Tinjauan Pustaka. II.1 Stabilitas Termal Protein

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tinjauan Pustaka. II.1 Stabilitas Termal Protein"

Transkripsi

1 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Stabilitas Termal Protein Beberapa organisme telah teridentifikasi memiliki kemampuan untuk dapat bertahan hidup pada lingkungan ekstrim (Lowe dkk., 1993; Adams dkk., 1995) seperti pada palung bawah laut yang memiliki tekanan tinggi (Purcarea dkk., 1999), daerah kontinental dan geotermal bertemperatur tinggi (Bonc- Osmolovskaya dkk., 2003), daerah Antartika dengan temperatur yang sangat rendah (Saunders dkk., 2003) dan daerah Laut Mati yang memiliki kadar garam sangat tinggi (Ventosa dkk., 1998). Salah satu organisme yang paling banyak diteliti pada saat ini adalah organisme termofilik yang umum dijumpai pada daerah bertemperatur tinggi. Kemampuan termofil untuk dapat tumbuh pada temperatur tinggi karena sistem selnya, mulai dari tingkat makromolekul hingga organel (Tolner dkk., 1997) relatif lebih stabil terhadap denaturasi panas dibandingkan padanan mesofilnya (Vieille dkk., 1996; Daniel dan Cowan, 2000). Pada tingkat makromolekul, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil memiliki kestabilan dan fungsi yang optimal pada temperatur tinggi (Jaenicke dan Zàvodszky, 1990). Sifat stabilitas termal dari enzim atau protein telah menjadi isu penting dalam penelitian struktur protein (Kumar dkk., 2000), terutama untuk mendapatkan pemahaman keterkaitan antara pelipatan (folding) protein dan stabilitasnya serta untuk keperluan rekayasa enzim sehingga dapat bekerja lebih optimal pada temperatur tinggi (Vieille dkk., 1996; Vieille dan Zeikus, 2001; Liu dan Wang, 2003). Stabilitas termal protein didefinisikan sebagai ketahanan suatu protein untuk tetap dalam struktur alaminya (folded state) sedemikian rupa sebagai respon terhadap energi termal (temperatur tinggi) sehingga tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik (Zhang dkk., 2004). Penelitian melalui berbagai pendekatan baik eksperimen (Bosshard dkk., 2004; Emond dkk., 2008), bioinformatik (Das dan Gerstein, 2000; Kumar dkk., 2000) maupun komputasi (Liu dan Wang, 2003; Zhang dkk., 2004) telah berusaha untuk mengelusidasi faktor penentu stabilitas termal protein. Hasilnya mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan baku 7

2 terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam protein. Hasil penelitian menyarankan bahwa mekanisme umum untuk menjelaskan sifat stabilitas enzim ataupun protein hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara pasti, karena sifat tersebut dapat dipengaruhi parameter internal seperti komposisi asam amino, ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, interaksi aromatik dan ikatan hidrogen maupun parameter ekstrinsik seperti garam, substrat maupun pengaruh tekanan (Kumar dan Nussinov, 2001; Vieille dan Zeikus, 2001; Trivedi, 2006). II.1.1 Komposisi Asam Amino Penelitian terhadap enzim yang sama namun berasal dari dua kelompok mikroorganisme yang berbeda, mesofil dan termofil menunjukkan bahwa enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme termofilik umumnya memiliki ketahanan dan kestabilan yang cukup besar pada temperatur tinggi, baik dalam hal penyimpanan maupun pemakaian, dimana sifat ini tidak dimiliki oleh enzim dari mikroorganisme mesofilik. Walaupun demikian, enzim termostabil memiliki mekanisme katalitik yang sama dengan padanan enzim mesofilnya (Vieille dan Zeikus, 2001) dengan adanya sedikit perbedaan pada urutan asam aminonya. Perubahan substituen asam amino di satu atau lebih lokasi dapat menghasilkan konformasi enzim yang berlainan, akibatnya pengaruh panas terhadap denaturasi enzim berbeda (Kumar dan Nussinov, 2001). Analisis statistik terhadap komposisi asam amino dari mesofil dan termofil pertama kali dilakukan oleh Argos dkk. (1979), hasilnya mengindikasikan adanya kecenderungan substitusi Gly Ala dan Lys Arg pada termofil. Meruahnya komposisi Ala pada protein dari termofil diduga karena residu Ala bersifat sebagai pembentuk helix. Dengan semakin lengkapnya koleksi genom mesofil maupun termofil analisis komposisi asam amino dapat dilakukan lebih komprehensif. Secara umum, enzim atau protein yang berasal dari mikroorganisme termofilik memiliki persentase asam amino bermuatan (Lys, Arg, Glu dan Asp) yang lebih tinggi dibandingkan padanan mesofilnya (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000; Farias dan Bonato, 2003; Fukuchi dan Nishikawa, 2001; Nakashima dkk., 2003; 8

3 Saunders dkk., 2003; Tanaka dkk., 2004). Perbandingan komposisi asam amino dari termofil dan mesofil (Gambar II.1) menyarankan bahwa beberapa asam amino seperti Glu, Arg, Tyr, Asp, dan Lys terdapat dalam jumlah lebih banyak pada termofil dibandingkan Ala, Asn, Gln, Thr, Ser dan Val (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000). Ada dugaan bahwa rasio (perbandingan) asam amino tersebut memainkan peranan terhadap fleksibilitas protein. Sedangkan komparasi antara termofil dan hipertermofil, mengindikasikan bahwa jumlah asam amino bermuatan (terutama Lys) pada hipertermofil jauh lebih tinggi, disamping itu termofil umumnya lebih menyukai Arg dibandingkan Lys. Namun Vieille dan Zeikus (2001) melaporkan sebaliknya, bahwa residu Arg memiliki peran signifikan terhadap stabilitas protein yang diisolasi dari hipertermofil, karena kemampuan Arg untuk membentuk multipel interaksi nonkovalen lebih tinggi dibandingkan Lys. Selain itu, rantai samping Arg memiliki gugus metil yang lebih pendek daripada Lys sehingga kontak yang tidak sesuai (unfavorable) dengan pelarut dapat lebih diminimalkan. Persentase asam amino Asp dan Met umumnya menurun pada hipertermofil karena asam amino tersebut tidak stabil pada temperatur tinggi (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000). Namun, hasil ini juga berlawanan dengan apa yang dilaporkan oleh Tanaka dkk. (2004) yang menerangkan bahwa Tyr dan Asp berperan penting terhadap stabilitas termal hipertermofil. Studi yang dilakukan terhadap protein hipertemofil Aeropyrum pernix menunjukkan hasil yang menguatkan hipotesis bahwa tidak ada aturan baku terhadap stabilitas termal karena ternyata asam amino bermuatan (23.64%), residu hidrofobik (27.29%) dan aromatiknya (7.42%) lebih sedikit dibandingkan padanan mesofilnya. Sehingga kemungkinan besar, distribusi asam amino serta interaksinya memainkan peranan lebih penting terhadap stabilitas termal dibandingkan hanya sekedar komposisi asam amino. Dua jenis protease homolog subtilisin Bacillus amyloliquefaciens dan termitase Thermoactinomyces vulgaris memiliki kesamaan dalam jumlah residu asam amino bermuatan, namun enzim termitase termofil memiliki 8 interaksi elektrostatik lebih banyak dibandingkan subtisilin (Teplyakov dkk., 1990). 9

4 Gambar II.1. Perbandingan komposisi asam amino protein yang diisolasi dari mikroorganisme mesofil (hijau) dan termofil (merah). (a) mesofil versus moderat termofil dan (b) mesofil versus hipertermofil. Warna kode asam amino satu huruf berdasarkan atas karakteristik fisikokimia asam amino, KRED : asam amino bermuatan; QNHST : asam amino polar; FYW : asam amino aromatik; PG : asam amino yang mempengaruhi fleksibilitas; AVLI : asam amino hidrofobik dan CM : asam amino yang mengandung atom Sulfur (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000). 10

5 II.1.2 Interaksi Elektrostatik Interaksi elektrostatik yang sering disebut sebagai interaksi pasangan ion (ion pairs interaction) (Vieille dan Zeikus, 2001) atau jembatan garam (salt bridge) (Tomazic dan Klibanov, 1988) merupakan interaksi antara residu-residu asam amino bermuatan. Penelitian mengenai pentingnya interaksi elektrostatik pertama kali dilaporkan oleh Perutz (1978) yang menyatakan bahwa interaksi ini memiliki kontribusi signifikan untuk menstabilkan protein. Namun karena rendahnya tingkat lestari (not highly conserved) interaksi elektrostatik pada setiap protein, menyebabkan interaksi tersebut akhirnya dianggap tidak memberikan kontribusi terhadap stabilitas termal protein (Dill, 1990). Secara kuantitatif, penelitian yang dilakukan terhadap enzim lisozim dari T4 bakteriofaga mengindikasikan bahwa satu pasang interaksi elektrostatik menyumbang setidaknya 3-5 kkal/mol terhadap stabilitas enzim (Anderson dkk., 1990). Meskipun tidak terlalu memberikan efek signifikan terhadap protein mesofil -bahkan diduga memberikan efek destabilisasi- namun interaksi ini memainkan peran sangat penting dalam menstabilkan protein-protein termofil dan hipertermofil (Yip dkk., 1995; Karshikoff dan Ladenstein, 2001; Vieille dan Zeikus, 2001). Studi denaturasi termal terhadap enzim amilase yang diisolasi dari B.licheniformis, B.amyloliquefaciens dan B.stearothermophilus oleh Tomazic dan Klibanov (1988) menyarankan bahwa enzim dari B.licheniformis memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi dibandingkan padanan lainnya karena adanya interaksi elektrostatik terutama antara residu Lys dengan residu karboksilat lainnya. Selain itu, interaksi elektrostatik juga memainkan peran penting terhadap stabilitas termal beberapa enzim lain seperti O-metilguanin-DNA metiltransferase dari Pyrococcus kodakaraensis (Hashimoto dkk., 1999), karboksipeptidase Sulfolobus solfataricus (Villa dkk., 1993) dan β-glikosidase Thermosphaera aggregans (Chi dkk., 1999). 11

6 Tabel II.1. Komparasi komposisi interaksi elektrostatik pada enzim GDH Clostridium symbiosum dan P.furiosus (Yip dkk., 1998) Karakteristik Jumlah IE per subunit Jumlah IE per residu % residu bermuatan membentuk IE % IE dibentuk oleh Arg/Lys/His % IE dibentuk oleh Asp/Glu % Arg membentuk IE Jumlah residu membentuk 2 IE Jumlah residu membentuk 3 IE Jumlah 2/3/4 residu membentuk networks Jumlah 5/6/18 residu membentuk networks % networks IE > 3 residu Jumlah IE intersubunit Jumlah IE antardomain IP = ion pairs /interaksi elektrostatik C.symbiosum /31/23 46/ /24/12 0/0/ Nilai P.furiosus /27/9 47/ /24/12 12/6/ Gambar II.2. Representasi jaringan interaksi elektrostatik pada antarmuka subunit GDH P.furiosus (Yip dkk., 1998). Komparasi terhadap struktur enzim heksamerik glutamat dehidrogenase (GDH) yang berasal dari mesofil Clostridium symbiosum, dan hipertermofil 12

7 Thermococcus litoralis dan P.furiosus menunjukkan adanya perbedaan utama pada komposisi interaksi elektrostatik (Tabel II.1). 90% residu Arg pada GDH P.furiosus membentuk interaksi elektrostatik dengan residu karboksilat. Interaksi ionik pada GDH P.furiosus, tidak hanya pada permukaan protein namun juga bersilangan pada antarmuka subunit (subunit interfaces) menghasilkan suatu jaringan (network) interaksi (Gambar II.2) yang tersusun atas 24 residu protein terhubung melalui 18 interaksi elektrostatik (Yip dkk., 1998). Secara khusus disarankan bahwa jaringan interaksi ionik merupakan suatu cara enzim multisubunit untuk mempertahankan sifat stabilitas termalnya (Vetriani dkk., 1998). II.1.3 Ikatan Disulfida Ikatan disulfida (jembatan disulfida) dipercaya mampu menstabilkan protein hingga temperatur di atas 100 o C (Kumar dkk., 2000) yaitu dengan menurunkan entropi keadaan acak (unfolded state) protein, biasa disebut sebagai efek entropi (Matsumura dkk., 1989). Hipotesis ini didasarkan pada pengamatan bahwa putusnya jembatan disulfida seringkali diikuti dengan penurunan stabilitas termodinamik, yaitu stabilitas suatu protein untuk mengalami denaturasi dapat balik (reversible denaturation), yang akhirnya menyebabkan enzim atau protein tersebut mengalami denaturasi irreversible (irreversible denaturation) (Wetzel dkk., 1988). Pada umumnya, arkhea termofilik dan hipertermofilik memiliki jembatan disulfida yang lebih banyak dibandingkan eubakteri termofilik. Sedangkan termofil pada umumnya juga mempunyai jembatan disulfida yang lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya (Mallick dkk., 2002). Sebagai contoh serin protease dari arkhea hipertermofil Aquifex pyrohilus memiliki delapan ikatan disulfida dibandingkan padanan mesofilnya yang sama sekali tidak memiliki ikatan tersebut (Choi dkk., 1999). Sebagaimana halnya dengan komposisi asam amino yang menimbulkan kontradiksi, beberapa peneliti lain melaporkan bahwa ikatan disulfida tidak terlalu memainkan peran penting terhadap stabilitas beberapa protein (Legio dkk., 1999; Tanaka dkk., 2004). Setelah dilakukan komparasi, disarankan bahwa selain jumlah ikatan disulfida, 13

