsorpsi BET Model BET ini hanya dapat digunakan pada kisaran a w kurang dari 0.5, namun data yang didapat ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi lapisan tunggal dari suatu bahan pangan (Labuza, 1982 diacu dalam Arpah, 2001). Salah satu model yang diakui secara internasional adalah model GAB (Guggenheim, Anderson, dan de Boer). Model ini bisa menggambarkan sorpsi isotermis bahan pangan pada kisaran a w yang lebih luas dari model BET, yaitu 0.05 < a w < 0.9 dan (Spiess dan Wolf, 1987). Persamaan GAB merupakan persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isotermis pada sebagian besar produk pangan. Model sorpsi isotermis GAB dinyatakan sebagai berikut: M = X m C K a w (1 K a w ) (1 K a w + C K a w ) dimana: M = kadar air (% basis kering) a w = aktivitas air X m = kadar air monolayer (%) K = konstanta C = konstanta energi Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan untuk kebanyakan bahan pangan, terutama biji-bijian (Chirife dan Iglesias, 1978). Bentuk persamaan tersebut adalah seperti dibawah ini. 1 - a w = exp (-KMe n ) 19

34 dimana: Me = kadar air kesetimbangan (% basis kering) K dan n = konstanta Selanjutnya, Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang a w 0.0 sampai Persamaan tersebut adalah sebagai berikut dengan P1 dan P2 merupakan konstanta. ln Me = ln P1 (P2*a w ) Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan ini dapat digunakan untuk bahan makanan dengan a w 0.1 sampai Berikut ini adalah model persamaan Hasley. a w = exp [-P1/(Me) P2 ) Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada a w 0.00 sampai 0.85 dan cocok untuk kurva sorpsi isotermis yang berbentuk S (sigmoid). Model persamaan Oswin tersebut adalah seperti dibawah ini. Me = P1 [a w /(1 a w )] P2 Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku untuk bahan pangan pada semua kisaran nilai a w. Persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut. a w = exp[-p1/exp(p2*me)] F. KEMASAN Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al., 1989). Adanya kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. 20

35 Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas dan gelombang karton (Syarief et al., 1989). Menurut Winarno dan Jenie (1983) tujuan makanan dikemas adalah untuk mengawetkan makanan, yaitu mempertahankan mutu kesegaran, warnanya yang tetap, untuk menarik konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta yang lebih penting lagi dapat menekan peluang terjadinya kontaminasi dari udara, air, dan tanah baik oleh mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun bahan kimia yang bersifat merusak atau racun. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan prosuk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi, (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan (3) menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al., 1989). Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, oleh sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al., 1989). 21

36 Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pangan. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain seperti kertas dan alumunium foil. Menurut Robertson (1993), kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi. Dalam kemasan laminasi minimal ada dua jenis kemasan, dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic. Kemasan laminasi yang sering digunakan industri pangan saat ini tidak hanya kombinasi antara berbagai macam plastik saja melainkan kombinasi plastik dengan aluminium. Kemasan seperti ini disebut metallized plastic. Kemasan seperti ini cocok digunakan sebagai pengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. Metallized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown, 1992). Selain itu, metallized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan. Metallizing merupakan proses pelapisan salah satu sisi film plastik transparan dengan logam pada kondisi yang sangat vakum. Logam yang biasa digunakan adalah aluminium. Proses metalisasi dilakukan dengan menguapkan dan melelehkan aluminium pada suhu 1500 o C. Uap aluminium akan melapisi film plastik yang berputar pada sebuah rol pendingin bersuhu ± 15 o C (Febriyanti, 2002). Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan dapat mengurangi biaya transportasi. Selain itu, plastik sebagai bahan pengemas memilki sifat ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O 2, dan CO 2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Plastik juga merupakan jenis kemasan yang dapat menarik selera konsumen. 22

37 Salah satu jenis plastik yang sering digunakan sebagai bahan pengemas diantaranya polipropilen. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat utama polipropilen adalah sebagai berikut: 1. Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, namun tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku. 2. Mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen. Pada suhu rendah akan rapuh sehingga tidak bisa digunakan sebagai kemasan beku. 3. Lebih kaku dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. 4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, dan tidak baik untuk produk yang peka terhadap oksigen. 5. Tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. 6. Titik leburnya tinggi sehingga susah dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat dimodifikasi menjadi OPP (Oriented Polypropilene), dimana dalam pembuatannya ditarik ke satu arah. Jika ditarik ke dua arah disebut BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). OPP mempunyai sifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, tetapi rapuh terhadap suhu rendah. OPP digunakan untuk produk-produk yang memerlukan sifat penahanan terhadap uap air tinggi (Robertson, 1993). Biskuit merupakan salah satu produk yang biasanya menggunakan bahan kemasan OPP. Aluminium foil merupakan jenis kemasan yang juga sering dipakai. Foil merupakan bahan kemas dari logam, berupa lembaran dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau bagian tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan (Syarief et al., 1989). Ketebalan dari aluminium foil menentukan sifat protektifnya. Aluminium foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui gas dan uap air. 23

38 Aluminium foil dengan ketebalan mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Sifat-sifatnya yang lebih tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas sehingga menjadi foil-plastik, foilkertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat bahan kemasan yang sangat penting dan berhubungan dengan kerusakan produk yang dikemas adalah permeabilitas kemasan. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui kemasan, baik dari dalam kemasan ke lingkungan atau sebaliknya. Kerusakan mutu produk kering terutama dihubungkan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson, 2001). Transfer uap air melalui bahan kemasan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu difusi kapiler dan difusi aktif. Pada difusi kapiler, transfer uap air terjadi melalui pori-pori kemasan atau pori-pori mikroskopis yang berbentuk kristal dan amorphous yang menyebabkan terjadinya difusi gas. Difusi aktif adalah adalah proses solubilitas dan difusi, dimana uap air terlarut pada permukaan polimer, lalu dengan adanya perbedaan tekanan maka terjadi difusi melalui polimer, selanjutnya uap air akan mengalir dan mengalami evaporasi ke sisi yang berlawanan. G. UMUR SIMPAN Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima ini disebut sebagai umur simpan. Bahan pangan akan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. 24

39 Umur simpan produk pangan biasa dituliskan sebagai best before date yang berarti produk masih dalam kondisi baik dan masih dapat dikonsumsi beberapa saat setelah tanggal yang tercantum terlewati. Istilah lain yang digunakan adalah use by date yang menyatakan produk tidak dapat lagi dikonsumsi, karena berbahaya bagi kesehatan manusia (produk yang sangat mudah rusak oleh mikroba) setelah tanggal yang tercantum terlewati (Ellis, 1994). Menurut Institute of Food Technologist, umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000). Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waku tertentu. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu pangan dapat diketahui dari perubahan faktor-faktor mutunya. Oleh karena itu, untuk menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Keadaaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume. 3. Kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban, dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. 25

40 4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan umur simpannya dengan menggunakan dua konsep yaitu dengan metode konvesional (Extended Storage Studies) dan metode percepatan (Accelerated Shelf Life Testing). Metode konvensional adalah penentuan umur simpan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun membutuhkan waktu yang panjang dan analisis parameter mutu yang relatif banyak. Biasanya metode konvensional digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001). Metode ASLT menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001). H. METODE AKSELERASI Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan umur simpan menurut Gunasekharan dan John (1993) adalah sebagai berikut: 1. Mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif, dan temperatur) dan faktor komposisi (ph, konsentrasi, aktivitas air, dan sebagainya). 2. Laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil penilaian organoleptik dan toksikologi. 3. Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan saja. Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model Arhenius dan model kadar air kritis. 26

41 1. Model Arrhenius Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana produk pangan akan lebih cepat rusak, kemudian umur simpan produk ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Oleh karena itu, umur simpan yang diperoleh merupakan nilai perkiraan yang validitasnya sangat ditentukan oleh model matematika yang diperoleh dari hasil percobaan. Contoh produk yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk, produk snack, meat product, produk pasta, jus buah, mie instant, tepung-tepungan, kacang-kacangan, dan produk lain yang mengandung lemak tinggi atau mengandung gula pereduksi dan protein yang memungkinkan terjadinya oksidasi lemak atau reaksi pencoklatan (Kusnandar, 2006). Pendugaan umur simpan dengan metode ASLT pada prinsipnya sangat bertumpu pada model Arrhenius, yaitu upaya mempercepat penurunan umur simpan dengan meningkatkan suhu secara terukur. Secara umum, rumus umum penurunan mutu adalah: -dq/dt = kq n Pengujian laju kerusakan mutu biasanya dilakukan pada minimal tiga suhu yang berbeda. Nilai konstanta laju penurunan mutu (k) dapat ditentukan berdasarkan persamaan Arrhenius, dimana nilai k merupakan fungsi suhu. Selanjutnya masa kadaluarsa (t s ) produk ditentukan dengan persamaan t s = (Qo-Qs)/k untuk laju reaksi ordo nol dan t s = [ln(qo/qs)]/k untuk reaksi ordo 1, dimana Qo adalah nilai mutu awal dan Qs adalah nilai mutu akhir. Berikut ini adalah persamaan Arrhenius: k = k 0. exp ( Ea/RT) dimana: k = konstanta laju penurunan mutu k 0 = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu) Ea = energi aktivasi 27

42 T R = suhu mutlak = konstanta gas (8.314 J/mol.K = 1.986kal/mol.K) 2. Model Kadar Air Kritis Model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan uap air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis ini kerusakan produk semata-mata disebabkan oleh penyerapan air dari lingkungan hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima oleh konsumen secara organoleptik disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik yang spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Pada metode pendekatan kadar air kritis ini, produk pangan kering disimpan pada kondisi lingkungan penyimpanan yang memiliki kelembaban relatif tinggi, sehingga akan mengalami penurunan mutu akibat menyerap air (Labuza, 1982). Labuza (1982) menyatakan bahwa penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : dw dt = k (Pout Pin )A x dimana: dw/dt = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram) k/x = permeabilitas kemasan (g H 2 O/hari.m 2.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m 2 ) P out = tekanan uap air di luar kemasan (mmhg) = tekanan uap air di dalam kemasan (mmhg) P in Model kadar air kritis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan metode kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk produk yang mempunyai kurva isotermis yang biasanya berbentuk sigmoid (bentuk S). Penentuan umur simpan produk pangan dengan menggunakan pendekatan 28

43 kurva sorpsi isotermis memperhitungkan pengaruh perbedaan kadar air awal dibandingkan dengan kadar air kritis, perbedaan tekanan udara di luar dan di dalam kemasan, permeabilitas uap air kemasan, dan luas kemasan. Keseluruhan faktor yang mempengaruhi umur simpan ini diformulasikan oleh Labuza menjadi persamaan kadar air kritis (Labuza, 1982). Persamaan Labuza ini dapat digunakan untuk menentukan umur simpan produk pada suhu dan kondisi RH tertentu. Persamaan tersebut adalah : θ = ln (m e m o ) / (m e m c ) k * ( A ) ( Po ) x Ws b dimana: θ = Waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) m e m o m c b k/x = Kadar air keseimbangan produk (g H 2 O/g padatan) = Kadar air awal produk (g H 2 O/g padatan) = Kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) = Slope kurva sorpsi isotermis = Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2.hari.mmHg) A = Luas permukaan kemasan (m 2 ) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g padatan) Po = Tekanan uap jenuh (mmhg) Pendekatan kadar air kritis termodifikasi digunakan untuk produk yang memiliki kelarutan tinggi, seperti produk dengan kadar sukrosa tinggi (Labuza, 1982). Produk ini akan sulit mencapai kadar air kesetimbangan dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linear, karena pada RH tertentu kadar airnya akan terus meningkat. Dengan demikian, persamaan kadar air kritis di atas tidak dapat digunakan dan Labuza telah memodifikasi persamaan tersebut menjadi: 29

44 θ = (m c m o ) * Ws k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana: θ = Waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) m o m c k/x = Kadar air awal produk (g H 2 O/g padatan) = Kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) = Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2.hari.mmHg) A = Luas permukaan kemasan (m 2 ) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g padatan) ΔP = Perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan (mmhg) 30

