HASIL DAN PEMBAHASAN. KHV yang berbeda tidak menemukan adanya perbedaan gejala klinis yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. KHV yang berbeda tidak menemukan adanya perbedaan gejala klinis yang"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gejala Klinis Hasil pengamatan makroskopik terhadap ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV yang berbeda tidak menemukan adanya perbedaan gejala klinis yang signifikan. Seluruh ikan-ikan sampel (100%) menunjukkan kelainan tingkah laku selalu berenang ke arah permukaan air atau berkumpul di permukaan air, frekuensi pernafasan meningkat, dan gerakan lemah. Gejala gerakan ikan tidak terarah ditemukan pada 73%, insang pucat atau mengalami pendarahan ditemukan pada 86%, pendarahan pada tubuh 100%, lesi pada kulit ditemukan pada 91%, warna kulit pucat pada 82%, dan sekresi mukus berlebihan ditemukan pada 82% dari total ikan yang diduga terinfeksi KHV. Selanjutnya, kelainan berupa hati pucat ditemukan pada 63%, tekstur hati lembek pada 63%, ginjal pucat ditemukan pada 55%, dan jantung pucat ditemukan pada 18% dari total ikan-ikan yang diteliti (Gambar 9 dan Tabel 2). Perubahan-perubahan di atas cocok dengan gejala klinis akibat infeksi KHV seperti yang telah disebutkan oleh Bondad (2002), yaitu adanya erosi insang dan insang tampak pucat, letargi (mulut ikan selalu mengarah ke permukaan), mata ke dalam (sunken eyes), sekresi mukus yang berlebihan, diskolorasi dan kulit ikan mengelupas. Tidak semua gejala klinis tersebut muncul pada setiap infeksi KHV. Menurut Gray et al. (2002), diskolorasi dan peningkatan frekuensi pernafasan merupakan dua hal utama yang pasti muncul pada setiap infeksi KHV. Oh et al. (2001) melaporkan bahwa gejala klinis utama KHVD adalah kulit mengelupas, kulit dan insang yang berwarna pucat dan nekrotik. 43

2 a b c d e f Gambar 9 Gejala klinis ikan mas sampel terduga terinfeksi KHV: a. selalu berenang ke arah permukaan, nafsu makan menurun dan sekresi mukus berlebihan; b. sirip pektoral dan kaudal geripis; c. erosi dan busuk insang (nekrotik); d. kulit ikan melepuh/mengelupas; e. diskolorasi; f. pendarahan terutama pada bagian ventral abdomen Ikan-ikan yang terserang KHV juga menunjukkan perubahan pada organ internalnya. Hati terlihat membengkak, terdapat bercak-bercak putih, tekstur lembek, pucat, dan terdapat petechiae. Ginjal membengkak dan terlihat pucat. Studi yang dilakukan beberapa peneliti menemukan bahwa ikan yang terinfeksi KHV mengalami disfungsi hati dan sistem osmoregulasi, hipoproteinemia, serta imunosupresif sehingga rentan terhadap infeksi patogen sekunder (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Taukhid et al., 2004). Hedrick et al. (2000) dan Goodwin et al. (2003) juga melaporkan perubahan makroskopik organ visceral pada infeksi KHV yang utama adalah adanya perlekatan organ dalam pada cavitas abdominales dan adanya bintik-bintik pada beberapa organ dalam. 44

3 Tabel 2 Gejala klinis infeksi varian KHV pada Cyprinus carpio NO Gejala Klinis Kalsel Lampung Pap.Bar Kalbar 1 Jabar Bali NTT D.I.Yogyakarta Sumbar D.I.Aceh Varian KHV I Kelainan tingkah laku 1 Ikan berkumpul di permukaan air V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V Frekuensi pernafasan meningkat V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V Gerakan tidak terarah - V - - V V - V V V V V V - V V V V V V - V Gerakan lemah V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V II Kelainan eksternal 1 Insang pucat atau pendarahan V V V V V - V V V V V V V V V - V V V V V Pendarahan di badan V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V Lesi pada kulit/tubuh V V V V V V V V V V V V V V V V V V - V V Warna kulit pucat/diskolorasi V V V V - V V V V V V V - V V V V V - V V Sekresi mukus berlebihan V - V V V - V V V V V V V V V - V V - V V V III Kelainan organ internal 1 Hati pucat V - V - V - - V - V V V - V V - V V V V - V Tekstur hati lembek V - V - V - - V - V V V - V V - V V V V - V Ginjal pucat - V V V - V V - V V V - - V V - - V - - V Jantung pucat V - - V V - - V Kaltim 1 Bengkulu Kalbar 2 NTB Riau DKI.Jakarta Kaltim 2 Sumut Jatim Sumsel Gorontalo Sulut Jumlah ekor (N=22) Persen kejadian (%) 45

4 Berkaitan dengan gejala klinis yang muncul, suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan KHV. Hampir seluruh wabah penyakit KHV terjadi pada saat suhu air sekitar C (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003). Pada suhu air yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran tersebut, virus dapat menginfeksi ikan tanpa menginduksi gejala klinis. Namun, pada suhu yang memungkinkan perkembangan KHV, gejala klinis akan tampak dan selanjutnya dapat menyebabkan mortalitas (Gilad et al., 2004 dalam Hedrick et al., 2005). Pada ikan-ikan yang rentan, invasi KHV dapat menimbulkan perubahan dan kerusakan pada organ-organ target, serta akhirnya menimbulkan kematian. Kematian ikan dapat berlangsung sangat cepat, sekitar jam setelah gejala klinis pertama kali terlihat (Taukhid et al., 2004). Perubahan tingkah laku berupa selalu berenang ke arah permukaan atau berkumpul di permukaan air dan frekuensi pernafasan meningkat, merupakan salah satu petunjuk adanya gangguan atau kerusakan pada organ insang, sedangkan gerakan yang tidak terarah dapat disebabkan oleh gangguan atau kerusakan yang terjadi pada otak dan sistem syaraf ikan. Insang dan otak merupakan organ-organ target KHV (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; dan Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004), menemukan konsentrasi DNA KHV yang tinggi pada organ-organ insang dan otak. Kulit yang merupakan permukaan dan pembungkus tubuh ikan berfungsi sebagai garis pertahanan pertama terhadap penyakit dan faktor-faktor lingkungan. Dalam beberapa hal, kulit dapat juga berfungsi sebagai alat respirasi, ekskresi, dan osmoregulasi (Sjafei et al., 1990). Permukaan tubuh ikan merupakan tempat ideal 46

5 bagi pertumbuhan organisme, meskipun kebanyakan organisme yang berkoloni di bagian luar tubuhnya membentuk interaksi komensalis. Namun jika jumlahnya sangat besar, ketika keadaan lingkungan menjadi buruk atau ikan dalam kondisi stress, dapat menyebabkan abnormalitas pada lapisan luar tubuh sehingga merusak sistem pertahanannya. Sebelum memasuki permukaan tubuh dan menimbulkan kerusakan, agen patogen harus terlebih dulu menembus lapisan terluar kulit yang berupa kutikula atau glycocalyx yang merupakan lapisan mucopolysaccharidae dengan ketebalan kira-kira 1 µm. Lapisan kutikula mengandung imunoglobulin spesifik dan lysozyme, serta asam lemak bebas, yang diketahui memiliki aktivitas anti patogen yang merupakan bagian dari sistem pertahanan mukosa pada ikan. Bekerja bersama-sama dengan kinetika proliferasi seluler yang secara kontinyu melepaskan mikroorganisme dari permukaan tubuh (Speared and Mirasalimi, 1992 dalam Roberts, 2001). Gejala sekresi mukus yang berlebihan merupakan respons perlindungan tubuh ikan terhadap invasi agen patogen termasuk KHV, serta perubahan yang terjadi pada lingkungan hidupnya. Mukus pada kulit terdapat pada lapisan epidermis yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh ikan. Selain mukus, pada lapisan epidermis juga terdapat sel-sel yang dapat bermigrasi secara bebas seperti limfosit dan makrofag. Sel-sel ini mempunyai peranan penting dalam imunitas kulit. Limfosit pada lapisan epidermis menyekresikan imunoglobulin ke dalam mukus kulit (Takashima et al., 1995; Roberts, 2001). Lapisan mukus yang terdiri dari mucopolysaccharides, memiliki fungsi yaitu: 1) membentuk lapisan licin di kulit sehingga mengurangi gesekan gerakan dalam air, 2) melindungi tubuh 47