8 posisi atau lokasi ikatan disulfida turut berperan serta terhadap stabilitas termal protein. Secara umum ikatan disulfida yang terkubur (burried) di dalam protein lebih memiliki efek stabilisasi dibandingkan yang terekspos ke permukaan (Kumar and Nussinov, 2001). II.1.4 Interaksi Hidrofob Di antara sekian banyak faktor penentu stabilitas termal protein, interaksi hidrofob dipertimbangkan sebagai faktor dominan penentu kestabilan protein (Matthews, 1993). Hal ini didasari atas fenomena bahwa ketika protein melipat (folded) sebagian besar residu non polar (~80%) akan terkubur di dalam interior protein, terlindungi dari pelarut sehingga menyebabkan suatu protein dapat mempertahankan integritasnya (Klapper, 1971). Fenomena tersebut dikenal sebagai pengaruh hidrofobik (hydrophobic effect). Energi rata-rata untuk setiap penambahan 1 gugus metil (-CH 2 -) yang terkubur di dalam protein menyebabkan peningkatan energi stabilitas sebesar 1.3 ± 0.5 kkal/mol (Pace, 1992). Analisis biokimia dengan menggunakan gel poliakrilamid yang mengandung urea pada protein dimer WT maupun mutan-mutan 3-isopropilmalat dehidrogenase dari E.coli dan T.thermophilus menyarankan bahwa interaksi hidrofobik menyebabkan protein lebih sukar terdisosiasi karenanya interaksi tersebut berkontribusi terhadap stabilitas protein (Kirino dkk., 1994). Studi mutagenesis acak maupun terarah menunjukkan interaksi hidrofob memainkan peran penting terhadap stabilitas termal chloramphenicol acetyltransferase (CAT-86) (Turner dkk., 1992; Chirakkal dkk., 2001) dan RNase HI (Ishikawa dkk., 1993). II.1.5 Interaksi Aromatik Interaksi aromatik diketahui turut memiliki peran dalam menstabilkan protein (Burley dan Petsko, 1985). Interaksi aromatik didefinisikan sebagai interaksi cincin (ring interaction) antar centroid fenil dengan jarak Å dan sudut dihedral yang dibentuk ada pada kisaran 90 o (Vieille dan Zeikus, 2001). Pada umumnya, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil akan memiliki jumlah interaksi aromatik yang lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya dimana lokasi interaksi aromatik tersebut turut berkontribusi terhadap stabilitas termal 14

9 protein (Kannan dan Vishveshwara, 2000). Besar energi bebas yang disumbangkan terhadap stabilitas protein sangat tergantung pada lingkungan disekitar residu aromatik tersebut. Interaksi aromatik yang terkubur di dalam protein pada umumnya menyumbang sebesar -0.6 s/d -1.3 kkal/mol terhadap stabilitas protein, 80% di antaranya mempengaruhi stabilitas struktur tersier sedangkan 20% nya menstabilkan struktur sekunder protein (Serrano dkk., 1991). Gambar II.3. Klaster aromatik yang teridentifikasi pada protein RnaseH dari termofil T.thermofilus HB8 (Kode PDB : 1RIL). (Ishikawa dkk., 1993; Kannan dan Vishveshwara, 2000) Enzim termitase dari keluarga serin protease yang diisolasi dari Thermoactinomyces vulgaris memiliki 16 residu aromatik saling berinteraksi sedangkan homolog mesofilnya yaitu subtilisin dari B.amyloliquefaciens hanya memiliki 6 pasang interaksi aromatik (Teplyakov dkk., 1990). Dua klaster interaksi aromatik ditemui pada RNase H termostabil dari T. thermophilus HB8 (Gambar II.3), sedangkan padanan mesofilnya yang diisolasi dari E.coli tidak memiliki klaster interaksi aromatik sama sekali (Ishikawa dkk.,1993). Rekayasa protein juga menunjukkan bahwa penambahan interaksi aromatik serta klaster aromatik mengakibatkan stabilitas termal protein meningkat (Serrano dkk., 1991). Peningkatan stabilitas termal xylanase termolabil yang berasal dari mesofil 15

10 Streptomyces sp. S38 misalnya, dapat direkayasa melalui penambahan interaksi aromatik terhadap enzim tersebut berdasarkan data interaksi aromatik padanan termofilnya (Georis dkk., 2000). II.1.6 Ikatan Hidrogen Sebagian besar residu polar dalam keadaan tidak terlipat (unfolded state) akan dikelilingi dan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air (Myers dan Pace, 1996). Pada saat proses pelipatan (folding), sebagian besar residu polar (~65%) dapat berada di dalam interior protein, umumnya antar residu polar tersebut akan berinteraksi membentuk ikatan hidrogen intermolekul. Ikatan hidrogen didefinisikan sebagai gaya intermolekul/intramolekul yang terjadi antara atom yang memiliki keelektronegatifan tinggi dengan atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada suatu atom elektronegatif. Studi yang dilakukan oleh Stickle dkk. (1992) menyarankan bahwa dominasi ikatan hidrogen umumnya dibentuk oleh tulang punggung protein >C=O---H-N< (68.1%), sedangkan sisanya oleh >C=O---rantai samping (10.9%), >N-H---rantai samping (10.4%), dan antar rantai samping (10.6%) (Stickle dkk., 1992). Gambar II.4. Normalisasi jumlah ikatan hidrogen pada sejumlah protein yang berasal dari mesofil, termofil dan hipertermofil (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000). Selama hampir 40 tahun, ikatan hidrogen dipercaya hanya memberikan sumbangan kecil terhadap stabilitas protein. Penelitian yang dilakukan terhadap RNase T1 (Shirley dkk., 1992) menunjukkan bahwa ikatan hidrogen memainkan 16

11 peran yang setara dengan interaksi hidrofob terhadap stabilitas protein. RNase T1 memiliki 86 ikatan hidrogen intramolekul dengan panjang rata-rata setiap ikatan sebesar 2.95Å. Melalui studi unfolding dan mutagenesis, keseluruhan ikatan hidrogen yang terdapat pada RNase T1 berkontribusi sebesar 110 kkal/mol atau rata-rata sebesar 1.3 ± 0.6 kkal/mol. Suatu nilai yang setara dengan kontribusi interaksi hidrofob. Namun demikian, studi komparasi yang telah dilakukan terhadap protein yang berasal dari mikroorganisme mesofil, termofil dan hipertermofil (Gambar II.4) mengindikasikan bahwa belum adanya keterkaitan antara jumlah ikatan hidrogen terhadap stabilitas termal protein (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000). II.1.7 Interaksi Antardomain Studi terhadap enzim dan protein yang berasal dari hipertermofil mengindikasikan bahwa pada umumnya enzim hipertermofil memiliki subunit yang lebih banyak daripada padanan mesofilnya (Tabel II.2). Hal ini menyebabkan interaksi antardomain atau intersubunit memainkan peran cukup signifikan terhadap stabilitas termal enzim-enzim tersebut (Vieille dan Zeikus, 2001). Interaksi antardomain atau intersubunit dapat berupa interaksi elektrostatik, interaksi hidrofobik maupun interaksi-interaksi lain yang sudah disebutkan di atas. Jaringan interaksi elektrostatik intersubunit dijumpai pada keseluruhan enzim GDH yang berasal dari hipertermofil P.furiosus, P.kodakaraensis dan T.litoralis (Rahman dkk., 1998; Vetriani dkk., 1998). Pentingnya interaksi subunit tersebut dievaluasi melalui studi mutagenesis terarah (Rahman dkk., 1998; Lebbink dkk., 1999). Studi mutagenesis yang sama dilakukan terhadap gliseragdehid 3-fosfat dehidrogenase (GADPH) dari B.subtilis yang didasarkan atas urutan asam amino yang dimiliki oleh GADPH termostabil dari B.stearothermophilus. Mutasi Gly281Arg pada enzim GADPH dari B.subtilis menyebabkan stabilitas termal enzim meningkat karena terbentuknya interaksi elektrostatik intersubunit sebagaimana yang dimiliki oleh padanan termofilnya (Mrabet dkk., 1992). 17

12 Studi komparasi terhadap 3-isopropilmalat dehidrogenase dari E.coli dan T.thermophilus mengindikasikan bahwa interaksi hidrofobik pada antarmuka subunit enzim termofil lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya (Kirino dkk., 1994; Moriyama dkk., 1995) sehingga menyebabkan dimer enzim termofil lebih tahan terhadap denaturasi. Studi mutasi yang dilakukan terhadap faktor elongasi EF-Ts dari T.thermofilus mengindikasikan bahwa inti hidrofob (hydrophobic core) pada antarmuka subunit berperan dalam menstabilkan dimer enzim sehingga stabilitas termal enzim meningkat (Nesper dkk., 1998). Tabel II.2. Komparasi jumlah subunit pada enzim hipertermofil dengan mesofil (diambil dari : Vieille dan Zeikus, 2001) Jumlah subunit Sumber Enzim Hipertermofil enzim Pyrococcus woesei PGK 2 Methanothermus fervidus PGK 2 Pyrococcus furiosus β-glucosidase 4 S.solfataricus β-glucosidase 4 Thermotoga maritima β-glucosidase 2 T. maritima Anthranilate synthase 2 T. maritima Dihydrofolate reductase 1 atau 2 T. maritima Phosphoribosyl-anthranilate isomerase 2 S. solfataricus β-glycosidase 4 Thermosphaera aggregans β-glycosidase 4 Methanopyrus kandleri MkCH 3 Mesofil enzim II.1.8 Parameter Ekstrinsik Sebagian besar sifat stabilitas termal enzim atau protein termofil dan hipertermofil sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik / internal enzim itu sendiri. Namun stabilitas termal beberapa protein hipertermofil intrasel dipengaruhi oleh faktor lingkungan intrasel tersebut seperti konsentrasi garam, koenzim, substrat, keadaan lingkungan, interaksi dengan medium maupun modifikasi pascatranslasi seperti glikosilasi (Jaenicke dan Zàvodszky, 1990; Vieille dan Zeikus, 2001; Trivedi, 2006). 18

13 II Stabilisasi oleh garam Dua mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan pengaruh garam terhadap stabilitas termal enzim atau protein, yaitu (i) melalui pengaruh khusus (specific effect) dimana ion logam dari garam akan berinteraksi dengan protein sehingga mempengaruhi stabilitas konformasi protein tersebut dan (ii) melalui pengaruh umum (general effect) yang terkait dengan aktivitas pelarut (air). Enzim xylosa isomerase, misalnya, mengikat dua ion logam (Co 2+ atau Mg 2+ atau Mn 2+ ). Satu kation dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas sedangkan kation lainnya untuk mempertahankan konformasi struktur (Marg dan Clark, 1990; Whitlow dkk., 1990). Studi terhadap xylosa isomerase B.licheniformis menunjukkan bahwa pengikatan terhadap ion logam (Tabel II.3) berkontribusi meningkatkan stabilitas termal enzim (Vieille dan Zeikus, 2001). Feredoxin dari Sulfolobus sp. memiliki 40 residu tambahan pada ujung-n yang membentuk link dengan inti (core) protein yaitu sisi pengikatan Zn sehingga ion Zn 2+ akan terikat oleh 3 residu His yang terdapat pada ujung-n tambahan dan 1 residu Asp yang terdapat pada inti protein. Struktur tambahan ujung-n ini tidak dijumpai pada protein yang sama dari eubakteria, namun hampir dimiliki oleh semua mikroorganisme termoasidofil (Fujii dkk., 1997). Tabel II.3. Pengaruh garam klorida terhadap kinetika dan stabilitas termal xylosa isomerase B.licheniformis. (Vieille dan Zeikus, 2001) Logam - t½ (menit) 24 (40 o C) E a inaktivasi (kkal/mol) 92 T m ( o C) 50.3 Mg (56 o C) Co (70.5 o C) Mn (71.5 o C) Sejumlah peneliti mempelajari pengaruh garam terhadap aktivitas dan stabilitas termal 5 metanogenik enzim yang berasal dari Methanopyrus kandleri, 19

14 salah satunya adalah formiltransferase (MkFT). Hasilnya mengindikasikan bahwa ion-ion logam pada garam terutama K + dan NH + 4 menstabilkan enzim baik secara kinetik maupun termal (Breitung dkk., 1992; Ermler dkk., 1997). Kajian struktur terhadap MkFT menunjukkan bahwa permukaan tetramer enzim didominasi oleh muatan negatif (48 residu asam versus 24 residu basa). Dari ke 48 residu asam tersebut, 33 di antaranya adalah Glu dan sisanya adalah Asp. Residu-residu asam di atas dapat membentuk ikatan hidrogen tunggal maupun jaringan ikatan hidrogen dengan molekul air. Peningkatan konsentrasi NaCl di dalam larutan enzim ternyata meningkatkan stabilitas termal MkFT. Hal ini diduga karena ionion logam pada garam dapat menstabilkan muatan pada permukaan protein yang didominasi oleh muatan negatif sebagaimana tersebut di atas (Ermler dkk., 1997). II Stabilisasi oleh substrat Beberapa enzim distabilkan oleh substrat ataupun molekul efektor, terutama menstabilkan sisi aktif enzim tersebut (Fabry dan Hensel, 1987; Koch dkk., 1997; Andreotti dkk., 1995; Klingeberg dkk., 1995). Glutamat sintetase dari B.stearothermophilus distabilkan dengan kehadiran ammonia, glutamat dan adenosin trifosfat (ATP) pada temperatur 65 o C, temperatur pada keadaan normal dimana enzim ini menjadi tidak aktif. Dihidrofolat reduktase T.maritima dengan kehadiran substrat NADPH menunjukkan peningkatan stabilitas termal 6x lipat dibandingkan tanpa substrat (Wilquet dkk., 1998). II.2 Simulasi Dinamika Molekul Biomolekul seperti halnya protein dan asam nukleat merupakan sistem yang dinamis. Pergerakan biomolekul tergantung pada orde waktu yang diamati, seperti pergerakan lokal (local motion) meliputi fluktuasi atom, pergerakan rantai samping dan loop dengan deviasi jarak antara 0.01 hingga 5 Å dan berlangsung pada orde hingga 10-1 detik; pergerakan tulang punggung yang relatif kaku (rigid body motion) meliputi pergerakan untaian α-helix dan pergerakan domain maupun subunitnya terjadi pada rentang waktu 10-9 hingga 1 detik dengan deviasi pergerakan sebesar 1 hingga 10 Å dan pergerakan skala besar (large-scale motion) 20