45 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi biskuit jenis adonan lunak (biskuit glukosa) dan adonan keras (marie), garam MgCl 2.6H 2 O, NaBr, NaCl, KCl, dan garam KNO 3 yang mempunyai nilai RH yang bervariasi dan digunakan untuk penentuan kurva sorpsi isotermis, kemasan produk biskuit, silika gel, vaselin, dan akuades. Sampel biskuit merupakan sampel yang sudah ada di pasaran dengan satu kode produksi yang sama dan dibeli di salah satu hypermarket yang ada di kota Bogor. Produk biskuit ini dianggap sebagai produk segar (baru). Umur simpan produk biskuit dari saat membeli adalah 12 bulan untuk biskuit glukosa dan 17 bulan untuk biskuit marie. Jenis kemasan biskuit yang dianalisis adalah metallized plastic dan kemasan PP tebal sebagai pembanding. Alat-alat yang digunakan dalam penentuan umur simpan ini antara lain inkubator 30 o C, oven, desikator kecil, Permatran W 3*31, neraca analitik, pencapit logam, peralatan gelas, cawan alumunium, alumunium foil, hygrometer, a w meter, dan peralatan lain yang mendukung penelitian ini. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, yaitu di Laboratorium Jasa Analisis Pangan dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan di Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK), Jakarta. B. METODE PENELITIAN 1. Model Penentuan Umur Simpan Pendugaan umur simpan produk biskuit dilakukan berdasarkan pendekatan kadar air kritis dengan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza:

46 θ = ln (m e m o ) / (m e m c )...Pers 1 k * ( A ) ( Po ) x Ws b dimana: θ = Waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) m e m o b m c k/x = Kadar air keseimbangan produk (g H 2 O/g padatan) = Kadar air awal produk (g H 2 O/g padatan) = Slope kurva sorpsi isotermis = Kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) = Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2.hari.mmHg) A = Luas permukaan kemasan (m 2 ) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g padatan) Po = Tekanan uap jenuh (mmhg) Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan: θ = (m c m o ) * Ws.Pers 2 k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana ΔP merupakan selisih antara tekanan udara di luar dimana produk disimpan dan tekanan udara di dalam kemasan (Labuza, 1982). 2. Tahapan Penelitian Mengacu pada kedua pendekatan di atas, maka dilakukanlah suatu rangkaian penelitian secara bertahap. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. 32

47 Penentuan kadar air awal Penentuan kadar air kritis Penentuan pola kurva sorpsi isotermis Penentuan model persamaan sorpsi isotermis dan uji ketepatan model Penentuan permeabilitas kemasan Penentuan berat padatan per kemasan dan luas kemasan Penentuan perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan Pendugaan umur simpan Gambar 3. Diagram alir metode penelitian a. Penentuan Kadar Air Awal (SNI ) Penentuan kadar air awal perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal produk. Pengukuran kadar air dilakukan terhadap sampel segar yang baru saja dibuka dari kemasan aslinya. Kadar air awal produk juga diperlukan untuk mengetahui berat padatan produk biskuit. Cawan bersih kosong dikeringkan dalam oven bersuhu ± o C selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang sebagai (W 1 ). Dua gram sampel (W 2 ) yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam cawan dan dioven pada suhu o C selama tiga jam sampai mencapai berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (W 3 ). Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar air basis kering (g H2O/ g padatan) = (W 1 + W 2 ) W 3 (W 3 W 1 ) 33

48 Kadar air basis basah (g H2O/ g padatan) = (W 1 + W 2 ) W 3 W 2 b. Penentuan Parameter Kritis dan Kadar Air Kritis Penentuan parameter kritis dilakukan dengan survei konsumen tentang penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dapat diketahui dengan cara menyebarkan kuisioner kepada 35 orang panelis tentang parameter penyebab kerusakan produk biskuit. Panelis diminta memilih atribut yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk biskuit. Form untuk survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit dapat dilihat pada Lampiran 1. Penentuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan biskuit di suhu ruang selama 5 jam untuk produk biskuit merk A dan 6 jam untuk produk biskuit merk B. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan dianalisis kadar air, nilai kerenyahan, dan sifat organoleptik kerenyahannya. Uji organoleptik difokuskan pada nilai kesukaan panelis terhadap kerenyahan produk tersebut, dengan skala kesukaan 1 7, dimana satu merupakan skala sangat tidak suka dan tujuh adalah skala sangat suka. Contoh form uji kesukaan dapat dilihat pada Lampiran 3. Sampel diujikan kepada 30 orang panelis tidak terlatih. Kadar air diukur berdasarkan SNI sedangkan nilai kerenyahan diukur dengan alat texture analyzer, menggunakan cylinder probe (P2/E). Setting alat texture analyzer pada saat pengukuran nilai kerenyahan dapat dilihat di Lampiran 4. Sampel diletakkan di atas meja sampel dan ditekan dengan cylinder probe yang berdiameter 2 mm (P2/E). Hasil pengukuran diperoleh dalam bentuk grafik yang langsung dapat dibaca oleh komputer. Nilai kerenyahan adalah nilai puncak pertama yang signifikan pada grafik dan dinyatakan sebagai gf (gram force). Data kadar air dan nilai kerenyahan masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan, selanjutnya diplotkan dengan nilai kesukaannya masing-masing, sehingga diperoleh grafik yang menunjukkan hubungan antara skor kesukaan dengan kadar air dan hubungan antara skor kesukaan dengan nilai kerenyahan. Hubungan tersebut 34

49 dinyatakan dalam persamaan regresi linear. Berdasarkan regresi linear yang diperoleh, kadar air kritis dihitung pada saat skor kesukaan panelis bernilai 3 (skala agak tidak suka) berdasarkan persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan kadar air. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat pula diperoleh dari persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan nilai kerenyahan, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai 3. Selain menentukan hubungan regresi linear antara nilai kerenyahan dan skor kesukaan di atas, ditentukan pula persentase penurunan kerenyahan sampai kadar air kritis tercapai berdasarkan rumus berikut ini: % penurunan = (kerenyahan awal kerenyahan kritis) 100% kerenyahan awal c. Penentuan Pola Kurva Sorpsi Isotermis (Spiess dan Wolf, 1987) Penentuan kurva sorpsi isotermis diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh yang digunakan untuk mengatur RH ruangan (desikator). Garam yang digunakan dalam penelitian ini adalah MgCl 2, NaBr, NaCl, KCl, dan KNO 3. Sekitar dua gram produk biskuit diletakkan pada cawan alumunium kering kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh yang mempunyai nilai RH berbeda-beda. Desikator kemudian disimpan dalam inkubator dengan suhu 30 o C. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik setiap hari sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (SNI ) dan dinyatakan dalam basis kering. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada RH tertentu. Kurva sorpsi 35

50 isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (a w ). d. Penentuan Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model Penentuan model sorpsi isotermis perlu dilakukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus. Dari sekian banyak model persamaan sorpsi isotermis, dipilih beberapa model persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan. Persamaan yang dipilih adalah persamaan-persamaan sederhana yang mempunyai parameter tidak lebih dari tiga serta dapat digunakan pada kisaran nilai a w yang luas sehingga dapat mewakili ketiga daerah sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan penggunaan model ini ditujukan untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting). Dalam penelitian ini digunakan enam model, yaitu model GAB, Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Persamaan non linear (Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton) yang digunakan diubah ke dalam bentuk persamaan linear, sehingga dapat ditentukan nilai-nilai konstanta dalam persamaannya dengan metode kuadrat terkecil (Walpole, 1995). Lain halnya dengan model GAB, persamaan ini diubah ke dalam bentuk persamaan regeresi kuadratik sehingga nilai-nilai konstanta dalam persamaan juga dapat ditentukan. Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan sorpsi isotermis untuk menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Uji ketepatan model ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD) (Walpole, 1990). Rumus MRD tersebut adalah sebagai berikut: n 100 MRD = Mi Mpi / Mi.Pers 3 n i= 1 dimana : Mi Mpi n = kadar air percobaan = kadar air hasil perhitungan = jumlah data 36

51 Jika nilai MRD < 5 maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10 maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Dari model persamaan yang terpilih, ditentukan nilai b (kemiringan kurva sorpsi isotermis) untuk dimasukkan dalam perhitungan umur simpan berdasarkan persamaan Labuza. Slope (kemiringan) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada tiga daerah untuk melihat pengaruh nilai b terhadap umur simpan yang diperoleh. Daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. 2. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. 3. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan masing-masing RH penyimpanan. e. Penentuan Permeabilitas Kemasan (ASTM, F ) Penentuan permeabilitas dilakukan dengan menggunakan alat Permatran Mocon W*3/31 di Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jakarta. Kemasan sampel dipotong sesuai cetakan kemudian diukur ketebalannya. Kemasan sampel dikondisikan terlebih dahulu selama 24 jam dalam ruangan uji. Kemasan sampel ditempel pada tempat uji. Nilai ketebalan kemasan, luas kemasan, suhu uji, lamanya uji, laju alir udara, dan kelembaban udara yang digunakan dimasukkan pada program komputer yang telah disediakan. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan 37

52 melalui plastik. Pengujian dianggap selesai bila kondisi kesetimbangan telah tercapai (steady state). Kondisi dianggap setimbang bila laju uap air yang terdeteksi sensor infra merah telah tetap. Prinsip kerja alat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada akhir pengujian, alat akan menunjukkan nilai WVTR. Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali P o dan RH. Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 Jika kemasan sampel mempunyai pori-pori yang cukup besar, maka pengujian dilakukan secara manual sesuai (ASTM E-96,1995) yaitu dengan cara potong kemasan plastik yang digunakan sesuai mulut wadah yang digunakan. Hitung luas permukaan mulut wadah. Masukkan desikan (silika gel) secukupnya ke dalam tiap wadah. Letakkan kemasan plastik di mulut wadah dan rekatkan dengan lem silikon dan seal dengan rapat. Letakkan wadah ke dalam chamber tertutup yang telah berisi larutan garam jenuh. Wadah ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama selama satu minggu dan ditentukan pertambahan berat dari tiap cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat (g) dan waktu (jam). Laju permeabillitas uap air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : WVTR = slope m 2 luas kemasan yang dilalui udara 38

53 WVTR = g/ m 2 / hari/ RH, suhu Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali P o dan RH. f. Penentuan Berat Padatan per Kemasan dan Luas Kemasan Luas kemasan primer yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan dan dinyatakan dalam m 2. Berat produk awal (W o ) dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya (m o ) dan selanjutnya dinyatakan sebagai berat padatan per kemasan (Ws). Ws = W (%solid/ 100) % solid = (1 - (m o / (1+m o )) 100 g. Penentuan Perbedaan Tekanan Luar dan Dalam Kemasan Tekanan uap di luar kemasan pada suhu tertentu dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (P o ) dengan kelembaban udara (RH). Tekanan uap di dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (P o ) dengan aktivitas air (a w ). Nilai P o pada suhu tertentu dapat dilihat dari tabel uap air (Labuza, 1982). Nilai ΔP dinyatakan sebagai berikut: ΔP = P out P in P out = P o (RH/100) P in = P o a w h. Penentuan Umur Simpan Biskuit (Labuza, 1982) Umur simpan produk biskuit dihitung dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan akan ditentukan pada 3 nilai RH, yaitu 75%, 80%, dan 85%. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (persamaan 1). Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan 2. 39

54 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit adonan lunak dan adonan keras dilakukan dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis. Pendekatan kadar air kritis yang dipakai terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pada dasarnya, pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk menduga umur simpan produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, misalnya produk biskuit, sedangkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi biasanya digunakan untuk produk yang mempunyai kurva sorpsi isotermis, tapi bentuknya tidak sigmoid sehingga tidak bisa diasumsikan linear, misalnya produk dengan kelarutan tinggi seperti produk dengan kadar sukrosa tinggi, misalnya permen. Penelitian ini membandingkan hasil pendugaan umur simpan yang diperoleh berdasarkan kedua pendekatan dan selanjutnya menentukan pendekatan yang tepat untuk produk biskuit. Biskuit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis biskuit yang berbeda. Alasan pemilihan dua jenis biskuit yang berbeda ini adalah untuk mewakili jenis biskuit secara umum. Biskuit yang digunakan diambil dari produk yang sudah ada di pasaran yaitu biskuit glukosa yang mewakili biskuit jenis adonan lunak dan biskuit marie yang mewakili jenis adonan keras. Biskuit adonan lunak memiliki kadar gula 25 40% dan kadar lemak 15% (Soenaryo, 1985). Biskuit adonan keras memiliki kadar gula 20% dan kadar lemak 12 15% (Soenaryo, 1985). Perbedaan komposisi kedua jenis biskuit dapat dilihat pada Lampiran 11. A. KADAR AIR AWAL DAN KADAR AIR KRITIS Kadar air awal dan kadar air kritis merupakan parameter pertama yang perlu diukur dalam pendugaan umur simpan. Penentuan kadar air kritis ini diawali dengan survei konsumen tentang atribut utama biskuit dan penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui parameter kritis yang menentukan penolakan konsumen terhadap produk biskuit. Survei dilakukan terhadap 35 orang panelis (lihat Lampiran 2), dimana panelis