6 dengan cara membentuk penghalang bagi agen patogen, 3) melindungi permukaan tubuh dari abrasi dan 4) berperan dalam proses osmoregulasi (Takashima et al., 1995; Hoole et al., 2001). Selain sekresi mukus yang berlebihan, gejala yang ditemukan pada permukan tubuh ikan adalah pendarahan dan luka pada kulit. Gejala pendarahan yang terjadi disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Pecahnya arteri atau vena dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti trauma, peradangan, atau erosi pada dinding pembuluh darah. Luka atau kerusakan kulit dapat disebabkan oleh penanganan yang kasar dan atau infestasi ektoparasit sehingga mengakibatkan kepekaan terhadap infeksi sekunder menjadi meningkat. Beberapa ektoparasit dapat menjadi penyebab utama abrasi kulit meskipun tidak parah, namun luka tersebut merupakan pintu bagi masuknya agen-agen infeksi (Roberts, 2001). Gejala lain yang ditemukan adalah diskolorasi kulit. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain adanya invasi agen patogen atau terjadinya perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi kehidupan ikan. Sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital antara lain respon terhadap stress dan cedera. Jika terjadi stress atau cedera, sistem endokrin memacu serangkaian reaksi yang ditujukan untuk mempertahankan hidup. Salah satu reaksi ikan terhadap serangan agen patogen maupun lingkungan yang kurang menguntungkan adalah perubahan warna pada tubuhnya. Perubahan warna menjadi lebih pucat antara lain disebabkan oleh gangguan terhadap sel-sel pembentuk pigmen (chromatophores) yang terletak pada lapisan dermis kulit, dan 48

7 atau penyebab lainnya. Terjadinya kerusakan atau kematian jaringan atau adanya lesi pada kulit ikan, juga dapat menyebabkan perubahan warna menjadi pucat. Terkait dengan invasi KHV pada permukaan tubuh ikan, hasil penelitian Costes et al. (2009) menemukan jalur infeksi awal KHV adalah melalui kulit dan kemudian berlanjut menjadi infeksi sistemik. Pada hari ke 2 atau 3 setelah penetrasi, KHV akan bereplikasi pada titik masuk tersebut. Replikasi KHV pada titik masuk merupakan replikasi awal, dan hal tersebut dibuktikan dengan adanya partikel-partikel viral yang terdeteksi melalui mikroskop elektron. KHV baru hasil replikasi awal tersebut, kemudian melanjutkan infiltrasi ke lapisan yang lebih dalam dari kulit. Sementara itu, sebagian KHV lainnya jatuh ke perairan dan menyebar ke populasi ikan di sekitarnya. Pada 2 atau 3 hari pasca infeksi, ikanikan yang terinfeksi akan merasa tidak nyaman dengan adanya luka pada kulit akibat aktivitas replikasi KHV. Hal tersebut menyebabkan ikan saling menggosok-gosokkan tubuhnya satu sama lain. Tingkah laku tersebut membuat penyebaran KHV semakin meluas dan merupakan pola penyebaran skin to skin mode of transmission (Costes et al., 2009) Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) Uji PCR dilakukan untuk memastikan ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) benar-benar terinfeksi KHV. Dari sampel yang menunjukkan gejala klinis KHV di 20 provinsi, sebanyak 18 sampel menunjukkan positif KHV dengan uji PCR. Hasil uji PCR disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 10. Metoda PCR yang digunakan pada penelitian ini telah membuktikan adanya penyebaran KHV pada ikan mas dan koi, bahkan lama setelah terjadinya outbreak. Dengan menggunakan primer set SphI-5, sebanyak 18 sampel 49

8 menunjukkan hasil positif KHV. Primer set SphI-5 didisain untuk mengamplifikasi suatu produk dengan ukuran 290 bp, dan tidak mengamplifikasi produk DNA dari cetakan herpesvirus lainnya kecuali KHV. Penggunaan primer set hasil temuan Gray et al. (2002) tersebut bersifat spesifik untuk pemeriksaan KHV. Primer set ini telah digunakan dalam inspection procedure for KHV di beberapa negara Asia. Hasil penelitian pendahuluan untuk mengetahui sensitivitas primer set dalam mendeteksi varian-varian KHV di Indonesia, menunjukkan primer set SphI-5 yang didisain oleh Gray et al. (2002) lebih sensitif daripada primer set thymidine kinase yang didisain oleh Bercovier et al. (2005). Tabel 3 Lokasi sampel ikan yang positif KHV menggunakan metoda PCR dan Imunohistokimia. 50

9 Gambar 10 Hasil pemeriksaan sampel ikan dengan gejala klinis KHV menunjukkan18 sampel positif KHV dengan metode PCR, yaitu DI Aceh (4), Sumut (5), Sumbar (7), Riau (8), Bengkulu (10), Lampung(11), DKI Jakarta (12), Jabar (3), DI Yogyakarta (14), Bali (18), NTT (19), NTT (20), Kalbar 1 (21), Kalbar 2 (23), Kaltim 1 (25), Kaltim 2 (26), Kalsel (27), Papua Barat (28). Untuk marker (M), kontrol positif (Pc), kontrol negatif (Nc), masing-masing dengan kode 1, 2, dan Uji Imunohistokimia Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sampel ikan bergejala klinis KHV yang berasal dari 20 provinsi, 18 sampel ditemukan positif KHV dengan metoda PCR dan imunohistokimia, sedangkan 4 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif dengan PCR, namun memberikan hasil positif dengan metoda imunohistokimia (Gambar 11). Hal tersebut menunjukkan bahwa 4 sampel genom tidak dapat diamplifikasi melalui PCR. Rincian hasil pengujian imunohistokimia pada seluruh ikan sampel disajikan pada Tabel 3. 51

10 a b c d e f Gambar 11 Hasil uji imunohistokimia terhadap beberapa sampel bergejala klinis KHV dari : (a) Sumatera Selatan, (b) Jawa Timur, (c) Gorontalo, (d) Sulawesi Utara, menunjukkan hasil positif (warna cokelat pada jaringan). Sebagai kontrol positif dan negatif masing-masing adalah (e) dan (f). Sampel-sampel genom yang tidak berhasil diamplifikasi adalah genom asal Jawa Timur, Sumatera Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan amplifikasi tersebut antara lain adalah penggunaan primer yang tidak spesifik untuk sampel-sampel genom dari 4 provinsi tersebut. Adanya variasi genetik KHV yang relatif tinggi atau jarak genetik yang relatif jauh pada sampel-sampel genom dari 4 lokasi tersebut dibandingkan dengan sampel-sampel genom yang berhasil diamplifikasi, dapat merupakan penyebab kegagalan proses amplifikasi. Menurut Walker (2000), variasi genetik karena 52

11 mutasi sekuen nukleotida dapat mencegah mengikatnya primer-primer PCR pada sekuen target. Dalam pengujian KHV di laboratorium, dilakukan juga pengujian menggunakan metoda selain PCR untuk konfirmasi hasil yang diperoleh, sebagai contoh penerapan metoda imunohistokimia. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari kekeliruan dalam menarik kesimpulan hasil uji yang dilakukan. Rosenkranz et al. (2008) melaporkan bahwa metoda imunohistokimia memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosa KHV selain dengan PCR. Metoda imunohistokimia memiliki kelebihan dalam deteksi KHV karena kemampuannya berikatan dengan salah satu membran protein yang dikode oleh gen ORF81 (Open Reading Frame 81). Gen ORF81 merupakan produk KHV yang memiliki berat molekul 26 kda, bersifat non-glycosylated, berlokasi di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan atau di dalam amplop virion. Selanjutnya menurut Rosenkranz et al. (2008), metoda yang paling baik untuk mendeteksi keberadaan membran protein yang dikode oleh ORF81 adalah imunohistokimia, immunofluorescense dan immunoelectron microscopy Variasi Genetik dan Sebaran Biogeografis KHV Sekuensing DNA dilakukan terhadap produk PCR dari 18 sampel ikan positif KHV, dan hasilnya disajikan pada Tabel 4. Selanjutnya dengan menggunakan metoda Neighbor Joining dengan 100X replikasi menggunakan software ClustalX, hasil sekuensing DNA digunakan sebagai dasar pembuatan pohon filogenetik KHV. Sebagai pembanding, digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan Cyprinid Herpesvirus 3 (CyHV-3) yang berasal dari Jepang. 53