15 dengan deviasi jarak di atas 5 Å dan berlangsung pada skala waktu 10-7 hingga 10 4 detik seperti transisi helix-coil, proses disosiasi dan asosiasi serta pelipatan dan pembukaan lipatan biomolekul (folding and unfolding). Simulasi dinamika molekul merupakan salah satu bagian dari pendekatan komputasi dimana atom dan molekul dibiarkan saling berinteraksi selama periode waktu tertentu sehingga tingkah laku sistem dapat teramati. Teknik ini secara meluas digunakan dalam biologi struktur karena mampu memberikan informasi detail mengenai fluktuasi dan perubahan konformasi biomolekul sampai ke tingkat atom. Teknik ini dikembangkan untuk mempelajari stabilitas protein, perubahan konformasi, pelipatan protein, pengangkutan ion pada sistem biologi, evaluasi struktur hasil kristalografi sinar-x maupun NMR hingga perancangan obat (drug desain) sehingga teknik ini berperan sebagai jembatan antara eksperimen dengan teori (Roux dkk., 2004). Metode dinamika molekul pertama kali diperkenalkan oleh Alder dan Wainwright pada akhir tahun Pada awalnya digunakan untuk mempelajari permukaan keras (hard spheres) (Alder dan Wainwright, 1957). Kemudian metode ini digunakan untuk mempelajari argon cair dengan menggunakan potensial nyata (realistic potential) (Rahman, 1964). Sedangkan simulasi dinamika molekul terhadap sistem nyata baru dilakukan pada tahun 1974 (Rahman dan Stilinger, 1974) dan pada tahun 1977 teknik ini pertama kali digunakan untuk kajian biomolekul dengan menggunakan bovine pancreatic trypsin inhibitor (BPTI) (McCammon dkk., 1977). Secara umum, simulasi dinamika molekul didasarkan atas integrasi numerik terhadap persamaan Newton tentang gerak (F = ma). Gaya interaksi antar atom dalam simulasi dinamika molekul hanya tergantung pada posisi atom dan tidak bergantung kepada kecepatannya yang diekspresikan sebagai gradien dari energi potensial. 21

16 II.2.1 Gaya Intramolekul Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa stabilitas protein dipengaruhi oleh berbagai tipe interaksi intramolekul antar atom penyusunnya. Secara umum, interaksi intramolekul diekspresikan sebagai gradien energi potensial (notasi V) yang bekerja pada atom-atom dalam struktur ruang 3D (notasi R) (Becker dkk., 2001). Dua kelompok interaksi dapat memberikan pengaruh terhadap energi potensial molekul yaitu interaksi internal dan eksternal (Persamaan 1 dan Gambar II.5). Interaksi internal didefinisikan sebagai interaksi kovalen antar atom yang selanjutnya disebut sebagai interaksi ikatan (bonded interaction), meliputi uluran ikatan, sudut ikatan dan sudut dihedral (Persamaan 2), sedangkan interaksi eksternal merepresentasikan interaksi non-kovalen atau non-ikatan (non-bonded interaction) (Persamaan 3). Interaksi non-ikatan merepresentasikan interaksi fleksibel di antara pasangan atom/partikel. Dua jenis interaksi non-ikatan paling umum yang dapat mengakibatkan perubahan energi potensial adalah interaksi elektrostatik (potensial Coloumb) dan interaksi van der Waals (potensial Lennard- Jones). dengan nilai b adalah panjang ikatan, θ adalah sudut valensi, χ merupakan sudut dihedral atau sudut torsi sedangkan r ij merepresentasikan jarak antara atom i dan atom j. 22

17 Gambar II.5. Model hipotetik untuk mengilustrasikan energi potensial pada persamaan di atas. Molekul A terdiri atas atom 1, 2, 3 dan 4 sedangkan molekul B terdiri atas atom 5. Interaksi internal pada atom A meliputi uluran ikatan (panjang ikatan b) antara atom 1 dengan 2, atom 2 dengan 3 dan atom 3 dengan 4 ; sudut ikatan (θ) yang melibatkan atom dan atom ; sudut dihedral atau torsi (χ) melibatkan atom Interaksi ikatan seringkali disebut sebagai interaksi 1,2 ; sudut ikatan disebut sebagai interaksi 1,3 ; dan sudut dihedral disebut sebagai interaksi 1,4. Sedangkan molekul B akan berinteraksi eksternal dengan ke empat atom A didasarkan atas jarak yang terbentuk antara kedua molekul A dan B tersebut. Interaksi eksternal juga dapat terjadi di antara ke empat atom A (Becker dkk., 2001) II Uluran Ikatan (Bond Streching) Gambar II.6. Uluran ikatan antara atom i dan j Uluran ikatan didefinisikan sebagai interaksi kovalen antara dua atom pada jarak kesetimbangan tertentu yang dapat digambarkan sebagai hubungan lurus antara atom i dan j dengan b o adalah panjang ikatan pada nilai kesetimbangan, b panjang ikatan pada waktu tertentu dan K b merupakan konstanta (Gambar II.6). Persamaan 23

18 energi potensial ikatan sebagaimana tertulis pada Persamaan (2) yang diturunkan dari persamaan gaya harmonik (hukum Hooke) yaitu : F dv V = k. l = Fdl = k. ldl = = dv = kldl k( l l ) 0) = Kb( b b0 (4) Uluran ikatan dapat berubah setiap saat yaitu dapat memanjang ataupun memendek. Ketika uluran tersebut menjauhi nilai kesetimbangan (memanjang atau memendek) maka nilai energi potensial ikatannya akan meningkat. Sedangkan energi potensial terendah akan dicapai pada nilai jarak kesetimbangan. Nilai konstanta K b merepresentasikan jenis interaksi ikatan, semakin besar nilai tersebut maka energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan juga semakin besar, demikian sebaliknya. Jenis ikatan C-C misalnya memiliki nilai K b sebesar 450 kkal/mol.å 2, sedangkan nilai K b ikatan S-S sebesar 500 kkal/mol.å 2 (Brooks dkk., 1983). II Sudut Ikatan Interaksi sudut ikatan merupakan interaksi antara 3 atom i, j dan k (Becker dkk., 2001) dimana setiap atom tersebut terhubung melalui ikatan kovalen (Gambar II.7). Seperti halnya uluran ikatan, sudut ikatan dapat memanjang ataupun memendek dengan energi potensial terendah terdapat pada suatu nilai kesetimbangan. Persamaan energi potensial sudut ikatan (Persamaan 2) diturunkan dari gaya harmonik (hukum Hooke) (Persamaan 5) dengan nilai θ merupakan besar sudut pada setiap saat, θ 0 adalah besar sudut pada posisi kesetimbangan dan nilai K θ merupakan suatu tetapan. Nilai θ 0 dan K θ tergantung pada jenis atom yang menyusun sudut ikatan. 24

19 Gambar II.7. Interaksi sudut ikatan yang dibentuk antara atom i, j dan k F = k. θ (5) dv = Fdθ = k. θdθ V = = dv θ = θ kθdθ θ θ k( ) 0) = Kθ ( 0 II Sudut Dihedral Interaksi sudut dihedral seringkali disebut juga sebagai rotasi ikatan (bond rotation) yang terjadi akibat interaksi 4 atom yaitu i, j, k dan l. Potensial interaksi sudut dihedral dituliskan pada persamaan (2) dengan nilai χ merupakan sudut dihedral, K χ adalah tetapan sudut dihedral, n merepresentasikan periodesitas atau multiplisitas dan σ menunjukkan fasa. Nilai tetapan K χ menunjukkan besarnya halangan untuk melakukan rotasi, K χ ikatan rangkap akan memiliki nilai yang lebih besar daripada ikatan tunggal. Periodesitas n mengindikasikan jumlah siklus rotasi dihedral per 360 o. Untuk ikatan sp 3 -sp 3 pada etana misalnya, nilai n adalah 3 sedangkan ikatan sp 2 -sp 2 pada ikatan C=C akan memiliki nilai n sebesar 2 (Becker dkk., 2001). Sedangkan nilai fasa σ menunjukkan kapan suatu sudut dihedral mengalami nilai maksimum dan minimum. 25

20 II Interaksi van der Waals (Potensial Lennard-Jones) Interaksi van der Waals dapat terjadi antara dipol-dipol parsial yang terbentuk akibat awan elektron yang tersebar acak di sekitar atom menyebabkan distribusi muatan tidak merata (Gambar II.8). Ketika dipol-dipol parsial tersebut saling mendekat maka akan terjadi tumpangsuh orbital elektron terakhir menyebabkan gaya tolak antar atom menjadi dominan. Pengaruh tolakan ini merupakan fungsi dari jarak antara kedua atom tersebut (r) dengan nilai sebanding 1/r 12. Sebaliknya, ketika dipol-dipol parsial tersebut menjauh, maka gaya tarik antar atom menjadi dominan. Gaya tarik ini juga merupakan fungsi dari jarak antara kedua atom yang nilainya sebanding dengan 1/r 6. Karenanya interaksi van der Waals sering dinyatakan sebagai potensial Lennard-Jones (LJ) Nilai energi ini akan mencapai suatu nilai maksimal pada jarak tertentu. Persamaan LJ 6-12 dituliskan pada persamaan (3) dengan r ij merepresentasikan jarak antara atom i dan atom j, ε ij merupakan suatu konstanta yang menggambarkan kedalaman sumur potensial (besarnya interaksi dispersi antara atom i dan j), R minij merupakan jari-jari atom van der Waals. Gambar II.8. Salah satu jeni interaksi van der Waals dimana suatu molekul menginduksi pembentukan dipol molekul lain (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996). II Interaksi Elektrostatik (Potensial Couloumb) Interaksi elektrostatik terjadi akibat adanya distribusi muatan yang tidak merata pada suatu atom (Gambar II.9) mengakibatkan dapat terjadinya tarik menarik antar atom ataupun saling tolak menolak. Besarnya energi interaksi ini dinyatakan oleh persamaan potensial Coulomb (Persamaan 3) dengan r ij merupakan jarak 26

21 antara atom i dan j, q i dan q j merupakan muatan partikel i dan j dan ε merupakan kontansta dielektrik media. Gambar II.9. Interaksi elektrostatik antara partikel i dan j (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996). II.2.2 Parameter Simulasi Dalam suatu sistem simulasi diasumsikan bahwa sistem awal didefinisikan sebagai S(t 0 ) dengan posisi setiap atom adalah r dan kecepatan v pada waktu t 0 tersebut. Untuk setiap keadaan sistem S(t 0 + t), S(t t),..., S(t 0 + n t) dilakukan perhitungan gaya total setiap atom i (F i (t 0 + n t)) berdasarkan hukum Newton I yang merupakan penjumlahan interaksi suatu atom dengan atom lainnya. Setiap gaya atom i (F i (t 0 + n t)) kemudian diintegralkan sehingga diperoleh nilai kecepatan v i yang baru v i (t 0 + n t). Dengan menggunakan nilai kecepatan yang baru maka posisi atom dapat ditentukan r i (t 0 + (n+1) t). Pemilihan tahapan waktu (timestep) t pada proses simulasi didasarkan atas pertimbangan akurasi dan ekonomis dimana nilai t dapat mempengaruhi kesalahan (error) yang terkait dengan algoritma integrasi di atas. Nilai t besar menyebabkan proses simulasi berjalan lebih cepat dengan tingkat kesalahan lebih besar, demikian sebaliknya nilai t kecil akan mengurangi tingkat kesalahan perhitungan integrasi namun menyebabkan simulasi berjalan lebih lambat. Terdapat banyak interaksi yang harus di evaluasi pada saat dilakukan perhitungan gaya total setiap atom i (F i (t 0 + n t)). Pada prinsipnya, interaksi non-ikatan terjadi untuk setiap pasangan atom. Waktu simulasi yang dibutuhkan untuk menghitung interaksi non-ikatan akan sangat besar karenanya dilakukan efisiensi perhitungan dengan menggunakan parameter jari-jari cutoff (radius cutoff) dan daftar tetangga 27

22 (neighbour list). Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa kontribusi terbesar terhadap gaya total atom i berasal dari atom tetangganya. Jari-jari cutoff R co merupakan suatu nilai batas bagi partikel agar masuk ke dalam perhitungan gaya total atom i (F i (t 0 + n t)) (Gambar II.10). Ketika cutoff digunakan maka setiap pasangan atom harus diamati seberapa jauh terpisah dari R co. Hal ini dinamakan sebagai daftar tetangga yaitu suatu daftar yang memuat informasi semua atom dalam lingkup cutoff dan juga atom-atom yang sedikit lebih jauh dari cutoff yang akan diperbaharui setiap tahap selanjutnya. Dengan metode ini, pencarian pasangan-pasangan atom tidak dilakukan setiap tahapan waktu t sehingga mengurangi beban perhitungan. Gambar II.10. Representasi jari-jari cutoff R co suatu sistem dalam simulasi dinamika molekul (Modifikasi dari Becker dkk., 2001). II Sistem Protein-Pelarut Proses solvasi / pelarutan biomolekul yang akan disimulasikan bertujuan agar proses simulasi mendekati sistem nyata. Dua jenis sistem solvasi yang biasa dipergunakan yaitu implisit dan eksplisit (Becker dkk., 2001). Pada sistem solvasi implisit (Onufriev dkk., 2000; Onufriev dkk., 2004), molekul pelarut hanya berperan sebagai medium dan tidak terlalu terlibat dalam suatu proses simulasi. Pada sistem ini pengaruh pelarut dimodelkan dengan menggunakan pelarut kontinyu (continum solvent model) dimana pelarut diganti dengan suatu tetapan 28