55 diminta untuk memilih salah satu atribut yang paling menentukan kerusakan produk biskuit secara umum. Berikut ini disajikan data hasil survei parameter kritis kerusakan produk biskuit: 35 Jumlah panelis yang memilih atribut Tekstur Rasa Aroma Warna Atribut Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit Data yang disajikan pada grafik menunjukkan bahwa atribut yang sangat menentukan kerusakan produk biskuit adalah atribut tekstur. Dari 35 orang panelis, 30 orang diantaranya memilih atribut tekstur sebagai atribut yang menentukan kerusakan produk biskuit, sedangkan 4 orang memilih atribut rasa, dan 1 orang lainnya memilih atribut aroma. Menurut Manley (1983), biskuit merupakan produk pangan kering dengan kadar air maksimal 5%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebab kerusakan produk biskuit adalah hilangnya kerenyahan akibat kenaikan kadar air produk. Hal ini sangat sesuai dengan hasil survei yang menyatakan atribut tekstur adalah penyebab kerusakan produk biskuit. Setelah diketahui parameter kritis dari hasil survei konsumen, selanjutnya dilakukan analisis kadar air awal dan kadar air kritis dengan metode oven. Produk biskuit yang diuji kadar air awalnya adalah produk segar, yaitu produk yang baru dikeluarkan dari kemasannya. Kadar air awal untuk biskuit adonan lunak adalah g H 2 O/ g padatan dan g H 2 O/ g padatan untuk biskuit adonan keras. Nilai kadar air kedua jenis produk sangat sesuai dengan standar untuk biskuit yang berlaku di Indonesia (SNI

56 1992), yaitu maksimal 5% (BSN, 1992). Kadar air biskuit adonan lunak berbeda dari biskuit adonan keras karena komposisi kedua produk memang jauh berbeda. Masing-masing bahan pada komposisi akan menyumbangkan kadar air pada produk akhir, tergantung pada formulasi dan keadaan awal bahan penyusun biskuit tersebut. Kadar air kritis adalah nilai kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima oleh konsumen secara organoleptik. Kadar air kritis biskuit pada penelitian ini ditentukan berdasarkan persamaan regresi linear dari kurva yang menunjukkan hubungan kadar air dan skor kesukaan panelis. Kadar air kritis ditetapkan pada skor kesukaan tiga yaitu pada saat panelis menyatakan agak tida suka. Kadar air kritis ditetapkan pada penilaian agak tidak suka bukan pada penilaian tidak suka karena pada kondisi ini produk dianggap sudah mulai ditolak konsumen dan kondisi ini harus diwaspadai untuk menjamin kepuasan dan kenyamanan konsumen serta meminimalkan risiko kerusakan produk. Kadar air kritis ini ditentukan melalui serangkaian percobaan, dimana biskuit disimpan tanpa kemasan pada suhu kamar (30 ± 1 o C) di ruangan terbuka dengan kisaran RH 75 80% selama 5 jam untuk biskuit adonan lunak dan 6 jam untuk biskuit adonan keras. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan diukur kadar air, tingkat kerenyahan, dan penerimaan panelis terhadap kerenyahannya. Tabel 4 dan 5 berikut ini menyajikan data kadar air dan nilai kerenyahan biskuit serta tingkat kesukaan panelis. Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan Penyimpanan Kadar air Nilai kerenyahan Skor kesukaan (jam) (g H 2 O/g padatan) (gf)

57 Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan Penyimpanan Kadar air Nilai kerenyahan Skor kesukaan (jam) (g H 2 O/ g padatan) (gf) Berdasarkan data di atas, dibuatlah grafik yang menunjukkan hubungan kadar air di sumbu x dengan rata-rata skor kesukaan panelis di sumbu y. Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan tersebut untuk kedua jenis biskuit: 8,00 7,00 rata rata skor kesukaan 6,00 5,00 4,00 y = 71,3558x + 7,9081 R 2 = 0,9753 3,00 2,00 1,00 y = 84,3785x + 8,4057 R 2 = 0,9604 0,00 0,00 0,02 0,04 0,06 0,08 0,10 0,12 kadar air (g H2O/g padatan) Biskuit adonan lunak Biskuit adonan keras Gambar 6. Grafik hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras Persamaan yang diperoleh untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras adalah y = x dan y = x , dengan nilai R 2 masing-masing sebesar dan Semakin tinggi kadar air produk semakin menurun skor kesukaan panelis terhadap kerenyahannya. Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat ditentukan nilai kadar air kritis masing-masing 43

58 produk, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai tiga. Kadar air kritis untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras berturut-turut adalah g H 2 O/ g padatan dan g H 2 O/ g padatan. Selain diukur kadar airnya, sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan tersebut diukur pula nilai kerenyahannya. Tingkat kerenyahan biskuit diukur dengan alat Texture Analyzer. Biskuit ditekan dengan probe yang sesuai, yaitu probe P2/E (cylinder probe dengan diameter 2 mm) sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur produk tersebut. Nilai kerenyahan dilihat dari peak pertama yang signifikan pada kurva dan dinyatakan dalam satuan gf (gramforce). Nilai kerenyahan sampel biskuit yang di-sampling setiap jam tersebut diplotkan dengan rata-rata skor kesukaan 30 orang panelis, dimana nilai kerenyahan pada sumbu x dan skor kesukaan pada sumbu y. Berikut ini grafik hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan panelis: Gambar 7. Grafik hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras Persamaan yang diperoleh untuk biskuit adonan lunak adalah y = x dengan nilai R 2 = dan untuk biskuit adonan keras adalah y = x dengan nilai R 2 = Semakin tinggi nilai 44

59 kerenyahan, skor kesukaan panelis terhadap produk biskuit juga semakin meningkat. Berdasarkan persamaan di atas dapat ditentukan nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis telah tercapai, yaitu pada saat rata-rata skor kesukaan panelis bernilai tiga. Nilai kerenyahan pada saat tercapai kadar air kritis untuk biskuit adonan lunak adalah gf dan untuk biskuit adonan keras senilai gf. Nilai kerenyahan biskuit adonan lunak dan adonan keras berbeda karena perbedaan komposisi, terutama komposisi lemak atau shortening dan telur. Lemak atau shortening akan melunakkan dan menghaluskan tekstur serta membuat struktur yang elastis. Kadar lemak biskuit adonan lunak lebih tinggi daripada biskuit adonan keras, sehingga kerenyahan biskuit adonan lunak lebih rendah dari biskuit adonan keras. Selain itu, biskuit menggunakan telur dalam pembuatannya. Adanya putih telur akan menyebabkan produk biskuit menjadi mantap dan terkesan lebih keras. Oleh karena itu, biskuit adonan keras menjadi lebih keras dari biskuit adonan lunak. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai di atas selanjutnya digunakan untuk mengetahui persentase penurunan kerenyahan. Persentase penurunan kerenyahan biskuit adonan lunak sampai kadar air kritisnya tercapai adalah sebesar 60.89% dan untuk biskuit adonan keras sebesar 49.62%. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritisnya jika persentase penurunan kerenyahan sekitar 60%, sedangkan biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritisnya jika persentase penurunan kerenyahan sekitar 50%. Metode penentuan kadar air kritis dalam penelitian ini merupakan metode yang relatif baru. Namun demikian, prinsip yang digunakan sama dengan penentuan kadar air kritis yang telah biasa dilakukan, yaitu kadar air kritis akan tercapai pada saat panelis mulai tidak menerima produk secara organoleptik. Biasanya penentuan kadar air kritis dilakukan dengan cara menyimpan produk pada beberapa kondisi RH tertentu selama waktu tertentu dan diujikan tingkat kerenyahannya pada panelis. Kadar air kritis akan tercapai pada saat panelis mulai tidak menerima produk secara organoletik. Dalam penelitian ini, produk disimpan di ruangan terbuka (suhu kamar dengan RH 75-45

60 80%) selama 5 6 jam, disampling setiap jam, dan diujikan tingkat kesukaan terhadap kerenyahannya pada 30 oarang panelis tidak terlatih. Alasan pemilihan metode ini adalah karena metode ini dianggap lebih cepat dan mudah. Dalam penelitian ini tidak dibutuhkan chamber yang berisi larutan garam jenuh yang RH nya terkondisikan dengan baik. B. KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN KURVA SORPSI ISOTERMIS Kadar air kesetimbangan perlu ditentukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis. Kadar air kesetimbangan dapat ditentukan dengan cara menyimpan biskuit dalam lima desikator yang berisi berbagai jenis larutan garam jenuh dengan nilai kelembaban relatif (RH) bervariasi mulai dari 32.4% (garam MgCl 2 ) sampai 92.3% (garam KNO 3 ). Nilai RH masing-masing larutan garam jenuh disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 o C No. Nama larutan garam Nilai RH (%) 1. Magnesium Klorida (MgCl 2 ) 32.4 ± Natrium Bromida (NaBr) 56.0 ± Natrium Klorida (NaCl) 75.1 ± Kalium Klorida (KCl) 83.6 ± Kalium Nitrat (KNO 3 ) 92.3 ± 0.6 Sumber : Bell dan Labuza (2000) Selama penyimpanan dalam berbagai kondisi RH diatas akan terjadi interaksi antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk atau sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan uap air ini terjadi sebagai akibat perbedaan RH lingkungan dan produk, dimana uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah. Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh bobot sampel yang konstan. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% ( Liovonen dan Ross dalam Adawiyah, 46

61 2006). Peningkatan atau penurunan bobot sampel selama penyimpanan menunjukkan fenomena hidratasi (deman, 1989). Selama penyimpanan, kedua jenis biskuit menunjukkan fenomena kenaikan bobot. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit mengalami proses adsorpsi uap air dari lingkungan karena aktivitas air kedua jenis biskuit lebih rendah dari kelembaban relatif lingkungannya. Berikut ini adalah data kadar air kesetimbangan biskuit pada masing-masing RH dan waktu tercapainya kesetimbangan. Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (m e ) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan RH kesetim- Biskuit A Biskuit B bangan (%) m e Waktu (hari) m e Waktu (hari) Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa kadar air kesetimbangan untuk biskuit adonan lunak tercapai setelah disimpan 6 8 hari, sedangkan biskuit adonan keras mencapai kesetimbangan setelah disimpan 4 8 hari. Semakin tinggi RH penyimpanan, semakin tinggi kadar air kesetimbangan dan semakin lama pula waktu tercapainya kesetimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi RH penyimpanan maka semakin lama proses difusi uap air berlangsung menuju tercapainya kesetimbangan. Waktu tercapainya kesetimbangan dan kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berbeda karena kondisi sampel berbeda, terutama kadar air awal dan nilai a w produk. Semakin dekat nilai a w produk dengan RH lingkungan, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari percobaan masingmasing diplotkan dengan nilai a w atau RH lingkungannya, sehingga membentuk sebuah kurva yang disebut kurva sorpsi isotermis. Kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat pada Gambar 8. Kedua kurva tersebut memiliki bentuk yang hampir sama, yaitu 47

62 menyerupai huruf S (sigmoid), namun tidak sempurna. Bentuk kurva sangat beragam tergantung sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi, dan tingkatan air yang dipindahkan selama adsorpsi atau desorpsi (Fennema, 1985). kadar air (g H2O/ g padatan Biskuit adonan lunak Biskuit adonan keras a ktivita s air Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan keras C. MODEL SORPSI ISOTERMIS DAN UJI KETEPATAN MODEL Model-model persamaan sorpsi isotermis perlu dibuat untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi. Kadar air kesetimbangan yang didapat diplotkan dengan nilai aktivitas air. Banyak model persamaan matematika yang telah dikembangkan untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis secara teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978; Van den Berg dan Bruin, 1981), namun dalam penelitian ini digunakan enam model persamaan, yaitu model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Caurie, Oswin, dan persamaan Guggenheim Anderson de Boer (GAB). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, persamaan tersebut dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air (a w ) yang luas (Chirife dan Iglesias, 1978). Selain itu, model persamaan di atas memiliki parameter kurang atau sama dengan tiga, sehingga lebih sederhana dan mudah diselesaikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Labuza (1982) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis adalah untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting) yang 48