12 Berdasarkan hasil sekuensing DNA KHV (Tabel 4) dan konstruksi pohon filogenetik yang dibuat (Gambar 12), ada 17 varian dari 18 sampel positif KHV yang ditemukan, sedangkan varian KHV dan CyHV-3 yang berasal dari Jepang merupakan varian-varian yang berbeda. Selanjutnya, varian-varian KHV yang ditemukan tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 clusters cabang utama yang terdiri dari kelompok I meliputi varian-varian KHV yang berasal dari Kalimantan Selatan, Lampung, Papua Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Bengkulu, DI Aceh, dan Kalimantan Timur. Kelompok II terdiri dari varian-varian KHV yang berasal dari Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tengara Barat, Riau, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Sampel-sampel DNA KHV yang termasuk dalam kelompok I memiliki tingkat similaritas atau kemiripan yang relatif tinggi atau memiliki jarak satu sama lain yang relatif dekat, bahkan sekuen DNA KHV yang berasal dari DI Aceh dan Kalimantan Timur (1) memiliki tingkat homologi 100%. Beberapa sekuen DNA KHV lainnya yang memiliki kemiripan yang relatif tinggi ( >95 %) adalah Bali dengan Nusa Tenggara Timur, DI Aceh, Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat (1); Nusa Tenggara Timur dengan DI Aceh, Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat (1); DI Aceh dengan Kalimantan Timur (1), Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Kalimantan Timur (1) dengan Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Bengkulu dengan Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; Sumatera Barat dengan DI Yogyakarta, dan Jawa Barat; DI Yogyakarta 54

13 dengan Jawa Barat, serta Jawa Barat dengan Kalimantan Barat (1). Selanjutnya, sampel-sampel DNA KHV yang termasuk dalam kelompok II yang memiliki tingkat similaritas yang relatif tinggi ( > 90 %) adalah Kalimantan Timur (2) dan DKI Jakarta. Similaritas dan jarak genetik varian-varian KHV yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 13 dan Tabel 5, sedangkan sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Berkaitan dengan variasi genetik KHV yang ditemukan dalam penelitian ini, tingkat similaritas atau jarak genetik yang diperoleh dari hasil sekuensing DNA dan pohon filogenetik KHV dapat menggambarkan hubungan antara DNA KHV dari berbagai provinsi dan dapat memprediksi kemungkinan penyebarannya. Sebagai contoh, varian yang memiliki tingkat kemiripan yang relatif tinggi atau sangat tinggi, kemungkinan berasal dari sumber atau lokasi yang sama. Meningkatnya lalulintas perdagangan ikan koi dan mas antar daerah di wilayah Indonesia maupun antar negara, membawa kemungkinan menyebarnya varian-varian KHV yang sebelumnya tidak ditemukan di wilayah atau negara-negara tertentu. Variasi genetik pada virus merupakan salah satu cara alamiah untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Virus-virus harus menghadapi perubahan lingkungan yang terus menerus di inangnya, maupun saat melintas dari satu inang ke inang lainnya. Mereka harus berhadapan dengan respon pertahanan atau sistem imunitas inang. Menghindar dari pertahanan inang merupakan ciri pokok strategi bertahan pada seluruh virus (Walker, 2000). Variasi genetik virus terjadi melalui mekanisme mutasi dan rekombinasi genetik (Trun dan Trempy, 2004; Walker, 2000). Pada penelitian ini, tipe mutasi yang ditemukan adalah microlesions dan macrolesions. Jenis microlesions yang 55

14 ditemukan meliputi mutasi titik (transisi dan transverse) dan frameshift (berupa delesi atau penghapusan dan insersi atau penyisipan satu pasang basa dalam suatu gen. Jenis macrolesions yang ditemukan meliputi mutasi frameshift yang berupa delesi atau penghapusan dan insersi atau penyisipan basa dalam jumlah banyak. Menurut Walker (2000), mutasi dapat terjadi setiap saat dalam pertumbuhan suatu populasi virus. Mutasi dapat terjadi secara spontan, maupun dapat diinduksi oleh agen-agen fisika dan kimia terhadap DNA. Mutasi spontan dapat terjadi karena kekeliruan pasangan antar basa selama replikasi DNA atau selama proses reparasi atau perbaikan DNA. Selain itu mutasi spontan dapat terjadi karena perubahan tanpa makna basa-basa dalam DNA, radiasi tingkat rendah, perubahan spontan basa-basa pada depurinasi atau deaminasi atau rekombinasi. Laju mutasi dapat meningkat dengan adanya mutagen-mutagen kimia atau fisika yang dapat menginduksikan perubahan-perubahan nukleotida dalam molekul-molekul DNA (Trun dan Trempy, 2004). Adanya mutasi dan rekombinasi gen-gen memungkinkan virus beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya dengan sangat mudah, dan varian-varian yang muncul mempunyai potensi meningkatkan kelangsungan hidup virus. Variasi genetik juga dapat menyebabkan strain virus yang berhubungan dekat memiliki sifat-sifat biologis yang berbeda seperti patogenesitas, tissue tropism, atau kisaran inang (Walker, 2000). Tidak semua mutasi mempunyai pengaruh yang merusak gen, banyak juga mutasi yang tidak merusak atau tidak berbahaya. Sebagai contoh, suatu mutasi titik yang terjadi dalam suatu gen namun tidak mengubah pengkodean protein sehingga mutasi tersebut tidak ada pengaruhnya. Tipe mutasi titik ini disebut 56

15 silent, terjadi jika substitusi satu pasang basa dengan basa lainnya tidak menyebabkan perubahan asam amino yang dihasilkan. Sebaliknya, ada mutasi titik dalam suatu gen yang secara signifikan mengubah urutan asam amino dari suatu protein. Mutasi missense terjadi jika substitusi satu pasang basa dengan basa lainnya mengubah asam amino yang dihasilkan. Sebagai contoh, kodon UGG dalam mrna atau TTG dalam DNA mengkode tryptophan. Mutasi yang terjadi pada basa pertama dari kodon, mensubstitusi satu T menjadi satu G, sehingga hasilnya pengkodean untuk glycine sebagai pengganti tryptophan. Beberapa mutasi missense dapat mengubah sama sekali fungsi protein atau masih dapat berfungsi secara parsial. Pada mutasi nonsense, mutan-mutan nonsense dimana suatu kodon yang menspesifikasi asam amino diubah menjadi suatu kodon penghenti (stop codon). Dengan demikian mengakibatkan terbentuknya produk polipeptida yang terputus dan biasanya tidak aktif Perubahan Patologis Infeksi KHV Studi yang dilakukan beberapa peneliti dengan menggunakan pengujian patologi mikroskopik dan uji PCR kuantitatif menunjukkan perubahan pada jaringan-jaringan target KHV meliputi insang, ginjal, limpa, kulit, otak, usus, dan hati (Hedrick et al., 2000; Gray et al., 2002; Gilad et al., 2003; Gilad et al., 2004). Hasil penelitian Gilad et al. (2004) menemukan konsentrasi DNA KHV tertinggi terdapat pada insang, ginjal, limpa, dengan jumlah genom yang ekuivalen konsisten yaitu mulai dari /10 6 sel-sel inang. Level DNA KHV yang tinggi juga ditemukan pada mukus, hati, usus dan otak. Ikan koi hari pasca infeksi dapat bertahan hidup, masih mengandung kopi genom KHV namun dalam jumlah yang lebih rendah (sampai dengan 1,99 x 10 2 /10 6 sel-sel inang) pada 57

16 Tabel 4 Hasil sekuensing DNA KHV pada 18 sampel ikan positif dengan metode PCR 58

17 59

18 Gambar 12 Pohon filogenetik varian KHV yang ditemukan, terdiri dari dua cluster : Cluster I yaitu: Kalimantan Selatan, Lampung, Papua Barat, Kalimantan Barat (1), Jawa Barat, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, DI Aceh, Kalimantan Timur (1), dan Bengkulu. Cluster II yaitu: Sumatera Utara, Kalimantan Barat (2), NTB, Riau, Kalimantan Timur (2), dan DKI Jakarta. Sebagai pembanding digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan CyHV-3 dari Jepang. 60