23 dielektrik kontinyu yang dirumuskan sebagai Persamaan Generalized Born (GB) yaitu : N N 1 qq i j 1 1 Gelec = 1 1 ε r 2 ε i = 1j = i + 1 ij i = 1 N N 1 1 qq i j = 1 2 ε f r, a i = 1i = 1 ( ij ij ) N 2 i q a i (6) dengan r ij adalah jarak antara partikel i dan j, q i dan q j merupakan muatan partikel tersebut dan f(r ij,a ij ) merupakan suatu fungsi yang bergantung pada jarak antar partikel dan jari-jari Born a ij. Sedangkan pada sistem solvasi eksplisit, molekul protein secara nyata dikelilingi oleh molekul air. Untuk mensimulasikan keadaan tersebut, proses simulasi melibatkan jumlah atom yang tidak sedikit setidaknya sekitar atom bahkan lebih. Sistem tunggal dengan partikel atom sebanyak ini akan merasakan pengaruh lingkungan terbatas. Karenanya, hampir keseluruhan simulasi dilakukan dengan menerapkan kondisi batasan berkala (Periodic Boundary Condition/PBC) (Leeuw dkk., 1980a). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, proses simulasi dilakukan dalam suatu kotak komputasi, dimana kotak tersebut secara virtual akan dikelilingi oleh kotak-kotak replika dengan ukuran yang sama (Gambar II.11). Hanya satu kotak saja yaitu kotak pusat (ditandai dengan garis biru pada Gambar II.11) yang akan disimulasikan karena kotak-kotak yang lain akan memiliki tingkah laku yang sama. Dengan diterapkannya kondisi batasan berkala, partikel-partikel dapat secara bebas berpindah dari satu kotak ke kotak lainnya (Leeuw dkk., 1980b). Dalam suatu simulasi dengan kondisi batasan berkala setiap partikel dipengaruhi oleh partikel-partikel lain yang terdapat dalam kotak yang sama dan juga partikel-partikel lain disekitar kotak utama tersebut. Bentuk kotak komputasi yang dapat digunakan adalah sedemikian rupa sehingga kotak tersebut dapat ditumpuk di berbagai sisi. Untuk alasan efisiensi hanya kotak cembung yang digunakan. Dalam ruang 3D terdapat lima tipe kotak yang memenuhi sifat- 29

24 sifat di atas yaitu : kotak triklinik, prisma segi enam, 2 tipe dodekahedron dan oktahedron terpotong (truncated). Gambar II.11. Kondisi batasan berkala dalam penggambaran 2 dimensi (2D) pada proses simulasi (Modifikasi dari Becker dkk., 2001). II Parameter Temperatur dan Tekanan Selain mengatur parameter solvasi, ditentukan pula parameter temperatur dan tekanan ke dalam sistem yang akan disimulasikan sehingga mendekati keadaan nyata. Sebagian besar pengukuran eksperimen dilakukan pada tekanan maupun temperatur tetap, sehingga simulasi yang dilakukan pada isoterm-isobar akan lebih relevan dengan data eksperimen. Kondisi ini disyaratkan dengan mempertahankan secara tetap hubungan antara jumlah atom/partikel N, tekanan P dan temperatur T; disebut sebagai NPT ansambel (ensemble). Sedangkan kondisi lainnya dimana volume sistem dibuat tetap demikian juga dengan jumlah atom N, dan temperatur T disebut sebagai NVT atau kanonikal ansambel. II Kontrol Temperatur dengan Metode Berendsen Pada SDM, nilai temperatur dapat diketahui dari kecepatan pergerakan partikel atom-atom di dalam sistem, sehingga untuk mengatur temperatur sistem maka kecepatan pergerakan atom harus diatur dan dibatasi pada nilai tertentu. Untuk 30

25 mencapai kondisi tersebut, salah satu persamaan yang dapat digunakan untuk mengatur temperatur adalah metode Berendsen (Berendsen dkk., 1984) dengan cara memasang termostat pada sistem yang diset pada temperatur yang diinginkan. Temperatur dijaga dengan mengalikan kecepatan dengan suatu faktor λ sehingga sistem berfluktuasi pada T yang diinginkan. Besaran t merupakan tahapan waktu sedangkan parameter kopling τ merupakan besaran yang menentukan seberapa kuat perbedaan antara temperatur termostat dan sistem dikendalikan. Nilai τ besar menunjukkan kopling lemah sedangkan τ kecil mengindikasikan kopling kuat (Persamaan 7). t Tbath λ = 1+ τ 1 T ( t) 1 2 (7) II Kontrol Temperatur dengan Metode Langevin Dynamics Persamaan lain yang dapat digunakan untuk mengontrol temperatur sistem adalah metode dinamika Langevin (Langevin dynamics) (Barth dan Schlick, 1998). Metode ini didasarkan atas fenomena bahwa atom-atom pelarut dan zat terlarut yang saling bergesekan dapat menyebabkan pergerakan acak yang dapat mengganggu sistem. Karenanya persamaan Langevin (Persamaan 8) merupakan koreksian atas hukum Newton kedua dengan adanya penambahan dua besaran gaya yaitu gaya gesek dengan koefisien gesek γ i v i dan gaya acak R i yang merupakan gambaran sifat acak dari pergerakan molekul pelarut pada temperatur tertentu. Hubungan antara gaya gesek, gaya acak dan gaya internal partikel i dapat dinyatakan sebagai berikut : F γ ν + R = m a (8) i i i i ( t) i i II Kotrol Temperatur dengan Metode Noose-Hover 31

26 Mode Noose-Hover didasarkan atas fenomena bahwa kenaikan temperatur sistem pada tekanan tetap akan menyebabkan sistem mengembang karenanya metode ini disebut juga sebagai metode extended system (Ziff, 1998). Untuk mengurangi pengaruh eksternal di luar sistem, maka sistem ditempatkan dalam suatu reservoir panas (heat reservoir) yang diwakili sebagai derajat kebebasan tambahan s. Reservoir panas tersebut akan mengatur temperatur T sistem sehingga nilainya berfluktuasi disekitaran nilai target T tertentu. Adanya interaksi termal antara reservoir dan sistem menghasilkan pertukaran energi kinetik di antara keduanya. Sehingga reservoir akan memiliki energi potensial (Persamaan 9) dan juga energi kinetik (Persamaan 10). (f + 1)kBT ln s (9) K = ½ Q (ds/dt) 2 (10) dengan f menyatakan jumlah derajat kebebasan dalam sistem, T adalah temperatur yang diinginkan dan Q merupakan suatu parameter dengan dimensi energi x waktu 2. Parameter Q menentukan besarnya kopling antara sistem dengan reservoir sehingga mempengaruhi fluktuasi temperatur dan aliran energi antara sistem dan reservoir. II Kontrol Tekanan dengan Metode Berendsen Pengaturan tekanan dilakukan pada sistem yang akan disimulasikan dengan tujuan untuk menyamakan kerapatan molekul disemua bagian sistem khususnya simulasi dengan kondisi PBC. Metode Berendsen disebut juga sebagai weak coupling, dimana tekanan sistem dikendalikan dengan memasang pressure bath yang identik dengan termostat (Berendsen dkk., 1984). Pada metode ini tekanan diatur dengan faktor λ (Persamaan 11). t λ = 1 κ ( P P ) τ P bath (11) 32

27 II Minimisasi Koordinat awal suatu biomolekul yang akan dipelajari umumnya diperoleh dari hasil kristalografi sinar-x ataupun pemodelan struktur 3D, yang jarak antar satu atom dengan yang lainnya terkadang sangat dekat ataupun sangat jauh dari posisi kesetimbangan. Ketidaksesuaian geometri ini menyebabkan terjadinya interaksi yang tidak disukai (bad van der Waals contact) maupun efek-efek sterik berenergi tinggi yang nantinya mengakibatkan sistem yang disimulasikan menjadi tidak stabil. Karenanya setelah parameter simulasi sistem disesuaikan sehingga mendekati keadaan nyata, dilakukan proses minimisasi sehingga posisi geometri atom yang tidak sesuai dapat dikembalikan sedemikian rupa menghasilkan energi potensial terendah bagi sistem. Gambar II.12. Permukaan energi potensial suatu protein (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996). Berdasarkan tinjauan entropi (Gambar II.12), energi potensial permukaan protein memiliki banyak sekali daerah minimum lokal (local minima), sehingga proses minimisasi energi untuk mencari minimum global (global minima) merupakan suatu proses yang tidak sederhana. Beberapa algoritma minimisasi telah 33

28 dikembangkan untuk mencari posisi geometri atom yang paling sesuai dengan tingkat energi terendah. Namun karena proses melokalisasi minimum global merupakan proses yang rumit sehingga pengembangan algoritma minimisasi hingga saat ini hanya diarahkan pada pencarian minimum lokal terdekat. Secara umum, terdapat 2 jenis algoritma minimisasi yaitu (i) yang tidak melibatkan proses derivatif disebut sebagai algoritma orde ke 0 dan (ii) yang melibatkan proses derivatif, terdiri atas algoritma orde pertama seperti metode steepest descent (SD) dan conjugate gradient (CG) dan algoritma orde kedua misalnya metode Newton Raphson. Adapun algoritma minimisasi yang paling banyak digunakan dalam simulasi biomolekul adalah metode SD dan CG. II Metode Steepest Descent (SD) Metode ini merupakan algoritma minimisasi yang paling sederhana (Deift dan Zhou, 1993) yaitu dengan menggunakan turunan pertama untuk mencari minimum lokal. Algoritma ini seringkali disebut sebagai perkiraan titik-pelana (saddle-point approximation) dan memanfaatkan informasi tentang kemiringan tetapi tidak bentuk kurva/kontur energi permukaan protein. Dalam melakukan minimisasi, metode ini melakukan perulangan (iterasi) dimana posisi atom yang baru pada langkah ke k (R k ) merupakan penjumlahan dari posisi sebelumnya R k-1 dengan ukuran langkah yang diambil dan arah dari langkah ke k tersebut (I k S k ). Arah dari setiap langkah ke k yang dipilih (S k ) merupakan gradien dari energi potensial (g k ) namun dengan nilai berlawanan yang dapat dituliskan sebagai berikut : S k = - g k (12) Apabila konformasi / posisi geometri atom yang baru memiliki energi yang lebih rendah dari sebelumnya, maka diasumsikan pendekatan arah langkah S k yang dipilih adalah benar dan ukuran langkah I k kemudian diperbesar (biasanya 1.2 kalinya) untuk meningkatkan efisiensi algoritma. Sebaliknya, bila konformasi terbaru memiliki energi yang lebih tinggi, mengindikasikan arah langkah S k yang dipilih menjauhi nilai minimum karenanya ukuran langkah I k tersebut kemudian 34

29 diperkecil (umumnya 0.5 kalinya) sehingga algoritma minimisasi dapat diperbaiki. Karena metode ini menggunakan ukuran langkah I k yang terbatas (finite) maka proses pencarian minimum lokal umumnya tidak pernah mendekati nilai sebenarnya namun hanya berada pada batas kisaran nilai minimum saja. Namun demikian algoritma SD ini cocok untuk mengendurkan konfigurasi awal dengan banyak kontak buruk (bad contact) yg berenergi tinggi II Metode Conjugate Gradient (CG) Sama halnya dengan SD, algoritma CG juga menggunakan turunan pertama untuk mencari minimum lokal. Langkah awal CG sama seperti SD (Persamaan 12) namun algoritma CG memperhitungkan langkah sebelumnya untuk melangkah pada tahap berikutnya (Gambar II.13) karenanya metode ini dapat mengatasi kekurangan metode SD dalam mengenali informasi bentuk kurva energi potensial permukaan (Becker dkk., 2001). Untuk setiap iterasi berikutnya (k > 1), arah langkah S k diberi bobot rata-rata b k terhadap arah langkah sebelumnya S k-1 (Persamaan 13). S k = - g k + b k S k-1 (13) Bobot rata-rata b k merupakan rasio kuadrat antara gradien saat ini g k dengan gradien sebelumnya g k-1 yang dinotasikan sebagai berikut : g. g bk = g. g k k k 1 k 1 (14) Dengan demikian metode CG lebih efisien dan lebih cepat mencapai minimum lokal dibandingkan metode SD (Gambar II.13) II Ekuilibrasi Ekulibrasi merupakan proses pemerataan kerapatan posisi atom di semua bagian sistem sekaligus memberikan kondisi rileks pada molekul akibat pengekangan ketika sistem dipanaskan. Tahapan ini umum dilakukan sebelum proses simulasi dinamika molekul dilakukan pada temperatur tertentu. 35