63 tinggi maka model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya lebih cocok digunakan. Model persamaan matematika yang digunakan perlu dimodifikasi ke bentuk yang lebih sederhana untuk memudahkan perhitungan. Persamaanpersamaan tersebut dimodifikasi ke dalam bentuk persamaan linear dengan transformasi logaritmik (log) dan atau logaritmik normal (ln). Selanjutnya nilai tetapan dalam persamaan (nilai a dan b) ditentukan dengan metode kuadrat terkecil. Menurut Walpole (1995), metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu garis regresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar. Modifikasi lima model sorpsi isotermis yang pertama dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis dapat dilihat pada Lampiran 6. Lain halnya dengan model persamaan GAB, yang harus dimodifikasi ke dalam bentuk persamaan non linear (polinomial), dimana menunjukkan hubungan a w /Me dan a w. Konstanta α, β, dan γ pada persamaan non linear dapat ditentukan dengan metode regresi kuadratik. Selanjutnya nilai konstanta yang diperoleh disubtitusikan ke dalam persamaan awal GAB, sehingga didapatkan persamaan yang lebih sederhana yang menunjukkan hubungan kadar air kesetimbangan dan nilai aktivitas air. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai konstanta persamaan non linear dapat dilihat pada Lampiran 7. Persamaan kurva sorpsi isothermis yang dihasilkan dari model-model sorpsi isotermis tersebut dapat dilihat dalam Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak Model Persamaan Hasley log(ln(1/a w )) = log Me Chen-Clayton ln(ln(1/a w )) = Me Henderson log(ln(1/(1 a w ))) = log Me Caurie ln Me = a w Oswin ln Me = ln(a w /(1-a w )) GAB Me = a w /( a w )( a w ) 49

64 Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras Model Persamaan Hasley log(ln(1/a w )) = log Me Chen-Clayton ln(ln(1/a w )) = Me Henderson log(ln(1/(1 a w ))) = log Me Caurie ln Me = a w Oswin ln Me = ln(a w /(1-a w )) GAB Me = a w /( a w )( a w ) Persamaan kurva sorpsi isotermis yang telah diperoleh digunakan untuk menghitung kadar air kesetimbangan masing-masing sampel biskuit. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan keras berdasarkan model persamaan di atas dapat dilihat pada Lampiran 8. Kurva sorpsi isotermis dari masing-masing model persamaan dan perbandingannya dengan kurva hasil percobaan dapat dilihat pada Lampiran 9. Gambar pada Lampiran 9 menunjukkan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan keras dengan menggunakan enam model persamaan kurva sorpsi isotermis. Semakin berhimpit antara kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan kurva sorpsi isotermis model-model persamaan, maka model tersebut semakin tepat menggambarkan fenomena sorpsi isotermis. Untuk biskuit adonan lunak kurva hasil percobaan paling berhimpit dengan kurva model GAB, sedangkan untuk biskuit adonan keras kurva hasil percobaan paling berhimpit dengan kurva model Caurie dan GAB. Penentuan ketepatan model dilanjutkan dengan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination). Perbandingan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan modelmodel sorpsi isotermis memperlihatkan bahwa beberapa model sorpsi isotermis dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan tepat, agak tepat, dan tidak tepat. Hal ini perlu diperkuat dengan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination) yang merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil perhitungan berdasarkan model dengan kadar air kesetimbangan hasil percobaan. Contoh perhitungan 50

65 nilai MRD dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai MRD masing-masing model untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat dalam Tabel 10. Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan Model MRD Biskuit adonan lunak Biskuit adonan keras Hasley Chen Clayton Henderson Caurie Oswin GAB Model persamaan yang dipilih adalah model yang memberikan nilai MRD terkecil, dimana model tersebut dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat. Hasil perhitungan MRD pada tabel 10 menunjukkan bahwa model GAB adalah model yang paling tepat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dengan nilai MRD terkecil, yaitu Model Hasley dan Oswin menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dengan agak tepat (5 < MRD < 10), sedangkan model Henderson, Caurie, dan Chen-Clayton tidak dapat menggambarkan dengan tepat keseluruhan kurva (MRD > 10). Jadi, model yang dipilih untuk menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis biskuit adonan lunak adalah model GAB dengan persamaan Me = a w /( a w )( a w ). Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat pada Gambar 9. Untuk biskuit adonan keras, model yang terpilih adalah model Caurie, yaitu model yang memberikan nilai MRD terkecil sebesar dimana model ini dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat. Model GAB dan Henderson juga dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis dengan tepat (MRD < 5), namun model Oswin, Chen-Clayton, dan Hasley tidak dapat menggambarkan kurva dengan tepat karena nilai MRDnya besar dari 10. Dengan demikian, model yang terpilih untuk 51

66 menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis biskuit adonan keras adalah model Caurie dengan persamaan ln Me = a w. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan keras dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie 52

67 Selain model Caurie, model GAB juga dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat, yaitu dengan nilai MRD Jadi, model GAB dapat pula dipilih sebagai model yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis dangan persamaan Me = a w /( a w )( a w ). Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model GAB dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB Model sorpsi isotermis GAB yang terpilih untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat digunakan untuk menjelaskan kadar air monolayer produk biskuit. Kadar air monolayer (X m ) dapat dicari berdasarkan perhitungan seperti yang terlihat dalam Lampiran 7. Kadar air monolayer biskuit adonan lunak adalah dan kadar air monolayer biskuit adonan keras adalah Kadar air monolayer kedua jenis biskuit lebih besar daripada kadar air awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit adonan lunak maupun adonan keras cukup stabil, karena kadar air awal produk jauh di bawah kadar air monolayer. Model sorpsi isotermis yang terpilih dapat pula digunakan untuk menentukan nilai a w pada saat kadar air kritis tercapai. Untuk biskuit adonan lunak, nilai a w berdasarkan model GAB pada saat kadar air kritis tercapai 53

68 ( g H 2 O/g padatan) adalah Nilai a w biskuit adonan keras pada saat kadar air kritisnya tercapai ( g H 2 O/g padatan) berdasarkan model Caurie adalah sebesar , sedangkan menurut model GAB adalah sebesar Berdasarkan nilai a w yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa produk biskuit masih aman pada saat tercapai kadar air kritisnya. Nilai a w ini masih berada pada kisaran yang aman dari pertumbuhan semua jenis mikroorganisme, sehingga biskuit masih aman dikonsumsi. Berikut ini dalam Tabel 11 dapat dilihat kisaran a w minimum untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Tabel 11. Nilai a w minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme No. Jenis mikroorganisme a w minimum pertumbuhan 1 Bakteri Khamir Kapang Bakteri halofilik Kapang xerofilik Khamir osmofilik 0.60 Sumber : Reardon dan Wade (1991) D. PERMEABILITAS UAP AIR KEMASAN Permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannnya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas kemasan ditentukan pada kondisi RH dan suhu tertentu. Semakin tinggi suhu, maka pori-pori plastik akan semakin membesar sehingga permeabilitas plastik meningkat (Syarief et al, 1989). Oleh karena itu penentuan permeabilitas uap air kemasan harus dilakukan dengan suhu yang konstan untuk menghindari peningkatan ukuran pori-pori plastik. Dalam penelitian ini, kemasan yang ditentukan permeabilitasnya adalah kemasan metallized plastic (kemasan asli masing-masing biskuit) serta kemasan pembanding, yaitu plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan ditentukan dengan cara menentukan nilai WVTR (Water Vapor Transmission Rate) terlebih dahulu. Nilai WVTR ditentukan dengan alat Permatran W*3/31, di bawah kondisi suhu 100 o F (

69 o C). Pengukuran nilai WVTR dengan alat ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya nilai RH dan suhu dapat dikondisikan konstan selama pengujian dan pengujian jauh lebih cepat daripada metode gravimetri. Prinsip kerja alat ini didasari oleh adanya pergerakan uap air dari daerah dengan kelembaban relatif sangat tinggi (RH = 100%) menuju daerah dengan kelembaban relatif sangat rendah (RH = 0%). Pergerakan ini merupakan akibat dari adanya perbedaan tekanan parsial antara kedua daerah tersebut. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Aliran gas nitrogen basah merupakan penyedia uap air (RH dapat diatur) dengan cara melewatkan gas tersebut pada sebuah humidifier yang berisi air destilata. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik (Anonim, 2007). Nilai WVTR dalam satuan gram/m 2.hari dapat langsung didapatkan dari program komputer yang tersedia. Nilai WVTR untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, metallized plastic biskuit adonan keras, dan kemasan PP tebal berturut-turut adalah , , dan gram/m 2.hari. Nilai permeabilitas kemasan dapat dihitung dangan cara membagi nilai WVTR dengan hasil perkalian tekanan uap jenuh pada suhu pengujian (37.8 o C) dengan nilai RH. Dengan demikian, nilai permeabilitas kemasan masing-masing kemasan adalah gram/m 2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, gram/m 2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan keras, dan gram/m 2.hari.mmHg untuk kemasan PP tebal. Nilai permeabilitas kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak menunjukkan nilai paling kecil, sedangkan kemasan PP tebal memberikan nilai permeabilitas yang paling besar. Dengan kata lain, bahan kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak maupun adonan keras lebih baik dari kemasan PP tebal dalam hal permeabilitas terhadap uap air. 55

70 Nilai permeabilitas kemasan spesifik untuk setiap jenis kemasan tergantung pada karakteristik masing-masing bahan kemasan tersebut. Nilai permeabilitas kemasan yang lebih kecil menunjukkan bahwa kemampuan bahan kemasan sebagai barrier terhadap uap air lebih baik. Difusi uap air ke dalam produk akan semakin sedikit dan kerenyahan (tekstur) dapat lebih terjaga. Oleh karena itu, hal tersebut mendukung semakin lamanya umur simpan. E. PERBEDAAN TEKANAN LUAR DAN DALAM KEMASAN Perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan ditentukan berdasarkan nilai a w produk, RH ruangan, dan tekanan uap air murni pada suhu terukur. Nilai aktivitas air (a w ) awal ditentukan dengan menggunakan alat a w meter. Nilai aktivitas air awal biskuit adonan lunak adalah sedangkan biskuit adonan keras memiliki aktivitas air awal sebesar Selanjutnya, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan ( P) dihitung sebagai selisih antara tekanan luar dan dalam kemasan. Tekanan luar kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan RH ruangan, sedangkan tekanan dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan a w awal produk. Nilai P pada suhu 30 o C dan RH 80% untuk biskuit adonan lunak adalah mmhg dan untuk biskuit adonan keras adalah mmhg. Adanya perbedaan tekanan luar dan tekanan udara dalam kemasan akan menyebabkan adanya mobilisasi air. Bila tekanan luar lebih besar daripada tekanan dalam kemasan maka uap air akan berpindah dari luar ke dalam kemasan, sehingga kadar air produk lambat laun akan meningkat. Bila mobilisasi air telah mencapai batas air kritisnya, maka produk dinyatakan telah mencapai batas umur simpannya. Semakin besar perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, semakin singkat umur simpan produk karena mobilisasi air terjadi semakin cepat. Pada suhu yang sama, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan akan semakin besar dengan semakin tingginya RH lingkungan penyimpanan. 56