19 Gambar 13 Pohon filogenetik varian KHV yang ditemukan, dan sebagai pembanding digunakan sekuen fragmen DNA KHV dan CyHV-3 dari Jepang. 61

20 ASAL KHV SIMILIARITAS Tabel 5 Jarak genetik dan similaritas varian KHV yang ditemukan JARAK GENETIK Keterangan: Varian KHV dari Bali (1), NTT (2), DI Aceh (3), Kaltim1 (4), Bengkulu (5), Sumbar (6), DI Yogyakarta (7), Jabar (8), Kalbar 1 (9), Papua Barat (10), Lampung (11), Kalsel (12), Sumut (13), Kalbar 2 (14), Riau (15), Kaltim 2 (16), DKI Jakarta (17), NTB (18). 62

21 Gambar 14 Peta sebaran biogeografis molekuler KHV di Indonesia. Ada 2 clusters cabang varian KHV yang ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu cluster I (warna merah): DI Aceh (Ib2), Sumatera Barat (Ib2), Bengkulu (Ib2), Lampung (Ib1), Jawa Barat (Ib2), DI Yogyakarta (Ib2), Bali (Ib2), Nusa Tenggara Timur (Ib2), Kalimantan Timur 1 (Ib2), Kalimantan Barat1 (Ib2), Kalimantan Selatan (Ia), Papua Barat (Ib2). Cluster II (warna hitam): Sumatera Utara (IIb), Riau (IIa1), DKI Jakarta (IIa2), Nusa Tenggara Barat (IIa1), Kalimantan Timur 2 (IIa2), Kalimantan Barat 2(IIa1). insang, ginjal, atau otak. Selain organ-organ tersebut, jantung juga merupakan target organ KHV. Menurut Wada et al. (2006), infiltrasi KHV menyebabkan degenerasi dan nekrosis otot jantung Perubahan Patologis Pada Insang Hasil pengamatan terhadap insang ikan-ikan yang terinfeksi varian KHV yang berbeda ditemukan perubahan patologis berupa proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder pada seluruh jaringan insang yang diperiksa (100%). Selain itu, pada beberapa ikan juga ditemukan adanya hipertrofi sel-sel epitel lamela sekunder (13,6%), inclusion body (9,1%), telangiectasis (9,1%), edema (4,5%), proliferasi 63

22 lapisan hialin (4,5%), dan fibrosis pada pangkal insang (4,5%). Selanjutnya, hasil pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varian-varian KHV yang dikelompokkan dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar cluster. Namun demikian, ditemukan perubahan patologis yang relatif berat pada ikan-ikan sampel yang terinfeksi varian-varian KHV yang berasal dari Riau (cluster II), Kalimantan Timur 1 (cluster I) dan Kalimantan Timur 2 (cluster II). Kondisi tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerentanan ikan, kondisi lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, patogenisitas varian KHV, stadium lanjut infeksi, dan tissue tropism. Perubahan patologis pada jaringan insang disajikan pada Gambar 15 sampai dengan 19, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Perubahan patologis yang ditemukan pada insang merupakan indikasi terjadinya radang sebagai akibat infiltrasi dan aktivitas replikasi virus. Aktivitas replikasi virus dibuktikan dengan penemuan inclusion body. Menurut Claudia (2008), inclusion body pada infeksi KHV dapat ditemukan pada organ insang, ginjal, hati, dan otak. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan, terletak di bawah operkula, di kedua belah sisi kepala. Insang berbentuk melingkar, bertulang, mengandung cartilaginous serta kaku, jumlahnya 4 lembar pada masing-masing sisi. Pada bagian medio anterior, terdapat gill raker yang fungsinya menyaring partikel makanan. Lengkung insang (gill arch) menjadi tempat menempelnya filamen-filamen insang yang mengandung kapiler-kapiler darah. Pada lengkung insang terdapat saluran darah (arteri afferent dan efferent), sehingga memungkinkan darah dapat keluar masuk insang. Pada kedua sisi filamen insang terdapat lamela. Lamela merupakan 64

23 lokasi pertama terjadinya pertukaran gas pada insang. Lamela dibentuk oleh sel-sel epitel eksternal yang tebal dan sel-sel pilar penunjang, fungsinya memfasilitasi aliran darah melalui insang. Selain itu, pertukaran gas difasilitasi juga oleh system countercurrent, dimana arah aliran darah berlawanan dengan arah aliran air. Pertukaran gas jenis ini dijaga dengan jalan mengkoordinasikan perubahan tekanan di mulut dan bukaan operkulum (Hoole et al., 2001; Roberts et al., 2001). Insang juga mengandung sel-sel penghasil mukus dan sel-sel pengekskresi ammonia dan garam yang berlebih. Posisi insang dan strukturnya yang lemah serta selalu bersentuhan dengan air menjadikan insang sangat mudah rusak karena perubahan lingkungan. Selain itu, insang juga menjadi tempat paling menarik bagi virus, bakteri dan parasit untuk menginfeksi karena permukaannya luas dan kaya akan darah (Hoole et al., 2001; Roberts et al., 2001). Berkaitan dengan infeksi KHV pada ikan mas dan koi, insang ditengarai sebagai entry point KHV selain kulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bretzinger et al. (1999) yang melakukan pengamatan pertama kali partikel herpes-like virus yang diisolasi dari epitel insang. Demikian juga dengan Body et al. (2000) yang telah berhasil mengisolasi KHV dari insang koi di Belgia. Penelitian Hedrick et al. (2000) dan Perelberg et al. (2003) menemukan KHV pertama kalinya masuk dan menginfeksi tubuh ikan melalui insang atau usus. Mekanisme infeksi KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004), virus pertama kali masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang, selanjutnya bereplikasi di dalam organ tersebut. Aktivitas replikasi tersebut mempengaruhi struktur insang, sehingga terlihat 65

24 Gambar 15 Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder (a) dan edema (b) pada insang (perbesaran 10 x) Gambar 16 Infiltrasi sel-sel radang pada insang (perbesaran 40x) 66

25 Gambar 17 Proliferasi sel-sel epitel lamella sekunder pada insang (perbesaran 10x) Gambar 18 Telangiectasis pada insang (perbesaran10x) 67

26 Tabel 6 Perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji PCR dan imunohistokimia NO. Varian KHV/ Perubahan Patologik Jaringan Anggota Insang Usus Ginjal Hati Limpa Jantung Otak kekerabatan Kalimantan Selatan / Ia tampak normal tampak normal haemorhagi, perikarditis Kongesti proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 2 Lampung / Ib1 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 3 Papua Barat / Ib2 4 Kalimantan Barat (1) / Ib2 5 Jawa Barat / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder tampak normal tampak normal kongesti, aktivitas selsel goblet meningkat enteritis, fusi vili, nekrosis, edema tampak normal haemorhagi tampak normal haemorhagi, fibrosis kongesti, degenerasi hidropik degenerasi hidropik degenerasi hidropik degenerasi hidropik, kongesti, inclusion body,nekrosis degenerasi hidropik kongesti, infiltrasi MMC kongesti kongesti kongesti, gliosis, nekrosis kongesti haemorhagi, Gliosis kongesti, infiltrasi MMC tampak normal perikarditis, haemorhagi miokarditis Kongesti kongesti, fibrosis, nekrosis 68

27 Bali / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder tampak normal kongesti, haemorhagi degenerasi hidropik tampak normal kongesti kongesti 7 Nusa Tenggara Timur (NTT) / Ib2 8 DI Yogyakarta / Ib2 9 Sumatera Barat / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, telangiectasis proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 10 DI Aceh / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder & tampak potongan cacing proliferasi sel-sel goblet, edema, kongesti lambung : deposisi enterolith, edema tampak normal aktifitas selsel goblet meningkat haemorhagi, kongesti penebalan pada tubulus haemorhagi, kongesti haemorhagi, kongesti degenerasi hidropik degenerasi hidropik, kongesti degenerasi hidropik, perivascular cuffing, kongesti, fibrosis degenerasi hidropik, inclusion body kongesti edema haemorhagi infiltrasi sel-sel radang/limf osit, infiltrasi MMC kongesti pada perikardium, miokarditis perikarditis, kongesti perikarditis, kongesti, edema infiltrasi selsel radang pada endokardium, haemorhagi, vakuolisasi, perikarditis, kongesti kongesti kongesti, gliosis, mononuclear perivascular cuffing, nekrosis kongesti kongesti, vakuolisasi, satelitosis, nekrosis 69