30 Gambar II.13. Representasi perbedaan algoritma minimisasi antara metode SD dan CG. Berdasarkan algoritma yang dikembangkan dalam mencari minimum lokal maka metode SD akan memilih jalur A-B-C atau A-D-E yang dapat mengakibatkan konformasi yang baru memiliki energi potensial yang lebih tinggi dibandingkan konformasi sebelumnya. Sedangkan jalur yang dipilih oleh metode CG dalam menentukan minimum lokal adalah A-B-O (Modifikasi dari Becker dkk., 2001). II.2.3 Simulasi Dinamika Molekul Untuk Mempelajari Stabilitas Protein Penggunaan SDM pertama kali untuk memberikan gambaran pergerakan dinamis protein dilakukan oleh McCammon dkk. (1977) terhadap BPTI. Namun, teknik SDM baru digunakan secara meluas dalam dua dekade terakhir untuk mempelajari keterkaitan akan struktur fungsi protein dengan stabilitas termalnya (Bartolucci dkk., 2003) karena metode ini dapat memberikan gambaran hingga ke tingkat atom terhadap pergerakan dinamik protein (Pikkemaat dkk., 2002). Wampler dkk. (1993) menggunakan pendekatan ini untuk mempelajari stabilitas termal rubredoksin (Rd) dengan melakukan komparasi antara hipertermostabil Rd dari P.furiosus dengan pedanan mesofilnya. Hasilnya menyarankan bahwa dinamika 36

31 mesofilik dan hipertermofilik Rd sangat berbeda dan stabilitas termal Rd hipertermofil diduga karena kekompakkan (compactness) pada penataan konformasi strukturnya. Stabilitas termal dan mekanisme unfolding dihidrofolat reduktase dari E.coli dipelajari dengan melakukan simulasi pada temperatur tinggi (Sham dkk., 2002). Studi dengan pendekatan yang sama dilakukan pula terhadap faktor elongasi Tu dari mesofil dan termofil (Melchionna dkk., 2006) yang memiliki penataan molekul yang sama. Hasil SDM menyarankan bahwa faktor elongasi Tu dari termofil memiliki ikatan hidrogen intramolekul lebih banyak serta interaksi elektrostatik lebih kuat daripada padanan mesofilnya. Pentingnya interaksi elektrostatik terhadap stabilitas β-hairpin pada domain B1 protein G turut dipelajari melalui pendekatan SDM (Tsai dan Levitt, 2002). Selain itu, SDM digunakan secara meluas untuk menentukan residu-residu potensial untuk dimutasi sehingga stabilitas termal protein dapat ditingkatkan. Dengan demikian kesalahan rekayasa protein akibat mutasi acak dapat diminimalkan (Pikkemaat dkk., 2002). Termostabilitas glukoamilase dari A.awamori dapat ditingkatkan dengan menambahkan ikatan disulfida pada daerah flexibel enzim maupun dengan mengganti residu Gly Ala pada daerah hidrofobik enzim tersebut. Rekayasa enzim ini dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh dari simulasi dinamika molekul menggunakan software INSIGHT II (Liu dan Wang, 2003). Perangkat lunak Amber versi 6.0 digunakan untuk merekayasa termostabilitas thioredoksin dengan melakukan mutasi titik terhadap residu asam amino bermuatan yang akan menstabilkan interaksi elektrostatik jarak jauh pada permukaan protein (Bartolucci dkk., 2003). II.3 DNA Polimerase Transmisi materi genetik (DNA) dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan suatu proses kompleks yang membutuhkan keakuratan tinggi dalam upaya sel atau organisme untuk mempertahankan hidup. Keluarga DNA Pol merupakan salah satu enzim penting yang terlibat dalam proses replikasi genom, rekombinasi maupun perbaikan DNA (Albà, 2001) dengan tingkat fidelitas yang tinggi dimana rata-rata frekuensi kesalahan sebesar 10-5 per nukleotida (Kunkel 37

32 dan Loeb, 1981; Kunkel dkk., 1994; Echols dan Goodman, 2003). Gen pengkode enzim DNA Pol merupakan suatu housekeeping gene yang aktivitasnya diatur sesuai dengan siklus hidup suatu sel ataupun melalui respon terhadap kondisi lingkungan yang beragam yang akhirnya menyebabkan suatu sel dapat memiliki beragam tipe DNA Pol (Friedberg dkk., 2000). DNA Pol E.coli merupakan enzim Pol yang pertama kali ditemukan (Kornberg dkk., 1955) yang kemudian terkarakterisasi ke dalam keluarga Pol I serta paling banyak dipelajari hingga saat ini sebagai prototipe untuk reaksi polimerisasi di dalam sel (in vivo) (Joyce dan Steitz, 1994; Patel dkk., 2001). II.3.1 Klasifikasi DNA Polimerase Klasifikasi enzim pada mulanya didasarkan pada analisis biokimia dengan membandingkan kesamaannya dengan keluarga Pol yang terdapat di E.coli yaitu kelompok Pol I, Pol II dan Pol III (Delarue dkk., 1990; Ito dan Braithwaite, 1991). Analisis biokimia (Tabel II.4) yang dilakukan untuk proses pengklasifikasian meliputi kemampuan melakukan reaksi polimerisasi terhadap berbagai substrat seperti dntp dan dideoksinukleotida (ddntp), maupun sensitifitas terhadap inhibitor seperti afidikolin dan N-ethylmaleimide (Perler dkk., 1996). Pada kingdom eubakteria, Pol III merupakan enzim replikatif utama. Pol I berperan dalam pemrosesan fragmen Okazaki pada untai DNA lagging serta perbaikan dan pemotongan nukleotida (Kornberg dan Baker, 2005), sedangkan Pol II terlibat dalam perbaikan cross-link DNA setelah teradiasi sinar ultra violet (UV) (Rangarajan dkk., 1999). Saat ini, setelah kloning gen telah dilakukan dengan baik, proses pengklasifikasian enzim DNA Pol didasarkan atas kesamaan urutan asam amino penyusunnya. DNA Pol dikelompokkan ke dalam tujuh keluarga yaitu A, B, C, D, X, Y dan RT (Ito dan Braithwaite, 1991; Rothwell dan Waksman, 2005). Klasifikasi keluarga A, B dan C secara berurutan didasarkan atas kesamaan urutan asam amino yang dikode oleh gen pola (produknya adalah DNA Pol I), polb (DNA Pol II) dan polc (DNA Pol III subunit α) dari E.coli (Braithwaite dan Ito, 1993). 38

33 Tabel II.4. Karakteristik klasifikasi DNA Polimerase (Perler dkk., 1996) Sifat Pol I Pol II Pol III Struktur protein BM (kda) Subunit (kda) Jumlah molekul/sel ; Banyak Aktivitas Replikasi Perbaikan DNA 3 5 eksonuklease 5 3 eksonuklease K m dntp Inhibisi oleh ddntp Inhibisi oleh afidikolin Rendah Rendah Tinggi + Keterangan : (+) ada aktivitas, (-) tidak ada aktivitas / tidak memiliki subunit Pol I E.coli, Pol I Bacillus, Pol I T.aquaticus, Pol γ mitokondria, T5 (Delarue dkk., 1990) dan T7 DNA polimerase (Doublie dkk., 1998) termasuk ke dalam keluarga Pol A (Braithwaite dan Ito, 1993). Keluarga Pol A memiliki tiga kelompok residu asam amino lestari yang disebut sebagai motif, yaitu motif A, B dan C. Motif A dengan urutan asam amino DYSQIELR dan motif C (QVHDEL) terdapat pada subdomain telapak yang merupakan sisi katalitik (Albà, 2001), sedangkan motif B yang memiliki residu lestari lisin berperan dalam pengikatan dntp. Motif ini terletak pada subdomain jemari (Pandey dkk., 1994; Astatke dkk., 1998). Motif A tersusun atas anti-paralel β-sheet diikuti dengan α-helix dengan konstituen utama merupakan asam amino hidrofobik, sedangkan motif B tersusun atas α-helix dan motif C pada umumnya berbentuk dua anti-paralel β- sheet (Patel dkk., 2001) 39

34 Keluarga Pol B diwakili oleh DNA Pol eukarya meliputi pol α, pol δ, dan pol ε (Hubscher dkk., 2002), DNA Pol virus, DNA Pol bakteriofaga T4 (Wang dkk., 1996) dan RB69 (Wang dkk., 1997). Analisis homologi asam amino menunjukkan bahwa keluarga Pol B memiliki 6 daerah lestari. Daerah I (motif YGDTDS) dan II (DxxSLYPS), yang juga terletak pada sisi aktif enzim, diasumsikan ekivalen dengan motif A dan C keluarga Pol A (Patel dan Loeb, 2000). Daerah III merupakan daerah dengan residu asam amino lestari yang berperan penting dalam pengikatan dntp yang terletak pada subdomain jemari. Daerah IV terletak pada ujung-n yang merupakan bagian dari sisi aktif eksonuklease 3 5. Dua daerah lestari lainnya yaitu V dan VI, terletak pada subdomain ibu jari dan jemari (Hubscher dkk., 2002). Berdasarkan perbandingan urutan asam amino, keseluruhan DNA Pol III eubakteria dikelompokkan ke dalam keluarga polimerase C (Steitz, 1999) di antaranya E.coli DNA Pol III, Salmonella typhimurium DNA polymerase III α subunit (Lancy dkk., 1989) dan B.subtilis DNA polymerase III (Hammond dkk., 1991). Keluarga Pol C ini merupakan enzim replikasi utama, karenanya membutuhkan interaksi dengan berbagai protein lain yang terlibat dalam proses replikasi. Holoenzim tersebut akan membentuk kompleks enzim yang terdiri atas ~10 subunit di antaranya subunit α, ε, θ, γ, dan δ (Maki and Kornberg, 1988). Subunit α merupakan subunit enzim yang memiliki aktivitas polimerisasi dan berinteraksi secara kuat dengan subunit ε yang mempunyai aktivitas eksonuklease 3 5 (Kelman dan O Donnell, 1995). Sedangkan keluarga D didasarkan pada kesamaan dengan urutan asam amino dengan Pol II arkea (Pol D). Keluarga Pol D terkarakterisasi sebagai enzim heterodimer. Subunit terkecilnya menunjukkan homologi tinggi dengan DNA Pol δ, sedangkan subunit terbesarnya diduga sebagai pusat aktif enzim (Cann dkk., 1998). Karakterisasi DNA Pol D dari P.furiosus menunjukkan bahwa enzim ini memiliki aktivitas polimerase serta eksonuklease 3 5 (Uemori dkk., 1997). 40

35 Polimerase σ eukarya (Burgers dkk., 2001), terminal deoksinukleotidiltransferase (TdT) DNA Pol (Delarue dkk., 2002) dan Pol X dari virus demam swine Afrika (Martins dkk., 1994) menunjukkan adanya kesamaan struktur, namun berbeda dengan keluarga Pol yang lain karenanya dikelompokkan keluarga DNA Pol X (pol β eukariot) (Ito dan Braithwaite, 1991). Keluarga DNA Pol X ini merupakan bagian dari superkeluarga (superfamily) nukleotidiltransferase (Aravind dan Koonin, 1998). Keluarga Pol X berperan dalam pemotongan perbaikan basa (base excision repair / BER). Enzim ini terorganisasi sedemikian rupa sehingga domain ujung-n (8kDa) terhubung dengan domain ujung-c (31 kda) melalui suatu hinge yang hipersensitif terhadap protease. Domain ujung-n ini memiliki aktivitas 5 - deoksiribosa fosfatase (drp) yang dibutuhkan untuk proses BER, sedangkan domain besar ujung-c memiliki aktivitas polimerisasi (Matsumoto dan Bogenhagen, 1991). Radiasi UV dan juga mutagen lainnya dapat menyebabkan kerusakan pada DNA seperti hilangnya basa nukleotida maupun terjadinya silang-jalur DNA. Keluarga Pol Y merupakan keluarga Pol terbaru yang ditemukan di berbagai organisme mulai dari E.coli hingga manusia yang berfungsi untuk mengenali berbagai kerusakan DNA dan kemudian mem-bypass-nya dengan memperlambat garpu replikasi (Johnson dkk., 1999). Sebagian besar daripadanya merupakan errorprone seperti UmuC/UmuD (DNA Pol IV dan V) dan DinX (damage-induced) dari E.coli (Tang dkk., 1999) serta Rad30, DinB, REV1 dari eukarya (Friedberg dkk., 2000). Pada mulanya Reverse Transcriptase (RT), RNA-dependent RNA polimerase dan eukarya telomerase dikelompokkan ke dalam keluarga pol X (Ito dan Braithwaite, 1991). Bertambah banyaknya RT yang berhasil diisolasi dan kemampuannya untuk menggunakan substrat yang bervariasi (RNA/RNA, DNA/RNA, RNA/DNA, DNA/DNA, pengklasifikasian DNA Pol terkini mengkelompokannya ke dalam keluarga tersendiri yaitu keluarga RT (Rothwell dan Waksman, 2005). Struktur protein keluarga RT bervariasi, virus human immunodeficiency (HIV) RT misalnya merupakan suatu protein dimer yang terdiri atas subunit 1 dan 2, 41