71 F. VARIABEL UMUR SIMPAN LAINNYA Umur simpan suatu produk ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu luas kemasan, berat padatan per kemasan, kemiringan kurva sorpsi isothermis, dan tekanan uap jenuh pada suhu pengujian. Model sorpsi isotermis masing-masing produk yang terpilih berdasarkan nilai MRD digunakan untuk menentukan nilai kadar air kesetimbangan produk pada RH tertentu dan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis produk. Model yang terpilih untuk biskuit adonan lunak adalah model GAB dengan persamaan Me = a w /( a w )( a w ), sedangkan model yang terpilih untuk biskuit adonan keras adalah model Caurie dengan persamaan ln Me = a w dan model GAB dengan persamaan Me = a w /( a w )( a w ). Nilai slope kurva sorpsi isotermis (b) ditentukan pada daerah linear (Arpah, 1998). Menurut Labuza (1982), daerah linear untuk menentukan slope kurva sorpsi isothermis diambil pada daerah yang melewati m o (kadar air awal). Melalui penelitian ini juga dilihat pengaruh nilai slope kurva terhadap umur simpan biskuit. Untuk itu, slope kurva ditentukan dengan tiga cara. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. Nilai slope 1 untuk biskuit adonan lunak adalah , sedangkan untuk biskuit adonan keras adalah berdasarkan model Caurie dan berdasarkan model GAB. Nilai slope 2 diperoleh sebagai nilai slope kurva sorpsi isotermis pada daerah landai yang melewati kadar air awal. Gambar 12 dan 13 menunjukkan slope kurva sorpsi isotermis yang dipakai. 57

72 Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB : Caurie : GAB Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB Berdasarkan gambar di atas, nilai slope kurva untuk biskuit adonan lunak adalah sebesar , sedangkan untuk biskuit adonan keras senilai berdasarkan model Caurie dan berdasarkan model GAB. Nilai slope 3 ditentukan sebagai slope garis lurus yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. Gambar 14, 15, dan 16 memperlihatkan slope kurva untuk masing-masing jenis biskuit. 58

73 kadar air (g H2O/g padatan) 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 y = 0.155x R² = y = x R² = y = x R² = ,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air RH 75% RH 80% RH 85% Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB 0,30 kadar air (g H2O/g padatan) 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 y = 0,2515x - 0,0327 R 2 = 0,9403 y = 0,2829x - 0,0427 R 2 = 0,9295 y = 0,3193x - 0,0544 R 2 = 0,9221 RH 75% RH 80% RH 85% 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 aktivitas air Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie 59

74 0,25 kadar air (g H2O/g padatan) 0,20 0,15 0,10 0,05 y = 0,3095x - 0,0632 R 2 = 0,9685 y = 0,2775x - 0,0518 R 2 = 0,9782 y = 0,3522x - 0,0785 R 2 = 0,9588 RH 75% RH 80% RH 85% 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 aktivitas air Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB Berdasarkan gambar di atas, untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat bahwa slope kurva untuk masing-masing RH penyimpanan berbeda. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut adalah , , dan Untuk biskuit adonan keras, slope ditentukan berdasarkan dua model yang terpilih, yaitu model Caurie dan model GAB. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut berdasarkan model Caurie adalah , , dan , sedangkan berdasarkan model GAB adalah , , dan Selain untuk menentukan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis, model sorpsi isotermis terpilih digunakan pula untuk menentukan kadar air kesetimbangan pada nilai RH tertentu. Berat padatan per kemasan merupakan berat awal produk yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Berat padatan biskuit adonan lunak adalah g dan untuk biskuit adonan keras adalah g. Luas kemasan biskuit adonan lunak sebesar m 2, sedangkan luas kemasan biskuit adonan keras terukur m 2. Tekanan uap air jenuh pada suhu peyimpanan (30 o C) adalah sebesar mmhg. 60

75 G. UMUR SIMPAN Umur simpan biskuit akan ditentukan pada tiga kondisi RH, yaitu 75%, 80%, dan 85%. Metode pendugaan umur simpan yang digunakan adalah pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. 1. Pendekatan Kurva Sorpsi Isotermis Hasil pendugaan umur simpan biskuit adonan lunak dan adonan keras dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dilihat pada Tabel 12 sampai Tabel 17. Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/ g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/ g padatan) Model persamaan GAB : Me = a w /( a w )( a w ) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope b. slope c. slope Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/ g padatan) Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmhg) Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) Tekanan uap jenuh suhu 30 o C (mmhg) Umur simpan (hari) a. slope b. slope c. slope Umur simpan (bulan) a. slope b. slope c. slope Keterangan: Slope 1 : perbandingan selisih kadar air kritis dan kadar air awal dengan selisih a w kritis dan a w awal Slope 2 : slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal Slope 3 : slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan 61

76 Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/ g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/ g padatan) Model persamaan GAB : Me = a w /( a w )( a w ) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope b. slope c. slope Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/ g padatan) Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmhg) Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) Tekanan uap jenuh suhu 30 o C (mmhg) Umur simpan (hari) a. slope b. slope c. slope Umur simpan (bulan) a. slope b. slope c. slope Berdasarkan hasil perhitungan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis pada Tabel 12 dan Tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai umur simpan biskuit adonan lunak pada berbagai nilai slope kurva yang dipakai akan menurun seiring dengan meningkatnya kondisi RH penyimpanan. Bila biskuit adonan lunak dikemas dengan bahan kemasan yang berbeda, maka umur simpannya pun jauh berbeda. Umur simpan biskuit yang dikemas dengan metallized plastic jauh lebih besar daripada biskuit yang dikemas dengan PP tebal, karena permeabilitas kemasan metallized plastic lebih kecil dari plastik PP tebal. Nilai permeabilitas kemasan berbanding terbalik dengan umur simpan produk. Umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic dengan berbagai nilai slope kurva yang digunakan dalam perhitungan berada dalam selang yang masih masuk akal. Bila dibandingkan dengan tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label produk, perhitungan dengan nilai slope 1 62

77 dan 2 memberikan nilai yang mendekati yaitu 16.4 bulan dan 17.4 bulan pada RH 75%. Tanggal kadaluarsa produk pada kemasan adalah 12 bulan dari saat produk dibeli. Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/ g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/ g padatan) Model persamaan Caurie : ln Me = a w Slope kurva sorpsi isotermis a. slope b. slope c. slope Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/ g padatan) Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmhg) Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) Tekanan uap jenuh suhu 30 o C (mmhg) Umur simpan (hari) a. slope b. slope c. slope Umur simpan (bulan) a. slope b. slope c. slope Berdasarkan perhitungan pada Tabel 14 dan 15, dapat dilihat bahwa umur simpan biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie menurun seiring dengan meningkatnya RH penyimpanan, sama halnya dengan biskuit adonan lunak. Umur simpan dengan menggunakan slope 1 memberikan umur simpan yang paling kecil, sedangkan perhitungan menggunakan slope 3 (18.0 bulan pada RH 75%) memberikan umur simpan yang paling mendekati dengan tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label, yaitu 18 bulan sejak produk dibeli. Kelembaban relatif lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi umur simpan. Kondisi lingkungan dengan kelembaban relatif 63

78 tinggi mengandung lebih banyak uap air sehingga akan terjadi penyerapan uap air ke dalam bahan pangan yang lebih banyak dibandingkan kondisi RH yang lebih rendah. Untuk bahan pangan yang bersifat higroskopis, semakin tinggi RH lingkungan penyimpanan, semakin banyak uap air yang diserap oleh bahan pangan sehingga mempercepat kerusakan mutu terutama parameter tekstur (kerenyahan). Hal ini akan berakibat pada lebih singkatnya umur simpan produk. Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/ g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/ g padatan) Model persamaan Caurie : ln Me = a w Slope kurva sorpsi isotermis a. slope b. slope c. slope Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/ g padatan) Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmhg) Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) Tekanan uap jenuh suhu 30 o C (mmhg) Umur simpan (hari) a. slope b. slope c. slope Umur simpan (bulan) a. slope b. slope c. slope Perhitungan pada Tabel 16 dan 17 menunjukkan umur simpan biskuit adonan keras bila dihitung berdasarkan model GAB yang terpilih. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa umur simpan terbesar diperoleh bila menggunakan slope 3, sedangkan umur simpan terkecil diperoleh bila menggunakan slope 1. Dari semua slope yang digunakan, umur simpan yang diperoleh dengan menggunakan slope 2 (16.5 bulan) memberikan umur simpan 64

79 yang paling dekat dengan tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label biskuit, yaitu 18 bulan sejak produk dibeli. Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/ g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/ g padatan) Model persamaan GAB : Me = a w /( a w )( a w ) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope b. slope c. slope Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/ g padatan) Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmhg) Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) Tekanan uap jenuh suhu 30 o C (mmhg) Umur simpan (hari) a. slope b. slope c. slope Umur simpan (bulan) a. slope b. slope c. slope Dari semua perhitungan umur simpan pada Tabel 12 sampai Tabel 17, dapat disimpulkan bahwa nilai slope kurva sorpsi isotermis sangat menentukan umur simpan yang diperoleh. Untuk biskuit adonan lunak, umur simpan yang mendekati tanggal kadaluarsa pada label adalah umur simpan yang dalam perhitungannya menggunakan slope 1 dan slope 2, sedangkan untuk biskuit adonan keras, umur simpan yang paling mendekati tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label adalah umur simpan yang dalam perhitungannya menggunakan slope 3 bila berdasarkan model Caurie dan slope 2 bila menggunakan model GAB. Biskuit adonan keras menggunakan dua model persamaan sorpsi isotermis dalam perhitungannya, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur 65

80 simpan yang diperoleh dengan dua model ini cukup jauh berbeda. Umur simpan yang diperoleh berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope lebih mendekati umur simpan yang tercantum pada label, yaitu pada selang bulan. Umur simpan yang diperoleh berdasarkan model Caurie cukup bervariasi dan cukup kecil pada berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis, yaitu bulan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat. Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/ g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/ g padatan) Model persamaan GAB : GAB : Me = a w /( a w )( a w ) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope b. slope c. slope Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/ g padatan) Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmhg) Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) Tekanan uap jenuh suhu 30 o C (mmhg) Umur simpan (hari) a. slope b. slope c. slope Umur simpan (bulan) a. slope b. slope c. slope Jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan suatu produk. Hasil perhitungan umur simpan produk biskuit dengan dua jenis kemasan yang berbeda memberikan nilai umur simpan yang jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat pada perhitungan umur simpan biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie pada RH 75% menggunakan slope 1. Bila dikemas dengan kemasan 66

81 metallized plastic, umur simpan biskuit mencapai 10.4 bulan, namun bila dikemas dengan PP tebal, umur simpan biskuit hanya 2.5 bulan. Perbedaan ini disebabkan oleh nilai permeabilitas antara kedua kemasan sangat jauh berbeda. Semakin besar nilai permeabilitas kemasan, semakin singkat umur simpan produk. Umur simpan kedua biskuit bila menggunakan kemasan metallized plastic masing-masing biskuit (kemasan asli) akan jauh berbeda. Bila menggunakan bahan kemasan yang sama (PP tebal), umur simpan kedua jenis biskuit menjadi hampir sama, namun umur simpan biskuit adonan keras relatif lebih panjang daripada biskuit adonan lunak. 2. Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi Hasil pendugaan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Berdasarkan hasil perhitungan umur simpan biskuit dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi pada Tabel 18 dan 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai umur simpan menurun seiring dengan meningkatnya kondisi RH penyimpanan, sama halnya dengan umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Biskuit adonan lunak memiliki umur simpan selama 27.5 bulan jika disimpan pada kondisi RH 75%, 24.9 bulan pada RH 80%, dan 22.7 bulan pada RH 85%. Biskuit adonan keras memiliki umur simpan 22.9 bulan pada RH 75%, 20.2 bulan pada RH 80%, dan 18.1 bulan pada RH 85%. Umur simpan kedua jenis biskuit cukup jauh berbeda karena kondisi produk dan kemasannya memang jauh berbeda. Meningkatnya kondisi RH penyimpanan menyebabkan semakin besarnya nilai perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan. Semakin tinggi RH lingkungan, semakin besar nilai tekanan di luar kemasan, sehingga perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan semakin besar. Sebagai akibatnya, nilai umur simpan akan semakin singkat karena nilai umur simpan berbanding terbalik dengan perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan. Jenis kemasan akan sangat mempengaruhi nilai umur simpan karena setiap bahan kemasan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam melindungi produk yang dikemas tersebut. Dari hasil perhitungan dapat dilihat 67