28 Kalimantan Timur (1) / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, inclusion body, edema, hipertrofi sel tampak normal tampak normal degenerasi hidropik kongesti haemorhagi kongesti epitel 12 Bengkulu / Ib2 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 13 Kalimantan Barat (2)/ IIa1 14 Nusa Tenggara Barat (NTB) / IIa proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel sekunder haemorhagi enteritis kongesti, aktifitas sel-sel goblet meningkat, enteritis, haemorhagi, nekrosis haemorhagi, edema, kongesti, inclusion body tampak normal kongesti, nekrosis pada glomerulus degenerasi hidropik degenerasi hidropik kongesti, degenerasi hidropik, perivascular cuffing kongesti kongesti tampak normal epikarditis, miokarditis, perikarditis, nekrosis tampak normal haemorhagi, perikarditis, infiltrasi vakuolisasi kongesti kongesti, edema kongesti 70

29 Riau / IIa1 proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, fusi lamela sekunder, proliferasi lapisan hialin, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang enteritis, aktivasi selsel goblet meningkat Kongesti degenerasi hidropik, kongesti kongesti epikarditis, kongesti kongesti 16 DKI Jakarta / IIa2 17 Kalimantan Timur (2) / IIa2 18 Sumatera Utara / Iib Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, telangiectasis proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, inclusion body, edema, hipertrofi sel-sel epitel lamela insang proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder tampak normal "Unknown" Infiltrasi enteritis, infiltrasi sel-sel, radang tampak normal tampak normal proliferasi sel-sel di interstitial, kongesti, nekrosis pada glomerulus degenerasi hidropik, kongesti kongesti, degenerasi hidropik tampak normal tampak normal kongesti, peningkatan aktivitas limfosit tampak normal Perikarditis tampak normal epikarditis, miokarditis perikarditis kongesti, gliosis, nekrosis kongesti, vakuolisa si, nekrosis Gliosis 71

30 No. Asal Sampel Ikan Tabel 7 Perubahan patologis jaringan Cyprinus carpio positif KHV dengan uji imunohistokimia Organ Insang Usus Ginjal Hati Limpa Jantung Otak Jawa edema tampak tampak infiltrasi selsel Timur normal normal radang 2 Sumatera Selatan proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder, fibrosis pada pangkal insang 3 Gorontalo proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder 4 Sulawesi Utara proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder kongesti, enteritis tampak normal fusi vili, enteritis infiltrasi sel-sel radang pada glomerulus infiltrasi MMC tampak normal kongesti, degenerasi melemak, nekrosis degenerasi hidropik tampak normal kongesti, degenerasi hidropik kongesti infiltrasi MMC, peningkata n aktifitas limfosit tampak normal kongesti pada perikardium, perikarditis tampak droplet lemak, miokarditis, infiltrasi limfosit & heterofil tampak normal gliosis, kongesti kongesti tampak normal kongesti, haemorhagi, nekrosis 72

31 insang mengalami nekrosis pada lapisan mukosanya. Kerusakan insang yang parah merupakan salah satu faktor munculnya gejala klinis pada ikan, seperti peningkatan frekuensi pernafasan dan ikan kelihatan megap-megap, serta selalu berenang ke arah permukaan air. Beberapa peneliti juga meyakini bahwa insang merupakan titik masuk infeksi KHV (Gilad et al., 2004; Dishon et al., 2005; Ilouze et al., 2006; Miyazaki et al., 2008). Hipotesis ini diperkuat beberapa data penelitian. Pertama, Roberts (2001) melaporkan bahwa insang menunjukkan peranannya sebagai titik masuk beberapa agen patogen. Kedua, ikan yang terinfeksi KHV memiliki lesi-lesi pada insang, hal tersebut menjawab pertanyaan mengapa pada awalnya virus ini dikenal sebagai carp interstitial nephritis and gill necrosis virus atau CNGV (Hedrick et al., 2000; Perelberg et al., 2003; Ronen et al., 2003; Pikarsky et al., 2004; Miyazaki et al., 2008). Ketiga, laporan Gilad et al. (2004) dan Pikarsky et al. (2004) menyebutkan bahwa insang ikan yang terinfeksi dan kemudian diperiksa dengan metoda PCR mengandung genom KHV pada stadium awal. Perubahan jaringan berupa proliferasi, hiperplasia dan hipertrofi sel-sel epitel lamela sekunder merupakan respons adaptasi terhadap rangsangan atau stimulus patologik yang terjadi. Sel-sel yang mendapatkan rangsang atau stimulus patologik, secara fisiologik dan morfologik akan mengalami adaptasi perubahan sel sebagai reaksi terhadap stimulus dan sel masih dapat bertahan hidup serta mengatur fungsinya. Namun demikian, apabila stimulus patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel terhadap stimulus tersebut, maka akan timbul sel yang sakit 73

32 Tabel 8 Perubahan patologis infeksi varian KHV pada Cyprinus carpio Varian KHV No Perubahan Patologik Jaringan Kalsel Lampung Pap. Bar Kalbar 1 Jabar Bali NTT Jaringan Insang 1 Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Hipertrofi sel-sel epitel lamela insang Ѵ Ѵ Ѵ Inclusion body Ѵ Ѵ Edema Ѵ Ѵ Fusi lamela sekunder Ѵ Proliferasi lapisan hialin Ѵ Telangiectasis Ѵ Ѵ Fibrosis pada pangkal insang Ѵ Jaringan Saluran Pencernaan 1 Enteritis Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Aktifitas sel-sel goblet meningkat/proliferasi sel-sel goblet Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Haemorhagi Ѵ Ѵ Deposit enterolith pada lambung Ѵ Edema Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Kongesti Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Fusi vili Ѵ Ѵ Nekrosis Ѵ Ѵ Jaringan Ginjal 1 Haemorhagi Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Proliferasi sel-sel di interstitial Ѵ Nekrosis pada tubulus Ѵ Ѵ Kongesti Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Edema Ѵ Penebalan pada tubulus Ѵ Infiltrasi MMC Ѵ Fibrosis Ѵ Infiltrsi sel-sel radang pada glomerulus Ѵ Inclusion body Ѵ DI Yogyakarta SumBar DI Aceh Kaltim 1 Bengkulu Kalbar 2 NTB Riau DKI Jakarta Kaltim 2 Sumut Jatim Sumsel Gorontalo Sulut Jumlah Ekor (N=22) Persen Kejadian (%) 74

33 Jaringan Hati 1 Degenerasi hidropik Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Kongesti Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Fibrosis Ѵ Perivascular cuffing Ѵ Ѵ Inclusion body Ѵ Ѵ Degenerasi melemak V 1 4,5 7 Nekrosis Ѵ Ѵ Jaringan Limpa 1 Infiltrasi sel-sel radang / limfosit Ѵ Ѵ Infiltrasi MMC Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Haemorhagi Ѵ Kongesti Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Edema Ѵ Jaringan Jantung 1 Infiltrasi sel-sel radang / limfosit Ѵ Ѵ Ѵ Epikarditis Ѵ Ѵ Ѵ Perikarditis Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Miokarditis Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Kongesti Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Haemorhagi Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Vakuolisasi Ѵ Ѵ Edema Ѵ Nekrosis Ѵ

34 Jaringan Otak 1 Kongesti Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Vakuolisasi Ѵ Ѵ Satelitosis Ѵ Gliosis Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Haemorhagi Ѵ Edema Ѵ Perivascular cuffing Ѵ Fibrosis Ѵ Nekrosis Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ Ѵ