36 sedangkan Moloney murine leukemia (MULV) RT merupakan suatu monomer. Keseluruhan keluarga RT ini memiliki domain polimerase dan juga domain RnaseH yang diperlukan untuk memotong RNA virus selama proses sintesis DNA. II.3.2 Struktur dan Fungsi DNA Polimerase Fragmen Klenow (KF) Pol I E.coli merupakan struktur kristal DNA Pol yang pertama kali ditentukan (Ollis dkk., 1985) dan setelah itu struktur DNA Pol lainnya telah berhasil ditentukan seperti DNA Pol I Taq (Eom dkk., 1996), T7 DNA Pol (Sousa dkk., 1993), RB69 DNA Pol B (Wang dkk., 1997), DNA Pol dari spesies Thermococcus (Hopfner dkk., 1999; Rodriguez dkk., 2000), DNA Pol dari hipertermofil arkhea (Hashimoto dkk., 2001). Hingga saat ini, koleksi struktur kristal DNA Pol yang tersimpan di PDB telah mencapai 274 buah kristal. Secara umum, selain memiliki aktifitas polimerisasi yang terdapat pada domain polimerase, enzim ini juga memiliki aktivitas lain seperti perbaikan DNA dan pelepasan primer Okazaki yang biasanya terdapat pada domain berbeda. Keseluruhan studi struktur kristal ditunjang dengan analisis biokimia menunjukkan bahwa DNA Pol selain memiliki domain polimerase 5 3, juga memiliki domain eksonuklease 3 5 dan atau eksonuklease 5 3. Jika kedua aktivitas ini dimiliki, maka domain eksonuklease 5 3 akan terdapat pada daerah ujung-n (N-terminal), domain polimerase 5 3 akan terdapat pada daerah ujung-c (C-terminal), sedangkan domain eksonuklease 3 5 akan terletak di antaranya sehingga disebut sebagai domain penghubung (intervening) (Joyce dan Steitz, 1994). Gambar II.14 menunjukkan struktur kristal Taq Pol I dengan ketiga domain yang dimilikinya dalam dua orientasi posisi domain eksonuklease 5 3 (Kim dkk., 1995; Urs dkk., 1999). Beberapa Pol lainnya memiliki domain tertentu yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan sub unit lain, seperti Pol α eukarya yang juga memiliki sub domain zinc finger untuk berinteraksi dengan kompleks polimerase-primase (Albà, 2001). 42

37 Gambar II.14. Struktur Kristal 3D dari Taq Pol I. Enzim ini merupakan enzim multifungsi dan multidomain yang terdiri atas : domain eksonuklease 5 3`, domain eksonuklease 3 5 dan domain polimerase 5 3. Pada domain polimerase terdapat tiga subdomain yaitu: ibu jari (thumb), jemari (fingers), dan telapak (palm). Visualisasi dilakukan dengan perangkat lunak VMD terhadap 1TAQ (Kim dkk., 1995) dan 1CMW (Urs dkk., 1999). α- helix digambarkan dalam bentuk helix berwarna ungu dan β-sheet dalam bentuk anak panah berwarna kuning. II Aktivitas dan Domain Eksonuklease 5 3 Aktivitas ini sering disebut juga sebagai 5 nuklease dan diperlukan untuk proses translasi celah (nick translation) yaitu terputusnya ikatan fosfodiester pada salah satu untai DNA yang menyebabkan kerusakan DNA, maupun proses pendegradasian RNA primer pada fragmen Okazaki (Kaiser dkk., 1999). Penjajaran urutan asam amino pada daerah eksonuklease 5 3 dari beberapa kelas polimerase eubakteri dan bakteriofaga, serta komparasi data struktur domain ini dari T5 (Ceska dan Sayers, 1998), Taq Pol I (Kim dkk., 1995) dan T4 RNase H (Mueser dkk., 1996), menunjukkan adanya enam motif lestari yaitu motif A, B, C, D, E dan F (Joyce dkk., 1982; Perler dkk., 1995) sebagaimana terangkum pada Tabel II.5 Sisi aktif domain ini terdiri atas sejumlah residu karboksilat yang diduga berperan dalam pembentukan ikatan koordinasi dengan ion logam untuk 43

38 menjalankan aktivitasnya. Sedangkan untuk kelas eukarya dan arkhea, aktivitas 5 nuklease disebut dengan flap endonuklease (FEN1) karena kesamaan struktur dan aktivitas, namun berbeda urutan asam aminonya (Turchi dkk., 1994; Bambara dkk., 1997). Tabel II.5. Motif lestari yang terdapat pada domain eksonuklease 5 3 (Perler dkk., 1996). Motif Urutan asam amino A leu LEU leu val ASP GLY B ile val leu Xaa PHE Xaa ASP C phe ARG Xaa GLU Xaa 5 TYR LYS Xaa 2 ARG D GLU ala ASP ASP val Xaa ala Xaa leu E ile ile ser Xaa ASP lys ASP F leu Xaa GLY ASP Xaa 2 ser ASP asn Asam amino yang ditulis dengan huruf kapital merupakan asam amino yang selalu ada pada posisi tersebut; asam amino yang dimulai dengan huruf kecil merupakan asam amino yang umum dijumpai pada posisi tersebut. Xaa menunjukkan asam amino lain atau tidak ada asam amino II Aktivitas dan Domain Eksonuklease 3 5 Pada umumnya, domain ini terdapat pada rantai polipeptida yang sama dengan domain polimerase tetapi dengan aktivitas yang saling berlawanan dimana aktivitas eksonuklease 3 5 ini dibutuhkan untuk pembacaan kesalahan (proofreading) ketika reaksi polimerisasi berlangsung (Kroutil dkk., 1996). Namun pada beberapa keluarga Pol, misalnya Pol C E.coli, aktivitas eksonuklease ini terdapat pada sub unit terpisah dari enzim inti (core enzyme) (Perler dkk., 1996). Data struktural menunjukkan bahwa jika domain ini terdapat pada polipeptida yang sama dengan polimerase, maka sisi aktif kedua domain terpisah sekitar 3 Å (Ollis dkk., 1985; Freemont dkk., 1988), mengindikasikan bahwa ketika polimerisasi berlangsung terdapat 2 jenis pengikatan terhadap DNA cetakan-primer (Gambar II.15) tergantung apakah enzim sedang melakukan pemasangan atau pengeditan nukelotida (Joyce dan Steitz, 1994; Steitz, 1999). 44

39 Kombinasi hasil penjajaran urutan asam amino, data struktural dan mutagenesis terhadap sejumlah DNA Pol menunjukkan adanya tiga motif lestari (Tabel II.6) yaitu motif ExoI, ExoII dan ExoIII. Adapun mekanisme reaksi eksonuklease 3 5 diduga dipengaruhi oleh pembentukan ikatan koordinasi dengan dua ion logam. Studi terhadap KF menunjukkan bahwa mutasi pada residu aspartat (Asp355, Asp424, Asp501) menyebabkan penurunan afinitas terhadap ion logam dan secara langsung menurunkan aktifitas eksonuklease 3 5 (Beese dan Steitz, 1991; Kroutil dkk., 1996). Gambar II.15. Model yang diajukan untuk proses polimerisasi maupun pengeditan pada DNA Pol. Sisi aktif eksonuklese 3 5 akan mengikat DNA untai tunggal sedangkan sisi aktif polimerase akan mengikat DNA untai ganda (Joyce dan Steitz, 1994; Steitz, 1999). Tabel II.6. Motif lestari yang terdapat pada domain eksonuklease 3 5 (Perler dkk., 1996) Motif ExoI ExoII ExoIII Urutan asam amino Asp Xaa Glu Asn Xaa 2-3 (Phe/Tyr)Asp Tyr Xaa 3 Asp Xaa menunjukkan asam amino yang lain atau tidak ada 45

I.1 Latar Belakang Penelitian

I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian Mikroorganisme termofilik merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang memiliki kemampuan hidup dan memperbanyak diri pada temperatur 50 o C hingga

Lebih terperinci

Sedangkan nilai RMSD pada 328 K naik secara bertahap menuju 10 Å pada 330 ps kemudian setelah 500 ps nilai RMSD mencapai 25 Å.

Sedangkan nilai RMSD pada 328 K naik secara bertahap menuju 10 Å pada 330 ps kemudian setelah 500 ps nilai RMSD mencapai 25 Å. Sedangkan nilai RMSD pada 328 K naik secara bertahap menuju 10 Å pada 330 ps kemudian setelah 500 ps nilai RMSD mencapai 25 Å. Gambaran kualitatif terhadap perubahan konformasi enzim selama proses simulasi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

Bab IV Hasil Dan Pembahasan Bab IV Hasil Dan Pembahasan Penelitian terhadap enzim dan protein termostabil telah membuka wawasan baru terhadap pengembangan ilmu dasar, seperti adanya faktor-faktor yang menentukan stabilitas termal

Lebih terperinci

Struktur dan Fungsi Protein

Struktur dan Fungsi Protein Struktur dan Fungsi Protein Protein merupakan makromolekul yang sangat serbaguna pada makluk hidup dan melakukan fungsi yang sangat vital dalam seluruh sistem biologis Proteins disusun oleh 20 jenis asam

Lebih terperinci

Bab 1 ZAT PADAT IKATAN ATOMIK DALAM KRISTAL

Bab 1 ZAT PADAT IKATAN ATOMIK DALAM KRISTAL Bab 1 ZAT PADAT IKATAN ATOMIK DALAM KRISTAL Kekristalan Zat Padat Zat padat dapat dibedakan menjadi: Kristal yaitu bila atom atau molekul penyusun tersusun dalam bentuk pengulangan kontinu untuk rentang

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

STABILITAS TERMAL DAN PERGERAKAN DINAMIS KLENOW-LIKE DNA POLIMERASE I ITB-1 BERDASARKAN SIMULASI DINAMIKA MOLEKUL DISERTASI

STABILITAS TERMAL DAN PERGERAKAN DINAMIS KLENOW-LIKE DNA POLIMERASE I ITB-1 BERDASARKAN SIMULASI DINAMIKA MOLEKUL DISERTASI STABILITAS TERMAL DAN PERGERAKAN DINAMIS KLENOW-LIKE DNA POLIMERASE I ITB-1 BERDASARKAN SIMULASI DINAMIKA MOLEKUL DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut

Lebih terperinci

PERUBAHAN KONFORMASI STRUKTUR 3D LIPASE PPD2 DENGAN METODE SIMULASI PADA ph KONSTAN EGIDEA PUTI DEVINA

PERUBAHAN KONFORMASI STRUKTUR 3D LIPASE PPD2 DENGAN METODE SIMULASI PADA ph KONSTAN EGIDEA PUTI DEVINA PERUBAHAN KONFORMASI STRUKTUR 3D LIPASE PPD2 DENGAN METODE SIMULASI PADA ph KONSTAN EGIDEA PUTI DEVINA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA DALAM BAHAN

IKATAN KIMIA DALAM BAHAN IKATAN KIMIA DALAM BAHAN Sifat Atom dan Ikatan Kimia Suatu partikel baik berupa ion bermuatan, inti atom dan elektron, dimana diantara mereka, akan membentuk ikatan kimia yang akan menurunkan energi potensial

Lebih terperinci

Ikatan Kimia. Linda Windia Sundarti

Ikatan Kimia. Linda Windia Sundarti Ikatan Kimia Aturan ktet Unsur yang paling stabil adalah unsur yang termasuk dalam golongan gas mulia. Semua unsur gas mulia di alam ditemukan dalam bentuk gas monoatomik dan tidak ditemukan bersenyawa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Enzim α-amilase Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA ORGANIK dalam bidang ilmu FARMASI

IKATAN KIMIA ORGANIK dalam bidang ilmu FARMASI IKATAN KIMIA ORGANIK dalam bidang ilmu FARMASI Teori tentang ikatan kimia ini dipelopori oleh Kossel dan Lewis (1916) yang membagi ikatan kimia atas 2 (dua) bagian besar yakni: ikatan ionik atau ikatan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN MEKANIKA MOLEKUL

PERHITUNGAN MEKANIKA MOLEKUL Austrian Indonesian Centre (AIC) for Computational Chemistry Jurusan Kimia - FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM) KIMIA KOMPUTASI Anatomi Perhitungan Mekanika Molekul l Drs. Iqmal Tahir, M.Si. Austrian-Indonesian

Lebih terperinci

U = Energi potensial. R = Jarak antara atom

U = Energi potensial. R = Jarak antara atom IKATAN KRISTAL Zat padat merupakan zat yang memiliki struktur yang stabil Kestabilan sruktur zat padat disebabkan oleh adanya interaksi antara atom membentuk suatu ikatan kristal Sebagai contoh: Kristal

Lebih terperinci

Kelarutan & Gejala Distribusi

Kelarutan & Gejala Distribusi PRINSIP UMUM Kelarutan & Gejala Distribusi Oleh : Lusia Oktora RKS, S.F.,M.Sc., Apt Larutan jenuh : suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Kelarutan

Lebih terperinci

(2) kekuatan ikatan yang dibentuk untuk karbon;

(2) kekuatan ikatan yang dibentuk untuk karbon; Reaksi Subsitusi Nukleofilik Alifatik Reaksi yang berlangsung karena penggantian satu atau lebih atom atau gugus dari suatu senyawa oleh atom atau gugus lain disebut reaksi substitusi. Bila reaksi substitusi

Lebih terperinci

MAKALAH KIMIA ORGANIK IKATAN KIMIA DAN STRUKTUR MOLEKUL

MAKALAH KIMIA ORGANIK IKATAN KIMIA DAN STRUKTUR MOLEKUL MAKALAH KIMIA ORGANIK IKATAN KIMIA DAN STRUKTUR MOLEKUL Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kimia Organik Dosen Pembimbing : Ir. Dyah Tri Retno, MM Disusun oleh : Kelompok 1 1. Angga Oktyashari

Lebih terperinci

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial PROTEIN KEGUNAAN 1. Zat pembangun dan pengatur 2. Sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N 3. Sumber energi Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino

Lebih terperinci

STRUKTUR KIMIA DAN SIFAT FISIKA

STRUKTUR KIMIA DAN SIFAT FISIKA STRUKTUR KIMIA DAN SIFAT FISIKA Objektif: Bab ini akan menguraikan tentang sifatsifat fisika SENYAWA ORGANIK seperti : Titik Leleh dan Titik Didih Gaya antar molekul Kelarutan Spektroskopi dan karakteristik