82 bahwa umur simpan kedua jenis biskuit jauh berbeda karena menggunakan bahan kemasan yang berbeda dengan nilai permeabilitas yang jauh berbeda. Metallized plastic memiliki permeabilitas yang jauh lebih kecil daripada PP tebal, karena bahan kemasan metallized plastic dilapisi dengan lapisan logam (alumunium foil) yang mempunyai sifat barrier yang sangat bagus terhadap uap air. Namun, bila bahan kemasan yang digunakan sama, nilai umur simpan tidak terlalu jauh berbeda. Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) Permeabilitas kemasan (g H 2 O/m 2.hari.mmHg) a. Metallized plastic biskuit adonan lunak b. Plastik PP tebal Luas kemasan (m 2 ) Berat padatan per kemasan (g padatan) P (mmhg) Umur simpan (hari) a. Metallized plastic biskuit adonan lunak b. Plastik PP tebal Umur simpan (bulan) a. Metallized plastic biskuit adonan lunak b. Plastik PP tebal Hasil perhitungan umur simpan dengan dua pendekatan yang berbeda di atas memberikan nilai umur simpan yang berbeda. Umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal, tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar bulan. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza

83 (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Tabel 19. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H 2 O/g padatan) Kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) Permeabilitas kemasan (g H 2 O/m 2.hari.mmHg) a. Metallized plastic biskuit adonan keras b. Plastik PP tebal Luas kemasan (m 2 ) Berat padatan per kemasan (g padatan) P (mmhg) Umur simpan (hari) a. Metallized plastic biskuit adonan keras b. Plastik PP tebal Umur simpan (bulan) a. Metallized plastic biskuit adonan keras b. Plastik PP tebal Jenis biskuit sebenarnya tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar terhadap nilai umur simpan yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena penentuan umur simpan dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis. Pada pendekatan ini, faktor-faktor utama yang mempengaruhi umur simpan adalah kadar air awal, kadar air kritis, kadar air keseimbangan, dan jenis kemasan. Meskipun kadar air awal biskuit adonan keras lebih besar daripada biskuit adonan lunak, namun hal ini juga diikuti oleh lebih besarnya kadar air kritis dan kadar air keseimbangan biskuit adonan keras tersebut. Pada perhitungan umur simpan yang dilakukan, nilai umur simpan kedua biskuit cukup jauh berbeda karena kedua biskuit dikemas dengan bahan kemasan yang berbeda. Jika bahan kemasan yang digunakan sama, maka nilai umur simpan kedua jenis biskuit tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat pada perhitungan umur simpan kedua jenis biskuit dengan kemasan PP tebal. Nilai umur simpan kedua jenis biskuit hampir sama, namun secara umum biskuit adonan keras memberikan umur simpan yang yang sedikit lebih panjang. 69

84 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Produk biskuit tergolong ke dalam produk pangan kering. Parameter kerusakan produk biskuit adalah hilangnya kerenyahan produk. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei terhadap 35 orang konsumen, dimana 30 orang dari mereka memilih atribut tekstur sebagai atribut yang menentukan kerusakan produk biskuit. Berdasarkan hasil survei ini, metode pendugaan umur simpan yang digunakan adalah pendekatan kadar air kritis. Sampel yang digunakan ada dua jenis biskuit, yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras. Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar bulan. Jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat 70

85 dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal. Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan. Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari 71

86 penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu sulitnya mengontrol suhu dan kelembaban selama penyimpanan. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%. B. SARAN Penelitian ini perlu didukung dengan data umur simpan produk sebenarnya dalam kondisi normal, sehingga dibutuhkan penelitian yang menduga umur simpan dengan metode konvensional. Dengan demikian, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat diketahui tingkat ketepatannya. Nilai slope kurva sorpsi isotermis yang paling tepat digunakan dalam perhitungan umur simpan pun dapat diketahui. Pengembangan metode penentuan kadar air kritis berdasarkan persentase penurunan kerenyahan dapat dilakukan dalam menentukan umur simpan produk biskuit. Penggunaan panelis terlatih dalam menentukan kadar air kritis juga dapat dilakukan, namun uji yang dilakukan adalah uji rating atribut kerenyahan bukan uji hedonik. Selain itu, untuk lebih menguatkan hasil penelitian ini sebaiknya dilakukan pendugaan umur simpan terhadap jenis biskuit yang lain sehingga diperoleh kesimpulan umum untuk semua jenis biskuit. 72

87 DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D. R Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas Air serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk pada Model Pangan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Anonim Water Vapor Transmission Rate. Vinatoru Enterprises, Inc., USA. [http// Arpah, M Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. IPN Pasca Sarjana IPB, Bogor. Arpah, M. Dan Syarief, R Evaluasi Model-Model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Undireksional. Bul. Teknologi dan Industri Pangan. XI 1 : 11. Bell, L. N. Dan Labuza, T. P Moisture Sorption Practical Aspects of Isotherm Measurement and Use 2 nd Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc., USA. BSN (Badan Standardisasi Nasional) Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI ). BSN, Jakarta. BSN (Badan Standardisasi Nasional) Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI ). BSN, Jakarta. Boente, G., Gonzalez, H. H.L., Martinez, E., Pollio, M. L., dan Resnik, S. L Sorption isotherm of corn-study of mathematical models. J. Food Eng. 29: Brooker, D. B., Bakker-Arkema, F. W., dan Hall, C. W Drying Cereal Grains. AVI Publishing Company, Connecticut. Brown, A Understanding Food: Principles and Preparation. Wadsworth Inc., Belmont. Brown, E. W Plastic in Food Packaging, Properties, Design, and Fabrication. Marcell Dekker Inc., New York. Buckle, K.A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., Wooton, M Ilmu Pangan, UI Press, Jakarta. Chirife, J. dan Iglesias, H. A Equation for fitting water sorption isotherm of foods. Part I a review. J. Food Tech. 13: de Man, J Principles of Food Chemistry. Wadsworth, Inc., Belmont. 73

88 Ellis, M. J The Methodology of Shelf LifeDetermination. Di dalam : Shelf Life Evaluation of Foods. C. M. D. Man dan A. A. Jones, hal 27. Blackie Academic & Professional, London. Eskin, M. dan Robinson, D Food Shelf Life Stability: Chemical, Biochemical and Microbial Changes. CRC Press, USA. Faridi, H. dan Faubion, J. M Dough Rheology and Baked Product Texture. Nostrand Reinhold, USA. Febriyanti Mempelajari Aspek Pengawasan Mutu Kemasan Pangan di PT. Interkemas Flexipack. Laporan Praktek Lapang. Fateta IPB, Bogor. Fellows, P. J Food Processing Technology: Principles and Practice. Woodhead Publishing, London. Fennema, O. R Food Chemistry. Marcel-Dekker Inc., New York. Gunasekharan, V. dan John, D. F Shlef Life Prediction of Packaged Foods. Di dalam : Shelf Life Studies of Foods and Beverages. Charalambous, G. (ed). Elsevier, New York. Heldman, D. R. dan Singh, R. P Food Process Engineering. AVI Publishing, Connecticut. Kusnandar, F Disain Percobaan dalam Penetapan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis). Modul Pelatihan: Pendugaan dan Pengendalian Umur Simpan Bahan dan Produk Pangan. 7-8 Agustus 2006, Bogor. Labuza, T. P Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press., Inc., Westport, Connecticut. Manley, D. J. R Technology of Biscuits, Crackers, and Cookies. Ellies Horwood Ltd. Publ., England. Matz, S. A. dan Matz, T. D Cookie and Crackers Technology 2 nd Edition. AVI Publishing. Co. Inc., Westport. Mercado, V. dan Canovas, B Dehydration of Foods. International Thomson Publishing, New York. Mir, M. A. dan Nath Sorption isotherm of fortified mango bars. J. Food Eng. 25: Purnomo dan Adiono Ilmu Pangan. Terjemahan. IU Press, Jakarta. 74

89 Reardon dan Wade Some Water Based Adjuncts. Di dalam: Biscuits, Cookies, and Crackers. AVI Publishing Company, Connecticut. Robertson, G. L Food Packaging Principles and Practices. Marcell Dekker Inc., New York. Setiawan, H. A Penentuan Umur Simpan Produk Biskuit Marie dengan Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soenaryo, E Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan TPG, FATETA-IPB, Bogor. Spiess, W. E. L. dan Wolf, W Critical Evaluation of Methods to Determine Moisture Sorption Isotherm. Di dalam : Water Activity : Theory and Application to Food. Marcell Dekker, Inc., New York. Sun, W. D Comparison and Selection of EMC/ERH Isotherm Equation for Drying and Storage of Grain and Oilseed. University College Dublin, Dublin. Syarief, R. dan Halid, H Teknologi Penyimpanan Pangan. PAU Rekayasa Proses Pangan, IPB, Bogor. Syarief, R. dan Irawati, A Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Syarief, R., Santausa, S., dan Isyana, B Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Vail, G. E., Philips, J. A., Rust, L. O., Griswold, R. M., dan Justin, M Foods. 7 th ed. Houghton Mifflin Company, Boston. Walpole, R. E Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Whiteley, P. R Biscuits Manufacture. Applied Science Publishing, London. Winarno, F. G Kimia Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. dan Jennie, B. S. L Kerusakan Bahan Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 75

90

91 Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit KUISIONER ATRIBUT UTAMA PRODUK BISKUIT Nama : Tanggal : Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk biskuit? a. Ya b.tidak 2. Menurut Anda perubahan atribut apa yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk tersebut? (pilih salah satu) a. warna b. aroma c. tekstur d. rasa 3. Apakah Anda bersedia menjadi panelis tetap? (Jika ya, mohon tuliskan no telepon yg dpt dihubungi) a. ya (no hp :...) b. tidak Terimakasih banyak atas kesediaannya untuk meluangkan waktu, pemikiran, dan pendapat. Bantuan Anda akan sangat berarti bagi saya. 76

92 Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit No Nama Jenis Atribut penyebab kerusakan kelamin warna rasa aroma tekstur 1 Gilang L Fina P Irma P Bima L Indah P Hapsakti L Ratih P Purwono L Andal L Maulita P Denny L Dian P Listyawati P Hayuning P Eka P Beatrice P Andreas L Noor P Beti P Agus L Sumarto L Natalia P Christine P Fany L Eko L Andrea P Angelia P Rhais L Vera P Teddy L Trifena P Paula P Andini P Agnes P Nana P Jumlah

93 Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit UJI HEDONIK Nama : Tanggal: Jenis sampel : Biskuit Instruksi : 1. Cicipi sampel dari kiri ke kanan. Netralkan dengan air putih sebelum Anda mencicipi sampel berikutnya. 2. Nyatakan nilai kesukaaan Anda terhadap kerenyahan sampel pada kolom nilai kesukaan. 3. Jangan bandingkan antar sampel. Nilai 1 : sangat tidak suka 5 : agak suka 2 : tidak suka 6 : suka 3 : agak tidak suka 7 : sangat suka 4 : netral Kode sampel Nilai kesukaan Komentar : 78

94 Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan TA-XT2 APPLICATION STUDY Hardness Measurement of Biscuits by Probing Product : Biscuits Objective : Hardness measurement of biscuits by probing TA-XT2 settings : Mode : measure force in compression Option : return to start Pre-test speed : 2.0 mm/s Test speed : 0.5 mm/s Pos-test speed : 10.0 mm/s Distance : 4 mm Trigger type : auto 5 g Data acquisition rate : 200 pps Calibration probe : 20.0 mm Accesory Test set up : 2 mm cylinder probe (P/2) using 25 kg load cell : Samples are placed centrally on the blank plate, secured on the heavy duty platform and the probe penetration test is commenced. 79

95 Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear menjadi persamaan linear 1. Persamaan Hasley a w = exp [-P1/(Me) P2 ) Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx log [ln(1/a w )] = log P1 P2 log Me dimana : y = log [ln(1/a w )] x = log Me a = log P1 b = -P2 2. Persamaan Chen-Clayton a w = exp[-p1/exp(p2 * Me)] Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln [ln(1/a w )] = ln P1 P2 Me dimana : y = ln [ln(1/a w )] x = log Me a = log P(1) b = -P(2) 3. Persamaan Henderson 1 - a w = exp (-KMe n ) Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx log [ln(1/(1 - a w ))] = log K + n log Me dimana : y = log [ln(1/(1-a w ))] x = log Me a = log K b = n 4. Persamaan Caurie ln Me = ln P1 (P2 * a w ) Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx 80

96 ln Me = ln P1 P2 a w dimana : y = ln Me x = a w a = ln P1 b = -P2 5. Persamaan Oswin Me = P1 * [a w /(1 a w )] P2 Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln Me = ln P1 + P2 ln[a w /(1 a w )] dimana : y = ln Me x = ln[a w /(1 a w )] a = ln P1 b = P2 81