35 (cell injury) yang biasanya bersifat sementara (reversible). Jika stimulus menetap atau bertambah besar, sel akan mengalami lesi yang menetap (irreversible) sehingga sel akan mati atau nekrosis. Sel yang mengalami nekrosis merupakan hasil akhir yang biasanya disebabkan oleh iskemia, infeksi, dan reaksi imun (Sudiono et al., 2003). Menurut Robbins et al. (1995), hiperplasia dan hipertrofi sel dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik. Hiperplasia fisiologik terjadi karena penyebab fisiologis atau normal dalam tubuh, sedangkan hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau pengaruh faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal pada sel-sel target. Salah satu penyebab hiperplasia patologik adalah induksi virus yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel epitel skuamosa. Hasil penelitian Perelberg et al. (2003) menemukan perubahan berupa hiperplasia dan hipertrofi terutama pada sel-sel epitel lamela sekunder insang yang terinfeksi KHV, sehingga menyebabkan terjadinya fusi antara lamela sekunder yang berdekatan. Hal tersebut terjadi karena adanya proliferasi dan pembengkakan sel-sel epitel lamela sekunder yang tidak terkontrol akibat infeksi virus. Selain hiperplasia dan hipertrofi, perubahan lain yang tampak pada jaringan insang adalah adanya telangiectasis, edema, dan fibrosis. Perubahan-perubahan tersebut merupakan ciri-ciri terjadinya radang pada jaringan tersebut. Reaksi ini dapat disebabkan oleh infeksi mikrobial (termasuk KHV), faktor fisik, zat kimia, jaringan nekrotik, dan reaksi imunologik. Peran proses peradangan adalah untuk 77

36 membawa dan mengisolasi trauma, memusnahkan mikroorganisme penginfeksi menginaktifkan toksin, serta untuk mencapai penyembuhan dan perbaikan. Perubahan patologik telangiectasis ditemukan pada jaringan insang yang terinfeksi KHV varian DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur. Telangiectasis adalah dilatasi pembuluh darah yang berada di dekat permukaan tubuh atau tepi atau berada pada membran mukosa. Adanya infeksi merangsang sistem pertahanan tubuh meningkatkan aliran komponen imun ikan ke jaringan insang. Telangiectasis merupakan kongesti yang berkelanjutan sebagai akibat infeksi sistemik yang menimbulkan dilatasi pembuluh darah insang. Kondisi tersebut terjadi akibat adanya peningkatan aktivitas imun melalui pembuluh darah, sehingga volume darah menuju insang meningkat. Selain hal tersebut, dilatasi juga disebabkan oleh pelepasan faktorfaktor anti radang. Agar dapat berfungsi dengan normal, jaringan membutuhkan sirkulasi darah yang baik, keseimbangan cairan tubuh intravaskular dan ekstravaskular, serta konsentrasi zat-zat dalam cairan yang tetap, termasuk elektrolit. Pada jaringan normal, hal ini diselenggarakan oleh endotel kapiler. Membran ini sangat penting untuk distribusi cairan tubuh dan mempunyai permeabilitas yang selektif. Pada beberapa keadaan, permeabilitas endotel kapiler dapat bertambah. Akibatnya protein plasma akan keluar dari kapiler sehingga tekanan koloid osmotik darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin bertambahnya cairan yang meninggalkan kapiler sehingga menimbulkan edema (Robbins et al., 1995). Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi antara lain pada infeksi mikrobial (termasuk KHV), keracunan zat kimia, anoksia 78

37 yang terjadi akibat berbagai keracunan, tekanan vena yang meningkat, atau kekurangan protein dalam plasma akibat albuminuria. Terjadinya edema, biasanya juga disertai dengan degenerasi jaringan akibat anoksia, bahkan kadang-kadang sampai terjadi nekrosis. Kongesti dan edema yang terjadi relatif lama atau berlarutlarut dapat menyebabkan terjadinya proliferasi jaringan ikat (fibrosis) (Sudiono et al., 2003). Berkaitan dengan kerusakan yang parah pada jaringan insang ikan-ikan yang positif KHV, maka fungsi insang dalam pengikatan oksigen terlarut dalam air akan terganggu. Kondisi ini dapat menimbulkan hipoksia sel yang serius. Beberapa penyebab hipoksia adalah : 1) Oksigenasi insang yang tidak memadai; 2) Penyakit pada insang. Menyebabkan berkurangnya luas permukaan lamela-lamela insang sehingga mengakibatkan berkurangnya difusi oksigen dari lingkungan ke insang, 3) Transport oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan karena anemia atau hemoglobin abnormal, penurunan sirkulasi umum, penurunan sirkulasi lokal, dan edema jaringan; 4) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai. Kerusakan pada organ insang juga menyebabkan menurunnya kemampuan insang mengeluarkan zat-zat toksik yang berbahaya seperti ammonia, CO 2 dan garam-garam yang berlebih dari tubuhnya. Menurut Hoole et al. (2001), ikan-ikan carp dan koki dapat mengekskresikan nitrogen melalui insang 10 kali lebih banyak dibandingkan melalui ginjal. Jika ada gangguan pada insang menyebabkan penurunan kapasitas metabolisme sel akibat kekurangan oksigen dan keracunan zatzat yang bersifat toksik pada tubuh ikan. 79

38 (Perubahan Patologis) Proliferasi sel-sel epitel lamela sekunder Hipertrofi sel-sel epitel lamela insang Inclusion body Edema Fusi lamela sekunder Proliferasi lapisan hialin Telangiectasis Fibrosis pada pangkal Insang (Persen) Gambar 19 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan insang ikan-ikan sampel (n=22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II(warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut. 80

39 Perubahan Patologis Pada Ginjal Hasil pengamatan patologis terhadap ginjal ikan yang terinfeksi varian KHV ditemukan perubahan berupa haemorhagi (31,8%), kongesti (36,4%), inclusion body (4,5%), infiltrasi MMC (4,5%), infiltrasi sel radang pada glomerulus (4,5%), edema (4,5%), penebalan lumen tubulus (4,5%), fibrosis (4,5%), dan nekrosis pada tubulus (9,1%). Selanjutnya, hasil pengamatan terhadap perubahan patologis infeksi varianvarian KHV yang dikelompokkan dalam cluster I dan II, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok. Perubahan patologis yang relatif berat ditemukan pada infeksi varian-varian KHV Bengkulu (cluster I), Kalimantan Barat 2 (cluster II), dan Riau (cluster II). Keadaan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh faktorfaktor lingkungan yang memungkinkan perkembangan penyakit, kerentanan ikan, stadium lanjut infeksi, patogenisitas varian KHV, dan tissue tropism. Perubahanperubahan patologis yang terjadi pada jaringan ginjal ikan yang terinfeksi KHV dapat dilihat pada Gambar 20 sampai dengan 25, serta Tabel 6 sampai dengan 8. Infeksi virus (termasuk KHV) dapat menyebabkan perubahan patologis sebagaimana diuraikan di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil uji imunohistokimia menunjukkan jaringan ginjal merupakan target infeksi KHV. Hedrick et al (2000) dan Perelberg et al (2003) menemukan perubahan patologis utama pada ginjal ikan yang terinfeksi KHV adalah nephritis interstitialis yang ditandai dengan penebalan epitel lumen tubulus, radang dan nekrosis. Etiologi perubahan patologis ginjal disebabkan oleh hipoksia karena kerusakan jaringan insang. Pikarsky et al (2004) juga menemukan perubahan yang sama dengan peneliti sebelumnya, yaitu KHV yang mencapai ginjal dapat menyebabkan terjadinya 81

40 nephritis interstitialis yang parah. Dari ginjal KHV kemudian menyebar ke seluruh organ ikan. DNA viral akan terdeteksi pada organ ginjal dan darah ikan yang terinfeksi masing-masing pada 3 sampai dengan 5 hari pasca infeksi. Pada penelitian tersebut juga ditemukan adanya inclusion body. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Kholidin (2007). Inclusion body dalam jaringan ginjal merupakan salah satu ciri utama infeksi KHV. Pembentukan inclusion body merupakan indikator utama adanya aktivitas replikasi virus. Hal tersebut dapat muncul ketika virus berusaha mengekspresikan gen viral ke dalam sel hospes agar mengkode pembentukan protein viral. Adanya tingkatan evolusi yang jauh berbeda antara virus (eukariotik) dengan sel hospes (prokariotik), maka ketika proses pengkodean protein viral selesai, akan terbentuk suatu agregat protein yang bersifat inaktif. Hal tersebut muncul karena protein viral yang baru saja terbentuk memasuki lingkungan mikro (dalam sel hospes) yang sangat berbeda dari asalnya (kapsid virus) (Anonim, 2008). Selain agen penginfeksi seperti virus, beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan perubahan-perubahan patologis pada jaringan ginjal antara lain adalah hipoksia (kekurangan oksigen) yang terjadi sebagai akibat: (a) iskemia (kekurangan pasokan darah), (b) oksigenasi tidak mencukupi (sebagai contoh akibat gangguan/kerusakan fungsi insang atau jantung), atau (c) hilangnya kapasitas pembawa oksigen darah. Selain itu, perubahan juga dapat terjadi akibat faktor fisik, bahan-bahan beracun, reaksi imunologik, atau ketidakseimbangan nutrisi (Robbins et al., 1995). Pada perairan tawar, lingkungan hipoosmotik dan air cenderung masuk ke 82