Lebih terperinci

BENDA WUJUD, SIFAT DAN KEGUNAANNYA

BENDA WUJUD, SIFAT DAN KEGUNAANNYA BENDA WUJUD, SIFAT DAN KEGUNAANNYA Benda = Materi = bahan Wujud benda : 1) Padat 2) Cair 3) Gas Benda Padat 1. Mekanis kuat (tegar), sukar berubah bentuk, keras 2. Titik leleh tinggi 3. Sebagian konduktor

Lebih terperinci

BIOMOLEKUL II PROTEIN

BIOMOLEKUL II PROTEIN KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 22 Sesi NGAN BIOMOLEKUL II PROTEIN Protein dan peptida adalah molekul raksasa yang tersusun dari asam α-amino (disebut residu) yang terikat satu dengan lainnya

Lebih terperinci

BAB 3 IKATAN KRISTAL. 3.1 Macam-Macam Ikatan Kristal

BAB 3 IKATAN KRISTAL. 3.1 Macam-Macam Ikatan Kristal BAB 3 IKATAN KRISTAL Zat padat berdasarkan susunan atomnya dapat diklasifikasikan atas kristal dan amorf. Sebuah kristal mempunyai susunan atom yang teratur sehingga dapat berbentuk kubus, tetragonal atau

Lebih terperinci

! " "! # $ % & ' % &

!  ! # $ % & ' % & Valensi ! " "! # $ % & ' %& # % ( ) # *+## )$,) & -#.. Semua unsur memiliki bilangan oksidasi +1 Semua unsur memiliki bilangan oksidasi +2 Semua unsur memiliki bilangan oksidasi +3. Tl juga memiliki bilangan

Lebih terperinci

ENZIM IKA PUSPITA DEWI

ENZIM IKA PUSPITA DEWI ENZIM IKA PUSPITA DEWI 1 2 Enzim Klasifikasi enzim Komponen dan struktur enzim Kerja enzim sebagai katalisator 3 Enzim Enzim merupakan Polimer biologis yang mengkatalisis reaksi kimia Protein yang dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap diazinon, terlebih dahulu disintesis adsorben kitosan-bentonit mengikuti prosedur yang telah teruji (Dimas,

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung adalah produsen tapioka utama di Indonesia. Keberadaan industri

I. PENDAHULUAN. Lampung adalah produsen tapioka utama di Indonesia. Keberadaan industri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung adalah produsen tapioka utama di Indonesia. Keberadaan industri tapioka di Lampung menjadi penting berkaitan dengan penyediaan lapangan pekerjaan. Sekitar 64% penyerapan

Lebih terperinci

BIOKIMIA Struktur & Fungsi Biomolekul

BIOKIMIA Struktur & Fungsi Biomolekul BIOKIMIA Struktur & Fungsi Biomolekul Oleh : Yohanis Ngili Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2009 Hak Cipta 2009 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian

Lebih terperinci

Gaya Antarmolekul dan Cairan dan Padatan

Gaya Antarmolekul dan Cairan dan Padatan Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi dimodifikasi oleh Dr. Indriana Kartini Bab V Gaya Antarmolekul dan Cairan dan Padatan Fasa merupakan bagian homogen suatu sistem

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA. RATNAWATI, S.Pd

IKATAN KIMIA. RATNAWATI, S.Pd IKATAN KIMIA RATNAWATI, S.Pd Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, diharapkan siswa dapat: Menjelaskan kecenderungan suatu unsur untuk mencapai kestabilannya Menggambarkan susunan elektron

Lebih terperinci

Alur/flowchart perhitungan kimia komputasi

Alur/flowchart perhitungan kimia komputasi Austrian Indonesian Centre (AIC) for Computational Chemistry Jurusan Kimia - FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM) KIMIA KOMPUTASI Proses Optimisasi i i Geometri Drs. Iqmal Tahir, M.Si. Austrian-Indonesian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Falerin (4,5-dihidroksi-5 -metoksibenzofenon-3-o-glukosida) adalah isolat dari buah mahkota dewa berkerangka benzofenon yang mempunyai aktivitas antiinflamasi. Penelitian

Lebih terperinci

C w : konsentrasi uap air dalam kesetimbangan, v f dan f w menyatakan laju penguapan dengan dan tanpa film di permukaan

C w : konsentrasi uap air dalam kesetimbangan, v f dan f w menyatakan laju penguapan dengan dan tanpa film di permukaan Adanya film monomolekuler menyebabkan laju penguapan substrat berkurang, sedangkan kesetimbangan tekanan uap tidak dipengaruhi Laju penguapan dinyatakan sebagai v = m/t A (g.det -1.cm -2 ) Tahanan jenis

Lebih terperinci

Yang akan dibahas: 1. Kristal dan Ikatan pada zat Padat 2. Teori Pita Zat Padat

Yang akan dibahas: 1. Kristal dan Ikatan pada zat Padat 2. Teori Pita Zat Padat ZAT PADAT Yang akan dibahas: 1. Kristal dan Ikatan pada zat Padat 2. Teori Pita Zat Padat ZAT PADAT Sifat sifat zat padat bergantung pada: Jenis atom penyusunnya Struktur materialnya Berdasarkan struktur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Lingkungan Termofilik Lingkungan geotermal alami yang tersebar di seluruh permukaan bumi, pada dasarnya terbentuk dari pergerakan kerak bumi yang terjadi pada zona tektonik yang

Lebih terperinci

BAB II A. KONSEP ATOM

BAB II A. KONSEP ATOM BAB II STRUKTURR DAN IKATAN ATOM BAB II STRUKTURR DAN IKATAN ATOM A. KONSEP ATOM Semua material tersusun oleh atom atom. Setiap atom terdiri dari inti atom(nukleus) dan elektron seperti ditunjukkann pada

Lebih terperinci

ENZIM. Ir. Niken Astuti, MP. Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, UMB YOGYA

ENZIM. Ir. Niken Astuti, MP. Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, UMB YOGYA ENZIM Ir. Niken Astuti, MP. Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, UMB YOGYA ENZIM ENZIM ADALAH PROTEIN YG SANGAT KHUSUS YG MEMILIKI AKTIVITAS KATALITIK. SPESIFITAS ENZIM SANGAT TINGGI TERHADAP SUBSTRAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggandaan dan penyediaan asam amino menjadi amat penting oleh karena senyawa tersebut dipergunakan sebagai satuan penyusun protein. Kemampuan jasad hidup untuk membentuk

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM KIMIA TERPADU GRUP IMC (INTERMOLECULAR CHEMISTRY) OLEH : Dr. Parsaoran Siahaan, MS

PANDUAN PRAKTIKUM KIMIA TERPADU GRUP IMC (INTERMOLECULAR CHEMISTRY) OLEH : Dr. Parsaoran Siahaan, MS P a n d u a n P K T G r u p I M C 0 PANDUAN PRAKTIKUM KIMIA TERPADU GRUP IMC (INTERMOLECULAR CHEMISTRY) OLEH : Dr. Parsaoran Siahaan, MS JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

Kontribusi Ilmu Biokimia

Kontribusi Ilmu Biokimia PENGANTAR BIOKIMIA Apa itu Biokimia??? Biokimia adalah ilmu yang mempelajari struktur, organisasi, dan fungsi materi hidup pada tingkat molekul. Biokimiawan mempertanyakan: Bagaimana struktur kimia dari

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA. Tim Dosen Kimia Dasar FTP

IKATAN KIMIA. Tim Dosen Kimia Dasar FTP IKATAN KIMIA Tim Dosen Kimia Dasar FTP Sub pokok bahasan: Konsep Ikatan Kimia Macam-macam ikatan kimia KONSEP IKATAN KIMIA Untuk mencapai kestabilan, atom-atom saling berikatan. Ikatan kimia merupakan

Lebih terperinci

Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik

Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik E N Z I M Sukarti Moeljopawiro Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik ENZIM

Lebih terperinci

II. KEGIATAN BELAJAR 2 STRUKTUR KRISTAL BAHAN PADAT. Struktur kristal bahan padat dapat dijelaskan dengan benar

II. KEGIATAN BELAJAR 2 STRUKTUR KRISTAL BAHAN PADAT. Struktur kristal bahan padat dapat dijelaskan dengan benar II. KEGIATAN BELAJAR 2 STRUKTUR KRISTAL BAHAN PADAT A. Sub Kompetensi Struktur kristal bahan padat dapat dijelaskan dengan benar B. Tujuan Kegiatan Pembelajaran Setelah pembelajaran ini mahasiswa mampu

Lebih terperinci

STUDI AB INITIO: STRUKTUR MEMBRAN NATA DE COCO TERSULFONASI

STUDI AB INITIO: STRUKTUR MEMBRAN NATA DE COCO TERSULFONASI Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 STUDI AB INITIO: STRUKTUR MEMBRAN NATA DE COCO TERSULFONASI Sitti Rahmawati 1, Cynthia Linaya Radiman 2, Muhamad A. Martoprawiro 3 Universitas

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul

Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul Kimia Fisik III, Struktur Molekul:, Dr. Parsaoran Siahaan, November/Desember 2014, 1 Pokok Bahasan 3 Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul Oleh: Dr. Parsaoran Siahaan Pendahuluan: motivasi/review pokok

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Metoda Sintesis Membran Kitosan Sulfat Secara Konvensional dan dengan Gelombang Mikro (Microwave) Penelitian sebelumnya mengenai sintesis organik [13] menunjukkan bahwa jalur

Lebih terperinci

II. KARAKTERISTIK ENZIM

II. KARAKTERISTIK ENZIM II. KARAKTERISTIK ENZIM 2.1. Definisi Enzim Enzim merupakan katalisator suatu reaksi, artinya dapat mempercepat suatu reaksi tanpa terjadinya perubahan yang permanen dalam struktur enzim itu sendiri. Kata

Lebih terperinci

MODEL-MODEL IKATAN KIMIA

MODEL-MODEL IKATAN KIMIA MODEL-MODEL IKATAN KIMIA Sifat Atom dan Ikatan Kimia Suatu partikel baik berupa ion bermuatan, inti atom dan elektron diantara mereka, akan membentuk ikatan kimia karena akan menurunkan energi potensial

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk merubah karakter permukaan bentonit dari hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga dapat meningkatkan kinerja kitosan-bentonit

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA. Tabel 3.1 Konfigurasi elektron unsur unsur gas mulia. Unsur Nomor Atom

IKATAN KIMIA. Tabel 3.1 Konfigurasi elektron unsur unsur gas mulia. Unsur Nomor Atom IKATAN KIMIA BAB 3 KOMPETENSI DASAR: Membandingkan proses pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi, dan ikatan logam serta interaksi antar partikel (atom, ion, molekul) materi

Lebih terperinci

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam Elektron Bebas Beberapa teori tentang panas jenis zat padat yang telah dibahas dapat dengan baik menjelaskan sifat-sfat panas jenis zat padat yang tergolong non logam, akan tetapi untuk golongan logam

Lebih terperinci

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb.

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Anabolisme = (biosintesis) Proses pembentukan senyawa

Lebih terperinci

LAMPIRAN C CCT pada Materi Ikatan Ion

LAMPIRAN C CCT pada Materi Ikatan Ion LAMPIRAN C CCT pada Materi Ikatan Ion 1 IKATAN ION A. KECENDERUNGAN ATOM UNTUK STABIL Gas mulia merupakan sebutan untuk unsur golongan VIIIA. Unsur unsur ini bersifat inert (stabil). Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Ikatan yang terjadi antara atom O dengan O membentuk molekul O 2

Ikatan yang terjadi antara atom O dengan O membentuk molekul O 2 Ikatan Kovalen adalah ikatan yang terjadi karena pemakaian pasangan elektron secara bersama oleh 2 atom yang berikatan. Ikatan kovalen terjadi akibat ketidakmampuan salah 1 atom yang akan berikatan untuk

Lebih terperinci

Peranan elektron dalam pembentukan ikatan kimia

Peranan elektron dalam pembentukan ikatan kimia IKATAN KIMIA IKATAN KIMIA Gaya yang memegangi atom atau ion membentuk molekul atau kristal disebut Ikatan Kimia. Elektron memegang peran penting dalam pembentukan ikatan kimia. Peranan elektron dalam pembentukan

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

kimia Kelas X REVIEW I K-13 A. Hakikat Ilmu Kimia

kimia Kelas X REVIEW I K-13 A. Hakikat Ilmu Kimia K-13 Kelas X kimia REVIEW I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami hakikat ilmu kimia dan metode ilmiah. 2. Memahami teori atom dan

Lebih terperinci

1. Aturan Aufbau. Konfigurasi Elektron. 1s, 2s, 2p, 3s, 3p, 4s, 3d, 4p, 5s, 4d, 5p, 6s, 4f, 5d, 6p, 7s, 5f, 6d, 7p,

1. Aturan Aufbau. Konfigurasi Elektron. 1s, 2s, 2p, 3s, 3p, 4s, 3d, 4p, 5s, 4d, 5p, 6s, 4f, 5d, 6p, 7s, 5f, 6d, 7p, Ingattt.. Tabel SPU Konfigurasi Elektron Struktur Lewis t 1. Aturan Aufbau Konfigurasi Elektron 1s, 2s, 2p, 3s, 3p, 4s, 3d, 4p, 5s, 4d, 5p, 6s, 4f, 5d, 6p, 7s, 5f, 6d, 7p, Lanjutan 2. Aturan Hund orbital

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polimer Benzilkitosan Somorin (1978), pernah melakukan sintesis polimer benzilkitin tanpa pemanasan. Agen pembenzilasi yang digunakan adalah benzilklorida. Adapun

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Pemilihan Metode dan Himpunan Basis Teori Fungsional Kerapatan merupakan suatu metode dalam penyelesaian persamaan Schrödinger dengan menggunakan teorema Kohn-Sham, dengan pendekatan