97 Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis Persamaan model Hasley untuk biskuit adonan lunak log [ln(1/a w )] = log P1 P2 log Me dimana : y = log [ln(1/a w )] x = log Me a = log P1 b = -P2 Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil. n n n i i i i i= 1 i= 1 i= 1 a = Y bx b = n X Y X Y n n 2 2 i ( i) i= 1 i= 1 n X X No a w Me X=log Me Y=log(ln(1/a w )) X 2 XY Sum Kuadrat X bar Dari hasil perhitungan dengan metode kuadrat terkecil diperoleh nilai: b = a = Persamaan Hasley yang didapat adalah: y = x log [ln(1/a w )] = log Me 82

98 Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai konstanta persamaan GAB Untuk mendapatkan model persamaan GAB, persamaan GAB perlu diubah ke dalam bentuk regresi kuadratik yang menunjukkan hubungan a w /Me dengan a w. Me = X m C K a w (1 K a w ) (1 K a w + C K a w ) Bentuk persamaan dasar regresi kuadratik adalah: y = αx 2 + βx + γ a w /Me = α * a w 2 + β * a w + γ Dengan menggunakan data a w dan kadar air kesetimbangan percobaan, maka dapat ditentukan persamaan non linear dengan metode regresi kuadratik. Berikut ini adalah nilai a w dan kadar air kesetimbangan percobaan untuk biskuit adonan keras. No. a w Me X = a w Y = a w /Me Persamaan regresi kuadratik yang diperoleh berdasarkan data di atas adalah: y = x x Nilai α, β, dan γ yang diperoleh dari persamaan regresi kuadratik ini digunakan untuk menentukan konstanta dalam persamaan GAB. Persamaan yang dimaksud adalah sebagai berikut: K = β 2 4( αγ. ) β 2γ 1 1 C = + 2 Xm = γ. K γ. K. C Berdasarkan persamaan di atas, nilai konstanta K, C, dan Xm dapat ditentukan. Nilai konstanta tersebut berturut-turut adalah , , dan Dengan menggunakan data-data tersebut dapat ditentukan model sorpsi isotermis berdasarkan persamaan dasar GAB, yaitu: 83

99 Me = X m C K a w (1 K a w ) (1 K a w + C K a w ) Model GAB yang diperoleh dengan mensubtitusikan nilai K, C, dan Xm adalah: Me = a w /( a w )( a w ). 84

100 Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan a w Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak (g H2O/g padatan) Percobaan Hasley Chen-Clayton Henderson Caurie Oswin GAB a w Kadar air kesetimbangan biskuit adonan keras (g H2O/g padatan) Percobaan Hasley Chen-Clayton Henderson Caurie Oswin GAB

101 Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras 1. Biskuit adonan lunak kadar air (g H2O/g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 aktivitas air Hasley Percobaan kadar air (g H2O/g padatan) 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air Chen Clayton Percobaan kadar air (g H2O/g padatan) 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air Henderson Percobaan 86

102 kadar air (g H2O/ g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 Oswin Percobaan a ktivita s air kadar air (g H2O/g padatan) 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air Caurie Percobaan kadar air (g H2O/ g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 aktivitas air Percobaan GAB 87

103 2. Biskuit adonan keras kadar air (g H2O/g padatan) 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 aktivitas air Hasley Percobaan kadar air (g H2O/g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air Chen Clayton Percobaan kadar air (g H2O/g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air Henders on Percobaan 88

104 kadar air (g H2O/g padatan) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air Oswin Percobaan kadar air (g H2O/g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 aktivitas air Caurie Percobaan kadar air (g H2O/g padatan) 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 a ktivita s air GAB Percobaan 89

105 Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD Berikut ini adalah contoh perhitungan MRD biskuit adonan lunak model GAB: Percobaan(Mi) GAB(Mpi) Mi-Mpi/Mi n i= 1 Mi Mpi/ Mi n 100 MRD = Mi Mpi / Mi n i= 1 MRD = (100/5) * MRD =

106 Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras Komposisi biskuit adonan lunak Tepung terigu, gula, minyak nabati, sirup glukosa, susu bubuk skim, sirup fruktosa, garam, soda kue, lesitin kedelai, perisa (vanilla, mentega), Vitamin A, B1, B2, B3, B6, B12, D, E, asam folat, zat besi, iodium, seng, selenium, dan kalsium. Komposisi biskuit adonan keras Tepung terigu, mentega asli, lemak tumbuhan, telur, gula pasir, tepung susu, glukosa, garam, dan soda kue. 91

107 Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis Feri Kusnandar dan Dede R. Adawiyah 1) dan Mona Fitria 2) 1) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 2) Program Sarjana, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Abstract Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan,kelembaban relatif lingkungan, dan nilai slope terhadap umur simpan produk. Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar bulan. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal. Nilai slope kurva juga sangat berpengaruh pada umur simpan yang diperoleh. Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%. Keywords : umur simpan, metode akselerasi, biskuit, kadar air kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan

108 informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005). Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan. Pendugaan umur simpan produk dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode akselerasi. Metode konvensional membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001). Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006). Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah. Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan. Karena produk yang dipilih adalah biskuit yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis. Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Sasaran yang diharapkan dari pengembangan metode ini adalah parameter kritis dapat diketahui dengan melihat

109 kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik.. Tujuan Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. METODOLOGI Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi biskuit jenis adonan lunak (biskuit glukosa) dan adonan keras (marie), garam MgCl 2.6H 2 O, NaBr, NaCl, KCl, dan garam KNO 3 yang mempunyai nilai RH yang bervariasi dan digunakan untuk penentuan kurva sorpsi isotermis, kemasan produk biskuit, silika gel, vaselin, dan akuades. Sampel biskuit merupakan sampel yang sudah ada di pasaran dengan satu kode produksi yang sama dan dibeli di salah satu hypermarket yang ada di kota Bogor. Produk biskuit ini dianggap sebagai produk segar (baru). Umur simpan produk biskuit dari saat membeli adalah 12 bulan untuk biskuit glukosa dan 17 bulan untuk biskuit marie. Jenis kemasan biskuit yang dianalisis adalah metallized plastic dan kemasan PP tebal sebagai pembanding. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penentuan umur simpan ini antara lain inkubator 30 o C, oven, desikator kecil, Permatran W 3*31, neraca analitik, pencapit logam, peralatan gelas, cawan alumunium, alumunium foil, hygrometer, a w meter, dan peralatan lain yang mendukung penelitian ini. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, yaitu di Laboratorium Jasa Analisis Pangan dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan di Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK), Jakarta. Metode a. Model Penentuan Umur Simpan Pendugaan umur simpan produk biskuit dilakukan berdasarkan pendekatan kadar air kritis dengan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza: θ = ln (m e m o ) / (m e m c )...Pers 1 k * ( A ) ( Po ) x Ws b dimana: θ = waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) m e = Kadar air keseimbangan produk (g H 2 O/g padatan) m o = kadar air awal produk (g H 2 O/g padatan) b = slope kurva sorpsi isotermis m c = kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m 2 ) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g padatan) Po = tekanan uap jenuh (mmhg) Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan: θ = (m c m o ) * Ws...Pers 2 k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana ΔP merupakan selisih antara tekanan udara di luar dimana produk disimpan dan tekanan udara di dalam kemasan (Labuza, 1982). b. Tahapan Penelitian 1. Penentuan Kadar Air awal (SNI ) Pendugaan umur simpan produk biskuit dilakukan berdasarkan pendekatan kadar air kritis dengan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza:

110 θ = ln (m e m o ) / (m e m c )...Pers 1 k * ( A ) ( Po ) x Ws b dimana: θ = waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) m e = Kadar air keseimbangan produk (g H 2 O/g padatan) m o = kadar air awal produk (g H 2 O/g padatan) b = slope kurva sorpsi isotermis m c = kadar air kritis (g H 2 O/g padatan) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m 2 ) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g padatan) Po = tekanan uap jenuh (mmhg) Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan: θ = (m c m o ) * Ws...Pers 2 k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana ΔP merupakan selisih antara tekanan udara di luar dimana produk disimpan dan tekanan udara di dalam kemasan (Labuza, 1982). 2. Penentuan Kadar Air Kritis Penentuan parameter kritis dilakukan dengan survei konsumen tentang penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dapat diketahui dengan cara menyebarkan kuisioner kepada 35 orang panelis tentang parameter penyebab kerusakan produk biskuit. Panelis diminta memilih atribut yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk biskuit. Penentuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan biskuit di suhu ruang selama 5 jam untuk produk biskuit merk A dan 6 jam untuk produk biskuit merk B. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan dianalisis kadar air, nilai kerenyahan, dan sifat organoleptik kerenyahannya. Uji organoleptik difokuskan pada nilai kesukaan panelis terhadap kerenyahan produk tersebut, dengan skala kesukaan 1 7, dimana satu merupakan skala sangat tidak suka dan tujuh adalah skala sangat suka. Sampel diujikan kepada 30 orang panelis tidak terlatih. Kadar air diukur berdasarkan SNI sedangkan nilai kerenyahan diukur dengan alat texture analyzer, menggunakan cylinder probe (P2/E). Sampel diletakkan di atas meja sampel dan ditekan dengan cylinder probe yang berdiameter 2 mm (P2/E). Hasil pengukuran diperoleh dalam bentuk grafik yang langsung dapat dibaca oleh komputer. Nilai kerenyahan adalah nilai puncak pertama yang signifikan pada grafik dan dinyatakan sebagai gf (gram force). Data kadar air dan nilai kerenyahan masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan, selanjutnya diplotkan dengan nilai kesukaannya masing-masing, sehingga diperoleh grafik yang menunjukkan hubungan antara skor kesukaan dengan kadar air dan hubungan antara skor kesukaan dengan nilai kerenyahan. Hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan regresi linear. Berdasarkan regresi linear yang diperoleh, kadar air kritis dihitung pada saat skor kesukaan panelis bernilai 3 (skala agak tidak suka) berdasarkan persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan kadar air. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat pula diperoleh dari persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan nilai kerenyahan, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai 3. Selain menentukan hubungan regresi linear antara nilai kerenyahan dan skor kesukaan di atas, ditentukan pula persentase penurunan kerenyahan sampai kadar air kritis tercapai berdasarkan rumus berikut ini: % penurunan = (kerenyahan awal kerenyahan kritis)/ kerenyahan awal 100% 3. Penentuan Pola Kurva Sorpsi Isotermis (Spiess dan Wolf, 1987) Penentuan kurva sorpsi isotermis diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh yang digunakan untuk mengatur RH ruangan (desikator). Garam yang digunakan dalam penelitian ini adalah MgCl 2, NaBr, NaCl, KCl, dan KNO 3. Sekitar dua gram produk biskuit diletakkan pada cawan alumunium kering kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh yang mempunyai nilai RH berbeda-beda. Desikator kemudian disimpan dalam inkubator

111 dengan suhu 30 o C. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik setiap hari sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (SNI ) dan dinyatakan dalam basis kering. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada RH tertentu. Kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (a w ). 4. Penentuan Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model Penentuan model sorpsi isotermis perlu dilakukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus. Dari sekian banyak model persamaan sorpsi isotermis, dipilih beberapa model persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan. Persamaan yang dipilih adalah persamaan-persamaan sederhana yang mempunyai parameter tidak lebih dari tiga serta dapat digunakan pada kisaran nilai a w yang luas sehingga dapat mewakili ketiga daerah sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan ditentukan berdasarkan penelitianpenelitian sebelumnya dan penggunaan model ini ditujukan untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting). Dalam penelitian ini digunakan enam model, yaitu model GAB, Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Persamaan non linear (Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton) yang digunakan diubah ke dalam bentuk persamaan linear, sehingga dapat ditentukan nilai-nilai konstanta dalam persamaannya dengan metode kuadrat terkecil (Walpole, 1995). Lain halnya dengan model GAB, persamaan ini diubah ke dalam bentuk persamaan regeresi kuadratik sehingga nilai-nilai konstanta dalam persamaan juga dapat ditentukan. Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan sorpsi isotermis untuk menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Uji ketepatan model ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD) (Walpole, 1990). Rumus MRD tersebut adalah sebagai berikut: n 100 MRD = Mi Mpi / Mi n i= 1 dimana : Mi = kadar air percobaan Mpi = kadar air hasil perhitungan n = jumlah data Jika nilai MRD < 5 maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10 maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya, dari model persamaan yang terpilih, ditentukan nilai b (kemiringan kurva sorpsi isotermis) untuk dimasukkan dalam perhitungan umur simpan berdasarkan persamaan Labuza. Slope (kemiringan) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada beberapa daerah untuk melihat pengaruh nilai b terhadap umur simpan yang diperoleh. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. 5. Penentuan Permeabilitas Kemasan (ASTM F ) Penentuan permeabilitas dilakukan dengan menggunakan alat Permatran Mocon W*3/31 di Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jakarta. Kemasan sampel dipotong sesuai cetakan kemudian diukur ketebalannya. Kemasan sampel dikondisikan terlebih dahulu selama 24 jam dalam ruangan uji. Kemasan sampel ditempel pada tempat uji. Nilai ketebalan kemasan, luas kemasan, suhu uji, lamanya uji, laju alir udara, dan