41 dalam cairan tubuh ikan melalui insang dan permukaan-permukaan permeable pada pharynx. Hal ini dikompensasi melalui ginjal yang memproduksi urin dalam volume yang besar. Oleh karena itu, filtrasi glomerular pada ikan air tawar berperan sangat penting (Roberts, 2001). Gangguan atau kerusakan ginjal akibat agen penginfeksi maupun non infeksi, dapat menyebabkan gangguan fungsi atau disfungsi ginjal. Sebagaimana diketahui, ginjal menjalankan fungsi yang multiguna yaitu: 1) pengeluaran produk sisa metabolisme, bahan-bahan beracun, serta bahan-bahan lain yang tidak diperlukan tubuh; 2) pengaturan konsentrasi ion-ion penting; 3) pengaturan keseimbangan asambasa tubuh; 4) pengaturan produksi sel darah merah; 5) pengaturan tekanan darah; 6) sekresi hormon; dan 7) glukoneogenesis (Sloane, 1994). Gambar 20 Penebalan lumen tubulus dan nekrosis tubulus (perbesaran 40x) 83

42 Gambar 21 Haemoraghi pada ginjal (perbesaran 40x) Gambar 22 Infiltrasi MMC pada ginjal (perbesaran 40x) 84

43 a b Gambar 23 Inclusion body (a) dan nekrosis (b) pada ginjal (perbesaran 40x) Gambar 24 Kongesti pada ginjal (perbesaran 40x) 85

44 (Perubahan Patologis) Haemorhagi Proliferasi sel-sel Interstitial Nekrosis pada tubulus Kongesti Edema Penebalan pada tubulus Infiltrasi MMC Fibrosis Infiltrasi pada glomerulus Inclusion Body (Persen) Gambar 25 Persen frekuensi kejadian perubahan patologis jaringan ginjal ikan-ikan sampel (n=22 ekor) yang terinfeksi varianvarian KHV (warna ungu). Cluster I (warna biru) terdiri dari varian Kalsel, Lampung, Papua Barat, Kalbar (1), Jabar, Bali, NTT, DI Yogyakarta, Sumbar, DI Aceh, Kaltim (1), Bengkulu. Cluster II (warna merah) terdiri dari varian Sumut, Kalbar (2), NTB, Riau, Kaltim (2), DKI Jakarta. Kelompok yang tidak termasuk Cluster I dan II (warna hijau), terdiri dari Sumsel, Jatim, Gorontalo, dan Sulut 86

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang tinggi. Ikan mas dibudidayakan untuk tujuan konsumsi, sedangkan

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang tinggi. Ikan mas dibudidayakan untuk tujuan konsumsi, sedangkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu spesies ikan yang cukup luas dibudidayakan dan dipelihara di Indonesia adalah ikan mas dan koi (Cyprinus carpio) karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

VARIASI GENETIK DAN PERUBAHAN PATOLOGIS INFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) PADA Cyprinus carpio BUDI SUGIANTI

VARIASI GENETIK DAN PERUBAHAN PATOLOGIS INFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) PADA Cyprinus carpio BUDI SUGIANTI VARIASI GENETIK DAN PERUBAHAN PATOLOGIS INFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) PADA Cyprinus carpio BUDI SUGIANTI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik KHV Herpesvirus adalah virus yang berukuran besar. Herpetos berasal dari bahasa Yunani yang artinya mengerikan. Herpesviridae berbiak dalam inti, membentuk badan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl 2 ) menggunakan konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena merupakan salah satu sumber protein hewani yang terjangkau oleh hampir sebagian besar lapisan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

ANALISIS HISTOPATOLOGI OTOT IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN IKAN MAS

ANALISIS HISTOPATOLOGI OTOT IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN IKAN MAS ANALISIS HISTOPATOLOGI OTOT IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN IKAN MAS Zulfa Rahmawati 1, Uun Yanuhar 2, Diana Arfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data KKP menunjukkan bahwa produksi ikan mas pada tahun 2010 mencapai 282.695 ton, dengan persentasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis pada semua kelompok perlakuan, baik pada kelompok kontrol (P0) maupun pada kelompok perlakuan I, II dan III dari hari pertama sampai pada

Lebih terperinci

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit: Keseimbangan cairan dan elektrolit: Pengertian cairan tubuh total (total body water / TBW) Pembagian ruangan cairan tubuh dan volume dalam masing-masing ruangan Perbedaan komposisi elektrolit di intraseluler

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Nilem yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila 4.1.1 Kerusakan Tubuh Berdasarkan hasil pengamatan, gejala klinis yang pertama kali terlihat setelah ikan diinfeksikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara umum A. salmonicida merupakan penyebab utama penyakit infeksi pada ikanikan salmonid yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi dan Materi Kuliah Hewan 1 Homeostasis Koordinasi dan Pengendalian Kuliah Kontinuitas Kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Megalocytivirus merupakan salah satu genus terbaru dalam famili Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan kerugian ekonomi serta kerugian

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, banyak dikonsumsi karena rasanya lezat. Komoditas kerapu diekspor dalam

Lebih terperinci

Konsep Sel, Jaringan, Organ dan Sistem Organ

Konsep Sel, Jaringan, Organ dan Sistem Organ Konsep Sel, Jaringan, Organ dan Sistem Organ STRUKTUR TUBUH MANUSIA SEL (UNSUR DASAR JARINGAN TUBUH YANG TERDIRI ATAS INTI SEL/ NUCLEUS DAN PROTOPLASMA) JARINGAN (KUMPULAN SEL KHUSUS DENGAN BENTUK & FUNGSI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri tekstil selain menghasilkan suatu produk juga menghasilkan produk sampingan berupa air limbah, yang sering kali mencemari lingkungan terutama perairan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang berfungsi serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN

PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN BAHAN MAKANAN (MOLEKUL ORGANIK) Lingkungan eksternal Hewan KONSUMSI MAKANAN PROSES PENCERNAAN PROSES PENYERAPAN PANAS energi yg hilang dalam feses MOLEKUL NUTRIEN (dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data primer berupa gambaran histologi ginjal dan kadar kreatinin hewan coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen yang berfungsi dalam sistem transportasi pada tubuh hewan tingkat tinggi. Jaringan cair ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian cair yang disebut

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan bahkan menyebabkan kematian.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan bahkan menyebabkan kematian. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rhodamine B sebagai racun 2.1.1 Definisi Racun Racun ialah zat yang bekerja dalam tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis tertentu dapat menyebabkan gangguan kesehatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat diisolasi dari ikan, sel trophont menunjukan pergerakan yang aktif selama 4 jam pengamatan. Selanjutnya sel parasit pada suhu kontrol menempel pada dasar petri dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perubahan histopatologi trakea Parameter yang diperiksa pada organ trakea adalah keutuhan silia, keutuhan epitel, jumlah sel goblet, dan sel radang. Pada lapisan mukosa, tampak

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1 1. Perhatikan gambar nefron di bawah ini! SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1 Urin sesungguhnya dihasilkan di bagian nomor... A. B. C. D. 1 2 3 4 E. Kunci Jawaban : D

Lebih terperinci

CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN. Mofit Eko Poerwanto

CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN. Mofit Eko Poerwanto CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN Mofit Eko Poerwanto mofit.eko@upnyk.ac.id Pertahanan tumbuhan Komponen pertahanan: 1. Sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik

Lebih terperinci

REPRODUKSI MIKROORGANISME

REPRODUKSI MIKROORGANISME REPRODUKSI MIKROORGANISME PENDAHULUAN Reproduksi mikroorganisme ialah perkembangbiakan mikroorganisme. Mikroorganisme mengadakan perkembangbiakan dengan dua cara, yaitu secara aseksual dan seksual. Reproduksi