Lebih terperinci

Komponen Materi. Kimia Dasar 1 Sukisman Purtadi

Komponen Materi. Kimia Dasar 1 Sukisman Purtadi Komponen Materi Kimia Dasar 1 Sukisman Purtadi Pengamatan ke Arah Pandangan Atomik Materi Konservasi Massa Komposisi Tetap Perbandingan Berganda Teori Atom Dalton Bagaimana Teori Dalton Menjelaskan Hukum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

1. Ikatan Kimia. Struktur Molekul. 1.1 Pengertian. 1.2 Macam-Macam. ~ gaya tarik antar atom

1. Ikatan Kimia. Struktur Molekul. 1.1 Pengertian. 1.2 Macam-Macam. ~ gaya tarik antar atom 1. Ikatan Kimia 1.1 Pengertian ~ gaya tarik antar atom Struktur Molekul 1.2 Macam-Macam 1. Ikatan Ion: ikatan kimia yang terbentuk akibat tarik-menarik elektrostatik antara ion positif (kation) dan ion

Lebih terperinci

Soal ini terdiri dari 10 soal Essay (153 poin)

Soal ini terdiri dari 10 soal Essay (153 poin) Bidang Studi Kode Berkas : Kimia : KI-L01 (soal) Soal ini terdiri dari 10 soal Essay (153 poin) Tetapan Avogadro N A = 6,022 10 23 partikel.mol 1 Tetapan Gas Universal R = 8,3145 J.mol -1.K -1 = 0,08206

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA Isana SYL

IKATAN KIMIA Isana SYL IKATAN KIMIA Isana SYL IKATAN KIMIA Kebahagiaan atom Konfigurasi i elektronik stabil Konfigurasi elektronik gas mulia / gas lamban (Energi ionisasi relatif besar dan afinitas elektron relatif kecil) Ada

Lebih terperinci

TINGKAT PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) SUB KIMIA FISIK. 16 Mei Waktu : 120menit

TINGKAT PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) SUB KIMIA FISIK. 16 Mei Waktu : 120menit OLIMPIADE NASIONAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM TINGKAT PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) BIDANG KIMIA SUB KIMIA FISIK 16 Mei 2017 Waktu : 120menit Petunjuk Pengerjaan H 1. Tes ini terdiri atas

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesis dan Karakterisasi Karboksimetil Kitosan Spektrum FT-IR kitosan yang digunakan untuk mensintesis karboksimetil kitosan (KMK) dapat dilihat pada Gambar 8 dan terlihat

Lebih terperinci

ENZIM Enzim : adalah protein khusus yang mengkatalisis reaksi biokimia tertentu

ENZIM Enzim : adalah protein khusus yang mengkatalisis reaksi biokimia tertentu ENZIM Enzim : adalah protein khusus yang mengkatalisis reaksi biokimia tertentu terikat pada satu atau lebih zat-zat yang bereaksi. Dengan demikian enzim menurunkan barier energi (jumlah energi aktivasi

Lebih terperinci

SAP DAN SILABI KIMIA DASAR PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN UNIVERSITAS PASUNDAN

SAP DAN SILABI KIMIA DASAR PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN UNIVERSITAS PASUNDAN SAP DAN SILABI KIMIA DASAR PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN UNIVERSITAS PASUNDAN KATA PENGANTAR Satuan acara perkuliahan (SAP) atau garis besar program pembelajaran (GBPP)merupakan panduan bagi dosen dan

Lebih terperinci

MODEL SEL SIMULASI SELF-ASSEMBLED MONOLAYER REVERSIBEL. Wahyu Dita Saputri ABSTRAK ABSTRACT

MODEL SEL SIMULASI SELF-ASSEMBLED MONOLAYER REVERSIBEL. Wahyu Dita Saputri ABSTRAK ABSTRACT KIMIA.STUDENTJOURNAL, Vol.1, No. 1, pp. 718-722, UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG Received 4 March 2015, Accepted 4 March 2015, Published online 5 March 2015 MODEL SEL SIMULASI SELF-ASSEMBLED MONOLAYER REVERSIBEL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Ikan Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui karakter awal minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini. Karakter minyak ikan yang diukur

Lebih terperinci

Ikatan Kimia. 2 Klasifikasi Ikatan Kimia :

Ikatan Kimia. 2 Klasifikasi Ikatan Kimia : Ikatan Kimia Ikatan Kimia : Gaya tarik yang menyebabkan atom-atom yang terikat satu sama lain dalam suatu kombinasi untuk membentuk senyawa yang lebih kompleks. 2 Klasifikasi Ikatan Kimia : 1. Ikatan ion

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA MAKALAH KIMIA DASAR

IKATAN KIMIA MAKALAH KIMIA DASAR IKATAN KIMIA MAKALAH KIMIA DASAR dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh nilai mata kuliah kimia dasar Oleh : AZKA WAFI EL HAKIM ( NPM : 301014000 ) HELGA RACHEL F ( NPM : 3010140014 ) MUHAMMAD

Lebih terperinci

Penentuan struktur senyawa organik

Penentuan struktur senyawa organik Penentuan struktur senyawa organik Tujuan Umum: memahami metoda penentuan struktur senyawa organik moderen, yaitu dengan metoda spektroskopi Tujuan Umum: mampu membaca dan menginterpretasikan data spektrum

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp. Enzim merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas biokimia sebagai katalis suatu reaksi. Enzim sangat

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Surfaktan Gemini 12-2-12 Sintesis surfaktan gemini dilakukan dengan metode konvensional, yaitu dengan metode termal. Reaksi yang terjadi adalah reaksi substitusi bimolekular

Lebih terperinci

Hukum Ohm. Fisika Dasar 2 Materi 4

Hukum Ohm. Fisika Dasar 2 Materi 4 Hukum Ohm Fisika Dasar 2 Materi 4 Arus Listrik Pada listrik statis, kita selalu membahas muatan yang diam. Pada listrik dinamik muatan dipandang bergerak pada suatu bahan yang disebut konduktor Muatan-muatan

Lebih terperinci

Protein. Kuliah Biokimia ke-3 PROTEIN

Protein. Kuliah Biokimia ke-3 PROTEIN Protein Kuliah Biokimia ke-3 PS Teknologi Hasil Pertanian Univ.Mulawarman Krishna P. Candra, 2015 PROTEIN Protein berasal dari kata latin Proteus (penting) Makromolekul yang dibentuk dari satu atau lebih

Lebih terperinci

Ikatan Kimia & Larutan

Ikatan Kimia & Larutan Ikatan Kimia & Larutan Review ATOMIC STRUCTURE 2 Atomic number the number of protons in an atom 4 Atomic mass the number of protons and neutrons in an atom number of electrons = number of protons ATOMIC

Lebih terperinci

BAB III. SUBSTANSI GENETIK

BAB III. SUBSTANSI GENETIK BAB III. SUBSTANSI ETIK Kromosom merupakan struktur padat yg tersusun dr komponen molekul berupa protein histon dan DNA (kumpulan dr kromatin) Kromosom akan tampak lebih jelas pada tahap metafase pembelahan

Lebih terperinci

TEORI PEMBENTUKAN ATP, KAITANNYA DENGAN PERALIHAN ASAM-BASA. Laurencius Sihotang BAB I PENDAHULUAN

TEORI PEMBENTUKAN ATP, KAITANNYA DENGAN PERALIHAN ASAM-BASA. Laurencius Sihotang BAB I PENDAHULUAN TEORI PEMBENTUKAN ATP, KAITANNYA DENGAN PERALIHAN ASAM-BASA Laurencius Sihotang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Semua kehidupan di bumi ini bergantung kepada fotosintesis baik langsung maupun tidak

Lebih terperinci

IKATAN KIMIA ORGANIK dalam bidang ilmu FARMASI

IKATAN KIMIA ORGANIK dalam bidang ilmu FARMASI IKATAN KIMIA ORGANIK dalam bidang ilmu FARMASI Teori tentang ikatan kimia ini dipelopori oleh Kossel dan Lewis (1916) yang membagi ikatan kimia atas 2 (dua) bagian besar yakni: ikatan ionik atau ikatan

Lebih terperinci

Kimia Organik 1. Pertemuan ke 3 Indah Solihah

Kimia Organik 1. Pertemuan ke 3 Indah Solihah Kimia Organik 1 Pertemuan ke 3 Indah Solihah Pembentukan Ikatan pada atom Fosfor Nomor atom fosfor (P) adalah 15 Tahap pembentukan ikatan : 1. Sebagian energi digunakan untuk hibridisasi, elektron pada

Lebih terperinci

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1)

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2017 METABOLISME Metabolisme adalah proses-proses

Lebih terperinci

ANALISIS SOAL ULANGAN HARIAN I. Total. Dimensi Proses Pengetahuan Kognitif Menerapkan Menganalisa (C4) 15 3,6,9,11,21 4,12,18,26 5,19,20,25

ANALISIS SOAL ULANGAN HARIAN I. Total. Dimensi Proses Pengetahuan Kognitif Menerapkan Menganalisa (C4) 15 3,6,9,11,21 4,12,18,26 5,19,20,25 ANALISIS SOAL ULANGAN HARIAN I Mata pelajaran Kimia Kelas/Semester XI IPA 1/1 Kisi Butir Soal ClassXI Mudah Sedang Susah C1 C2 and C3 C 4,5,6 Total Presentase 12% 56% 32% 100% Jumlah soal 3 14 8 25 Dimensi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV. 1 Analisis Hasil Pengujian Metalografi dan Spektrometri Sampel Baja Karbon Dari hasil uji material pipa pengalir hard water (Lampiran A.1), pipa tersebut terbuat dari baja

Lebih terperinci

Aplikasi Graf dalam Struktur Molekul Kimia

Aplikasi Graf dalam Struktur Molekul Kimia Aplikasi Graf dalam Struktur Molekul Kimia Megariza 1) NIM: 13507076 1) Jurusan Teknik Informatika ITB, Bandung, email: megariza@students.itb.ac.id Abstract Makalah ini membahas tentang penggunaan graf

Lebih terperinci

SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN

SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN Mata kuliah : Kimia Kode : Kim 101/3(2-3) Deskripsi : Mata kuliah ini membahas konsep-konsep dasar kimia yang disampaikan secara sederhana, meliputi pengertian

Lebih terperinci

01 : STRUKTUR MIKRO. perilaku gugus-gugus atom tersebut (mungkin mempunyai struktur kristalin yang teratur);

01 : STRUKTUR MIKRO. perilaku gugus-gugus atom tersebut (mungkin mempunyai struktur kristalin yang teratur); 01 : STRUKTUR MIKRO Data mengenai berbagai sifat logam yang mesti dipertimbangkan selama proses akan ditampilkan dalam berbagai sifat mekanik, fisik, dan kimiawi bahan pada kondisi tertentu. Untuk memanfaatkan

Lebih terperinci

1. Pendahuluan 2. Orbital atom 3. Orbital molekul 4. Ikatan sigma 5. Ikatan pi 6. Orbital hibrida 7. Panjang dan kekuatan ikatan

1. Pendahuluan 2. Orbital atom 3. Orbital molekul 4. Ikatan sigma 5. Ikatan pi 6. Orbital hibrida 7. Panjang dan kekuatan ikatan 1. Pendahuluan 2. Orbital atom 3. Orbital molekul 4. Ikatan sigma 5. Ikatan pi 6. Orbital hibrida 7. Panjang dan kekuatan ikatan TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan Orbital,

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. pada residu Glu 205, Glu 206, dan Tyr 662. Ada dua jenis interaksi yang

BAB V PEMBAHASAN. pada residu Glu 205, Glu 206, dan Tyr 662. Ada dua jenis interaksi yang digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN A. Analisis Hasil Uji Molecular Docking Sitagliptin berikatan dengan binding site DPP-4 dan memiliki interaksi pada residu Glu 205, Glu 206, dan Tyr 662. Ada dua jenis

Lebih terperinci

KIMIA FISIKA KESETIMBANGAN CAIR-UAP & PADAT-UAP. Prof. Heru Setyawan Jurusan Teknik Kimia FTI ITS

KIMIA FISIKA KESETIMBANGAN CAIR-UAP & PADAT-UAP. Prof. Heru Setyawan Jurusan Teknik Kimia FTI ITS KIMIA FISIKA KESETIMBANGAN CAIR-UAP & PADAT-UAP Prof. Heru Setyawan Jurusan Teknik Kimia FTI ITS 2 Kesetimbangan Fasa Satu Komponen Perubahan fasa yang terjadi ketika cairan yang dipanaskan dalam wadah

Lebih terperinci

Kesetimbangan Kimia. Kimia Dasar 2 Sukisman Purtadi

Kesetimbangan Kimia. Kimia Dasar 2 Sukisman Purtadi Kesetimbangan Kimia Kimia Dasar 2 Sukisman Purtadi Keadaan Setimbang dan tetapan Kesetimbangan Kesetimbangan dinamis dan statis Syarat kesetimbangan Tetapan kesetimbangan dan peranannya Q dan K Nilai Q

Lebih terperinci

Pemodelan Numerik Reaksi Enzimatik Imobilisasi

Pemodelan Numerik Reaksi Enzimatik Imobilisasi Jurnal Teknologi Proses Media Publikasi Karya Ilmiah Teknik Kimia 4() Juli 5 : 8 5 ISSN 4-784 Pemodelan Numerik Reaksi Enzimatik Imobilisasi Zuhrina Masyithah Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Alat Peralatan yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ini adalah komputer klaster (BIOCLUST, KANAZAWA1, KANAZAWA2, GOLDEN) yang terdiri dari beberapa unit komputer

Lebih terperinci