112 kelembaban udara yang digunakan dimasukkan pada program komputer yang telah disediakan. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik. Pengujian dianggap selesai bila kondisi kesetimbangan telah tercapai (steady state). Kondisi dianggap setimbang bila laju uap air yang terdeteksi sensor infra merah telah tetap. Prinsip kerja alat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada akhir pengujian, alat akan menunjukkan nilai WVTR. Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali P o dan RH. Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 Jika kemasan sampel mempunyai pori-pori yang cukup besar, maka pengujian dilakukan secara manual sesuai (ASTM E-96,1995) yaitu dengan cara potong kemasan plastik yang digunakan sesuai mulut wadah yang digunakan. Hitung luas permukaan mulut wadah. Masukkan desikan (silika gel) secukupnya ke dalam tiap wadah. Letakkan kemasan plastik di mulut wadah dan rekatkan dengan lem silikon dan seal dengan rapat. Letakkan wadah ke dalam chamber tertutup yang telah berisi larutan garam jenuh. Wadah ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama selama satu minggu dan ditentukan pertambahan berat dari tiap cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat (g) dan waktu (jam). Laju permeabillitas uap air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : WVTR = (slope/luas kemasan) WVTR = g/ m 2 / hari/ RH, suhu Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali P o dan RH. 6. Penentuan Berat Padatan per Kemasan dan Luas Kemasan Luas kemasan primer yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan dan dinyatakan dalam m 2. Berat produk awal (W o ) dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya (m o ) dan selanjutnya dinyatakan sebagai berat padatan per kemasan (Ws). 7. Penentuan Perbedaan Tekanan Luar dan Dalam Kemasan Tekanan uap di luar kemasan pada suhu tertentu dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (P o ) dengan kelembaban udara (RH). Tekanan uap di dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (P o ) dengan aktivitas air (a w ). Nilai P o pada suhu tertentu dapat dilihat dari tabel uap air (Labuza, 1982). 8. Penentuan Umur Simpan Biskuit Umur simpan produk biskuit dihitung dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan akan ditentukan pada 3 nilai RH, yaitu 75%, 80%, dan 85%. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (persamaan 1). Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit adonan lunak dan adonan keras dilakukan dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis. Pendekatan kadar air kritis yang dipakai terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pada dasarnya, pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk menduga umur simpan produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis yang

SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F

SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS Oleh : MONA FITRIA F24103015 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biskuit Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu atau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian

Lebih terperinci

SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS Oleh: AJI NUGROHO F24103039 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

LOGO BAKING TITIS SARI

LOGO BAKING TITIS SARI LOGO BAKING TITIS SARI PENGERTIAN UMUM Proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga lebih diterima konsumen KHUSUS Pemanasan adonan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi seseorang di saat mereka dewasa.

Lebih terperinci

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 Handout PENENTUAN KADALUWARSA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Bahan Alat

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Bahan Alat 15 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN Kegunaan Penyimpangan Persediaan Gangguan Masa kritis / peceklik Panen melimpah Daya tahan Benih Pengendali Masalah Teknologi Susut Kerusakan Kondisi Tindakan Fasilitas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bumbu rujak Rujak manis adalah semacam salad. Rujak manis terdiri dari campuran beberapa potongan buah segar dengan dibumbui saus manis pedas. Pada umumnya bumbu rujak manis terbuat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM Penyusun: Haikal Atharika Zumar 5404416017 Dosen Pembimbing : Ir. Bambang Triatma, M.Si Meddiati Fajri Putri S.Pd, M.Sc JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya Karakteristik permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobiologis terhadap produk permen jelly pepaya.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian.

Lebih terperinci

PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG

PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG Disusun oleh: Ribka Merlyn Santoso 14.I1.0098 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB V PROSES PENGOLAHAN

BAB V PROSES PENGOLAHAN BAB V PROSES PENGOLAHAN 5.1. Pengertian Proses pengolahan dapat didefinisikan sebagai proses pembuatan suatu produk dari bahan mentah dan bahan asal, serta kegiatan-kegiatan penanganan dan pengawetan produk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : 1.1 Latar Belakang, 1.2 Identifikasi Masalah, 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian, 1.4 Manfaat Penelitian, 1.5 Kerangka Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang I PENDAHULUAN Cookies merupakan salah satu produk yang banyak menggunakan tepung. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang dihasilkan. Tepung kacang koro dan tepung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, Maksud dan tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Kerangka Berpikir, Hipotesa penelitian dan Waktu dan tempat penelitian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. dan termasuk ke dalam famili Solanacea. Buahnya merupakan sumber vitamin

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. dan termasuk ke dalam famili Solanacea. Buahnya merupakan sumber vitamin I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya

Lebih terperinci

SKRIPSI EVALUASI PERMEANSI UAP AIR PADA KEMASAN FLEKSIBEL DAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN WAFER STICK DI PT ARNOTT S INDONESIA, BEKASI

SKRIPSI EVALUASI PERMEANSI UAP AIR PADA KEMASAN FLEKSIBEL DAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN WAFER STICK DI PT ARNOTT S INDONESIA, BEKASI SKRIPSI EVALUASI PERMEANSI UAP AIR PADA KEMASAN FLEKSIBEL DAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN WAFER STICK DI PT ARNOTT S INDONESIA, BEKASI Oleh IQBAL FAUZI F24102002 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas dari pangan. Oleh karena

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN. ( Food Bar )

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN. ( Food Bar ) LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN ( Food Bar ) Oleh : Nama NRP Kelompok Meja Tanggal Praktikum Asisten : Lutfi Hanif : 143020097 :D : 02 (

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. FAKTOR MUTU KRITIS Seasoning danmicroencapsulated Ginger Powder merupakan produk flavor berbentuk bubuk yang memiliki kadar air rendah (kurang dari 5%) dan flowability yang tinggi.

Lebih terperinci

: 1. Mengetahui cara pembuatan roti standart dan roti wortel serta untuk. 2. Mengetahui volume adonan roti standart dan adonan roti wortel

: 1. Mengetahui cara pembuatan roti standart dan roti wortel serta untuk. 2. Mengetahui volume adonan roti standart dan adonan roti wortel Acara Sub acara : Praktikum Food Processing & Technology : Praktikum teknologi baking Hari / tanggal : Selasa / 25 Maret 2014 Tempat Prinsip Tujuan : Lab Gizi STIKes Widya Cipta Husada Malang : Prinsip

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pangan Instan dan Penyimpangan Mutunya. sertifikat produksi pangan industri rumah tangga, mendefinisikan bahwa pangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pangan Instan dan Penyimpangan Mutunya. sertifikat produksi pangan industri rumah tangga, mendefinisikan bahwa pangan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pangan Instan dan Penyimpangan Mutunya Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, nomor HK.03.1.23.04.12.2205 (Anonim d, 2012) tentang pedoman pemberian

Lebih terperinci

UMUR SIMPAN. 31 October

UMUR SIMPAN. 31 October UMUR SIMPAN 31 October 2014 1 Outline 1. Pendahuluan 2. Umur Simpan 3. Penentuan Umur Simpan 4. Penutup 31 October 2014 2 Pendahuluan Makanan dan minuman disimpan, holding time mutu menurun. Produk minuman

Lebih terperinci

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah 1 KAJIAN LAMA SIMPAN KERIPIK PISANG KEPOK PUTIH (Musa acuminate sp.) BERDASARKAN TINGKAT AROMA, RASA DAN KERENYAHAN ORGANOLEPTIK DALAM BERBAGAI JENIS KEMASAN DENGAN MODEL PENDEKATAN ARRHENIUS Citra Ratri

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab I akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

CARA PEMBUATAN ROTI MANIS

CARA PEMBUATAN ROTI MANIS CARA PEMBUATAN ROTI MANIS Tahap persiapan - Semua peralatan dan bahan yang dibutuhkan di sediakan dalam jumlah dan takaran masing- masing (sehingga tidak memperlama proses pembuatan nanti), timbang terigu

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN GULA MERAH TERHADAP TINGKAT KESUKAAN DODOL NANAS

PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN GULA MERAH TERHADAP TINGKAT KESUKAAN DODOL NANAS PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN GULA MERAH TERHADAP TINGKAT KESUKAAN DODOL NANAS Aniswatul Khamidah 1 dan Eliartati 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian.

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian. I PENDAHULUAN Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah berdasarkan latar belakang tertentu. Dengan maksud dan tujuan yang sudah jelas selanjutnya dikembangkan kerangka pemikiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KOPI INSTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KOPI INSTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. KOPI INSTAN Kopi instan dibuat dari kopi bubuk yang diekstrak dengan menggunakan air (Clarke, 1988). Di dalam Encyclopedia Britanica (1983), disebutkan bahwa pada pembuatan kopi

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Roti

Proses Pembuatan Roti Tekno Pangan 8 Agmindusfri, Volume f Nornor6 Roti adalah makanan yang dibuat dari tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan dipanggang. Ke dalam adonan boleh ditambahkan garam, gula, susu, lemak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bolu Kukus Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan telur dan gula. Terdapat banyak macam kue bolu, misalnya kue tart yang biasa dihidangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN I. ACARA II Pemanggangan (Baking)

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN I. ACARA II Pemanggangan (Baking) LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN I ACARA II Pemanggangan (Baking) KELOMPOK 3 Penanggung jawab: Nadhila Benita Prabawati A1M013040 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Kemampuan yang ingin dicapai:

Kemampuan yang ingin dicapai: Kemampuan yang ingin dicapai: Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik hidratasi pada bahan pangan serta hubungannya dengan pengolahan dan mutu pangan. A. PENGERTIAN Karakteristik hidratasi : karakteristik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nenas (Ananas comosus) merupakan tanaman buah tropis yang berasal

TINJAUAN PUSTAKA. Nenas (Ananas comosus) merupakan tanaman buah tropis yang berasal TINJAUAN PUSTAKA Nenas Nenas (Ananas comosus) merupakan tanaman buah tropis yang berasal dari Brasilia. Pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nenas ini ke Filipina dan Semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI oleh KURNIA MEIRINA F34102031 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI Sebagai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 42 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Rumput Laut Karakteristik permen jelly rumput laut yang diuji pada optimasi formula meliputi karakteristik sensori, fisik dan kimia. Karakteristik

Lebih terperinci

SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS SKRIPSI KAJIAN METODE PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK FLAT WAFER DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN MODEL KADAR AIR KRITIS Oleh: AJI NUGROHO F24103039 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

Kue atau yang disebut juga cake merupakan produk bakery yang banyak diminati masyarakat. Dalam membuat kue, ada tiga faktor yang sangat menentukan

Kue atau yang disebut juga cake merupakan produk bakery yang banyak diminati masyarakat. Dalam membuat kue, ada tiga faktor yang sangat menentukan Kue atau yang disebut juga cake merupakan produk bakery yang banyak diminati masyarakat. Dalam membuat kue, ada tiga faktor yang sangat menentukan baik tidaknya kualitas kue yang dihasilkan. Ketiga faktor

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah permen jelly pepaya yang terbuat dari pepaya varietas IPB 1 dengan bahan tambahan sukrosa, ekstrak rumput

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ceker ayam Ceker adalah bagian dari tubuh ayam yang berhubungan langsung dengan benda-benda kotor. Meski demikian, tanpa ceker ayam tidak mungkin menjadi gemuk untuk diambil

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai : (4.1) Penelitian Pendahuluan, dan (4.2) Penelitian Utama. 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama

Lebih terperinci