Lebih terperinci

Karakteristik Organisme Hidup. UNSYIAH Universitas Syiah Kuala 9/28/2016. Tema-tema dalam Mempelajari Kehidupan. Organisasi Biologi

Karakteristik Organisme Hidup. UNSYIAH Universitas Syiah Kuala 9/28/2016. Tema-tema dalam Mempelajari Kehidupan. Organisasi Biologi UNSYIAH Universitas Syiah Kuala Pengantar Biologi MPA-107, 3 (2-1) Kuliah 10 STRUKTUR & PERKEMBANGAN: HEWAN Tim Pengantar Biologi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah Keanekaragaman hewan dengan berbagai modifikasi

Lebih terperinci

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati)

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati) BIOKIMIA NUTRISI Minggu I : PENDAHULUAN (Haryati) - Informasi kontrak dan rencana pembelajaran - Pengertian ilmu biokimia dan biokimia nutrisi -Tujuan mempelajari ilmu biokimia - Keterkaitan tentang mata

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi subjek penelitian Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 ekor mencit strain DDY yang terdiri dari 30 mencit jantan dan 30 mencit betina.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah dalam tubuh berfungsi untuk mensuplai oksigen ke seluruh jaringan tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi (sistem

Lebih terperinci

Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si LOGO

Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si LOGO Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si darma_erick77@yahoo.com LOGO Proses Pengeluaran Berdasarkan zat yang dibuang, proses pengeluaran pada manusia dibedakan menjadi: Defekasi: pengeluaran zat sisa hasil ( feses

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Analisis Diskriminan terhadap Tanaman M-1

PEMBAHASAN Analisis Diskriminan terhadap Tanaman M-1 PEMBAHASAN Analisis Diskriminan terhadap Tanaman M-1 Perlakuan irradiasi sinar gamma menyebabkan tanaman mengalami gangguan pertumbuhan dan menunjukkan gejala tanaman tidak normal. Gejala ketidaknormalan

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA A. GINJAL SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA Sebagian besar produk sisa metabolisme sel berasal dari perombakan protein, misalnya amonia dan urea. Kedua senyawa tersebut beracun bagi tubuh dan harus dikeluarkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil. Jumlah Penurunan Glomerulus Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus musculus L.) setelah diberi perlakuan pajanan medan listrik tegangan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, dengan berat 1.200-1.500 gram. Pada orang dewasa ± 1/50 dari berat badannya sedangkan pada bayi ± 1/18 dari berat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Ayam yang Diinfeksi C. jejuni Asal Kudus dan Demak Bobot badan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Bobot badan ayam yang diinfeksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

BAB VII SISTEM UROGENITALIA

BAB VII SISTEM UROGENITALIA BAB VII SISTEM UROGENITALIA Sistem urogenital terdiri dari dua system, yaitu system urinaria (systema uropoetica) dan genitalia (sytema genitalia). Sistem urinaria biasa disebut sistem ekskresi. Fungsinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit inflamasi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan

Lebih terperinci

Sistem Ekskresi Manusia

Sistem Ekskresi Manusia Sistem Ekskresi Manusia Sistem ekskresi merupakan sistem dalam tubuh kita yang berfungsi mengeluarkan zatzat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh dan zat yang keberadaannya dalam tubuh akan mengganggu

Lebih terperinci

mekanisme cedera sel

mekanisme cedera sel mekanisme cedera sel I. ORGANISASI SEL The cell is the basic structural and fungsinal unit of all living things. Yaitu unit kehidupan, kesatuan lahirliah yang terkecil yang menunjukan bermacam-macam fenomena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leukemia atau lebih dikenal kanker darah atau sumsum tulang merupakan pertumbuhan sel-sel abnormal tidak terkontrol (sel neoplasma) yang berasal dari mutasi sel normal.

Lebih terperinci

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan Sariawan Neng...! Kata-kata itu sering kita dengar pada aneka iklan suplemen obat panas yang berseliweran di televisi. Sariawan, gangguan penyakit pada rongga mulut, ini kadang ditanggapi sepele oleh penderitanya.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Subjek penelitian ini adalah anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph Dr. MUTIARA INDAH SARI NIP: 132 296 973 2007 DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN.......... 1 II. ASAM BASA DEFINISI dan ARTINYA............ 2 III. PENGATURAN KESEIMBANGAN

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan akan ketersediaan makanan yang memiliki nilai

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh V. PEMBAHASAN UMUM Lesi mukosa akut lambung akibat efek samping OAINS/Aspirin merupakan kelainan yang sering ditemukan. Prevalensi kelainan ini sekitar 70 persen sedangkan pada 30 persen kasus tidak didapatkan

Lebih terperinci

SISTEM PEMBULUH DARAH MANUSIA. OLEH: REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

SISTEM PEMBULUH DARAH MANUSIA. OLEH: REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt SISTEM PEMBULUH DARAH MANUSIA OLEH: REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt ARTERI Membawa darah bersih (oksigen) kecuali arteri pulmonalis Mempunyai dinding yang tebal Mempunyai jaringan yang elastis Katup hanya

Lebih terperinci

SISTEM DIGESTIVA (PENCERNAAN) FISIOLOGI PENCERNAAN

SISTEM DIGESTIVA (PENCERNAAN) FISIOLOGI PENCERNAAN SISTEM DIGESTIVA (PENCERNAAN) FISIOLOGI PENCERNAAN Secara sederhana, sistem pencernaan adalah portal untuk Secara sederhana, sistem pencernaan adalah portal untuk nutrisi untuk mendapatkan akses ke sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Kadar Enzim SGPT dan SGOT Pada Mencit Betina Setelah Pemberian Ekstrak Rimpang Rumput Teki Tabel 1. Kadar Enzim SGPT pada mencit betina setelah pemberian

Lebih terperinci

Kanker Darah Pada Anak Wednesday, 06 November :54

Kanker Darah Pada Anak Wednesday, 06 November :54 Leukemia adalah kondisi sel-sel darah putih yang lebih banyak daripada sel darah merah tapi sel-sel darah putih ini bersifat abnormal. Leukemia terjadi karena proses pembentukan sel darahnya tidak normal.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga berpengaruh pada kondisi kesehatan dan kemungkinan mengakibatkan. berbagai penyakit-penyakit yang dapat dialaminya.

I. PENDAHULUAN. sehingga berpengaruh pada kondisi kesehatan dan kemungkinan mengakibatkan. berbagai penyakit-penyakit yang dapat dialaminya. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan faktor penting dalam menunjang segala aktifitas hidup seseorang. Namun banyak orang yang menganggap remeh sehingga mengabaikan kesehatan dengan berbagai

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Selain dagingnya yang enak, ikan mas juga memiliki nilai jual

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan, air, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh para pembudidaya karena berpotensi menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cairan ekstrasel terdiri dari cairan interstisial (CIS) dan cairan intravaskular. Cairan interstisial mengisi ruangan yang berada di antara sebagian sel tubuh dan menyusun

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya sel myeloid (Perrotti et al., 2010). Di Asia,

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya sel myeloid (Perrotti et al., 2010). Di Asia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Chronic myelogenous leukemia (CML) merupakan keganasan hematologi yang ditandai dengan meningkatnya sel myeloid (Perrotti et al., 2010). Di Asia, CML merupakan keganasan

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLatihan Soal 1.3. Air. Asam amino. Urea. Protein

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLatihan Soal 1.3. Air. Asam amino. Urea. Protein SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLatihan Soal 1.3 1. Zat yang tidak boleh terkandung dalam urine primer adalah... Air Asam amino Urea Protein Kunci Jawaban : D Menghasilkan urine primer

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri Hasil uji biokimia (gula-gula) E. ictaluri menghasilkan enzim katalase, memfermentasi glukosa, tidak memfermentasi laktosa, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. DARAH Darah adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga mensuplai jaringan tubuh dengan

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 11. SISTEM EKSKRESI MANUSIALatihan Soal 11.1

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 11. SISTEM EKSKRESI MANUSIALatihan Soal 11.1 . Perhatikan gambar nefron di bawah ini! SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB. SISTEM EKSKRESI MANUSIALatihan Soal. Urin sesungguhnya dihasilkan di bagian nomor... Berdasarkan pada gambar di atas yang dimaksud dengan

Lebih terperinci